1
John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia, 2007), hlm.326
2
Supadie, Didiek Ahmad dkk. Pengantar Studi Islam.(Edisi Revisi), (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm.
229.
1
Allah yang diberikan kepada manusia baik melalui Rasul-Nya atau
langsung kepada manusia yang menghendakinya tentang alam semesta
sebagai ciptaan Allah yang bergantung menurut ketentuan dan kepastian-
Nya.
Berbeda dengan pengertian di atas, Harold H. Titus sebagaimana
termaktub dalam buku “Ilmu Pendidikan Islam: Filsafat dan
Pengembangan” karya Mahfud Junaedi, menjelaskan bahwa science atau
ilmu adalah
1. A method of obtaining knowledge that is objective and veriviable;
2. A body of systematic knowledge built up through experimentation
ang observation and having a valid theoretical base.
Dari definisi yang dikemukakan tersebut dapat dipahami bahwa
“ilmu” meliputi tiga kompenen yang saling bertautan dan merupakan
kesatuan logis yang mesti ada serta berurutan. (1) ilmu harus diusahakan
dengan aktifitas manusia, (2) aktifitas itu harus dilaksanakan dengan
metode tertentu, dan (3) akhirnya aktifitas metodis itu mendatangkan
pengetahuan yang sistematis.
Integrasi juga merupakan keterhubungan keilmuan, tidak dikotomi
antara ilmu umum dan ilmu agama, baik dua atau lebih ilmu. Integrasi
dapat terjadi secara kognitif, afektif, dan psikomotorik. Hal tersebut
merupakan keterkaitan permanen antara disiplin satu dengan yang lainnya
yang memadukan sains, nilai-nilai dan keagamaan sesuai konteks
kurikulum, termasuk paradigma yang membangun berbagai keilmuan.3
Secara etimologis, integrasi merupakan kata serapan dari bahasa
Inggris –integrate; integration- yang kemudian diadaptasi ke dalam bahasa
Indonesia menjadi integrasi yang berarti menyatu-padukan; penggabungan
3
Wahidin, Sains dan Agama (Rekonstruksi Integrasi Keduanya),(Yogyakarta: penerbit ombak, 2015),
hlm. 72.
2
atau penyatuan menjadi satu kesatuan yang utuh; pemaduan.4 Adapun
secara terminologis, integrasi ilmu adalah pemaduan antara ilmu-ilmu
yang terpisah menjadi satu kepaduan ilmu, dalam hal ini penyatuan antara
ilmu-ilmu yang bercorak agama dengan ilmu-ilmu yang bersifat umum.
Integrasi itu keterhubungan ilmu dengan ilmu lain, sehingga
pemikiran tidak mengalami dikotomi. Untuk konteks di Indonesia,
memang sedikit mengalami kesulitan karena sampai saat ini kita masih
menganut dengan dualisme sistem pendidikan (realitas terkait baik secara
regulasi dan sistem), yaitu sistem pendidikan Negara yang di dalamnya
(diatur oleh kementrian agama dan kementrian dikbud). Kedua institusi
secara langsung atau tidak, diakui atau tidak berdampak terhadap
pelaksanaan ditataran operasional.
Integrasi keilmuan memberikan “ruh” terhadap pemahaman manusia,
bahwa ilmu itu dari Tuhan. Karena itu integrasi itu merupakan
“bentukan” baru, yaitu menyatunya pikiran, rohani dan perilaku diri
manusia dalam hidupnya. “Bentukan” konsepsi integrasi ini tidak mudah
karena harus mengharmonisasikan antara akal (aqliah) dan wahyu
(naqliah) serta mengkonstruksi “ilmu baru” dalam diri manusia itu
dengan kecerdasan berpikir berdasarkan sistem nilai (salah satunya tidak
dikotomi).5
Integrasi ilmu agama dan ilmu umum ini adalah upaya untuk
meleburkan polarisme antara agama dan ilmu yang diakibatkan pola pikir
pengkutupan antara agama sebagai sumber kebenaran yang independen
dan ilmu sebagai sumber kebenaran yang independen pula. Hal ini karena
–sebagaimana dijelaskan diawal pendahuluan-keberadaannya yang saling
membutuhkan dan melengkapi. Seperti yang dirasakan oleh negara-
negara di belahan dunia sebelah Barat yang terkenal canggih dan maju di
4
Partanto, Pius A. dkk, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), hlm.264.
5
Wahidin, Op. Cit ., 75
3
bidang keilmuan dan teknologi, mereka tergugah dan mulai menyadari
akan perlunya peninjauan ulang mengenai dikotomisme ilmu yang
terlepas dari nilai-nilai yang di awal telah mereka kembangkan, terlebih
nilai religi. Agama sangat bijak dalam menata pergaulan dengan alam
yang merupakan ekosistem tempat tinggal manusia.
Meninjau begitu urgennya kapasitas agama dalam kehidupan manusia,
maka sepatutnya agama dikembangkan sebagai basic nilai pengembangan
ilmu. Karena perkembangan ilmu yang tanpa dibarengi dengan kemajuan
nilai religinya, menyebabkan terjadinya gap, jurang. Akibat
meninggalkan agama, ilmu secara arogan mengeksploitasi alam sehingga
terjadi berbagai kerusakan ekosistem.6
Ketika manusia secara berangsur-angsur dapat mengenal sifat dan
perilaku alam, dan selanjutnya dapat mengendalikan, mengolah dan
memanfaatkannya dengan ilmu dan akal mereka; maka sifat dan perilaku
alam yang tadinya sangat ditakuti mereka secara berangsur-angsur tidak
lagi menakutkan. Konsep ketuhanan merekapun bergeser. Ada yang
mengatakan bahwa agama tidak lebih dari objek pelarian manusia yang
gagal menghadapi serta mengatasi problema kehidupannya; atau
merupakan hasil tahap perkembangan yang paling terbelakang dari suatu
masyarakat; atau sekedar obsesi manusia tatkala mereka masih berusia
kanak-kanak. Mengapa demikian? Sebab, sebagai contoh, dengan
kemjauan sains dan teknologi dapat diketahui bahwa gempa terjadi karena
adanya pergeseran atau patahan kulit bumi, bukan karena Allah murka,
sehingga manusia tidak perlu takut lagi.
Di samping itu, meninjau ke ranah psikis batiniyah, sebagai misal,
orang Barat yang terdepan dalam keilmuan dan sebagai kiblat kemajuan
teknologi, sebagian mereka hidup –jika ditinjau dari kacamata islam -
6
Alim Roswantoro dalam Mengukir Prestasi di Jalur Khusus, (Yogyakarta: Penerbit Pendi Pontren
Depag RI, 2007), hlm. 40.
4
tidak sejahtera, tidak tentram dan tidak tenang. Kehidupan mereka
kelihatan semrawut, bebas tanpa aturan. Hal ini disebabkan oleh
kurangnya sentuhan-sentuhan nilai-nilai religi karena ilmunya - pun telah
terdikotomikan dari ilmu agama.
5
menjadi prinsip paling dasar dari dari ajaran Islam, dan dalam kaitannya
dengan integrasi ilmu, telah menjadi prinsip yang paling utama dari prinsip-
prinsip epistemologi Islam, sehingga ia juga telah menjadi asas pemersatu
atau dasar integrasi ilmu pengetahuan manusia.
Dalam perkembangan, formula “La Ilaha Illallah” telah dipahami dan
dirumuskan secara beragam oleh para teolog, fuqaha, sufi dan filosof. Para
teolog dan fuqaha cenderung mengambil arti harfiah dari formula tersebut
dengan menerjemahkan sebagai “tidak ada Tuhan yang wajib disembah (al-
ma’bud) karena manusia adalah hamba-hamba-Nya (‘abid). Namun sejalan
dengan pendekatan filosofis (dan mistik), dalam perspektif filosofis karena
perspektif inilah integrasi ilmu menemukan ekspresinya yang paling nyata.
Fondasi pemersatu yang mendasari integrasi – integrasi epistemologis,
tidak lain daripada prinsip paling mendasar dalam seluruh ajaran islam yaitu
tauhid seperti yang dikatakan Prof. Isma’il Al-Farukhi sebagai esensi
peradaban islam.7 Inilah yang menjadi asas pemersatu segala keragaman
apapun yang pernah diterima islam dari luar, yang tanpanya kesatuan
peradaban islam tidak akan pernah terjadi, demikian pula integrasi keilmuan
mustahil akan bisa dilaksanakan.
6
diragukan status ontologisnya karena tidak bisa ditanggap oleh indera.
Dengan menyatakan bahwa semua wujud yang ada di alam semesta ini pada
dasarnya satu dan sama, maka status ontologis objek-objek ilmu, baik yang
fisik maupun non fisik adalah sama.8
Jadi, kalau status ontologis dunia fisik kita akui, status ontologis dunia
nonfisik juga harus kita akui karena pada dasarnya mereka adalah wujud yang
sama dan satu. Dengan status ontologis mereka yang jelas, maka berbagai
ragam wujud ini dapat dijadikan objek-objek yang sah bagi ilmu-ilmu fisika,
matematika, maupun metafisika. Dengan demikian, penelitian ilmiah tidak
perlu diarahkan pada entitas-entitas fisik saja, tetapi juga entitas-entitas
nonfisik (immateriil), tentunya dengan menggunakan metode yang berbeda-
beda sesuai dengan tabiat objek-objeknya. Mereka bisa
bersifat tajribi (eksperimental), burhani (demonstratif) maupun irfani (intuitif/
gnostik).
Akal dapat menjadi sumber ilmu yang sah untuk hal-hal yang bersifat non
fisik, karena kemampuannya untuk menangkap hal-hal yang bersifat abstrak
yang disebut ma’qulat (the intelligibles), sebagaimana indra mampu
menangkap hal-hal yang bersifat makhsusat (benda-benda inderawi/ fisik).
8
Mulyadi, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, (Jakarta, UIN Jakarta Press, 2005), hlm. 34
7
Akal bisa menjadi sumber ilmu yang kaya, tetapi juga legitimate. Karna
keterbatasan akal, kita juga memerlukan sumber ilmu lain yang lebih langsung
menyentuh jantung objeknya, yaitu intuisi atau hati, yang perolehan
tertingginya adalah wahyu. Sedangkan yang lain bisa mengambil bentuk
inspirasi (ilham), lintasan fikiran (flashes), dan lain-lain. Wahyu tentunya
harus kita jadikan sebagai sumber yang kaya dan otoritatif bagi ilmu,
khususnya yang berkaitan dengan hal-hal yang ghaib, karena ia berasal dari
Tuhan yang menciptakan alam-alam gaib tersebut, dan karena itu punya
otoritas yang luas untuk memberitakan mereka lewat firman-firman-Nya yang
agung. Dengan demikian, epistimologi Islam telah mencoba mengintegrasikan
seluruh sumber ilmu yang bisa dimiliki manusia dalam suatu kesatuan yang
utuh dan holistik.9
8
ditangkap oleh metode rasional sehingga bisa membentuk rangkaian
metodologi ilmiah yang lebih lengkap dan integral. Untuk melengkapi
rangkaian metode ilmiah ini, para pemikir muslim seperti Ibnu Khaldun dan
Mulla Shadra, telah menambahkan pada metode eksperimen (tajribi) dan
demonstrasi (burhani)ini metode ketiga yang disebut metode irfani atau yang
dikenal juga sebagai pengetahuan melalui kehadiran (ilm hudhuri) mengingat
terbatasnya kemampuan kedua metode tersebut.10 Dengan ketiga metode
diatas sebagai sebuah kesatuan yang organik, maka menusia dimungkinkan
untuk bisa menangkap semua realitas atau tingkat wujud dari yang bersifat
materi, imajinal, sampai pada wujud yang sama sekali immateriil atau
spiritual. Dengan begitu, tercapailah integrasi ilmu dibidang metodologis.
9
filosofi muslim sebagai ma’qulat (the intelligibles) memerlukan bidang ilmu
khusus yang disebut metafisika, meliputi kajian ilmu tentang wujud, yang
disebut ontologi, tentang struktur alam semesta yang disebut kosmologi,
tentang filsafat manusia yang disebut antropologi, dan ilmu tentang nasib jiwa
setelah kematian yang disebut eskatologi.
10
pengalaman asli manusia dibidang lain: mental, intelektual, dan spiritual yang
tentunya sangat kaya dan vital.12
Dafpus :
http://sayyid-karya.blogspot.co.id/2012/10/tauhid-prinsip-utama-integrasi-ilmu.html
12
Mulyadi, Op.Cit, hlm. 42
13
Ibid, hlm. 43
11
https://books.google.co.id/books?
id=e_9tA8CRln8C&pg=PA32&lpg=PA32&dq=prinsip+integrasi+ilmu&source=bl&
ots=cFR4cp67DB&sig=kyUgt4_ihv-qWd0PKrv-
7O5973A&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjnlqL4gZvbAhUgR48KHSrPAII4ChDoAQ
gnMAA#v=onepage&q=prinsip%20integrasi%20ilmu&f=false
12