Anda di halaman 1dari 39

PSIKOLOGI GERONTIK

“EMOSIONAL LANSIA”

DOSEN PEMBIMBING :
Nofrans Eka Saputra, S.Psi., M.A
Agung Iranda, S.Psi., M.A

DISUSUN OLEH :
Nabila Putri Tianda (G1C116011)
Dwi Lestari (G1C116020)
Erna Yulianti (G1C116021)
Lydia Pransiska (G1C116025)
Diki Ramadani (G1C116028)
Ezzatiy Haslin Almalizy (G1C116031)
Nanda Kurnia Afifah M. (G1C116043)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTA KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga tugas
makalah Psikologi Gerontik yang berjudul “Emosional Lansia” ini dapat tersusun hingga selesai
dengan baik dan tepat pada waktunya.

Kami mengucapkan terimakasih kepada Dosen Pengampu Mata Kuliah Psikologi


Gerontik kepada Bapak Nofrans Eka Saputra, S. Psi., M.A yang telah memberikan tugas. Dan
harapan kami semoga tugas ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman para pembaca.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami masih banyak


kekurangan dalam penulisan dalam makalah ini. Oleh kerena itu kami sangat mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Jambi, 16 Maret 2019

Penulis

Psikologi Gerontik |Emosional Lansia i


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang.............................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah......................................................................................... 2
1.3. Tujuan........................................................................................................... 2
1.4. Manfaat......................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................... 4
2.1. Lansia............................................................................................................ 5
2.2. Tugas Perkembangan Lansia........................................................................ 5
2.3. Spiritual dan Manajemen Stres Pada Lansia................................................. 7
2.4. Penyesuaian Diri Pada Lansia Dalam Menghadapi Proses Penuaan............ 11
2.5. Perasaan Kesepian Pada Lansia.................................................................... 14
2.6. Motivasi Pada Lansia Yang Mengalami Sakit Fisik..................................... 17
2.7. Persiapan Kematian Pada Lansia.................................................................. 21
2.8. Sense of humor Pada Lansia......................................................................... 26
2.9. Dukungan Keluarga Terhadap Lansia.......................................................... 29

BAB III PENUTUP.................................................................................................. 33


3.1. Kesimpulan................................................................................................... 33
3.2. Saran............................................................................................................. 33

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 35

Psikologi Gerontik |Emosional Lansia ii


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Lanjut usia merupakan individu yang berusia diatas 60 tahun. Pada tahapan
perkembangan ini, individu mengalami berbagai penurunan fungsi fisik dan juga psikologis
yang beragam. Pada tahapan ini pula, individu mengalami berbagai perubahan fungsi sosial
dalam kehidupan. Penurunan baik dalam segi fisik, psikologis maupun fungsi dan kedudukan
dalam tahapan lanjut usia tentu memberikan dampak bagi kehidupan lanjut usia itu sendiri.
Salah satu dampak yang dirasakan adalah dalam segi emosional (Kinasih, 2012).
Penurunan fungsi fisik maupun psikologis pada lansia tentu membuat lansia harus mulai
terbiasa atau beradaptasi untuk menerima kondisi tersebut. Apabila penerimaan lansia akan
kondisi tersebut baik, maka lansia akan mampu menghargai dirinya dan perubahannya
menuju penuaan. Namun, apabila lansia memiliki penerimaan yang buruk tentu akan sulit
bagi lansia untuk terbiasa atau beradaptasi dan menghargai kondisi fisik dan psikologisnya
yang terus menurun menuju penuaan tersebut. Penerimaan kondisi pada lansia tersebut
berkaitan dengan kondisi emosional lansia. Karena tidak dapat dipungkiri, bahwa kondisi
emosional yang kurang stabil pada lansia mampu memberikan dampak negatif pada fisik
maupun psikologis lansia itu sendiri (Kinasih, 2012).
Permasalahan dalam ruang lingkup emosional lansia mencakup bagaimana lansia mampu
mengelola kondisi hati, mood, perasaan dalam dirinya agar tetap positif dan mampu
mencapai successfull aging. Hal ini dikarenakan, ada banyak kasus dimana lansia gagal
mengelola kondisi emosional dirinya dalam proses perubahan dan penurunan fungsi tadi
sehingga menyebabkan lansia mengalami stress, cemas, bahkan depresi. Apalagi, fase lanjut
usia merupakan fase dimana individu beranggapan akan segera menghadapi kematian
(Wulandhani, 2014).
Kondisi emosional lansia turut menentukan kondisi lainnya pada proses penuaan
individu. Keberhasilan lansia dalam mengelola kondisi emosionalnya agar tetap positif dan
stabil akan memberikan dampak baik bagi kehidupan lansia. Dan sebaliknya, bila kondisi
emosional lansia kurang baik dan lansia kurang mampu mengelolanya dengan baik, akan
memberikan dampak yang buruk pula bagi kehidupan lansia.

Psikologi Gerontik |Emosional Lansia 1


Untuk itulah kelompok membahas berbagai permasalahan atau topik emosional pada
lansia yang dianggap perlu untuk diulas dalam makalah ini. Dengan harapan, kedepannya
dari hal hal yang kelompok paparkan disini mampu menjadi acuan bagi mahasiswa psikologi
untuk dapat membuat program terpadu dan berguna bagi lanjut usia dalam menghadapi
proses penuaan dan penurunan berbagai fungsi fisik maupun psikologis.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana spiritual dan manajemen stress pada lansia?
2. Bagaimana penyesuaian diri pada lansia dalam menghadapi proses penuaan?
3. Bagaimana perasaan kesepian pada lansia?
4. Bagaimana motivasi pada lansia yang mengalami sakit fisik?
5. Bagaimana persiapan kematian pada lansia?
6. Bagaimana sense of humor pada lansia?
7. Bagaimana dukungan keluarga terhadap lansia?

1.3. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami spiritual dan manajemen stress pada lansia.
2. Mengetahui dan memahami penyesuaian diri pada lansia dalam menghadapi proses
penuaan.
3. Mengetahui dan memahami perasaan kesepian pada lansia.
4. Mengetahui dan memahami motivasi pada lansia yang mengalami sakit fisik.
5. Mengetahui dan memahami persiapan kematian pada lansia.
6. Mengetahui dan memahami sense of humor pada lansia.
7. Mengetahui dan memahami dukungan keluarga terhadap lansia.

1.4. Manfaat
Adapun manfaat dalam memahami berbagai topik atau permasalahan kondisi emosional
lansia adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Sebagai mahasiswa psikologi, akan paham bagaimana kondisi emosional pada lansia.
Kemudian, akan mampu memahami berbagai macam permasalahan emosional yang
mungkin dihadapi oleh lansia saat ini.

Psikologi Gerontik |Emosional Lansia 2


2. Manfaat Praktis
Akan mampu menciptakan program terpadu dari berbagai permasalahan emosional yang
telah dipaparkan, untuk kemudian di praktikkan dalam ruang lingkup masyarakat atau
lingkungan sosial. Baik bagi lansia yang tinggal dengan keluarga, maupun di Panti
Wredha.

Psikologi Gerontik |Emosional Lansia 3


BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Lansia
Manusia adalah makhluk yang paling dinamis dalam proses perkembangan di setiap
tahapan kehidupannya. Manusia tumbuh dan berkembang sejak awal berada didalam rahim
seorang perempuan dan terus mengalami berbagai perubahan maupun tantangan didalam
kehidupannya. Pertumbuhan dan perkembangan manusia tidak hanya melingkupi dimensi
fisik semata, namun juga menyentuh dimensi psikologis yang terdapat didalamnya aspek
kognitif, afektif dan konatif.
Sepanjang rentang perkembangan manusia, individu menghadapi berbagai tekanan dan
tantangan didalam kehidupannya, yang mana setiap fase tersebut menjadi pengalaman dan
pembelajaran untuk memahami perjalanan hidupnya. Sejak dilahirkan, individu telah
dihadapkan pada mekanisme adaptasi dan pertahanan diri seperti ketika masih bayi belajar
untuk memberitahu orang dewasa disekitar ketika lapar, kemudian ketika memasuki masa
kanak-kanank belajar untuk mengenal dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar dengan
lebih kompleks dan luas. Hingga individu dihadapkan pada masa remaja, dewasa dan
menuju lanjut usia yang mana pada setiap tahapan perkembangan kehidupan individu
memiliki tugas perkembangan dan tantangan yang berbeda-beda. Termasuk didalamnya
masa adaptasi dengan berbagai perubahan ketika bertambah usia, tanggung jawab dan
berbagai perubahan lainnya.
Ketika membahas dunia usia dewasa madya, individu telah memasuki hampir sebagian
besar kesempatan dalam kehidupannya. Individu yang berusia dewasa madya atau berusia
sekitar 50 tahun telah mengalami berbagai fase dan memperoleh pengalaman. Sehingga
pengalaman-pengalaman tersebut dapat menghantarkan individu menuju kesiapannya untuk
memasuki usia lanjut. Dimana usia lanjut ini akan membutuhkan sistem adaptasi yang
cukup ‘meresahkan’ bagi sebagian individu dewasa madya, karena pada masa lanjut usia ini
akan dihadapkan pada perubahan yang cukup signifikan secara fisik, emosional hingga
psikologis.
Masa lanjut usia dimulai ketika seseorang mulai memasuki usia 60 tahun (Saputri &
Indarwati, 2011). Menua atau aging merupakan hal yang normal dan terjadi pada setiap
individu serta dapat diprediksikan terjadinya perubahan secara fisik dan perilaku (Stanley,
Psikologi Gerontik |Emosional Lansia 4
Blair & Beare, dalam Ningrum 2016). Fase penuaan umumnya dapat dikenali dengan
mudah melalui perubahan fisik, yaitu mulai terdapat banyak kerutan pada kulit, kondisi fisik
yang tidak lagi kuat dan enerjik seperti sebelumnya, adanya perubahan stigma di masyarakat
mengenai usia lanjut, persiapan atau adaptasi kehilangan pasangan hingga beradaptasi
dengan kondisi atau jumlah keluarga yang bertambah dan berubah misalnya anak-anak
mulai memilih untuk hidup terpisah dengan orangtuanya yang berusia lanjut.
Pada periode usia ini, akan dialami oleh semua orang dan tidak mungkin bisa dihindari,
namun kondisi fisik dan psikologis lansia akan berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini
tergantung dari bagaimana individu lanjut usia menghabiskan masa mudanya dahulu.
Namun pada umumnya, setiap individu yang berusia lanjut akan mengalami kekuatan tubuh
yang mulai berkurang, daya penyesuaian diri, respon terhadap lingkungan daya inisiatif dan
kreatif akan menurun pada lansia yang dapat menimbulkan masalah psikologis.

2.2. Tugas Perkembangan Lansia


Dalam teori perkembangan, ditekankan pentingnya mempelajari apa yang telah dialami
lansia pada saat muda hingga dewasa. Adapun karakteristik lansia menurut Hurlock (2011) :
a) Usia lanjut merupakan periode kemunduran
Periode kemunduran ini melingkupi aspek fisik dan psikologis. Secara garis besar dapat
terlihat secara fisik yang tidak lagi kuat seperti saat muda dan dewasa, kemampuan
kognitif dalam mengingat, memahami dan menerima informasi menjadi lebih lamban
hingga kondisi psikologis yang lebih sensitif dibandingkan saat muda dahulu.
b) Perbedaan individual pada efek menua
Setiap individu memiliki keunikannya masing-masing, hal ini pun terjadi pada lansia.
Setiap lansia tidak memiliki kesamaan persis dalam proses menuaan. Perbedaan ini
didasari oleh adanya perbedaan individu dalam menjalani dan memahami perjalanan
hidupnya.
c) Usia tua dinilai dengan kriteria yang berbeda
Kriteria pada individu usia lanjut memiliki pengkhususan dalam lingkungan di
masyarakat. Individu akan mengalami batasan-batasan baru dalam kehidupannya
sehingga akan dikelompokkan berdasarkan kriteria tertentu, misalnya dikarenakan
penyakit, golongan pension maupun status ekonomi.

Psikologi Gerontik |Emosional Lansia 5


d) Berbagai strereotip orang lanjut usia
Individu usia lanjut dihadapkan dengan berbagai stigma dan stereotip yang berkembang
dimasyarakat tergantung dengan budaya dan sistem sosial yang berkembang
diligkungan ia tinggal.
e) Sikap sosial terhadap usia lanjut
Masyarakat cenderung memberikan perlakuan atau sikap sosial yang serupa terhadap
individu berusia lanjut, misalnya lebih banyak memaklumi kondisi individu lansia.
f) Orang lansia memiliki status kelompok minoritas
Kondisi minoritas ini kerap membentuk suatu komunitas yang dapat menjadi tempat
berbagi dengan sesama individu berusia lanjut dalam menjalani kehidupannya.
g) Menua membutuhkan perubahan arah
Perubahan arah dalam kondisi lansia mengartikan sebagai mekanisme adaptasi yang
melingkupi berbagai aspek dalam kehidupannya

Seperti yang diungkapkan oleh Hurlock (2011) ada tujuh tugas perkembangan selama
hidup yang harus dilaksanakan oleh lansia, yaitu:
1. Penyesuaian terhadap penurunan kemampuan fisik dan psikis
2. Penyesuaian terhadap pensiun dan penurunan pendapatan
3. Menemukan makna kehidupan
4. Mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan
5. Menemukan kepuasan dalam hidup berkeluarga
6. Penyesuaian diri terhadap kenyataan akan meninggal dunia
7. Menerima dirinya sebagai seorang lansia.
8. Membentuk hubungan baik dengan orang seusianya
9. Mempersiapkan kehidupan baru
10. Melakukan penyesuaian terhadap kehidupan sosial/masyarakat secara santai
11. Mempersiapkan diri untu kematiannya dan kematian pasangannya.

Psikologi Gerontik |Emosional Lansia 6


2.3. Spiritual dan Manajemen Stress pada Lansia
2.3.1. Stres pada Lansia
Stress tidak dapat dipisahkan dari setiap aspek kehidupan. Stress dapat dialami oleh
siapa saja dalam bentuk tertentu, dalam kadar berat, ringan yang berbeda dan dalam jangka
panjang- pendek yang tidak sama, pernah atau akan mengalaminya dan tidak seorang pun
bisa terhindar dari padanya dan memiliki implikasi negatif jika berakumulasi dalam
kehidupan individu tanpa solusi yang tepat. Akumulasi stress merupakan akibat dari
ketidakmampuan individu dalam mengatasi dan mengendalikan stressnya. Stress merupakan
suatu ketidakseimbangan yang besar antara permintaan yang berupa fisik ataupun psikologis
dengan kemampuan respon dimana terjadinya kegagalan untuk memenuhi permintaan yang
memberi konsekuensi yang esensial (Heiman dan Kariv, 2006).
Stress adalah respon individu terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stress
(stressor), yang mengancam dan mengganggu seeorang untuk menanganinya. Sumber stress
dibagi menjadi 3 yaitu stress yang bersumber dari diri sendiri, keluarga, masyarakat
lingkungan (Hidayat, dalam Ningrum 2016). Salah satu fenomena kesepian pada lanjut usia
yang merupakan masalah psikologis yang dapat menjadi salah satu faktor yang menimbulkan
stres dilihat dari:
a) sudah berkurangnya kegiatan dalam mengasuh anak-anak
b) berkurangnya teman atau relasi akibat kurangnya aktifitas di luar rumah
c) kurangnya aktifitas sehingga waktu luang bertambah banyak
d) meninggalnya pasangan hidup
e) ditinggalkan anak-anak karena menempuh pendidikan yang lebih tinggi, atau
meninggalkanrumah untuk bekerja
f) anak-anak telah dewasa dan membentuk keluarga sendiri.

Pada waktu seseorang memasuki masa usia lanjut (lansia), terjadi berbagai perubahan,
baik perubahan yang bersifat fisik, mental, maupun sosial. Memasuki usia lanjut tidak lain
adalah upaya penyesuaian terhadap perubahan-perubahan tersebut. Sebagai proses alamiah
perkembangan mannusia sejak periode awal hingga masa usia lanjut merupakan kenyataan
yang tidak dapat dihindari. Perubahan-perubahan tersebut menyertai proses perkembangan
termasuk memasuki masa usia lanjut. Ketidak pastian dan upaya melawan perubahan-
perubahan yang dialami pada masa usia lanjut justru menempatkan individu di usia ini
Psikologi Gerontik |Emosional Lansia 7
mengalami posisi yang serba kalah yang akhirnya hanya menjadi sumber akumulasi stress
dan frustasi (Indriana, dalam Ningrum 2016).
Stres atau trauma yang terjadi selama proses perkembangan dapat mengakibatkan tiga
kondisi, yaitu perubahan persepsi diri, perubahan hubungan dengan orang lain, serta
perubahan filosofis mengenai prioritas, apresiasi, dan spiritualitas. Penurunan produktivitas
dan stres merupakan proses resiprokal (timbal balik yang berkelanjutan) sehingga ketika
lansia merasa sangat bergantung pada orang lain, maka lansia akan mengalami stres karena
merasa tidak lagi mampu mengerjakan sesuatu secara mandiri. Oleh karena itu, stres yang
dialami lansia terutama pada lansia yang mengalami penyakit penyerta dapat memperburuk
kondisi stres yang sudah atau sedang dialaminya.
Lansia pada masa tuanya ketika kesibukan sehari-harinya berkurang, sudah mulai
melakukan pendekatan spiritual seperti beribadah lebih sering, mempelajari konsep dan kitab
suci agama yang diyakininya, dan mengikuti kegiatan di lingkungannya. Manusia cenderung
kembali kepada apa yang diyakininya ketika muncul pertanyaan pada dirinya sebagai hasil
dari penderitaan yang dialaminya.Begitu juga ketika manusia semakin menua dan menjadi
lansia. Lansia cenderung mempertanyakan apa makna dari apa yang sedang dialaminya atau
apa yang akan dialaminya setelah kematian.
Beberapa asumsi menyebutkan bahwa orang akan menjadi lebih tertarik dan kembali
pada agama setelah usia lanjut, dan mereka menjadi lebih religius. Beberapa penelitian
mendukung asumsi tersebut tetapi beberapa penelitian menunjukkan bahwa religiositas
cenderung stabil sepanjang kehidupan seseorang.
Religiusitas dan spiritualitas merupakan sebuah aspek multidimensional yang
melibatkan kognisi, perasaan, dan perilaku termasuk aspek positif dan negatif dari relasi
antara individu dengan Sang Pencipta (Werdel et al., dalam Koerniawan 2018). Komitmen
yang jelas dan kuat dapat membuat individu mampu memperkuat kemampuan dan
kecerdasan spiritualnya dengan memaknai apa arti dirinya dilahirkan, ditempatkan, dan
tujuan dirinya berada di dunia ini.
Spiritualitas membuat individu memiliki kemampuan transenden dalam berespon
terhadap peristiwa yang terjadi sepanjang hidupnya. Proses transendensi tersebut terjadi
karena individu memiliki keyakinan diri (self-compassion) yang baik sehingga dapat
memiliki mekanisme koping yang lebih baik (Perez-Blasco et al., dalam Ningrum 2016).

Psikologi Gerontik |Emosional Lansia 8


2.3.2. Spiritualitas dan Coping Stress pada Lansia
Sebagian besar lansia sudah mengalami masa pensiun dan tidak banyak
melakukan kegiatan luar rumah sehingga lansia lebih memilih untuk melakukan
banyak aktivitas keagamaan secara individual atau pun sosial di lingkungan tempat
tinggalnya. Pendalaman agama yang diyakini, aplikasi makna atau perintah agama
dalam kehidupan sehari-hari, dan mendekatkan diri kepada Tuhan merupakan fokus
pada masa lansia (Werdel et al., dalam Koerniawan 2018).
Hal ini terjadi karena lansia sudah mendapat pengalaman yang banyak mengenai
hidupnya sehingga lansia menghubungkan makna dari peristiwa yang terjadi selama
hidupnya dengan konsep spiritualitas yang dimilikinya. Selain itu, lansia juga
mendalami spiritualitas untuk menghadapi takdir seperti kematian yang secara pasti
akan dialaminya. Sehingga dari seluruh alasan itulah yang menyebabkan lansia
mengambil komitmen yang sungguh-sungguh terhadap aspek religiusitasnya.
Kesadaran diri lansia akan pentingnya spiritualitas meningkat di usia lanjut dan
hal ini juga didukung dengan komitmen religius baik secara intrapersonal maupun
interpersonal. Komitmen spiritual akan membentuk perilaku lansia dan kemudian
tercermin dari aktivitas-aktivitas lansia dalam konteks keagamaan. Penurunan tingkat
stres lansia membuat lansia tidak mudah mengalami depresi, bahkan rendahnya tingkat
stres juga berdampak pada tingkat depresi yang rendah. Hal ini nampak pada hasil
penelitian Mustiadi pada lansia di unit rehabilitasi sosial di Ungaran Semarang bahwa
terdapat hubungan signifikan antara aktivitas spiritual dengan tingkat depresi lansia
(p= 0,022) (Mustiadi, dalam Koerniawan 2018).
Hasil penelitian dari 82 responden yang dilakukan di Desa Ngargomulyo
Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang menunjukkan bahwa tingkat stres lansia di
Desa Ngargomulyo. Secara garis besar lansia memiliki tingkat stres yang rendah yaitu
74,4% dan tingkat Spiritualitas berada dalam katogeri baik yaitu sebesar 69,5%.
Karena seiring dengan perkembangan diri manusia semakin lama semakin tua maka
akan berusaha untuk meningkatkan spiritualitas secara individu. Mulai memperbaiki
diri dan mendekatkan pada tuhan. Mulai bergabung dengan kelom bersama anak dan
cucu tercinta dengan penuh kasih sayang. Akan tetapi, berbagai persoalan hidup yang
mendera lanjut usia sepanjang hayatnya seperti kemiskinan, kegagalan yang beruntun,

Psikologi Gerontik |Emosional Lansia 9


stress berkepanjangan, ataupun konflik dengan keluarga dan anak, atau kondisi lain
seperti tidak memiliki keturunan yang bisa merawatnya dan lain sebagainya (Ningrum,
2016).
Hasil penelitian memang menunjukkan sebagian besar lansia mengalami stress,
tetapi hanya sebatas stress ringan sehingga tidak menggangu aktifitas sehari-hari
lansia itu sendiri. Disini faktor spiritualitas sangat berperan dalam mengatasi masalah
yang dihadapi, melihat sebagian lansia memiliki spiritualitas yang tinggi maka sangat
mungkin lansia hanya mengalami stress dengan tingkat ringan karena sudah memiliki
pertahanan berupa mekanisme koping yang positif untuk menghadapi masalah yang
datang. Terkait tingkat stress yang dialami lansia selain pengaruh dari spiritualitas
yang dimiliki hal ini mungkin juga dipengaruhi oleh dukungan dari keluarga.
Spiritualitas dapat memberikan jawaban atas rangkaian peristiwa yang dialami
lansia dan dianggap dapat memberikan pemahaman bahwa kehidupan sungguh
berharga dan begitu juga dengan kematian. Spiritualitas juga memicu terjadinya
stimulasi munculnya perasaan optimis, keyakinan, dan harapan secara positif pada
banyak situasi bahkan kondisi yang sulit dan menakutkan (Langer, 2004; Moon &
Kim, 2013). Tingkat spiritualitas juga dapat memampukan lansia memiliki kontrol diri
yang baik sehingga dapat membentuk gaya hidup yang baik. Selain itu, komunitas
spiritual dapat menjadi sistem pendukung yang menyokong lansia ketika mengalami
masalah dan membutuhkan jalan keluar atau bantuan atas masalah yang dihadapinya
(Koerniawan, 2018).

Psikologi Gerontik |Emosional Lansia 10


2.4. Penyesuaian Diri pada Lansia dalam Menghadapi Proses Penuaan
2.4.1. Pengertian Penyesuaian Diri
Penyesuaian diri adalah usaha individu untuk mengubah dirinya sesuai dengan
keadaan lingkungannya dan mengubah lingkungannya sesuai dengan keinginannya.
Secara umum orang lanjut usia dalam meniti kehidupannya dapat dikategorikan
dalam dua macam sikap. Pertama, masa tua akan diterima dengan wajar melalui
kesadaran yang mendalam, sehingga yang kedua, manusia usia lanjut dalam
menyikapi hidupnya cenderung menolak datangnya masa tua, kelompok ini tidak mau
menerima realitas yang ada (Hurlock, 2004).
Proses penyesuaian diri akan terus dilakukan oleh manusia dari muda sampai
beranjak tua, dan masa tua akan terasa lebih sulit bagi lansia khususnya proses
penyesuaian diri sejalan dengan banyaknya perubahan yang mereka alami baik itu
fisik maupun psikisnya.
Perhatian perlu diberikan kepada para lansia agar dapat membantu mereka
dalam menerima dirinya dan keterbatasan-keterbatasan baik secara fisik, psikologi,
maupun secara sosial. Penerimaan diri yang baik dari lansia terhadap keadaan dirinya
dapat membantu lansia dalam menyesuaikan diri dan menjalani hidupnya.
Dengan penyesuaian diri yang baik lansia akan merasa aman dan nyaman dalam
lingkungan sosialnya. Lansia yang penyesuaian dirinya baik akan menikmati
semacam keharmonisan didalamnya, dalam arti dengan dirinya sendiri. Jadi dengan
kata lain dapat dikatakan bahwa penyesuaian diri yang baik akan menimbulkan
dampak yang positif bagi lansia baik bagi dirinya sendiri maupun lingkungan tempat
lansia berada (Hurlock, 2004).
Dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya, lansia membutuhkan
bekal dan kemampuan agar mereka dapat diterima di dalam lingkungan sosialnya,
dimana dia berada. Seorang lansia yang dapat menyesuaikan diri terhadap tugas
perkembangannya, cenderung menjadi lansia yang mudah bergaul, lebih mudah
menerima kekurangan dan kelebihan dirinya serta orang lain, lebih terbuka terhadap
orang lain serta mempunyai hubungan yang harmonis dengan orang dan lingkungan.
Penyesuaian diri yang buruk seperti lansia yang berada di panti jompo yang
mempunyai konsep diri yang kurang baik, mereka akan lebih mengalami kesulitan

Psikologi Gerontik |Emosional Lansia 11


karena menyesuaikan diri dengan berbagai macam suku, agama, dan ras di panti
jompo yang mereka tempati, serta sulit untuk menerima diri seutuh nya karena
kebanyakan lansia di panti jompo terlantar dan tidak terbiasa dengan lingkungan
seperti dulu saat masih memiliki pekerjaan dan fisik yang masih kuat, dan masih
memiliki keluarga ataupun pasangannya.

2.4.2. Unsur-unsur Penyesuaian Diri


1. Adaptation artinya penyesuaian diri dipandang sebagai adaptasi. Penyesuaian diri
dalam hal ini diartikan dalam konotasi fisik, misalnya untuk menghindari
ketidaknyamanan akibat cuaca yang tidak diharapkan, maka orang membuat
sesuatu untuk bernaung.
2. conformity artinya seseorang yang dikatakan mempunyai penyesuaian diri baik
bila memenuhi kriteria sosial dan hati nuraninya.
3. mastery artinya orang yang mempunyai penyesuaian diri baik mempunyai
kemampuan membuat rencana dan mengorganisasikan suatu respon diri sehingga
dapat menyusun dan menanggapi segala masalah dengan efisien.
4. individual variation artinya ada perbedaan individual pada perilaku dan
responsnya dalam menanggapi masalah (Schneiders, 2006).

2.4.3. Faktor-faktor Penyesuaian Diri


Menurut Hurlock 2004, ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyesuaian
diri, yaitu:
1. Penampilan nyata, bila perilaku social individu seperti yang dinilai berdasarkan
standar kelompoknya atau memenuhi harapan kelompok, ia akan menjadi anggota
yang diterima dalam kelompok.
2. Pergaulan, seseorang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap
lingkungannya, baik di dalam lingkungan sosial maupun masyarakat di anggap
sebagai orang yang dapat menyesuaikan diri.
3. Sikap sosial, seseorang harus menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap
perannya dalam kelompok sosial yang dianggap sebagai orang yang dapat
menyesuaikan diri dengan baik.

Psikologi Gerontik |Emosional Lansia 12


4. Kepuasan pribadi, untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik dengan lingkungan
sosial, individu harus puas terhadap kontak dan peran yang dimainkannya dalam
situasi sosial, baik sebagai pemimpin maupun sebagai anggota.

2.4.4. Aspek-aspek Penyesuaian Diri


Penyesuaian diri memiliki dua aspek (Mu’tadin, 2002), yaitu:
a. Penyesuaian Pribadi
Penyesuaian pribadi merupakan kemampuan individu untuk menerima
dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antar dirinya dengan
lingkungannya. Ia menyadari sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya, apa kelebihan
dan kekurangannya, serta mampu bertindak objektif sesuai kondisi yang
dialaminya. Keberhasilan penyesuaian pribadi ditandai dengan tidak adanya rasa
benci, lari dari kenyataan dan tanggung jawab, dongkol, kecewa, atau tidak
percaya pada kondisiUniversitas Sumatera Utara kondisi yang dialaminya.
Sebaliknya, kegagalan dalam penyesuaian pribadi ditandai dengan guncangan
emosi, kecemasan, ketidakpuasan dan keluhan terhadap nasib, yang disebabkan
adanya kesenjangan antara individu dengan tuntutan lingkungan.
b. Penyesuaian Sosial
Setiap individu hidup di dalam masyarakat, di dalam masyarakat terjadi
proses saling mempengaruhi. Proses tersebut timbul suatu pola kebudayaan dan
tingkah laku sesuai dengan sejumlah aturan, hukum, adat dan nilai-nilai yang
mereka patuhi demi mencapai penyelesaian bagi persoalan hidup sehari-hari.
Dalam bidang ilmu Psikologi Sosial, proses ini dikenal dengan proses
penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial
tempat individu berinteraksi dengan orang lain.

Psikologi Gerontik |Emosional Lansia 13


2.5. Perasaan Kesepian pada Lansia
Dalam waktu hampir lima dekade, persentase lansia Indonesia meningkat sekitar dua
kali lipat (1971-2017), yakni menjadi 8,97 persen (23,4 juta) di mana lansia perempuan
sekitar satu persen lebih banyak dibandingkan lansia laki-laki (9,47 persen banding 8,48
persen). Selain itu, lansia Indonesia didominasi oleh kelompok umur 60-69 tahun (lansia
muda) yang persentasenya mencapai 5,65 persen dari penduduk Indonesia, sisanya diisi oleh
kelompok umur 70-79 tahun (lansia madya) dan 80+ (lansia tua). Pada tahun ini sudah ada
lima provinsi yang memiliki struktur penduduk tua di mana penduduk lansianya sudah
mencapai 10 persen, yaitu : DI Yogyakarta (13,90 persen), Jawa Tengah (12,46 persen),
Jawa Timur (12,16 persen), Bali (10,79 persen) dan Sulawesi Barat (10,37 persen). (BPS,
2017).
Pada perkembangan lanjut usia, manusia akan mengalami proses degeneratif atau
kemunduran baik secara fisik maupun psikologis. Proses degenaratif ini, tentu akan
membuat lansia sedikit banyak mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari,
dan kemudian menarik dirinya dari lingkungan sosial. (Nuraini, 2018).
Masalah psikologis yang paling banyak terjadi pada lansia adalah kesepian, kesepian
merupakan situasi dan kondisi yang sering mengancam kesejahteraan psikologis pada lansia,
terlebih lagi ketika lansia hidup berjauhan atau terpisah dari keluarganya, kehilangan
pasangan hidup, kehilangan anggota keluarga, kehilangan kerabat dan teman sebaya, dan
ketidakberdayaan untuk hidup mandiri dan indepeden. Lansia yang mengalami kesepian
akan merasa bosan dengan hidupnya, merasa tidak berharga dan merasa tidak dicintai
(Nuraini, 2018).
Kesepian merupakan perasaan dimana seseorang merasa tersishkan, terkucilkan dari
kelompok atau lingkungan sosial, merasa tidak diperhatikan, terisolasi, serta tidak ada
seseorang untuk dibagi rasa dan pengalaman, seseorang yang merasa kesepian akan
menimbulkan rasa ketidakberdayaan, kurang percaya diri, ketergantungan, dan
keterlantaran. (Nuraini, 2018).
Kesepian yang dialami lansia ini, menyebabkan berbagai konsekuensi terhadap keadaan
psikologis, kesehatan, dan perilaku lansia, seperti, depresi, keinginan bunuh diri, penurunan
sistem kekebalan tubuh, dan gangguan tidur. (Nuraini, 2018).

Psikologi Gerontik |Emosional Lansia 14


Menurut Santrock (2003) interaksi sosial sangat berperan penting dalam kehidupan
sosial lansia, hal ini akan dapat mentoleransi rasa kesepian yang ada pada lansia. Interaksi
sosial yang baik akan dapat memperbaiki perasaan pada lansia, memungkinkan untuk
berbagi cerita, berbagi pengalaman, berbagi perhatian, sehingga membuat perasaan lebih
baik. (Nuraini, 2018).
Perasaan kesepian juga dapat dialami oleh lansia yang mempunyai interaksi sosial yang
baik, hal ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya karena lansia kehilangan pasangan,
tidak memiliki pasangan seksual, berpisah dengan pasangan, merasa tidak mengerti, merasa
berbeda sama, tidak dibutuhkan, dan tidak memiliki teman dekat, pulang ke rumah tanpa
ada sambutan, selalu sendiri, dan jauh dari lingkungan sosial tempat dia tinggal. (Nuraini,
2018).
Pada umumnya permasalahan yang terjadi pada lansia adalah kesepian, diantara
beberapa penyebabnya adalah:
1. Longgarnya kegiatan dalam mengasuh anak-anak karena anak-anak sudah dewasa dan
bersekolah tinggi sehingga tidak memerlukan penanganan yang terlampau rumit.
2. Berkurangnya teman/relasi akibat kurangnya aktivitas di luar rumah.
3. Berkurangnya aktivitas sehingga waktu luang bertambah banyak.
4. Meninggalnya pasangan hidup.
5. Anak-anak yang meninggalkan rumah karena menempuh pendidikan yang lebih tinggi
atau untuk bekerja.
6. Anak-anak telah dewasa dan membentuk keluarga sendiri. Beberapa masalah tersebut
akan menimbulkan rasa kesepian lebih cepat bagi orang lansia. (Putra, 2012).
Dari hasil penelitian yang dilakukan Maemida dan Tatemichi (2003) menunjukkan
bahwa jenis kelamin mempengaruhi tingkat kesepian, penelitian ini menunjukkan bahwa
laki-laki lebih rentan untuk merasakan kesepian dari pada perempuan, status perkawinan
juga mempengaruhi perasaan kesepian pada seseorang, seseorang yang dalam status
janda/duda lebih mempunyai kecenderungan untuk merasakan kesepian, dibandingkan
seseorang yang sedang dalam status perkawinan. (Putra, 2012).
Terapi kelompok adalah sebuah tritmen yang dilakukan dengan cara menyertakan
beberapa orang dalam sebuah kelompok kecil yang kemudian didampingi oleh satu terapis
atau lebih yang terlatih dalam terapi kelompok, desain terapi ini dapat meningkatkan

Psikologi Gerontik |Emosional Lansia 15


kemampuan psikologis dan memperbaiki permasalahan-permasalahan psikologis dengan
cara pendekatan kognitif, dan afektif yang dieksplorasi dari inferaksi antar anggota
kelompok dan terapis.

Psikologi Gerontik |Emosional Lansia 16


2.6. Motivasi pada Lansia yang Mengalami Sakit Fisik
Pada fase lanjut usia, individu akan mengalami penurunan kualitas fisik. Hal ini tentu
membuat individu menjadi lebih mudah terserang penyakit. Penyakit yang dialami individu
dalam proses penuaan tentu mengganggu aktivitas sehari-hari dari individu itu sendiri.
Penurunan fungsi fisik yang dialami lansia, disebabkan oleh banyak hal. Diantaranya adalah
kondisi emosional buruk, atau afek negatif. Kondisi emosional yang buruk akan
mempengaruhi berbagai kelenjar dalam tubuh, yang akhirnya berpengaruh kepada kondisi
fisik yang menurun sehingga rentan terserang berbagai penyakit. Namun sebaliknya, kondisi
emosional positif juga mampu membantu individu lanjut usia memiliki kualitas fisik yang
baik (Kinasih, 2012).
Dalam penurunan fungsi fisik tersebut, apalagi disertai dengan adanya penyakit, tentu
membutuhkan proses penyembuhan bagi lansia agar tetap mampu menjalani fungsi
kehidupan dengan baik. Namun, dalam hal ini akan dibahas bagaimana pengaruh motivasi
pada lansia yang mengalami sakit fisik untuk mengembalikan fungsi fisiknya. Dengan kata
lain, sejauh mana pengaruh kondisi emosional dalam memperbaiki dan menyeimbangkan
fungsi fisik pada lansia (Kinasih, 2012).
Pemulihan pada lansia yang mengalami sakit fisik tentu juga membutuhkan
pendampingan dan perawatan dari dokter atau ahli medis lainnya. Namun, selain itu kondisi
emosional positif yang senantiasa dan sengaja dimunculkan juga memberikan dampak yang
luar biasa pada kondisi kesehatan fisik lansia yang menurun. Salah satunya adalah motivasi.
Motivasi atau dorongan adalah suatu perasaan positif pada diri individu untuk terus terdorong
dalam melakukan suatu kegiatan atau aktivitas tertentu. Dalam hal ini, motivasi bisa
dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal (Kinasih, 2012).
Motivasi atau dorongan positif yang dirasakan lansia dalam menghadapi sakit fisik
yang dialaminya bisa datang dari berbagai pihak. Menurut Maryam dalam Kinasih (2012)
motivasi adalah upaya untuk menimbulkan rangsangan, dorongan, ataupun pembangkit
tenaga seseorang agar mau berbuat atau melaksanakan sesuatu atau memperlihatkan perilaku
tertentu yang telah direncanakan untuk mencapai tujuan. Jenis motivasi menurut Sardiman
dalam Kinasih (2012) adalah motivasi intrinsik yakni motif - motif yang menjadi aktif atau
berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada
dorongan untuk melakukan sesuatu. dan motivasi ekstrinsik motif-motif yang aktif dan

Psikologi Gerontik |Emosional Lansia 17


berfungsinya karena adanya perangsang dari luar yaitu pengaruh dari orang lain atau
lingkungan. Faktor - faktor yang mempengaruhi motivasi dalam Kinasih (2012) antara lain
faktor internal, yaitu: jenis kelamin, sifat fisik, sifat kepribadian, intelegensia, sikap, harapan,
umur dan kematangan, sedangkan faktor eksternal: lingkungan, pendidikan, fasilitas, situasi
dan kondisi, sosial ekonomi, agama dan kepercayaan, serta dukungan keluarga. Motivasi
yang didapatkan lansia tersebut mampu memperbaiki kondisi fisik dari lansia itu sendiri. Hal
ini dibuktikan dengan beberapa penelitian terdahulu.
Yang pertama, yang dilakukan oleh Kinasih dkk (2012). Penelitiannya mencari tahu
seberapa besar pengaruh pendampingan pada pasien lansia yang mengalami sakit secara fisik
dalam menumbuhkan motivasi pada lansia untuk segera sembuh. Berdasarkan dari hasil
penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden mempunyai motivasi kesembuhan kuat.
Dari total 80 subjek, sebanyak 90% atau sekitar 72 subjek memiliki motivasi atau dorongan
untuk sehat yang baik. Hal ini dapat dipengaruhi oleh dorongan dalam diri setiap individu
untuk segera sembuh dan juga kemungkinan karena adanya dukungan ekstrinsik yakni dari
setiap petugas kesehatan yang terlibat dalam pengobatan ataupun perawatan pasien yaitu
dokter, perawat dan petugas rohani serta adanya dukungan keluarga seperti selalu menemani
selama perawatan, dukungan dalam pembiayaan dan memberikan perhatian dalam
pengobatan yang dianjurkan dokter sehingga menimbulkan motivasi yang kuat untuk segera
sembuh. Kemungkinan lain yang menjelaskan mengapa pasien lanjut usia mempunyai
motivasi kesembuhan yang kuat adalah usia dimana paling banyak usia responden pasien
lanjut usia adalah 60 tahun. Pada usia ini pasien lanjut usia masih mampu bekerja dan
memiliki semangat hidup lebih tinggi sehingga masih mempunyai motivasi yang kuat dalam
melakukan sesuatu. Hanya sebagian kecil responden yang mempunyai motivasi kesembuhan
sedang yaitu 8 responden, kemungkinan hal ini disebabkan oleh kurangnya kasih sayang dan
dukungan dari keluarga serta kemungkinan dari diri pasien sendiri yang sudah tidak
mempunyai motivasi untuk sembuh dikarenakan penyakit yang diderita sudah terlalu lama
dan tidak kunjung sembuh-sembuh.
Penelitian ini menunjukkan bahwa motivasi pada lansia menimbulkan dampak positif
pada kondisi fisik lansia. Dan motivasi pada lansia dapat dimunculkan sebagai pengaruh dari
lingkungan keluarga, lingkungan pengobatan maupun orang terdekat dari lansia itu sendiri.
Dari penelitian ini terbukti bahwa motivasi, atau emosi positif pada lansia mampu

Psikologi Gerontik |Emosional Lansia 18


memberikan dampak positif pula pada diri lansia. Tidak hanya dalam hal fisik atau
kesembuhan fisik, tapi tentu saja mendukung kondisi psikologis yang baik pula. Dengan
begitu, kondisi emosi positif yang baik (dalam kasus ini motivasi yang positif) mampu
memunculkan keseimbangan positif pula pada kondisi fisik dan psikologis lansia.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Wulandhani dkk (2014) mengenai pengaruh
dukungan keluarga terhadap motivasi lansia penderita hipertensi untuk memeriksakan
darahnya. Seperti diketahui bahwa hipertensi adalah penyakit yang cukup tinggi resikonya
bagi lansia dan merupakan penyakit dengan resiko kematian yang tinggi pula. Dari 10 subjek
lansia yang diwawancarai, menunjukkan adanya pengaruh dukungan keluarga terhadap
motivasi lansia itu sendiri untuk memeriksakan kondisi kesehatannya.
Observasi awal mengambil data wawancara. Dimana, empat dari 10 lansia mengatakan
mendapatkan dukungan berupa keluarga memberitahukan informasi tentang pentingnya
memeriksakan tekanan darah pada lansia, keluarga menemani lansia untuk memeriksakan
tekanan darahnya ke pelayanan kesehatan, keluarga mengingatkan jadwal pemeriksaan
tekanan darah, serta keluarga memberikan semangat kepada lansia untuk tetap menjaga
kesehatan lansia hipertensi sedangkan 6 lansia mengatakan keluarga tidak memberikan
informasi pentingnya memeriksakan tekanan darah pada lansia, lansia mengunjungi
pelayanan kesehatan tanpa pendampingan keluarga, keluarga tidak mengingatkan lansia
untuk memeriksakan tekanan darah, serta lansia mengatakan tidak perlu memeriksakan
tekanan darah ketika gejala hipertensi tidak dirasakan (Wulandhani, 2014).
Kemudian data tersebut dilanjutkan dengan proses penelitian menggunakan kuisioner.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 91 orang responden diperoleh bahwa
responden lansia hipertensi dengan dukungan keluarga yang positif lebih banyak
dibandingkan dengan responden lansia hipertensi dengan dukungan keluarga yang negatif.
Lansia dengan dukungan keluarga yang positif sebanyak 50 responden (54,9%). Kehadiran
orang lain di dalam kehidupan pribadi seseorang begitu sangat diperlukan. Hal ini terjadi
karena seseorang tidak mungkin memenuhi kebutuhan fisik maupun psikologisnya sendirian.
Individu membutuhkan dukungan sosial yang dimana salah satunya berasal dari keluarga.
Dukungan keluarga dapat diwujudkan dengan memberikan perhatian, bersikap empati,
memberikan dorongan, memberikan saran, memberikan pengetahuan dan sebagainya.
Dukungan keluarga berkaitan dengan pembentukan keseimbangan mental dan kepuasan

Psikologi Gerontik |Emosional Lansia 19


psikologis. Anggota keluarga yang memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu
siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Dari hasil penelitian ini
didapatkan bahwa responden mendapatkan dukungan instrumental yang tinggi dari keluarga
(Wulandhani, 2014).
Dari data awal tersebut, kemudian di analisis lagi kedalam konteks “bagaimana
gambaran motivasi lansia itu sendiri, setelah dilihat dari dukungan keluarga yang
bersangkutan”. Tenyata, hasil dari penelitian yang dilakukan terhadap 91 orang responden
diperoleh bahwa responden lansia hipertensi dengan motivasi yang tinggi lebih banyak
dibandingkan dengan responden lansia hipertensi dengan motivasi yang rendah. Lansia
hipertensi dengan motivasi yang tinggi sebanyak 49 orang responden (53,8%). Dan seluruh
dari lansia yang memiliki motivasi positif tersebut berasal dari data lansia yang memiliki
dukungan keluarga yang baik (Wulandhani, 2014).
Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa dukungan keluarga memiliki
pengaruh yang baik bagi motivasi atau emosi positif pada lansia. Dimana, emosi positif
tersebut berkaitan dengan kesadaran, kebutuhan lansia akan kondisi kesehatan fisik yang baik
dan optimal. Dikaitkan dengan penelitian sebelumnya, yang mengungkapkan bahwa motivasi
pada lansia mempengaruhi kondisi fisik lansia yang semakin membaik. Dari dua penelitian
ini, dapat ditarik benang merah bahwa kondisi emosi positif pada lansia mampu memberikan
dampak positif bagi kehidupan lansia, baik fisik maupun psikologis. Lalu, motivasi pada
lansia sendiri dipengaruhi oleh dukungan dari orang orang disekitarnya. Terutama
lingkungan keluarganya.
Emosi positif yang diberikan keluarga kepada lansia, mampu memberikan dampak
yang positif pula bagi emosional lansia. Yaitu salah satunya berupa motivasi. Motivasi yang
dimiliki lansia, berpengaruh pula pada berbagai kondisi lansia yang terus mengalami
penurunan fungsi tadi. Artinya, setiap emosi positif yang diberikan oleh orang terdekat lansia
mampu memberikan emosi positif pada lansia yang memberi dampak positif pada kondisi
fisik dan psikologis lansia itu sendiri. Dengan kata lain, emosi positif akan mampu ditularkan
dan mampu memberikan dampak positif bagi kehidupan lansia secara keseluruhan.

Psikologi Gerontik |Emosional Lansia 20


2.7. Persiapan Kematian pada Lansia
Manusia akan mengalami perubahan melalui tahap – tahap perkembangan seiring
dengan berjalannya waktu. Hurlock (2001) menyebutkan tahap perkembangan tersebut
meliputi periode prenatal, bayi, masa dewasa awal, dewasa madya, dan lanjut usia.
Apabila manusia dapat melewati tahap – tahap perkembangan tersebut secara benar dan tepat
maka seseorang tersebut dapat dikatakan telah berhasil dan mampu melaksanakan tahap
perkembangannya.
Papalia (2008) menyebutkan bahwa ketika seseorang menjadi semakin tua, mereka
cenderung mengalami atau berpotensi mengalami masalah kesehatan. Hal tersebut ditandai
dengan penglihatan yang mulai rabun, pendengaran mulai terganggu (budeg), selain itu juga
penyakit – penyakit fisik mulai bermuculan seperti diabetes, darah tinggi, osteoporosis, asam
urat, dan lain – lain.Seiring dengan berkembangnya Indonesia sebagai salah satu negara
dengan tingkat perkembangan yang cukup baik, maka tinggi pula harapan hidup
penduduknya (Tamher & Noorkasiani, 2009).
Semakin tingginya harapan hidup di suatu negara dapat menunjang segala bidang aspek
sosial maupun aspek yang lainnya, selain itu juga dengan tingginya angka harapan hidup
suatu negara maka negara tersebut dapat dikatakan negara maju. Oleh karena itu penting bagi
negara untuk memiliki angka harapan hidup tinggi karena hal tersebut membuktikan bahwa
sumber daya manusia di negara tersebut memiliki kualitas yang baik.
Ada empat macam makna yang mengenai “usia tua”, yaitu (Suyanta, Ekowarni,
2012) :
1. Usia tua merupakan usia yang sudah mendekati kematian.
2. Orang yang sudah memasuki usia tua akan banyak mengalami sakit.
3. Orang yang sudah memasuki usia tua harus sabar dan mendekati agama.
4. Orang yang sudah memasuki usia tua harus bisa menerima keadaan.
Dari keempat makna usia tua tersebut dapat diketahui bahwa masa tua adalah masa
dimana lansia harus mempersiapkan dirinya untuk masa kematian dengan cara mendekatkan
diri kepada Allah SWT dengan berzikir, bershalawat, mengaji dan mengikuti pengajian.
Dengan demikian lansia akan merasa lebih siap untuk menghadapi kematian karena lansia
merasa telah memiliki bekal yang cukup, kegiatan tersebut dilakukan secara terus menerus

Psikologi Gerontik |Emosional Lansia 21


agar mendapatkan ketenangan yang lebih baik. Selain itu juga lansia yang telah siap
menghadapi kematian dia telah mempersiapkan kematian itu sendiri sejak awal.
Mengacu pada skema emosi Greenberg (2002) maka fakta perasaan atau emosi
yang dialami bersamaan dengan pikiran-pikiran yang ada akan membentuk pengalaman
emosi subjek. Hal tersebut juga dibenarkan Kupers (2001) bahwa keberadaan emosi bisa
menggiring individu mencapai hasil positif dalam kehidupan, antara lain meningkatnya
kreativitas dan optimisme, atau sebaliknya (Suyanta, Ekowarni, 2012).
Dengan demikian apabila lansia telah mempersiapkan masa kematian dengan baik
maka lansia tersebut akan memiliki emosi yang positif dikarenakan lansia akan merasa lebih
tenang dengan bekal yang telah cukup, dimana anak – anaknya telah memiliki kehidupan
yang baik serta pasangannya yang senantiasa terus menemaninya. Selain itu juga lansia yang
memiliki emosi yang negatif akibat adanya penyakit fisik yang dialaminya selain itu juga
pasangan yang telah lama meninggalkannya akan menyebabkan lansia merasa cemas dan
khawatir.
Populasi lansia menurut data yang dikeluarkan oleh Perserikatan BangsaBangsa
(PBB), melalui lembaga kependudukan dunia United Nation Population Fund Asian
(UNFPA), jumlah lansia tahun 2009 telah mencapai jumlah 737 juta jiwa dan sekitar
dua pertiga dari jumlah lansia tersebut tinggal di Negara-negara berkembang, termasuk
Indonesia (Ulfah, 2009). Di proyeksikan pada tahun 2020 populasi lansia di Indonesia
meningkat 7,2% yang hampir sepadan dengan proporsi lansia di negara-negara maju
saat ini (Tamher & Noorkasiani, 2009).
Proses menua didalam perjalanan hidup manusia merupakan suatu peristiwa yang
akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai umur panjang dan berlangsung secara
terus menerus (Nugroho, 2008). Sehingga manusia yang memiliki umur panjang akan
melewati masa tua dengan beragam permasalahan baik secara fisik, psikis, maupun secara
emosional. Permasalahan yang muncul dimasa tua akibat perilaku seseorang dimasa muda.
Secara fisiologis lansia akan mengalami penurunan kondisi fisik/biologis, kondisi
psikologis, serta perubahan kondisi sosial. Salah satu ciri fase ini, biasanya usia lanjut
merenungkan hakikat hidupnya dengan lebih intensif serta mencoba mendekatkan
dirinya pada Tuhan, dimana adanya dorongan untuk bisa hidup lebih lama yang di
latarbelakangi oleh empat macam alasan, yaitu (Suyanta, Ekowarni. 2012):

Psikologi Gerontik |Emosional Lansia 22


1. Keinginan untuk bisa melihat anak cucu tumbuh dan berkembang.
2. Pikiran bahwa anak-anaknya masih butuh pendampingan.
3. Keinginan untuk tetap aktif dan bekerja guna mencukupi kebutuhan.
4. Merasa amal baiknya masih kurang.
Keempat alasan tersebut memberikan spirit subjek untuk terus berupaya mencari
kesembuhan, hal tersebut juga didukung oleh keyakinan mereka akan kekuasaan Allah
SWT, Hal tersebut dilakukan lansia karena untuk mendapatkan ketenangan hati, biasanya
lansia yang mendekatkan diri kepada Allah SWT lansia merasa dirinya pada masa lalu
banyak mengalami permasalahan dan masih adanya kecemasan dalam dirinya.
Penelitian Adelina (2007) tentang hubungan kecerdasan ruhaniah dengan kesiapan
menghadapi kematian pada lansia menunjukkan bahwa lansia yang memiliki kecerdasan
ruhaniah yang tinggi menghadapi kematiannya dengan menghargai waktu yang dimiliki
dan mengisi kegiatan yang bermanfaat bagi diri sendiri, orang lain dan alam (Harapan,
Sabrian, dan Utomo. 2014).
Lansia yang memiliki tingkat spirualitas yang tinggi akan lebih siap dalam menghadapi
kematian dikarenakan, lansia merasa telah memiliki bekal untuk dunia setelah kehidupan.
Dimana lansia yang telah siap menghadapi kematian dikeranakan lansia telah selesai
melakukan segala tujuan – tujuan yang akan dicapainya di masa mereka saat masih muda.
Persepsi menurut Fieldman (1999) adalah proses konstruktif yang mana kita menerima
stimulus yang ada dan berusaha memahami situasi. Hasil studi ini menemukan bahwa
lansia yang menerima dirinya dengan positif siap dalam menghadapi kematian. Hal ini
didukung oleh Hurlock (2007) ciri-ciri lansia yang siap menghadapi kematian adalah
menerima keadaan dirinya yang berbeda dari masa sebelumnya (Harapan, Sabrian, dan
Utomo. 2014).
Menurut Zohar dan Marshall (2005) ketakutan akan kematian timbul karena tidak
adanya perpesktif, ketidakmampuan seseorang menempatkan kematian kedalam suatu
kerangka makna dan nilai yang lebih luas, selain itu gagal dalam memahami dan
menghargai kehidupan(Harapan, Sabrian, dan Utomo. 2014).
Dimana lansia yang siap dalam menerima kematian adalah lansia yang telah berhasil
mencapai segala tujuannya, dan lansia tersebut akan merasa bahwa dirinya akan lebih siap
untuk menghadapi kematian bersama pasangannya maupun keluarganya. Selain itu juga

Psikologi Gerontik |Emosional Lansia 23


lansia yang bisa menerima kematian adalah lansia yang dapat menerima keadaan dirinya saat
ini dan terus menerus memperbaiki dirinya dengan cara mendekatkan dirinya dengan Allah
SWT.
Ross (1969) membagi perilaku dan proses berpikir seseorang menjelang kematian
menjadi lima fase yaitu : Penolakan dan asosiasi (denial and disolation), merupakan
hasil pertama dimana orang menolak bahwa kematian benar-benar ada. Kemarahan
(anger), dimana orang yang menjelang kematian menyadari bahwa penolakan tidak dapat
lagi dipertahankan. Tawar-menawar (bargaining),dimana seseorang mengembangkan
harapan bahwa kematian sewaktu-waktu dapat ditunda atau diundur. Depresi
(depression),dimana orang yang sekarat akhirnya menerima kematian. penerimaan
(acceptance), dimana seseorang mengembangkan rasa damai, menerima takdir, dan dalam
beberapa hal ingin ditinggal sendiri (Ermawati, 2013).
Pasrah dimaknai oleh mereka sebagai penerimaan diri atas kehendak Allah SWT,
namun tidak berarti diam. Wujud kepasrahan tersebut oleh lansia dinyatakan dengan
cara berdo’a, mengaji, dzikir, istighfar, dan sholawat. Hal tersebut dilakukan lansia untuk
mendapatkan ketenangan hati dan lebih siap untuk menghadapi kematian di kemudian hari.
Corr, Nabe & Corr (2003) mengemukakan sikap yang berkaitan dengan kematian
dapat berfokus pada hal – hal antara lain: (a) sikap tentang diri individu pada saat sekarat
yaitu merefleksikan ketakutan dan kecemasan tentang kemungkinan mengalami proses
kematian yang panjang, sulit atau sakit, (b) sikap tentang kematian diri yaitu berfokus
kepada apa makna kematian bagi diri individu, (c) sikap tentang apa yang akan terjadi pada
diri setelah kematian yaitu berfokus pada apa yang akan terjadi pada diri individu sesudah
kematian, dan (d) sikap yang berkaitan dengan kematian atau rasa kehilangan orang yang
dicintai yaitu berfokus pada bagaimana individu memandang kematia orang yang dicintai
(Ermawati, 2013)
Lansia yang memiliki sikap bahwasannya yang ada dunia ini akan kembali lagi
kebapada yang Maha Kuasa, maka lansia tersebut telah memiliki bekal yang cukup untuk
menghadapi kematiannya. Karena dia telah mempersiapkan dari jauh – jauh hari dengan cara
membuat perencanaan untuk bekal dimasa tuanya, sehingga lansia tidak akan merasa cemas
untuk menghadapi kematian.

Psikologi Gerontik |Emosional Lansia 24


Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa persiapan kematian pada lansia, dimana
lansia harus memiliki persiapan yang matang. Baik secara psikis maupun spiritual
dikarenakan lansia dituntut harus memiliki emosional yang matang dalam menghadapi
kematian itu sendiri, persiapan yang harus dilakukan oleh lansia untuk menghadapi kematian
itu sendiri dapat dilakukan dengan cara lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT dan
melakukan segala amal kebajikan.

2.7.1. Studi Kasus


L adalah seorang pria berusia 60 tahun dengan tiga orang anak. L
memiliki usaha kelontong di rumahnya. Sehari-hari Ia habiskan untuk mengurus
usahanya bersama dengan istrinya. Ketiga anak L bekerja dan tinggal diluar kota. L
rajin beribadah, Ia cukup aktif dan masih menjabat sebagai sekretaris wilayah di
gerejanya. Saat ini L sering merasakan sakit pada tubuhnya, seperti sakit pada otot
dan persendian, Ia juga merasa mudah lelah saat sedang melayani pembeli di tokonya.
L jarang melakukan aktivitas-aktivitas ringan karena Ia merasa harus bekerja
keras dan menabung untuk masa tuanya dan masa depan anak-anaknya.
Bagi L, kematian adalah takdir, dan akan dialami oleh semua mahluk
hidup di bumi tanpa terkecuali. L mengatakan bahwa kematian tidak dapat
dihindari, dan Ia merasa harus mempersiapkan diri jika saatnya tiba. Caranya
mempersiapkan diri adalah dengan rajin beribadah, mendekatkan diri kepada
Tuhan, rajin beramal, dan tak lupa menabung sedikit demi sedikit untuk masa
depan anak-anaknya kelak. L yakin bahwa jika rajin beramal, berbuat baik, dan rajin
beribadah maka Ia akan memiliki kehidupan yang lebih baik setelah mati. L juga
mengatakan Ia menjadi sedih dan takut saat terkadang terpikir bagaimana jika
istrinya yang meninggal terlebih dahulu, maka Ia akan sendirian dan tidak ada
teman untuk berbagi lagi. L juga merasa cemas dikarenakan dirinya tidak
memiliki asuransi kesehatan, Ia merasa kuatir jika Ia atau istrinya sakit, tidak ada
biaya yang cukup untuk berobat. L tidak mau membebani anak-anaknya
meskipun setiap bulan anak-anaknya rutin mengirimkan uang bagi kedua orang
tuanya.

Psikologi Gerontik |Emosional Lansia 25


2.8. Sense of Humor pada Lansia
2.8.1. Pengertian Sense of Humor
Thorson dan Powell (1997) dalam (Puspita 2015) menyatakan bahwa sense of
humor adalah multidimensi dan di dalamnya termasuk kemampuan untuk membuat
humor, mengenali humor, mengapresiasikan humor, menggunakan humor sebagai
mekanisme coping dan untuk mencapai tujuan sosial.
Sense of humor adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan humor sebagai
cara menyelesaikan masalah, keterampilan untuk menciptakan humor, kemampuan
menghargai dan menanggapi humor, serta menanggapi orang-orang yang humoris
(Permana, 2009). Sense of humor atau yang biasa disebut dengan kepekaan humor,
menurut Meredith merupakan kemampuan untuk menertawakan semua hal termasuk
dirinya sendiri dan tetap mencintai dan menyukainya (Fitriani & Hidayat, 2012).
Berdasarkan uraian diatas peneliti menyimpulkan bahwa sense of humor adalah
kemampuan humor seseorang untuk mengubah keadaan menjadi lebih menyenangkan
dan bisa memandang kejadian buruk dengan pemikiran positif.

2.8.2. Aspek Sense of Humor


Dalam Puspita (2015) terdapat empat aspek penting sense of humor, yang terdiri dari:
1. Humor production
Kemampuan untuk menemukan sesuatu yang membuat seseorang tertawa ataupun
tersenyum dan menimbulkan kesenangan pada setiap peristiwa dan berhubungan
dengan perasaan diterima oleh lingkungan.
2. Coping with humor
Bagaimana individu menggunakan sesuatu yang membuat seseorang tertawa
ataupun tersenyum dan menimbulkan kesenangan untuk mengatasi emosional dan
stuasi yang stres pada individu.
3. Humor appreciation
Kemampuan untuk mengapresiasikan sesuatu yang membuat seseorang tertawa
ataupun tersenyum dan menimbulkan kesenangan yang dihubungkan dengan
internal locus of control seseorang.
4. Attitude toward humor
Kecenderungan untuk tersenyum atau tertawa pada setiap situasi yang lucu.
Psikologi Gerontik |Emosional Lansia 26
Seseorang yang memiliki sense of humor dapat berinteraksi dengan baik daripada
orang yang kurang memiliki sense of humor, mereka yang mempunyai sense of humor
yang tinggi cenderung lebih imaginatif dan fleksibel, lebih terbuka untuk menerima
saran orang lain dan lebih dapat didekati. Sense of humor juga berkorelasi secara
positif dengan karakteristik kepribadian yang antusias, suka permainan,
,menggembirakan dan teguh, berkorelasi negatif dengan ketakutan, depresi, marah,
tidak peduli, dan sikap menunggu (Hartanti, 2008).

2.8.3. Fungsi Humor


Humor berperan dalam kehidupan sehari-hari, ini dapat dilihat dari fungsi yang
diberikan humor. Fungsi humor dibagi menjadi empat, yaitu :
1. Fungsi Fisiologis
Humor ataupun bermain dapat menfalihkan susunan kimiawi internal seseorang
dan mempunyai akibat yang sangat besar terhadap tubuh seseorang termasuk
sistem saraf, peredaran darah, endokrin dan sistem kekebalan. Humor juga
berfungsi sebagai sarana untuk menjaga kesehatan.
2. Fungsi Psikologis
Humor berfungsi sebagai penstabilitas rasa kesepian, emosi, dan relaksasi, karena
manusia mencari kesenangan, dan kesenangan dapat menurunkan ketegangan.
3. Fungsi Intelektual
Humor berfungsi meningkatkan intelektualitas dan emosional.
4. Fungsi Sosial
Humor dapat berfungsi sebagai kritik sosial. Humor tidak saja digunakan untuk
mengikat seseorang atau kelompok yang disukai tetapi juga dapat menjauhkan
seseorang dari orang atau kelompok yang tidak disukai (Japarudin, 2017).

2.8.4. Keterkaitan Sense of Humor dengan Kebahagiaan Lansia


Ketika lansia dapat meraih tahapan terakhir dalam kehidupan yaitu integritas
diri, dimana lansia dapat mengevaluasi dan menerima kehidupan mereka tanpa
mempermasalahkan “apa yang seharusnya dilakukan” dan “apa yang seharusnya
terjadi” sehingga mereka dapat menerima ketidaksempurnaan pada diri sendiri dan
kehidupannya, maka lansia tersebut dapat dikatakan telah meraih kebahagiaan.

Psikologi Gerontik |Emosional Lansia 27


Ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang lansia untuk tetap bisa berguna
di masa tuanya yaitu kemampuan menyesuaikan diri dan menerima segala perubahan
dan kemunduran yang dialami, adanya penghargaan dan perlakuan yang wajar dari
lingkungan lansia tersebut, lingkungan yang menghargai hak-hak lansia serta
memahami kebutuhan dan kondis psikologis lansia serta tersedianya media atau
sarana bagi lansia untuk mengaktualisasikan potensi dan kemampuan yang dimiliki.
Lingkungan dapat menjadi sumber stres yang mendukung atau menekan bagi
seseorang sehingga mempengaruhi proses interaksi sosial seseorang. Sebagai suatu
fenomena sosial, humor dan tawa memainkan peranan penting dalam komunikasi
interpersonal, sementara sense of humor atau kepekaan terhadap humor dapat menjadi
komponen penting dalam kompetensi sosial (Martin, 2001).
Individu yang memiliki sense of humor yang tinggi diketahui dapat lebih baik
menggunakan coping stress, menjalin hubungan dengan orang disekitarnya, dan
memiliki mental dan fisik yang lebih sehat. Membuat atau mendengarkan humor yang
dapat menimbulkan tawa cenderung di kaitkan dengan aspek kebahagiaan. Ketika
lansia dapat mengatasi perasaan stresnya dengan baik, maka perasaan sedih atau
kecewa yang mungkin timbul akan berkurang, sehingga lansia akan memiliki
kebahagiaan dalam hidupnya.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Puspita dan Rangkuti (2015), dengan
partisipan sebanyak 195 orang lansia berusia 60-85 tahun dengan menggunakan
teknik purposive sampling, yang mengikuti kegiatan seperti perkumpulan arisan
pensiunan, klinik kesehatan, pengajian komplek dan komunitas lansia di gereja.
Penelitian ini menggunakan 2 alat ukur yaitu skala sense of humor dan skala
kebahagiaan. Pengambilan data dilakukan di kota Medan.
Hasil menunjukkan bahwa orang yang memiliki sense of humor terlihat selalu
gembira, mampu membangkitkan emosi positif, dan lebih ceria. Sense of humor
memberikan sumbangan sebesar 38,8% terhadap komponen kognitif. Seseorang yang
memiliki sense of humor lebih imaginative dan fleksibel lebih terbuka untuk
menerima saran orang lain. Sense of humor memberikan sumbangan sebesar 33,7%
terhadap komponen afektif. Sense of humor berkorelasi secara positif dengan rasa
gembira sertaberkorelasi negatif dengan ketakutan, depresi, marah, dan tidak perduli.

Psikologi Gerontik |Emosional Lansia 28


2.9. Dukungan Keluarga terhadap Lansia
Pada masa lansia manusia telah mengalami perubahan fungsi-fungsi fisik maupun
psikologis. Perubahan-perubahan tersebut dapat dihadapi secara positif oleh lansia
dengan adanya dukungan sosial terutama keluarga, yakni: anak-anak maupun pasangan
hidup. Kondisi lingkungan sekitar sangat mempengaruhi nyaman atau tidaknya para
lansia dalam menghadapi beberapa perubahan dan keadaan tersulit dalam kehidupannya.
Penelitian ini berusaha untuk mengungkap sisi positif dari kehidupan lansia, dimana
kebahagiaan (happiness) diharapkan dapat menjadi hasil akhir dari pencapaian
kehidupan lansia. Terdapat dua konsep yang berbeda dalam menjelaskan kebahagiaan,
Dimana awal mula perkembangannya lebih banyak dibahas dalam kajian filosofis,
kemudian terus mengalami perkembangan hingga saat ini masuk kedalam ranah ilmiah
psikologi kontemporer dan kajian ini terus didiskusikan hingga saat ini.
Hurlock (2003) menyatakan bahwa penyesuaian diri yang buruk merupakan ciri-
ciri lanjut usia karena sikap sosial yang tidak menyenangkan bagi orang lanjut usia (cara
orang memperlakukan mereka) dapat menyebabkan orang lanjut usia mengembangkan
konsep diri yang tidak menyenangkan. Hal ini cenderung diwujudkan dalam bentuk
perilaku yang buruk dengan tingkat kekerasan yang berbeda pula. Havighurst (Hurlock,
2003) membagi tugas perkembangan masa tua:
1. Menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan.
2. Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya income (penghasilan)
keluarga.
3. Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup.
4. Membentuk hubungan dengan orang-orang yang seusia.
5. Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan.
6. Menyesuaikan dengan peran sosial secara luwes.
Ada beberapa teori dan penelitian klasik saat ini tentang penuaan yang diuraikan
dalam Papalia, Feldman, dan Martorell (2015):
1. Teori pelepasan Dikemukakan oleh Cumming dan Henry, menyatakan bahwa
penuaan yang sukses ditandai dengan penarikan diri yang mutual antara lansia dan
masyarakat.

Psikologi Gerontik |Emosional Lansia 29


2. Teori aktivitas Diajukan oleh Neugarten dan lainnya, yang menyatakan bahwa untuk
menjadi tua dengan sukses seseorang harus sedapat mungkin tetap aktif.
3. Teori kesinambungan Diajukan oleh ahli gerontologi Atchley, yang menyatakan
bahwa untuk sukses dalam proses penuaan, seseorang harus mempertahankan
kesinambungan dan keseimbangan perubahan, baik dalam struktur internal maupun
ekstrenal hidup mereka.
Kesinambungan dalam kegiatan ini tidak selalu memungkinkan, tetapi sejauh
kegiatan favorit dapat dipertahankan, lansia cenderung lebih bahagia (Papalia, Feldman,
dan Martorell, 2015). Penting untuk dicermati empat teori perkembangan sosioemosi
dan proses menjadi tua (Santrock, 2012):
1. Teori Erikson
Menurut Erikson, dimana individu mengalami masa dewasa akhir, dapat melibatkan
refleksi terhadap masa lalu, dan mengintegrasikan secara positif, atau menyimpulkan
bahwa kehidupannya sebelumnya tidak dialami secara baik. Melakukan tinjauan
hidup merupakan sebuah tema yang penting dalam tahap Erikson yang menyangkut
integritas versus kekecewaan.
2. Teori Aktivitas
Teori aktivitas menyatakan bahwa semakin besar tingkat aktivitas dan keterlibatan
seseorang diusia lanjut, semakin besar kepuasan hidupnya. Teori ini memperoleh
dukungan yang kuat.
3. Teori Selektivitas Sosioemosional
Teori selektivitas sosioemosional menyatakan bahwa orang-orang lanjut usia menjadi
lebih selektif dalam jaringan sosialnya. Karena kepuasan emosional merupakan hal
yang sangat penting, mereka termotivasi untuk meluangkan lebih banyak waktu
menjalin relasi dengan individu-individu yang dikenal, mereka dapat menjalin relasi
yang memuaskan. Tujuan-tujuan yang terkait dengan pengetahuan, dan emosi juga
mengalami perubahan di sepanjang masa hidup, tujuantujuan yang terkait dengan
emosi menjadi lebih penting ketika individu bertambah tua.
4. Teori Optimalisasi Selektif Melalui Kompensasi
Teori Optimalisasi selektif melalui kompensasi menyatakan proses menjadi tua yang
berhasil berkaitan dengan tiga faktor utama, yaitu seleksi, optimalisasi, dan

Psikologi Gerontik |Emosional Lansia 30


kompensasi. Hal ini secara khusus relevan apabila individu mengalami kemunduran.
Kebahagiaan Kebahagiaan menurut Diener memiliki istilah ilmiah kesejahteraan
subyektif (subjective well being) (dalam Diponegoro, 2013). Selanjutnya menurut
Diener kesejahteraan subjektif dapat didefinisikan sebagai evaluasi kognitif dan
afektif terhadap kehidupan. Evaluasi kognitif orang yang bahagia berupa kepuasan
hidup yang tinggi, evaluasi afektif adalah banyaknya afek positif, dan sedikitnya afek
negatif yang dirasakan. Definisi yang mirip juga disampaikan oleh Headey dan
Wooden (dalam Diponegoro, 2014) yaitu subjective well being mengandung dimensi
kepuasan hidup dan perasaan yang positif seperti vitalitas dan perasaan nyaman.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan merupakan keadaan
sejahtera dan kepuasaan hidup yang dirasakan oleh individu.
Haditono (1993) mengatakan bahwa keharmonisan antara individu dengan
lingkungannya, perasaan hangat dan damai dalam lingkungan keluarga dapat
memberikan kebahagiaan dan ketentraman dalam hati anggota keluarga tersebut
termasuk lansia. Akan tetapi sebaliknya, jika lingkungan keluarga tidak lagi bisa
memberikan kenyamanan, kehangatan dan penerimaan sosial yang baik terhadap lansia,
maka bisa jadi yang mucul adalah depresi. Hasil studi juga menemukan salah satu
peristiwa yang membahagiakan dalam kategori relasi dengan keluarga adalah pada saat
kelahiran anak dan cucu. Dalam peristiwa kelahiran ini terdapat berbagai alasan yang
diberikan oleh lansia mengapa hal itu membahagiakan. Di antara alasan-alasan yang
diajukan tersebut adalah kebahagiaan ketika mereka memiliki keturunan untuk
melanjutkan garis keluarga atau mewarisi kepandaian, pekerjaan dan usaha keluarga.
Tidak sedikit pula kebahagiaan memiliki keturunan ini terkait harapan akan ada yang
mengurus ketika mereka memasuki masa usia lanjut. Umumnya mereka berpendapat
walau bagaimana pun kondisinya orang tua harus tetap dirawat oleh keluarga sendiri
(Soepardjo, dalam Purwantini, 2009). Tema yang berikutnya juga mempengaruhi
kebahagiaan lansia yaitu, pernikahan. Beberapa penelitian telah membuktikan terdapat
hubungan yang positif antara pernikahan dengan kebahagiaan (Eddington & Shuman,
2005). Peristiwa pernikahan juga memberi pengaruh bagi kebahagiaan dalam hal
hadirnya emosi positif terutama bagi laki-laki (Diener et.al, dalam Eddington &
Shuman, 2005).

Psikologi Gerontik |Emosional Lansia 31


Keluarga merupakan Support System utama bagi lanjut usia dalam
mempertahankan kesehatannya. peranan keluarga dalam perawatan lanjut usia antara
lain merawat dan menjaga lanjut usia, mempertahankan dan meningkatkan status
mental, mengantisipasi perubahan sosial ekonomi serta memberikan motivasi dan
memfasilitasi kebutuhan lanjut usia. (Maryam,dkk,2008). Keluarga mempunyai peran
masing-masing yaitu Ayah sebagai pemimpin keluarga, pencari nafkah, pendidik,
pelindung/pengayom, dan pemberi rasa aman kepada anggota keluarga. Ibu sebagai
pengurus rumah tangga, pengasuh, pendidik anak-anak, pelindung keluarga, dan juga
sebagai pencari nafkah tambahan keluarga. Anak berperan sebagai pelaku psikososial
sesuai dengan perkembangan fisik, mental, sosial, dan spiritual. Memasuki usia tua
berarti mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit
yang mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas,
penglihatan semakin memburuk, gerakan lambat dan bentuk tubuh yang tidak
proporsional (Nugroho, 2012).
Penuaan yang optimal akan tetap aktif dan tidak mengalami penyusutan dalam
kehidupan sehari-hari. Adapun macam-macam aktivitas sehari-hari adalah aktivitas
fisik, aktivitas fisik merupakan pergerakan anggota tubuh yang menyebabkan
pengeluaran tenaga dimana sangat penting bagi kesehatan mental.Perubahan ekonomi
diawali ketika masa pensiun. (Azizah, 2011). Lanjut usia (lansia) didefinisikan sebagai
orang telah tua yang menunjukkan ciri fisik seperti rambut beruban, kerutan kulit, dan
hilangnya gigi. Dalam masyarakat tidak bisa lagi melaksanakan fungsi peran orang
dewasa, seperti pria yang tidak lagi terikat dalam kegiatan ekonomi produktif, dan untuk
wanita tidak dapat memenuhi tugas rumah tangga. Reaksi setelah orang memasuki masa
pensiun lebih tergantung dari model kepribadiannya. Perubahan-perubahan yang terjadi
pada usia lanjut pada umumnya mengarah pada kemunduruan kesehatan fisik dan psikis
yang akhirnya akan berpengaruh juga pada aktivitas ekonomi dan sosial mereka.
(Stanley dan Beare, 2007).

Psikologi Gerontik |Emosional Lansia 32


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Pada pembahasan religiusitas dan stres pada lansia, stres yang terjadi ada lansia
merupakan hasil dari proses degeneratif yang terjadi secara alamiah pada lansia, baik itu
secara fisik, maupun secara psikologis, sehingga stres tidak jarang juga dialami oleh
lansia, dalam pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa lansia yang mempunyai
spiritualitas yang baik akan terhindar dari stres, atau cenderung memiliki tingkat stres
yang rendah.
2. Dalam pembahasan penyesuaian diri lansia dalam menghadapi penuaan, lansia yang bisa
menyesuaikan diri, dan mempersiapkan dirinya terhadap proses degeneratif yang alamiah
akan mempunyai afek yang lebih positif, karena pada proses penyesuaian diri ketika
seseorang telah dapat berbaur dengan lingkungannya, maka interaksi sosial dengan
lingkungan sekitar akan lebih mudah terjalin, dan lansia yanng mempunyai penyesuaian
diri yang baik dapat dikatakan telah dapat menerima dirinya sendiri, lengkap dengan
kelebihan dan kekurangannya.
3. Pembahasan tentang kesepian pada lansia telah dijelaskan bahwa kesepian ini terjadi
karena lansia tidak lagi memiliki kelurga, kerabat, atau anak, cucu dan sebagainya, untuk
diajak berbagi rasa dan pengalaman, sehingga peraasan ditelantarkan, tidak berdaya
bahkan depresi, bukan tidak mungkin akan menggerogoti lansia, untuk itu interaksi sosial
sangat penting untuk terus dijalin oleh lansia kepada kerabat-kerabatnya, dalam
pembahasan juga dikatakan bahwa terapi kelompok menjadi salah satu solusi
permasalahan kesepian pada lansia ini.
4. Pada topik pembahasan motivasi pada lansia yang mengalami sakit fisik, motivasi positif
merupakan hal yang dapat mendukung proses penyembuhan lansia dari sakit fisik yang
dialaminya, motivasi ini dapat datang dari mana saja, terutama motivasi yang datang dari
keluarga dan kerabat, juga dari tenaga medis dan kesehatan juga seharusnya memberikan
dukungan dan motivasi positif pada lansia yang mengalami sakit fisik, sehingga lansia
tersebut dapat menjalani kehidupan dengan normal kembali.
5. Pada pembahasan persiapan kematian pada lansia, lansia merupakan masa dimana
seseorang mengalami proses degeneratif sehingga lebih mudah terserang penyakit fisik,

Psikologi Gerontik |Emosional Lansia 33


dan tidak jarng menyebabkan kematian, lansia yang bisa menerima bahwa dirinya sudah
dekat dengan kematian, dan mempunyai spritualitas dan emosi positif, cenderung akan
menghadapi dengan tenang dan akan menutup usia dengan perasaan yang tenang pula.
6. Pada pembahasan sense of humor pada lansia, lansia yang mempunyai selera humor yang
baik, cenderung mempunyai fungsi sosial yang baik pula, pada lansia yang hummoris
akan cenderung mempunyai kesehatan fisik yang cukup baik, terhindar dari stres, dan
mempunyai interaksi sosial yang baik, dan dapat menetralisir rasa kesepian, sehingga
yang mempunyai selera humor yang baik dapat dikatakan adalah lansia yang bahagia.
7. Dalam pembahasan dukungan keluarga terhadap lansia, keluarga sebagai support system
yang paling utama, sudah seharusnya memberikan dukungan kepada lansia di masa-masa
akhirnya, sehingga lansia yang mendapatkan dukungan keluarga yang baik, seharusnya
memiliki fungsi sosial yang baik di lingkungan tempatnya tinggal.

3.2 Saran
Setelah membaca makalah ini diharapkan para pembaca sekalian mengerti akan topik
yang dibahas dan dapat berguna dikemudian hari. Kami sebagai penulis juga berharap
dengan selesainya tugas ini, maka selanjutnya kami lebih paham dan mengerti tentang topik
yang telah dibahas.

Psikologi Gerontik |Emosional Lansia 34


DAFTAR PUSTAKA

Aleydrus. (2014). Perbedaan Penyesuaian Diri Pada Lansia Yang Tinggal di Panti Werdha
“Pangesti” Lawang Dengan Lansia yang Tinggal Bersama Keluarga di Kecamatan
Lawang Kabupaten Malang. Jurnal Psikovidya. Vol. 18 No. 02.

Ermawati, Sudarji Shanty. 2013. Kecemasan Menghadapi Kematian Pada Lanjut Usia.
Psibernetika. Vol. 6. No 1.

Fitriani., Hidayat. (2012). Kepekaan Humor Dengan Depresi Pada Remaja Ditinjau Dari Jenis
Kelamin. Jurnal Humanitas Volume IX No.1. Fakultas Psikologi. Universitas Ahmad
Dahlan Yogyakarta.

Harapan Puspita, Sabria Febriana, Utomo Wasisto. 2014. Studi Fenomenologi Persepsi Lansia
Dalam Mempersiapkan Diri Menghadapi Kematian. Jompsik. Vol. 1. No. 2.

Hartanti.(2008). Apakah selera humor menurunkan stress? Sebuah meta-analisis. Anima,


Indonesia Psychological journal, vol. 24, no-1, 38-55.

Japarudin (2017) Humor dalam Aktivitas Tabligh. (Syi’ar : Bengkulu) Vol. 17, No. 02.

Hurlock, E.B. 2011. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.

Kinasih, dkk. 2012. Peran Pendampingan Spiritual Terhadap Motivasi Kesembuhan pada
Pasien Lanjut Usia. Volume 5 Nomor 1. Kediri. Jurnal STIKES RS. Baptis Kediri.
Koerniawan, Dheni. Uci Candrawulan. 2018. Hubungan Spiritualitas Dengan Stres Lansia Di
Puskesmas Pakjo Palembang. Elizabeth Health Journal. Vol. 03 No. 02
Ningrum, Diah Puspita. Priyo. Enik Suhariyanti. 2016. Hubungan Tingkat Spiritualitas Dengan
Tingkat Stres Pada Lansia Di Desa Ngargomulyo Magelang. The 4 th Univesity
Research Coloquium. Vol. 01, No 01 ISSN 2407-9189.

Nuraini, dkk (2018) Hubungan Interaksi Sosial Dengan Kesepian Pada Lansia Di Kelurahan
Tlogomas Kota Malang. Nursing News 3, (1), 603-611.
Romas, Muslimah Zahro. (2010). Hubungan Antara Kecemasan Dengan Penyesuaian Diri Pada
Orang - Orang Lanjut Usia. Universitas Proklamasi 45 : Fakultas Psikologi. Jurnal
Psikologi. Vol. 6 No. 01.

Puspita A. & Rangkuti R.P. (2015) Hubungan Sense of Humor dengan Kebahagiaan pada
Lansia. (Psikologia Jurnal Pemikiran & Penelitian Psikologi : Medan) Vol. 10, No. 01,
Hal 25-30, ISSN : 185-0327

Psikologi Gerontik |Emosional Lansia 35


Putra Adian Adi (2012) Terapi Kelompok Untuk Mengurangi Kesepian Dan Menurunkan
Tekanan Darah Pada Lansia Penderita Hipertensi. Jurnal Intervensi Psikologi, 4 (1), 1-
15.

Suyanta, Ekowarni Endang. 2012. Pengalaman Emosi Dan Mekanisme Koping Lansia Yang
Mengalami Penyakit Kronis. JURNAL PSIKOLOGI. Volume 39. No 2. Hal : 208 – 221.

Wulandhani, dkk. 2014. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Motivasi Lansia Hipertensi
dalam Memeriksakan Tekanan Darahnya.Volume 1 Nomor 2. Riau. JOM PSIK
Universitas Riau.

Psikologi Gerontik |Emosional Lansia 36

Anda mungkin juga menyukai