Anda di halaman 1dari 37

i

MAKALAH ASKEP GADAR NEUROSENSORI


EPILEPSI

Disusun Oleh: Kelompok 8


1. Anissa Fitri
2. Ayu Kartika Meylani
3. Desi Nuraini
4. Nazua

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES KALIMANTAN TIMUR
PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2018/2019
ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT berkat rahmat
serta hidayah-Nya penyusun dapat menyelesaikan salah satu tugas mata kuliah
Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Neurosensori yang membahas mengenai
Epilepsi. Penyusun mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Asuhan
Keperawatan Gadar Neurosensori atas bimbingan selama perkuliahan, dan
seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.
Makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang bersifat membangun sangat penyusun harapkan untuk perbaikan baik dari
segi materi maupun teknik penulisan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
dalam bidang keperawatan khususnya bagi proses pembelajaran Riset
Keperawatan.

Samarinda, 11 Februari 2019

Penyusun
iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
A. Latar Belakang.........................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................2
C. Tujuan.......................................................................................................2
1. Tujuan Umum.......................................................................................2
2. Tujuan Khusus......................................................................................2
D. Manfaat.....................................................................................................3
1. Bagi Mahasiswa....................................................................................3
2. Bagi Institusi Pendidikan......................................................................3
3. Bagi Institusi Rumah Sakit...................................................................3
4. Bagi Penulis..........................................................................................3
BAB II TELAAH PUSTAKA..............................................................................4
A. Pengertian Epilepsi...................................................................................4
B. Etiologi.....................................................................................................4
C. Manifestasi Klinis.....................................................................................5
D. Klasifikasi.................................................................................................9
E. Web of Caution (WOC).........................................................................10
F. Pemeriksaan Penunjang.............................................................................15
G. Penatalaksanaan......................................................................................16
H. Penanganan.............................................................................................16
1. Pengkajian Primer...............................................................................16
2. Pengkajian Sekunder..........................................................................17
I. Diagnosa dan Rencana Intervensi Keperawatan Kegawatdaruratan Mandiri
dan Kolaborasi..................................................................................................22
BAB III PENUTUP.............................................................................................32
iv

A. Kesimpulan.............................................................................................32
B. Saran.......................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................33
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Epilepsi merupakan salah satu masalah kesehatan yang menonjol di


masyarakat, karena permasalahan tidak hanya dari segi medik tetapi juga
sosial dan ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya. Dalam
kehidupan sehari-hari, epilepsi merupakan stigma bagi masyarakat. Mereka
cenderung untuk menjauhi penderita epilepsi. Bagi orang awam, epilepsi
dianggap sebagai penyakit menular ( melalui buih yang keluar dari mulut ),
penyakit keturunan, menakutkan dan memalukan.
Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun wanita, tanpa
memandang umur dan ras. Jumlah penderita epilepsi meliputi 1 - 2 %
populasi, secara umum diperoleh gambaran bahwa insidens epilepsi
menunjukkan pola bimodal, puncak insiden terdapat pada golongan anak
dan lanjut usia.
Insiden epilepsi tertinggi pada golongan usia dini, menurun pada usia
dewasa muda, dan meningkat pada usia lanjut (Hauser dan Nelson, 2013).
Sebanyak 25% dari seluruh kasus epilepsi terjadi pada anak umur kurang
lima tahun (Yilmas dkk., 2013). Sebuah penelitian melaporkan bahwa
insiden epilepsi pada umur 0-14 tahun sebesar 82,2 kasus/100.000
populasi/tahun (Khatria dkk., 2003). World Health Organization
memperkirakan prevalens epilepsi pada anak di dunia 4-6 per 1000 anak
umur 8-11 tahun. Insiden pada tahun pertama kehidupan sekitar 120 pada
100.000 (Shakirullah, 2014). Prevalens epilepsi di negara maju 4-9/1000
populasi, dengan insiden 25-50/100.000 populasi/tahun, sedangkan di
negara berkembang prevalensi 14-57/1000 populasi, insiden 30-
115/100.000 populasi/tahun (Kwan dkk., 2010). Di Indonesia terdapat
paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan peningkatan
sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40%-50% terjadi
pada anak-anak (Harsono, 2006). Insiden epilepsi pada anak di Departemen
2

Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Sanglah Denpasar, Bali selama kurun
waktu 2007-2010 didapatkan 5,3%, terutama terjadi pada anak laki-laki
(56,9%) dengan jumlah kasus 276 pasien (Suwarba, 2011). Penelitian
epidemiologi mendapatkan epilepsi fokal idiopatik 10%, fokal simtomatik
12% dan fokal kriptogenik 37% dari 613 kasus epilepsi umur kurang 16
tahun (Berg dkk., 2012).
Telaah sistematis pada 19 negara berkembang, termasuk Thailand,
India dan Cina, jumlah penyandang epilepsi yang sebenarnya diduga jauh
lebih besar dibandingkan jumlah yang terdiagnosis dan mendapat
tatalaksana. Penderita epilepsi memiliki angka kematian dua sampai tiga
kali lebih besar dibandingkan populasi umum. Penyebab kematian dini
pada epilepsi antara lain status epileptikus (37,7%), tenggelam, luka bakar,
atau trauma kepala akibat kejang yang terjadi pada keadaan berbahaya
(11,4%) dan kematian mendadak yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya
(sudden unexplained death in epilepsy; 6,6%). Penyakit yang mendasari
epilepsi, misalnya tumor susunan saraf pusat (SSP) atau kelainan
neurometabolik juga dapat merupakan faktor penyebab kematian dini pada
anak dengan epilepsi (Hauser dan Nelson, 2013).

B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang dapat diambil rumusan masalah yaitu
“Bagaimanakah konsep penyakit dan asuhan keperawatan gawat darurat pada
kasus Epilepsi?”

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan gawat darurat pada
kasus Epilepsi.

2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui bagaimanakah konsep penyakit Epilepsi.
3

D. Manfaat
1. Bagi Mahasiswa
Sebagai bahan perbandingan antara tinjauan teori dengan studi kasus
yang ditemui dilapangan.

2. Bagi Institusi Pendidikan


Diharapkan laporan ini dapat digunakan sebagai bahan masukan
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan penerapan asuhan
keperawatan yang telah dipelajari di lembaga pendidikan khususnya
kegawatdaruratan neurosensori.

3. Bagi Institusi Rumah Sakit


Sebagai bahan dan informasi bagi para perawat dalam melaksanakan
asuhan keperawatan pada klien dengan kegawatdaruratan neurosensori.

4. Bagi Penulis
Sebagai bahan masukan dan informasi dalam melakukan asuhan
keperawatan pada klien dengan kegawatdaruratan neurosensori.
4

BAB II
TELAAH PUSTAKA

A. Pengertian Epilepsi
Epilepsi adalah kejang berulang tanpa pencetus (provokasi) ≥ 2 dengan
interval > 24 jam antara kejang pertama dan berikutnya. Manifestasi klinis
epilepsi dapat berupa gangguan kesadaran, motorik, sensoris, autonom atau
psikis (Shorvon, 2007; Swaiman dan Ashwal, 2012). Kejang atau bangkitan
epileptik adalah manifestasi klinis disebabkan oleh lepasnya muatan listrik
secara sinkron dan berlebihan dari sekelompok neuron di otak yang bersifat
transien. Aktivitas berlebihan tersebut dapat menyebabkan disorganisasi
paroksismal pada satu atau beberapa fungsi otak yang dapat bermanifestasi
eksitasi positif, negatif atau gabungan keduanya. Manifestasi bangkitan
ditentukan oleh lokasi dimana bangkitan dimulai, kecepatan dan luasnya
penyebaran. Bangkitan epileptik umumnya muncul secara tiba-tiba dan
menyebar dengan cepat dalam waktu beberapa detik atau menit dan sebagian
besar berlangsung singkat (Panayiotopoulos, 2005).

B. Etiologi
Pada epilepsi tidak ada penyebab tunggal. Banyak faktor yang dapat
mencederai sel – sel saraf otak atau lintasan lomunikasi antar sel otak. Apabila
faktor-faktor tersebut tidak diketahui, maka epilepsi yang ada disebut sebagai
epilepsi idiopatik. Sekitar 65% dri seluruh kasus epilepsi tidak diketahui
penyebabnya (Harsono, 2008). Pada epilepsi idiopatik yang disebut juga
epilepsi primer ini tidak dapat ditemukan kelainan pada jaringan otak, diduga
terdapat gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam sel – sel saraf pada
jaringan otak yang abnormal (Harsono, 2008)

Sementara epilepsi yang faktor – faktor penyebabnya diketahu disebut


dengan epilepsi simtomatik (Harsono, 2008). Pada epilepsi simtomatik yang
disebut juga dengan epilepsi sekunder ini, gejala yang timbul ialah sekunder
5

atau akibat dari adanya kelainan pada jaringan otak. Penyebab yang spesifik
dari epilepsi diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan, ibu, seperti


ibu menelan obat – obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami
infeksi, minum alkohol, atau mengalami cedera dan mendapat terapi
radiasi.

2. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti hipoksia, kerusakan


karena tindakan (forsep), dan trauma lain pada otak bayi.

3. Cedera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak.

4. Tumor otak

5. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak

6. Radang atau infeksi, seperti meningitis atau radang otak

7. Penyakit keturunan, seperti feniketorunia, sklerosis tuberose, dan


neurofibromatonis

8. Kecenderungan timbulnya epilepsi yang diturunkan

Selain itu, terdapat juga epilepsi yang dianggap simtomatik, tetapi


penyebabnya belum diketahui, yang disebut epilepsi kriptogenik. Yang
termasuk epilepsi kriptogenik adalah sindrom West, sindrom Lenox-Gastaut
dan epilepsi mioklonik (Perdossi, 2006)

C. Manifestasi Klinis
1. Serangan Epilepsi Parsial

Serangan parsial disebabkan oleh lesi atau kelainan lokal pada otak
dengan demikian evaluasi diagnostik ditujukan untuk menemukan atau
membuktikan adanya lesi lokal tersebut. Serangan parsial dibagi menjadi
dua yaitu serangan dengan kesadaran yang tetap baik (parsial sederhana)
6

dan serangan dengan gangguan kesadaran (parsial kompleks). Akan tetapi


terdapat pula jenis parsial yang berkembang menjadi serangan parsial
continue. Manifestasi klinis serangan parsial bervariasi sesuai dengan
fungsi korteks yang berbeda-beda. Namun demikian, secara individual
serangan parsial cenderung untuk bersifat stereopatik dan secara neuro-
anatomik (Harsono, 2007).

a. Serangan Parsial Sederhana

Parsial sederhana dengan manifestasi klinis. Serangan parsial jenis


ini biasanya berhubungan dengan area otak tertentu yang terlibat dengan
demikian manifestasi klinisnya sangat bervasi termasuk manifestasi
motorik, sensorik, otonom, dan psikis Adapun gejala-gejala yang sering
dijumpai adalah:

1) Tidak terjadi gangguan atau penurunan kesadaran


2) Bersifat stereopatik (sama)
3) Kejang tonik (badan dan anggota gerak kaku)
4) Kejang klonik (badan dan anggota gerak berkejut-kejut kelojotan)
5) Berkeringat dingin
6) Denyut jantung (nafas) cepat
7) Terjadi pada usia 11-13 tahun
8) Berlangsung Sekitar 31-60 detik

b. Serangan Parsial Kompleks

Parsial komplek sering juga disebut dengan lobus frontalis atau


psikomotor. Pada serangan parsial kompleks terjadi gangguan atau
penurunan kesadaran. Dalam hal ini penderita mengalami gangguan
dalam berintekrasi dengan lingkungannya. Serangan parsial kompleks
melibatkan bagian-bagian otak yang bertanggung jawab atas
berlangsungnya kesadaran dan memori, dan pada umumnya melibatkan
kedua belah lobus temporalis atau frontalis dan sistem limbik Selama
7

serangan parsial kompleks sering gangguan dalam berinteraksi dengan


lingkungannya. Serangan parsial kompleks melibatkan bagian-bagian
otak yang bertanggung jawab atas berlangsungnya kesadaran dan
memori, dan pada umumnya melibatkan kedua belah lobus temporalis
atau frontalis dan sistem limbik Selama serangan parsial kompleks
sering tampak adanya otomatisasi sederhana dan kompleks (aktifitas
motorik yang berulang-ulang: tanpa tujuan, tanpa arah, dan aneh).
Sementara itu terdapat juga serangan parsial kompleks yang tidak
disertai otomatisme (Harsono, 2007).

2. Serangan Epilepsi Umum

Serangan ini menunjukkan terlibatnya kedua belah hemisfer secara


sinkron sejak awal. Mula serangan berupa hilangnya kesadaran, kemudian
diikuti gejala lainnya yang bervariasi. Jenis-jenis serangan epilepsi umum
dibedakan oleh ada atau tidaknya aktifitas motorik yang khas (Harsono,
2007).
a. Grandmal
Serangan grandma disebut juga serangan tonik-klonik atau
bangkitan mayor (serangan besar) atau generalized tonic-clonic seizures
(GTCS). Bangkitan grandmal merupakanjenis epilepsy yang paling
sering dijumpai. Serangan meliputi seluru tubuh, dimulai dengan
rigiditas otot-otot tubuh (tonik)kemudian dikuti oleh kontraksi otot-otot
secara ritmik (klonik), dan kehilangan kesadaran ( Harsono,2007)
b. Petit mal
Serangan petit mal disebut juga dengan lena dan absence. Pada
jenis ini terdapat tiga jenis sindrom epilepsy yang berbeda yaitu
childhood absence epilepsy, juvenile absence epilepsy, dan absence with
eye myoclonia. Serangan petit mal dicirikan oleh 3 hz spike and wave
pada rekaman EEG (Harsono,2007).
8

c. Serangan Tonik-Klonik
1.)Serangan tonik
Serangan tonik dicirikan oleh pengkakuan atau sentakan
bilateral dan sinkron secara mendadak pada tubuh, lengan atau
tungkai. Adapun gejala-gejalanya adalah:
a) Tidak terjadi gangguan atau penurunan kesadaran
b) Terjadi sentakan sinkron
c) Terjadi sentaka bilateral
d) Terjadi gangguan metabolic (deficit neurologis)
e) Lidah tergigit
f) Kulit sianotik (biru)
g) Mulut keluar busa
h) Leher tertekuk kedepan pasca serangan
i) Terjadi pada waktu tidur
j) Berlangsung sekitar 0-30 detik
k) Terjadi pada usia 6-12 bulan
l) Kejang tonik (badan dan anggota gerak kaku)

2.)Serangan klonik
Klonus epileptic biasaya menyebabkan sentakan sinkron dan
bilateral pada leher, bahu, lengan atas, tubuh dan tungkai atas. Gejala-
gejala yang sering dijumpai sebagai berikut:
a) Tidak terjadi gangguan atau penurunan kesadaran
b) Keduta (twitching)fokal pada wajah
c) Neuro anatomic (dating dan menghilang secara mendadak)
d) Tekanan vesika urinaria (ngompol)
e) Tubuh bergetar pasca serangan
f) Terjadi sentakan sinkron
g) Terjadi sentakan bilateral
h) Terjadi gangguan metabolic ( deficit neurologis)
i) Kejang klonik (badan dan anggota gerak berkejut-kejut, kelojotan)
9

j) Terjadi pada waktu tidur


k) Berlangsung sekitar 7-8 menit
l) Terjadi pada usia 4-6 tahun

D. Klasifikasi
Klasifikasi epilepsi dibuat berdasarkan pada tipe kejang, penyebab dan
sindrom epilepsi. International league againts epilepsy (ILAE) pada tahun
2010 menetapkan klasifikasi epilepsi berdasarkan tipe kejang. Tipe kejang
berdasarkan semiologi kejang dan gambaran elektroensefalografi (EEG), yaitu
epilepsi fokal (parsial) dan epilepsi umum. Epilepsi fokal adalah kejang
dimulai dari fokus tertentu yang terlokalisir di otak dan kejang muncul pada
satu sisi tubuh saja. Epilepsi fokal bisa menjadi umum jika terjadi perjalanan
listrik otak ke hemisfer kontralateral. Epilepsi umum adalah kejang pada
daerah lebih luas di kedua hemisfer otak dan manifestasi kejang pada kedua
sisi tubuh (Berg dkk., 2012).

Berdasarkan penyebabnya, epilepsi digolongkan menjadi idiopatik,


simtomatik dan kriptogenik. Epilepsi idiopatik yaitu epilepsi yang tidak jelas
ditemukan penyebabnya dan sering dihubungkan dengan faktor genetik.
Epilepsi simtomatik jika penyakit yang mendasari jelas ditemukan, sedangkan
epilepsi kriptogenik, diduga ada penyebab yang mendasari tetapi belum bisa
dibuktikan (Kwan dkk., 2011). Penyebab epilepsi pada bayi dan anak di
Finlandia adalah idiopatik (64%), masalah prenatal (15%), perinatal (9%), dan
post natal (12%) (Sillanpaa dan Schmidt, 2011).

Sindrom epilepsi menurut ILAE tahun 2010 dibagi menjadi 2 yaitu,


sindrom epilepsi umum yang sering pada bayi dan anak adalah sindrom
Ohtahara, sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut, epilepsi mioklonik
juvenile, sedangkan sindrom epilepsi fokal antara lain epilepsi Rolandic,
epilepsi lobus temporal, epilepsi oksipital benigna (Stafstorm dkk., 2011; Berg
dkk., 2012).
10

E. Web of Caution (WOC)


WOC EPILEPSI

Idiopatik Tumor serebri, Asfiksia neonatorum Demam


gejala sisa
Perubahan struktur dan Kekurangan suplai oksigen gg. metabolisme otak
meningitis,
fisiologi neuron korteks Perubahan
ensefalitis Metabolisme aerob
serebri keseimbangan
menurun
Adanya sikatrik pada
Lesi di otak membran sel neuron
permukaan otak ATP menurun

Fokus epileptogen Difusi ion natrium


Rusak suatu area Gg. fungsi neuron
kalium
Ketidakseimbangan dari jaringan otak
Membran mudah dilalui
mekanisme eksitasi dan Peningkatan
Instabilitas membran oleh Ca dan Na
inhibisi pada neuron post neurotransmitter
sel saraf
sinaps Refluks Ca mencetuskan eksitatorik
Muatan listrik lepas letupan depolarisasi dandefisiensi
Depolarisasi membran neuron
dari sel saraf membran dan lepas muatan neurotransmitter
listrik berlebih inhibitorik

Depolarisasi membran
neuron
11

Kejang berulang

B1 B1

Kejang motorik Kejang

Spasme otot pernapasan Hipersekresi mukus


 Buka jalan nafas,
guanakan teknik chin
Apnea Obstruksi jalan napas
lift atau jaw thrust
bila perlu
MK : Risiko Aspirasi MK : Ketidakefektifan bersihan
 Identifikasi pasien
perlunya pemasangan jalan nafas
MK : Ketidakefektifan  Monitor frekuensi,
OPA, NPA, LMA.
pola nafas rata-rata, irama, Aktivitas listrik menyebar ke
kedalaman, dan usaha  Keluarkan sekret
dengan batuk atau nervus V, IX, X
bernafas.
suction.
 Posisikan pasien
 Auskultasi suara Otot2 lidah melemah
untuk
memaksimalkan nafas sebelum dan
sesudah suction. Menutup saluran trakea
ventilasi.
 Pertahankan jalan  Monitor respirasi dan
Adanya obstruksi
nafas yang paten. status O2.
 Auskultasi suara  Posisikan pasien
nafas. untuk
memaksimalkan
 Atur peralatan
ventilasi.
oksigenasi.
 Buka jalan nafas,
gunakan teknik chin
lift atau jaw thrust 12
bila perlu
 Identifikasi pasien
perlunya pemasangan
alat jalan nafas
buatan (misalnya
OPA, NPA, LMA)
B1  Monitor tanda-tanda B2
 Keluarkan sekret
vitaldengan batuk atau
Kejang motorik  Pantau adanya tanda- Adanya bangkitan listrik
suction.
tanda syok
 Auskultasi suara di medulla oblongata
Spasme otot pernapasan  Pantau intake output
nafas sebelum dan
sesudah suction. Mengganggu pusat
Hipoventilasi
 Monitor respirasi dan kardiovaskuler
PO2 menurun, PCO2
Peningkatan denyut
meningkat, PH menurun  Buka jalan nafas
 Monitor pernafasan jantung (takikardi)
MK : Ggn. Pertukaran gas (frekuensi, irama,
kedalaman) Jantung tidak efektif
 Pantau adanya memompa darah ke
penggunakan otot seluruh tubuh
bantu pernafasan
 Auskultasi suara Hipoksia jaringan
nafas
 Posisikan untuk MK : Ketidakefektifan
memaksimalkan perfusi jaringan perifer
ventilasi
 Sediakan peralatan
oksigen
 Pantau aliran oksigen
 Lakukan pemeriksaan
penunjang AGD
B3  Kaji dan B3 B3 13
dokumentasikan
Aktivitas listrik menyebar ke orientasi pasien Aktivitas listrik menyebar ke lobus Aktivitas listrik menyebar ke
korteks serebri terhadap orang, occipital dan temporal lobus frontal dan parietal
tempat, waktu dan
situasi.
Kerusakan jaringan otak Interpretasi penglihatan Control postur tubuh & prilaku
 Kaji fungsi kognitif
pasien &pendengaran menurun hilang
Peningkatan TIK Herniasi
 Rangsang memori
dengan mengulang MK : Ggn. Persepsi sensori
Auto regulasi darah otak
pemikiran terakhir
terganggu pasien Aktivitas listrik menyebar ke
 Berikan informasi  Monitor fungsi korteks motoric
Hipoksia, peningkatan CO2 perbagian-bagian sensori dan persepsi :
kecil yang konkrit penglihatan, Gerakan otot menurun
Penurunan kesadaran  Minta pasien untuk penciuman,
mengulang informasi pendengaran, MK : Resiko cedera
MK : Gangguan perfusi pengecapan.
 Identifikasi tingkat
jaringan otak  Monitor tanda dan  Sediakan Iingkungan
kecemasan
gejala penurunan yang aman untuk
B3  Bantu pasien mengenal
neurologis klien pasien
situasi yang
 Monitor TD, Suhu,  Identifikasi kebutuhan
Aktivitas listrik menyebar ke menimbulkan
Nadi dan pernafasan keamanan pasien,
kecemasan
neokorteks klien sesuai dengan kondisi
 Dorong pasien untuk
mengungkapkan fisik dan fungsi
Gangguan cara berfikir, Berperasaan, kognitif pasien dan
perasaan, ketakutan,
Menerima pengalaman persepsi riwayat penyakit
terdahulu pasien
 Dengarkan dengan
Takut , depresi , dan cemas penuh perhatian  Menghindarkan
lingkungan yang
 Instruksikan pasien
MK : Ansietas berbahaya
menggunakan teknik
relaksasi  Pasang pagar tempat
tidur pasien
14
B4 B5 B6 B6  Observasi adanya
pembatasan pasien
Adanya bangkitan Adanya bangkitan listrik Impuls inhibisi dari Hiperaktivitas neuron dalam melakukan
listrik di otak diotak formasi retikularis aktivitas
Kebutuhan energi  Kaji adanya faktor
berkurang
Inkoordinasi SSP dan Inkoordinasi SSP dan SST di meningkat yang menyebabkan
SST di daerah sakrum daerah anal dan rektum Hiperaktivitas serabut kelelahan
Gg. Metabolisme di  Monitor nutrisi dan
fusiform dinamik otot
Ketidakmampuan Gangguan saraf sensorik otot otak sumber energy yang
adequat
mengeluarkan urine sfingter anus dan rectum Keseimbangan gerak
ATP menurun  Monitor respon
terganggu kardiovaskuler
MK : Retensi Urine MK: Konstipasi
Sakit kepala, terhadap aktivitas
MK : Hambatan (takikardi, disritmia,
penurunan kesadaran
mobilitas fisik sesak nafas, pucat,
MK : Intoleransi perubahan
hemodinamik)
 Monitor intake dan  Kaji kemampuan  Monitor tanda-tanda aktifitas
 Bantu pasien untuk
output urine misalnya mobilitas, vital
mengidentifikasi
 Kateterisasi jika perlu fungsi kognitif, dan  Kaji kemampuan
aktivitas yang mampu
 Monitor tanda dan motivasi untuk pasien dalam
dilakukan
gejala ISK (panas, berperan serta dalam mobilisasi
hematuria, perubahan latihan defekasi dan  Latih pasien dalam
bau, dan kosistensi menggunakan teknik pemenuhan ADL
urine) eleminasi defekasi  Berikan alat bantu
 Catat pola defekasi  Bantu pasien saat
dan episode mobilisasi atau
inkontinensia pemenuhan ADL
termasuk frekuensi
dan kosistensi
pengeluaran feses
serta asupan makanan
dan cairan
15

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Elektro Ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
menegegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan
adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya
kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal
apabila:
a. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.
b. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya misal gelombang delta.
c. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misal gelombang tajam, paku (spike), paku ombak, paku majemuk, dan
gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.
Bentuk epilepsi tertentu mempunya gambaran EEG yang khas,
misalnya spasme infantile mempunya EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal
EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per 3 detik (3 spd),
epilepsimioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku/ tajam/
lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).
2. Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita
yang sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis
dan lokasi sumber serangan. Rekaman EEG memperlihatkan hubungan
antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk
mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini
sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui
secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter.
16

3. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan
untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan
dengan CT scan dan MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak
lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan
kiri (Harsono, 2007).

G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan umum
a. Non farmakologi
1) Amati faktor pemicu
2) Menghindari faktor pemicu (jika ada) misalnya stress, konsumsi
kopi atau alkohol, perubahan jadwal tidur, terlambat makan, dan
lain-lain.
b. Farmakologi
Menggunakan obat – obatan anti epilepsi yaitu :
1) Obat - obat yang meningkatkan inaktivasi kanal Na+. Inaktivisi
kanal Na, menurunkan kemampuan saraf untuk menghantarkan
muatan listrik. Contoh: fenitoin, karbamazepin, lamotrigin,
okskarbazepi, valproat.
Obat – obat yang meningkatkan transmisi inhibitori GABAergik:
Agonis reseptor GABA, meningkatkan transmisi inhibitori dengan
mengaktifkan kerja resptor GABA, contoh: benzodiazepin, barbiturat.
Menghambat GABA transaminase, konsentrasi GABA meningkat, contoh:
Vigabatrin. Menghambat GABA transporter, memperlama aksi GABA pada
cairan cerebrospinal pasien mungkin dengan menstimulasi pelepasan GABA
dari non-vesikularpool contoh: Gabapentin (Anonim, 2007).

H. Penanganan
1. Pengkajian Primer
a. Airway
- Adanya tanda-tanda perdarahan jalan napas
17

- Keberadaan rangsangan obstruksi jalan napas


- Risiko kerusakan hipoksia pada otak ginjal dan jantung
- Spasme laring (sekret atau darah dijalan napas)
b. Breathing
- Kesulitan bernapas
- Suara napas berkurang
- Menurunnya kapasitas vital paru
- Terdengar suara sonor
c. Circulation
- Kulit dan jari terlihat pucat
- Terjadi hipoksia
- Gangguan kesadaran
- Denyut jantung lemah
- Diastolik rendah

2. Pengkajian Sekunder
a. Keluhan Utama
Keluhan utama sering menjadi alasan klien meminta
pertolongan kesehatan berhubungan dengan kelemahan otot, baik
kelemahan fisik secara umum maupun lokal seperti melemahnya otot
pernapasan
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Tanyakan dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan
mulai serangan, sembuh atau bertambah buruk. Keluhan tersebut
diantaranya gejala-gejala neurologis diawali dengan perestasia
(kesemutan/kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang
pada ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah. Kelemahan dapat
diikuti dengan paralisis lengkap.
Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien sindrom
guillain bare dan merupakan komplikasi yang paling berat dari
sindrom ini adalah gagal napas. Melemahnya otot pernapasan
18

membuat klien dengan gangguan ini berisiko lebih tinggi terhadap


hipoventilasi dan infeksi pernapasan berulang. Disfagia juga dapat
muncul pada penyakit sindrom guillain bare ini yang lebih mengarah
pada aspirasi. Keluhan kelemahan ekstremitas atas hampir sama
seperti keluhan klien stroke. Keluhan lainnya adalah kelainan dari
fungsi kardiovaskuler seperti terjadinya disaritmia jantung yang
diakibatkan oleh gangguan sistem saraf otonom pada klien dengan
sindrom guillain bare.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang
memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan
sekarang meliputi pernahkah klien mengalami ISPA, infeksi
gastrointestinal dan tindakan bedah syaraf.
Pengkajian pemakaian obat-obatan yang sering digunakan
klien, seperti pemakaian obat kortikosteroid, antibiotik, dan menilai
reaksinya (resistensi pemakaian antibiotik) dapat menambah
komprehensifnya pengkajian. Pengkajian riwayat dahulu dapat
mendukung pengkajian riwayat penyakit sekarang dan merupakan
data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan
selanjutnya.
d. Pengkajian Psikospiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga
penting untuk menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-
hari baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah ada
dampak yang timbul pada klien yaitu timbul seperti ketakutan dan
kecacatan, cemas, ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra
tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar
biasa digunakan klien selama masa stress, seperti kemampuan klien
19

untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui


dan perubahan perilaku stress.
e. Pemeriksaan Fisik
Klien dengan Sindrom Guillain-Bare biasanya didapatkan suhu
tubuh normal. Penurunan denyut nadi terjadi berhubunga dengan
peningkatan laju metabolisme umum dan adanya infeksi pada sistem
pernapasan serta akumulasi sekret akibat insufisiensi pernapasan.
Tekanan darah didapatkan ortotastik hipotensi atau tekanan darah
meningkat berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan
parasimpatis. Pemeriksaan fisik meliputi
1) B1 (Breathing)
Hasil inspeksi akan didapatkan klien batuk, peningkatan
produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas
meningkat dan yang paling sering didapatkan pada klien sindrom
guillain bare adalah menurunnya frekuensi pernapasan karena
melemahnya fungsi otot-otot pernapasan. Palpasi biasanya taktil
premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi napas
tambahan seperti ronkhi pada klien dengan Sindrom Guillain-Bare
berhubungan dengan akumulasi sekret dari nfeksi saluran
pernapasan.
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler pada klien Sindrom
Guillain-Bare menunjukkan bradikardi akibat penurunan perfusi
perifer. Tekanan darah didapatkan hipotensi tau hipertensi akibat
penurunan reaksi saraf simpatis dan parasmpatis.
3) B3 (Brain)
Pengkajian Brain merupakan pemeriksaan fokus dan lebih
lengkap dibandingkan sistem lainnya. Pemeriksaan brain meliputi:
a) Pengkajian tingkat kesadaran
Klien dengan Sindrom Guillain-Bare biasanya kesadaran klien
komposmentis. Apabila klien mengalami penurunan tingkat
20

kesadaran maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai


tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk monitoring
pemberian asuhan
b) Pengkajian fungsi serebral
Pengkajian fungsi serebral merupakan pengkajian yang
menyangkut status mental yaitu observasi penampilan, tingkah
laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik
klien. Klien dengan Sindrom Guillain-Bare untuk tahap yang
lebih lanjutnya disertai penurunan kesadaran biasanya status
mental klien mengalami perubahan.
c) Pengkajian saraf kranial
Pengkajian saraf kranial meliputi pengkajian saraf kranial I-
XII, yaitu:
- Saraf I, biasanya pada klien Sindrom Guillain-Bare tidak
ada kelainan dari fungsi penciuman.
- Saraf II, tes ketajaman dan penglihatan pada kondisi
normal.
- Saraf III, IV, dan VI, penurunan membuka dan menutup
kelopak mata disebut paralisis okuler.
- Saraf V, klien dengan Sindrom Guillain-Bare didapatkan
paralisis pada otot wajah sehingga mengganggu proses
mengunyah.
- Saraf VII, persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah
asimetris karena adanya paralisis unilateral.
- Saraf VIII, tidak ditemukan adanya tuli konduksi dan tuli
persepsi.
- Saraf IX, X, paralisis otot orofaring, kesulitan berbicara,
mengunyah, dan menelan. Kemampuan menelan kurang
baik sehingga menggangu pemenuhan nutrisi via oral.
- Saraf XI, tidak ada atrofi otot stemkleidomantoideus dan
trapezius. Kemampuan mobilisasi leher baik.
21

- Saraf XII, lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi
dan tidak ada fasikulasi, indra pengecapan normal.
d) Pengkajian sistem motorik
Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan koordinasi
pada Sindrom Guillain-Bare tahap lanjut mengalami
perubahan. Klien mengalami kelemahan motorik secara umum
sehingga mengganggu mobilitas fisik.
e) Pengkajian refleks
Pemeriksaan refleks propunda, pengetukan pada tendon,
ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respn
normal.
f) Pengkajian sistem sensorik
Parestesia (kesemutan/kebas) dan kelemahan otot kaki, yang
dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot
wajah. Klien mengalami penurunan kemampuan penilaian
sensorik raba, nyeri, dan suhu.
4) B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan
berkurangnya volume pengeluaran urin, hal ini berhubungan
dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
5) B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi
asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien meningitis menurun
karena anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta
gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral
menjadi berkurang.

6) B6 (Bone)
22

Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran


menurunkan mobilitas klien secara umum. Dalam pemenuhan
kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.

I. Diagnosa dan Rencana Intervensi Keperawatan


Kegawatdaruratan Mandiri dan Kolaborasi
Diagnosa
Kode
Keperawatan/ Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)
SDKI
Masalah Kolaborasi
Pola Nafas Tidak D.0005 NOC: NIC:
Efektif a. Respiratory a. Posisikan pasien
status : Ventilation untuk
Definisi : inspirasi b. Respiratory memaksimalkan
dan/atau ekspirasi yang status : Airway ventilasi
tidak memberika patency b. Pasang mayo bila
ventilasi adekuat c. Vital sign Status perlu
c. Lakukan
Gejala dan tanda Setelah dilakukan fisioterapi dada
mayor : tindakan keperawatan jika perlu
Subjektif : selama ………..pasien d. Keluarkan sekret
Dispnea menunjukkan dengan batuk
Objektif : keefektifan pola nafas, atau suction
1. Penggunaan otot dibuktikan dengan e. Auskultasi suara
bantu pernafasan kriteria hasil: nafas, catat
2. Fase ekspirasi adanya suara
memanjang 1. Frekuensi tambahan
3. Pola nafas pernafasan f. Berikan
abnormal (mis. 1 2 3 4 5 bronkodilator 
Takipnea, 2. Irama pernafasan g. Berikan
bradipnea, 1 2 3 4 5 pelembab udara
hiperventilasi, 3. Kedalaman Kassa basah
23

kusmaul, cheyen- inspirasi NaCl Lembab


stokes) 1 2 3 4 5 h. Atur intake untuk
4. Suara auskultasi cairan
Gejala dan tanda pernafasan mengoptimalkan
minor : 1 2 3 4 5 keseimbangan.
Subjektif : 5. Kepatenan jalan i. Monitor respirasi
Ortopnea nafas dan status O2
Objektif : 1 2 3 4 5 j. Bersihkan mulut,
1. Pernafasan pursed- hidung dan secret
lip Kriteria penilaian trakea
2. Pernafasan cuping NOC : k. Pertahankan
hidung 1. Deviasi Berat jalan nafas yang
3. Diameter horak 2. Deviasi Yang paten
anterior-posterior Cukup Besar l. Observasi adanya
meningkat 3. Deviasi Sedang tanda tanda
4. Ventilasi sentiment 4. Deviasi Ringan hipoventilasi
menurun 5. Tidak Ada m. Monitor adanya
5. Kapasitas vital Deviasi kecemasan
menurun pasien terhadap
6. Tekanan ekspirasi oksigenasi
menurun n. Monitor vital
7. Tekanan inspirasi sign
meningkat o. Informasikan
8. Ekskursi dada pada pasien dan
berubah keluarga tentang
tehnik relaksasi
untuk
memperbaiki
pola nafas.
p. Ajarkan
bagaimana batuk
24

efektif
q. Monitor pola
nafas

Bersihan Jalan Nafas D.0005 NOC: NIC:


Tidak Efektif a. Respiratory 1. Buka jalan nafas
status : Ventilation dengan teknik jaw
Definisi : b. Respiratory trust atau chin lift
ketidakmampuan status : Airway 2. Posisikan pasien
membersihkan sekret patency untuk
atau obstruksi jalan c. Vital sign Status memaksimalkan
nafas untuk ventilasi
mempertahankan jalan Setelah dilakukan 3. Pasang OPA atau
nafas tetap paten. tindakan keperawatan NPA
selama ………..pasien 4. Lakukan fisioterapi
Gejala dan tanda menunjukkan dada jika perlu
mayor : keefektifan pola nafas, 5. Lakukan
Subjektif : dibuktikan dengan penyedotan melalui
- kriteria hasil: endotrakea atau
Objektif : 1. Frekuensi nasotrakea
1. Batuk efektif atau pernafasan 6. Keluarkan sekret
tidak mampu batuk 1 2 3 4 5 dengan batuk atau
2. Sputum 2. Irama pernafasan suction
berlebih/obstruksi 1 2 3 4 5 7. Auskultasi suara
di jalan nafas 3. Kedalaman nafas, catat adanya
3. Mengi, wheezing, inspirasi suara tambahan
dan/ atau ronchi 1 2 3 4 5 8. Berikan
kering 4. Suara auskultasi bronkodilator 
Gejala dan tanda pernafasan 9. Monitor respirasi
minor : 1 2 3 4 5 dan status O2
Subjektif : 5. Kepatenan jalan 10. Observasi adanya
25

1. Dipsnea nafas tanda tanda


2. Sulit bicara 1 2 3 4 5 hipoventilasi
3. Ortopnea
Objektif : Kriteria penilaian
1. Gelisah NOC :
2. Sianosis 6. Deviasi Berat
3. Bunyi nafas 7. Deviasi Yang
menurun Cukup Besar
4. Frekuensi nafas 8. Deviasi Sedang
berubah 9. Deviasi Ringan
5. Pola nafas berubah 10. Tidak Ada
Deviasi
Penurunan curah D.0009 NOC: NIC:
jantung
a. Status pernafasan : 1. Auskultasi suara
Definisi : ventilasi nafas
ketidakkuatan jantung b. Perfusi jaringan : 2. Catat adanya
memompa darah untuk kardiak penurunan curah
memenuhi kebutuhan c. Tanda-tnda vital jantung
metabolism tubuh 3. Berikan oksigen
Setelah dilakukan sesuai kebutuhan
Gejala dan tanda
tindakan keperawatan 4. Berikan cairan
mayor :
selama ………..pasien melalui IV atau
Subjektif : menunjukkan oral
1. Perubahan irama peningkatan curah 5. Monitor status
jantung (palpitasi) jantung, dibuktikan sirkulasi
2. Perubahan preload dengan kriteria hasil: 6. Monitor tanda dan
(lelah) gajala penurunan
6. Frekuensi
3. Perubahan curah jantung
pernafasan
afterload (dipsnea) 7. Monitor hasil
1 2 3 4 5
4. Perubahan laboratorium
kontraktilitas 7. Irama pernafasan
26

(Paroxysmal 1 2 3 4 5
Nocturnal Dypsnea
8. Tekanan darah
(PND), Ortopnea,
sistol
5. Batuk
1 2 3 4 5

Objektif : 9. Tekanan darah


1. Perubahan irama diastol
jantung 1 2 3 4 5
(bradikardi/takikard
10. Denyut jantung
i) (gambar EKG
apikal
aritmia atau
1 2 3 4 5
gangguan
konduksi)
Kriteria penilaian
2. Perubahan preload
NOC :
(edema, distensi
vena jugularis, CPV 1. Deviasi Berat
meningkat) 2. Deviasi Yang
Cukup Besar
3. Perubahan afterload
3. Deviasi Sedang
(tekanan darah
4. Deviasi Ringan
meningkat/menurun
5. Tidak Ada Deviasi
, nadi perifer teraba
lemah, CRT >3
detik, warna kulit
pucat atau sianosis)

4. Perubahan
kontraktilitas
(terdengar suara S3
dan/S4, Ejaction
Fraction (EF)
27

menurun)

Gejala dan tanda


minor :

Subjektif :

1. Perubahan preload
(-)

2. Perubahan
afterload(-)

3. Perubahan
kontraktilitas (-)

4. Perilaku/emosional
(cemas, gelisah)

Objektif :

1. Perubahan preload
(murmur jantung,
berat badan
bertambah,
pulmonary artery
wedge pressure
(PAWP) menurun)
2. Perubahan afterload
(pulmonary
vascular resistance
(PVR), systemic
vascular resistance
28

(SVR),
Hepatomegali)
3. Perubahan
kontraktilitas
4. Cardiac index (CI)
5. Left Ventricular
Stroke Work Index
(LVSWI) menurun
6. Stroke Volume
Index (SVI)
menurun
7. Perilaku/emosional
Nyeri Akut D.0007 NOC : NIC :
Definisi : Pain control (1605) Pain management
Pengalaman sensorik (1400)
atau emosional yang Setelah dilakukan
berkaitan dengan tindakan keperawatan 1. Kaji nyeri secara
kerusakan jaringan selama ………..pasien komprehensif
aktual atau fungsional, menunjukkan nyeri termasuk lokasi,
dengan onset berkurang , dibuktikan karakteristik,
mendadak atau lambat dengan kriteria Hasil : durasi, frekuensi,
dan berintensitas ringan 1. Mengenali kapan kualitas dan faktor
hingga berat yang nyeri terjadi presipitasi
berlangsung kurang 1 2 3 4 5 2. Observasi reaksi
dari 3 bulan 2. Menggambarkan nonverbal dari
faktor penyebab ketidaknyamanan
Gejala dan tanda 1 2 3 4 5 3. Kaji tipe dan
mayor : 3. Menggunakan sumber nyeri
Subjektif : tindakan untuk menentukan
Mengeluh nyeri pengurang nyeri intervensi
Objektif : tanpa analgesic 4. Ajarkan tentang
29

1. Tampak meringis 1 2 3 4 5 teknik non


2. Bersikap protektif 4. Menggunakan farmakologi: napas
( mis. Waspada, analgesic yang dalam, relaksasi,
posisi menghindari direkomendasika distraksi, kompres
nyeri) n hangat/ dingin
3. Gelisah 1 2 3 4 5 5. Berikan analgetik
4. Frekuensi nadi untuk mengurangi
meningkat Kriteria penilaian nyeri
5. Sulit tidur NOC 6. Berikan informasi
1. Tidak pernah tentang nyeri
Gejala dan tanda menunjukan seperti penyebab
minor : 2. Jarang nyeri, berapa lama
Subjektif : menunjukan nyeri akan
(tidak tersedia) 3. Kadang-kadang berkurang dan
Objekif : menunjukan antisipasi
1. T 4. Sering ketidaknyamanan
ekanan darah menunjukan dari prosedur
meningkat 5. Secara konsistn 7. Monitor vital sign
2. P menunjukan sebelum dan
ola nafas berubah sesudah pemberian
3. N analgesik pertama
afsu makan berubah kali
4. P
roses berfikir
terjangkau
5. M
enarik diri
6. B
erfokus pada diri
sendiri
7. D
30

iaphoresis
Risiko Hipovolemia D.0034 NOC: NIC :
Definisi : a. Fluid balance 1. Pertahankan
Berisiko mengalami b. Hydration catatan intake
penurunan volume c. Nutritional dan output yang
cairan intravaskuler, Status : Food and akurat
interstistial, dan/ atau Fluid Intake 2. Monitor status
intraseluler. hidrasi
Setelah dilakukan (kelembaban
Faktor Risiko : tindakan keperawatan membran
1. Kehilangan cairan selama ………..pasien mukosa, nadi
secara aktif menunjukkan tidak adekuat, tekanan
2. Gangguan absorbs mengalami penurunan darah ortostatik),
cairan cairan, dibuktikan jika diperlukan
3. Usia lanjut dengan kriteria Hasil : 3. Monitor hasil lab
4. Kelebihan berat 1. Turgor kulit yang sesuai
badan 1 2 3 4 5 dengan retensi
5. Status 2. Membran mukosa cairan (BUN ,
hipermetabolik lembab Hmt ,
6. Kegagalan 1 2 3 4 5 osmolalitas urin,
mekanisme regulasi 3. Intake cairan albumin, total
7. Evaporasi 1 2 3 4 5 protein )
8. Kekurangan intake 4. Output cairan 4. Monitor vital
cairan 1 2 3 4 5 sign setiap 15
9. Efek agen 5. Fungsi kognisi menit – 1 jam
farmakologis 1 2 3 4 5 5. Kolaborasi
6. Perfusi jaringan pemberian cairan
1 2 3 4 5 IV
6. Monitor status
Kriteria penilaian nutrisi
NOC : 7. Berikan cairan
31

1. Sangat Terganggu oral


2. Banyak Terganggu 8. Berikan
3. Cukup Terganggu penggantian
4. Sikit Terganggu nasogatrik sesuai
5. Tidak Terganggu output (50 –
100cc/jam)
9. Dorong keluarga
untuk membantu
pasien makan
10. Kolaborasi
dokter jika tanda
cairan berlebih
muncul meburuk
11. Atur
kemungkinan
tranfusi
12. Persiapan untuk
tranfusi
13. Pasang kateter
jika perlu
14. Monitor intake
dan urin output
setiap 8 jam
32

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Salah satu kegawatdaruratan neurosensori adalah penyakit Epilepsi yaitu
adalah manifestasi klinis disebabkan oleh lepasnya muatan listrik secara
sinkron dan berlebihan dari sekelompok neuron di otak yang bersifat transien.
Aktivitas berlebihan tersebut dapat menyebabkan disorganisasi paroksismal
pada satu atau beberapa fungsi otak yang dapat bermanifestasi eksitasi positif,
negatif atau gabungan keduanya. Manifestasi bangkitan ditentukan oleh lokasi
dimana bangkitan dimulai, kecepatan dan luasnya penyebaran. Bangkitan
epileptik umumnya muncul secara tiba-tiba dan menyebar dengan cepat dalam
waktu beberapa detik atau menit dan sebagian besar berlangsung singkat
Perawat perlu memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas kepada klein
yang mengalami kegawatdaruratan neurologi sehingga masalah kesehatan klien
dapat teratasi dengan baik dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan
status kesehatan klien.

B. Saran
1. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan institusi dapat memberikan tambahan literatur tentang
asuhan keperawatan kegawatdaruratan neurosensori dengan Epilepsi, baik
dari konsep maupun asuhan keperawatan yang harus diberikan, sehingga
dapat dijadikan referensi bagi mahasiswa dan update ilmu pengetahuan.
2. Bagi Tenaga Kesehatan
Penatalaksanaan yang efektif dan efisien pada pasien untuk
mendapatkan hasil maksimal dan mencegah terjadinya komplikasi.
3. Bagi Mahasiswa
Diharapkan mahasiswa mampu mengetahui asuhan keperawatan
kegawatdaruratan neurosensori dengan Epilepsi sehingga dapat
menerapkannya pada praktik klinik keperawatan di kemudian hari.
33

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai