Tugas Hukum Agraria 17 April
Tugas Hukum Agraria 17 April
1. Perbedaan pendaftaran tanah menurut Pasal 19 UUPA dengan pengertian Pendaftaran Tanah
menurut PP No 24 Tahun 1997.
Pasal 19 UUPA
1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh
wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-Pemberian surat-surat tanda bukti yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Kemudian sesuai dengan perintah Pasal 19 UUPA, perlu adanya Peraturan Pemerintah
yang mengatur tentang pendaftaran tanah ini. Atas dasar perintah itu, maka pemerintah
menerbitkan PP No 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah. Namun dalam kenyataannya
pelaksanaan pendaftaran tanah yang diselenggaran menurut ketentuan PP No 10 Tahun 1961,
tidak memuaskan, sehingga akhirnya pemerintah mengganti PP No 10 Tahun 1961 dengan PP
No 24 tahun 1997.
Tentang Pengertian Pendaftaran Tanah, pada Pasal 1 ayat 1 PP No 24 tahun 1997
memberikan definisi tentang Pendaftaran tanah sebagai berikut “serangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi
pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharan data fisik dan data
yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang–bidang tanah dan satuan–satuan rumah
susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang–bidang tanah yang sudah ada
haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak–hak tertentu yang
memberinya”. Dan kemudian dalam Pasal 13 ayat 1 PP No 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa
“Pendaftaran Tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui Pendaftaran Tanah secara
sistematis dan Pendaftaran Tanah secara sporadik”.
Asas aman dalam Pendaftaran Tanah ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa
Pendaftaran Tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat
memberikan jaminan kepastian hukum sesuai dengan tujuan Pendaftaran Tanah itu sendiri.
Asas mutakhir dimaksud, yakni dalam hal kelengkapan yang memadai dalam
pelaksanaannya dan keseimbangan dalam pemeliharaan datanya. Untuk itu perlu diikuti
kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi dikemudian hari.
Asas mutakhir ini menurut dipeliharanya data Pendaftaran Tanah secara terus menerus dan
berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan
keadaan yang nyata di lapangan, untuk itu sangat dianjurkan agar dalam hal pelaksanaan
prosedur perolehan sertipikat hak atas tanah pada kegiatan pengumpulan data fisik dan data
yuridis memanfaatkan teknologi modern, sehingga proses pengumpulan data fisik dan data
yuridis dalam kegiatan Pendaftaran Tanah lebih efektif dan efisien untuk memberi pelayanan
perlindungan hukum terhadap pemegang sertifikat hak atas tanah.
Asas terbuka ini dimaksudkan agar setiap individu khususnya bagi pemegang sertifikat hak atas
tanah berhak mendapatkan informasi ataupun keterangan mengenai data fisik dan data yuridis
hak atas tanahnya setiap saat di Kantor Pertanahan sesuai dengan satuan wilayah obyek tanah
tersebut berada.
Sesuai dengan definisi Pendaftaran Tanah pada Pasal 1 ayat 1 PP No 24 Tahun 1997 tersebut,
maka menurut pendapat A.P. Parlindungan bahwa tugas dari Pendaftaran Tanah tersebut adalah
Pendaftaran yang berkesinambungan, dalam arti bahwa setiap data fisik dan data yuridis tetap
harus up to date dengan pencatatan setiap perubahan yang terjadi.
Perbedaan pendaftaran tanah untuk tanah pertanian dan non-pertanian tidak lagi di cantumkan
dalam PP No 24 Tahun 1997, masih mencampur-adukkan perbuatan hukum peralihan hak atas
tanah pertanian dan non-pertanian. Hal ini logis karena sistem pendaftaran tanah yang berlaku
adalah pendaftaran hak, hanya pendaftaran subyek dan obyek haknya, belum merupakan
pendaftaran tanah yang sebenarnya, belum mengkaitkannya dengan sistem pemanfaatan dan
pengusahaan ruang secara keseluruhan (pendaftaran tanah yang komprehensif).
Objek Pendaftaran tanah ini telah dituangkan secara eksplisit dalam PP No 24 Tahun 1997 Pada
Pasal 9, yang menyatakan bahwa :
1. bidang–bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan dan hak pakai.
3. tanah wakaf.
5. hak tanggungan.
6. tanah Negara.
Pendaftaran Tanah diatur dalam Pasal 19 UUPA yang kemudian diatur dalam PP No 10
Tahun 1961 dan dirubah oleh PP No 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran Tanah yang merupakan
aturan pelaksana dari UUPA, bertujuan untuk memberikan kepastian hukum. Untuk lebih
memberikan kepastian hukum maka diadakan perubahan. Dalam perubahan tersebut ada hal-hal
yang tetap dipertahankan atau persamaan dan perbedaan atau disempurnakan.
Dalam perubahan tersebut memang bagus sebab ada penyempurnaan, akan tetapi tidak
sesempurna yang diharapkan karena seharusnya perubahan itu untuk pasal-pasal yang tidak
relevan perlu penyempurnaan dan jika ada belum diatur maka ditambah, yang terjadi adalah
pasal-pasal yang sudah sesuai dengan kebutuhan dan untuk memberi efek jerah malah tidak di
cantumkan lagi dan tidak ditambahkan dalam PP No 24 Tahun 1997, yaitu :
1. Dalam pelaksanaannya tidak terdapat sanksi yang konkrit dan hanya bersifat
administratif.
2. Kebijakan mengenai pendaftaran tanah sudah tidak sesuai dengan situasi yang sekarang.
3. Landreform sudah tidak seperti yang diharapkan.
4. Lemahnya komitmen di bidang politik pertanahan.
5. Data dan info masih sangat minim.
Untuk itu perlu adanya perubahan dan penyempurnaan lagi untuk lebih memberikan kepastian
hukum tapi tetap memperhatikan kebutuhan dalam masyarakat.
2. Yang dimaksud dengan " wajib mengerjakan secara aktif" dalam Pasal 10 UUPA
“Setiap orang dan badan hukum mempunyai sesuai hak atas tanah pertanian pada asasnya
diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara
pemerasan.”
Prinisip ini menegaskan bahwa siapapun yang mempunyai hak atas tanah untuk kepentingan
wajib mengerjakan atau mengusahakan sendiri tanah pertaniannya secara aktif dan dalam
mengerjakan atau mengusahakan tanah pertanian tersebut harus dicegah cara-cara yang bersifat
pemerasan.
Asas tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan sendiri secara aktif, mengandung
pengertian bahwa tanah pertanian tidak boleh diterlantarkan oleh pemiliknya. Yang dimaksud
dengan tanah diterlantarkan adalah tanah yang tidak digunakan atau diusahakan sesuai dengan
sifat, tujuan, dan keadaannya. Tanah yang diterlantarkan merupakan salah satu penyebab
hapusnya hak atas tanah dan berakibat hak atas tanah kembali menjadi tanah yang dikuasai
langsung oleh negaara atau tanah negara.
Kewajiban umum dari pemegang hak atas tanah terkait dengan adanya fungsi sosial dari hak
atas tanah (perhatikan ketentuan Pasal 6 UUPA). Pemegang hak atas tanah juga memiliki
kewajiban untuk memelihara tanahnya (perhatikan Pasal 15 UUPA), yang apabila kewajiban ini
dilanggar dengan sengaja maka diancam pidana sebagaimana tercantum pada ketentuan Pasal 53
ayat (1) UUPA. Kewajiban lainnya dari pemegang hak atas tanah yaitu untuk mengerjakan atau
mengusahakan sendiri secara aktif tanah yang dimilikinya, namun kewajiban ini khusus
mengenai tanah pertanian. Selain itu, kewajiban-kewajiban yang bersifat khusus dicantumkan
dalam surat keputusan pemberian haknya atau dalam surat perjanjian, serta dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
4. Perbandingan dengan menyebutkan perbedaan fungsi sosial di Indonesia dengan fungsi sosial
di Amerika serikat.
Di Indonesia : bahwa fungsi sosial hak atas tanah dianggap inheren dalam hukum adat yang
berlaku.
Di AS : konsep ini lahir sebagai kontrol sosial terhadap kemutlakan dari pemilikan individu.
1. Perlindungan Hukum
a. Indonesia
Latar belakang pemikiran yang digunakan dalam perumusan UUPA terutama konseptualisasi
Hak Menguasai Negara adalah penempatan Negara sebagai personifikasi rakyat secara
keseluruhan (integral). Pada paham Negara integralistik ini juga menempatkan manusia
Indonesia sebagai makhluk dwi tunggal dimana kepentingan sosial (kepentingan umum) lebih
diutamakan dari kepentingan individu, dengan anggapan bahwa kepentingan umum tersebut
telah dengan sendirinya mengandung kepentingan individu.
b. Amerika Serikat
Seperti telah diuraikan sebelumnya, di Amerika Serikat terdapat dua filosofi penafsiran
kepentingan umum. Pertama, penafsiran secara sempit, as a public use, meliputi penggunaan
oleh mayoritas/sebagian besar dari masyarakat umum yang tidak secara langsung berpartisipasi.
Dengan penafsiran yang demikian, bisa dikatakan pandangan tersebut sejak awal dipengaruhi
oleh utilitarianisme. Sedangkan penafsiran yang kedua lebih meluas, as a public benefit, yaitu
yang akan memberi keuntungan, bahkan bagi pribadi.
a. Indonesia
Sejak berlaku kembalinya Undang-Undang Dasar 1945, dan dengan demikian Undang-Undang
Dasar Sementara menjadi tidak berlaku, maka kewenangan Negara dalam pengambilalihan hak
atas tanah untuk kepentingan umum sekaligus perlindungan hukum bagi rakyat atas pemilikan
tanahnya tidak lagi diatur dalam Konstitusi. Hal ini karena adanya anggapan bahwa pengakuan
atas hak asasi manusia dalam Konstitusi terlalu liberal-individualis, sehingga tidak sesuai dengan
keIndonesiaan. Barulah dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), ketentuan tentang
kewenangan Negara dalam pengambilalihan hak atas tanah untuk kepentingan umum diatur
kembali. Dan dikenal pula konsep Hak Menguasai Negara yang menjadi asas pokok keagrariaan.
Dalam UUPA ini, pengambilalihan hak atas tanah untuk kepentingan umum secara eksplisit
hanya mengenal istilah pencabutan, yang kemudian didelegasikan pengaturannya berdasar
Undang-Undang. Sedangkan istilah penyerahan atau pelepasan hak atas tanah yang dilakukan
oleh pemiliknya (sebagai pelaku aktif ) pada dasarnya dikenal dalam hal hapusnya pemilikan
tersebut sehingga beralih menjadi tanah Negara.
b. Amerika Serikat
Eminent domain dipahami sebagai kewenangan yang inheren dalam suatu kedaulatan
pemerintahan. Tetapi Amandemen V sebagai landasan konstitusional pengambilalihan hak atas
tanah untuk kepentingan umum tidak memberikan pembatasan yang jelas mengenai konsep
public use itu. Sehingga penafsiran terhadap konsep ini pada mulanya dianggap sebagai
wewenang diskresioner dari lembaga legislatif. Artinya, pembuat Undang-Undang mempunyai
kekuasaan yang mutlak untuk menentukan suatu kegiatan sebagai public use.
3. Kepentingan Umum
a. Di Indonesia ,kewenangan Negara dalam pengambilalihan hak atas tanah untuk kepentingan
umum diderivasikan dari Hak Menguasai Negara. Sedangkan di Amerika Serikat yang
bersumber pada eminent domain, dimana Negara (pemegang kedaulatan) diyakini memiliki
kewenangan tersebut secara inheren. Dan meskipun kedua prinsip ini dipercaya telah
menderivasikan (dan memberikan—di Amerika Serikat) kewenangan tersebut, tetapi secara
filosofis-historis kedua prinsip ini berbeda. Hak Menguasai Negara adalah prinsip yang justru
lahir untuk menghapus prinsip domein Negara yang menjadi landasan filosofis dari eminent
domain.
a. Indonesia
Latar belakang pemikiran yang digunakan dalam perumusan UUPA terutama konseptualisasi
Hak Menguasai Negara adalah penempatan Negara sebagai personifikasi rakyat secara
keseluruhan (integral). Pada paham Negara integralistik ini juga menempatkan manusia
Indonesia sebagai makhluk dwi tunggal dimana kepentingan sosial (kepentingan umum) lebih
diutamakan dari kepentingan individu, dengan anggapan bahwa kepentingan umum tersebut
telah dengan sendirinya mengandung kepentingan individu.
b. Amerika Serikat
Seperti telah diuraikan sebelumnya, di Amerika Serikat terdapat dua filosofi penafsiran
kepentingan umum. Pertama, penafsiran secara sempit, as a public use, meliputi penggunaan
oleh mayoritas/sebagian besar dari masyarakat umum yang tidak secara langsung berpartisipasi.
Dengan penafsiran yang demikian, bisa dikatakan pandangan tersebut sejak awal dipengaruhi
oleh utilitarianisme. Sedangkan penafsiran yang kedua lebih meluas, as a public benefit, yaitu
yang akan memberi keuntungan, bahkan bagi pribadi.
a. Indonesia
b. Amerika Serikat
Berbeda dengan di Indonesia, mekanisme yang ditentukan dalam pengambilalihan hak atas tanah
untuk kepentingan umum di Amerika Serikat—sebagaimana telah diuraikan di atas—
memberikan perlindungan hukum yang bersifat preventif kepada masyarakat yang akan
terkena taking tersebut. Perumusan kepentingan umum yang dilakukan oleh lembaga legislatif
menunjukkan adanya perlindungan hukum yang preventif bagi pemilik hak atas tanah.