Anda di halaman 1dari 14

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Tauhid
Tauhid menurut bahasa adalah meng-Esakan. Sedangkan menurut syariat
adalah meyakini keesaan Allah. Tauhid berarti melakukan proses kontinyu
(istiqomah) untuk selanjutnya mengerucut satu titik tunggal sebagai pusat atau
dilakukan harus berada pada garis edar dan bertumpu pada satu titik keagungan
yang mahaEsa yang menggerakan.1 Tauhid merupakan proses seseorang untuk
melakukan penyatuan gerak dinamis dan kreatifannya dengan kreatifitas tuhan
yang maha agung. Yang membicarakan tentang akidah atau kepercayaan kepada
Allah dengan didasarkan pada dalil-dalil yang benar. Tidak ada yang
menyamainya dan tak ada padanan bagi-Nya. Mustahil ada yang mampu
menyamai-Nya. Dalilnya dari firman-firman Allah, di samping dalil-dalil
aqliyah :

“Dia adalah Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis
kamu sendiri pasangan-pasangan, dan dari jenis binatang ternak pasangan-
pasangan pula, dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak
ada sesuatu yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi
Maha Melihat”. (QS 42:11)

Tauhid adalah suatu ilmu yang membahas tentang “ Wujud Allah ” tentang
sifat-sifat yang wajib tetap pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya
dan tentang sifat-sifat yang sama sekali wajib dileyapkan dari pada-Nya ; juga
membahas tentang Rasul-Rasul Allah, menyakinkan kerasulan mereka, 2
menyakinkan apa yang wajib ada pada diri mereka, apa yang boleh dihubungkan
(nisbah) kepada diri mereka dan apa yang terlarang menghubungkannya kepada
diri mereka.

1
Moh. Roqib, Dakwah Islam : Antara Harmonisasi Dan Dinamisasi,(Purwokerto: Jurnal
Komunikasi , 2007), hal. 65
2
Syeh Muhammad Abduh, Risalah Tauhid,(Surabaya : Bulan BIntang, 1995), hal. 22

1
Asal makna “tauhid” ialah menyakinkan (mengi’tikadkan), bahwa Allah adalah
“satu”, tidak ada syariatnya bagi-Nya. Sebabnya dinamakan “ilmu tauhid”, ialah
karena bagiannya yang terpenting, menetapkan sifat “wahdah” (satu) bagi Allah
dalam dzat-Nya dan dalam perbuatan-Nya menciptkan alam seluruhnya dan
bahwa Allah sendiri-Nya pula tempat kembali segala alam ini dan penghabisan
segala tujuan.3 Keyakinan (tauhid) inilah yang menjadi tujuan paling besar bagi
kebangkitkan Nabi saw seperti ditegaskan oleh ayat-ayat kitb suci, yang akan
diterangkan kemudian.
Seluruh alam semesta ini diciptakan oleh Allah, dan tidak ada pelaku yang
bertindak sendiri dan merdeka sepenuhnya selain Allah. Di bawah ini akan
dibahas macam-macam tauhid, diantaranya Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah,
dan Tauhid Asma’ Wa Sifat :

A. Tauhid Rububiyah

Tauhid Rububiyah yaitu mengesakan Allah dalam segala perbuatan-Nya,


dengan meyakini bahwa Dia sendiri yang menciptakan segenap makhluk-Nya.
Dan alam semesta ini diatur oleh Mudabbir (Pengelola), Pengendali Tunggal,
Tak disekutui oleh siapa dan apapun dalam pengelolaan-Nya. Allah
menciptakan semua makhluk-Nya di atas fitrah pengakuan terhadap
rububiyah-Nya. Bahkan orang-orang musrik yang menyekutukan Allah dalam
ibadahnya juga mengakui keesaan rububiyah-Nya. Jadi jenis tauhid ini diakui
semua orang. Bahkan hati manusia sudah difitrahkan untuk mengakui-Nya,
melebihi fitrah pengakuan terhadap yang lainnya. Adapun orang yang paling

3
“Tauhid Ibadat” ialah menyembah Allah sendiri-Nya saja, tidak boleh menyembah yang
lain-Nya, baik dengan cara berdo’a atau dengan cara-cara lain, seperti yang dilakukan oleh
kaum musyrik menyembah manusia, berhala dan lain-lainya, seperti nazar dan korban yang
dikorbankan atas nama-nama dan disamping berhala-berhala itu. Dan tauhid ibadat ini,
adalah ajaran pertama yang mula-mula diajarkan (diserukan) oleh setiap Rasul kepada
kaumnya dengan seruannya : “Sembahlah olehmu akan Allah, tidak ada Tuhan bagimu selain
dari pada-Nya!”

2
dikenal pengingkarannya adalah Fir’aun. Namun demikian di hatinya masih
tetap meyakini-Nya.
Alam semesta dan fitrahnya tunduk dan patuh kepada Allah.
Sesungguhnya alam semesta ini (langit, bumu, planet, bintang, hewan,
pepohonan, daratan, lautan, malaikat, serta manusia) seluruhnya tunduk dan
patuh akan kekuasaan Allah. Tidak satupun makhluk yang mengingkari-Nya.
Semua menjalankan tugas dan perannya masing-masing, serta berjalan
menurut aturan yang sangat sempurna. Penciptanya sama sekali tidak
mempunyai sifat kurang, lemah, dan cacat. Tidak satupun dari makhluk ini
yang keluar dari kehendak, takdir, dan qadha’-Nya. Tidak ada daya dan upaya
kecuali atas izin Allah. Dia adalah Pencipta dan Penguasa alam, semua adalah
milik-Nya. Semua adalah ciptaan-Nya, diatur, diciptakan, diberi fitrah,
membutuhkan, dan dikendalikan-Nya. Allah Ta’ala berfirman :
“Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam” (Q.S. Al-Fatihah : 1)
Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Engkau adalah Rabb di
langit dan di bumi” (Mutafaqqun ‘Alaih).
Diantara pengertian yang lain: menyakini bahwa Allah adalah satu-
satunya sang pencipta, pemberi rezeki, penguasa segala sesuatu, tidak ada
sekutu bagi-Nya. Pengertian ini mencakup perkara berikut: Iman tentang
adanya Allah swt, Menetapkan bahwa Allah swt sang pencipta segala sesuatu,
pemiliknya, pemberi rezkinya. Dan bahwa Dia yang menghidupkan,
mematikan, pemberi manfaat, mahdhorot, satu-satunya pengabul do'a. bagi-
Nya segala urusan, ditangan-Nya segala kebaikan, Yang maha mampu atas
kehendaknya, pembuat takdir dan perubah serta pengurus bagi segala urusan,
tidak sekutu bagi-Nya dalam semua hal.

‫يَا أَيُّهَا النَّاسُ ا ْعبُ ُدوْ ا َربَّ ُك ُم الَّ ِذيْ خَ لَقَ ُك ْم َو الَّ ِذ ْينَ ِمن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُوْ ن‬

Wahai manusia !Sembahlah olehmu akan Tuhanmu yang telah

3
menciptakankamu dan orang-orang yang sebelum kamu, supaya kamu ter-
pelihara. (Q.S Al-Baqarah: 21).
Tauhid Rububiyah mengharuskan adanya Tauhid Uluhiyah. Hal ini
berarti siapa yang mengakui tauhid rububiyah untuk Allah, dengan
mengimani tidak ada pencipta, pemberi rizki, dan pengatur alam kecuali
Allah, maka ia harus mengakui bahwa tidak ada yang berhak menerima
ibadah dengan segala macamnya kecuali Allah swt. Dan itulah yang disebut
Tauhid Uluhiyah. Jadi tauhid rububiyah adalah bukti wajibnya tauhid
uluhiyah. Jalan fitri untuk menetapkan tauhid uluhiyah adalah berdasarkan
tauhid rububiyah. Maka tauhid rububiyah adalah pintu gerbang dari tauhid
uluhiyah.

B. TAUHID ULUHIYAH

Tauhid Uluhiyah ialah mengimani bahwa Allah swt lah yang berhak untuk
disembah, tidak ada sekutu bagiNya dalam hal tersebut. Inilah makna, tidak
ada yang berhak disembah dengan haq kecuali Allah swt. Maka, segala bentuk
ibadah seperti sholat, puasa dan yang lainnya, wajib dilaksanakan hanya untuk
Allah swt. Tidak boleh ada satu bentuk ibadah pun yang ditujukan kepada
selain Allah swt. Tauhid Uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan
perbuatan para hamba berdasarkan niat taqarrub yang disyariatkan seperti doa,
nadzar, kurban, raja’ (pengharapan), takut, tawakal, raghbah (senang), rahbah
(takut), dan inabah (kembali atau taubat). Dan jenis tauhid ini adalah inti
dakwah para rasul. Disebut demikian, karena tauhid uluhiyah adalah sifat
Allah yang ditunjukkan oleh nama-Nya, “Allah” yang artinya dzul uluhiyah
(yang memiliki uluhiyah), dan juga karena tauhid uluhiyah merupakan
pondasi dan asas tempat dibangunnya seluruh amal. Juga disebut sebagai
tauhid ibadah karena ubudiyah adalah sifat ‘abd (makhluknya) yang wajib
menyembah Allah secara ikhlas, karena ketergantungan mereka kepada-Nya.

Mentauhidkan Allah dalam perbuatan-perbuatan yang dilakukan hamba


Yaitu mengikhlaskan ibadah kepada Allah, yang mencakup berbagai macam

4
ibadah seperti : tawakal, nadzar, takut, khosyah, pengharapan, dll. Tauhid
inilah yang membedakan umat Islam dengan kaum musyrikin. Jadi seseorang
belum cukup untuk mentauhidkan Allah dalam perbuatan-Nya (Tauhid
Rububiyah) tanpa menyertainya dengan mengikhlaskan semua ibadah hanya
kepada-Nya (Tauhid Uluhiyah). Karena orang musyrikin dulu juga meyakini
bahwa Allah yang mencipta dan mengatur, tetapi hal tersebut belum cukup
memasukkan mereka ke dalam Islam.Allah berfirman :

َّ ‫ َوأَقِ ِم ال‬j‫إِنَّنِي أَنَا هَّللا ُ اَل إِلَهَ إِاَّل أَنَا فَا ْعبُ ْدنِي‬
‫صاَل ةَ لِ ِذ ْك ِري‬

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada sesembahan yang berhak
disembah selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk
mengingat Aku”. (QS. Thahaa [20] : 14).

Hal itu adalah karena Allah adalah Dzat Yang Maha Esa dan Agung.
Maka jika ditinjau dari shifat yang akan dijelaskan setelah dhamir yaitu sifat
wahdaniyah (Keesaan) maka Allah menggunakan dhamir tunggal. Kemudian
apa makna inzaal pada firman Allah (ُ‫ )أَ ْن َز ْلنَاه‬di malam Lailatul Qadr? sebagian
ulama mengatakan yang dimaksud bahwa Allah Subhana wa Ta’ala
menurunkan Al Qur’an secara keseluruhan pada satu kesempatan di malam
Lailatul Qadr dari Al Lauhul Mahfudz ke Baitul Izzah (di Langit Dunia).
Kemudian Allah Subhana wa Ta’ala menurunkannya secara berangsur-angsur
ke pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sesuai dengan kejadian selama 23
tahun1. Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud Inzaal pada firman
Allah (ُ‫ )أَ ْنزَ ْلنَاه‬bahwa Allah Subhana wa Ta’ala menurunkan ayat Al Qur’an
yang pertama (Allah Subhana wa Ta’ala mulai menurunkan Al Qur’an) pada
malam Lailatul Qadr di Bulan Ramadhan2. Firman Allah Subhana wa Ta’ala (
‫“ )فِي لَ ْيلَ ِة ْالقَ ْد ِر‬pada Lailatul Qadr”. Sebagian ulama berpendapat bahwa makna (
ْ adalah kemuliaan. Sebagian lagi berpendapat maknanya adalah takdir,
‫)القَ ْد ِر‬
karena pada malam tersebut ditentukan takdir yang akan terjadi selama
setahun ke depan berdasarkan firman Allah SWT.

5
‫ إِنَّنِي أَنَا هَّللا‬: sesungguhnya aku ini adalah Allah (Sesungguhnya Dia yang maha
segalanya adalah Allah), ‫هَ إِاَّل أَنَا‬jjَ‫ اَل ِإل‬: tidak ada sesembahan yang berhak
disembah selain aku (Bahwasanya Tuhan yang berhak disembah hanyalah
َّ ‫فَا ْعبُ ْدنِي َوأَقِ ِم ال‬: maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk
Allah, ‫صاَل ةَ لِ ِذ ْكر‬
mengingat Aku (Salah satu cara untuk mengingat sang pencipta (Allah) adalah
dengan cara Shalat ). Di atas telah di singgung bahwa kata Allah adalah kata
yang tepat untuk memperkenalkan Tuhan Yang Maha Esa. Ini karena kata
Allah mencakup segala sifat-sifatNya, bahkan Dialah yang menyandang sifat-
sifat tersebut, karena jika kita menyebut nama ALLAH, maka semua nama-
nama / sifat-sifatnya telah dicakup oleh kata tersebut. Manusia ditentukan oleh
tingkatan din. Din sendiri berarti ketaatan. Di bawah ini adalah tingkatan din :4

 Islam

Islam menurut bahasa adalah masuk dalam kedamaian. Sedangkan menurut


syara’, Islam berarti pasrah kepada Allah, bertauhid dan tunduk kepada-Nya, 
taat, dan membebaskan diri dari syirik dan pengikutnya.

 Iman

Iman menurut bahasa berarti membenarkan disertai percaya dan amanah.


Sedangkan menurut syara’, iman berarti pernyataan dengan lisan, keyakinan
dalam hati, dan perbuatan dengan anggota badan.

 Ihsan

Ihsan menurut bahasa berarti kebaikan, yakni segala sesuatu yang


menyenangkan dan terpuji. Sedangkan menurut syara’ adalah sebagaimana

4
Shalih. Kitab Tauhid I, (Jakarta:Darul Haq. 2010), hal. 34

6
yang dijelaskan oleh baginda Nabi yang artinya “Engkau menyembah Allah
seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak bias melihay-Nya maka
sesungguhnya Dia melihatmu”. Syaikh Ibnu Taimiyah berkata “Ihsan itu
mengandung kesempurnaan ikhlas kepada Allah dan perbuatan baik yang
dicintai oleh Allah”.

Rasulullah menjadikan din itu adalah Islam, Iman, dan Ihsan. Maka
jelaslah bahwa din itu bertingkat, dan sebagian tingkatannya lebih tinggi dari
yang lainnya. Tingkatan yang pertama adalah Islam, tingkatan yang kedua
adalah Iman, dan tingkatan yang paling tinggi adalah Ihsan.

C. ASMA WA SIFAT

Tauhid Asma’ Wa Sifat yaitu beriman kepada nama-nama Allah dan


sifat-sifat-Nya, sebagaimana yang diterangkan dalam Al Qur’an dan Sunah
Rasul-Nya. Tauhid dzat juga merupakan keatasyakinan bahwa tidak ada
seseorang atau sesuatupun yang menyamai-Nya. Dia tidak dapat dilihat dan
dicapai oleh akal manusia. Sesungguhnya ang dapat dicapai oleh manusia
hanyalah sesuatu yang bersifat benda, dan Allah bukanlah benda. Benda dapat
diketahui susunannya, sementara Allah tidak dapat diketahui susunannya.
Dzat Allah adalah dzat yang Maha suci dan Maha bersih yang tidak dapat
dibagi-bagi dan tidak ada yang menyerupai sesuatu apapun.

Allah sebagai dzat Yang Maha Mulia mempunyai nama-nama yang


baik dan sifat-sifat yang tinggi dan agung yang biasa disebut asma’ al-husna
yang diturunkan oleh Allah dan disampaikan kepada manusia melalui para
Nabi dan Rosul-Nya. Karena itu Allah menyuruh manusia untuk berdoa
kepada-Nya dengan nama-nama ang baik itu. Sebagaimana firman Allah
dalam surat al-A’raf ayat 190, yang artinya: “Hanya milik Allah asma al-
husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma al-husna itu
dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam

7
(menyebut) nama-nama-Nya, nanti mereka akan mendapat balasan atas apa
yang mereka kearjakan”.5

Maka barang siapa yang mengingkari nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya


atau menamai Allah dan menyifati-Nya dengan nama-nama dan sifat-sifat
makhluk-Nya atau menakwilkan dari maknanya yang benar, maka dia telah
berbicara tentang Allah tanpa ilmu dan berdusta terhadap Allah dan Rasulnya.

Allah Ta’ala berfirman

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat” (Q.S. Asy-Syuura : 11)

Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Allah tabaraka wa


ta’ala turun ke langit dunia pada setiap malam” (Mutafaqqun ‘Alaih). Di
sini turunnya Allah tidak sama dengan turunnya makhluk-Nya, namun
turunnya Allah sesuai dengan kebesaran dan keagungan dzat Allah. 

Sifat-sifat Allah dibagi menjadi dua bagian, yaitu :

 Sifat Dzatiyah

Sifat Dzatiyah yaitu sifat yang senantiasa melekat dengan-Nya. Sifat ini
berpisah dengan dzat-Nya. Seperti berilmu, kuasa atau mampu, mendengar,
bijaksana, melihat, dll.

 Sifat Fi’liyah

Sifat Fi’liyah adalah sifat yang Dia perbuat jika berkehendak. Seperti
bersemayam di atas ‘Arasy, turun ke langit dunia ketika tinggal sepertiga akhir
malam, dan dating pada Hari Kiamat.

5
Faizah dan Lalu Mukhsin Effendi, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006) , hal.
186

8
Tauhid asma’ wa sifat ini juga berpengaruh dalam bermuamalah
(Syiasiyah) dengan Allah. Di bawah ini contoh-contohnya :

 Jika seseorang mengetahui asma’ dan sifat-Nya, juga mengetahui arti dan
maksudnya secara benar maka yang demikian itu akan
memperkenalkannya dengan Rabbnya beserta keagungan-Nya. Sehingga
ia tunduk, patuh, dan khusyu’ kepada-Nya, takut dan mengharapkan-Nya,
serta bertawassul kepada-Nya.
 Jika ia mengetahui jika Rabbnya sangat dahsyat azab-Nya maka hal itu
akan membuatnya merasa diawasi Allah, takut, dan menjauhi maksiat
terhadap-Nya.
 Jika ia mengetahui bahwa Allah Maha Pengampun, Penyayang, dan
Bijaksana maka hal itu akan membawanya kepada taubat dan istighfar,
juga membuatnya bersangka baik kepada Rabbnya dan tidak akan berputus
asa dari rahmat-Nya.
 Manusia akan mencari apa yang ada di sisi-Nya dan akan berbuat baik
kepada sesamanya.

Di antara hukum-hukum wajib, bahwa ia adalah kadim (tidak bermulaan),


lagi pula azali. Karena ia kalau tidak begitu tentu ia menjadi baharu. Sedang
yang baharu, ialah sesuatu yang terjadi didahului oleh tiada (‘adam). Dan
segala sesuatu yang wujudnya didahulu oleh tiada, memerlukan kepada sebab
yang memberinya wujud. Kalau tidak demikian, tentu lazimlah menguatkan
adanya sesuatu dengan tiada alasan yang kuat, dan mustahil. Sekiranya
tidaklah yang wajib ada itu “kadim”, tentu ia dalam wujudnya itu
berkehendak kepadanya yang lain yang mewujudkannya. Padahal sudah
diterangkan sebelumnya, bahwa yang wajib ada itu mempunyai dzat
wujudnya sendiri. Dan sekiranya yang wajib ada itu masih didahului oleh
tiada, maka bukanlah “ wajib ada” namanya, dan hal itu adalah sesuatu
paradox yang mustauhil.

9
A. Al-Hayat ( Hidup)
Arti wujud (ada) sekalipun telah terang bagi akal, tetapi masih dapat
digambarkan dengan : kenyataan, tetap dan kekal. Dan kesempurnaan
wujud, serta kekuatannya bergantung pula pada kesempurnaan makna ini.
Tiap-tiap dari martabat wujud , perlu diikuti dengan beberapa sifat
wujudilah, yakni untuk menyempurnakan martabat yang demikian, dalam
makna yang tersebut duluan. Jika tidak begitu, jadilah makna wujud itu
untuk martabat yang lainnya, padahal ia telah ditentukan baginya.
Diantara sifat-sifat yang wajib ada pada diri-Nya ialah sifat
“hidup” (al-Hayat). Sifat itu diiringi oleh “ilmu” dan “iradah” ( kemauan).
Demikian itu, disebabkan oleh karena “hidup” (al-Hayat) adalah jelas
termasuk sifat kesempurnaan bagi wujud-Nya. Maka sifat hidup dan sifat
yang mengiringinya adalah sumber segala peraturan dan menjadi
kebijaksaan.
B. Ilmu ( Maha Pengetahuan)
Diantara sifat yang wajib bagi dzat yang wajib ada, adalah sifat “ilmu”
(maha mengetahui). Yang dimaksud, ialah terbukanya tabir sesuatu bagi
dzat yang telah tetap sifat itu baginya, yakni yang menjadi sumber, pokok
pangkal bagi terbukanya tabir sesuatu itu. Sebab sifat ilmu, termasuk sifat-
sifat wujudiah yang menjadi sifat bagi yang wajib ada.
Berilmunya dzat yang wajib ada itu adalah termasuk diantara hal-
hal yang lazim bagi wujud-Nya, sebagaimana telah diketahui. Ilmu-Nya,
mengatasi segala macam ilmu, karena tinggi martabat wujud-Nya diatas
segala yang maujud (ada). Dzat yang wujudnya tidak berawal dan tidak
pula berakhir (abadi),bebas tidak bisa dicapai oleh alat-alat (media-media)
dan oleh ketajaman-ketajaman pikiran dan kegiatan-kegiatan otak. Jadi Ia
berlainan dengan segala yang berilmu dari sesuatu alam yang mungkin.

10
C. Al-Iradat ( Kemauan)
Di antara sifat yang mewajibkan bagi dzat yang wajib wujud, adalah
“Iradaat” (kemauan). Ia adalah sifat (atribut) yang dapat menentukan,
untuk menciptakan alam ini dengan salah satu jalan-jalannya yang
mungkin.
Pengertian yang seperti itu adalah mustahil pada diri Dzat yang
wajib wujud. Karena makna seperti ini adalah merupakan keinginan-
keinginan alam (manusia) biasa, dan merupakan cita-cita yang merusak,
karena makna yang demikian adalah kelanjutan dari kekurangan ilmu
pengetahuan. Kemauan yang seperti itu akan berubah-ubah menurut
perubahan hukum, dan meragukan orang yang mempunyai kemauan itu
sendiri,untuk membuat keputusan dalam situasi: terus berbuat, atau tidak.

Tauhid Asma wa Sifat adalah pengakuan seorang hamba tentang nama dan
sifat Allah, yang telah Dia tetapkan bagi diri-Nya dalam kitab-Nya ataupun
dalam sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa melakukan empat
hal berikut:

a. Tahrif (menyimpangkan makna)

Yaitu mengubah atau mengganti makna yang ada pada nama dan sifat
Allah, tanpa dalil. Misalnya: Sifat Allah marah, diganti maknanya menjadi
keinginan untuk menghukum, sifat Allah istiwa (bersemayam),
diselewengkan menjadi istaula (menguasai), Tangan Allah, disimpangkan
maknanya menjadi kekuasaan dan nikmat Allah.

11
b. Ta’thil (menolak)

Yaitu menolak penetapan nama dan sifat Allah yang disebutkan dalam dalil.
Baik secara keseluruhan maupun hanya sebagian. Contoh menolak secara
keseluruhan adalah sikap sekte Jahmiyah, yang tidak mau menetapkan nama
maupun sifat untuk Allah. Mereka menganggap bahwa siapa yang menetapkan
nama dan sifat untuk Allah berarti dia musyrik. Contoh menolak sebagian
adalah sikap yang dilakukan sekte Asy’ariyah atau Asya’irah, yang membatasi
sifat Allah hanya bebeberapa sifat saja dan menolak sifat lainnya. Atau
menetapkan sebagian nama Allah dan menolak nama lainnya.

c. Takyif (membahas bagaimana bentuk dan hakikat nama dan sifat Allah).

Yaitu menggambarkan bagaimanakah hakikat sifat dan nama yang dimiliki


oleh Allah. Misalnya, Tangan Allah,digambarkan bentuknya bulat,panjangnya
sekian, ada ruasnnya, dan lain-lain. Kita hanya wajib mengimani, namun
dilarang untuk menggambarkannya. Karena hal ini tidak mungkin dilakukan
makhluk. Untuk mengetahui bentuk dan hakikat sebuah sifat, hanya bisa
diketahui dengan tiga hal:

1) Melihat zat tersebut secara langsung. Dan ini tidak mungkin kita lakukan,
karena manusia di dunia tidak ada yang pernah melihat Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
2) Ada sesuatu yang semisal zat tersebut, sehingga bisa dibandingkan. Dan ini
juga tidak mungkin dilakukan untuk Dzat Allah, karena tidak ada makhluk
yang serupa dengan Allah.

12
3) Ada berita yang akurat (khabar shadiq) dan informasi tentang Dzat dan sifat
Allah. Baik dari Al Qur’an maupun hadis. Karena itu, manusia yang paling
tahu tentang Allah adalah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun
demikian, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menggambarkan
bentuk dan hakikat sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

d. Tamtsil (menyamakan Allah dengan makhluk-Nya)

Misalnya, berkeyakinan bahwa tangan Allah sama dengan tangan budi,


Allah bersemayam di ‘arsy seperti joki naik kuda. Mahasuci Allah dari adanya
makhluk yang serupa dengan-Nya. Mengimani dan menetapkan apa yang
sudah ditetapkan Allah di dalam Al Quran dan oleh Nabi-Nya di dalam hadits
mengenai nama dan sifat Allah tanpa merubah makna, mengingkari,
mendeskripsikan bentuk/cara, dan memisalkan. Firman Allah surat Al-A’raaf:
180 :

َ‫سيُ ْجز َْونَ َما َكانُوا يَ ْع َملُون‬ ْ َ‫سنَى فَا ْدعُوهُ بِ َها َو َذ ُروا الَّ ِذينَ يُ ْل ِحدُونَ فِي أ‬
َ ‫س َمائِ ِه‬ ْ ‫س َما ُء ا ْل ُح‬
ْ ‫َوهَّلِل ِ األ‬

“Hanya milik Allah asmaa-ul husna[585], maka bermohonlah kepada-Nya


dengan menyebut asmaa-ulhusna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang
menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya[586]. Nanti
mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”

13
14

Anda mungkin juga menyukai