1
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, h. 45-54.
2
J.G. Starke, 1995, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, h. 20.
3
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R Agoes, op.cit.
4
Rosalyn Higgins, 2000, Problem and Progress: International Law and How We Use It, Clarendon Press
Oxford, New York, h.8
1
Menurutnya hukum internasional itu bukanlah hukum yang sebenarnya
melainkan hanya moralitas internasional positif (positive international morality)
yang dapat disamakan dengan kaidah-kaidah yang mengikat suatu kelompok atau
masyarakat.5 Pendapat Austin tersebut terbantahkan oleh dua hal6:
➢ Pertama, tidak adanya badan pembuat atau pembentuk hukum bukanlah
berarti tidak ada hukum. Contoh: hukum adat;
➢ Kedua, harus dibedakan antara persoalan ada-tidaknya hukum dan ciri-ciri
efektifnya hukum. Tidak adanya lembaga-lembaga yang diasosiasikan dengan
hukum dalam tubuh hukum internasional (eksekutif, legislatif, kehakiman,
kepolisian, dsb) adalah ciri-ciri atau pertanda bahwa hukum internasional
belum efektif tetapi bukan berarti bahwa hukum internasional itu tidak ada.
Dalam hubungan ini telah timbul beberapa teori atau ajaran yang mencoba
memberikan landasan pemikiran tentang mengikatnya hukum internasional, yaitu
Mazhab atau Ajaran Hukum Alam; Mazhab atau Ajaran Hukum Positif; dan Mazhab
Perancis.8
a. Mahzab/Aliran Hukum Alam
Menurut Mazhab Hukum Alam, hukum internasional mengikat karena ia
adalah bagian dari “hukum alam” yang diterapkan dalam kehidupan bangsa-
bangsa. Negara-negara tunduk atau terikat kepada hukum internasional
dalam hubungan antar mereka karena hukum internasional itu merupakan
bagian dari hukum yang lebih tinggi, yaitu “hukum alam”. Tokoh-tokoh dari
mazhab ini, antara lain, Hugo Grotius (Hugo de Groot), Emmeric Vattel, dll.
5
J.G. Starke, op.cit.
6
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R Agoes, op.cit.
7
J.G. Starke, op cit h. 21.
8
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R Agoes, loc.cit. Lihat juga J.G. Starke, op.cit., h. 24.
2
Dalam hal ini, dengan menjelaskan bahwa konsep hidup bermasyarakat
internasional merupakan keharusan yang diperintahkan oleh akal budi (rasio)
manusia, mazhab hukum alam sesungguhnya telah meletakkan dasar
rasionalitas bagi pentingnya hidup berdampingan secara tertib dan damai
antar bangsa-bangsa di dunia ini walaupun mereka memiliki asal-usul
keturunan, pandangan hidup, dan nilai-nilai yang berbeda-beda.
“that ‘natural’ obligations of justice became not those of divine law but
essentially what is necessary for subsistence and self-preservation. Others
have focused on consent as the key to the binding nature of international
law. Norms are binding because state consent that they should be.” 9
(Terjemahan bebas: Kewajiban alami dari keadilan bukanlah hukum
Tuhan tetapi yang penting untuk penghidupan dan pemeliharaan diri
sendiri. Yang lainnya difokuskan pada persetujuan sebagai kunci daya
ikat hukum internasional. Norma-norma mengikat karena persetujuan
Negara memang
seharusnya begitu).
Bagi mazhab ini, hukum internasional itu bukanlah sesuatu yang lebih
tinggi dari kemauan negara (hukum nasional) tetapi merupakan bagian
dari hukum nasional (c.q. hukum tata negara) yang mengatur hubungan
luar suatu negara (auszeres Staatsrecht). Para pemuka mazhab ini,
antara lain, George Jellinek, Zorn, dll.
9
Rosalyn Higgins, op.cit., h. 14.
3
Kritik dan sekaligus kelemahan dari ajaran ini adalah bahwa ajaran ini
tidak mampu menjelaskan bagaimana jika negara-negara itu secara
sepihak menyatakan tidak mau lagi terikat kepada hukum internasional,
apakah dengan demikian hukum internasional tersebut tidak lagi
mengikat?
Ajaran ini juga tidak mampu menjelaskan negara-negara yang baru lahir
sudah langsung terikat oleh hukum internasional terlepas dari mereka
setuju atau tidak?
4
Mazhab/Teori Kehendak Negara) mazhab ini pun sesungguhnya
hanya menganggap hukum internasional itu hanya sebagai hukum
perjanjian antar negara-negara. Pendapat ini, sebagaimana telah
disinggung di atas, telah terbukti sebagai pendapat yang tidak
benar. Sebab hukum internasional bukan semata-mata lahir dari
perjanjian internasional.
3) Mahzab Wina
Kelemahan-kelemahan yang melekat pada mazhab-mazhab yang
meletakkan dasar kekuatan mengikat hukum internasional pada
kehendak negara (yang kerap juga disebut sebagai aliran voluntaris)
melahirkan pemikiran baru yang tidak lagi meletakkan dasar mengikat
hukum internasional itu pada kehendak negara melainkan pada adanya
norma atau kaidah hukum yang telah ada terlebih dahulu yang terlepas
dari kehendak atau tidak oleh negara-negara (aliran pemikiran ini kerap
disebut sebagai aliran objektivist). Tokoh terkenal dari aliran ini adalah
Hans Kelsen yang mazhabnya dikenal dengan sebutan Mazhab Wina
(Vienna School of Thought).
Kelemahan dari mazhab atau teori ini adalah bahwa memang sepintas
tampak bahwa konstruksi pemikiran mazhab ini tampak logis dalam
menerangkan dasar mengikatnya hukum internasional. Di sisi lain,
mazhab ini tidak dapat menerangkan mengapa kaidah dasar
(grundnorm) itu sendiri mengikat? Lagipula, dengan mengatakan bahwa
kaidah dasar itu sebagai hipotesa, yang merupakan sesuatu yang belum
pasti, maka berarti pada akhirnya dasar mengikatnya hukum
internasional digantungkan pada sesuatu yang tidak pasti. Dengan
demikian, seluruh konstruksi pemikiran yang mulanya tampak logis itu
pada akhirnya menjadi sesuatu yang menggantung di awang-awang.
5
berarti persoalan tentang dasar mengikatnya hukum internasional
akhirnya dikembalikan lagi kepada nilai-nilai kehidupan manusia di luar
hukum yaitu rasa keadilan dan moral – yang berarti sama saja dengan
mengembalikan dasar mengikatnya hukum internasional itu kepada
hukum alam.
4) Mahzab Prancis
Suatu mazhab yang mencoba menjelaskan dasar mengikatnya hukum
internasional dengan konstruksi pemikiran yang sama sekali berbeda
dengan kedua mazhab sebelumnya (Mazhab Hukum Alam dan Mazhab
Hukum Positif) muncul di Perancis. Karena itu, Mazhab ini dikenal
sebagai Mazhab Perancis. Pelopornya, antara lain, Leon Duguit, Fauchile,
dan Schelle.
10
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, op.cit., h. 56.
11
Ian Brownlie, 1998, Principles of Public Interntional Law 5th Edition, Clarendon Press, Oxford, h. 31.
6
besar sistem hukum domestik, namun demikian menurut Starke hal ini
membingungkan dan tidak tepat.12
12
J.G. Starke, op.cit., h. 96.
13
Ibid
14
Ibid
7
➢ Ketiga dilihat dari struktur keduanya, perkembangan hukum nasional memang jauh
lebih tinggi daripada hukum internasional, sehingga wajar saja jika hukum nasional
memiliki bentuk organ yang lebih sempurna daripada hukum internasional.15
➢ Keempat dilihat dari efektifitasnya, justru adalah sebaliknya pada kenyataannya
seringkali hukum nasional tunduk pada hukum internasional. Pertentangan antara
keduanya memang benar adanya namun hal tersebut bukanlah bukti adanya
perbedaan secara struktural tetapi hanyalah kekurangefektifan hukum
internasional.16
15
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, op.cit., h. 56-57
16
Ibid
17
J.G. Starke, op.cit., h. 99-100 dan Mochtar Kusumaatmadja, op.cit., h. 60-64.
8
Kedua paham dualisme dan monisme ternyata tidak mampu menjelaskan hubungan
hukum internasional dan hukum nasional.
2. Praktek Negara-Negara
a. Inggris dan Amerika
Dikenal doktrin inkorporasi18, artinya hukum internasional adalah hukum
negara (international law is the law of the land). Doktrin ini pertama kali
dikemukakan oleh Blackstone (abad 18). Daya berlaku doktrin ini dibedakan
untuk dua hal: hukum kebiasaan internasional dan hukum internasional yang
tertulis.19
18
J.G. Starke, op.cit., h. 103-113 dan Mochtar Kusumaatmadja, op.cit., h. 81-94.
19
Ian Brownlie, op.cit., h. 42-47.
20
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, op.cit., h. 81-82
21
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, op.cit., h. 82-83
9
1) Perjanjian yang memerlukan diadakannya perubahan perundang-
undangan nasional.
2) Perjanjian yang menyebabkan perubahan status atau garis batas wilayah
negara.
3) Pejanjian yang mempengaruhi hak sipil warga negara Inggris.
4) Pejanjian yang akan menambah beban keuangan negara.
b. Negara-Negara Lain
Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Jerman dan UUD Perancis disebutkan
bahwa ketentuan-ketentuan hukum internasional merupakan bagian dari
hukum nasional Jerman. Ketentuan hukum internasional tersebut
kedudukannya lebih tinggi daripada undang-undang nasional dan langsung
menimbulkan hak dan kewajiban bagi penduduk wilayah federasi Jerman. 25
22
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, op.cit., h. 85-87
23
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, loc.cit.
24
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, loc.cit.
25
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, loc.cit.
10
hukum nasional.26
c. Indonesia
Walaupun dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 tidak termuat ketentuan sebagaimana dalam UUD Jerman dan Perancis,
namun hal ini tidak dapat dijadikan dasar bahwa Indonesia tidak mengakui
keberlakukan hukum internasional, yang menjadi pertanyaan adalah:
Indonesia menganut paham yang mana, monisme ataukah dualisme? Untuk
menjawab hal ini maka kita mesti menelusurinya melalui peraturan
perundang-undangan di bawah UUD NRI 1945. Peraturan perundangan yang
dimaksud adalah Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional (selanjutnya disebut UU Perjanjian Internasional). Mengenai hal
ini dapat kita lihat dalam konsideran menimbang UU Perjanjian Internasional:
“bahwa ketentuan mengenai pembuatan dan pengesahan perjanjian
internasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945
sangat ringkas, sehingga perlu dijabarkan lebih lanjut dalam suatu
peraturan perundang-undangan.”
26
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, loc.cit.
11
Berdasarkan ketiga pasal tersebut tampak bahwa Indonesia menghendaki
adanya proses transformasi bagi hukum internasional (dalam hal ini
perjanjian internasional) untuk dapat menjadi hukum nasional.
III. PENUTUP
Tertib hukum internasional berbeda dibandingkan dengan tertib hukum nasional,
tertib hukum internasional bersifat koordinatif sedangkan tertib hukum nasional bersifat
subordinatif. Tertib hukum koordinatif mengakui bahwa masing-masing negara adalah
merdeka dan berdaulat. Oleh karena itu dalam kenyataannya, di dalam hukum
internasional tidak terdapat kekuasaan yang dapat diasosiasikan dengan hukum dan
pelaksanaannya.
12
Daftar Pustaka (Bahan Bacaan)
Brownlie, Ian, 1998, Principles of Public Interntional Law 5th Edition, Clarendon Press, Oxford.
Higgins, Rosalyn, 2000, Problem and Progress : International Law and How We Use It,
Clarendon Press Oxford, New York.
Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional,Alumni,
Bandung.
Starke, J.G. Starke, 1995, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika,
Jakarta.
13