Anda di halaman 1dari 9

Nama : Alifia Nisfah Sya’bania

NPM : 412118020
(2A D4 TLM)

Mycobacterium Tuberculosis

A. Pendahuluan

bakteri M.tuberculosis pewarnaan ziehl neelsen

Tubercolosis adalah penyakit menular langsung yang di sebabkan oleh kuman TBC
(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ lain. Tuberculosis adalah penyakit menular yang di sebabkan oleh kuman
mycobacterium tubercolosa masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara pernapasan ke dalam
paru-paru kemudian kuman dapat menyebar dari paru-paru kebagian tubuh yang lain melalui
system peredaran darah dan system saluran limfe atau penyebaran ke tubuh lainnya (Soeparman,
Dkk, 1998:715).
B. Epidemiologi
Di Indonesia, TBC merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TBC
di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan pada tahun
2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang (Anonim, 2007). Di
Indonesia dengan prevalensi TBC positif 0,22% (laporan WHO 1998), penyakit ini merupakan
salah satu penyakit yang setiap tahun mortalitasnya cukup tinggi. Kawasan Indonesia timur
banyak ditemukan terutama gizi makanannya tidak memadai dan hidup dalam keadaan sosial
ekonomi dan higiene dibawah normal (Tjay dan Rahardja, 2007). Hampir 10 tahun lamanya
Indonesia menempati urutan ke-3 sedunia dalam hal jumlah penderita tuberkulosis. Berdasarkan
Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2007 menyatakan jumlah penderita
tuberkulosis di Indonesia sekitar 528.000. Laporan WHO pada tahun 2009, mencatat peringkat
Indonesia menurun ke posisi lima dengan jumlah penderita TBC sebanyak 429.000 orang. Pada
Global Report WHO 2010, didapat data TBC Indonesia, total seluruh kasus TBC tahun 2009
sebanyak 294.731 kasus, dimana 169.213 adalah kasus TBC baru BTA positif, 108.616 adalah
kasus TBC BTA negatif, 11.215 adalah kasus TBC ekstra paru, 3.709 adalah kasus TBC
kambuh, dan 1.978 adalah kasus pengobatan ulang diluar kasus kambuh(Anonim, 2011)

C. Patogenesis
Basis tuberculosis bisa masuk kedalam tubuh dengan 3 cara yaitu melalui saluran
pernafasan, saluran pencernaan dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberculosis
disebakan karena inhalasi kuman tuberkel sedangkan untuk saluran cerna biasanya disebabkan
oleh susu yang sudah terkontaminasi dan mengandung basil jenis bovin.
Basil tuberculosis masuk kedalam paru-paru melalui saluran pernafasan yang pertama
dijangkiti ialah apeks paru sebelah kiri atau kanan dan dapat kedua-duanya. Penyakit dapat
menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme yang melaui kelenjar getah
bening dalam jumlah kecil akan mencapai aliran darah yang kadang-kadang dapat menimbulkan
lesi pada bagian organ. Jenis penyebaran ini dikenal dengan nama lipohematogen. Jenis
penyebaran hematogen ialah fenomena akut yang biasanya menyebabkan tuberculosis milier, ini
terjadi jika fokus basil tersebut merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk
kedalam sistem vaskuler dan tersebar ke organ-organ tubuh.
Kemudian timbul tuberkel yaitu berupa bintik-bintik kecil dimana kuman itu kemudian
bersarang, tuberkel ini berisi tuberculosis dan sel-sel yang sudah mati kemudian bersatu dan
lama-kelamaan akan akan terjadi proses perkejuan dimana jaringan paru akan mati atau nekrosis.
Jaringan-jaringan yang mati ini akan dikelurkan penderita waktu batuk dan akhirnya
beberbentuk suatu rongga yang disebut caverneu dan ini pada pembuluh darah yang pecah maka
akan terjadi hemaptoe (batuk darah). Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh
respon imunitas perantara sel. Sel efektornya adalah makrofag, sedangkan limfosit T (sel T)
adalah sel imunoresponsifnya. Tipe imunitas ini biasanya lokal, melibatkan makrofag yang
diaktifkan di tempat infeksi oleh limfosit dan limfokinnya. Respon ini disebut sebagai reaksi
hipersensitifitas.
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveoalus biasanya diinhalasi sebagai suatu unit
yang terdiri dari satu sampai tiga basil, gumpalan basil yang lebih besar cenderung tertahan di
saluran hidung dan cabang besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada
dalam ruang alveolus biasanya dibagian bawah lobus atas paru-paru atau dibagian lobus bawah
basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada
tempat tersebut dan memfogosit bakteri namun tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah
hari-hari pertama maka leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami
konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut. Pneumonia selular ini dapat sembuh dengan
sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang tertinggal atau proses dapat juga terus berjalan dan
bakteri terus difogosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah
bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian
bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini
biasanya membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari.
Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti lesi
nekrosis ini disebut nekrosis caseosa. Daerah yang mengalami nekrosis caseosa dan jaringan
granulasi disekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblas menimbulkan respon berbeda.
Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa, membentuk jaringan parut yang akhirnya akan
membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel. Lesi primer paru-paru dinamakan fokus
Ghan dan gabungan terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi primer dinamakan
kompleks Ghon. Kompleks ghon yang mengalami perkapuran ini dapat dilihat pada orang sehat
yang kebetulan menjalani pemeriksaan radiologi rutin.
Respon lain yang terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan, dimana bahan cair lepas ke
dalam bronkhus dan menimbulkan kavitas. Kavitas yang kecil dapat menutup tanpa peradangan
dengan meninggalkan jaringan parut. Bila peradangan mereda lumen bronkhus dapat menyempit
dan terttutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat dengan perbatasan bronkhus. Bahan
perkijuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung, sehingga
kavitas penuh dengan bahan perkijuan, dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas.
Keadaan ini akan mengakibatkan peradangan aktif pada bronkhus.
Penyakit menyebar secara limfohemotogen melalui kelenjar-kelenjar getah bening dan
secara hemotogen ke seluruh organ tubuh.
D. Respon imun terhadap pada tuberkulosis:
Tuberculosis merupakan penyakit yang basanya menyerang paru-paru. Inhalasi droplet
yang mengandung sedikit bakteri ditelan oleh makrofag alveolar. Makrofag menghancurkan
patogen dan mengangkutnya ke saluran kelenjar limfe. Selanjutnya terbentuk lesi granulomatous
yang kecil berisi bakteri ini. Ini terjadi pada 90% dari semua yang terinfeksi. Granula ini tidak
secara langsung menyebabkan penyakit. Resiko berkembangnya penyakit tetap ada, karena
bakteri ini tidak dieradikasi. Pada orang dengan system imun yang kompromis, penyakit akan
berkembang setelah infeksi primer. Sebagai contoh kasus adalah penderita HIV, dimana resiko
berkembangnya penyakit tuberculosis meningkat tajam sesuai dengan derajat imunodefisiensi
(kaufmann S,2002)
Saat awal infeksi, makrofag merupakan sel target utama, namun kemudian setelah
teraktifasi, akan membunuh bakteri ini dan berpartisipasi dalam respons proteksif sel T helper
tipe 1 dan respon Th2 untuk bakteria target ekstraseluler yang disebut imunitas humoral
(Marino,2001)
Bakteri berada dalam lesi granulomatous, dimana populasi sel T yang berbeda ikut
berpartisipasi dalam respons imun protektif. Berikut ini adalah populasi sel T yang terlibat: (1)
sel T CD4 mengenali peptide antigenic dalam kontekstualisasi produk gen yang dikode oleh
major histocompability complex (MHC) kelas II; (2) sel T CD8 mengenali peptide antigenic
dalam major histocompability complex (MHC) kelas I; (3) sel T mengenali ligan antigenic bebas
yang tidak umum dari molekul presentasi khusus, terutama phopholiganat; (4) sel T CD1
mengenali glikolipid yang melimpah pada dinding sel mycobacterial yang dipresentasikan oleh
molekul CD1 (Kaufmann,2002)
Pada infeksi Mycobacterial, tipe stikon Th-1 terlihat paling utama dalam imunitas
protektif. Kedua sel CD4+ dan CD8+ melakukan pertahanan melawan M.tuberculosis, namun
fungsi efektor sel T dapat tercapai hanya setelah priming dan diferensiasi. Sel mature dendritic
melepas sitokin yang diinduksi oleh Th-1 yaitu interleukin (IL)-12 dan interferon (IFN)- γ dalam
jumlah konsisten, sebaliknya, makrofag yang terinfeksi memproduksi terutama sitokin
proinflamasi yang menginduksi peradangan. Sitokin di lingkungan paru (GMCSF, IL-10, IL-4)
mungkin juga berperanan dalam maturasi monosit (Marino, 2004)
Sitokin diproduksi oleh berbagai jenis sel yang telibat baik pada system imunitas alamiah
maupun adaptif. Sitokin secara langsung dirpduksi oleh makrofag dan sel limfosit T, dan sumber
lain (IFN)- γ dari sel limfosit T CD8+. Empat konsentrasi sitokin yaitu tipe 1 (IFN- γ dan IL-12),
dan tipe II (anti tipe-1) (IL-10 dan IL-4). Sitokin tipe Th2 menghambat produksi (IFN)- γ secara
in vitro, seperti pada aktivasi makrofag, sehingga melemahkan pertahanan tubuh host. (IFN)- γ
terutama diproduksi oleh sel Th1 sebelum dan setelah makrofag teraktivasi. Sumber tambahan
lain dari sitokin ini adalah sel T CD8+. Sumber ini berkaitan dengan fungsi konsentrasi bacterial
IL-12. Pada paru-paru IL-12 diproduksi terutama oleh makrofag teraktifasi dan residen. Efek
utamanya adalah meningkatkan cell-mediated immunity secara lansung dan meningkatkan
diferensiasi precursor Th menjadi Th1, dan secara tidak langsung dengan memfasilitasi produksi
(IFN)- γ. Sedangkan IL-10 bekerja sebagai sitokin down regulatory. Sitokin ini mempengaruhi
makrofag dan limfosit dan selalu berlawanan dengan (IFN)- γ dan IL-10, dengan mekanisme
feedback yang kompleks menekan cell-mediated immunity. Sel Th1 dan Th2 memproduksi IL-
10, dengan memproduksi IL-10 seperti pada precursor Th. Makrofag juga mensekresi sitokin ini,
terutama M1 setelah terinfeksi ole M.tuberculosa. IL-4 merupakan sitokin tipe-2 utama yang
mengatur diferensiasi prekursor Th2 menjadi sel Th2 dan regulasi turun diferensiasi prekursor
Th menjadi sel Th21. Sitokin ini terutama diproduksi oleh precursor Th dan sel Th2.
(Marino,2004)
E. Pemeriksaan lab:
 Pemeriksaan IGRA
mirip dengan pemeriksaan tuberkulin (PPD-test). Pemeriksaan IGRA berguna dalam deteksi
sitokin bernama Interferon gamma, yaitu produk seluler yang dihasilkan oleh limfosit T helper
sebagai respon terhadap infeksi intraseluler seperti TB. Pemeriksaan IGRA lebih bermanfaat
untuk deteksi TB laten karena pada penderita TB laten Mycobacterium tuberculosis sedang
dalam keadaan dormant (tertidur).
Dari pasien akan diambil darah sebanyak 4 mL dengan cara yang lazim yaitu umumnya dari
vena lengan dengan menggunakan antikoagulan heparin. Darah heparin tersebut dimasukkan ke
dalam 3 tabung darah khusus.
Ada 3 tabung darah yaitu tabung kosong (Nil), tabung TB Antigen, dan tabung Mitogen.
Tabung TB Antigen berisikan campuran cocktail peptida yang menyerupai protein-protein
ESAT-6, CFP-10, dan TB7.7 (p4) untuk merangsang sel darah putih limfosit dalam darah
heparin tersebut. Lalu tabung-tabung tersebut diinkubasi pada suhu 37 oC secepat mungkin
dalam jangka waktu 16 jam dari pengambilan. Inkubasi selama 16-24 jam, lalu plasma
dipisahkan dengan cara pemusingan (centrifuge). Tabung Mitogen menjadi kontrol positif dan
juga untuk mengetahui apakah prosedur penanganan spesimen darah serta inkubasi sudah benar.
Plasma diperiksa dengan cara ELISA terhadap kadar interferon-γ (IFN-γ) yang dikaitkan dengan
infeksi MTB.
IGRA menguji imunitas selular dari tubuh sebagai respons terhadap antigen peptida yang
menyerupai protein mikobakterial. Protein-protein tersebut tiada pada semua strain BCG dan
kebanyakan mikobakteria nontuberkulosis kecuali M. kansasii, M. szulgai, and M. marinum.
Pada orang yang terinfeksi oleh organisme kompleks MTB limfosit dalam darahnya mengenali
antigen tersebut dan antigen mikobakteria lainnya dan menghasilkan sekresi sitokin IFN-γ yang
akan dideteksi dan diukur banyaknya.

 Pemeriksaan dahak (Sputum)

Pemeriksaan ini penting dilakukan pada penderita dewasa dan anak besar untuk menemukan
kuman penyakit TBC. Dahak yang terbaik untuk diperiksa adalah pagi hari, karena paling
banyak mengandung kuman dibandingkan pada saat lain. Untuk memperbesar kemungkinan
ditemukan kuman, pemeriksaan sebaiknya dilakukan 3 kali berturut-turut. Dahak yang
dikeluarkan harus berasal dari seluruh nafas bagian bawah, bukan dahak tenggorokkan atau air
ludah. Dahak tersebut harus dikeluarkan dengan cara dibatukkan yang kuat. Dahak tersebut
ditampung di tempat bersih (tempatnya dapat minta di laboratorium), di tutup rapat dan cepat di
bawa ke Laboratorium untuk diperiksa.

Di laboratorium dahak diwarnai dengan pewarnaan khusus, pewarnaan basil tahan asam (BTA)
dengan metoda Ziehl-Neelsen sehingga kuman akan tampak jelas bila dilihat dibawah
mikroskop. Dengan pembesaran 1000 kali kuman tampak berupa batang lurus ramping, kadang
sedikit bengkok berukuran panjang 0,8 – 5 mikron dan tebal 0,2 – 0,5 mikron.

Ditemukannya kuman dalam dahak, sangat memastikan adanya penyakit TBC. Namun tidak
ditemukannya kuman, belum memastikan tidak adanya TBC, untuk itu perlu pemeriksaan lain.

Sayangnya pemeriksaan dahak BTA hanya mempunyai kepekaan (sensitivitas) 60–70% bahkan
hal tersebut akan menjadi lebih rendah jika penderita juga mengidap HIV

 Pemeriksaan Rontgen Paru

Pemeriksaan rontgen paru sangat membantu untuk mengetahui adanya TBC paru, serta
mengetahui hasil pengobatan. Pada gambaran rontgen paru penderita TBC dapat ditemukan
infiltrat yang berupa awan atau bercak-bercak putih pada paru, pembesaran kelenjar getah bening
pada hilus (saluran nafas), adanya cairan kantong paru (pleural efusion), adanya kaverne (rongga
kecil akibat kerusakan akibat jaringan paru). Pemeriksaan rontgen juga dengan cara melihat
gambarannya dan membandingkan dengan gambaran sebelumnya. Oleh karena itu pada
pemeriksaan ulang, foto rontgen sebelumnya harus dibawa.

Pada penderita TBC yang telah sembuh , gambaran rontgen dapat kembali normal, namun
sebagian penderita sering masih meninggalkan bekas berupa garis-garis putih (fibrotik) dan
perkapuran (kalsifikasi). Pada TBC yang masih awal atau sudah dalam proses penyembuhan,
hasil rontgen kadang sulit memberikan gambaran yang jelas, sehingga sering hanya disimpulkan
sebagai suspect (dugaan), dimana untuk memastikan perlu pemeriksaan lain dan evaluasi lanjut.
Beberapa penyakit infeksi seperti pneumonia, kadang menunjukkan gambaran rontgen yang sulit
dibedakan dengan TBC terutama pada anak, oleh karena itu pada keadaan tersebut diperlukan
juga pemeriksaan lain.

 Test Mantoux

Test Mantoux atau tuberkulin merupakan pemeriksaan penting untuk membantu menentukan
adanya penyakit TBC, terutama pada anak. Tes ini dilakukan dengann cara menyuntikkan sedikit
protein yang berasal dari kuman TBC ke dalam kulit, sehingga timbul benjolan kecil, bekas
suntikan ini kemudian dilihat lagi setelah 2 - 3 hari (48 – 72 jam), bila benjolan tersebut hilang
atau hanya menyisakan benjolan sangat kecil (dibawah 5 mm), maka hasil test Mantoux
dinyatakan negatif. Bila benjolan membesar dan merah namun diameter hanya 6 - 9 mm,
dinyatakan positif lemah, bila 10 – 15 mm dinyatakan positif, bila > dari 15 mm dinyatakan
positif kuat. penilaian hasil test Mantoux positif dan negatif, untuk menentukan ada atau
tidaknya TBC harus sangat hati-hati, harus melihat berapa kuat positifnya serta
mempertimbangkan gejala dan hasil pemeriksaan lain. Hasil test Mantoux yang positiif selain
pada TBC, kadang juga bisa timbul pada alergi, setelah vaksinasi BCG, namun biasanya
positifnya tidak kuat.

Sebaliknya penderita bisa memberikan hasil test Mantoux negatif pada keadaan gizi buruk, TBC
berat atau TBC yang masih baru.

 Laju Endap Darah (LED)

Pemeriksaan LED sering dilakukan untuk membantu menetapkan adanya TBC dan mengevaluasi
hasil pengobatan atau proses penyembuhan selama dan setelah pengobatan. Pemeriksaan LED
dilakukan dengan mengukur kecepatan mengendap sel darah dalam pipet khusus (pipet
westergreen), pada orang normal nilai LED dibawah 20 mm/ jam. Pada penderita TBC nilai LED
biasanya meningkat, pada proses penyembuhan nilai LED akan turun. Penilaian hasil LED harus
hati-hati, karena hasil LED juga dapat meningkat pada penyakit infeksi bukan TBC.

 PCR-TB (Polymerase Chain Reaction Tuberculosa)

Pemeriksaan ini memeriksa adanya DNA kuman TBC dalam dahak, dapat mengetahui adanya
kuman TBC dalam jumlah yang sangat sedikit. Sangat berguna untuk membantu menetukan
diagnosa TBC yang masih meragukan. Namun untuk evaluasi kesembuhan harus hati-hati,
karena kuman TBC yang sudah matipun dapat memberikan hasil PCR-TB positif.

Proses ini dapat dilakukan dalam 4 cara, antara lain:

- PCR konvensional
Sistem manual yang umum ditemukan di laboratorium dengan mengamplifikasi urutan
DNA menggunakan primer oligonukleotida serta DNA polimerase.
- Real-time PCR
Sistem automatis yang setelah proses amplifikasi akan dilanjutkan oleh paparan emisi
cahaya untuk melihat segmen tertentu dari DNA. Keuntungan dari penggunaan sistem ini adalah
mengurangi kontaminasi dari alat, mengurangi kehilangan materi yang diperiksa serta
menurunkan kesalahan operator. Meskipun begitu tidak didapatkan perbedaan sensitivitas dan
spesifisitas dari metode PCR konvensional.
- PCR dengan hibridisasi
Pada metode ini setelah amplifikasi, DNA dipilih menggunakan marker kemudian
sediaan akan diletakkan pada piringan ELISA dimana akan ada alat yang mengikat bagian dalam
dari fragmen DNA tersebut. Reaksi dari marker dan alat tersebut menghasilkan warna yang dapat
dilihat dan dinilai menggunakan spektofotometer. Sistem ini membantu meningkatkan
kemungkinan mendeteksi DNA serta mengurangi nilai negatif palsu.
- PCR in situ
Proses ini menggunakan hibridisasi langsung di dalam jaringan, sehingga dapat langsung
lokasi DNA dari mikobakterium di dalam sel. Meskipun tingkat sensitivitasnya lebih rendah
dibandingkan dengan PCR konvensional, metode ini dapat meningkatkan kemungkinan untuk
hasil yang positif.
 Genotyping
Pemeriksaan ini meliputi beberapa teknik untuk melihat gambaran molekuler strain M.tb.
Pemeriksaan ini membantu dalam mengurutkan gen resistensi yang ada untuk menilai mutasi
yang dapat timbul, selain itu dapat juga memungkinkan kita memisahkan mikobakteria atipikal
dengan M. tuberculosis. Terdapat 3 metode dalam genotyping, antara lain:
- Spoligotyping (Spacer Oligonucleotide Typing)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai keberadaan polimorfisme dari lokus DR
(Direct Repeat) yang hanya dapat ditemukan pada gen mikobakteria Mtb. Oleh karena
pemeriksaan ini menggunakan jumlah DNA yang lebih kecil, sehingga sensitivitas dari metode
ini dapat ditingkatkan. Metode ini menjadi standar baku pemeriksaan untuk genotyping dan
menentukan strain dari mikobakterium.
- RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism)
Metode ini meliputi memasukkan urutan IS6110 pada gen strain Mtb. Metode ini
digunakan untuk mempelajari epidemic atau mempelajari genetik populasi. Enzim restriksi
digunakan untuk membelah DNA dari Mtb untuk sejauhnya dilakukan pemeriksaan.
- MIRU-VNTR (Mycobacterial Interspersed Repetitive Unit-Variable Number of Tandem
Repeats)
Metode ini merupakan tindakan standar dimana meliputi amplifikasi dari lokus polimorfik
12, 15 atau 24 pada keluarga MIRU-VNTR. Setelah diamplifikasi maka akan dilanjutkan dengan
proses elektroforesis yang membantu dalam visualisasi dan identifikasi dari lokus tersebut,
sehingga kita dapat mengklasifikasi golongan keluarga dari mikobakterium yang diperiksa

 IgG – Anti TB

Pemeriksaan ini dilakukan dengan pemeriksaan metode imunokromatografi MYCOTEC TBxp


(recombinant) dengan menemukan antibodi untuk antigen tuberkulosis pada penderita
tuberculosis. Pemeriksaan ini hanya bermanfaat untuk menentukan adanya TBC tapi kurang
bermanfaat untuk mengevaluasi proses penyembuhan, hasil pemeriksaan ini sering tetap positif
walaupun penderita sudah sembuh. Ketepatan hasil pemeriksaan ini hanya sekitar 60 – 70 %,
sehingga harus hati – hati dalam menilai hasil, perlu konfirmasi dengan gejala klinis dan hasil
pemeriksaan lain.

TBC saat ini bukan termasuk penyakit yang tidak bisa disembuhkan, penyakit ini bisa
disembuhkan dengan obat – obatan anti TBC seperti Rifampicin, INH, Pirazinamid, Ethambutol,
yang harus diminum secara teratur selama 6- 9 bulan, dengan cara dan dosis yang ditentukan
oleh dokter. Pengobatan tidak boleh terputus, karena berbahaya dapat menyebabkan timbul
kuman TBC yang tahan atau resisten obat.

Anda mungkin juga menyukai