Anda di halaman 1dari 10

Tugas Hukum Agraria

(17 April 2020)

1. Perbedaan pendaftaran tanah menurut Pasal 19 UUPA dengan pengertian Pendaftaran Tanah
menurut PP No 24 Tahun 1997.

Pasal 19 UUPA

1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh
wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

2. Pendaftaran tanah dalam ayat (1) meliputi :

- Pengukuran, perpetaan dan pembukuan hak

- Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak tersebut.

-Pemberian surat-surat tanda bukti yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat,


keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraan menurut pertimbangan
Menteri Agraria.

4. Dalam peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran


termaksud dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan
dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

Perbedaannya adalah bahwa Pasal 19 UUPA merupakan perintah undang-undang kepada


Pemerintah yang dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mendaftar semua tanah-
tanah yang ada di wilayah Republik Indonesia, dengan tujuan untuk menjamin kepastian hukum,
atas tanah yang ada.

Kemudian sesuai dengan perintah Pasal 19 UUPA, perlu adanya Peraturan Pemerintah
yang mengatur tentang pendaftaran tanah ini. Atas dasar perintah itu, maka pemerintah
menerbitkan PP No 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah. Namun dalam kenyataannya
pelaksanaan pendaftaran tanah yang diselenggaran menurut ketentuan PP No 10 Tahun 1961,
tidak memuaskan, sehingga akhirnya pemerintah mengganti PP No 10 Tahun 1961 dengan PP
No 24 tahun 1997.

Dasar pergantian PP No 10 Tahun 1961 ini dapat dilihat dalam penjelasan PP No 24


Tahun 1997 pada bagian umumnya menyebutkan bahwa : “Dalam kenyataan pendaftaran tanah
yang diselenggarakan berdasarkan Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1961 tersebut selama lebih
dari 35 tahun, belum cukup memberikan hasil yang memuaskan. Dari sekitar 55 juta bidang
tanah hak yang memenuhi syarat untuk didaftar, baru lebih kurang 16,3 juta bidang yang sudah
didaftar. Dalam pada itu melalui pewarisan, pemisahan dan pemberian-pemberian hak baru,
jumlah tanah yang memenuhi syarat untuk didaftar selama pembangunan jangka panjang kedua
diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 75 juta. Hal-hal yang merupakan kendala dalam
pelaksanaan pendaftaran tanah, disamping kekurangan anggaran, alat dan tenaga, adalah keadaan
objektif tanah-tanahnya sendiri yang selain jumlahnya besar dan tersebar diwilayah yang luas,
sebagian besar penguasaannya tidak didukung oleh alat-alat pembuktian yang mudah diperoleh
dan dapat dipercaya kebenarannya. Selain itu ketentuan hukum untuk dasar pelaksanaanya
dirasakan belum cukup memberikan kemungkinan untuk terlaksananya pendaftaran dalam waktu
yang singkat dengan hasil yang lebih memuaskan. Sehubungan dengan itu dalam rangka
peningkatan dukungan yang lebih baik pada pembangunan nasional dengan memberikan
kepastian hukum di bidang pertanahan, dipandang perlu untuk mengadakan penyempurnaan
pada ketentuan yang mengatur pendaftaran tanah, yang pada kenyataannya tersebar pada banyak
peraturan perundang-undangan”.

Penyempurnaan yang terdapat dalam PP No 24 Tahun 1997, meliputi penegasan berbagai


hal yang belum jelas dalam PP No 10 tahun 1961, antara lain :

Pengertian Pendaftaran Tanah PP No 24 tahun 1997 : Pendaftaran tanah adalah suatu


kegiatan administrasi yang dilakukan pemilik terhadap hak atas tanah, baik dalam pemindahan
hak ataupun pemberian dan pengakuan hak baru, kegiatan pendaftaran tersebut memberikan
suatu kejelasan status terhadap tanah.

Tentang Pengertian Pendaftaran Tanah, pada Pasal 1 ayat 1 PP No 24 tahun 1997
memberikan definisi tentang Pendaftaran tanah sebagai berikut “serangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi
pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharan data fisik dan data
yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang–bidang tanah dan satuan–satuan rumah
susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang–bidang tanah yang sudah ada
haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak–hak tertentu yang
memberinya”. Dan kemudian dalam Pasal 13 ayat 1 PP No 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa
“Pendaftaran Tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui Pendaftaran Tanah secara
sistematis dan Pendaftaran Tanah secara sporadik”.

Dalam Pasal 2 PP No 24 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa “Pendaftaran Tanah


dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau, mutahkir dan terbuka”.

Asas sederhana dalam Pendaftaran Tanah adalah agar ketentuan-ketentuan pokoknya


maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan,
terutama kepada pemegang hak atas tanah.

Asas aman dalam Pendaftaran Tanah ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa
Pendaftaran Tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat
memberikan jaminan kepastian hukum sesuai dengan tujuan Pendaftaran Tanah itu sendiri.

Asas terjangkau dimaksud adalah keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan,


khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah.
Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan Pendaftaran Tanah harus bisa
dijangkau oleh pihak yang memerlukan, dan hal ini telah ditegaskan sebelumnya pada Pasal 19
Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yang mengatakan bahwa : “Dalam
Peraturan Pemerintah Diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan Pendaftaran termaksud
dalam ayat 1 diatas dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari
pembayaran biaya-biaya tersebut”.

Asas mutakhir dimaksud, yakni dalam hal kelengkapan yang memadai dalam
pelaksanaannya dan keseimbangan dalam pemeliharaan datanya. Untuk itu perlu diikuti
kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi dikemudian hari.

Asas mutakhir ini menurut dipeliharanya data Pendaftaran Tanah secara terus menerus dan
berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan
keadaan yang nyata di lapangan, untuk itu sangat dianjurkan agar dalam hal pelaksanaan
prosedur perolehan sertipikat hak atas tanah pada kegiatan pengumpulan data fisik dan data
yuridis memanfaatkan teknologi modern, sehingga proses pengumpulan data fisik dan data
yuridis dalam kegiatan Pendaftaran Tanah lebih efektif dan efisien untuk memberi pelayanan
perlindungan hukum terhadap pemegang sertifikat hak atas tanah.

Asas terbuka ini dimaksudkan agar setiap individu khususnya bagi pemegang sertifikat hak atas
tanah berhak mendapatkan informasi ataupun keterangan mengenai data fisik dan data yuridis
hak atas tanahnya setiap saat di Kantor Pertanahan sesuai dengan satuan wilayah obyek tanah
tersebut berada.

Sesuai dengan definisi Pendaftaran Tanah pada Pasal 1 ayat 1 PP No 24 Tahun 1997 tersebut,
maka menurut pendapat A.P. Parlindungan bahwa tugas dari Pendaftaran Tanah tersebut adalah
Pendaftaran yang berkesinambungan, dalam arti bahwa setiap data fisik dan data yuridis tetap
harus up to date dengan pencatatan setiap perubahan yang terjadi.

Perbedaan pendaftaran tanah untuk tanah pertanian dan non-pertanian tidak lagi di cantumkan
dalam PP No 24 Tahun 1997, masih mencampur-adukkan perbuatan hukum peralihan hak atas
tanah pertanian dan non-pertanian. Hal ini logis karena sistem pendaftaran tanah yang berlaku
adalah pendaftaran hak, hanya pendaftaran subyek dan obyek haknya, belum merupakan
pendaftaran tanah yang sebenarnya, belum mengkaitkannya dengan sistem pemanfaatan dan
pengusahaan ruang secara keseluruhan (pendaftaran tanah yang komprehensif).

Objek Pendaftaran tanah ini telah dituangkan secara eksplisit dalam PP No 24 Tahun 1997 Pada
Pasal 9, yang menyatakan bahwa :

Objek Pendaftaran Tanah meliputi :

1. bidang–bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan dan hak pakai.

2. tanah hak pengelolaan.

3. tanah wakaf.

4. hak milik atas satuan rumah susun.

5. hak tanggungan.

6. tanah Negara.
Pendaftaran Tanah diatur dalam Pasal 19 UUPA yang kemudian diatur dalam PP No 10
Tahun 1961 dan dirubah oleh PP No 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran Tanah yang merupakan
aturan pelaksana dari UUPA, bertujuan untuk memberikan kepastian hukum. Untuk lebih
memberikan kepastian hukum maka diadakan perubahan. Dalam perubahan tersebut ada hal-hal
yang tetap dipertahankan atau persamaan dan perbedaan atau disempurnakan.

Dalam perubahan tersebut memang bagus sebab ada penyempurnaan, akan tetapi tidak
sesempurna yang diharapkan karena seharusnya perubahan itu untuk pasal-pasal yang tidak
relevan perlu penyempurnaan dan jika ada belum diatur maka ditambah, yang terjadi adalah
pasal-pasal yang sudah sesuai dengan kebutuhan dan untuk memberi efek jerah malah tidak di
cantumkan lagi dan tidak ditambahkan dalam PP No 24 Tahun 1997, yaitu :

1. Dalam pelaksanaannya tidak terdapat sanksi yang konkrit dan hanya bersifat
administratif.
2. Kebijakan mengenai pendaftaran tanah sudah tidak sesuai dengan situasi yang sekarang.
3. Landreform sudah tidak seperti yang diharapkan.
4. Lemahnya komitmen di bidang politik pertanahan.
5. Data dan info masih sangat minim.

Untuk itu perlu adanya perubahan dan penyempurnaan lagi untuk lebih memberikan kepastian
hukum tapi tetap memperhatikan kebutuhan dalam masyarakat.

2. Yang dimaksud dengan " wajib mengerjakan secara aktif" dalam Pasal 10 UUPA

“Setiap orang dan badan hukum mempunyai sesuai hak atas tanah pertanian pada asasnya
diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara
pemerasan.”

Prinisip ini menegaskan bahwa siapapun yang mempunyai hak atas tanah untuk kepentingan
wajib mengerjakan atau mengusahakan sendiri tanah pertaniannya secara aktif dan dalam
mengerjakan atau mengusahakan tanah pertanian tersebut harus dicegah cara-cara yang bersifat
pemerasan.
Asas tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan sendiri secara aktif, mengandung
pengertian bahwa tanah pertanian tidak boleh diterlantarkan oleh pemiliknya. Yang dimaksud
dengan tanah diterlantarkan adalah tanah yang tidak digunakan atau diusahakan sesuai dengan
sifat, tujuan, dan keadaannya. Tanah yang diterlantarkan merupakan salah satu penyebab
hapusnya hak atas tanah dan berakibat hak atas tanah kembali menjadi tanah yang dikuasai
langsung oleh negaara atau tanah negara.

3. . Kewajiban umum Pemegang hak atas tanah menurut UUPA

Kewajiban umum dari pemegang hak atas tanah terkait dengan adanya fungsi sosial dari hak
atas tanah (perhatikan ketentuan Pasal 6 UUPA). Pemegang hak atas tanah juga memiliki
kewajiban untuk memelihara tanahnya (perhatikan Pasal 15 UUPA), yang apabila kewajiban ini
dilanggar dengan sengaja maka diancam pidana sebagaimana tercantum pada ketentuan Pasal 53
ayat (1) UUPA. Kewajiban lainnya dari pemegang hak atas tanah yaitu untuk mengerjakan atau
mengusahakan sendiri secara aktif tanah yang dimilikinya, namun kewajiban ini khusus
mengenai tanah pertanian. Selain itu, kewajiban-kewajiban yang bersifat khusus dicantumkan
dalam surat keputusan pemberian haknya atau dalam surat perjanjian, serta dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

4. Perbandingan dengan menyebutkan perbedaan fungsi sosial di Indonesia dengan fungsi sosial
di Amerika serikat.

Di Indonesia : bahwa fungsi sosial hak atas tanah dianggap inheren dalam hukum adat yang
berlaku.

Di AS : konsep ini lahir sebagai kontrol sosial terhadap kemutlakan dari pemilikan individu.

1. Perlindungan Hukum

 a. Indonesia

Latar belakang pemikiran yang digunakan dalam perumusan UUPA terutama konseptualisasi
Hak Menguasai Negara adalah penempatan Negara sebagai personifikasi rakyat secara
keseluruhan (integral). Pada paham Negara integralistik ini juga menempatkan manusia
Indonesia sebagai makhluk dwi tunggal dimana kepentingan sosial (kepentingan umum) lebih
diutamakan dari kepentingan individu, dengan anggapan bahwa kepentingan umum tersebut
telah dengan sendirinya mengandung kepentingan individu.

b. Amerika Serikat

Seperti telah diuraikan sebelumnya, di Amerika Serikat terdapat dua filosofi penafsiran
kepentingan umum. Pertama, penafsiran secara sempit, as a public use, meliputi penggunaan
oleh mayoritas/sebagian besar dari masyarakat umum yang tidak secara langsung berpartisipasi.
Dengan penafsiran yang demikian, bisa dikatakan pandangan tersebut sejak awal dipengaruhi
oleh utilitarianisme. Sedangkan penafsiran yang kedua lebih meluas, as a public benefit, yaitu
yang akan memberi keuntungan, bahkan bagi pribadi.

2.  Wewenang Perumusan “Kepentingan Umum”

a. Indonesia  

Sejak berlaku kembalinya Undang-Undang Dasar 1945, dan dengan demikian Undang-Undang
Dasar Sementara menjadi tidak berlaku, maka kewenangan Negara dalam pengambilalihan hak
atas tanah untuk kepentingan umum sekaligus perlindungan hukum bagi rakyat atas pemilikan
tanahnya tidak lagi diatur dalam Konstitusi. Hal ini karena adanya anggapan bahwa pengakuan
atas hak asasi manusia dalam Konstitusi terlalu liberal-individualis, sehingga tidak sesuai dengan
keIndonesiaan. Barulah dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), ketentuan tentang
kewenangan Negara dalam pengambilalihan hak atas tanah untuk kepentingan umum diatur
kembali. Dan dikenal pula konsep Hak Menguasai Negara yang menjadi asas pokok keagrariaan.
Dalam UUPA ini, pengambilalihan hak atas tanah untuk kepentingan umum secara eksplisit
hanya mengenal istilah pencabutan, yang kemudian didelegasikan pengaturannya berdasar
Undang-Undang. Sedangkan istilah penyerahan atau pelepasan hak atas tanah yang dilakukan
oleh pemiliknya (sebagai pelaku aktif ) pada dasarnya dikenal dalam hal hapusnya pemilikan
tersebut sehingga beralih menjadi tanah Negara.

b. Amerika Serikat  
Eminent domain dipahami sebagai kewenangan yang inheren dalam suatu kedaulatan
pemerintahan. Tetapi Amandemen V sebagai landasan konstitusional pengambilalihan hak atas
tanah untuk kepentingan umum tidak memberikan pembatasan yang jelas mengenai konsep
public use itu. Sehingga penafsiran terhadap konsep ini pada mulanya dianggap sebagai
wewenang diskresioner dari lembaga legislatif. Artinya, pembuat Undang-Undang mempunyai
kekuasaan yang mutlak untuk menentukan suatu kegiatan sebagai public use.

3. Kepentingan Umum

a. Di Indonesia ,kewenangan Negara dalam pengambilalihan hak atas tanah untuk kepentingan
umum diderivasikan dari Hak Menguasai Negara. Sedangkan  di Amerika Serikat yang
bersumber pada eminent domain, dimana Negara (pemegang kedaulatan) diyakini memiliki
kewenangan tersebut secara inheren.  Dan meskipun kedua prinsip ini dipercaya telah
menderivasikan (dan memberikan—di Amerika Serikat) kewenangan tersebut, tetapi secara
filosofis-historis kedua prinsip ini berbeda. Hak Menguasai Negara adalah prinsip yang justru
lahir untuk menghapus prinsip domein Negara yang menjadi landasan filosofis dari eminent
domain.

b. Penerapan eminent domain di Amerika Serikat yang menganut kapitalisme-liberalisme dimana


kebebasan dan persaingan usaha dijunjung tinggi, sejak semula telah memberi peluang sebesar-
besarnya kepada swasta atau perseorangan untuk memiliki tanah dan mengusahakannya.
Sedangkan secara historis, HMN lahir untuk menghapus asas domein negara yang telah
diterapkan kolonialis untuk memanfaatkan demi kepentingannya dan menjualnya kepada swasta
dan partikelir konsep fungsi sosial hak atas tanah yang juga menjadi legitimasi Negara dalam
pengambilalihan hak atas tanah untuk kepentingan umum ini.

4. Konsepsi Kepentingan Umum

a. Indonesia

Latar belakang pemikiran yang digunakan dalam perumusan UUPA terutama konseptualisasi
Hak Menguasai Negara adalah penempatan Negara sebagai personifikasi rakyat secara
keseluruhan (integral). Pada paham Negara integralistik ini juga menempatkan manusia
Indonesia sebagai makhluk dwi tunggal dimana kepentingan sosial (kepentingan umum) lebih
diutamakan dari kepentingan individu, dengan anggapan bahwa kepentingan umum tersebut
telah dengan sendirinya mengandung kepentingan individu.

b.  Amerika Serikat

Seperti telah diuraikan sebelumnya, di Amerika Serikat terdapat dua filosofi penafsiran
kepentingan umum. Pertama, penafsiran secara sempit, as a public use, meliputi penggunaan
oleh mayoritas/sebagian besar dari masyarakat umum yang tidak secara langsung berpartisipasi.
Dengan penafsiran yang demikian, bisa dikatakan pandangan tersebut sejak awal dipengaruhi
oleh utilitarianisme. Sedangkan penafsiran yang kedua lebih meluas, as a public benefit, yaitu
yang akan memberi keuntungan, bahkan bagi pribadi.

5. Perlindungan Hukum Preventif

a. Indonesia

Secara keseluruhan, peraturan perundang-undangan tentang pengambilalihan hak atas tanah


untuk kepentingan umum di Indonesia tidak memberikan perlindungan hukum yang bersifat
preventif dimana pemilik hak atas tanah dan pihak yang berkepentingan dapat mengajukan
kesempatan menyatakan keberatan atas substansi pengambilalihan hak atas tanah tersebut.
Kemungkinan pengajuan keberatan hanya diberikan atas besarnya ganti rugi, bukan pada
substansi pengambilalihan hak atas tanah itu sendiri yaitu “kepentingan umum”.

b. Amerika Serikat

Berbeda dengan di Indonesia, mekanisme yang ditentukan dalam pengambilalihan hak atas tanah
untuk kepentingan umum di Amerika Serikat—sebagaimana telah diuraikan di atas—
memberikan perlindungan hukum yang bersifat preventif kepada masyarakat yang akan
terkena taking tersebut. Perumusan kepentingan umum yang dilakukan oleh lembaga legislatif
menunjukkan adanya perlindungan hukum yang preventif bagi pemilik hak atas tanah.

Anda mungkin juga menyukai