Anda di halaman 1dari 12

A.

Pengertian Integrasi dan Integrasi Ilmu


1. Pengertian Integrasi
Integrasi berasal dari bahsa Inggris, integrate mempunyai arti :
Mengintegrasi, Menyatu-padukan, Menggabungkan, mempersatukan,
Integration adalah penggabungan.1 Sedangkan integrasi menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, integrasi adalah pembauran hingga menjadi
kesatuan yang utuh atau bulat. Kemitraan yang lebih sistematis dan
eksensif antara sains dengan agama dapat terjadi dikalangan yang mencari
titik temu diantara keduanya.
Hakikat Integrasi merupakan bentuk pikiran, rohani dan perilaku
mengharmonisasikan aqliah-naqliah dan mengkonstruk ilmu baru yang
relevan yang diwarnai kecerdasan berpikir dalam berbagai dimensi
epistimologi dan sistem nilai. Tidak ada dikotomi, lebih kepada
menemukan suatu kecakapan dalam penelitian dan percobaan baik ilmu
umum maupun agama.

2. Pengertian Integrasi Ilmu


Istilah “ilmu” ekuivalen dengan science, dalam bahasa inggris dan
prancis, wissenschaft (Jerman) dan watenschap (Belanda), berarti “tahu”.
Istilah “ilmu” sendiri berasal dari Bahasa Arab ’alima ’yang juga berarti
“tahu”. Jadi, secara terminologister dapat perbedaan antara definisi yang
dikemukakan oleh para tokoh ilmuan pada umumnya, dengan definisi
yang dikemukakan oleh para tokoh ilmuan Islam.2
Ilmu adalah bagian dari pengetahuan yang terklasifikasi, tersistem, dan
terukur, serta dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris. Ilmu
menurut Al-Qur’an adalah rangkaian keterangan yang bersumber dari

1
John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia, 2007), hlm.326
2
Supadie, Didiek Ahmad dkk. Pengantar Studi Islam.(Edisi Revisi), (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm.
229.

1
Allah yang diberikan kepada manusia baik melalui Rasul-Nya atau
langsung kepada manusia yang menghendakinya tentang alam semesta
sebagai ciptaan Allah yang bergantung menurut ketentuan dan kepastian-
Nya.
Berbeda dengan pengertian di atas, Harold H. Titus sebagaimana
termaktub dalam buku “Ilmu Pendidikan Islam: Filsafat dan
Pengembangan” karya Mahfud Junaedi, menjelaskan bahwa science atau
ilmu adalah
1. A method of obtaining knowledge that is objective and veriviable;
2. A body of systematic knowledge built up through experimentation
ang observation and having a valid theoretical base.
Dari definisi yang dikemukakan tersebut dapat dipahami bahwa
“ilmu” meliputi tiga kompenen yang saling bertautan dan merupakan
kesatuan logis yang mesti ada serta berurutan. (1) ilmu harus diusahakan
dengan aktifitas manusia, (2) aktifitas itu harus dilaksanakan dengan
metode tertentu, dan (3) akhirnya aktifitas metodis itu mendatangkan
pengetahuan yang sistematis.
Integrasi juga merupakan keterhubungan keilmuan, tidak dikotomi
antara ilmu umum dan ilmu agama, baik dua atau lebih ilmu. Integrasi
dapat terjadi secara kognitif, afektif, dan psikomotorik. Hal tersebut
merupakan keterkaitan permanen antara disiplin satu dengan yang lainnya
yang memadukan sains, nilai-nilai dan keagamaan sesuai konteks
kurikulum, termasuk paradigma yang membangun berbagai keilmuan.3
Secara etimologis, integrasi merupakan kata serapan dari bahasa
Inggris –integrate; integration- yang kemudian diadaptasi ke dalam bahasa
Indonesia menjadi integrasi yang berarti menyatu-padukan; penggabungan

3
Wahidin, Sains dan Agama (Rekonstruksi Integrasi Keduanya),(Yogyakarta: penerbit ombak, 2015),
hlm. 72.

2
atau penyatuan menjadi satu kesatuan yang utuh; pemaduan.4 Adapun
secara terminologis, integrasi ilmu adalah pemaduan antara ilmu-ilmu
yang terpisah menjadi satu kepaduan ilmu, dalam hal ini penyatuan antara
ilmu-ilmu yang bercorak agama dengan ilmu-ilmu yang bersifat umum.
Integrasi itu keterhubungan ilmu dengan ilmu lain, sehingga
pemikiran tidak mengalami dikotomi. Untuk konteks di Indonesia,
memang sedikit mengalami kesulitan karena sampai saat ini kita masih
menganut dengan dualisme sistem pendidikan (realitas terkait baik secara
regulasi dan sistem), yaitu sistem pendidikan Negara yang di dalamnya
(diatur oleh kementrian agama dan kementrian dikbud). Kedua institusi
secara langsung atau tidak, diakui atau tidak berdampak terhadap
pelaksanaan ditataran operasional.
Integrasi keilmuan memberikan “ruh” terhadap pemahaman manusia,
bahwa ilmu itu dari Tuhan. Karena itu integrasi itu merupakan
“bentukan” baru, yaitu menyatunya pikiran, rohani dan perilaku diri
manusia dalam hidupnya. “Bentukan” konsepsi integrasi ini tidak mudah
karena harus mengharmonisasikan antara akal (aqliah) dan wahyu
(naqliah) serta mengkonstruksi “ilmu baru” dalam diri manusia itu
dengan kecerdasan berpikir berdasarkan sistem nilai (salah satunya tidak
dikotomi).5
Integrasi ilmu agama dan ilmu umum ini adalah upaya untuk
meleburkan polarisme antara agama dan ilmu yang diakibatkan pola pikir
pengkutupan antara agama sebagai sumber kebenaran yang independen
dan ilmu sebagai sumber kebenaran yang independen pula. Hal ini karena
–sebagaimana dijelaskan diawal pendahuluan-keberadaannya yang saling
membutuhkan dan melengkapi. Seperti yang dirasakan oleh negara-
negara di belahan dunia sebelah Barat yang terkenal canggih dan maju di

4
Partanto, Pius A. dkk, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), hlm.264.
5
Wahidin, Op. Cit ., 75

3
bidang keilmuan dan teknologi, mereka tergugah dan mulai menyadari
akan perlunya peninjauan ulang mengenai dikotomisme ilmu yang
terlepas dari nilai-nilai yang di awal telah mereka kembangkan, terlebih
nilai religi. Agama sangat bijak dalam menata pergaulan dengan alam
yang merupakan ekosistem tempat tinggal manusia.
Meninjau begitu urgennya kapasitas agama dalam kehidupan manusia,
maka sepatutnya agama dikembangkan sebagai basic nilai pengembangan
ilmu. Karena perkembangan ilmu yang tanpa dibarengi dengan kemajuan
nilai religinya, menyebabkan terjadinya gap, jurang. Akibat
meninggalkan agama, ilmu secara arogan mengeksploitasi alam sehingga
terjadi berbagai kerusakan ekosistem.6
Ketika manusia secara berangsur-angsur dapat mengenal sifat dan
perilaku alam, dan selanjutnya dapat mengendalikan, mengolah dan
memanfaatkannya dengan ilmu dan akal mereka; maka sifat dan perilaku
alam yang tadinya sangat ditakuti mereka secara berangsur-angsur tidak
lagi menakutkan. Konsep ketuhanan merekapun bergeser. Ada yang
mengatakan bahwa agama tidak lebih dari objek pelarian manusia yang
gagal menghadapi serta mengatasi problema kehidupannya; atau
merupakan hasil tahap perkembangan yang paling terbelakang dari suatu
masyarakat; atau sekedar obsesi manusia tatkala mereka masih berusia
kanak-kanak. Mengapa demikian? Sebab, sebagai contoh, dengan
kemjauan sains dan teknologi dapat diketahui bahwa gempa terjadi karena
adanya pergeseran atau patahan kulit bumi, bukan karena Allah murka,
sehingga manusia tidak perlu takut lagi.
Di samping itu, meninjau ke ranah psikis batiniyah, sebagai misal,
orang Barat yang terdepan dalam keilmuan dan sebagai kiblat kemajuan
teknologi, sebagian mereka hidup –jika ditinjau dari kacamata islam -

6
Alim Roswantoro dalam  Mengukir Prestasi di Jalur Khusus, (Yogyakarta: Penerbit Pendi Pontren
Depag RI, 2007), hlm. 40.

4
tidak sejahtera, tidak tentram dan tidak tenang. Kehidupan mereka
kelihatan semrawut, bebas tanpa aturan. Hal ini disebabkan oleh
kurangnya sentuhan-sentuhan nilai-nilai religi karena ilmunya - pun telah
terdikotomikan dari ilmu agama.

B. Prinsip atau Nilai Dasar Integrasi Ilmu


Prinsip dapat dipahami sebagai suatu aturan umum yang dijadikan
sebagai panduan (misalnya untuk dasar perilaku). Prinsip berfungsi sebagai
dasar (pedoman) bertindak, bisa saja sebagi acuan proses dan dapat pula
sebagai target capaian. Prinsip biasanya mengandung hukum causalitas atau
hubungan sebab dan akibat. Sebagai contoh bila permintaan meningkat maka
pasokan juga haru meningkat. Apapun pekerjaan kita waktu untuk bersantai
atau rilek harus ada.
Boleh juga sebagai sebab yang paling dasar. Makna  prinsip lebih luas
dari konsep sebab. “Sebab” hanya membedakan eksistensi dan ketergantungan
hal yang disebabkan pada suatu yang menjadi sebab. Dengan kata lain prinsip
sebagai kausalitas yang sangat penting. Sebagai contoh tidak ada akibat tanpa
sebab. Dengan prinsip ini biasanya orang akan lebih mudah menjelaskan bukti
adanya Tuhan.
Tauhid merupakan prinsip utama integrasi ilmu. Kalimat tauhid secara
konvensional diartikan sebagai tiada tuhan selain Allah. Kalimat ini adalah
dasar dari keimanan seseorang. Bagi para filosof muslim, kalimat tauhid ini
mengidentifikasikan bahwa Allah merupakan dzat yang simpel, tidak boleh
tersusun oleh dari apapun kecuali oleh esensi dzat-Nya sendiri. Allah tidak
mempunyai genus dan spesies, sehingga pada diri-Nya esensi dan eksistensi
menyatu, tapi bukan satu.
Konsep tauhid tentu saja diambil dari konvensional Islam “La Ilaha
Illallah” yang artinya “tidak ada tuhan melainkan Allah”. Konsep tauhid telah

5
menjadi prinsip paling dasar dari dari ajaran Islam, dan dalam kaitannya
dengan integrasi ilmu, telah menjadi prinsip yang paling utama dari prinsip-
prinsip epistemologi Islam, sehingga ia juga telah menjadi asas pemersatu
atau dasar integrasi ilmu pengetahuan manusia.
Dalam perkembangan, formula “La Ilaha Illallah” telah dipahami dan
dirumuskan secara beragam oleh para teolog, fuqaha, sufi dan filosof. Para
teolog dan fuqaha cenderung mengambil arti harfiah dari formula tersebut
dengan menerjemahkan sebagai “tidak ada Tuhan yang wajib disembah (al-
ma’bud) karena manusia adalah hamba-hamba-Nya (‘abid). Namun sejalan
dengan pendekatan filosofis (dan mistik), dalam perspektif filosofis karena
perspektif inilah integrasi ilmu menemukan ekspresinya yang paling nyata.
Fondasi pemersatu yang mendasari integrasi – integrasi epistemologis,
tidak lain daripada prinsip paling mendasar dalam seluruh ajaran islam yaitu
tauhid seperti yang dikatakan Prof. Isma’il Al-Farukhi sebagai esensi
peradaban islam.7 Inilah yang menjadi asas pemersatu segala keragaman
apapun yang pernah diterima islam dari luar, yang tanpanya kesatuan
peradaban islam tidak akan pernah terjadi, demikian pula integrasi keilmuan
mustahil akan bisa dilaksanakan.

Konsep Tauhid Sebagai Prinsip Integrasi Ilmu

 Integrasi Di Bidang Objek-objek Ilmu

Sebagai basis integrasi bagi objek-objek ilmu, konsep wahdah al-


wujudMulla Shadra sangat berguna untuk mengafirmasi status ontologis
objek-objek ilmu yang dalam tradisi ilmiah Barat hanya bisa dibatasi pada
objek-objek fisik atau empiris dengan alasan bahwa hanya objek-objek
fisiklah yang status ontologisnya tidak bisa diragukan karena bisa ditanggap
oleh indera (tangible), sedangkan objek-objek lainnya yang nonfisik
7
Isma’il R. Al-Faruqi & Lois Lamya’ Al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam ( New York Publishing
Company & London : Collier MacMillan Publishers, 1986 ), h. 73.

6
diragukan status ontologisnya karena tidak bisa ditanggap oleh indera.
Dengan menyatakan bahwa semua wujud yang ada di alam semesta ini pada
dasarnya satu dan sama, maka status ontologis objek-objek ilmu, baik yang
fisik maupun non fisik adalah sama.8

Jadi, kalau status ontologis dunia fisik kita akui, status ontologis dunia
nonfisik juga harus kita akui karena pada dasarnya mereka adalah wujud yang
sama dan satu. Dengan status ontologis mereka yang jelas, maka berbagai
ragam wujud ini dapat dijadikan objek-objek yang sah bagi ilmu-ilmu fisika,
matematika, maupun metafisika. Dengan demikian, penelitian ilmiah tidak
perlu diarahkan pada entitas-entitas fisik saja, tetapi juga entitas-entitas
nonfisik (immateriil), tentunya dengan menggunakan metode yang berbeda-
beda sesuai dengan tabiat objek-objeknya. Mereka bisa
bersifat tajribi (eksperimental), burhani (demonstratif) maupun irfani (intuitif/
gnostik).

 Integrasi Di Bidang Sumber Ilmu

Integrasi dibidang objek-objek ilmu juga bisa berimplikasi pada integrasi


dibidang sumber ilmu. Sebab, kalau objek ilmu tidak terbatas hanya pada
objek-objek fisik yang bisa ditangkap oleh indra-indra manusia, kita juga
perlu mencari sumber atau alat lain yang mampu menguak dunia-dunia
nonfisik yang indra-indra lahiriah manusia tidak bisa berfungsi maksimal.
Oleh karena itu, sejalan dengan integrasi dibidang objek-objek ilmu, maka
sumber ilmu juga harus diperluas meliputi akal, hati, dan wahyu.

Akal dapat menjadi sumber ilmu yang sah untuk hal-hal yang bersifat non
fisik, karena kemampuannya untuk menangkap hal-hal yang bersifat abstrak
yang disebut ma’qulat (the intelligibles), sebagaimana indra mampu
menangkap hal-hal yang bersifat makhsusat (benda-benda inderawi/ fisik).
8
Mulyadi, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, (Jakarta, UIN Jakarta Press, 2005), hlm. 34

7
Akal bisa menjadi sumber ilmu yang kaya, tetapi juga legitimate. Karna
keterbatasan akal, kita juga memerlukan sumber ilmu lain yang lebih langsung
menyentuh jantung objeknya, yaitu intuisi atau hati, yang perolehan
tertingginya adalah wahyu. Sedangkan yang lain bisa mengambil bentuk
inspirasi (ilham), lintasan fikiran (flashes), dan lain-lain. Wahyu tentunya
harus kita jadikan sebagai sumber yang kaya dan otoritatif bagi ilmu,
khususnya yang berkaitan dengan hal-hal yang ghaib, karena ia berasal dari
Tuhan yang menciptakan alam-alam gaib tersebut, dan karena itu punya
otoritas yang luas untuk memberitakan mereka lewat firman-firman-Nya yang
agung. Dengan demikian, epistimologi Islam telah mencoba mengintegrasikan
seluruh sumber ilmu yang bisa dimiliki manusia dalam suatu kesatuan yang
utuh dan holistik.9

 Integrasi Di Bidang Metode Ilmiah

Demikian pula konsep wahdah al-wujud ini juga bisa menjadi basis


integrasi bagi metode ilmiah. Pembatasan objek ilmu oleh sains modern pada
benda-benda fisik membuat metode utamanya adalah observasi inderawi.
Observasi inderawi ini bisa dilakukan melalui alat bantu seperti teleskop atau
mikroskop, tetapi jelas dasarnya adalah observasi indera  melalui
eksperimentasi. Namun karena menurut konsep wahdah al-wujud Mulla
Shadra, objek ilmu tidak terbatas hanya pada dunia inderawi tetapi juga yang
non inderawi, metode ilmiyah juga harus dikembangkan pada metode-metode
yang bisa digunakan untuk mengamati atau mempelajari entitas-entitas non
inderawi, dimana metode observasi tidak berfungsi. Dengan demikian, para
filosof muslim mencoba metode demonstratif (burhani), untuk bisa
menangkap objek-objek non-fisik, seperti jiwa, Tuhan, dan malaikat serta
konsep universal, yang ada pada dirinya bersifat immateriil (matematik dan
metafisik). Dengan begitu, benda-benda yang bersifat non fisik juga bisa
9
Mulyadi, Op.Cit, hlm. 37-38

8
ditangkap oleh metode rasional sehingga bisa membentuk rangkaian
metodologi ilmiah yang lebih lengkap dan integral. Untuk melengkapi
rangkaian metode ilmiah ini, para pemikir muslim seperti Ibnu Khaldun dan
Mulla Shadra, telah menambahkan pada metode eksperimen (tajribi) dan
demonstrasi (burhani)ini metode ketiga yang disebut metode irfani atau yang
dikenal juga sebagai pengetahuan melalui kehadiran (ilm hudhuri) mengingat
terbatasnya kemampuan kedua metode tersebut.10  Dengan ketiga metode
diatas sebagai sebuah kesatuan yang organik, maka menusia dimungkinkan
untuk bisa menangkap semua realitas atau tingkat wujud dari yang bersifat
materi, imajinal, sampai pada wujud yang sama sekali immateriil atau
spiritual. Dengan begitu, tercapailah integrasi ilmu dibidang metodologis.

 Integrasi Di Bidang Klasifikasi Ilmu-ilmu Filosofis

Selain dibidang objek, sumber, dan metode, konsep tauhid falsafi dalam


bentuk ajaran wahdah al-wujud ini juga dapat menjadi basis klasifikasi ilmu-
ilmu filosofis (rasional). Betapa tidak, objek-objek ilmu yang beragam mulai
objek-objek yang bersifat fisik, matematik, dan metafisik, tentu memerlukan
disiplin ilmu tertentu yang cocok untuk berbagai jenis wujud, tetepi yang
menurut ajaran wahdah al-wujud adalah sama dan satu dalam hakikatnya.
Misalnya, objek-objek fisik tertentu memerlukan cabang-cabang ilmu tertentu
yang cocok dengan objek-ojek tersebut, seperti mineralogi untuk benda-benda
mineral, zoologi untuk hewan-hewan, dan lain-lain. adapun objek-objek yang
non fisik, seperti konsep-konsep yang abstrak dari benda-benda fisik juga
memerlukan bidang-bidang ilmu khusus, yaitu matematika,
seperti: Aritmatika. Aljabar, Kalkulus, Geometri, Trgonometri, Astronomi,
Musik, dan Optika.11 Adapun objek-objek immateriil yang disebut oleh para
10
Ibid, hlm. 40
11
Mulyadi Kertanegara, Filosofi Islam Dalam Proses Pendidikan dan Pengajaran ditingkat Fakultas,
(Jakarta, artikel kulyah umum di Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2008).

9
filosofi muslim sebagai ma’qulat (the intelligibles) memerlukan bidang ilmu
khusus yang disebut metafisika, meliputi kajian ilmu tentang wujud, yang
disebut ontologi, tentang struktur alam semesta yang disebut kosmologi,
tentang filsafat manusia yang disebut antropologi, dan ilmu tentang nasib jiwa
setelah kematian yang disebut eskatologi.

Dengan demikian, timbullah klasifikasi ilmu yang lebih komprehensif


yang meliputi berbagai tingkat wujud dari yang fisik hingga yang metafisik
yang dikenal sebagai kelompok ilmu-ilmu fisika, matetmatika, dan metafisika.
Selain ilmu-ilmu teoritis tersebut diatas, adapula ilmu-ilmu yang bersifat lebih
praktis, seperti etika, ekonomi, dan politik, disamping ilmu-ilmu sosial yang
mengkaji pola hubungan interaksi manusia dengan sesama, seperti sejarah,
sosiologi, antropologi, dan lain-lain dalam sebuah kesatuan yang holistik dan
komprehensif karena berdasar pada prinsip kesatuan wujud yang merupakan
ekspresi tauhid filosofis, seperti yang diwakili oleh Mulla Shadra.

 Integrasi Bagi Pengalaman Manusia

Konsep wahdah al-wujud juga bisa menjadi basis integrasi


bagi berbagaijenis pengalaman manusia, baik yang bersifat inderawi,
intelektual, mental, mistikal, maupun spiritual. Penerimaan akan objektivitas
dan validitas sebuah jenis pengalaman manusia (dalam hal ini pengalaman
inderawi) oleh sains modern bagi pasokan ilmu, dan penolakan terhadap
pengalaman-pengalaman manusia lainnya, tentu saja akan menjadi hambatan
yang berarti bukan saja bagi keutuhan pengalaman manusia yang
multidimensional, melainkan juga dalam kaitannya dengan pasokan yang
beragam dari jenis-jenis pengalaman tadi bagi integrasi sumber ilmu. Karena
kalau hanya pengalaman inderawi yang diterima sebagai sumber pasokan
ilmu, sistem kita akan sangat timpang karena harus menolak pengalaman-

10
pengalaman asli manusia dibidang lain: mental, intelektual, dan spiritual yang
tentunya sangat kaya dan vital.12

Dengan begitu, pengalaman-pengalaman religius dan mistik yang begitu


melimpah dari para agamawan atau mistikus tidak akan diterima sebagai
pasokan bagi ilmu, akibatnya ilmu akan menjadi sangat kering karena hanya
memperhatikan aspek lahiriyah dan realitas dan mengabaikan aspek bathiniah
yang tidak kalah penting, menarik, dan esensial bagi pembentukan sebuah
sistem ilmu yang integral.

Ilmu yang hendak kita bangun selain harus mengakui keabsahan


pengalaman inderawi, juga pengalaman-pengalaman manusia yang lebih
personal seperti pengalaman mental, mistik, religius, intelektual, dan spiritual,
yang disamping subjektivitasnya ternyata juga memiliki basis-basis
objektivitasnya di dunia-dunia non empiris sebagaimana dtunjukkan misalnya
oleh pengarang-pengarang fisika baru Briyan Hines, dipandang baru bisa
mendengar echo (gema) realitas. Dan mistisisme menurut hematnya justru
dapat mengungkap dengan jelas dan indah dimensi lain yang tidak bisa
dijangkau oleh fisika baru.13

Dengan demikian, untuk menjaga integrasi ilmu di bidang yang


bermacam-macam ini, kita memang perlu mengakui validitas beragam
pengalaman manusia mulai yang sensual hingga yang spiritual kalau kita
ingin memiliki gambar realitas yang lebih utuh.

Dafpus :

http://sayyid-karya.blogspot.co.id/2012/10/tauhid-prinsip-utama-integrasi-ilmu.html

12
Mulyadi, Op.Cit, hlm. 42
13
Ibid, hlm. 43

11
https://books.google.co.id/books?
id=e_9tA8CRln8C&pg=PA32&lpg=PA32&dq=prinsip+integrasi+ilmu&source=bl&
ots=cFR4cp67DB&sig=kyUgt4_ihv-qWd0PKrv-
7O5973A&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjnlqL4gZvbAhUgR48KHSrPAII4ChDoAQ
gnMAA#v=onepage&q=prinsip%20integrasi%20ilmu&f=false

12

Anda mungkin juga menyukai