Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN ABSES

A. KONSEP DASAR PRNYAKIT


1. Pengertian
Abses (abcessus) merupakan kumpulan nanah (netrofil) yang telah mati yang terakumulasi di
sebuah kavitas jaringan karena adanya proses infeksi (biasanya oleh bakteri atau parasit) atau
karena adanya benda asing (misalnya, serpihan, luka peluru, atau jarum suntik). Proses ini
merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah penyebaran/perluasan infeksi ke
bagaian tubuh yang lain. Abses adalah infeksi kulit dan subkutis dengan gejala berupa kantong
berisi nanah
Abses adalah peradangan purulenta yang juga melebur ke dalam suatu rongga (rongga
Abses) yang sebelumnya tidak ada, berbatas tegas (Rassner et al, 1995). Menurut Smeltzer, S.C
et al (2001), abses adalah infeksi bakteri setempat yang ditandai dengan pengumpulan pus
(bakteri, jaringan nekrotik dan SDP).
Abses adalah kumpulan tertutup jaringan cair, yang dikenal sebagai nanah, di suatu tempat di
dalam tubuh. Ini adalah hasil dari reaksi pertahanan tubuh terhadap benda asing.

2. Penyebab
Menurut Siregar (2004), suatu infeksi bakteri bisa menyebabkan abses melalui beberapa cara:
a. Bakteri masuk ke bawah kulit akibat luka yang berasal dari tsukan jarum yang tidak
steril
b. Bakteri menyebar dari suatu infeksi di bagian tubuh lain
c. Bakteri yang dalam keadaan normal hidup didalam tubuh manusia dan tidak
menimbulkan gangguan, kadang bisa menyebabkan terbentuknya abses.
Peluang terbentuknya suatu abses akan meningkat jika :
a. Terdapat kotoran atau benda asing di daerah tempat terjadinya infeksi
b. Daerah yang terinfeksi mendapatkan aliran darah yang kurang
c. Terdapat gangguan sistem kekebalan
Bakteri tersering penyebab abses adalah Staphylococcus Aureus.
3. Patofisiologi
Proses abses merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah penyebaran atau
perluasan infeksi ke bagian lain tubuh. Organisme atau benda asing membunuh sel-sel lokal yang
pada akhirnya menyebabkan pelepasan sitokin. Sitokin tersebut memicu sebuah respon inflamasi
(peradangan), yang menarik kedatangan sejumlah besar sel-sel darah putih (leukosit) ke area
tersebut dan meningkatkan aliran darah setempat.
Struktur akhir dari suatu abses adalah dibentuknya dinding abses, atau kapsul, oleh sel-sel
sehat di sekeliling abses sebagai upaya untuk mencegah pus menginfeksi struktur lain di
sekitarnya. Meskipun demikian, seringkali proses enkapsulasi tersebut justru cenderung
menghalangi sel-sel imun untuk menjangkau penyebab peradangan (agen infeksi atau benda
asing) dan melawan bakteri-bakteri yang terdapat dalam pus.Abses harus dibedakan dengan
empyema. Empyema mengacu pada akumulasi nanah di dalam kavitas yang telah ada
sebelumnya secara normal, sedangkan abses mengacu pada akumulasi nanah di dalam kavitas
yang baru terbentuk melalui proses terjadinya abses tersebut.
Abses adalah suatu penimbunan nanah, biasanya terjadi akibat suatu infeksi bakteri. Jika
bakteri menyusup ke dalam jaringan yang sehat, maka akan terjadi infeksi. Sebagian sel mati dan
hancur, meninggalkan rongga yang berisi jaringan dan sel-sel yang terinfeksi. Sel-sel darah putih
yang merupakan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi, bergerak ke dalam rongga tersebut
dan setelah menelan bakteri, sel darah putih akan mati. Sel darah putih yang mati inilah yang
membentuk nanah, yang mengisi rongga tersebut.
Akibat penimbunan nanah ini, maka jaringan di sekitarnya akan terdorong. Jaringan pada
akhirnya tumbuh di sekeliling abses dan menjadi dinding pembatas abses, hal ini merupakan
mekanisme tubuh untuk mencegah penyebaran infeksi lebih lanjut. Jika suatu abses pecah di
dalam maka infeksi bisa menyebar di dalam tubuh maupun dibawah permukaan kulit, tergantung
kepada lokasi abses.
Pathway :

Faktor predisposisi - Infeksi bakteri Bakteri mengadakan


- Benda asing menyebabkan multiplikasi dan
luka merusak jaringan yang
- Reaksi hypersensitiv ditempati
- Agen fisik
- Bahan kimia iritan

Tubuh bereaksi
Timbul abses terhadap proses
peradangan

Nyeri akut

Operasi Penyebaran Dilepasnya zat pirogen


infeksi pada jaringan

Kurang Kerusakan
paparan integritas
informasi Risti/PK Peningkatan
jaringan
Infeksi panas tubuh

Cemas Risiko perdarahan Risti/PK Timbul


Hipertermia Kejang

Risiko
cedera
4. Klasifikasi
a. Abses Ginjal
Yaitu peradangan ginjal akibat infeksi. Ditandai dengan pembentukan sejumlah bercak kecil
bernanah atau abses yang lebih besaryang disebabkan oleh infeksi yang menjalar ke jaringan
ginjal melalui aliran darah
b. Abses perimandibular
Bila abses menyebar sampai ke otot – otot pengunyahan, maka akan timbul bengkak –
bengkak yang keras, dimana nanah akan sukar menembus otot untuk keluar, sehingga untuk
mengeluarkan nanah tersebut harus dibantu dengan operasi pembukaan abses.
c. Abses rahang gigi
Radang kronis yang terbungkus dengan terbentuknya nanah pada ujung akar gigi atau
geraham. Menyebar ke bawah selaput tulang atau dibawah selaput lender mulut atau kebawah
kulit. Nanah bisa keluar dari saluran pada permukaan gusi atau kulit mulut. Perawatannya bisa
dilakukan dengan mencabut gigi yang menjadi sumber penyakitnya atau perawatan akar dari gigi
tersebut.
d. Abses sumsum rahang
Bila nanah menyebar ke rongga – rongga tulang, maka sumsum tulang akan terkena radang.
Bagian – bagian dari tulang tersebut dapat mati dari kontradiksi dengan bagian tubuh. Dalam hal
ini nanah akan keluar dari beberapa tempat.
e. Abses dingin
Pada abses ini, karena sedikitnya radang, maka abses ini merupakan abses menahun yang
terbentuk secara perlahan – lahan. Biasanya terjadi pada penderita tuberculosis tulang,
persendian atau kelenjar limfa akibat perkijuan yang luas
f. Abses hati
Abses ini akibat komplikasi disentri amuba, yang sesungguhnya bukan abses, karena rongga
ini tidak berisi nanah, melainkan jaringan nekrotik yang disebabkan oleh amuba. Jenis abses ini
dapat dikenali dengan ditemukannya amuba pada dinding abses dengan pemeriksaan
histopatologis dan jaringan
g. Abses
Rongga abnormal yang berada di bagian tubuh, ketidaknormalan ini disebabkan karena
pengumpulan nanah ditempat rongga itu akibat proses radang yang emudian membentuk nanah.
Dinding rongga abses biasanya terdiri atas sel yang telah cedera, tetapi masih hidup. Isi abses
yang berupa nanah tersebut terdiri atas sel darah putih dan jaringan yang nekrotik dan mencair.
Abses biasanya disebabkan oleh kuman pathogen misalnya : bisul.

5. Tanda dan Gejala


Abses bisa terbentuk diseluruh bagian tubuh, termasuk paru – paru, mulut, rectum dan otot.
Abses yang sering ditemukan didalam kulit atau tepat dibawah kulit atau tepat dibawah kulit
terutama jika timbul di wajah.
Menurut Smeltzer & Bare, gejala dari abses tergantung kepada lokasi dan pengaruhnya
terhadap fungsi suatu organ saraf. Gejalanya bisa berupa :
a. Nyeri
b. Nyeri tekan
c. Teraba hangat
d. Pembengkakan
e. Kemerahan
f. Demam

6. Pemeriksaan Fisik
Suatu abses yang terbentuk tepat dibawah kulit biasanya tampak sebagai benjolan. Adapun
lokasi abses antara lain ketiak, telinga, dan tungkai bawah. Jika abses akan pecah, maka daerah
pusat benjolan akan lebih putih karena kulit diatasnya menipis. Suatu abses didalam tubuh,
sebelum menimbulkan gejala sering kali terlebih tumbuh lebih besar. Abses dalam mungkin
lebih menyebabkan infeksi keseluruh tubuh. Pada pemeriksaan fisik ditemukan :
a. Luka terbuka atau tertutup
b. Organ/jaringan terinfeksi
c. Massa eksudat
d. Peradangan
e. Abses superficial dengan ukuran bervariasi
f. Rasa sakit dan bila dipalpasi akan terasa fluktuatif
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dari abses antara lain:
a. Kultur ; Mengidentifikasi organisme penyebab abses sensitivitas menentukan obat yang
paling efektif.
b. Sel darah putih, Hematokrit mungkin meningkat, Leukopenia, Leukositosis (15.000 -
30.000) mengindikasikan produksi sel darah putih tak matur dalam jumlah besar.
c. Elektrolit serum, berbagai ketidakseimbangan mungkin terjadi dan menyebabkan
acidosis, perpindahan cairan dan perubahan fungsi ginjal
d. Pemeriksaan pembekuan : Trombositopenia dapat terjadi karena agregasi trombosit,
PT/PTT mungkin memanjang menunjukan koagulopati yang diasosiasikan dengan
iskemia hati/sirkulasi toksin/status syok.
e. Laktat serum : Meningkat dalam acidosis metabolic, disfungsi hati, syok.
f. Glukosa serum, hiperglikemi menunjukkan glukogenesis dan glikogenesis di dalam hati
sebagai respon dari puasa/perubahan seluler dalam metabolism.
g. BUN/Kr : Peningkatan kadar diasosiasikan dengan dehidrasi, ketidakseimbangan/
kegagalan ginjal dan disfungsi/kegagalan hati.
h. GDA : Alkalosis respiratori hipoksemia,tahap lanjut hipoksemia asidosis respiratorik dan
metabolic terjadi karena kegagalan mekanisme kompensasi.
i. Urinalisis : Adanya sel darah putih/bakteri penyebab infeksi sering muncul protein dan
sel darah merah.
j. Sinar X : Film abdominal dan dada bagian bawah yang mengindikasikan udara bebas di
dalam abdomen/organ pelvis.
k. EKG : Dapat menunjukan perubahan segmen ST dan gelombang T,dan disritmia yang
menyerupai infak miokard.

8. Theraphy
Menurut Morison (2003), Abses luka biasanya tidak membutuhkan penanganan
menggunakan antibiotik. Namun demikian, kondisi tersebut butuh ditangani dengan intervensi
bedah dan debridement.
Suatu abses harus diamati dengan teliti untuk mengidentifikasi penyebabnya, terutama
apabila disebabkan oleh benda asing, karena benda asing tersebut harus diambil. Apabila tidak
disebabkan oleh benda asing, biasanya hanya perlu dipotong dan diambil absesnya, bersamaan
dengan pemberian obat analgetik dan antibiotik.
Drainase abses dengan menggunakan pembedahan diindikasikan apabila abses telah
berkembang dari peradangan serosa yang keras menjadi tahap nanah yang lebih lunak. Drain
dibuat dengan tujuan mengeluarkan cairan abses yang senantiasa diproduksi bakteri.
Apabila menimbulkan risiko tinggi, misalnya pada area-area yang kritis, tindakan
pembedahan dapat ditunda atau dikerjakan sebagai tindakan terakhir yang perlu dilakukan.
Memberikan kompres hangat dan meninggikan posisi anggota gerak dapat dilakukan untuk
membantu penanganan abses kulit
Karena sering kali abses disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus, antibiotik
antistafilokokus seperti flucloxacillin atau dicloxacillin sering digunakan. Dengan adanya
kemunculan Staphylococcus aureus resisten Methicillin (MRSA) yang didapat melalui
komunitas, antibiotik biasa tersebut menjadi tidak efektif. Untuk menangani MRSA yang didapat
melalui komunitas, digunakan antibiotik lain: clindamycin, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan
doxycycline.
Adapun hal yang perlu diperhatikan bahwa penanganan hanya dengan menggunakan
antibiotik tanpa drainase pembedahan jarang merupakan tindakan yang efektif. Hal tersebut
terjadi karena antibiotik sering tidak mampu masuk ke dalam abses, selain itu antibiotik tersebut
seringkali tidak dapat bekerja dalam pH yang rendah.

9. Komplikasi
Komplikasi mayor dari abses adalah penyebaran abses ke jaringan sekitar atau jaringan yang
jauh dan kematian jaringan setempat yang ekstensif (gangren). Pada sebagian besar bagian
tubuh, abses jarang dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tindakan medis secepatnya
diindikasikan ketika terdapat kecurigaan akan adanya abses. Suatu abses dapat menimbulkan
konsekuensi yang fatal. Meskipun jarang, apabila abses tersebut mendesak struktur yang vital,
misalnya abses leher dalam yang dapat menekan trakea. (Siregar, 2004)
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Menurut Smeltzer & Bare (2001), Pada pengkajian keperawatan, khususnya sistem
integumen, kulit bisa memberikan sejumlah informasi mengenai status kesehatan seseorang dan
merupakan subjek untuk menderita lesi atau terlepas. Pada pemeriksaan fisik dari ujung rambut
sampai ujung kaki, kulit merupakan hal yang menjelaskan pada seluruh pemeriksaan bila bagian
tubuh yang spesisifik diperiksa. Pemeriksaan spesifik mencakup warna, turgor, suhu,
kelembaban, dan lesi atau parut. Hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :
a. Abses di kulit atau dibawah kulit sangat mudah dikenali, sedangkan abses dalam seringkali
sulit ditemukan.
b. Riwayat trauma, seperti tertusuk jarum yang tidak steril atau terkena peluru.
c. Riwayat infeksi ( suhu tinggi ) sebelumnya yang secara cepat menunjukkan rasa sakit diikuti
adanya eksudat tetapi tidak bisa dikeluarkan.
d. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksan fisik Inspeksi dan diklasifikasikan berdasarkan morfologi Ukuran, warna,
tekstur, kekerasan, konfigurasi lokasi dan distribusi kulit.
- Data subjek: gatal, nyeri, kemerahan, panas dan perubahan warna kulit
- Data objektif: warna, tugor, kemerahan, kebersihan dan edema.

Fokus Pengkajian
Data tergantung pada tipe,lokasi,durasi dari proses infektif dan organ-organ yang terkena
a. Aktifitas I istirahat
Gejala : Malaise
b. Sirkulasi
Tanda  : Tekanan darah normal/sedikit dibawah jangkauan normal (selama curah jantung
tetap meningkat). Denyut perifer kuat, cepat (perifer hiperdinamik);
lemah/lembut/mudah hilang, takikardi ekstrem (syok). Suara jantung : disritmia dan
perkembangan S3 dapat mengakibatkan disfungsi miokard, efek dari
asidosis/ketidakseimbangan elektrolit. Kulit hangat, kering, bercahaya (vasodilatasi),
pucat, lembab, burik (vasokonstriksi).
c. Eliminasi
Gejala : Diare
d. Makanan/cairan
Gejala : Anoreksia, mual, muntah.
Tanda : Penurunan berat badan, penurunan lemak subkutan/masa otot (malnutrisi).
Penurunan haluaran, konsentrasi urine; perkembangan ke arah oliguria, anuria.
e. Neurosensori
Gejala    :    Sakit kepala, pusing, pingsan.
Tanda    :    Gelisah, ketakutan, kacau mental, disorientasi, delirium/koma
f. Nyeri / kenyamanan
Gejala    :    Kejang abdominal, lokalisasi nyeri/ketidaknyamanan, urtikaria, pruritus umum
g. Pemafasan
Tanda    :    Takipnea dengan penurunan kedalaman pemafasan, penggunaan kortikosteroid,
infeksi baru, penyakit viral.
Gejala    :    Suhu umumnya meningkat (37,95°C atau lebih) tetapi mungkin normal pada
lansia mengganggu pasien, kadang sub normal (dibawah 36,5°C), menggigil, luka yang
sulit/lama sembuh, drainase purulen, lokalisasi eritema, ruam eritema makuler.
h. Sexualitas
Gejala    :    Perineal pruritus, baru saja menjalani kelahiran/aborsi
Tanda    :    Maserasi vulva, pengeringan vaginal purulen.
i. Penyuluhan / pembelajaran
Gejala : Masalah kesehatan kronis/melemahkan misal: DM, kanker, hati, jantung, ginjal,
kecanduan alkohol. Riwayat splenektomi.  Baru saja menjalani operasi prosedur invasive,
luka traumatik.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi
b. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit
c. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan trauma jaringan
d. Risiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan sekunder
e. Resiko perdarahan berhubungan dengan pembedahan
f. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional.

3. Rencana Tindakan
a. Dx 1 : Nyeri berhubungan dengan agen injuri biologi
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan pasien melaporkan nyeri
berkurang / terkontrol dengan kriteria hasil    :
- Menunjukan ekspresi wajah / postur tubuh rileks.
- Berpartisipasi dalam aktivitas dan tidur / istirahat dengan tepat.
Intervensi :
- kaji intensitas nyeri menggunakan skala nyeri
Rasionalisasi : untuk mengetahui seberapa besar nyeri.
- Pertahankan ekstrimitas yang dipengaruhi dalam posisi yang ditentukan
Rasionalisasi : mengurangi nyeri.
- Berikan analgesik jika diperlukan
Rasionalisasi : mengurangi nyeri.
- Bantu dan ajarkan penanganan terhadap nyeri misalnya relaksasi.
Rasionalisasi : mengurangi nyeri.
- Tingkatkan aktivitas distraksi
Rasionalisasi : mengalihkan perhatian terhadap nyeri.
2. Dx 2 : Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan klien mampu mendemonstrasikan
suhu dalam batas normal, bebas dari kedinginan dengan kriteria hasil :
- Tidak mengalami komplikasi berhubungan
- Suhu tubuh dalam batas normal
- Badan tidak teraba panas
Intervensi :
- Pantau suhu pasien (derajad dan pola); perhatikan menggigil / diaphoresis.
Rasional : Suhu 38,9°C menunjukan proses infeksius akut .Pola demam dapat membantu
dalam diagnosis.
- Pantau suhu lingkungan, batasi/tambahkan linen tempat tidur, sesual indikasi.
Rasional : Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan suhu
mendekati normal.
- Berikan kompres mandi hangat; hindari penggunaan alcohol.
Rasional : Dapat mengurangi demam, alkohol dapat mengeringkan kulit.
- Kolaborasi dalam pemberian antipiretik.
Rasional : Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada
hipotalamus.
- Berikan selimut pendingin.
Rasional : Digunakan untuk mengurangi demam tinggi pada waktu terjadi
kerusakan/gangguan pada otak.

3. Dx 3 : Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan trauma jaringan


Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan integritas jaringan kulit membaik
dengan kriteria hasil :
- Mencapai penyembuhan tepat waktu pada area luka
Intervensi :
- Kaji kerusakan, ukuran, kedalaman, warna, cairan setiap 4   jam.
Rasionalisasi: untuk mengetahui seberapa besar kerusakan jaringan kulit.
- Pertahankan istirahat di tempat tidur dengan peninggian ekstrimitas dan imobilisasi.
Rasionalisasi : untuk mengurangi edema dan meningkatkan sirkulasi.
- Pertahankan teknik aseptic
Rasionalisasi : perawatan kurang resiko infeksi dan kerusakan jaringan semakin meluas.
- Gunakan kompres dan balutan.
Rasionalisasi : sirkulasi darah lancar
- Pantau suhu setiap 4 jam, laporkan kedokter jika ada peningkatan
Rasionalisasi : mengetahui tanda-tanda infeksi

4. Dx 4 : Risiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan sekunder


Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan pasien menunjukan penyembuhan
luka seiring perjalanan waktu dengan kriteria hasil :
- Bebas dari sekresi purulen/drainase, atau eritema dan afebris.
- Tidak ada tanda – tanda infeksi (kalor, dolor, rubor, tumor dan fungsiolasia)
Intervensi :
- Berikan isolasi / pantau pengunjung sesuai indikasi.
Rasional : Isolasi luka / linen dan mencuci tangan adalah yang dibutuhkan untuk
mengalirkan luka, sementara isolasi / pembatasan pengunjung dibutuhkan untuk
melindungi pasien imunosupresi. Mengurangi resiko kemungkinan infeksi.
- Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktifitas walaupun menggunakan sarung
tangan steril.
Rasional : Mengurangi kontaminasi silang.
- Batasi penggunaan alat / prosedur invasif jika memungkinkan.
Rasional : Mengurangi jumlah lokasi yang dapat menjadi tempat masuk organisme.
- Lakukan inspeksi terhadap luka / sisi alat invasif setiap hari, berikan perhatian utama
terhadap jalur hiperalimentasi
Rasional : Memberikan gambaran untuk identifikasi awal dari infeksi sekunder.
- Gunakan teknik steril pada waktu penggantian balutan
Rasional : Mencegah masuknya bakteri, mengurangi resiko infeksi nosokomial.
- Gunakan sarung tangan / pakaian pada waktu merawat luka yang terbuka/antisipasi dari
kontak langsung dengan sekresi ataupun ekskresi.
Rasional : Mencegah penyebaran infeksi / kontaminasi silang.
- Buang balutan/bahan yang kotor dalam kantung ganda
Rasional : Mengurangi area kotor / membatasi penyebaran organisme melalui udara.
- Pantau kecenderungan suhu.
Rasional : Demam tinggi menunjukan efek endotoksin pada hipotalamus dan endorphin
yang melepaskan pirogen. Hipotermi adalah tanda-tanda genting yang merefleksikan
perkembangan status syok / penurunan perfusi jaringan.
- Amati adanya menggigil dan diaphoresis
Rasional : Menggigil seringkali mendahului memuncaknya suhu pada adanya infeksi
umum.
- Memantau tanda-tanda penyimpangan kondisi / kegagalan untuk membaik  selama masa
terapi.
Rasional : Dapat menunjukan ketidak tepatan terapi antibiotik atau pertumbuhan
berlebihan dari organisme resisten.
- Inspeksi rongga mulut terhadap sariawan. Selidiki laporan rasa gatal / peradangan
vaginal / perineal.
Rasional : Depresi sistem imun dan penggunaan antibiotik dapat meningkatkan resiko
infeksi skunder; terutama ragi. .
- Berikan obat anti infeksi sesuai petunjuk.
Rasional : Dapat membasmi / memberikan imunitas sementara untuk infeksi umum atau
penyakit khusus.
- Bantu / siapkan insisi dan drainase luka.
Rasional : Memberikan kemudahan untuk memindahkan material purulen / jaringan
nekrotik dan meningkatkan penyembuhan.

5. Evaluasi
a. Dx 1 : Nyeri hilang/berkurang
b. Dx 2 : Tidak terjadi peningkatan suhu tubuh. Suhu tubuh dalam batas normal
c. Dx 3 : Kerusakan jaringan teratasi, luka sembuh tepat waktu
d. Dx 4 : Tidak terjadi infeksi, tidak ada tanda – tanda infeksi
e. Dx 5 : Tidak terjadi perdarahan
f. Dx 6 : Cemas hilang, pasien tampak tenang
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L,J, 2001, Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Klinik (terjemahan), Edisi 3, EGC,
Jakarta.

Doenges, M.E, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan Dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien (terjemahan), edisi 3, EGC, Jakarta

Price, SA dan Wilson, LM, 1995, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
(terjemahan), Eidisi 4, Volume 1, EGC, Jakarta

Smeltzer, S.C, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (terjemahan), Edisi 8, Volume 2,
EGC, Jakarta.

S. Sjamsuhidayat, Wim De Jong, 1998, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta

Underwood, J.C.E, 1999, Buku Ajar Ilmu Bedah (terjemahan), Edisi 4, EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai