Anda di halaman 1dari 6

INTERPELASI BLBI KASUS BCA (Artikel 3)

oleh : Kwik Kian Gie

Dalam penyelidikan atau penyidikan masalah BLBI oleh Kejaksaan Agung


yang menjadi prioritas adalah kasus BCA dan BDNI. Terutama kasus BCA,
publikasi oleh media massa cukup intensif. Maka dalam serial artikel tentang
BLBI, kasus BCA saya tulis secara khusus dalam satu artikel.

Rush dan BLBI


Dengan terjadinya krisis moneter dan ekonomi tahun 1997 BCA terkena
rush. Untuk meredam rush BCA menerima BLBI yang jumlah seluruhnya
Rp.32 trilyun (T).

Jumlah tersebut diberikan secara bertahap dengan jumlah Rp.8 T, Rp.13,28


T dan Rp.10,71 T, atau total Rp.31,99 T (dibulatkan menjadi Rp.32 T).

Dari jumlah ini yang telah dibayarkan oleh BCA adalah cicilan utang pokok
sebesar Rp.8 T dan pembayaran bunga sebesar Rp.8,3 T yang tingkat
bunganya ketika itu sebesar 70% per tahun.

Pemerintah menganggap hanya pembayaran cicilan utang pokoknya saja


sebesar Rp.8 T yang mengurangi utangnya. Pembayaran bunga, walaupun
sebesar Rp.8,3 T dengan tingkat bunga yang 70% setahun ketika itu tidak
dianggap oleh pemerintah sebagai mengurangi utang BLBI-nya keluarga
Salim. Karena itu, jumlah sisa utang BLBI oleh pemerintah dianggap sebesar
Rp.23,99 T. Jumlah ini dianggap ekivalen dengan 92,8% dari nilai saham-
saham BCA. Maka kepemilikan BCA sebesar ini disita oleh pemerintah
sebagai pelunasan utang BLBI oleh keluarga Salim. Dengan disitanya 92,8%
saham-saham BCA dari tangan keluarga Salim menjadi milik pemerintah,
utang BLBI keluarga Salim lunas. Jadi ketika itu juga keluarga Salim sudah
tidak mempunyai utang BLBI. Utang keluarga Salim sebesar Rp.52,7 T
adalah utang urusan lain lagi, bukan utang BLBI. Penggunaan istilah “BLBI”
sebagai istilah generik untuk segala permasalahan sangat keliru.

Utang mantan Pemegang Saham BCA sebesar Rp.52,7 trilyun


Sekarang penjelasan tentang utangnya keluarga Salim sebesar Rp.52,7 T.
Ceritanya sebagai berikut….

1
Ketika masih dimiliki sepenuhnya oleh keluarga Salim, sebagai pemilik BCA
keluarga Salim mengambil kredit dari BCA senilai Rp.52,7 T.

Maka ketika 93% BCA dimiliki oleh Pemerintah, utangnya keluarga Salim
tersebut beralih menjadi utang kepada pemerintah. Jadi Pemerintah
menagihnya kepada keluarga Salim.

Keluarga Salim tidak memiliki uang tunai. Maka dibayarlah dalam skema
Pelunasan Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) yang wujudnya Master
Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dengan uang tunai sebesar
Rp.100 milyar dan 108 perusahaan.

Yang menentukan bahwa penyelesaian atau settlement seperti ini bagus dan
absah adalah pemerintah sendiri. Yang menentukan bahwa nilai 108
perusahaan adalah sebesar Rp. 51,9 T adalah pemerintah sendiri. Dalam
penentuan ini, pemerintah menggunakan jasa Danareksa, Bahana dan
Lehmann Brothers. Kita membaca di media massa sangat terkemuka
berbagai uraian dari para akhli Danareksa dan Bahana yang dianggap
sangat-sangat pandai dan mesti betulnya. Lehmann Brothers bahkan
menyatakan secara tertulis bahwa nilainya 108 perusahaan tersebut
terlampau kecil, dengan selisih angka sebesar Rp.204 milyar.

Jadi menurut Lehman Brothers, pembayaran utang oleh Salim sebesar Rp.
100 milyar tunai ditambah dengan 108 perusahaan nilainya Rp.53,204 T,
atau kelebihan Rp.204 milyar dibandingkan dengan utangnya. Namun
pendapat Lehmann Brothers tentang yang kelebihan Rp.204 milyar ini tidak
dianggap atau tidak digubris oleh pemerintah.

Selisih Penilaian
Penilaian dari 108 perusahaan yang semula Rp.52,8 T oleh Bahana,
Danareksa dan Lehman Brothers kemudian dinilai oleh Price Waterhouse
Coopers (PWC) dengan titik tolak penjualan “paksa” tidak lebih lambat dari
tanggal tertentu. PWC tiba pada angka Rp.20 T saja. Titik tolak dan asumsi
ini tertuang dalam Letter of Intent dengan IMF.

Dalam prakteknya keseluruhan 108 perusahaan ternyata memang hanya


laku dijual dengan nilai sekitar Rp.20 T saja.

2
Mengapa bisa terjadi selisih penilaian oleh Bahana, Danareksa, Lehmann
Brothers di satu pihak dan oleh PWC di lain pihak dijelaskan dalam sub judul
tersendiri.

Release and Discharge (R&D) atau Surat Keterangan Lunas (SKL)


Karena sudah dianggap lunas, maka kepada SG diberikan Surat Keterangan
Lunas (SKL) atau Release and Discharge (R&D). Presiden Megawati
Sukarnoputri berani memberikannya karena sudah dilandasi oleh UU No. 25/
2000 tentang Propenas, TAP MPR No. VIII/MPR/2000. Ketika digugat oleh
Lembaga Bantuan Hukum, Mahkamah Agung mengalahkan penggugat. Maka
lengkap dan kuatlah payung hukumnya Presiden Megawati.

Masalah Besar Karena Telat Mikir (TELMI)


Apa masalah besar yang sekarang ini sedang ditangani oleh Kejaksaan
Agung? Beberapa tokoh masyarakat dan pimpinan tertinggi negara telat
mikir. Setelah dahulunya ikut menggebu-gebu menyetujui dan membela
penyelesaian seperti yang digambarkan di atas, sekarang marah, karena
dampak ketidak adilannya luar biasa besarnya. Wong aset yang dinilai
Rp.52,6 T ketika dijual kok hanya laku sekitar Rp.20 T, sehingga keuangan
negara dirugikan sebesar sekitar Rp.32,7 T.

Yang lucu, sebelum dijual PWC lagi-lagi ditugasi oleh Pemerintah untuk
menilainya kembali dengan TOR yang berbeda. Jatuhnya sekitar Rp.20 T.
Toh ini yang dijadikan acuan menjual, dan akhirnya memang hanya laku
sekitar Rp.20 T.

Jadi pemerintah menerima nilai aset sebesar Rp.52,8 T sebagai pelunasan


utang keluarga Salim, tetapi pemerintah juga yang bangga bisa menjualnya
dengan nilai Rp.20 T. Bangganya karena bisa memperoleh recovery rate
sekitar 34%, sedangkan dari obligor lainnya rata-rata hanya memperoleh
15% yang dianggap sangat normal oleh para teknokrat penguasa
ekonominya Presiden Megawati.

Di Mana Letak Permasalahannya ?


Bahana, Dana Reksa dan Lehmann Brothers ditugasi menilai dengan asumsi
“Pandangan yang positif tentang hari depan ekonomi Indonesia dan

3
lingkungan politik yang normal (normalised economic and political
scenarios). Jadi mereka disuruh menilai 108 perusahaan itu sebagai going
concern dalam lingkungan ekonomi makro yang bagus.

PWC ditugasi dengan asumsi dan TOR yang intinya berbunyi : “harus dijual
dalam waktu antara 8 - 10 minggu”, dengan “transaksi penjualan dilakukan
antara pembeli yang mau membeli tetapi ogah-ogahan, dan penjual yang
mau menjual tapi ogah-ogahan” (willing but not anxious). Jadi PWC ditugasi
menilai 108 perusahaan itu dengan titik tolak dan asumsi liquidation value
dalam lingkungan ekonomi makro yang para investornya ogah-ogahan
melakukan investasi atau membeli 108 asset keluarga Salim.

Jadi ketika menerima 108 perusahaan sebagai pelunasan utang, pemerintah


yang menilainya sebagai going concern. Tetapi ketika menjual, pemerintah
sendiri juga yang menilainya dengan titik tolak dan asumsi liquidation value.

Menilai perusahaan memang sulit, merupakan sub disiplin ilmu tersendiri


yang tidak dipahami oleh para teknokrat dan profesor yang berteori bahwa
kodok melompat-lompat dalam air, padahal kodok selalu berenang begitu
menyentuh air.

Nilai perusahaan bisa didasarkan atas replacement value, discounted cash


flow value, net present value, historical value, liquidation value dan entah
apa lagi. Hasil dari berbagai metoda penilaian ini juga berbeda-beda.

Begitu nilai PWC keluar, kecuali satu orang, seluruh anggota Kabinet Gotong
Royong, KKSK (Komite Kebijakan Sektor Keuangan) dan BPPN setuju dijual
dengan nilainya PWC. Menko Dorodjatun K yang ketika itu didukung penuh
oleh Menkeu Boediono dan Meneg BUMN Laksamana Sukardi berujar dengan
keras dan tegas bahwa negara manapun di dunia yang terkena krisis
memang harus menanggung kerugian besar. Biasanya harus rugi sekitar
85% dari nilai asset yang dipakai untuk membayar, atau uang yang kembali
rata-rata 15% (yang disebut recovery rate). Maka ada yang menganggap
Salim Group (SG) “pahlawan” karena recovery ratenya sekitar 34%.

Berani Melawan IMF ?


Bukankah IMF yang memerintahkan bahwa aset SG harus dijual tidak lebih
lambat dari tanggal tertentu tanpa peduli berapa lakunya ? Dan batas waktu

4
ini diumumkan kepada dunia. Apa berani, wong kalau berani tidak patuh
pada IMF Indonesia diancam diisolasi oleh masyarakat dunia ?

Ya tidak berani, tapi kan bisa cerdik. Maka ada seorang menteri anggota
KKSK yang mati-matian mengatakan bahwa dijual tidak melampaui batas
waktu tertentu boleh, tetapi dengan tender terbuka, dan pemerintah
menentukan harga minimum yang dirahasiakan. Harga ini dibuka bersama-
sama dengan semua penawar BCA. Kalau harga penawaran tertinggi lebih
rendah dari harga minimum, oleh pemerintah penjualan dibatalkan,
ditunggu 6 bulan. Setelah itu penjualan diulangi lagi dengan prosedur yang
sama. IMF-nya setuju. Tapi semua anggota Kabinet Gotong Royong (kecuali
satu orang) termasuk Presiden dan Wakil Presidennya ketika itu setuju
dengan penjualan model IMF yang obral tanpa harga minimum. Ketika itu
SBY, JK dan Boediono para Menteri dalam Kabinet Gotong Royong yang
juga ikut mendukung semua kebijakan tersebut yang sekarang diramaikan
oleh DPR. DPR sebelum ini juga mendukung sampai menghasilkan UU No.
25 Tahun 2000 tentang Propenas dan MPR-nya juga ikut-ikutan mendukung
semangatnya dengan TAP MPR No. VIII/MPR/2000.

Sudah begitu, Hubert Neiss, orang sangat penting dalam hubungan IMF
dan Pemerintah Indonesia pensiun dari IMF dan menjadi penasihat Deutsche
Bank di Singapura. Dia pun disewa oleh Farralon sebagai pelobi untuk
memenangkan pembelian 51% BCA dengan harga Rp.5T, sedangkan BCA
punya tagihan kepada Pemerintah berupa Obligasi Rekap sebesar Rp.60 T.

Penjual Mangga Di Pinggir Jalan


Penjualan BCA bisa diibaratkan penjual mangga di pinggir jalan. Ada orang
yang bernama Ali memasang papan yang berbunyi: “Mangga ini harus
terjual habis tidak lewat dari jam 17.00 tanpa peduli dengan harga berapa
lakunya.” Penjual mangga marah, papannya dihancurkan dan Ali dipukuli.

Ketika menjual BCA, IMF memasang papan nama yang berbunyi “BCA harus
dijual tidak lebih lambat dari tanggal tertentu tanpa peduli dengan harga
berapa saja.” Apa yang terjadi? Hubert Neiss menjadi pelobi (yang dianggap
tidak ada conflict of interest) dan para Menteri Kabinet Gotong Royong
memasang lampu sorot ke arah papan, dan papan pengumumannya dihiasi
dengan huruf-huruf yang mencolok dan kontras,”

5
Karuan saja lakunya hanya Rp.5 T untuk 51% atau + Rp.10 T untuk 100%,
tapi di dalamnya ada tagihan kepada Pemerintah sebesar Rp.60 T, dan BCA
ketika dijual sudah punya laba ditahan sebesar Rp.4 T.

KERUGIAN MAHA BESAR AKIBAT KEBODOHAN DAN MENTAL BUDAK MAHA


BESAR YANG LUPUT DARI PERHATIAN

Tadi telah diuraikan bahwa BCA menjadi milik pemerintah sebagai


pembayaran utang BLBI oleh keluarga Salim. Artinya, pemerintah telah
mengeluarkan uang sebesar Rp.23,99 T untuk membeli 92,8% saham-
saham BCA. Setelah itu, BCA yang sudah menjadi milik pemerintah harus
“disehatkan” dengan menginjeksi Obligasi Rekapitalisasi Perbankan atau OR
sebesar Rp.60 T. Dalam BCA sudah ada laba bersih sebesar sekitar Rp.4 T.
Jadi uang pemerintah yang ada di dalam BCA sebesar jumlah dari tiga angka
ini atau Rp.87,99 T (dibulatkan Rp.88 T).

Namun BCA dijual kepada Farallon senilai Rp.10 T. Jadi ada kerugian yang
dibuat oleh pemerintah sendiri sebesar Rp.78 trilyun. Angka ini jauh lebih
besar dari kerugian sebesar Rp.33 T sebagai selisih nilai 108 perusahaan
yang diserahkan oleh keluarga Salim sebagai pembayaran utangnya dengan
nilai realisasinya.

Yang sangat aneh, tidak ada yang berbicara tentang kerugian yang sangat
konyol ini. Karena membudak pada IMF atau karena dungu?

---oOo---

Anda mungkin juga menyukai