Anda di halaman 1dari 15

PERILAKU SEHAT DAN HEALTH LITERACY

A. Hubungan Psikologi Kesehatan dengan Perilaku Sehat


Menurut ( Sukaena Mas’ud) hubungan antara ilmu
psikologi dengan perilaku sehat yaitu sangat berhubungan karena
ilmu psikologi sendiri sangat luas cakupannya bukan hanya
menangani masalah psikis dan mental tetapi banyak sekali
penerapannya terutama dalam ilmu kesehatan salah satunya
yaitu bagaimana cara kita untuk memahami perilaku individu atau
kelompok masyarakat untuk mau merubah perilakunya yang
tadinya tidak sehat berubah menjadi sehat dari lingkungan yang
kotor berubah menjadi lingkungan yang bersih serta bagaimana
caranya untuk mencegah penyakit untuk masuk ke dalam dirinya.
Selain itu dengan adanya ilmu psikologi kita dapat melakukan
pendekatan kepada seseorang terkait hal apa saja yang
mempengaruhi perilaku individu atau kelompok masyarakat
dalam memberikan pengarahan dan motivasi dalam mengelola
stress dengan efektif sehingga tekanan yang dialami seseorang di
tempat kerja tidak mempengaruhi kesehatan mereka.dan
terutama Yang nantinya sebagai promotor kesehatan sangat
penting untuk mempelajari ilmu psikologi karena kita yang ingin
merubah perilakunya masyarakat dalam meningkatkan kesehatan
fisik dan mental serta cara mencegah faktor-faktor resiko
penyakit sehingga dapatmeningkatkan derajat kesehatan
masyarakat.
Telah kita ketahui bahwa psikologi kesehatan adalah
disiplin ilmu yang membahas tentang pengetahuan psikis dan
sosial dimana tujuannya adalah untuk mengurangi terjadinya
kesakitan atau meningkatkan kesehatan sedangkan perilaku sehat
adalah tindakan untuk mempertahankan atau meningkatkan
kesehatan. Jadi,menurut (Nenti Sulfia) hubungan psikologi
kesehatan dan perilaku kesehatan adalah sebagai cara kita
sebagai promotor kesehatan untuk memahami perilaku
masyarakat,dimana telah kita tahu bahwa tujuan para promotor
kesehatan adalah mencegah dan mempromosikan usaha kita
dalam menjaga kesehatan masyarakat dan aspek mendasar yang
harus diperhatikan adalah perilaku masyarakat dalam menjaga
kesehatan mereka. Untuk itu,psikologi kesehatan sangat
membantu kita dalam mempelajari dan memahami perilaku
masyarakat sehingga kita bisa lebih mudah mengetahui
bagaimana perilaku masyarakat dalam mempertahankan
kesehatan mereka.

B. Defenisi Perilaku Sehat


Menurut (Irwan, 2017) perilaku kesehatan adalah suatu
respon seseorang(organisme) terhadap stimulus atau obyektif
yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan
kesehatan, makanan, dan minuman, serta lingkungan
(Notoatmodjo, 2007). Perilaku sehat adalah tindakan yang
dilakukan individu untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatannya, termasuk pencegahan penyakit, perawatan
kebersihan diri, penjagaan kebugaran melalui olah raga dan
makanan bergizi. Perilaku sehat ini diperlihatkan oleh individu
yang merasa dirinya sehat meskipun secara medis belum tentu
mereka betul-betul sehat (Notoatmodjo, 2007; 2010),
Perilaku sehat adalah suatu respon seseorang terhadap
rangsangan dari luar untuk menjaga kesehatan secara utuh.
Terbentuknya perilaku sehat disebabkan oleh tiga aspek antara
lain yaitu:Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia yang
melalui proses belajar atau hasil tahu seseorang terhadap objek
melalui indera yang dimiliki.

C. Teori-Teori Perilaku Sehat


Menurut (Irwan, 2017)Beberapa teori bidang kesehatan
yang menganalisis perilaku individu maupun masyarakat telah
banyak dikemukakan oleh ahli perilaku kesehatan teori –teori
perilaku kesehatan yang telah banyak dipergunakan dalam
berbagai penelitian adalah sebagai berikut ;
1. Teori Snehandu B.Kar
Teoeri ini mencoba menganalisis perilaku kesehatan
dengan bertitik tolak bahwa perilaku merupakan fungsi dari:
a. Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan
kesehatan atau perawatan kesehatannya (Behaviour
intention ).
b. Dukungan sosial dari masyrakat sekitarnya ( Social-
support).
c. Ada atau tidak adanya informasi tentang kesehatan
atau fasilitas kesehatan (Accessebility of
information).
d. Otonomi pribadi yang bersangkutan dalam hal ini
mengambil tindakan atau keputusan (Personal
autonomy).
e. Situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau
tidak bertindak( action situation)
2. Teori Health Belief Model
Teori perilaku model The Health Belief biasa digunakan
dalam menjelaskan perubahan perilaku kesehatan di
masyarakat. Beberapa hal yang dikembangkan dalam model
The health belief antara lain teori adopsi tindakan (action).
Teori ini menekankan pada sikap dan kepercayaan individu
dalam berperilaku khususnya perilaku kesehatan.
Teori perubahan perilaku kesehatan yang dikembangkan
meletakan adanya keyakinan/persepsi individu terhadap
tindakan medis/kesehatan yang telah didapatkan. Adanya
pengalaman pengobatan dalam diri individu maupun
pengalaman orang lain menumbuhkan persepsi tentang
kesehatan.
3. Theory Self efficacy
Self efficacy didefinisikan sebagai keyakinan individu
tentang kemampuannya untuk mencapai tingkat kinerja
dengan menggunakan pengalamannya terhadap peristiwa-
peristiwa lampau yang mempengaruhi kehidupannya.
4. Teori Dukungan Sosial (Social Support Theory)
Dukungan sosial (social support) didefinisikan sebagai
informasi verbal atau non verbal, saran, bantuan yang nyata
atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab
dengan subyek di dalam lingkungan sosialnya atau yang
berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan
keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku.
Dukungan sosial sebagai sumber emosional,
informasional atau pendampingan yang diberikan oleh orang-
orang disekitar individu untuk menghadapi setiap
permasalahan dan krisis yang terjadi sehari-hari dalam
kehidupan.
5. Theory Social Cognitive of Self-Regulation
Teori Kognitif Sosial (SCT) pertama kali dikenal sebagai
teori pembelajaran sosial, seperti yang didasarkan pada
prinsip-prinsip belajar dalam konteks sosial manusia. Model
self-regulation sebenarnya mengacu pada proses pemecahan
masalah. Pemecahan masalah kesehatan masyarakat pada
dasarnya tidak berbeda dengan pemecahan masalah lain.
6. Theory of Planned Behavior
Teori Perilaku yang direncanakan (Planned Behavior
Theory) yang disingkat dengan PBT merupakan
pengembangan lebih lanjut dari TRA. Seperti pada teori TRA,
faktor inti dari TPB adalah niat individu dalam melakukan
perilaku tertentu.
Ajzen (1991) menambahkan konstruk yang belum ada
dalam TRA, yaitu persepsi terhadap pengendalian yang dapat
dilakukan (perceived behavioral control). Konstruk ini
ditambahkan dalam upaya memahami keterbatasan yang
dimiliki individu dalam rangka melakukan perilaku tertentu.
7. Perceived behavioral control (PBC)
Perceived behavioral control (PBC) adalah ukuran sejauh
mana individu percaya tentang mudah atau sulitnya
menampilkan tingkah laku tertentu (Hogg & Vaughan, 2005).
Menurut Feldman (1995), PBC adalah persepsi tentang
kesulitan atau kemudahan dalam melaksanakan tingkah laku,
berdasarkan pada pengalaman sebelumnya dan hambatan
yang diantisipasi dalam melaksanakan tingkah laku tertentu.
Peneliti menyimpulkan PBC sebagai persepsi individu
terhadap kadar kemudahan dan kesulitan suatu tingkah laku
serta kontrol yang dimiliki untuk melaksanakan tingkah laku
tersebut.
8. Teoeri ABC
Menurut (Bahar,2018) model ABC atas perubahan
perilaku merupakan gabungan dari 3 (tiga) elemen, yaitu
anteseden, behavior dan consequnces (ABC). Menurut para
pendukung model tersebut, perilaku dapat di ubah dengan
melalui 2 (dua) cara, yaitu berdasarkan apa yang
mempengaruhi perilakusebelum terjadi (exente) dan apa
yang menpengaruhi perilaku setelah terjadi (ex-post). Ketika
kita mencoba mempengaruhi perilaku sebelum perilaku itu
terbentuk berarti kita telah menggunakan antecedents.
Sementara itu ketika kita berusaha mempengaruhi perilaku
dengan melakukan sesuatu stelah perilaku itu terbentuk
berarti kita menggunakan consequnces.
Jadi sebuaah antecedents mendorong terbentuknya
perilaku yang selanjutnya akan di ikuti oleh sebuah
cobcequnces. Pemahaman ketiga elemen ini berinteraksi
sangat bermanfaat bagi para manejer untuk menganalisis
permasalahan kinerja, menentukan ukuran-ukuran korektif,
dan mendesain lingkungan kerja yang kondusif dan sistem
manajemen yang mempunyai kinerja tinggi.
1. Anteseden
Anteseden yaitu suatu kondisi atau rangsangan yang
mendahului terjadinya perilaku tertentu.
2. Perilaku (Behavior)
Setiap hal yang dapat diukur langsung yang dilakukan
seseorang, termasuk berbicara, bertindak, dan
melakukan fungsi fisik.
3. Konsekuensi (Consequences)
Consequences adalah hal yang dapat menetukan perilaku
tersebut akan terulang kembali. Consequences dapat
bertindak sebagai activator baru atau activator ke dua
yang dapat memicu munculnya perilaku baru atau
perilaku lain. Perilaku aman dapat dilihat dari perilaku
tenaga kerja ketika melakukan pekerjaannya di tempat
kerja (Geller, 2001)

D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Sehat


Menurut (Irwan, 2017)Tingkat kesehatan seseorang atau
masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok yakni faktor perilaku
(behaviour causer) dan faktor dari luar perilaku (non behaviour
causer). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk
dari 3 faktor yaitu :
1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang
terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan,
nilai-nilai dan sebagainya.
2. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud
dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya
fasilitas- fasilitas atau sarana-sarana kesehatan misalnya
Puskesmas, obat- obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban dan
sebagainya.
3. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors), yang terwujud
dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas
yang lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku
masyarakat.
Di simpulkan bahwa perilaku seseorang atau
masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan,
sikap, kepercayaan, tradisi dan sebagainya dari orang atau
masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu ketersediaan
fasilitas, sikap dan perilaku para petugas kesehatan terhadap
kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat
terbentuknya perilaku.

E. Defenisi Health Literacy


Menurut (Hazana, 2017) istilah literacy atau literasi
dikenalkan sebagai kemampuan individu dalam mengidentifikasi,
memahami, menafsirkan, membuat, berkomunikasi, menghitung
dan menggunakan bahan-bahan cetak dan tertulis terkait dengan
berbagai konteks (UNESCO, 2006). Terdapat banyak definisi untuk
literasi kesehatan yang sampai sekarang konsep ini masih terus
berkembang. Menurut Institute of Medicine (2004) konsep literasi
kesehatan adalah tingkat kemampuan individu dalam
memperoleh, memproses dan mengerti suatu dasar informasi
kesehatan dan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan untuk
membuat suatu keputusan tepat terkait kesehatannya. Definisi
tersebut menggambarkan literasi kesehatan yang menekankan
pada ketrampilan masyarakat yang akan berpengaruh dalam
upaya meningkatkan kesehatannya, yakni kemampuan untuk
mengakses, memahami, membuat keputusan terkait
penatalaksanaan kesehatan, pemilihan gaya hidup sehat,
melakukan pencegahan terhadap suatu penyakit dan mencari
informasi mengenai penanganan serta perawatan medis yang
tepat untuk suatu penyakit.
Menurut (Soemitro, 2014) health literacy diartikan
sebagai sejauh mana individu dapat memperoleh, memproses,
dan memahami dasar informasi kesehatan dan layanan yang
mereka butuhkan untuk membuat keputusan yang tepat untuk
kesehatan mereka. Health literacy merupakan hal yang mendasari
pengetahuan kesehatan yang baik dan sangat berpengaruh pada
perilaku pasien dalam menjalani pengobatan. Seseorang dengan
health literacy yang rendah mempunyai pengetahuan yang sedikit
tentang penyakit yang dideritanya serta cara pencegahan dan
pengobatannya. Seseorang dengan health literacy yang tinggi
mempunyai pengetahuan yang baik sehingga dimungkinkan untuk
mempunyai self-care yang baik pula (Andrus dan Roth, 2002).

F. Alat Ukur Health Literacy


Menurut (Hazana, 2017) pengukuran literasi kesehatan
yang tepat diperlukan guna mengetahui tingkat literasi kesehatan
masyarakat. Terdapat beberapa instrumen yang ada untuk
mengukur literasi kesehatan secara fungsional yakni kemampuan
untuk membaca,berhitung dan memahami informasi kesehatan,
diantaranya adalah :
a. REALM (Rapid estimate of adult health literacy in medicine)
REALM merupakan instrumen untuk menguji
kemampuan dalam membaca dan mengngkapkan istilah-
istilah kesehatan yang sering digunakan. Alat ukur ini terdiri
dari 3 kolom yang berisi 22 kata (total 66 kata) dari konteks
pelayanan kesehatan sesuai dengan urutan jumlah suku kata
dan tingkat kesulitannya. Pasien diminta untuk membaca
kata-kata tersebut dengan keras kemudian dicatat benar atau
tidak dalam pelafalannya (Gibbs dkk,. 2012). Nilai 0-44
menunjukkan tingkat literasi kesehatan yang rendah, nilai 45-
60 menunjukkan literasi kesehatan marginal dan nilai 61-66
menyatakan literasi kesehatan yang tinggi (Dewalt & Pignone,
2008).
b. TOFHLA (The test of functional health literacy in adults)
TOFHLA terdiri dari dua bagian yang berbeda.
TOFHLA banyak digunakan karena mengukur komponen
literasi kesehatan berupa kemampuan literasi cetak,
numerasi, dan membaca (50 item). Nilai 0-59 menunjukkan
literasi kesehatan yang kurang, 60-74 menyatakan literasi
kesehatan marginal dan nilai 75-100 menunjukkan kemelekan
kesehatan tinggi (Dewalt & Pignone, 2008). Banyak alat ukur
literasi kesehatan lain yang merujuk pada pendekatan
TOFHLA atau REALM dengan tingkat validitas sensitivitas dan
spesifisitas yang bervariasi (Gibbs dkk., 2012).
c. NVS (Newest Vital Signs)
NVS merupakan alat skrining yang digunakan untuk
mengetahui pasien dengan tingkat literasi kesehatan yang
rendah. NVS diuji melalui perbandingan dengan TOFHLA dan
memiliki enam pertanyaan, tiap jawaban yang benar akan
mendapat nilai 1. Responden yang mendapat nilai lebih dari
atau sama dengan 4 pada tes NVS sebanding dengan tingkat
literasi kesehatan yang tinggi pada TOFHLA (nilai TOFHLA
lebih dari 74) (Weiss dkk., 2005).
d. HLS-Asia (The Health Literacy Study Asia)
HLS Asia merupakan alat ukur yang tervalidasi di negara-
negara Asia yang digunakan untuk mengukur tingkat literasi
kesehatan di Asia dan merupakan adaptasi dari European health
literacy study (HLS-EU). HLS-EU sendiri merupakan alat
pengukuran literasi kesehatan yang mendeskripsikan literasi
kesehatan sebagai pengetahuan, motivasi, dan kompetensi untuk
mengakses, mengetahui, menilai, dan mengaplikasikan informasi
untuk membuat keputusan terkait pelayanan kesehatan,
pencegahan penyakit, dan promosi kesehatan (Pelikan, 2014).

G. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Health Literacy


Menurut (Hazana, 2017) faktor-faktor yang
mempengaruhi health literacy adalah :
1. Usia
Literasi kesehatan dapat menurun seiring dengan
bertambahnya usia.Keadaan ini dikarenakan adanya
penurunan kemampuan berfikir, rentang waktu yang lama
sejak pendidikan terakhir dan penurunan sensoris. Penurunan
fungsi kognitif tersebut akan memengaruhi pemahaman akan
informasi kesehatan (Shah dkk., 2010). Penurunan
kemampuan berfikir ini dapat memengaruhi pemahaman
seseorang dalam membaca dan memahami informasi (Ng &
Omaariba, 2010). Menurut penelitian di Isfahan Iran,
seseorang dengan literasi kesehatan yang terbatas pada
umumnya adalah orang dewasa yang lebih tua, imigran, buta
huruf, orang-orang dengan pendapatan rendah, orang-orang
dengan kesehatan mental yang rendah dan dan orang yang
menderita penyakit kronis seperti diabetes tipe II dan
hipertensi (Hasanzade, 2012).
2. Jenis kelamin
Jenis kelamin menyatakan perbedaan pria dan
wanita secara biologis,namun yang sebenarnya berperan
sebagai determinan literasi kesehatan adalah karakteristik,
peran, tanggung jawab dan atribut antara pria dan wanita
yang dibangun secara sosial yang dikenal dengan istilah
gender (WHO, 2012). Faktor-faktor yang memengaruhi
perbedaan gender dalam hal risiko kesehatan adalah
perbedaan biologis dan fisiologis antara pria dan wanita,
perbedaan umur harapan hidup, perbedaan akses wanita
dalam memperoleh mekanisme perlindungan sosial (asuransi
kesehatan dan sosial), norma budaya, kepercayaan religius
dan aturan keluarga serta perilaku yang menentukan peran-
peran serta posisi pria dan wanita dalam masyarakat,
perbedaan gender dalam tingkat pendidikan, perbedaan
pendapatan antara pria dan wanita dan interaksi antara etnis,
pendapatan dan gender (Buvinic, 2006).
3. Pendidikan
Pendidikan dapat memengaruhi literasi kesehatan
baik secara langsung maupun tak langsung. Jika dilihat secara
langsung, pendidikan memengaruhi kemampuan dalam
menguasai berbagai bidang dan juga memengaruhi
kemampuan dalam mengumpulkan serta mengintepretasikan
berbagai informasi khususnya informasi kesehatan.
Kemampuan kemampuan ini pada akhirnya akan
memengaruhi preferensi seseorang dalam bergaya hidup.
Selain berdampak pada pembentukan pengetahuan
kesehatan, pendidikan juga membentuk keahlian atau
kompetensi yang dibutuhkan untuk pembelajaran kesehatan.
Secara tidak langsung, pendidikan dapat memengaruhi
pekerjaan serta pendapatan seseorang sehingga hal ini akan
memengaruhi literasi kesehatan (Canadian Council on
Learning, 2008).
4. Pekerjaan
Status pekerjaan memengaruhi kemampuan
ekonomi seseorang,sehingga menentukan pula kemampuan
dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Selain itu, dengan
bekerja maka lebih besar kemungkinan bagi seseorang untuk
mendapatkan jaminan kesehatan dari tempat bekerjanya. Hal
ini akan memperbesar aksesnya untuk mendapatkan
informasi dan pelayanan kesehatan.
5. Pendapatan
Faktor ekonomi memengaruhi kemampuan
seseorang untuk mendapatkan pendidikan dan pelayanan
kesehatan, sehingga akan memengaruhi tingkat kemampuan
dalam mengakses, memahami, menilai dan mengaplikasikan
informasi kesehatan (Pawlak, 2005). Penelitian yang
dilakukan di beberapa negara menunjukkan keterkaitan
antara pendapatan yang rendah dengan tingkat literasi
kesehatan yang rendah pula (Ng & Omariba, 2010).
6. Pelayanan Informasi Obat
Pelayanan kefarmasian merupakan bentuk
pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker
dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien (Menkes RI, 2004). Tujuan lain dari pelayanan
kefarmasian adalah untuk mencegah atau mengidentifikasi
dan memecahkan masalah produk obat dan masalah lain
yang terkait kesehatan, yang merupakan proses perbaikan
kualitas yang terus-menerus dalam penggunaan produk obat.
7. Akses Informasi Kesehatan
Dalam sistem kesehatan saat ini, teknologi informasi
merupakan salah satu faktor penting yang memiliki peran
dalam menentukan literasi kesehatan seseorang karena
setiap orang dapat mengakses berbagai informasi terutama
sumber informasi kesehatan. Pada era ini teknologi
informasipun berkembang secara pesat sehingga dapat
memudahkan setiap orang untuk mendapatkan informasi
tanpa mengenal tempat dan waktu. Internet dan media
seperti televisi, radiodan majalah merupakan media yang
dapat berdampak baik bagi pemahaman kesehatan namun
juga terdapat bahaya yakni informasi yang diberikan tidak
tepat atau berkualitas rendah karena informasi di internet
tidak disaring.

H. Hubungan Perilaku Sehat dan Health Literacy Menggunakan


Teori ABC
Menurut (Affandhy and Nilamsari, 2017) hubungan
antara perilaku sehat dengan health literacy sangat erat
hubungannya karena seseorang berperilaku sehat itu harus
didukung dengan pengetahuan, motivasi, dan kompetinsi untuk
mengakses, memahami, menilai dan menerapkan informasi
kesehatan untuk membuat keputusan dan mengambil keputusan
dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan
kesehatan seseorang atau individu. Dari beberapa aspek diatas
maka Hubungan perilaku sehat dengan health literacy dengan
menggunakan Teori ABC. Misalnnya dengan mengangkat sebuah
kasus penderita TBC, dan cara penangannya menggunakan teori
ABC.
Contoh :
Seorang penderita TB menceritakan keluhannya kepada
keluarganya dan mendaptkan nasehat dari keluarganya untuk
memeriksakan diri kepuskesmas untuk mengetahui penyakinya
dan pengobatan penyakitnya. Disini si penderita ini bisa saja tidak
memerikasakan diri kepuskesmas karena si penderita ini tidak tau
soal penyakitnya ini karena kurangnya pengetahuan dan informasi
kesehatan (pengetahuan dan kurangnya infosmasi ini health
literacy) dan inilah yang disebut dengan (Antecedent).
Penderita TB ini akhirnya mengunjungi puskesmas untuk
memeriksakan penyakitnya (Behavior). Karena adanya informasi
dari kelurga maka sipenderita kepuskesmas dan dia mendapatkan
motivasi dari keluarganya untuk kepuskesmas.
Proses selanjutnya sipenderita penyakit TB ini akan
mengambil keputusan melanjutkan pengobatan kepuskesmas
pada bulan berikutnya (positif) atau tidak melanjutkan
pemeriksaan bulan selanjutnya (negative) dari respon penderita
kelangkah selanjutnya ini disebut Consequences.
I. Aplikasi Perilaku Sehat dan Health Literacy dalam Kehidupan
Sehari-hari
1. Perilaku Sehat
Menurut (Suharjana, 2012) aplikasi perilaku sehat dalam
kehidupan sehari-hari yaitu:
a. Mengatur Makanan dan Pola Makan
Diet berarti mengatur makan. Hal ini mengandung
makna bahwa makan harus seimbang dengan kebutuhan
tenaga. Contohnya Kalau seseorang bekerja dengan
kebutuhan tenaga yang banyak, seperti tukang batu,
pengayuh becak, atau seorang atlet berarti kebutuhan
makan juga banyak. Sebaliknya,seseorang yang bekerja di
atas meja seperti sekretaris atau kepala kantor yang
memerlukan tenaga tidak banyak, maka makanan yang
dibutuhkan juga tidak banyak. ( Almatsier, 2005:13 )
b. Menjaga Kesehatan Pribadi
Tugas lain dalam usaha mendapatkan kesehatan
yang baik adalah dengan cara menjaga kesehatan
pribadi. Kesehatan pribadi dapat diartikan sebagai
aktivitas rutin yang biasa dilakukan oleh setiap orang,
contohnya seperti mandi, menggosok gigi, berpakaian,
kebersihan rambut (Irianto (2004: 83)
c. Mengatur Istirahat
Mengatur istirahat berarti mengatur antara bekerja
dan beristirahat. Tenaga manusia ada batasnya, kapan
harus bekerja dan kapan harus istirahat. Jika antara
bekerja dan istirahat tidak seimbang, dapat
menyebabkan badan menjadi tidak nyaman dan bisa
menimbulkan sakit. Istirahat bagi tubuh diperlukan untuk
memberikan kesempatan pada alat-alat tubuh atau
organ-organ tubuh mengurangi pekerjaaanya secara faali
sehingga tubuh dapat melakukan kerja sehari-hari
dengan baik. Contohnya Istirahat yang baik adalah tidur
selama 7-8 jam setiap hari. Tidur sebaiknya dilakukan
pada malam hari setelah seharian fisik bekerja.
d. Berolahraga Teratur
Olahraga yang teratur adalah olahraga yang
dilakukan setiap dua hari sekali. Olahraga yang cocok dan
mudah dilakukan oleh setiap orang adalah olahraga
aerobik, seperti jalan kaki, jogging, senam aerobik,
berenang, bersepeda atau permainan ringan, seperti
tenes meja atau golf. Olahraga permainan lebih disukai
banyak orang karena menyenangkan. Olahraga
permainan lebih cocok untuk pengembangan motorik
anak (Poppen, 2002:41)

2. Health Literacy ( literasi kesehatan)


a. Aplikasi penerapan health literacy menurut (Soemitro,
2014) yaitu :
Sebagai contoh ada seorang pasien dari penelitian ini
yang mengatakan “saya telah berhenti mengkonsumsi
kopi karena setelah beberapa kali mengkonsumsi kopi
saya merasa sakit kepala yang berlebihan dan ketika saya
periksakan keadaan saya ke puskesmas saya
mendapatkan hasil bahwa tekanan darah saya
meningkat. Setelah itu saya mencoba untuk berhenti
minum kopi dan hasilnya saya tidak pernah merasakan
sakit kepala yang berlebihan lagi. Saya menyimpulkan
sendiri bahwa kopi dapat meningkatkan tekanan darah”
dan ada juga yang mengatakan “saya mendapatkan
infomasi tetapi menurut saya informasi tersebut kurang
benar, seperti harus minum obatnya rutin karena untuk
apa kita minum obat kalau tekanan darah kita sudah
normal (sembuh) atau sudah tidak merasakan pusing
lagi”.
b. Aplikasi penerapan health literacy menurut(Prasanti and
Fuady, 2017) yaitu:
Berdasarkan data yang dilansir dari www.unicef.org,
penyakit diare masih merupakan penyebab utama
kematian anak berusia di bawah lima tahun di Indonesia.
Laporan Riskesdas 2007 menunjukkan diare sebagai
penyebab 31 persen kematian anak usia antara 1 bulan
hingga satu tahun, dan 25 persen kematian anak usia
antara satu sampai empat tahun. Angka diare pada anak-
anak dari rumah tangga yang menggunakan sumur
terbuka untuk air minum tercatat 34 persen lebih tinggi
dibandingkan dengan anak-anak dari rumah tangga yang
menggunakan air ledeng, Selain itu, angka diare lebih
tinggi sebesar 66 persen pada anak-anak dari keluarga
yang melakukan buang air besar di sungai atau selokan
dibandingkan mereka pada rumah tangga dengan
fasilitas toilet pribadi. Sanitasi dan kebersihan lingkungan
di Indonesia masih memprihatinkan, khususnya di
kawasan desa Cimanggu yang dekat lokasinya dengan
kaki gunung Burangrang. Sebagai daerah yang rawan
bencana alam, masyarakat di kawasan desa Cimanggu
harus memiliki literasi informasi kesehatan yang baik
dalam meningkatkan kualitas sanitasi dan kebersihan
lingkungannya. Berdasarkan data yang dilansir dari
Riskesdas, belum optimalnya sanitasi di Indonesia ini
ditandai dengan masih tingginya angka kejadian penyakit
infeksi dan penyakit menular di masyarakat. Pada saat
negara lain pola penyakit sudah bergeser menjadi
penyakit degeneratif, Indonesia masih direpotkan oleh
kasus demam berdarah, Diare, Kusta, serta Hepatitis A
(Depkes RI: 2013). Menurut World Health Organization
(WHO), kondisi dan perilaku sanitasi yang baik dan
perbaikan kualitas air minum dapat menurunkan kasus
diare yang akan mengurangi jumlah hari tidak masuk
sekolah dan tidak masuk kerja hingga 8 hari pertahun
atau meningkat 17% yang tentunya berdampak pada
kesempatan meningkatkan pendapatan (WHO: 2013).

Daftar Pustaka
Affandhy, L. R. and Nilamsari, N. (2017) ‘Analisis Perilaku Aman pada
Tenaga Kerja dengan Model ABC (Activator-Behavior-Consequence)’,
Journal of Industrial Hygiene and Occupational Health, 2(1), pp. 14–30.
Bahar,Hartati (2018). Modul Dasar Promosi Kesehatan. Kendari.
Hazana, B. (2017) Tingkat Literasi Kesehatan Pada Responden Rural dan
Urban di Apotek Panti Afiat dan RS PKU. Available at:
http://etd.repository.ugm.ac.id/ .
Irwan (2017) Etika dan Perilaku Kesehatan. Yogyakarta: CV. ABSOLUTE
MEDIA Krapyak Kulon RT 03 No. 100, Panggungharjo Sewon Bantul
Yogyakarta.
Prasanti, D. and Fuady, I. (2017) ‘Penyuluhan Program Literasi Informasi
Kesehatan dalam Meningkatkan Kualitas Sanitasi Bagi Masyarakat di Kaki
Gunung Burangrang Kab.Bandung Barat’, Jurnal Penganbdian dan
Pemberdayaan Masyarakat, 1(2), pp. 129–138.
Soemitro, D. H. (2014) ‘Analisis Tingkat Health Literacy dan Pengetahuan
Pasien Hipertensi di Puskesmas Kabupaten Malang’, Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Universitas Surabaya, 3(1), pp. 1–13.
Suharjana (2012) ‘Kebiasaan Berprilaku Hidup Sehat dan Nilai-nilai
Pendidikan Karakter’, Pendidikan Jurnal Karakter, 2(2), pp. 189–201.

Anda mungkin juga menyukai