Anda di halaman 1dari 20

Nama: Rulif ali w

NIM : 170105060
Kelas : 6B

Osteoartritis
A. Definisi
Osteoartritis yang dikenal sebagai penyakit sendi degeneratif atau osteoartrosis
(sekalipun terdapat inflamasi) merupakan kelainan sendi yang paling sering ditemukan
dan kerapkali menimbulkan ketidakmampuan (disabilitas). (Smeltzer , C Suzanne,
2002 hal 1087).
Osteoartritis merupakan golongan rematik sebagai penyebab kecacatan yang
menduduki urutan pertama dan akan meningkat dengan meningkatnya usia, penyakit
ini jarang ditemui pada usia di bawah 46 tahun tetapi lebih sering dijumpai pada usia
di atas 60 tahun. Faktor umur dan jenis kelamin menunjukkan adanya perbedaan
frekuensi (Sunarto, 1994, Solomon, 1997).
Osteoartritis (AO) adalah gangguan sendi yang bersifat kronis disertai kerusakan
tulang dan sendi berupa disentegrasi dan pelunakan progresif yang diikuti dengan
pertambahan pertumbuhan pada tepi tulang dan tulang rawan sendi yang disebut
osteofit, dan fibrosis dan kapsul sendi. Kelainan ini timbul akibat mekanisme abnormal
proses penuaan, trauma atau kelainan lain yang menyebabkan kerusakan tulang rawan
sendi. Keadaan ini tidak berkaitan dengan faktor sistemik atau infeksi. Osteoartritis
merupakan penyakit sendi degenaritif yang berkaitan dengan kerusakan kartiloago
sendi. Lutut, punggung, tangan, dan pergelangan kaki paling sering terkena.

B. Etiologi
Beberapa penyebab dan faktor predisposisi adalah sebagai berikut:
1. Usia/Umur
Umumnya ditemukan pada usia lanjut (diatas 50tahun). Karena pada lansia
pembentukkan kondrotin sulfat (substansi dasar tulang rawan) berkurang dan terjadi
fibrosis tulang rawan.
2. Jenis Kelamin
Kelainan ini ditemukan pada pria dan wanita, tetapi sering ditemukan lebih banyak
pada wanita pascamenopause (osteoartritis primer). Osteoartritis sekunder lebih
banyak ditemukan pada pria.
3. Ras
Lebih sering ditemukan pada orang Asia, khususnya cina, Eropa, dan Amerika
daripada kulit hitam.
4. Faktor Keturunan
Faktor genetik juga berperang timbulnya OA. Bila ibu menderita OA sendi interfalang
distal, anak perempuannya mempunyai kecenderungan terkena OA 2-3 kali lebih
sering.
5. Faktor Metabolik/Endokrin
Klien hipertensi, hiperurisemia, dan diabetes lebih rentan terhadap OA. Berat badan
berlebihan akan meningkatkan resiko OA, baik pada pria maupun wanita.
6. Faktor Mekanis
· Trauma dan Faktor Predisposisi
Trauma yang hebat terutama fraktur intraartikular atau dislokasi sendi merupaan
predisposisi OA. Cedera sendi, pekerjaan dan olahraga yang menggunakan sendi
berlebihan, dan gangguan kongruensi sendi akan meningkatkan OA.
· Cuaca dan Iklim
OA lebih sering timbul setelah kontak dengan cuaca dingin atau lembab.
7. Diet
Salah satu tipe OA yang bersifat umum di Siberia disebut penyakit Kashin-Beck yang
mungkin disebabkan oleh menelan zat toksin yang disebut fusaria.

C. Patofisiologi
Selama ini OA sering di pandang sebagai proses penuaan yang tidak dapat dihindari.
Ternyata OA merupakan penyakit gangguan hemeostasis metabolisme kartilago
dengan kerusakan struktur proteoglikan kartilago yang penyebabnya belum jelas
diketahui.
Jejas mekanis dan kimiawi pada sinovia sendi terjadi multifokal,antara lain faktor usia,
strees mekanis, atau penggunaan sendi yang berlebihan, defek anatomis, obesitas,
genetik, humoral, dan faktor kebudayaan. Pemeriksaan biopsi sinovial klien OA
menunjukkan adanya sinovitis. Pada level seluler, terjadi peningkatan aktivitas sitokin
yang menyebabkan dikeluarkannya mediator inflamasi dan matriks metelloproteinase
(MMP). Akibatnaya, ada gangguan sintesis proteoglikan. Selain itu ditemukan nitrogen
monoksida yang berhubungan dengan transmisi neurogenik dari mediator inflamsi
yang menyebabkan kerusakan kartilago jauh dari lokasi peradangan.
Proses OA terjadi karena adanya gangguan fungsi kondrosit. Kondrosit merupakan
satu-satunya sel hidup dalam tulang rawan sendi. Kondrosit akan dipengaruhi oleh
faktor anabolik dan katabolik dalam mempertahankan keseimbangan sintesis dan
degradasi. Faktor katabolik utama diperankan oleh sitoksin interkoukin 1β (iL-β) dan
tumor necrosis factor α (TNF α), sedangkan faktor anabolik diperankan oleh
transforming growth factor (TNF β) dan insulin-like growth factor 1 (IGF 1).
Secara anatomi fisiologi, sel tulang terdiri atas osteoblas, osteosit, dan osteoklas yang
dalam aktivitasnya mengatur hemeostasis kalsium yang tidak berdiri sendiri,
melainkan saling berinteraksi. Homeostasis kalsium pada tingkat seluler didahului
penyerapan tulang oleh osteoklas yang memerlukan waktu 40 hari, disusul fase
istiraahat, dan kemudian disusul fase pembentukkan tulang kembali oleh osteoblas
yang memerlukan waktu 120 hari. Dalam penyerapannya, osteoklas melepaskan
transforming growth factor yang meransang aktivitas awal osteoklas. Dalam keadaan
normal, kuantitas dan kualitas pembentukkan tulang baru osteoblas. Pada
osteoporosis, penyerapan tulang lebih banyak dari pada pembentukkan baru.

D. Klasifikasi
Osteoartritis dapat dibagi atas dua jenis yaitu:
1. Osteoartritis Primer
OA Primer tidak diketahui dengan jelas penyebabnya, dapat mengenai satu atau
beberapa sendi. OA jenis ini terutama ditemukan pada pada wanita kulit putih, usia
baya, dan umumnya bersifat poli-articular dengan nyeri akut disertai rasa panas pada
bagian distal interfalang, yang selanjutnya terjadi pembengkakan tulang (nodus
heberden).
2. Osteoartritis Sekunder
OA sekunder dapat disebabkan oleh penyakit yang menyebabkan kerusakan pada
sinovia sehingga menimbulkan osteoartritis sekunder. Beberapa keadaan yang dapat
menimbulkan osteoartritis sekunder sebagai berikut:
· Trauma /instabilitas.
OA sekunder terutama terjadi akibat fraktur pada daerah sendi, setelah menisektomi,
tungkai bawah yang tidak sama panjang, adanya hipermobilitas, instabilitas sendi,
ketidaksejajaran dan ketidakserasian permukaan sendi.
· Faktor Genetik/Perkembangan
Adanya kelainan genetik dan kelainan perkembangan tubuh (displasia epifisial,
displasia asetabular, penyakit Legg-Calve-Perthes, dislokasi sendi panggul bawaan,
tergelincirnya epifisis) dapat menyebabkan OA.
· Penyakit Metabolik/Endokrin
OA sekunder dapat pula disebabkan oleh penyakit metabolik/sendi (penyakit
okronosis, akromegali, mukopolisakarida, deposisi kristal, atau setelah inflamasi pada
sendi. (misalnya, OA atau artropati karena inflamasi).
Menurut Kellgren dan Lawrence, secara radiologis Osteoartritis di klafikasikan
menjasi:
1. Grade 0 : Normal
2. Grade 1 : Meragukan, dengan gambaran sendi normal, terdapat osteofit minim
3. Grade 2 : Minimal, osteofit sedikit pada tibia dan patella dan permukaan sendi
menyempit asimetris.
4. Grade 3 : Moderate, adanya osteofit moderate pada beberapa tempat,
permukaan sendi menyepit, dan tampak sklerosis subkondral.
5. Grade 4 : Berat, adanya osteofit yang besar, permukaan sendi menyempit
secara komplit, sklerosis subkondral berat, dan kerusakan permukaan sendi.

E. Manifestasi Klinis
1. Rasa nyeri pada sendi
Merupakan gambaran primer pada osteoartritis, nyeri akan bertambah apabila sedang
melakukan sesuatu kegiatan fisik.
2. Kekakuan dan keterbatasan gerak
Biasanya akan berlangsung 15 - 30 menit dan timbul setelah istirahat atau saat
memulai kegiatan fisik.
3. Peradangan
Sinovitis sekunder, penurunan pH jaringan, pengumpulan cairan dalam ruang sendi
akan menimbulkan pembengkakan dan peregangan simpai sendi yang semua ini akan
menimbulkan rasa nyeri.
4. Mekanik
Nyeri biasanya akan lebih dirasakan setelah melakukan aktivitas lama dan akan
berkurang pada waktu istirahat. Mungkin ada hubungannya dengan keadaan penyakit
yang telah lanjut dimana rawan sendi telah rusak berat. Nyeri biasanya berlokasi pada
sendi yang terkena tetapi dapat menjalar, misalnya pada osteoartritis coxae nyeri dapat
dirasakan di lutut, bokong sebelah lateril, dan tungkai atas. Nyeri dapat timbul pada
waktu dingin, akan tetapi hal ini belum dapat diketahui penyebabnya.
5. Pembengkakan Sendi
Pembengkakan sendi merupakan reaksi peradangan karena pengumpulan cairan
dalam ruang sendi biasanya teraba panas tanpa adanya pemerahan.
6. Deformitas
Disebabkan oleh distruksi lokal rawan sendi.
7. Gangguan Fungsi
Timbul akibat Ketidakserasian antara tulang pembentuk sendi.

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran rodiografi sendi yang menyokong diagnosis osteoartritis ialah:
a) Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada bagian sendi
yang menanggung beban.
b) Peningkatan densitas (sclerosis) tulang subkondral
c) Kista tulang
d) Osteofit pada pinggir sendi
e) Perubahan struktur anatomi sendi

G. Penatalaksanaan
1. Terapi Non-Farmakologi
Ada beberapa cara dalam penanganan osteoarthritis non farmakologi, diantaranya:
a) Olahraga
Olahraga dapat mengurangi rasa sakit dan dapat membantu mengontrol barat
badan.Olahraga untuk osteoarthritis misalnya berenang dan jogging.
b) Menjaga sendi
Menggunakan sendi dengan hati-hati dapat menghindari kelebihan stres pada sendi.
c) Panas/dingin
Panas didapat, misalnya dengan mandi air panas. Panas dapat mengurangi rasa sakit
pada sendi dan melancarkan peredaran darah. Dingin dapat mengurangi
pembengkakan pada sendi dan mengurangi rasa sakit. Dapat didapat dengan
mengompres daerah yang sakit dengan air dingin.
d) Viscosupple mentation
Merupakan perawatan dari Canada untuk orang yang terkena osteoarthritis pada
lutut, berbentuk gel.
e) Pembedahan
Apabila sendi sudah benar-benar rusak dan rasa sakit sudah terlalu kuat, akan
dilakukan pembedahan. Dengan pembedahan, dapat memperbaiki bagian dari tulang.
f) Akupuntur
Dapat mengurangi rasa sakit dan merangsang fungsi sendi.
g) Pijat
Pemijatan sebaiknya dilakukan oleh orang yang ahli di bidangnya.
h) vitamin D,C, E, dan beta karotin
untuk mengurangi laju perkembangan osteoarthritis.
i) Teh hijau
Memiliki zat anti peradangan.
2. Terapi Farmakologi
Semua obat memiliki efeksamping yang berbeda, oleh karena itu, penting bagi pasien
untuk membicarakan dengan dokter untuk mengetahui obat mana yang paling cocok
untuk di konsumsi. Berikut adalah beberapa obat pengontrol rasa sakit untuk
penderita osteoarthritis.
a) Acetaminophen
Merupakan obat pertama yang di rekomendasikan oleh dokter karena relatif aman dan
efektif untuk mengurangi rasa sakit.
b) NSAIDs (nonsteroidal anti inflammatory drugs)
Dapat mengatasi rasa sakit dan peradangan pada sendi. Mempunyai efeksamping,
yaitu menyebabkan sakit perut dangan gangguan fungsi ginjal.
c) Topical pain
Dalam bentuk cream atau spray yang bisa digunakan langsung pada kulit yang terasa
sakit.
d) Tramadol (Ultram)
Tidak mempuyai efeksamping seperti yang ada pada acetaminophen dan NSAIDs.
e) Milk narcotic painkillers
Mengandung analgesic seperti codeinatau hydrocodone yang efektif mengurangi rasa
sakit pada penderita osteoarthritis.
f) Corticosteroids
Efektif mengurangi rasa sakit.
g) Hyaluronic acid
Merupakan glycosamino glycan yang tersusun oleh disaccharides of glucuronic aciddan
N-acetygluosamine. Disebut jugavis cosupplementation. Digunakan dalam perawatan
pasien osteoarthritis. Dari hasil penelitian yang dilakukan, 80% pengobatan dengan
menggunakan hyaluronic acid mempunyai efek yang lebih kecil dibandingkan
pengobatan dengan menggunakan placebo. Makin besar molekul hyaluronic acid yang
diberikan, makin besar efek positif yang di rasakan karena hyaluronic acid efektif
mengurangi rasa sakit.
h) Glucosamine dan chondroitin sulfate
Mengurangi pengobatan untuk pasien osteoarthritis pada lutut.

H. Pencegahan
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, agar kita terhindar dari osteoarthritis:
1. Menghindari olahraga yang bisa meyebabkan sendi terluka
2. mengontrol berat badan agar berat yang ditopang oleh sendi menjadi ringan
3. minum obat untuk mencegah osteoarthritisMengurangi pengobatan untuk pasien
osteoarthritis pada lutut.

OSTEOPOROSIS

A. DEFINISI
Osteoporosis adalah suatu kondisi yang ditandai dengan penurunan kepadatan tulang,
penurunan kekuatan tulang, dan mengakibatkan tulang rapuh. Arti osteoporosis secara
harfiah adalah terjadinya keropos tulang membentuk porus-porus seperti spons.
Gangguan ini melemahkan tulang dan mengakibatkan sering terjadinya patah tulang.
WHO mengklasifikasikan massa tulang berdasarkan T-scores. T-scores merupakan
bilangan standar deviasi dari rata-rata densitas mineral tulang pada populasi muda
normal. Massa tulang yang normal memiliki nilai T-score lebih besar dari -1, osteopenia
memiliki nilai T-score -1 sampai -2,5, sedangkan osteoporosis memiliki nilai T-score
kurang dari -2,5.
Tulang yang terkena osteoporosis dapat patah (fraktur) karena cedera kecil yang
biasanya tidak akan menyebabkan tulang patah. Fraktur tersebut dapat berupa
retak/remuk, seperti patah tulang pinggul, atau patah (seperti pada tulang belakang.
Bagian punggung, pinggul, rusuk, dan pergelangan tangan merupakan daerah umum
terjadinya patah tulang akibat osteoporosis, meskipun fraktur osteoporosis dapat terjadi
pada semua tulang rangka.

B. EPIDEMIOLOGI
Osteoporosis sebenarnya merupakan kondisi yang dapat dicegah, namun dewasa ini
telah menjadi masalah kesehatan umum yang mengganggu. Penurunan massa, kualitas,
dan kekuatan tulang berkontribusi meningkatkan risiko osteoporosis dan fraktur. Patah
tulang (fraktur) yang berkaitan dengan osteoporosis umumnya menyebabkan nyeri,
kifosis, keterbatasan fisik, bahkan kematian.
Prevalensi tepatnya tidak diketahui, namun hampir separuh dari penduduk amerika
usia 50 tahun ke atas ,atau 44 juta orang, memiliki massa tulang yang rendah. Jumlah ini
diperkirakan meningkat hingga lebih dari 60 juta orang selama 15 tahun ke depan.
Kejadiannya sangat bervariasi dalam subpopulasi dan tergantung dari banyak faktor
risiko, daerah rangka yang diukur, dan teknologi radiologi yang digunakan. Pada akhir
tahun 1990an, berdasarkan pengukuran densitas mineral tulang (BMD) periferal, 40%
wanita postmenopause mengalami osteopenia dan 7% mengalami osteoporosis.
Saat klasifikasi BMD WHO diaplikasikan pada data dari National Health and
Nutrition Examination Survey ketiga (NHANES III, dari tahun 1988-1994), prevalensi
osteopenia dan osteoporosis pada penduduk Amerika adalah sebagai berikut :
- Wanita non hispanic kulit putih : 52% dan 20%
- Wanita non hispanik kulit hitam : 35% dan 5%
- Wanita Amerika-meksiko : 49% dan 10%
- Pria dari segala ras : 47% dan 6%, menggunakan rerata BMD pria usia muda
- Pria dari segala ras : 33% dan 4%, menggunakan rerata BMD wanita usia muda
Kejadian osteoporosis meningkat dengan meningkatnya usia. Prevalensi osteoporosis
bahkan lebih tinggi pada penghuni panti jompo. Ratusan dan ribuan fraktur terjadi setiap
tahun di Amerika Serikat. Risiko seumur hidup wanita kulit putih mengalami fraktur
adalah 50%. Risiko fraktur meningkat seiring meningkatnya usia dan rendahnya massa
densitas tulang.
C. PATOLOGI DAN ETIOLOGI
Penyebab terjadinya osteoporosis adalah multifaktorial, dengan banyak faktor risiko.
Namun dari berbagai faktor risiko tersebut, yang paling banyak dan umum dijumpai
adalah :

1. Osteoporosis postmenopause
Dalam keadaan normal estrogen akan mencapai sel osteoblas dan beraktivitas
melalui reseptor yang terdapat dalam sitosol, mengakibatkan menurunnya sekresi
sitokin seperti IL-1, IL-6, dan TNF α yang berfungsi dalam penyerapan tulang.
Di lain pihak, estrogen akan meningkatkan sekresi TGF β yang merupakan
mediator untuk menarik sel osteoblas ke daerah tulang yang mengalami penyerapan
oleh osteoklas.
Sedangkan efek estrogen normal pada osteoklas adalah menekan diferensiasi dan
aktivasi sel osteoklas dewasa. Defisiensi estrogen setelah menopause meningkatkan
proliferasi, diferensiasi, dan aktivasi osteoklas baru dan memperpanjang masa hidup
osteoklas lama, sehingga resorpsi tulang melebihi pembentukannya.

2. Osteoporosis terkait usia


Hampir separuh masa hidup terjadi mekanisme penyerapan dan pembentukan
tulang. Selama masa anak-anak dan dewasa muda pembentukan tulang jauh lebih
cepat dibanding penyerapan tulang. Titik puncak massa tulang terjadi pada usia
sekitar 30 tahun, dan setelah itu mekanisme resorpsi tulang menjadi lebih jauh lebih
cepat dibanding pembentukan tulang. Penurunan massa tulang yang cepat akan
menyebabkan kerusakan mikroarsitektur tulang, terutama pada tulang trabekular.
Progresifitas resorpsi tulang merupakan kondisi normal dalam proses penuaan.
Peristiwa ini diawali pada antara dekade 3 sampai 5 kehidupan. Perkembangan
resorpsi tulang lebih cepat pada tulang trabekular dibanding tulang kortikal, dan pada
wanita akan mengalami percepatan menjelang menopause.
Progresifitas resorpsi pada usia tua juga diperburuk dengan penurunan fungsi
organ tubuh, termasuk penurunan absorbsi kalsium di usus, meningkatnya hormon
paratiroid dalam serum, dan menurunnya laju aktivasi vitamin D yang lazim terjadi
seiring proses penuaan.
3. Osteoporosis sekunder
Merupakan osteoporosis yang disebabkan oleh penyakit atau penggunaan obat
tertentu. Penyebab paling umum osteoporosis sekunder adalah defisiensi vitamin D
dan terapi glukokortikoid.
Defisiensi vitamin D akan menyebabkan penurunan absorpsi kalsium di usus,
sehingga kalsium dalam darah akan turun, sehingga untuk memenuhi kalsium darah
akan diambil kalsium dari tulang yang dapat menyebabkan kerapuhan tulang.
Terapi dengan glukokortikoid secara terus menerus juga menyebabkan efek
samping berupa osteoporosis. Kortikosteroid menyebabkan penurunan penyerapan
kalsium dari usus, peningkatan hilangnya kalsium dari usus, peningkatan hilangnya
kalsium melalui ginjal dalam air seni dan peningkatan hilangnya kalsium tulang.
Sehingga diperlukan pengukuran kepadatan tulang pasien untuk mengidentifikasi
kemungkinan osteoporosis.

D. FAKTOR RESIKO
1. Usia
Resiko osteoporosis meningkat ketika seseorang bertambah tua. Seiring
dengan bertambahnya usia, fungsi organ tubuh justru menurun sehingga
mengalami kehilangan tulang trabekular karena proses penuaan dan
penyerapan kalsium menurun.
2. Genetic (keturunan)
Wanita yang dalam sejarah kesehatan keluarga, nenek atau ibunya pernah
mengalami patah tulang karena osteoporosis lebih beresiko mengalami
pengurangan massa tulang.
3. Menopause
Setelah menopause tubuh memproduksi hormone esterogen lebih sedikit,
padahal esterogen melindungi tubuh dari kekurangan kalsium.

4. Ras
Orang barat atau keturunan asia lebih beresiko mengalami osteoporosis. Ras
juga mempengaruhi resiko osteoporosis dimana ras kulit putih atau keturunan
asia memiliki resiko terbesar. Hal ini disebabkan secara umum konsumsi
kalsium wanita asia rendah.
5. Menyusui
Ibu menyususi mengeluarkan kalsium kurang lebih 500 mg setiap harinya
untuk ASI sehingga terdapat resiko untuk terjadinya osteoporosis, ditambah
dengan setelah melahirkan biasanya diperlukan istirahat berbaring untuk
beberapa minggu. Ini mengakibatkan pergerakan tulang menjadi lebih sedikit.

E. GEJALA DAN TANDA


1. Gejala :
 Nyeri
 Imobilitas
 Depresi, ketakutan, dan rasa rendah diri karena keterbatasan fisik
2. Tanda
 Pemendekan tinggi badan (> 1,5 inchi), kifosis, atau lordosis
 Fraktur tulang punggung, panggul, pergelangan tangan
 Kepadatan tulang rendah pada pemeriksaan radiografi

F. DIAGNOSIS
Untuk mendiagnosa osteoporosis pada pasien diperlukan :
1. Riwayat penyakit dan pengobatan pasien
2. Identifikasi faktor risiko
3. Pemeriksaan fisik lengkap
4. Tes laboratorium untuk mengidentifikasi kemungkinan osteoporosis sekunder.
Parameter laboratorium yang umum digunakan adalah kadar 25 (OH) vitamin D
serum, sebagai indikator status vitamin D total tubuh. Kadar 25 (OH) vitamin D
serum dalam berbagai kondisi :
Normal : ≥ 30 ng/mL
Insufisiensi : 11 – 29 ng/mL
Defisiensi vit D : < atau sama dengan 10 ng/mL

5. Pengukuran massa tulang


Terdapat berbagai metode pengukuran massa tulang, namun yang menjadi
standar diagnosis osteoporosis saat ini adalah pengukuran densitas mineral tulang
sentral (tulang punggung dan panggul) dengan Dual Energy X-Ray Absorptiometry
(DXA). Tulang punggung dan pinggul dikelilingi berbagai jaringan halus,
termasuk lemak, otot, pembuluh darah, dan organ-organ perut. DXA
memungkinkan untuk melakukan pengukuran massa tulang di permukaan maupun
bagian yang lebih dalam.
Densitas mineral tulang dari pengukuran tersebut dapat dinyatakan dengan T-
score. Nilai T-score dalam berbagai kondisi :
Tulang normal : ≥ -1 (10% di bawah SD rata-rata atau lebih tinggi)
Osteopenia : -1 sampai -2,5 (10-25% di bawah SD rata-rata)
Osteoporosis : < atau samadengan – 2,5 (25% di bawah SD rata-rata)

G. TATA LAKSANA TERAPI


1. Terapi Non Farmakologi
a. Nutrisi
Pasien osteoporosis sebaiknya mendapatkan nutrisi yang cukup dan pemeliharaan
berat badan yang ideal. Diet kalsium penting untuk memelihara densitas tulang.
Nutrisi tersebut dapat berupa vitamin D yang bisa didapatkan dari brokoli, kacang-
kacangan, ikan teri, ikan salmon, susu, kuning telur, hati dan sardine serta paparan
sinar matahari.
b. Olahraga
Olahraga seperti berjalan, jogging, menari dan panjat tebing dapat bermanfaat
dalam mencegah kerapuhan dan fraktur tulang. Hal tersebut dapat memelihara
kekuatan tulang. Prinsip latihan fisik untuk kesehatan tulang adalah latihan
pembebanan, gerakan dinamis dan ritmis, serta latihan daya tahan (endurans) dalam
bentuk aerobic low impact. Senam osteoporosis untuk mencegah dan mengobati
terjadinya pengeroposan tulang. Daerah yang rawan osteoporosis adalah area tulang
punggung, pangkal paha dan pergelangan tangan.

2. Terapi Farmakologi

Algoritma Pencegahan Osteoporosis


Semua orang sepanjang hidup seharusnya mendapat:

- Nutrisi yang tepat (mineral dan elektrolit, vitamin, protein, karbohidrat).


- Suplemen Ca dan vitamin D bila perlu untuk meningkatkan asupan yang memadai
- Aktivitas fisik yang optimal (berat badan, penguatan otot, ketangkasan,
keseimbangan)
- Gaya hidup yang sehat (tidak merokok, tidak minum alcohol, dan kafein).
- Pencegahan terhadap kecelakaan atau trauma

Algoritma terapi menurut Dipiro (2005), dibagi menjadi dua yaitu:


1. Pengobatan tanpa pengukuran BMD (Bone Mineral Density)
Pertimbangan terapi tanpa pengukuran BMD :
 Pria dan wanita dengan peningkatan risiko kerapuhan tulang
 Pria dan wanita yang menggunakan glukokortikoid dalam jangka waktu lama
Terapi dapat dilakukan dengan Biphosphonate, jika intolerance dengan
Biphosphonate pilihan terapi obat lainnya adalah Raloxifene, kalsitonin nasal,
teriparatide, bifosfonat parenteral. Jika kerapuhan tetap berlanjut setelah pemakaian
Biphosphonate, maka pilihan terapi lainnya adalah teriparatide

2. Pengobatan dengan pengukuran BMD (Bone Mineral Density)


Populasi yang perlu pengukuran BMD :
 Untuk wanita dengan usia ≥ 65 tahun
 Untuk wanita usia 60-64 tahun postmenopause dengan peningkatan risiko
osteoporotis
 Pria dengan 70 tahun atau yang risiko tinggi
Dari hasil pengukuran BMD, jika T-score >-1, maka nilai BMD termasuk normal,
tetapi tetap diperlukan monitoring DXA setiap 1-5 tahun. Dan jika diperlukan
pengobatan, maka pilihan pengobatannya adalah Biphosponate, Raloxifene,
Calcitonin.
Jika T-score -1 s/d -2,5, maka termasuk dalam osteopenia. Dapat dilakukan
monitoring DXA setiap 1-5 tahun. Dan jika diperlukan pengobatan, maka pilihan
pengobatannya adalah Biphosponate, Raloxifene, Calcitonin
Jika T-score <-2,0 dilakukan pemeriksaan lanjut untuk osteoporosis sekunder, yaitu
dengan pengukuran PTH, TSH, 25-OH vitamin D, CBC, panel kimia, tes kondisi
spesifik. Kemudian dilakukan terapi berdasarkan penyebab, bila ada, yaitu dengan
Biphosphonate, jika intoleransi dengan Biphosphonate maka pilihan pengobatannya
adalah Biphosphonate parenteral, Teriparatide, Raloxifene dan Calcitonin.
Dari hasil pengukuran Osteoporosis dengan skor T < -2,5, terapi dapat dilakukan
dengan Biphosphonate, jika intolerance dengan Biphosphonate pilihan terapi obat
lainnya adalah Raloxifene, kalsitonin nasal, teriparatide, bifosfonat parenteral. Jika
kerapuhan tetap berlanjut setelah pemakaian Biphosphonate, maka pilihan terapi
lainnya adalah teriparatide.
Obat yang digunakan dalam terapi osteoporosis, yaitu :
A. Kalsium
Mekanisme kerja obat
Kalsium berfungsi sebagai integritas sistem saraf dan otot, untuk kontraktilitas jantung
normal dan koagulasi darah. Kalsium berfungsi sebagai kofaktor enzim dan mempengaruhi
aktivitas sekresi kelenjar endokrin dan eksokrin
Data farmakokinetik
1. Absorpsi
Absorpsi kalsium dari saluran pencernaan dengan difusi pasif dan transpor aktif.
Kalsium harus dalam bentuk larut dan terionisasi agar bisa diabsorpsi. Vitamin D
diperlukan untuk absorpsi lasium dan meningkatkan mekanisme absorpsi. Absorpsi
meningkat dengan adanya makanan. Ketersediaan oral pada orang dewasa berkisar dari
25% hingga 35% jika diberikan dengan sarapan standar. Absorpsi dari susu sekitar 29%
dalam kondisi yang sama.
2. Distribusi
Kalsium secara cepat didistribusikan ke jaringan skelet. Kalsium menembus plasenta
dan mencapai kosentrasi yang lebih tinggi pada darah fetah dibanding darah ibu. Kalsium
juga didistribusikan dalam susu.

3. Ekskresi
Kalsium dieksresikan melalui feses, urin dan keringat.

Kontraindikasi
Kalsium dikontraindikasikan pada pasien dengan hiperkalsemia dan fibrilasi ventrikuler
Efek samping
Efek samping yang terjadi ketika mengkonsumsi kalsium yaitu gangguan gastrointestinal
ringan, bradikardia, aritmia, dan iritasi pada injeksi intravena.

B. Vitamin D
Mekanisme kerja obat
Vitamin D merupakan vitamin larut lemak yang diperoleh dari sumber alami (minyak hati
ikan) atau dari konversi provitamin D (7-dehidrokolesterol dan ergosterol). Pada manusia,
suplai alami vitamin D tergantung pada sinar ultraviolet untuk konversi 7-dehidrokolesterol
menjadi vitamin D3 atau ergosterol menjadi vitamin D2. Setelah pemaparan terhadap sinar
uv , vitamin D3 kemudian diubah menjadi bentuk aktif vitamin D (Kalsitriol) oleh hati dan
ginjal. Vitamin D dihidroksilasi oleh enzim mikrosomal hati menjadi 25-hidroksi-vitamin D3
(25-[OH]- D3 atau kalsifediol). Kalsifediol dihidroksilasi terutama di ginjal menjadi 1,25-
dihidroksi-vitamin D (1,25-[OH]2-D3 atau kalsitriol) dan 24,25-dihidroksikolekalsiferol.
Kalsitriol dipercaya merupakanbentuk vitamin D3 yang paling aktif dalam menstimulasi
transport kalsium usus dan fosfat.
Kontraindikasi
Vitamin D dikontraindikasikan dengan hiperkalsemia, bukti adanya toksistas vitamin D,
sindrom malabsorpsi, hipervitaminosis D, sensitivitas abnormal terhadap efek vitamin D,
penurunan fungsi ginjal.
Efek samping
efek samping yang terjadi ketika mengkonsumsi vitamin D ini yaitu sakit kepala, mual,
muntah, mulut kering dan konstipasi.

C. Biofosfonat
Mekanisme kerja obat
Biofosfonat bekerja terutama pada tulang. Kerja farmakologi utamanya adalah inhibisi
resorpsi tulang normal dan abnormal. Tidak ada bukti bahwa biofosfonat dimetabolisme.
Biofosfonat utnuk menoptimalkan manfaat klinis harus dengan dosis yang tepat dan
meminimalkan resiko efeksamping terhadap saluran pencernaan. Semua bifosfonat sedikit
diabsorpsi (bioavaibilitas 1-5%).

Efek samping
Efek samping yang terjadi ketika mengkonsumsi biofosfonat yaitu mual, nyeri abdomen
dan dyspepsia.

D. Selective Estrogen Receptor Modulators (SERMs)


Raloxifene merupakan agonis estrogen pada jaringan tulang tetapi merupakan antagonis
pada payudara dan uterus. Raloxifen meningkatkan BMD tulang belakang dan pinggul
sebesar 2-3% dan menurunkan fraktur tulang belakang. Fraktur non-vertebral tidak dapat
dicegah dengan raloxifene.
Mekanisme kerja
Raloxifene merupakan reseptor estrogen selektif yang mengurangi resorpsi tulang dan
menurunkan pembengkokan tulang.
Data farmakokinetik
1. Absorpsi
Raloxifene diabsorpsi secara cepat setelah pemberian oral dengan sekitar 60% dosis
oral absorpsi.
2. Distribusi
Volume distribusi nyata sebesar 2348L/kg dan tidak tergantung dosis. sekitar 95%
raloxifene dan konjugat monoglukoronid terikat pada protein plasma.
3. Metabolisme
Raloxifene mengalami metabolisme lintas pertama menjadi konjugat glukoronid dan
tidak dimetabolisme melalui jalur sitokrom P450.
4. Ekskresi
Raloxifene terutama diekskresikan pada feses dan urin.
Kontraindikasi
Kontraindikasi pada SERMs ini yaitu pada wanita hamil dan menyusui. hipersensitif
raloxifene.

E. Kalsitonin
Mekanisme kerja
Bersama dengan hormon paratiroid, kalsitonin berperan dalam mengatur homeostasis Ca
dan metabolisme Ca tulang. Kalsitonin dilepaskan dari kelenjar tiroidketika terjadi
peningkatan kadar kalsium serum.
Efek samping
Efek samping yang terjadi ketika mengkonsumsi kalsitonin yaitu mual, muntah, flushing.

F. Estrogen dan terapi hormonal


Mekanisme kerja
Estrogen menurunkan aktivitas osteoklas, menghambat PTH secara periferal,
meningkatkan konsentrasi kalsitriol dan absorpsi kalsium di usus, dan menurunkan ekskresi
kalsium oleh ginjal. Penggunaan estrogen dalam jangka waktu lamatanpa diimbangi
progesteron meningkatkan risiko kanker endometrium pada wanita yang uterusnya utuh.

Kontraindikasi
Estrogen ini kontraindikasi dengan wanita hamil dan menyusui, kanker estrogen-
independent.

G. Fitoestrogen
Isoflavonoid (protein kedelai) dan lignan (flaxseed) merupakan bentuk estrogen dimana
efeknya terhadap tulang dapat disebabkan aktivitas agonis reseptor estrogen tulang atau efek
terhadap osteoblas dan osteoklas. beberapa studi isoflavon menggunakan dosis yang lebih
besar dilaporkan dapat menurunkan penanda resorpsi tulang dan sedikit meningkatkan
densitas.

H. Testosteron
Penurunan konsentrasi testosteron tampak pada penyakit gonad, gangguan pencernaan dan
terapi glukokortikoid. Berdasarkan penelitian terapi testosteron ini dapat meningkatkan BMD
dan mengurangi hilangnya massa tulang pada pasien osteoporosis laki-laki.

I. Teriparatide
Terapi anabolik ini hanya untuk terapi menjaga dan memelihara bentuk tulang.
Teriparatide merupakan produk rekombinan yang mewakili 34 asam amino pertama dalam
PTH manusia. Teriparatide meningkatkan formasi tulang, perubahan bentuk tulang dan
jumlah osteoblast beserta aktivitasnya sehingga massa tulang akan meningkat. Teriparatide
disarankan oleh FDA kepada wanita postmenopouse dan laki-laki yang memiliki resiko
tinggi terjadi fraktur. Efikasi dari teriparatide ini dapat meningkatkan BMD. PTH analog
sangat penting dalam pengelolaan pasien osteoporosis yang memiliki risiko tinggi patah
tulang karena PTH merangsang pembentukan tulang baru. Kontraindikasi teriparatide ini
yaitu pada pasien hiperkalsemia, penyakit metabolik tulang lainnya dan kanker otot.
Hasil penelitian terbaru membuktikan bahwa obat teriparatide berperan lebih baik
dibanding alendronate dalam meningkatkan kepadatan tulang dan mengurangi patah tulang
belakang pada pasien dengan osteoporosis yang diinduksi glukokortikoid (glucocorticoid-
induced osteoporosis).

J. Diuretik Tiazid
Diuretik tiazid meningkatkan reabsorbsi kalsium. Berdasarkan penelitian pasien yang
mengkonsumsi diuretik tiazid memiliki massa tulang lebih besar dan fraktur yang lebih
sedikit. Diuretik tiazid ini diberikan ketika pasien osteoporosis dengan glukokortikoid yang
lebih besar dari 300mg dari jumlah kalsium yang dikeluarkan dalam urin selama lebih dari 24
jam.

Anda mungkin juga menyukai