Anda di halaman 1dari 24

EKSPERTISE KASUS

A. KASUS
Sampel darah pasien laki-laki umur 8 tahun dikirim dari ruang akut IKA
ke laboratorium sentral RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 22 Oktober
2019 untuk pemeriksaan laboratorium TUBEX TF dengan keterangan klinis
demam tifoid.
Hasil Pemeriksaan Imunoserologi Tanggal 22 Oktober 2019
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Keterangan
Rujukan
TUBEX TF 8 ≦2 Inhibition
(Negatif) Magnetic
Binding
Immunoassay
(IMBI)
Kesan : TUBEX TF menunjukkan indikasi kuat adanya infeksi demam tifoid aktif

Hasil Pemeriksaan Kimia Klinik Tanggal 19 Oktober 2019 (IGD)


Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Metode
Glukosa 72 mg/dL < 200 Enzymatic
(Heksokinase)
Ureum 24 mg/dL 10 - 50 Enzymatic
(Kolorimetri)
Kreatinin 0,6 mg/dL 0,8 - 1,3 Enzymatic
(Kolorimetri)
Total protein 5,7 g/dL 6,6 - 8,7 Biuret reaction
Albumin 2,4 g/dL 3,8 - 5,0 Enzymatic
(Kolorimetri)
Globulin 3,3 g/dL 1,3 - 2,7 Kalkulasi
SGOT 293 U/L < 38 Enzymatic
(Kolorimetri)
SGPT 80 U/L < 41 Enzymatic
(Kolorimetri)
Natrium 125 mmol/L 136 - 145 ISE Direct
Kalium 2,9 mmol/L 3,5 - 5,1 ISE Direct
Klorida 94 mmol/L 97 - 111 ISE Direct
Kesan :
 Total protein dan albumin menurun, globulin meningkat
 SGOT dan SGPT meningkat
 Natrium, kalium, dan klorida menurun

1
Hasil Pemeriksaan Hematologi Tanggal 19 Oktober 2019 (IGD)
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Metode
Hemoglobin 10,4 g/dl 12,0 - 15,0 SLS-
Hemoglobin
Leukosit 4.920 /mm3 4.500 - 13.500 Fluorescence
flow cytometry
Trombosit 11.000 /mm3 150.000 - Impedance (DC
450.000 sheath flow)
Hematokrit 30 % 35 - 49 Impedance
(hydrodynamic
focusing)
Kesan : Anemia, trombositopenia
Hasil Pemeriksaan Hemostasis Tanggal 19 Oktober 2019 (IGD)
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Metode
PT 12,2 detik 9,3 - 12,5 Optical Detection
APTT 54,1 detik 28,5 - 38,5 Coagulation Method
Kesan : APTT melebihi nilai rujukan

DATA TAMBAHAN
Anamnesis (Allo Anamnesis dari ibu kandung) :
Pasien masuk IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 19 Oktober
2019.
Keluhan Utama :
Demam sejak ± 10 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang :
 Nyeri kepala ± 20 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit, tinggi,
hilang timbul, terjadi selama tiga hari.
 Demam sejak ± 10 hari yang lalu, hilang timbul, demam terutama di sore
hari, tidak menggigil, tidak berkeringat, tidak disertai kejang.
 Nyeri perut sejak ± 10 hari yang lalu, hilang timbul, nyeri terutama
sekitar ulu hati.
 BAB encer sejak ± 10 hari yang lalu, frekuensi ± 2-3x/hari, volume ± 2-3
sdm/kali, ampas ada, berwarna kehijauan, tidak ada lendir atau darah.
 Mual ada, tidak disertai muntah.
 Nafsu makan menurun sejak sakit, pasien biasanya makan 3x sehari,
menghabiskan 1 porsi makan. Saat ini makan 1-2x/hari, hanya mampu
menghabiskan 1/2 porsi.

2
 Os jarang jajan di luar rumah, biasanya makan makanan di rumah.
 BAK warna dan jumlah biasa, nyeri berkemih disangkal, riwayat BAK
berpasir disangkal.
 Os sebelumnya dirawat di RSUD Kota Padang Panjang dengan diagnosis
peritonitis difus ec tifoid peritonitis + trombositopenia. Os mendapat
terapi Tiamfenikol 3 x 2 1/2 cth, ranitidine 2 x 25 mg (po), domperidone
3 x 3 mg, CTM 3 x 1 mg. Telah dilakukan pemeriksaan labor dengan
hasil Hb :11,1 g/dl, leukosit : 6.540/mm3, trombosit : 20.000/mm3,
hematokrit 31%, Tes Widal S.ty H : 1/320 dan S.ty O : 1/320. Os lalu
dirujuk ke RSUP Dr. M. Djamil Padang.
 Os telah diperiksa di bagian bedah dan didagnosis abdominal pain ec tifus
abdominalis + trombositopenia, tidak ada tindakan akut di bagian bedah.
 Telah dilakukan pemeriksaan foto polos abdomen dua posisi, dengan
hasil suspek ileus paralitik (DD/ ileus obstruksi letak rendah) dan
pemeriksaan rontgen thorax dengan hasil bronkopneumonia.
Riwayat Penyakit Dahulu
Os tidak pernah menderita sakit seperti ini sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang menderita sakit seperti ini sebelumnya.
Riwayat Imunisasi
Os mendapat imunisasi dasar lengkap.

Pemeriksaan Fisik
 Keadaan Umum : Sedang
 Kesadaran : Sadar (GCS 15)
 Tekanan Darah : 110/70
 Nadi : 120x/menit
 Pernapasan : 22x/menit
 Suhu : 39,5oC
 Tinggi Badan : 126 cm
 Berat Badan : 20 kg
 Gizi : Kurang

3
 Sianosis : Tidak ditemukan
 Edema : Tidak ditemukan
 Anemis : Tidak ditemukan
 Ikterus : Tidak ditemukan
Kulit : Teraba hangat, hematom pada tempat flebotomi (+)
Kepala & leher : Bulat, simetris
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
Mata : Konjunctiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, mata
tidak cekung
Telinga : Tidak ditemukan kelainan
Hidung : Napas cuping hidung tidak ditemukan
Tenggorokan : Tonsil dan faring tidak hiperemis
Gigi dan mulut : Mukosa mulut dan bibir basah, lidah kotor (+) ,
pinggir hiperemis
Paru
 Inspeksi : Normochest, simetris kiri =kanan, retraksi epigastrium
tidak ada
 Palpasi : Fremitus kiri = kanan
 Perusi : Sonor kiri = kanan
 Auskultasi : Bronkhovesikuler, rhonki +/+ minimal, wheezing -/-
Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Ictus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
 Perkusi : Tidak dilakukan
 Auskultasi : Irama teratur, bising tidak terdengar
Perut
 Inspeksi : Distensi tidak ada, tampak membuncit
 Palpasi : Supel, hepar teraba 1/3-1/3, lien tidak teraba, turgor
kembali cepat
 Perusi : Thympani
 Auskultasi : BU (+) menurun
Anggota gerak : Akral hangat, capillary refill time (CRT) < 2 detik, refleks

4
fisiologis ada, refleks patologis tidak ada
Diagnosis Kerja
 Demam tifoid + tifoid abdominalis (DD/ Ileus paralitik)
 Suspek sirosis hepar ec?
 Trombositopenia ec suspek sepsis
 Suspek sepsis
 Bronkopneumonia
 Hiponatremia, hipokalemia
 Hipoalbuminemia
 Gizi kurang

Pengobatan
 O2 2 liter/I
 IVFD D12,5% + elektroilit 1200cc/hari
 Aminofusin hepar 300 cc/hari
 Zinc 1 x 20 mg p.0
 Oralit 200 cc (p.o) tiap BAB encer
 Ceftriaxone 1 x 2 gr I.V
 Sistenol

Anjuran :
 Kultur feses dan darah  USG hepar
 Kalsium total  Prokalsitonin
 Bilirubin (total, direk, indirek)  Analisis feses
 LDH, GGT  Tes darah samar
 Hepatitis marker : HBsAg, Anti  Analisis urine
HCV  Gambaran darah tepi

5
FOLLOW UP
PEMERIKSAAN LANJUTAN
Hasil Pemeriksaan Kimia Klinik Tanggal 24 Oktober 2019
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Metode
Total protein 5,5 g/dL 6,6 - 8,7 Biuret reaction
Albumin 3,0 g/dL 3,8 - 5,0 Fotometri
Globulin 2,5 g/dL 1,3 - 2,7 Kalkulasi
Kalsium 9,1 mg/dL 8,1 - 10,4 Fotometri
Natrium 133 mmol/L 136 - 145 ISE Direct
Kalium 3,9 mmol/L 3,5 - 5,1 ISE Direct
Klorida 98 mmol/L 97 - 111 ISE Direct
Kesan :
 Total protein dan albumin menurun
 Natrium menurun

Hasil Pemeriksaan Hematologi Tanggal 24 Oktober 2019


Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Metode
Hemoglobin 9,2 g/dl 12,0 - 15,0 SLS-
Hemoglobin
Leukosit 5.790 /mm3 4.500 - 13.500 Fluorescence
flow cytometry
Eritrosit 3,43 106/μL 4,0 - 5,4 Impedance (DC
sheath flow)
Trombosit 14.000 /mm3 150.000 - Impedance (DC
450.000 sheath flow)
Hematokrit 26 % 35 - 49 Impedance
(hydrodynamic
focusing)
Hitung Jenis Fluorescence
flow cytometry
Basofil 0 % 0-2
Eosinofil 0 % 1-4
Neutrofil 5 % 0-5
Batang
Neutrofil 59 % 23 - 53
Segmen
Limfosit 27 % 23 - 53
Monosit 7 % 2 - 11
Sel Patologis Blast tidak ditemukan
Kesan : Anemia, trombositopenia
Tidak ditemukan blast

6
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Etiologi Demam Tifoid (Menkes RI, 2006)
Basil penyebab tifoid adalah Salmonella typhi dan paratyphi dari genus
Salmonella. Basil ini adalah gram negatif, motil, tidak berkapsul, tidak
membentuk spora, tetapi memiliki fimbria (flagel), bersifat aerob dan anaerob
fakultatif. Ukuran antara 2-4 x 0,6 µm. Suhu optimum tumbuh adalah 37 oC
dengan pH 6-8. Basil ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas
seperti di dalam air, es, sampah, dan debu. Sedangkan reservoir satu-satunya
adalah manusia, yaitu seseorang yang sedang sakit atau karier.
Basil Salmonella typhi dan paratyphi memiliki struktur yang dapat diketahui
secara serologis.
a. Antigen somatik (O)
Merupakan kompleks fosfolipid protein polisakarida yang tahan terhadap
pendidihan, alkohol, dan asam. Aglutinasi O berlangsung lebih lambat dan
bersifat kurang imunogenik, namun mempunyai nilai diagnosis yang tinggi.
Titer antibodi yang timbul oleh antigen O ini selalu lebih rendah dari titer
antibodi H.
b. Antigen flagel (H)
Merupakan protein termolabil dan bersifat sangat imunogenik. Antigen ini
rusak dengan pendidihan dan alkohol tetapi tidak rusak oleh formaldehid.
c. Antigen Vi
Merupakan antigen permukaan dan bersifat termolabil. Antibodi yang
terbentuk dan menetap lama dalam darah dapat memberi petunjuk bahwa
individu tersebut sebagai pembawa kuman (karier). Antigen Vi terdapat pada
S. typhi, S. paratyphi C, dan S. dublin.

7
Gambar 1. Struktur antigen Salmonella typhi (Himedia, 2016a)
Berdasarkan antigen somatik, Salmonella dapat dibagi dalam 65 kelompok
serologik. Tiap kelompok ditandai dengan huruf A, B, C, D, dan lain-lain.

2. Epidemiologi Demam Tifoid


Tifoid terdapat di seluruh dunia, terutama di negara-negara yang sedang
berkembang di daerah tropis. Tifoid jarang ditemui secara epidemis di Indonesia,
tapi bersifat endemis dan banyak dijumpai di kota-kota besar. Tidak ada
perbedaan yang nyata antara insidens tifoid pada pria dan wanita. Insiden tertinggi
didapatkan pada remaja dan dewasa muda. Penelitian yang dilakukan oleh
Simajuntak pada tahun 1990 didapatkan bahwa insiden tifoid di Indonesia sangat
tinggi berkisar 350-810 per 100.000 penduduk. Angka kesakitan cenderung
meningkat setiap tahun dengan rata-rata 500/100.000 penduduk. Angka kematian
diperkirakan sekitar 0,6-5% sebagai akibat dari keterlambatan mendapat
pengobatan serta tingginya biaya pengobatan (Menkes RI, 2006; Widodo D,
2006) Tifoid masih ada di negara yang telah maju, bersifat sporadis terutama
sehubungan dengan kegiatan wisata ke negara-negara yang sedang berkembang.
Secara umum insidens tifoid dilaporkan 75% didapatkan pada umur kurang dari
30 tahun. Pada anak-anak biasanya di atas 1 tahun dan terbanyak di atas 5 tahun
dan manifestasi klinik lebih ringan (Menkes RI, 2006).

3. Patogenesis Demam Tifoid


Demam tifoid disebabkan oleh kuman Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi. Penularan ke manusia melalui makanan dan atau minuman yang
tercemar dengan feses manusia. Setelah melewati lambung, kuman mencapai usus
halus dan invasi ke jaringan limfoid (plak peyer) yang merupakan tempat
predileksi untuk berkembang biak. Melalui saluran limfe mesenterik kuman

8
masuk aliran darah sistemik (bakterimia I) dan mencapai sel-sel retikuloendotelial
dari hati dan limpa. Fase ini dianggap masa inkubasi (7-14 hari). Kuman ini
kemudian dilepas dari jaringan ke sirkulasi sistemik (bakterimia II) melalui
duktus torasikus dan mencapai organ-organ tubuh terutama limpa, usus halus, dan
kandung empedu (Menkes RI, 2006; Soedarmo SSP et al, 2008)
Kuman Salmonella menghasilkan endotoksin yang merupakan kompleks
liposakarida dianggap berperan penting pada patogenesis demam tifoid.
Endotoksin bersifat pirogenik serta memperbesar reaksi peradangan dimana
kuman Salmonella berkembang biak. Di samping itu merupakan stimulator yang
kuat untuk memproduksi sitokin oleh sel-sel makrofag dan sel leukosit di jaringan
yang meradang. Sitokin ini merupakan mediator-mediator untuk timbulnya
demam dan gejala toksemia (proinflamatory). Oleh karena basil Salmonella
bersifat intraseluler maka hampir semua bagian tubuh dapat terserang dan kadang-
kadang pada jaringan yang terinvasi dapat timbul fokal-fokal infeksi (Menkes RI,
2006).
Kelainan patologis yang utama terdapat di usus halus terutama di ileum
bagian distal dimana terdapat kelenjar plak peyer. Pada minggu pertama, pada
plak peyer terjadi hiperplasia yang berlanjut menjadi nekrosis pada minggu kedua
dan ulserasi pada minggu ketiga, sehingga akhirnya terbentuk ulkus. Ulkus ini
mudah menimbulkan perdarahan dan perforasi yang merupakan komplikasi yang
berbahaya. Hati membesar karena infiltrasi sel-sel limfosit dan sel mononuklear
lainnya serta nekrosis fokal. Proses ini juga terjadi pada jaringan
retikuloendotelial lain seperti limpa dan kelenjar mesentrika. Kelainan-kelainan
patologis yang sama juga dapat ditemukan pada organ tubuh lain seperti tulang,
usus, paru, ginjal, jantung, dan selaput otak. Pada pemeriksaan klinis sering
ditemukan proses radang dan abses-abses pada banyak organ, sehingga dapat
ditemukan bronkhitis, arthritis septik, pielonefritis, meningitis, dan lain-lain.
Kandung empedu merupakan tempat yang disenangi basil Salmonella. Bila
penyembuhan tidak sempurna, basil tetap bertahan di kandung empedu ini lalu
mengalir ke dalam usus, sehingga menjadi karier intestinal (Menkes RI, 2006;
Soedarmo SSP et al, 2008).
Demikian juga ginjal dapat mengandung basil dalam waktu lama sehingga

9
juga menjadi karier (urinary carrier). Adapun tempat-tempat yang menyimpan
basil ini memungkinan penderita mengalami kekambuhan (relaps) (Menkes RI,
2006)

4. Manifestasi Klinis Demam Tifoid


Gambaran klinis tifoid sangat bervariasi, dari gejala yang ringan sekali
(sehingga tidak terdiagnosis), dan dengan gejala yang khas (sindrom demam
tifoid) sampai dengan gejala klinis berat yang disertai komplikasi. Gambaran
klinis juga bervariasi berdasarkan daerah atau negara, serta menurut waktu.
Gambaran klinis di negara berkembang dapat berbeda dengan negara maju.
Gambaran klinis pada anak cenderung tak khas. Makin kecil anak, gambaran
klinis makin tak khas. Kebanyakan perjalanan penyakit berlangsung dalam waktu
pendek dan jarang menetap lebih dari dua minggu (Menkes RI, 2006; Soedarmo
SSP et al, 2008).
Kumpulan gejala-gejala klinis tifoid disebut dengan sindrom demam tifoid.
Beberapa gejala klinis yang sering pada tifoid di antaranya adalah:
a. Demam
Demam atau panas adalah gejala utama tifoid. Pada awal sakit, demamnya
kebanyakan samar-samar saja, selanjutnya suhu tubuh sering turun naik. Pagi
lebih rendah atau normal, sore dan malam lebih tinggi (demam intermitten).
Dari hari ke hari intensitas demam makin tinggi yang disertai banyak gejala
lain seperti sakit kepala (pusing-pusing) yang sering dirasakan di area frontal,
nyeri otot, pegal-pegal, insomnia, anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu
kedua intensitas demam makin tinggi, kadang-kadang terus-menerus (demam
kontinyu). Bila pasien membaik maka pada minggu ketiga suhu badan
berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu ketiga. Perlu
diperhatikan bahwa demam yang khas tifoid tersebut tidak selalu ada. Tipe
demam menjadi tidak beraturan. Hal ini mungkin karena intervensi
pengobatan atau komplikasi yang dapat terjadi lebih awal. Pada anak
khususnya balita, demam tinggi dapat menimbulkan kejang (Menkes RI,
2006; Soedarmo SSP et al, 2008).
b. Gangguan saluran pencernaan
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam lama. Bibir

10
kering dan kadang pecah-pecah. Ujung dan tepi lidah kemerahan, lidah
kelihatan kotor dan ditutupi selaput putih (coated tongue), dan pada penderita
anak jarang ditemukan. Pada umumnya penderita sering mengeluh nyeri
perut, terutama regio epigastrik (nyeri ulu hati), disertai nausea, mual dan
muntah. Pada awal sakit sering didapatkan meteorismus dan konstipasi. Pada
minggu selanjutnya kadang-kadang timbul diare (Menkes RI, 2006;
Soedarmo SSP et al, 2008).

c. Gangguan kesadaran
Umumnya terdapat gangguan kesadaran yang kebanyakan berupa penurunan
kesadaran ringan. Sering didapatkan kesadaran apatis dengan kesadaran
seperti berkabut (tifoid). Bila klinis berat, tak jarang penderita sampai
somnolen dan koma atau dengan gejala-gejala psikosis (organic brain
syndrome). Pada penderita dengan toksik, gejala delirium lebih menonjol
(Menkes RI, 2006).
d. Hepatosplenomegali
Hati dan atau limpa ditemukan sering membesar. Hati terasa kenyal dan nyeri
tekan (Menkes RI, 2006; Soedarmo SSP et al, 2008).
e. Bradikardi relatif dan gejala lain
Bradikardi relatif tidak sering ditemukan, mungkin karena teknis pemeriksaan
yang sulit dilakukan. Bradikardi relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang
tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi. Patokan yang sering dipakai
adalah bahwa setiap peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan frekuensi
nadi 8 denyut dalam 1 menit. Gejala-gejala lain yang dapat ditemukan pada
demam tifoid adalah rose spot yang biasanya ditemukan di regio abdomen
atas. Rose spot pada anak sangat jarang ditemukan malahan lebih sering
epitaksis (Menkes RI, 2006; Soedarmo SSP et al, 2008).

5. Komplikasi Demam Tifoid (Menkes RI, 2006).


 Tifoid toksik (tifoid ensefalopati)
 Syok septik
 Perdarahan dan perforasi intestinal
 Peritonitis

11
 Hepatitis tifosa
 Pankreatitis tifosa
 Pneumonia
 Komplikasi lain
Karena basil Salmonella bersifat intra makrofag, dan dapat beredar ke
seluruh bagian tubuh, maka dapat mengenai banyak organ yang
menimbulkan infeksi yang bersifat fokal seperti osteomielitis, artritis,
miokarditis, perikarditis, endokarditis, pielonefritis, orkhitis, dan lainnya.
6. Pemeriksaan Serologi Demam Tifoid
Sampel yang dibutuhkan untuk pemeriksaan serologi adalah darah sebanyak
1-3 ml yang harus diionokulasi ke dalam tabung tanpa antikoagulan. Sampel
kedua, jika memungkinkan harus dikumpulkan pada tahap pemulihan, setidaknya
5 hari kemudian. Setelah pembekuan terjadi, serum harus dipisahkan dan
disimpan dalam bentuk alikuot 200 µl pada suhu 4 oC. Pemeriksaan dapat
dilakukan segera atau penyimpanan dapat dilanjutkan selama seminggu tanpa
memengaruhi titer antibodi. Serum harus dibekukan pada suhu -20oC jika
penyimpanan jangka panjang diperlukan (WHO, 2003)
a. WIDAL (Yusra, 2013)
Nama pemeriksaan Widal diambil dari nama penemunya, yaitu, George
Fernand Widal yang merupakan seorang ahli serologi, dokter klinik, dan peneliti.
Enam belas tahun setelah penemuan basilus penyebab demam tifoid oleh Eberth,
Widal menggunakan basilus tersebut dalam penelitiannya. Jika serum pasien
tersangka demam tifoid ditambahkan pada basilus penemuan Eberth, maka akan
terjadi aglutinasi.
Prinsip Pemeriksaan
Seperti penemuannya pertama kali, pemeriksaan Widal berdasarkan prinsip
aglutinasi. Suspensi bakteri S. typhi dan S. paratyphi A dan B diolah menjadi
hanya tinggal antigen O dan H saja. Aglutinasi yang terjadi antara aglutinin
(antibodi dalam serum pasien dengan antigen O dan H dari S.typhi dan
S.paratyphi dianggap sebagai pemeriksaan Widal positif. Antibodi somatik O IgM
muncul pertama dalam respons serologi demam tifoid akut, sedangkan antibodi
flagella H IgG biasanya timbul lebih lambat dan tetap ada untuk jangka waktu

12
yang lama. Pemeriksaan ini berperan untuk meningkatkan indeks kecurigaan
adanya demam tifoid.
Teknik Pemeriksaan
Teknik pemeriksaan Widal ada dua cara, yaitu cara slide dan cara tabung.
Cara slide memerlukan waktu yang singkat dan digunakan untuk penyaring.
Sedangkan cara tabung memerlukan waktu yang lama dan teknik yang lebih rumit
dari cara slide. Dan digunakan untuk konfirmasi cara slide. Penelitian yang
dilakukan berdasarkan terbentuknya aglutinasi.
Cara slide diawali dengan mencampurkan antigen yang berasal dari reagen
dengan serum pasien yang mengandung antibodi dengan perbandingan 1:1. Jika
terjadi aglutinasi, dilanjutkan dengan pengenceran serial serum. Pengenceran
terkecil dengan hasil 2+ atau terdapat 50% aglutinasi, disebut sebagai end-point
aktivitas serum atau titer. Hasil pemeriksaan dilaporkan dengan skor 0 sampai
dengan 4+ dengan rincian sebagai berikut:
 0 : Tidak ada aglutinasi
 1+ : Terdapat 25% aglutinasi
 2+ : Terdapat 50% aglutinasi
 3+ : Terdapat 75% aglutinasi
 4+ : Terdapat 100% aglutinasi
Pelaporan hasil juga bisa berdasarkan pengenceran serum tertinggi yang
masih memberikan hasil positif.
Cara tabung umumnya dilakukan dengan mencampur antigen dan antibodi
selama 20 jam pada suhu 37oC di water bath. Lama inkubasi bervariasi,
tergantung reagen yang digunakan. Penilaian dilakukan berdasarkan aglutinasi
yang terbentuk berupa pellet pada dasar tabung. Pelaporan hasil sama seperti cara
slide, bisa menggunakan skor 0 sampai 4+, ataupun dengan menyebutkan
pengencerannya dari 1/80, 1/160, 1/320, 1/640, sampai 1/1280.

13
Gambar 2. Tes Widal metode slide (Himedia, 2016b)

Gambar 3. Tes Widal metode tabung (Aryal S, 2018)

Interpretasi Hasil
Pemeriksaan Widal berperan meningkatkan indeks kecurigaan terhadap
penyakit demam tifoid sehingga tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis pasti
penyakit demam tifoid. Hasil negatif dapat ditemukan pada kondisi tidak ada
infeksi oleh S. typhi, status karier, inokulum bakteri tidak adekuat menginduksi
produksi antibodi penjamu, kesulitan teknik atau kesalahan dalam pengerjaan tes,
telah mendapat terapi antibiotik, dan variasi dalam antigen komersial. Sedangkan
hasil positif dapat ditemukan pada kondisi terinfeksi S. typhi, setelah imunisasi
dengan antigen Salmonella, reaksi silang dengan Salmonella non-tifoidal,
buruknya dan variasi standardisasi antigen komersial, infeksi dengan malaria atau
enterobacteriaceae lain, dan penyakit lain seperti dengue.
Dari berbagai penelitian, pemeriksaan Widal dapat memberi hasil positif
palsu karena terjadi reaksi silang dengan antigen non-tifoidal. Di antaranya
dengan malaria, dengue, tuberkulosis milier, endokarditis, penyakit liver kronik,
Brucellosis, dan lain-lain. Olopenia dkk melakukan penelitian mengenai titer
aglutinin Widal pada pasien Nigeria dengan atau tanpa hapusan malaria positif.
Mereka menemukan 85% pasien dengan kultur S. typhi negatif tetapi positif
hapusan malaria menghasilkan titer aglutinin Widal 1:40 sebanyak 85%, 1:80
sebanyak 12%, dan 1:160 sebanyak 3%. Sebaliknya, 45% pasien dengan kultur S.
typhi positif dan hapusan malaria negatif memiliki titer aglutinin Widal 1:40
sebanyak 45%, 1:80 sebanyak 15%, dan 1:160 sebanyak 10%.
Interpretasi hasil Widal masih kontroversial dan tergantung pada standardisasi

14
dan maintenance antigen untuk memberikan hasil yang konsisten. Welch 1963,
mengatakan bahwa sebenarnya pemeriksaan Widal adalah sempurna, apabila
dilakukan standardisasi dari komponen antigen yang digunakan. Namun, masalah
ketidak-spesifik dan ketidak-sensitifnya pemeriksaan Widal masih terus berlanjut
sampai saat ini. Penggunaan vaksin tifoid-paratifoid, dan paparan berulang
terhadap spesies Salmonella cenderung menurunkan spesifisitas tes Widal. Hasil
tes yang bervariasi, kesulitan dalam menentukan nilai dasar titer aglutinin Widal
penduduk, paparan berulang terhadap S. typhi dan adanya reaksi silang dengan
organisme non Salmonella menyebabkan hasil pemeriksaan Widal pada daerah
endemis kurang dipercaya.
Mengenai titer aglutinin H dan O, Huckstep menyatakan bahwa aglutinin H
tidak membantu penegakan diagnosis demam tifoid, titer aglutinin H masih
meningkat untuk jangka waktu lebih lama dari titer aglutinin O setelah episode
demam tifoid dan juga meningkat infeksi lain. Namun, Brodie, Coovadia, Pang,
dan Sommerville menyatakan bahwa titer aglutinin H berguna seperti aglutinin O.
Sedangkan Parry menyatakan bahwa aglutinin H kurang spesifik tapi lebih
spesifik dari aglutinin O dan memberikan nilai prediktif positif yang lebih baik.
Pemeriksaan Widal dikatakan positif jika ditemukan peningkatan titer
antibodi O atau H lebih besar atau sama dengan 1:160 pada akhir minggu pertama
sakit atau ditemukan peningkatan titer antibodi O atau H lebih dari empat kali
pada dua kali pemeriksaan terpisah dengan jarak 2-3 minggu. Pelaporan hasil
negatif apabila tidak terdapat aglutinasi, dan bila terdapat aglutinasi dilaporkan
dengan titer pengencerannya.
Berbagai keterbatasan tes Widal dan pemeriksaan kultur yang memakan
waktu lama dapat diatasi dengan penemuan tes lain yang lebih spesifik, sensitif,
dan cepat.
b. Salmonella typhi IgM (Yusra, 2013)
Keterbatasan pemeriksaan Widal dan sulitnya pemeriksaan kultur dalam
mendiagnosis demam tifoid, mendorong berkembangnya metode pemeriksaan
yang lebih cepat dan akurat yang dapat mendeteksi S.typhi immunoglobulin M.
Berbagai merk yang dapat mendeteksi S.typhi IgM adalah TUBEX, Typhidot,
Salmonella typhi IgM anti-LPS ELISA, dan lain-lain. Pemeriksaan yang

15
mendeteksi IgM dari Salmonellaenteric serovar typhi (S.typhi) dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu mendeteksi IgM terhadap lipopolisakarida O9 (TUBEX),
terhadap 50 kDa outer membrane protein (OMP), dan terhadap antigen somatik
dan flagelar (ELISA) dari S.typhi.

1) Deteksi IgM terhadap lipopolisakarida O9 (TUBEX)


Prinsip Pemeriksaan
Pemeriksaan yang mendeteksi IgM terhadap lipopolisakarida O9 adalah
berdasarkan kemampuan antibodi dari pasien untuk menghambat ikatan antara
partikel antara indikator warna yang dilapis dengan antibodi monoklonal yang
spesifik terhadap antigen lipopolisakarida (LPS) O9 S.typhi dan partikel magnetik
yang dilapis dengan LPS S.typhi. Pemeriksaan ini memiliki kemiripan dengan tes
aglutinasi latex slide dalam hal sederhana, cepat, mudah, dan pembacaan hasil
secara visual. Namun, ada usaha untuk meningkatkan sensitivitas dan
spesifisitasnya melebihi tes aglutinasi latex slide dengan cara desain tabung
berbentuk-V, menggunakan dua tipe reagen partikel, yaitu partikel indikator
warna dan partikel magnetik, dan prinsip pemeriksaan berdasarkan hambatan.
Oleh karena itu, pemeriksaan ini secara teori lebih atraktif dan dapat dipercaya
daripada tes aglutinasi latex. Sistem pemeriksaan hambatan dua partikel
(inhibition two-particle assay) menyebabkan pemeriksaan ini kurang rentan
terhadap reaksi nonspesifik yang disebabkan oleh substansi atau perubahan pH
dalam medium. Pembacaan hasil lebih mudah karena berdasarkan warna dan
secara biologik lebih aman dengan sistem tertutup.
Teknik Pemeriksaan
Teknik Pemeriksaan ada dua cara, yaitu untuk mendeteksi antibodi dan
deteksi antigen. Tersedia chamber yang berbentuk-V sebanyak 6 dalam 1 set dan
2 macam reagen yang terdiri dari reagen coklat (berisi partikel magnetik yang
dilapis antigen LPS O9) dan reagen biru (berisi partikel indikator yang dilapis
monoklonal antibodi anti-O9).
Deteksi antibodi dilakukan dengan mencampur serum sampel dengan reagen
coklat pada chamber-V selama dua menit, kemudian ditambahkan reagen biru dan
dicampur selama dua menit. Campuran reaksi diletakkan pada magnet stand dan
warna yang terbentuk dibaca segera dengan membandingkan perubahan warna

16
yang terjadi dengan daftar contoh warna yang telah disediakan dari pabrik.
Deteksi antigen dilakukan dengan menambahkan reagen biru terlebih dahulu baru
kemudian ditambahkan reagen coklat. Hasil kemudian dibaca setelah partikel
magnetik mengendap.

Gambar 4. Prosedur TUBEX TF (IDL Biotech, 2018)

Interpretasi Hasil
Perubahan warna diterjemahkan menjadi skor 0-10. Skor 0-2 disebut negatif,
dan skor 3-10 disebut sebagai positif. Pembacaan warna secara visual
memerlukan pencahayaan dan pengalaman yang cukup. Variasi antar pembaca,
kekeruhan serum, dan serum yang hemolisis juga dapat memengaruhi pembacaan
hasil.
Dari hasil penelitian Tam dkk didapatkan hasil bahwa pemeriksaan ini cukup
spesifik terhadap LPS dari Salmonella grup D (S. typhi dan S. enteritidis) dengan
hasil skor 10. Pemeriksaan ini juga dapat memberikan hasil positif terhadap
bakteri utuh. Reaktivitas lebih jelas terlihat pada konsentrasi antigen yang lebih
rendah (<125 µg/mL) daripada konsentrasi tinggi. Hasil juga dipengaruhi oleh
individual urine atau serum, bukan oleh pengaruh pH sampel. Pada keadaan
dimana antigen terdapat sampel, maka sensitivitas pemeriksaan ini dalam
mendeteksi antibodi menjadi berkurang.
Analisis tes ini untuk diagnosis demam tifoid dari penelitian Ley dkk,

17
menunjukkan hasil yang bervariasi dalam sensitivitas dan spesifisitasnya. Ley
membandingkan penelitiannya dengan berbagai penelitian dari Bangladesh, Cina,
Filipina, India, Vietnam, Hongkong, dan Malaysia. Baku emas (gold standard)
yang digunakan adalah biakan darah dengan menggunakan cara manual maupun
BACTEC. Sensitivitas tes ini dapat bervariasi dari 56-100%, sedangkan
spesifisitas bervariasi dari 43-100%.

2) Deteksi IgM terhadap 50 kDa OMP S. typhi


Pemeriksaan ini berdasarkan prinsip dot enzyme immunosorbent assay (EIA).
Inaktivasi IgG dilakukan terlebih dahulu sebelum pemeriksaan. Tes ini
menggunakan strip membran nitroselulose yang direkatkan dengan 50 kDa
protein spesifik dan antigen kontrol.
Teknik Pemeriksaan
Sebanyak 2,5 µL serum pasien dan kontrol dilakukan pre-absorpsi selama 1
menit dengan 90 µL reagen inaktivasi IgG. Kemudian ditambahkan 250 µL
sample diluents de dalam well reaksi, mencampur dan inkubasi pada suhu ruang
selama 20 menit sambil diletakkan pada rocker platform. Strip dicuci 3 kali
selama 5 menit, dan kemudian ditambahkan konjugat anti-human IgM, lalu
inkubasi selama 15 menit. Strip dicuci kembali. Kemudian ditambahkan 250 µL
colour development solution dan diinkubasi selama 15 menit. Reaktif dihentikan
dengan mencuci strip dalam distilled water dan hasil dapat dibaca.
Interpretasi Hasil
Hasil positif jika terdapat titik berwarna gelap pada kontrol dan sampel. Pada
penelitian Narayanappa dkk, didapat sensitivitas tes ini sebesar 92,6%. Tes ini
memperlihatkan hasil positif pada 97% kasus dengan demam kurang dari 7 hari
dibanding dengan hasil Widal positif 24,2% (sebagai gold standard adalah kultur
positif).
Tes ini merupakan tes yang ideal karena simpel, sensitif, cepat (3 jam),
deteksi awal S. typhi, dan memerlukan alat yang minimal dan pelatihan untuk
operator. Keterbatasannya adalah harga yang lebih tinggi dan memerlukan
penyimpanan reagen pada suhu dingin.

3) Deteksi IgM terhadap Antigen Somatik (TO) dan Flagelar (TH) S. typhi

18
Pemeriksaan ini berdasarkan prinsip enzyme-link immunosorbent assay
(ELISA). Antigen TO dan TH dicampur dengan rasio 1:3 dan diisi ke dalam plate
dengan volume 2,5 µL dalam buffer karbonat. Dasar plate ELISA dilapis dengan
menambah 100 µL campuran antigen untuk setiap well dan inkubasi pada 4oC satu
malam. Plate dicuci 3 kali dengan PBST (buffer phosphate saline yang
mengandung 1% Tween 20) dan diblok dengan menambahkan 200 µL/well
blocking buffer (carbonate buffer dengan 1% w/v bovine serum albumin, BSA)
dan diinkubasi selama 1 jam pada suhu 37oC. Plate diuci dengan PBST sebanyak
tiga kali kemudian disimpan pada suhu -20oC untuk siap digunakan kemudian.
Teknik Pemeriksaan
Sampel dicampur PBST dengan 0,1% w/v BSA pada 1:160 dan 100 µL
ditambahkan ke dalam setiap well (duplo). Perlakuan sama terhadap kontrol
positif dan negatif. Inkubasi 1 jam pada 37oC kemudian dicuci 3 kali dengan
PBST. Tambahkan 100 µL/well peroxidase-labelled goat anti-human conjugate
yang diencerkan 1:20.000 dalam PBST dengan 0,1% BSA. Tambahkan konjugat
anti-human IgM. Pengenceran optimal untuk IgM adalah 1:10.000. Inkubasi 30
menit pada 37oC kemudian cuci 3 kali dengan PBST. Tambahkan substrat O-
phenylene diamine (OPD) 100 µL setiap well dan inkubasi selama 30 menit pada
suhu 21-24oC di ruang gelap. Tambahkan stop solution 50 µL (1 atau 2M H2SO4)
ke dalam setiap well. Intensitas warna dibaca dengan microplate reader pada 490
nm.
Interpretasi Hasil
Nilai cut-off untuk IgM pada 490 nm dan pengenceran 1:160 adalah 0,3.
Setiap pemeriksaan dengan hasil di atas atau sama dengan nilai cut-off disebut
reaktif, sebaliknya jika kurang dari cut-off disebut non-reaktif dan dilaporkan
sebagai negatif untuk antibodi anti-S. typhi. Pada sampel yang reaktif dilakukan
pengenceran serial dari 1:160 sampai 1: 5.120 untuk menentukan titer
pemeriksaan. Sampel yang memberikan nilai titer lebih dari 320 disebut reaktif
dan dilaporkan sebagai positif terhadap antibodi anti-S. typhi.

19
C. ANALISIS KASUS
Sampel darah pasien laki-laki umur 8 tahun dikirim dari ruang akut IKA ke
laboratorium sentral RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 22 Oktober 2019
untuk pemeriksaan laboratorium TUBEX TF dengan keterangan klinis demam
tifoid.
Pasien memiliki keluhan berupa demam hilang timbul sejak ± 10 hari yang
lalu sebelum masuk rumah sakit, demam terutama di sore hari. Demam disertai
nyeri kepala, nyeri perut sekitar ulu hati, mual tidak disertai muntah, dan BAB
encer berwarna kehijauan dengan frekuensi 2-3x/hari sejak ± 10 hari yang lalu.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan status gizi kurang, hematom di tempat
flebotomi, lidah kotor, terdengar rhonki minimal di kedua lapangan paru, dan
didapatkan pembesaran hepar. Pasien merupakan kiriman dari RSUD Kota
Padang Panjang dengan diagnosis awal di IGD peritonitis difus ec peritonitis
tifoid + trombositopenia. Tes Widal dari RSUD didapatkan S.ty H : 1/320 dan S.ty
O : 1/320.
Hasil pemeriksaan laboratorium di RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal
24 Oktober 2019 didapatkan TUBEX TF : 8 yang menunjukkan indikasi kuat
adanya infeksi demam tifoid aktif. Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 19
Oktober 2019 saat pasien di IGD didapatkan kesan anemia (Hb: 10,4 g/dL),
trombositopenia (trombosit: 11.000 /mm3), total protein dan albumin menurun,
SGOT dan SGPT meningkat, serta penurunan kadar natrium, kalium, dan klorida.
Prinsip pemeriksaan Widal adalah aglutinasi yang mendeteksi adanya serum
aglutinin (H dan O) pada serum pasien demam tifoid dan paratifoid. Antibodi
Salmonella muncul di serum di akhir minggu pertama dan meningkat tajam pada
minggu ketiga demam. Pada demam tifoid akut, aglutinin O biasanya terdeteksi 6-
8 hari setelah demam dan agglutinin H terdeteksi setelah 10-12 hari. Pemeriksaan
Widal dikatakan positif jika ditemukan peningkatan titer antibodi O atau H lebih
besar atau sama dengan 1:160 pada akhir minggu pertama sakit atau ditemukan
peningkatan titer antibodi O atau H lebih dari empat kali pada dua kali
pemeriksaan terpisah dengan jarak 2-3 minggu. Pelaporan hasil negatif apabila

20
tidak terdapat aglutinasi, dan bila terdapat aglutinasi dilaporkan dengan titer
pengencerannya. Pemeriksaan Widal tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis
pasti penyakit demam tifoid karena hanya berperan untuk meningkatkan indeks
kecurigaan adanya demam tifoid (Yusra, 2013; Aryal S, 2018). Tes Widal pasien
ini didapatkan S.ty H : 1/320 dan S.ty O : 1/320.
Tubex TF merupakan tes diagnostik in vitro yang dapat mendeteksi awal
Salmonella typhi IgM anti-O9 antibodies dalam serum. Pemeriksaan ini memiliki
sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi terhadap infeksi tifoid, yaitu 95% dan 80%
(IDL Biotech, 2018). Antigen O9 Salmonella bersifat imunodominan dan kuat
secara imunogenik. Tidak seperti antigen capsular (Vi) dan flagellar yang bersifat
thymus-independent tipe II dan imunogenik buruk pada bayi, antigen O9 (atau
LPS pada umumnya) adalah thymus-independent tipe I, imunogenik pada bayi,
dan mitogen sel B yang kuat. Antigen ini dapat merangsang sel B tanpa bantuan
sel T (tidak seperti antigen protein) dan, akibatnya, respons anti-O9 cepat. Ini
penting secara teleologis, karena mereka membentuk garis pertahanan pertama
host. Hasil positif yang diberikan oleh Tubex selalu menunjukkan infeksi
Salmonella, meskipun tes tidak dapat menentukan kelompok D Salmonella mana
yang bertanggung jawab. Infeksi yang disebabkan oleh serotipe lain, termasuk S.
paratyphi A, memberikan hasil negatif (WHO, 2003). Hasil TUBEX TF ini
menunjukkan nilai 8 yang menunjukkan indikasi kuat adanya infeksi demam
tifoid aktif.
Demam tifoid dapat menimbulkan berbagai kelainan hasil hematologi berupa
leukopenia, anemia, dan trombositopenia. Leukopenia terjadi akibat depresi
sumsum tulang oleh endotoksin dan mediator endogen yang ada. Kejadian
leukopenia sebanyak 25% tapi dewasa ini didapatkan banyak laporan berupa
leukosit normal atau leukositosis ringan. Kejadian trombositopneia dihubungkan
dengan produksi yang menurun dan destruksi yang meningkat oleh sel-sel RES.
Sedangkan anemia juga disebabkan karena produksi hemoglobin yang menurun
serta kejadian perdarahan intestinal yang tak nyata (occult bleeding). Perdarahan
hebat pada abdomen perlu diwaspadai jika terjadi penurunan hemoglobin secara
akut pada minggu ke 3-4 (Menkes RI, 2006). pada pasien ini didapatkan hasil
hematologi dengan kesan anemia dan trombositopenia.

21
Penurunan albumin bisa disebabkan karena malnutrisi atau penyakit hepar
(Bishop ML et al., 2010a). Pasien memiliki status gizi kurang dan juga
peningkatan SGOT dan SGPT yang mengarah ke kerusakan hepar. Kadar SGOT
yang tinggi didapatkan pada kelainan hepatoselular akut. Kadar SGOT pada
hepatitis virus dapat mencapai 100 kali lipat dari nilai batas atas, sedangkan pada
sirosis hanya didapatkan peningkatan sedang, yaitu sekitar empat kali lipat dari
nilai batas atas. Pemeriksaan SGPT memiliki makna klinis pada evaluasi kelainan
hepar. Peningkatan SGPT pada kelainan hepatoseluler didapatkan lebih tinggi
dibandingkan pada kelainan obstruksi ekstrahepatik dan intrahepatik. Pada
keadaan inflamasi akut, peningkatan SGPT biasanya lebih tinggi dari SGOT dan
cenderung tetap meningkat lebih lama karena masa paruh SGPT yang lebih lama
di serum (SGOT 16 jam dan SGPT 24 jam) (Bishop ML et al., 2010b).
Kerusakan hepar ini bisa disebabkan karena berbagai hal seperti hepatitis dan
sirosis hepar. Untuk itu diperlukan USG hepar untuk menilai anatomi hepar.
Kerusakan hepar juga mempengaruhi produksi platelet karena hepar merupakan
tempat produksi trombopoietin. Trombopoetin berfungsi sebagai regulator mayor
megakariositopoiesis yang akan meregulasi produksi dan maturasi platelet
(Mitchell O et al., 2016). Kerusakan hepar juga bisa menyebabkan anemia.
Anemia pada penyakit hepar bisa disebabkan berbagai hal seperti peningkatan
voulme darah, pemendekan umur eritrosit, sumsum tulang yang inadekuat,
perdarahan, penekanan sumsum tulang karena agen eksogen, dan kekurangan
nutrisi (Means Jr, 2019)
Penurunan kadar natrium, kalium, dan klorida pasien diduga karena dehidrasi
akibat demam dan BAB encer yang telah berlangsung sejak ± 10 hari yang lalu
sebelum masuk RS. Penurunan kadar natrium, kalium, dan klorida salah satunya
bisa disebabkan oleh muntah atau diare yang berlangsung lama (Bishop ML et al.,
2010c).

22
DAFTAR PUSTAKA

Aryal S, 2018, Widal Test- Introduction, Principle, Procedure, Interpretation


and Limitation. Diunduh pada tangal 16 Januari 2020 dari
https://microbiologyinfo.com/widal-test-introduction-principle-procedure-
interpretation-and-limitation/

Bishop ML, Fody EP, Schoeff LE, 2010a, Clinical Correlations and Analytic
Procedures in Clinical Chemistry - Techniques, Principles, Correlations 6th
Edition, China: Wolters Kluwer - Lippincott Williams & Wilkins, p: 221-65

Bishop ML, Fody EP, Schoeff LE, 2010b, Enzymes in Clinical Chemistry -
Techniques, Principles, Correlations 6th Edition, China: Wolters Kluwer -
Lippincott Williams & Wilkins, p: 281-308

Bishop ML, Fody EP, Schoeff LE, 2010c, Electrolytes in Clinical Chemistry -
Techniques, Principles, Correlations 6th Edition, China: Wolters Kluwer -
Lippincott Williams & Wilkins, p: 356-83

Himedia, 2016a, HiPer® Widal Test Teaching Kit (Tube Test). Diunduh pada
tanggal 19 Januari 2020 dari http://himedialabs.com/TD/HTI018.pdf

Himedia, 2016b, HiPer® Widal Test Teaching Kit (Slide Test). Diunduh pada
tanggal 19 Januari 2020 dari http://himedialabs.com/TD/HTI017.pdf

IDL Biotech, 2018, TUBEX® TF Rapid typhoid detection, diunduh pada tangal 4
Januari 2020 dari http://idlbiotech.com/wp-
content/uploads/2018/08/IDL_TUBEX_folder-1511-web.pdf

Means Jr, RT, 2019. Anemias Secondary to Inflammation/Chronic Disease and


Systemic Disorders in Wintrobe’s Clinical Hematology 14th Edition. China:
Wolter Kluwer, p: 3197-203.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Menkes RI), 2006, Pedoman


Pengendalian Demam Tifoid dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 364/Menkes/SK/V/2006, Jakarta : Kementrian Kesehatan
Indonesia, p: 1-41

Mitchell O, Feldman DM, Diakow M, Sigal SH, 2016, The Pathophysiology of


Thrombocytopenia in Chronic Liver Disease in Hepatic Medicine: Evidence
and Research 8, p: 39-50, DOI : http://dx.doi.org/10.2147/HMER.S74612.

Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI, 2008, Demam Tifoid dalam
Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi Kedua, Jakarta: Ikatan Dokter
Anak Indonesia (IDAI), p: 338-46

23
Widodo D, 2006, Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III
Edisi IV, Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, pp: 1752-7

World Health Organization (WHO), 2003, Diagnosis of typhoid fever in WHO :


The Diagnosis, Treatment and Prevention of Typhoid Fever, Swiss:
Communicable Disease Surveillance and Response Vaccines and Biologicals
- WHO, pp: 7-18.

Yusra, 2013, Demam Tifoid: Widal dan Salmonella typhi IgM dalam
Pemeriksaan Serologi Penyakit Infeksi - Pendidikan Berkesinambungan
Patologi Klinik 2013, Jakarta: Departemen Patologi Klinik FKUI, pp: 12-2

24

Anda mungkin juga menyukai