Anda di halaman 1dari 90

Menyongsong Era Bangunan Tinggi dan Bentang Panjang

Bagian I : Tinggi, Super-tinggi dan Mega-tinggi

Wiryanto Dewobroto
Universitas Pelita Harapan
wiryanto.dewobroto@uph.edu

Abstrak

Pelaksanaan gedung tinggi tidak sekedar masalah menambah jumlah lantai saja. Itu
terkait erat dengan kemajuan ilmu dan teknologi untuk material, komputer simulasi
(gempa, angin maupun tahapan konstruksi), uji terowongan angin, sistem perancah,
pompa beton kapasitas tinggi dan lainnya. Dapat dikatakan, mempelajari progress
kemajuan gedung tinggi, ibarat mengenal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
itu sendiri. Saat ini gedung tinggi tidak sekedar super-tinggi, dengan selesainya Burj-
Khalifa Tower (828 m, 2010) di Dubai, maka era gedung mega-tinggi sudah dimulai.
Apakah itu relevan dipelajari. Jangan salah sangka, meskipun penduduk Indonesia
mayoritas masih asing dengan gedung-gedung tinggi (kecuali di Jakarta), ternyata
CTBUH (2012) mencantumkan nama Indonesia atas adanya rencana pembangunan
gedung mega-tinggi (> 600 m) di Jakarta. Fakta tak terduga, oleh karena itu tidak
salah kiranya jika para praktisi dan akademisi bidang rekayasa teknik sipil perlu
mempersiapkan diri. Itulah salah satu maksud ditulisnya makalah ini, yang berisi
pengenalan lebih dekat, melalui pendekatan yang komprehensif tetapi memotivasi,
berdasarkan falsafah ilmu struktur untuk memahami kemajuan rekayasa teknik sipil
pada gedung-gedung high-rise, super-tall maupun yang trend saat ini : mega-tall.

Key words : high-rise, tall-building, super-tall, mega-tall, CTBUH

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 1/90


Menyongsong Era Bangunan Tinggi dan Bentang Panjang
Bagian I : Tinggi, Super-tinggi dan Mega-tinggi

Wiryanto Dewobroto
Universitas Pelita Harapan
wiryanto.dewobroto@uph.edu

DAFTAR ISI

1. Konstruksi dan Peradaban ...................................................................................................... 4


2. Peradaban dan Kemampuan Rekayasa .............................................................................. 5
3. Pentingnya Kemampuan Komunikasi pada Kompetensi Rekayasa ....................... 6
4. Keuntungan Menguasai Kompetensi Rekayasa Secara Mandiri .............................. 9
5. Bangunan, Ahli Bangunan dan Insinyur.......................................................................... 10
6. Bagaimana Menjadi Insinyur dan Tidak Sekedar Ahli Bangunan ........................ 13
7. Karakter Bangunan Tinggi dan Bangunan Bentang Panjang ................................. 15
8. Bangunan Gedung terhadap Gempa dan Angin ........................................................... 17
8.1. Umum............................................................................................................................... 17
8.2. Karakteristik Penting Bangunan terhadap Gempa dan Angin.................. 18
8.3. Sistem Struktur Penahan Lateral.......................................................................... 19
8.3.1. Sistem struktur dan jumlah lantai........................................................ 19
8.3.2. Gedung tinggi dan analogi kolom kantilever ................................... 22
8.3.3. Sistem rigid frame ....................................................................................... 23
8.3.4. Sistem braced-frame................................................................................... 24
8.3.5. Sistem ganda, kombinasi braced / wall dengan frame................. 26
8.3.6. Sistem coupled shear wall ........................................................................ 31
8.3.7. Sistem dengan outrigger dan belt-truss.............................................. 34
8.3.8. Sistem framed-tube..................................................................................... 37
8.3.9. Sistem trussed-tube..................................................................................... 40
8.3.10. Sistem bundled-tube. .................................................................................. 41
8.4. Hubungan Bangunan, Tanah, Gaya Gempa dan Angin................................. 43
8.4.1. Perilaku dinamik gempa pada bangunan tinggi ............................. 43
8.4.2. Pengaruh angin pada bangunan tinggi. .............................................. 46
8.4.3. Perilaku dinamik angin pada bangunan tinggi................................ 46
8.5. Perilaku Khusus Sistem Struktur Tahan Gempa ............................................ 48
8.5.1. Sistem struktur dengan dissipasi enerji............................................. 48
8.5.2. Sistem portal daktail : Special Moment Frames (SMF) ................. 49
8.5.3. Sistem rangka diagonal khusus (SCBF).............................................. 51
8.5.4. Sistem dinding-geser (shear-wall) ....................................................... 53
8.5.5. Sistem rangka diagonal eksentris (EBF)............................................ 54
8.5.6. Special Truss Moment Frames (STMF) ................................................ 55
8.5.7. Buckling-Restrained Braced Frames (BRBF)..................................... 56
8.5.8. Special Plate Shear Walls (SPSW) ......................................................... 56
8.6. Sistem Isolasi Seismik ............................................................................................... 57

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 2/90


9. Bangunan Tinggi (Tall Building) ........................................................................................ 60
9.1. Council on Tall Buildings and Urban Habitat (CTBUH)............................... 60
9.2. Apa itu Gedung Tinggi ?............................................................................................ 60
9.3. Bagaimana Gedung Tinggi Diukur ?..................................................................... 62
9.4. Perbedaan Gedung dan Menara Telekomunikasi (Observasi) ................. 63
9.5. Sistem Struktur Bangunan Tinggi berdasarkan Jenis Material................ 64
10. Struktur Komposit dan Struktur Campuran ................................................................. 65
10.1. Umum ............................................................................................................................. 65
10.2. Struktur komposit....................................................................................................... 65
10.3. Struktur campuran ..................................................................................................... 73
11. Era Gedung Mega-Tinggi (> 2020) .................................................................................... 74
12. Sekelumit Fakta dibalik Gedung Tertinggi Dunia 2012............................................ 76
12.1. Gedung Beton Tertinggi Saat Ini ........................................................................... 76
12.2. Angin dan Bentuk Bangunan .................................................................................. 82
12.3. Sosok Insinyur Perencana Burj Khalifa.............................................................. 84
13. Partisipasi Indonesia dalam Era Mega-Tinggi.............................................................. 87
14. Kesimpulan dan Penutup...................................................................................................... 88
15. Ucapan Terima Kasih.............................................................................................................. 89
16. Daftar Pustaka ........................................................................................................................... 89

Tentang Pemakalah ............................................................................................................................. 90

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 3/90


Menyongsong Era Bangunan Tinggi dan Bentang Panjang1
Bagian I : Tinggi, Super-tinggi dan Mega-tinggi

Wiryanto Dewobroto
Universitas Pelita Harapan
wiryanto.dewobroto@uph.edu

1. KONSTRUKSI DAN PERADABAN


Tidak disangkal lagi, adanya kebanggaan dan kepercayaan diri akan kemajuan
negara atau bangsa, perlu bukti fisik dengan adanya bangunan besar dan megah. Hal
ini sudah terjadi sejak awal mula peradaban. Ingatlah legenda Menara Babel yang
tertulis di kitab Kejadian, karya tulis manusia tertua yang masih terpelihara sampai
sekarang. Juga adanya peninggalan bangunan kuno di tiap-tiap peradaban maju
yang dianggap pernah ada, misal bangunan Piramid dari jaman Mesir kuno dan
Maya (Meksiko kuno), ataupun Tembok Besar di China. Itu semua menjadi petunjuk,
betapa tingginya tingkat kemajuan peradaban bangsa-bangsa tersebut.

Kebiasaan seperti di atas, ternyata masih berlanjut sampai sekarang. Negara-negara


kaya baru, mereka juga tidak mau ketinggalan membuat bangunan besar dan megah,
baik berupa gedung tinggi maupun jembatan bentang panjang. Contoh nyata, negara
Uni Emirat Arab, yang dahulu hanya dikenal akan padang pasirnya, onta dan buah
kormanya. Saat ini, karena hasil minyak telah menjadikannya negara maju (kaya),
mereka membuat gedung pencakar langit tertinggi di Dubai, Burj Khalifa (828 m),
yang baru saja diresmikan pada bulan Januari tahun 2010 lalu. Gedung itu sengaja
dibangun lebih tinggi dari pencakar langit tertinggi di Taiwan, Taipei-101 (509 m),
yang ketika diresmikannya (2004) adalah gedung tertinggi di dunia mengalahkan
Menara Petronas (452 m) di Kuala Lumpur, Malaysia. Jadi ketika gedung Taipei-101
di Taiwan dilampaui tingginya oleh gedung Burj Khalifa di Dubai, maka otomatis
gedung tersebut menjadi gedung bertingkat tertinggi di dunia saat ini.

Suatu negara berupaya membangun sesuatu yang tertinggi atau semacamnya, agar
meningkat reputasinya, dianggap terkemuka. Jadi saat gedung Burj Khalifa, di Dubai,
menjadi gedung pencakar langit tertinggi dunia, maka bangsa lain harus mengakui
bahwa penguasa Dubai memang terkemuka, maju dan kaya. Kemajuan negara atau
kekayaan peradaban dapat diukur dari bangunan besar dan megah di wilayahnya.

1 Kuliah umum Civil Engineering’s Days 2012, R. Audiovisual, Kampus Thomas Aquinas,
Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), hari Rabu, 9 Mei 2012.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 4/90


2. PERADABAN DAN KEMAMPUAN REKAYASA
Adanya hubungan kemajuan peradaban bangsa dan keberadaan bangunan megah,
kita juga bisa berbangga diri. Indonesia mempunyai bangunan megah juga, seperti
candi Borobudur dan candi Prambanan. Meskipun itu sudah kuno, tetapi adalah
fakta bahwa bangsa kita dahulu telah memiliki tingkat peradaban yang tinggi (kaya).

Tetapi sayang, fakta adanya bangunan megah bukanlah petunjuk bahwa bangsa di
wilayah tersebut telah mempunyai kompetensi mendirikan bangunan atau rekayasa
konstruksi yang maju. Sepintas ini tentu bertentangan dengan keyakinan umum,
yang seakan-akan secara otomatis menganggap bahwa bangunan megah yang ada di
suatu wilayah adalah hasil kemampuan membangun dari bangsa di wilayah itu
sendiri. Keberadaan bangunan megah di suatu wilayah dan kemajuan kompetensi
rekayasa dari penduduknya, kadang kala tidak ada hubungannya sama sekali.

Untuk mendapatkan pengertian bahwa peradaban tinggi (kaya) tidak selalu terkait
dengan kompetensi bangsa akan bidang rekayasa konstruksinya, maka ada baiknya
belajar dari informasi yang terkait dengan pembangunan gedung tertinggi yang baru
saja dibahas. Informasi yang diulas adalah yang berkaitan dengan kepemilikan, asal
negara pembuatan rencana (desain) dan pelaksanaan pembangunannya. Kesemua
informasi tersebut akan disajikan dalam bentuk tabulasi (lihat Tabel 1).

Tabel 1. Gedung-gedung tertinggi dunia, pemilik dan pelaksananya (Sumber Wikipedia)


Nama gedung (tinggi) Pemilik Perencana struktur Kontraktor utama
No.
kota lokasi, negara (negara) (negara) (negara)
Burj Kalifa (828 m) Emaar Properties Skidmore, Owings and Samsung (Korea)
1
Dubai, Uni Emirat Arab (Uni Emirat Arab) Merrill (USA)
Taipei 101 (509 m) Taipei Financial Center Thornton Tomasetti KTRT Joint Venture
2
Taipei, Taiwan Corp. (Taiwan) (USA) (Jepang)
Menara Petronas (452) KLCC Holdings Sdn Thornton Tomasetti Hazama (Jepang)
3
Kuala Lumpur, Malaysia Bhd (Malaysia) (USA) Samsung (Korea)

Selanjutnya perhatikan hubungan antara negara pemilik, perencana dan kontraktor


dengan wilayah negara tempat didirikannya, ternyata hanya unsur pemiliknya saja
yang berhubungan. Perencana dan kontraktor pembangunan bisa datang dari mana
saja, atau dengan kata lain pembangunan gedung bertingkat megah tersebut tidak
harus berasal dari bangsa atau penduduk asli di wilayahnya tersebut. Jadi adanya
bangunan megah di suatu wilayah bukan indikasi bahwa kompetensi bangsanya
telah maju di bidang rekayasa dan teknologi konstruksi. Itu hanya membuktikan
bahwa bangsa tersebut cukup kaya mengupayakan bangunan megah terwujud.
Agar kaya, suatu bangsa atau negara umumnya harus maju dan beradab.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 5/90


3. PENTINGNYA KEMAMPUAN KOMUNIKASI PADA KOMPETENSI REKAYASA
Kemampuan bangsa manusia mendirikan bangunan besar, megah tidak diragukan
lagi. Ketika ada sekelompok manusia, atau suatu bangsa meragukan bahwa sesuatu
tidak akan bisa dibangun atau didirikan, ternyata di sudut dunia lain, ada manusia
atau bangsa yang berhasil membuktikan bahwa itu bisa didirikan.

Dengan demikian untuk bangsa yang tadinya ada keraguan tersebut, tetapi masih
berkeinginan kuat mendirikan sesuatu yang akan dibangun dan punya modal cukup,
maka solusinya penyelesaiannya adalah cukup sederhana, yaitu komunikasi.

Adanya kemampuan komunikasi yang baik memungkinkan terjadinya sharing antar


manusia secara menguntungkan. Seperti diketahui bersama, kemampuan manusia
sangat beragam, sangat jarang yang menguasai segala-galanya. Di satu sisi ada yang
punya materi berlebih tapi tanpa keahlian yang diperlukan, sedangkan di sisi lain
punya keahliannya tapi juga membutuhkan materi. Komunikasi menghasilkan titik
temu. Salah satu unsur penting dalam komunikasi adalah kemampuan berbahasa.

Hubungan antara kemampuan berbahasa dan membangun, ternyata sangat lekat.


Bahkan jika salah satu dari itu tidak ada, bangunan tidak akan dapat berdiri.

Bagi masyarakat yang terbiasa mengenal pembagian IPA (eksakta) dan IPS (sosial)
akibat sistem pendidikan di sekolah-sekolah, tentu merasa bahwa pernyataan di
atas sangat berlebihan. Bagaimana tidak, kemampuan membangun atau rekayasa
adalah eksak, sedangkan kemampuan berbahasa, non-eksak. Selama ini kesannya
adalah dua bidang keahlian terpisah, berdiri sendiri. Jadi mengapa membangun
perlu kemampuan berbahasa. Argumentasi yang dirasakan wajar bagi kita semua,
yang merasa wajar juga dengan pembagian kelas IPA dan IPS. Betul khan.

Untuk menghindari stagnasi, baca dahulu alasan mengapa Menara Babel yang ada
pada kitab Kejadian, tidak berhasil dibangun :

Adapun seluruh bumi, satu bahasanya dan satu logatnya. . . .


Juga kata mereka: ”Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah
menara yang puncaknya sampai ke langit, dan marilah kita cari nama,
supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi.” .
Lalu turunlah Tuhan untuk melihat kota dan menara yang didirikan oleh
anak-anak manusia itu, dan Ia berfirman: ”Mereka ini satu bangsa dengan
satu bahasa untuk semuanya. Ini barulah permulaan usaha mereka; mulai
dari sekarang apapun juga yang mereka rencanakan, tidak ada yang tidak
akan dapat terlaksana. Baiklah Kita turun dan mengacau-balaukan di sana
bahasa mereka, sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-masing.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 6/90


Demikianlah mereka diserakkan Tuhan dari situ ke seluruh bumi, dan mereka
berhenti mendirikan kota itu.
Kejadian[11:1, 4-8]

Ternyata risalah berumur ribuan tahun telah mengungkapkan secara tepat, betapa
pentingnya kemampuan berbahasa (berkomunikasi) bagi kesuksesan kerja rekaya-
sawan dalam pembangunan sebuah menara. Kebenaran isi risalah tersebut tentunya
tidak perlu diragukan lagi, bahkan diyakini masih sangat relevan sampai saat ini.

Bagi calon sarjana teknik sipil, yang akan bekerja pada bidang rekayasa menghadapi
era pembangunan gedung tinggi dan jembatan bentang panjang, maka jangan lupa
mempersiapkan diri, berlatih meningkatkan kemampuannya dalam berkomunikasi,
baik lesan maupun tertulis. Jangan terjebak berkutat saja pada pengetahuan atau
ketrampilan harafiah dalam hitung berhitung. Meskipun itu penting, tapi yang lebih
penting adalah dari hitungan yang dibuat, apa yang dapat diungkapkan. Jangan lupa,
pada dasarnya manipulasi angka-angka yang terdapat pada hitungan, yang disebut
matematika, sebenarnya mempunyai fungsi sama seperti fungsi bahasa yang kita
kenal sehari-harinya (Suriasumantri 2006), yaitu mengkomunikasikan penalaran,
memformulasikan fenomena-fenomena alam, dan mengungkapkan suatu kepastian.

Pada konteks komunikasi tersebut, jika dapat digunakan media tertulis akan sangat
luar biasa dampaknya. Bahkan ada orang yang berani menyatakan bahwa kemajuan
peradaban dan budaya suatu bangsa sangat tergantung dari produk tertulis yang
dihasilkannya. Itu bisa dibenarkan, karena tulisan apapun bentuknya merupakan
suatu ungkapan pikiran yang ingin disampaikan ke orang lain. Adanya tulisan, maka
pikiran-pikiran orang yang banyakpun dapat dirangkumkan menjadi satu kesatuan
sehingga dapat disimpan, dan dibaca di lain waktu. Dari tulisan pula maka pikiran
seseorang dapat diketahui oleh orang banyak, dipahami dan bisa saja dilaksanakan
sekaligus secara bersama, bahkan pada tempat berbeda sesuai keinginan penulis.
Dari situlah pikiran menyebar. Bisa baik dan buruk. Pada konteks rekayasa maka
dari tulisan itu pulalah, maka seseorang dapat belajar bagaimana suatu bangunan
dapat dibangun. Tentu saja untuk itu, tulisan yang dimaksud harus ditulis oleh orang
ahli bangunan yang dimaksud, jika tidak, maka tentu tidak akan bermakna.

Oleh karena itu, untuk menghadapi era kemajuan bidang konstruksi, selain harus
mempersiapkan diri dengan ilmu pengetahuan dan teknologi baru, maka insinyur-
insinyur teknik sipil yang ingin kompeten, juga melengkapi diri dengan kemampuan
berkomunikasi, khususnya bahasa tulis. Berbicara tentang kompetensi, memang

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 7/90


benar bangsa ini telah membangun jembatan terpanjang di Indonesia yang meng-
hubungkan pulau Jawa dan Madura (jembatan Suramadu). Apakah itu berarti secara
otomatis para profesional jembatan di Indonesia telah mengambil manfaat. Tanpa
ada pengalaman selama keterlibatan pada proyek besar tersebut yang ditulis, dan
dipublikasikan secara luas, maka informasi tentang ilmu pengetahuan dan teknologi
yang digunakan untuk pembangunan tersebut, juga tidak diketahui oleh bangsa ini.
Kecuali oleh segelintir orang yang terlibat langsung pada proyek tersebut. Jika itu
terjadi, maka kemampuan (ilmu pengetahuan dan teknologi) yang dikuasi tidak
akan dapat melewati generasi berikutnya, kalaupun bisa itupun sangat inklusif,
hanya orang-orang tertentu. Berarti tidak ada perkembangannya yang luas.

Melihat itu semua, tentunya dapat dipahami bahwa kemampuan menulis secara baik
adalah sama pentingnya dengan penguasaan ilmu dan pengetahuan itu sendiri.
Adanya kemampuan menulis memungkinkan terjadinya penyebaran ilmu, sekaligus
pematangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Maklum, untuk dapat ditulis secara baik,
ilmu pengetahuan yang dipahami penulisnya, perlu ditata dan dikelola secara tepat,
logis, maupun kronologi sehingga dapat dipahami orang lain secara mudah. Jika
ilmu yang dituliskan itu dibaca orang lain yang kompentensi sama atau lebih tinggi,
maka tentunya dapat dievaluasi dan diberikan komentar yang membangun. Jika itu
yang terjadi, maka penulis ilmu tersebut akan mendapat masukan untuk perbaikan
dan akhirnya mendapatkan keyakinan diri bahwa ilmu yang dipunyainya, memang
benar adanya. Itulah alasan mengapa ilmuwan kelas dunia, dievaluasi dari produk
tulis yang dipublikasikan di jurnal-jurnal yang bereputasi.

Dengan cara pikir seperti di atas, penulis senang dan lega ketika Dirjen Dikti, Prof.
Dr. Djoko Santosa, tanggal 27 Januari 2012, menerbitkan Surat No. 152/E/T/2012
yang ditujukan kepada para pimpinan perguruan tinggi seluruh Indonesia perihal
“Publikasi Karya Tulis”. Isinya meminta alumni perguruan tinggi di Indonesia wajib
pernah menerbitkan suatu tulisan di jurnal ilmiah. Ditinjau dari segi intelektualitas,
bahwa tulisan merupakan isi pikiran seseorang, maka tentunya surat Dirjen Dikti
tersebut merupakan suatu terobosan baru untuk meningkatkan kualitas pendidikan
tinggi kita. Tetapi nyatanya terjadi penolakan, dan paling keras dari masyarakat
civitas akademi itu sendiri. Jika penolakannya datang dari pejabat birokrasi, dapat
dimaklumi. Gimana lagi, kemampuan menulis dosennya sendiri tidak bisa dihandal-
kan, jadi kalau harus diterapkan ke mahasiswa, tentu masalah. Adapun penolakan
yang tidak dapat dipahami, jika itu diberikan oleh seorang yang bergelar Profesor.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 8/90


Seorang mendapatkan gelar Profesor karena telah dianggap dapat menjadi gurunya
guru. Oleh karena itu sering disebut juga sebagai mahaguru atau gurubesar. Salah
satu tanggung jawab Profesor yang diamanahkan oleh undang-undang pendidikan
adalah penyebar luasan gagasan atau pikiran melalui karya tulis ilmiah. Jadi sangat
aneh sekali, ketika ada permintaan agar para calon sarjana untuk mulai membuat
karya tulis ilmiah yang dimuat di jurnal, mengapa ada Profesor yang tidak setuju.

Dampak dari adanya penolakan-penolakan itu, maka kewajiban menulis di jurnal


ilmiah menjadi terkatung-katung. Sayang sekali sebenarnya, tapi anehnya banyak
yang merasa lega. Maklum, para sarjana kita pada umumnya sudah puas dengan
kemampuan tukang asalkan mendapatkan gaji besar, dianggapnya kemampuan tulis
menulis adalah ketrampilan administratif saja. Sekali lagi sangat disayangkan.

4. KEUNTUNGAN MENGUASAI KOMPETENSI REKAYASA SECARA MANDIRI


Suatu bangsa yang mempunyai kompetensi tinggi di bidang rekayasa konstruksi,
jelas mengindikasikan bangsa maju. Mereka akan mampu mendirikan bangunan-
bangunan konstruksi yang besar atau megah sendirian, tanpa bantuan bangsa lain,
sehingga kekayaan yang dipakainya akan kembali lagi kepada bangsa tersebut. Itu
berarti kekayaan bangsa secara umum tidak berkurang, bahkan bisa semakin kaya
karena mendapat tambahan adanya bangunan baru di wilayahnya.

Bahkan jika kompetensinya itu begitu istimewa, dibandingkan yang ada di bangsa
lain, maka dimungkinkan juga untuk dibagikan, membantu bangsa lain. Jika terjadi
maka itu berarti dapat menambah devisa bagi bangsa itu sendiri. Bertambah kaya,
meskipun mungkin sumber daya alam yang dimiliki bangsa tersebut terbatas.

Itulah yang terjadi pada negara kaya karena kepintaran manusianya, mereka akan
semakin bertambah kaya, sedangkan negara kaya karena mengandalkan sumber
alamnya yang dieksploatasi, maka lama-lama akan habis juga.

Bagaimanakah kondisi di negara kita, Indonesia. Sudahkan menguasai kompetensi


rekayasa secara mandiri. Ini tidak sederhana menjawabnya, jika disebut sudah tapi
mengapa sampai terjadi keruntuhan jembatan seperti di Kutai Kartanagara tempo
hari. Juga saat pembangunan jembatan Suramadu, jembatan terpanjang Indonesia,
mengapa masih diperlukan kerja sama dengan pihak asing (China).

Kondisi ini tentunya menunjukkan bahwa masih terdapat peluang luas bagi usaha-
usaha peningkatan diri untuk lebih mandiri di bidang rekayasa di Indonesia.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 9/90


5. BANGUNAN, AHLI BANGUNAN DAN INSINYUR
Masyarakat awam di pedesaan (juga sebagian di kota) jika membangun rumahnya,
maka mereka akan mencari tukang berpengalaman. Tidak pernah terpikirkan oleh
mereka, mencari sarjana teknik sipil lulusan perguruan tinggi terkenal. Jadi tukang
berpengalaman itulah yang dianggapnya sebagai ahli bangunan terbaik, yang dapat
membangun rumah yang kuat dan baik untuk menjadi tempat tinggalnya.

Itu tidak mengherankan. Bayangkan saja, bahkan tanpa tukang berpengalamanpun


tapi jika didasari suatu motivasi kuat dan keberanian serta rasa kebersamaan yang
tinggi, dapat saja dibuat suatu bangunan untuk menyelesaikan permasalahan yang
ada. Untuk itu, perhatikan Gambar 1, suatu jembatan sederhana berhasil dibangun
untuk menyeberangi sungai yang lebar, foto diambil di Vietcong, Vietnam.

Gambar 1. Jembatan tradisionil bambu sederhana di Vietcong

Manusia dengan akal budi dan kemampuannya bernalar, ketika berinteraksi dengan
alam sekitarnya, akhirnya dapat memperbandingkan satu hal dengan hal lainnya,
untuk akhirnya dipilih mana yang lebih baik dari yang lain. Ini disebut juga naluri.
Selanjutnya dengan konsep trial-and-error, dapatlah dibuat bangunan sederhana
seperti di atas, memenuhi apa yang diperlukannya. Manusia pada dasarnya bisa
menjadi ahli bangunan untuk kepentingannya sendiri. Baca juga nats berikut:

. . . Orang itu menggali dalam-dalam dan meletakkan dasarnya di atas batu.


Ketika datang air bah dan banjir melanda rumah itu, rumah itu tidak dapat
digoyahkan, karena rumah itu kokoh dibangun.
Lukas [6:48]

Nats di atas dikutip dari kitab suci, untuk menunjukkan bahwa pengetahuan akan
persyaratan bangunan yang kokoh dari jaman dahulu, ternyata masih dipakai ahli-
ahli bangunan sampai pada masa sekarang. Tidak ada sesuatu yang baru lagi.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 10/90


Jadi, jika sampai diadakan pendidikan tinggi di bidang rekayasa teknik sipil. Apakah
nanti lulusannya cukup menjadi seperti ahli bangunan di atas, yaitu menjadi ahli
melalui prinsip "bisa karena biasa”. Biasa diartikan juga sebagai berpengalaman, jadi
ahli yang dimaksud akan bisa melaksanakan sesuatu jika hal itu pernah dikerjakan
sebelumnya. Cara berpikir seperti itulah yang mendasari konsep pendidikan yang
dikenal sebagai link-and-match, belajar tentang hal-hal yang nanti banyak ditemui
saat bekerja, yang umumnya berupa ketrampilan praktis. Jika seperti itu tidak heran
jika nanti akan ada jargon promosi : ”siap meluluskan sarjana-sarjana siap pakai”.

Apakah seperti itu yang dimaksud dengan tujuan pendidikan sarjana teknik sipil ?

Konsep link-and-match itu sendiri, tentu saja tidak salah. Bukankah penerima kerja
akan senang, jika ada pegawai baru dapat cepat beradaptasi dan berproduktivitas
pada pekerjaan rutin yang ada. Apalagi memang, sebagian besar jenis pekerjaan
konstruksi umumnya juga bersifat rutin. Kalaupun ada yang bersifat spesifik, dapat
diambil alih sesaat oleh para seniornya.

Tetapi jika tujuan pendidikannya adalah semata-mata link-and-match saja, diajarkan


yang praktis-praktis saja, maka dalam jangka panjang para sarjana tersebut pasti
akan kewalahan menghadapi tuntutan masyarakat yang semakin maju (berubah).
Konsep link-and-match tidak cukup untuk menghadapi jenis-jenis pekerjaan yang
berubah-ubah, yang baru, yang belum ada sebelumnya. Karena jika demikian, ketika
bertemu hal yang baru, maka yang bisa dikerjakan oleh ahli tersebut adalah ”coba
dulu”, yang berarti cara trial-and-error.

Cara trial-and-error untuk hal yang sederhana dan beresiko kecil, tentunya tidak
akan menjadi masalah. Tetapi jika diaplikasikan pada hal-hal yang kompleks, yang
beresiko tinggi terhadap biaya maupun keselamatan jiwa manusianya, maka tentu
tidak dapat diandalkan lagi. Untuk itu maka tidak bisa lagi, sarjana teknik sipil harus
menguasai ilmu pengetahuan yang mendasari aplikasi praktis, juga teknologi yang
mendukungnya. Dalam banyak hal, ilmu pengetahuan yang dimaksud kadangkala
bersifat teoritis, tidak praktis jika diaplikasikan pada permasalahan sebenarnya,
yang kompleks sifatnya. Tetapi itu penting diberikan pada calon sarjana teknik sipil
sebagai sarana membentuk kerangka berpikir logis berkaitan dengan bidangnya.

Akhirnya untuk merangkum dua hal di atas, tujuan pendidikan sarjana teknik sipil
diterjemahkan sebagai bisa meluluskan sarjana yang siap bekerja di bidangnya,
maupun mempersiapkan diri untuk jenjang studi lebih tinggi.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 11/90


Melalui konsep pendidikan sarjana teknik sipil tersebut, diharapkan akan lahir tidak
sekedar ahli bangunan, tetapi insinyur-insinyur teknik sipil yang kompeten.

Jika ahli bangunan menekankan penyelesaian masalah mengandalkan pengalaman


yang dimilikinya, baik itu berupa ketrampilan, atau ilmu pengetahuan dan teknologi
yang telah ada. Maka seorang insinyur teknik sipil diharapkan dapat bertindak lebih
smart lagi. Jika menghadapi permasalahan rutin, maka bisa saja memanfaatkan
strategi yang digunakan ahli bangunan, jika memang terbukti itu lebih efisien. Jika
tidak memungkinkan, maka seorang insinyur akan berani mencoba strategi baru
yang dipilihnya berdasarkan ilmu dan pengetahuan yang dikuasainya. Bahkan untuk
permasalahan yang belum ada ilmunya, dimungkinkan untuk menderifasi ilmu baru,
termasuk menciptakan teknologi yang membantunya.

Konsep insinyur teknik sipil yang di atas, bukan sesuatu yang mustahil, meskipun
dalam banyak hal seorang sarjana teknik sipil sudah cukup puas untuk menjadi ahli
bangunan saja. Adapun yang bisa disebut insinyur pada konteks di atas dapat dilihat
pada pribadi-pribadi berikut:

 John A. Roebling, dengan jembatan Brooklyn di New York.


 Robert Maillart, dengan jembatan Salginatobel di Swiss.
 Fritz Leonhardt, dengan tower TV Stuttgart, di Jerman.
 Sedijatmo, dengan konstruksi Cakar Ayam-nya, di Indonesia.
 Tjokorda Raka Sukawati , dengan teknik Sosrobahu, di Indonesia.

Nama-nama di atas dapat dicari karena ada tulisan yang membahasnya, kenyataan
real bisa saja masih banyak yang lain, yang umumnya akan mengiringi kesuksesan
proyek-proyek konstruksi khas yang belum pernah ada sebelumnya. Mereka tidak
diketahui karena tidak dituliskan, itulah mengapa hanya sedikit yang dapat menjadi
inspirasi bagi calon-calon insinyur lainnya. Jadi terbukti lagi, bahwa kemampuan
menulis berkaitan langsung dengan kemajuan atau peningkatan insinyur itu sendiri.

Uraian di atas perlu diungkapkan untuk mengevaluasi kesiapan sarjana teknik sipil
di Indonesia menghadapi era pembangunan gedung super tinggi maupun jembatan
bentang panjang yang mulai menjadi wacana umum negeri ini. Mengapa demikian,
karena dapat dimaklumi bahwa yang namanya gedung super tinggi, yang umumnya
didasari oleh motivasi ingin menjadi terkemuka, maka bentuk dan ukurannya harus
dipilih istimewa, minimal berbeda dengan yang telah ada. Berarti itu adalah hal yang
baru, bukan. Jadi kalau hanya mengandalkan level ahli bangunan tentu tidak mudah.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 12/90


6. BAGAIMANA MENJADI INSINYUR DAN TIDAK SEKEDAR AHLI BANGUNAN
Telah diungkapkan, bahwa kompetensi insinyur dianggap siap mengantisipasi era
pembangunan yang mencakup gedung tinggi maupun jembatan bentang panjang,
atau bahkan bangunan-bangunan baru yang belum pernah ada sebelumnya.

Keberadaan orang dengan level insinyur juga tidak diragukan lagi berada di setiap
kesuksesan proyek-proyek baru yang ada. Hanya karena tidak terpublikasi, maka
tidak banyak orang yang mengetahuinya. Oleh sebab itu hanya dapat diketahui dan
dipelajari jika bergaul atau mengalami sendiri proyek-proyek yang dimaksud. Bisa-
bisa ternyata kita sendiri mempunyai kapasitas seperti itu, yaitu ketika proyek yang
menjadi tanggung jawab kita, ternyata berhasil dengan sukses dilaksanakan.

Tetapi bagi anak-anak muda, yang sedang belajar, tentunya masih akan bertanya-
tanya, apakah mereka juga mampu mencapai level insinyur tersebut. Jadi kalau bisa,
sedini mungkin mereka dapat mempersiapkan diri, mempelajari apa-apa saja yang
mendukung tercapainya level insinyur tersebut. Jadi apa-apa saja itu, tentu sesuatu
yang ditunggu-tunggu. Ternyata, untuk mencari tahu itu ternyata tidak mudah, cara
yang umum dilakukan adalah membaca biografi dari insinyur yang dianggap sukses,
tapi jika dibandingkan antara satu insinyur yang sukses dengan insinyur sukses
lainnya, ternyata sangat bervariasi. Jadi kesan yang didapat bersifat subyektif.

Di belahan dunia lain, khususnya di Amerika ada hal yang menarik, dan kelihatan-
nya dapat menjawab pertanyaan di atas. Asosiasi insinyur teknik sipil Amerika atau
ASCE (American Society of Civil Engineers) telah mencoba mencari jawabnya 2. Itu
dimaksudkan sebagai petunjuk bagi generasi mudanya bagaimana menjadi insinyur.

Langkah awal yang diberikan, adalah menjadikan terlebih dahulu profesi tersebut
suatu kebanggaan bagi yang memilihnya, seperti diungkap pada quote berikut:

It is a great profession.
There is the fascination of watching a figment of the imagination emerge
through the aid of science to a plan on paper.
Then it brings jobs and homes…it elevates the standards of living and adds to
the comforts of life.
That is the engineer’s high privilege.
Herbert Hoover, engineer, humanitarian, and 31st U.S. President

2 ASCE, The Vision for Civil Engineering in 2025, Based on The Summit on the Future of
Civil Engineering - 2025, June 21-22, 2006

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 13/90


Betul juga, jika ingin menjadikan yang terbaik, harus dimulai dari motivasi diri, yang
menyangkut totalitas hidup yang dapat diberikan. Jadi, jika ingin jadi insinyur hanya
sekedar uang atau materi yang banyak. Maka tahapan ini belum tentu diperlukan,
maklum menjadi ”makelar” di jaman sekarang ini, kadang sudah memungkinkan.

Permasalahan yang dihadapi para insinyur teknik sipil diberbagai negara ternyata
mirip dengan yang terjadi di Indonesia. Inilah isue yang ditangkap dalam KTT ASCE:

Buruknya kondisi infrastruktur di banyak negara, banyak terjadinya korupsi di


industri konstruksi / rekayasa secara global, minimnya keterlibatan insinyur sipil
pada kebijakan politik, issue keberlanjutan lingkungan masih kurang, terjadinya
globalisasi di bidang rekayasa, dan sulitnya menarik generasi muda yang terbaik
dan cerdas untuk berprofesi tersebut.

Padahal masalah di bidang teknik sipil yang akan dihadapi generasi mendatang
bukannya berkurang, sebagaimana telah diidentifikasi oleh ASCE sebagai berikut:

Populasi global yang terus meningkat, yang terus bergeser ke daerah perkotaan
akan membutuhkan penyesuaian yang berkelanjutan. Tuntutan akan energi, air
minum, udara bersih, pembuangan limbah yang aman, dan transportasi akan
mendorong diperlukannya perlindungan lingkungan sekaligus pengembangan
infrastruktur. Masyarakat akan menghadapi ancaman meningkat dari bencana
alam, kecelakaan, dan mungkin penyebab lain seperti terorisme.

Permasalahan semakin kompleks di atas, menurut ASCE memerlukan keterlibatan


berbagai disiplin ilmu, baik di bidang riset maupun aplikasinya. Pada kasus seperti
ini maka kemampuan berkomunikasi menjadi satu-satunya sarana mencapai sukses.

Visi kedepan yang diharapkan dari insinyur teknik sipil menurut ASCE adalah:

Insinyur sipil harus dapat menjadi ahli bangunan, penjaga lingkungan, inovator
dan integrator, pemimpin untuk mengatasi risiko dan ketidakpastian, serta dalam
membentuk kebijakan publik.

Ternyata spesifikasi insinyur yang dikemukakan ASCE lebih dari cukup untuk dijadi-
kan petunjuk menjadi insinyur yang diharapkan, untuk itulah akan dijadikan acuan.
ASCE mengungkapkan, insinyur yang baik sebaiknya melengkapi diri dengan tiga
atribut penting, yaitu: [1] knowledge; [2] skill; dan [3] attitudes. Sampai disini
diketahui bahwa dua atribut pertama telah dibahas, sedangkan atribut ke tiga
sebelumnya tidak dibahas karena dianggap melekat pada setiap personil.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 14/90


Jika sebelumnya atribut tersebut dibahas dalam tahap kualitatif, maka yang menarik
ASCE telah mendaftarkan tahap kuantitatif atribut-atribut yang dimaksud, yaitu:

a) Knowledge atau pengetahuan yang menyangkut ranah kognitif dan umumnya


penguasaan teori-teori utama dan yang mendasar, seperti geometri, kalkulus,
vektor, momentum, friksi, tegangan dan regangan, mekanika fluida, enerji, sifat
menerus (continuity) sifat variabel (variability).

b) Skill atau ketrampilan yang mendukung dapat diselesaikannya secara baik,


tugas yang diberikan atasan, contohnya mengoperasikan komputer dengan baik
(menguasai spreadsheet, pengolah kata, basis data dsb), kemampuan organisasi,
bahasa asing (lesan dan tulisan). Secara umum disebutkan, bahwa pendidikan
formal mengusahakan peningkatan bidang knowledge, sedang skill memerlukan
pendidikan formal dan non-formal. Ini berarti mahasiswa tidak cukup hanya
sekedar belajar dan belajar saja, tetapi juga kegiatan intra kurikuler.

c) Attitudes atau sikap mental, merujuk pada nilai-nilai yang menjadi pegangan
hidup, yang menentukan bagaimana seseorang bersikap pada kehidupan ini.
Sikap mental yang mendukung mutu profesional kerja misalnya kemampuan
berkomitmen, keingin-tahuan yang tinggi, kejujuran, integritas, sikap optimis,
bersifat obyektif, kepekaan, ketelitian dan toleransi kerja (ketepatan).

Jika mempelajari petunjuk yang diberikan ASCE untuk membentuk insinyur di masa
depan, rasanya sangat umum. Hanya 1/3 saja, yaitu knowledge yang ditentukan oleh
kurikulum pengajaran di level pendidikan tinggi, adapun 2/3 yang lain lebih banyak
berfokus pada usaha-usaha pengembangan diri pribadi secara umum. Jika demikian
dapat diambil kesimpulan bahwa untuk menjadi insinyur, selain perlu pendidikan
formal yang benar, yaitu meraih gelar sarjana teknik, juga diperlukan usaha-usaha
pengembangan diri yang terus menerus. Salah satu upaya yang biasa diambil adalah
magang, atau nyantrik pada insinyur senior yang terkenal reputasinya.

7. KARAKTER BANGUNAN TINGGI DAN BANGUNAN BENTANG PANJANG


Bila kesiapan sarjana teknik sipil diarahkan untuk berani menerima tanggung jawab
yang lebih dari sekedar tukang atau ahli bangunan, maka wajar jika selanjutnya
membahas bangunan tinggi atau jembatan panjang yang mungkin tidak terbayang-
kan sebelumnya. Kalaupun nantinya, masih melibatkan rekanan dari manca-negara,
tetapi event tersebut merupakan sarana transfer of knowledge and technology.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 15/90


Karena perlu membahas bangunan gedung tinggi dan jembatan bentang panjang
sekaligus. Ada baiknya mengenal lebih mendalam karakter keduanya, sehingga
dapat diketahui apakah untuk mengenal keduanya dapat sekaligus (paralel) atau
secara sendiri-sendiri (seri). Karakter yang dimaksud, dapat dilihat di Tabel 2.

Tabel 2. Perbedaan karater gedung tinggi dan jembatan panjang


No Item Gedung tinggi Jembatan panjang
1 Orientasi fisik Vertikal Horizontal
2 Profesional penentu Multidisiplin, arsitek sebagai leader, Insinyur sipil, sangat jarang arsitek
dibantu insinyur sipil, M&E, dll. terlibat.
3 Tujuan pemakaian Hunian, baik sementara atau tetap Bukan hunian, hanya sebagai
Interaksi manusia banyak, faktor penghubung dan karena tempatnya
kenyamanan dan rasa terlindung terbuka (terpapar cuaca) maka kesan
menjadi penting. Ini gunanya arsitek. keselamatan jadi utama. Arsitek tidak
Insinyur beri jaminan keselamatan. punya peran yang signifikan.
4 Tampak visual luar Material penutup, bahan finishing Struktur terlihat langsung. Penutup,
bangunan yang berupa non-struktur. pelindung pengaruh lingkungan luar.

Sistem struktur tidak menonjol, perlu Sistem struktur terlihat jelas, dapat
pengamatan khusus mendalam. digolongkan dari sistem strukturnya.
5 Beban yang menentukan Beban gempa (sementara). Beban gravitasi (tetap).
dalam perencanaan.
Gedung sudah berdiri, tapi belum Kondisi pelaksanaan kadang paling
teruji gempa sesungguhnya. Resiko menentukan. Sering dijumpai runtuh
runtuh saat konstruksi relatif jarang, saat pelaksanaannya belum selesai.
peran insinyur tidak menonjol.
6 Kepemilikan dan Sifatnya pribadi atau private, dan Dimiliki pemerintah dan dipakai oleh
pemakaian pemakaiannya bersifat tertutup. publik (masyarakat).
7 Sifat beban Beban hidup relatif terkontrol, sebab Beban hidup dari publik, pelanggaran
bangunan gedung sifatnya tertutup. yaitu kelebihan beban.

Beban hidup bersifat statik, kecuali Beban hidup bergerak, resiko terjadi
gempa yang dinamik. fatik.
8 Metode konstruksi dan Metode konstruksi tidak menentukan Metode konstruksi bagian desain,
proses desain. dalam perencanaan. bisa menentukan sistem strukturnya.

Untuk menghindari monopoli, maka Pekerjaan desain dan konstruksi


sistem struktur yang didesain harus harus sinkron dan tergantung
bersifat umum. teknologi yang tersedia.
Faktor lingkungan dan Sistem struktur terlindung. Pengaruh Sistem struktur terbuka. Faktor
sistem struktur thermal tidak dominan, sehingga lingkungan dominan, jadi korosi jadi
struktur menerus (statis tak tentu) penting diperhatikan. Untuk struktur
tidak masalah. Ini dipilih untuk statis tak tentu (menerus) pengaruh
menghasilkan struktur redundan, thermal, differential settlemen
sehingga ketika ada gempa dapat sangat penting. Untuk mengatasinya
dihasilkan keruntuhan bertahap. struktur pisah (siar dilatasi, bearing).

Struktur yang menyatu dengan Kondisi struktur atas pisah dengan


pondasi menyebabkan gempa struktur bawahnya membuatnya
diteruskan ke struktur atas. lebih baik bilamana terjadi gempa.

Jadi gedung (super) tinggi dan jembatan (sangat) panjang mempunyai karakter yang
saling berlainan. Oleh sebab, untuk mendapatkan pemahaman yang baik, uraiannya
sebaiknya tidak disatukan, tetapi dibahas tersendiri atau tepatnya dapat difokuskan.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 16/90


8. BANGUNAN GEDUNG TERHADAP GEMPA DAN ANGIN
8.1. Umum
Sebelum membahas bangunan tinggi, ada baiknya memperhatikan musibah gempa
yang pernah terjadi, yaitu 26 Desember 2004 di Aceh, 9.3 Skala Richter (SR) dengan
tsunami, 27 Mei 2006 di Yogyakarta, 5.9 SR, 30 September 2009 di Padang, 7.6 SR.
Itu catatan kejadian di dalam negeri, adapun di luar negeri yaitu 15 Agustus 2007 di
Peru, 7.9 SR, lalu 22 Februari 2011 di Christchurch, Selandia Baru, 6.5 SR, dan tidak
lama kemudian 11 Maret 2011 di Jepang, 8.9 SR dengan tsunaminya yang dahyat.
Adanya gempa-gempa tersebut dan lokasinya menjadi bukti bahwa yang dinamakan
ring of fire adalah fakta yang tidak dapat disepelekan, lihat Gambar 2.

Gambar 2. Ring of Fire peta resiko gempa di kawasan Asia-Pasific

Peta virtuil ring of fire di atas dihasilkan dari pemikiran adanya pelat tektonik bumi
yang terpisah dan saling bergerak satu dan lainnya, ada bagian yang berjauhan dan
ada bagian yang saling bertemu. Pada daerah itulah yang diyakini sumber terjadinya
gempa. Jadi gempa adalah dampak pergerakan itu, dan akan terus terjadi selama ada
pergerakan tersebut. Resiko gempa tidak bisa diabaikan, suatu saat akan terjadi.
Hanya kapan waktunya yang tepat, sampai sekarang belum ada ilmu dan teknologi
yang dapat mengungkapkannya, baru pada tahap dugaan semata. Bisa ya, bisa tidak.

Pada bangunan tinggi, dampak gempa mirip dengan angin, yaitu pembebanan arah
lateral. Karena karakternya didominasi arah vertikal dibanding horizontal, maka
pengaruh gempa pada gedung tinggi lebih signifikan menentukan perencanaannya.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 17/90


8.2. Karakteristik Penting Bangunan terhadap Gempa dan Angin
Angin dan gempa pada gedung tinggi, efeknya sama, sehingga perlu sistem struktur
penahan lateral. Meskipun demikian, proses terjadinya beban berbeda, sehingga
karakternya juga berbeda. Beban gempa terjadi akibat adanya percepatan tanah
pada pondasi yang diteruskan ke struktur atas. Ini terjadi, karena secara tradisionil
bangunan bersatu dengan pondasinya. Hasilnya jika disederhanakan, pada pusat
massa seakan-akan ada beban lateral, sesuai hukum kedua Newton, yaitu F = m∙ a.

Gambar 3. Perilaku struktur gedung tinggi terhadap angin dan gempa

Besarnya percepatan tanah (a) tergantung lokasi (tempat), karena Indonesia berada
pada daerah ring of fire (Gambar 2), maka resiko terjadi gempa juga besar. Adapun
parameter massa (m) tergantung jenis bangunan, yang ringan mengakibatkan beban
gempa lebih yang kecil dibanding yang berat. Itulah mengapa bangunan tradisionil
dari kayu relatif lebih tahan gempa (rusak sedikit) dibanding rumah batu. Bahkan
dapat dijelaskan, mengapa kolom rumah joglo yang hanya duduk di atas umpak batu
punya kinerja lebih baik saat ada gempa dibanding kolom yang tertanam di pondasi.

Karakter bangunan untuk menghadapi gempa berbeda dibandingkan dengan angin.


Bangunan ringan dan terpisah dari pondasi adalah faktor yang menguntungkan
terhadap efek gempa, tetapi sebaliknya jika dimaksudkan untuk menghadapi angin.
Jika diterapkan, maka bisa-bisa bangunannya terbawa terbang oleh angin topan.
Angin bekerja langsung menekan (menghisap) bangunan, jadi semakin berat dan
terikat erat dengan sistem pondasinya, maka bangunan akan semakin stabil (kuat).

Jadi meskipun pengaruh angin dan gempa adalah sama-sama sebagai beban lateral
pada gedung, tetapi karena karakternya berbeda maka solusinya juga bisa berbeda.

Karakteristik bangunan juga tergantung dari material utama yang dipakai. Jika
terkait gedung tinggi dan jembatan panjang, maka materialnya relatif terbatas, yaitu
beton atau baja, atau kombinasi keduanya. Untuk itu mari kita lihat masing-masing.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 18/90


Material baja secara alami mempunyai rasio kuat berbanding berat-volume yang
tinggi, sehingga dihasilkan bangunan yang relatif ringan. Ini penting pada bangunan
tahan gempa. Selain itu, material baja punya karakter kekuatan tinggi, relatif kaku
dan sangat daktail, yang merupakan syarat ideal mengantisipasi beban tak terduga.
Karena produk pabrik, mutunya relatif seragam, tetapi karena itu pula ukuran dan
bentuknya tertentu, terpisah dan baru disatukan di lapangan. Pada satu sisi hal itu
kelemahan karena sulit dihasilkan struktur monolit, perlu detail sambungan yang
baik. Tetapi jika dapat diantisipasi, ternyata dapat dibuat suatu detail khusus
sehingga jika terjadi kerusakan (akibat gempa) maka bagian itu saja yang diperbaiki.
Itu sangat memungkinkan karena dari awalnya memang tidak monolit.

Material beton berbeda dari segi kekuatan, kekakuan atau daktilitasnya, kalah dari
material baja. Bahkan beton hanya dimanfaatkan terhadap tekan. Jadi untuk dapat
digunakan perlu bantuan baja, jadilah beton bertulang atau beton prategang. Sisi
lain, secara alami beton punya karakter lebih awet, ketahanan lingkungan yang baik,
tidak korosi, tahan panas (tidak terbakar), dan mudah untuk dibentuk. Ini yang
menyebabkan konstruksi beton lebih monolit atau menerus. Sistem sambungan
pada konstruksi beton bertulang bukan sesuatu yang signifikan rumit dalam
desainnya, kecuali jika memakai sistem beton pracetak. Material beton punya rasio
kuat dibanding berat-volume yang rendah, hasilnya sistem strukturnya relatif lebih
berat, tetapi sifat seperti ini ternyata baik jika digunakan terhadap beban angin.
Adanya karakter berbeda antara material baja dan beton, tetapi sebenarnya saling
melengkapi, menyebabkan keduanya menjadi material utama pada gedung tinggi.

8.3. Sistem Struktur Penahan Lateral


8.3.1. Sistem struktur dan jumlah lantai
Jarak antar kolom (bentang balok) pada bangunan tinggi umumnya relatif pendek.
Dimensi bangunan meningkat kearah vertikal., sehingga gempa dan angin akan lebih
berpengaruh. Akibatnya diperlukan sistem struktur penahan lateral yang sesuai,
yang mempengaruhi konfigurasi atau tata letak elemen vertikal dari segi arsitektur.

Pada bangunan relatif tidak tinggi, sistem penahan lateral dapat dirangkap sekaligus
dengan sistem penahan gravitasi, yaitu rigid frame atau portal. Penggunaan beton
bertulang untuk rigid frame relatif mudah karena sifatnya monolit, tetapi untuk baja
perlu sistem sambungan yang detailnya lebih kompleks dibanding beton bertulang.
Selanjutnya semakin tinggi bangunan, sistem rigid-frame tidak cukup, perlu dibuat
struktur khusus yang memang didedikasikan untuk sistem struktur penahan lateral.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 19/90


Ada berbagai macam sistem struktur penahan lateral, efektivitasnya ditentukan oleh
kekakuan lateral yang dihasilkan. Untuk itu dapat dilihat pada Gambar 4 berbagai
macam sistem yang dijumpai, yang dibedakan antara struktur baja dan struktur
beton bertulang. Sistem yang dipilih juga ditentukan dari jumlah lantai bangunan,
karena semakin banyak lantai maka diperlukan sistem yang lebih efektif.

Gambar 4. Hubungan sistem penahan lateral dan jumlah lantai (Taranath 2005)

Catatan : Daftar atas belum memperhitungkan sistem struktur Burj-Khalifa (2010),


yang berbeda dan dianggap sistem baru, terbukti dapat dipakai sampai  160 lantai.

Sistem struktur penahan lateral menentukan kekakuan bangunan terhadap beban


lateral (gempa dan angin). Ini sangat penting, karena deformasi lateral bangunan
harus dibatasi, agar nyaman dipakai (jangan sampai terjadi goyangan berlebih) yang
dirasakan secara langsung oleh pemakainya, juga dampak pada kekuatannya akibat
adanya momen tambahan dengan terjadinya efek P-Δ pada elemen vertikal (kolom).

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 20/90


Perilaku lateral gedung tinggi dapat dianalogikan sebagai kantilever, dimana untuk
beban titik deformasinya Δ = PL3/(3EI), dengan P gaya lateral (gempa atau angin), L
tinggi bangunan, E modulus elastisitas material, dan I momen inersia atau konstanta
lentur berdasarkan konfigurasi fisik geometrinya. Jika kekakuan adalah besarnya
gaya per-unit deformasi, maka kekakuan lentur kantilever k = 3EI/L3 , berbanding
linier dengan EI tetapi berbanding terbalik pangkat tiga dengan tingginya.

Parameter E tergantung materialnya, jika struktur baja nilai Es = 200,000 MPa, tapi
untuk struktur beton bervariasi tergantung mutu beton yaitu Ec = 4700 √fc’ MPa.
Jadi dapat dipahami mengapa bangunan super tinggi, pemakaian beton mutu tinggi
adalah sangat penting, tidak hanya dari segi kekuatannya, yaitu kemampuannya
menahan gaya tekan yang lebih besar, tetapi juga agar kekakuan struktur meningkat
untuk mengurangi deformasi lateral. Jika peningkatan mutu bahan (E) tidak bisa,
atau tidak cukup ekonomis diusahakan, maka alternatif lainnya adalah peningkatan
faktor I , yang dalam hal ini tentunya tidak sekedar momen inersia seperti kantilever
biasa, tetapi lebih pada konstanta yang mewakili kondisi geometri atau bentuk
fisik struktur terhadap beban lateral.

Gambar 5. Macam sistem struktur penahan lateral: (a) steel rigid frame; (b) RC rigid
frame; (c) braced steel frame; (d) RC frame - shear wall; (e) steel frame - shear wall; (f)
steel frame – infilled walled (Taranath 2005)

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 21/90


8.3.2. Gedung tinggi dan analogi kolom kantilever
Pentingnya mengetahui karakter geometri atau bentuk fisik struktur gedung tinggi
berkaitan dengan perilakunya terhadap beban lateral. Ini tentu berbeda jika yang
mempelajarinya arsitek, yang akan mengevaluasi dari segi keindahan atau fungsinya
adapun engineer tentunya melihat dari sisi kekuatan, kekakuan dan faktor daktilitas.

Selanjutnya dapat dipelajari strategi peningkatan kekakuan lateral, ditinjau sistem


flat-slab kolom (yang paling sederhana). Kekakuan lateral semata-mata ditentukan
oleh elemen vertikal (kolom), yang bekerja sebagai kantilever. Berdasarkan teori
elastisitas dapat diketahui perilaku umumnya terhadap beban terpusat (Gambar 6).

Gambar 6. Perilaku kolom kantilever terhadap beban lateral terpusat

Deformasi lateral (total) akibat beban terpusat (P) terdiri deformasi lentur (lentur)
dan deformasi geser (geser), keseluruhannya adalah total = lentur + geser , adapun
lentur = PL3/(3EI) dan geser = 1.2PL/(GA) pada penampang persegi, G = ½E/(1+)
jadi jika  = 0.2 (material beton) maka G = ½E/(1+) = 0.4167E.

Selanjutnya parameter numerik tersebut digunakan untuk menunjukkan seberapa


besar pengaruh deformasi terhadap perubahan ukuran kolom (b x h), dimana nilai h
akan ditingkatkan sesuai arah pembebanan, sampai akhirnya disebut dinding.

Tabel 3. Pengaruh dimensi kolom terhadap perilaku deformasi


No b h h/L I A lentur geser total
1 1 0.5 0.05 0.01042 0.5 31,990 (99.8%) 58 (0.2%) 32,048 (100%)
2 1 1 0.10 0.08333 1 4,000 (99.3%) 29 (0.7%) 4,029 (100%)
3 1 3 0.30 2.25000 3 148 (93.7%) 10 (6.3%) 158 (100%)
4 1 5 0.50 10.41667 5 32 (84.0%) 6 (16%) 38 (100%)
5 1 7 0.70 28.58333 7 12 (75.0%) 4 (25%) 16 (100%)
6 1 10 1.00 83.33333 10 4 (58.0%) 3 (42%) 7 (100%)
Catatan : P =1; E=1 dan L=10

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 22/90


Dari Tabel 3 diketahui bahwa rasio tinggi penampang (h) terhadap tinggi kolom (L),
mempengaruhi perilaku struktur. Jika h/L kecil (kolom) maka deformasi lentur
dominan, tetapi h/L semakin besar (dinding), sehingga kekakuan lentur bertambah
maka deformasi yang terjadi sebagian disebabkan oleh adanya geser. Sehingga
untuk kolom langsing, deformasi geser dapat diabaikan, tetapi sebaliknya untuk
dinding maka deformasi geser yang terjadi harus diperhitungkan.

8.3.3. Sistem rigid frame


Perkembangan lanjut adalah rigid frame atau portal. Kekakuan ujung-ujung bebas
kolom bebas diberdayakan, yaitu dengan menghubungkannya pada balok kaku.
Kaku atau tidaknya balok ditentukan parameter EIb/Lb, yang berbanding lurus
dengan tinggi penampang balok tetapi berbanding terbalik dengan panjangnya.

Perilaku lateral rigid frame dan kolom bebas (kantilever) ternyata berbeda. Untuk
itu akan diperlihatkan komponen-komponen deformasinya sebagai berikut.

Gambar 7. Deformasi rigid-frame: (a) bending momen ; (b) geser


Gambar 7a merupakan deformasi terhadap bending momen yang terjadi jika rigid
frame bekerja sebagai satu kesatuan struktur monolit, yang identik dengan Gambar
6c. Ciri-cirinya ada sisi kolom tekan (-) dan ada sisi kolom tarik (+).

Gambar 7b merupakan deformasi yang diakibatkan oleh kekakuan lentur kolom


secara individu, yang bentuknya identik dengan deformasi geser jika dianggap rigid
frame dapat bekerja sebagai satu kesatuan monolit, lihat Gambar 6e. Ciri-cirinya
tidak terjadi perubahan panjang dari masing-masing kolom.

Dalam kenyataannya, deformasi lateral rigid-frame secara keseluruhan didominasi


oleh bentuk deformasi geser (Gambar 7b). Itu terjadi karena kolom secara individu
mempunyai kekakuan aksial yang besar dibanding lenturnya, sehingga yang lemah
(lentur penampang) menentukan perilaku rigid-frame secara keseluruhan.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 23/90


Terkait bangunan tinggi, dimana rasio lebar tapak dan tingginya (h/l) relatif kecil,
maka perilakunya dapat dianalogikan sebagai kolom langsing. Sistem tersebut akan
efektif jika mekanisme pengalihan gaya-gaya lateral ke pondasi melalui kekakuan
lentur dibanding kekakuan gesernya. Itu dijelaskan di Tabel 3, kolom dengan rasio
h/l = 0.1 maka 99.8% lendutannya ditentukan dari kekakuan lentur. Ciri-cirinya, ada
sisi tekan dan sisi tarik pada potongan penampangnya. Selanjutnya untuk perilaku
rigid-frame ternyata tidak seperti itu, tidak dijumpai sisi tekan atau tarik yang cukup
signifikan besarnya, yang ada adalah deformasi lateral pada sistem seperti akbiat
deformasi geser. Itu berarti, balok (horizotal) penghubung kolom (vertikal) dengan
komponen vertial lainnya, belum efektif. Dalam praktek, rigid-frame optimal dipakai
pada sistem struktur penahan lateral gedung 25 lantai ke bawah (lihat Gambar 4).

8.3.4. Sistem braced-frame


Untuk itu dibuat studi lagi, mencari sistem penghubung kolom-kolom agar efektif
bekerja secara monolit. Alternatifnya adalah brace-frame atau sistem rangka dengan
batang diagonal. Konfigurasinya dapat dikategorikan sebagai concentric brace frame
(CBF) dan eccentric brace fream (EBF), sebagai berikut:

Gambar 8. Macam-macam sistem rangka dengan batang diagonal

Jika konfigurasi rangka keseluruhan dibentuk dari segitiga-segitiga, disebut CBF, jika
hanya sebagian disebut EBF, misalnya rangka g, i, j, dan l pada Gambar 8.
Konfigurasi batang diagonal (bracing) yang bermacam-macam, umumnya untuk
mengakomodasi keperluan tata layout ruang di dalamnya, seperti jendela atau pintu

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 24/90


dan sebagainya. Penggolongan CBF dan EBF perlu karena mekanisme pengalihan
gaya-gaya lateralnya ke pondasi berbeda. CBF memanfaatkan kekakuan aksial
elemen-elemen batang (Gambar 9a-d), sedang EBF selain seperti CBF ada bagian
yang berperilaku sebagai balok lentur (Gambar 9e). Keruntuhan lentur lebih daktail
dibanding aksial, hingga EBF juga lebih daktail jika direncanakan dengan baik.

Gambar 9. Aliran gaya-gaya pada rangka dengan batang diagonal

Adanya batang tekan (-) dan tarik (+) pada rangka dengan batang diagonal, menjadi
petunjuk bahwa sistem brace-frame lebih optimal terhadap beban lateral daripada
sistem rigid-frame yang mengandalkan penghubung balok horisontal saja. Juga jika
diperhatikan, bentuk deformasinya mirip dengan kantilever (lihat Gambar 10).

Gambar 10. Perilaku brace-frame: deformasi (a) lentur; (b) geser; (c) kombinasi

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 25/90


Brace-frame hanya populer digunakan pada konstruksi baja, untuk maksud sama
pada konstruksi beton bertulang digunakan dinding struktur (semacam kolom yang
diperbesar), untuk sistem struktur penahan lateral disebut shear-wall atau dinding
geser. Perilaku shear-wall pada bangunan tinggi tidak ubahnya seperti kolom
kantilever, dimana deformasi lentur menjadi dominan (lihat Gambar 6).

8.3.5. Sistem Ganda, kombinasi braced / wall dengan frame


Karena tidak setiap sisi bangunan dapat dipasang bracing atau dijadikan dinding
struktur maka dapat dibuat sistem kombinasi antara sistem rigid-frame dan sistem
brace-frame atau dinding geser (shear wall).

Gambar 11. Sistem kombinasi braced-frame atau shear-wall dengan rigid-frame

Akibat beban lateral, rigid-frame akan berdeformasi geser (bentuk paralelogram)


sedangkan dinding-geser seperti kantilever, yaitu berdeformasi lentur. Bila dua
sistem disatukan dengan diaphragm lantai yang kaku, akibat kompatibilitas antara
keduanya mengalami deformasi sama di setiap level lantai. Sehingga sistem ganda :
rigid-frame dan dinding geser (brace-frame) bersama-sama memikul gaya geser,
tetapi bagian atas cenderung saling bertolak-belakang. Pola pembagian gaya geser
antara sistem rangka dan dinding-geser dipengaruhi karakteristik respons dinamik
dan terbentuknya sendi plastik saat gempa, yang berbeda dari hasil analisis elastis.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 26/90


Meskipun analisis elastis tidak sepenuhnya dapat dipakai pada desain sistem ganda,
tetapi minimal dapat memberi gambaran bagaimana interaksi antara kedua sistem.
Untuk itu, ditinjau bangunan 12 lantai yang terdiri dari sistem rangka dan dinding
geser (mewakili brace-frame juga) yang bervariasi ukurannya, hasilnya adalah :

Gambar 12. Distribusi gaya lateral sistem ganda (Paulay and Priestly 1992)

Jika kekakuan dinding-geser diperbesar, tahanan momen bagian dasar bertambah,


tetapi bagian atas tidak efektif, adapun bagian tengah relatif tidak terpengaruh.
Selisih antara total momen pada setiap level dan partisipasi dinding-geser akan
diambil alih oleh sistem rangka yang ada. Gambar 12b adalah distribusi gaya geser
pada sistem rangka dan dinding geser. Semakin fleksibel dinding-gesernya maka
partisipasi untuk menahan gaya geser semakin cepat berkurang ke arah atas.

Perilaku lentur dari dinding-geser di bagian atas dipakai sebagai kontrol lendutan
sistem-ganda. Resiko untuk terjadinya soft-stories juga menjadi berkurang, bahkan
tidak akan ada karena dinding-geser bekerja sebagai pengaku pada arah lateral.
Perencana dapat lebih bebas menetapkan lokasi terjadinya sendi plastis dalam
rangka disipasi energi gempa. Bentuk atau penempatan lokasi sendi-plastis pada
sistem-ganda yang disarankan adalah sebagai berikut:

Gambar 13. Mekanisme disipasi energi terhadap gempa (Paulay and Priestly 1992)

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 27/90


Pada Gambar 13a, sendi plastis terbentuk pada setiap balok dan di dasar semua
elemen vertikal. Pada bagian atap sendi plastis bisa terbentuk pada balok atau ujung
kolom. Keuntungan sistem ini adalah segi pendetailannya, detail sendi plastis di
balok adalah lebih mudah dibanding di ujung kolom. Selain itu dihindarinya sendi
plastis di kolom memungkinkan sambungan lewatan tulangan ditempatkan di atas
lantai, daripada memasangnya di tengah-tengah tinggi kolom.

Untuk balok bentang panjang, yang mana beban gravitasi lebih dominan dibanding
lateral, maka bisa saja dibuat sendi plastis terjadi pada ujung-ujung kolom pada
keseluruhan lantai (lihat Gambar 13c).

Hasil analisis elastis (Gambar 12) menunjukkan bahwa partisipasi momen pada
dinding struktur berbalik pada bagian atas, meskipun demikian karena pada kondisi
inelastis dan dinamik berbeda maka cara penulangannya tidak boleh didasarkan
sepenuhnya hasil elastis. Paulay dan Priestly (1992) mengusulkan momen rencana
dinding-struktur pada sistem-ganda adalah sebagai berikut.

Gambar 14. Momen rencana dinding sistem ganda (Paulay and Priestly 1992)

Pada keseluruhan pembahasan sistem-ganda dianggap lantai sangat kaku pada arah
bidangnya, sehingga bila berfungsi sebagai diaphragma, dapat menyatukan sistem
rangka dan sistem dinding-struktur sedemikian sehingga semua elemen vertikal
yang disatukan mempunyai perpindahan lateral yang sama besarnya. Kenyataannya
asumsi tersebut tidak sepenuhnya berlaku untuk bangunan panjang dan disatu sisi
lain sangat pendek, ditambah jika penempatan dinding-geser terbatas maka lantai
dapat mengalami deformasi yang saling berbeda (lihat Gambar 15).

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 28/90


Gambar 15. Pengaruh kekakuan diaphragm sistem ganda (Paulay and Priestly 1992)

Pada kondisi tersebut maka kekakuan diaphragma perlu dianalisis secara nyata,
misalnya dimodelkan sebagai elemen shell dan semacamnya. Bagaimanapun jika
diaphragmanya tidak kaku, tetapi flesibel seperti diatas, maka pembagian gaya-gaya
pada rangka dan dinding akan berubah.

Melihat perilaku interaksi sistem rangka dan dinding-struktur yang unik, yang mana
dinding-struktur karena kaku pada bagian bawah akan mengambil porsi gaya geser
yang lebih besar dibanding di bagian atas, yang kemudian diambil alih oleh rangka
maka sistem-ganda hanya menguntungkan jika diterapkan pada bangunan tinggi 50
lantai ke atas atau lebih (Taranath 2010). Keuntungan sistem-ganda tergantung
dari intesitas iteraksi horizontal yang ditentukan oleh kekakuan relatif dinding dan
sistem rangka, juga ketinggian struktur. Semakin tinggi dan semakin kaku sistem
rangka, maka iteraksi yang terjadi semakin besar.

Meskipun demikian tidak disangkal lagi, bahwa sistem-ganda (sistem rangka dan
dinding-geser) merupakan satu sistem yang paling populer digunakan sebagai
sistem struktur penahan lateral mulai dari bangunan bertingkat medium sampai
bertingkat tinggi, mulai dari bangunan 10 lantai sampai bangunan 50 lantai. Bahkan
dengan penebalan balok (haunch) dapat dipakai pada bangunan sampai 60 lantai.

Ketentuan tahan gempa menurut ASCE 7-05 terkait penggunaan sistem-ganda


sebagai sistem struktur penahan lateral harus mengikuti persyaratan berikut bahwa
meskipun disebut sistem-ganda tetapi dinding-struktur harus dianggap sebagai
struktur utama penahan lateral, sedangkan sistem rangka hanya berfungsi sebagai
back-up (redundant). Untuk itu maka sistem rangka harus direncanakan memikul

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 29/90


sedikit-sedikitnya 25% dari total gaya gempa yang ada, sedangkan dinding-struktur
sebagai yang utama penahan lateral harus didesain penuh (100%) terhadap beban
lateral. Kondisi ini tentu akan mempermudah perhitungan sekaligus menambah
keamanan penggunaan sistem ganda sebagai struktur pada bangunan tahan gempa.

Mengikuti persyaratan ASCE 7-05 perlu tahapan perencanaan sebagai berikut:

 Tahap pertama : analisis sebagai sistem-ganda. Pada analisis tahap ini umumnya
memperlihatkan bahwa semua gaya lateral akan dipikul oleh dinding-struktur di
bagian bawah, sedangkan porsi atas akan dipikul oleh sistem rangka kaku. Jadi
ketika kolom bangunan didesain menggunakan hasil analisis dari sistem ganda
maka gaya-gaya yang diterima oleh kolom di bagian bawah akan sangat kecil.
Itulah diperlukannya analisis tahap kedua, yaitu untuk sistem rangka sendiri.

 Tahap kedua: analisis sistem rigid-frame saja, tak perlu perhitungan ulang gaya
geser dasar atau perioda getar sistem rangka, tetapi cukup memakai gaya gempa
rencana yang digunakan pada tahap pertama (sistem ganda) yang dikalikan
dengan 25%-nya. Proses desain tahap ke-2 dimaksudkan agar kolom pada
sistem rangka di bagian bawah khususnya direncanakan cukup kaku dan kuat
karena momen rencana kolom di bagian tersebut umumnya ditentukan oleh
momen rencana yang dihasilkan oleh analisis pada tahap kedua.

Pemakaian sistem ganda untuk bangunan bertingkat medium belum tentu lebih
menguntungkan dibanding sistem rigid-frame saja. Apalagi jika ternyata lendutan
atau tepatnya story-drift dari tiap lantai bangunan masih dapat diantisipasi dengan
penggunaan sistem rangka-kaku (rigid-frame) tersebut, misalnya dengan membuat
sistem rangka-perimeter yang berbeda.

Jika tetap diinginkan penambahan dinding-struktur pada sistem rangka-kaku maka


memang akan terjadi peningkatan kekakuan bangunan, tetapi itu berdampak pada
perioda getar bangunan yang lebih pendek, sehingga jika dikaitkan dengan grafik
respons spektrum akan terlihat bahwa gaya gempa yang perlu diaplikasikan pada
perencanaan tahan gempa akan bertambah besar pula. Kecuali hal itu, karena gaya
geser gempa di bagian bawah diserap sepenuhnya oleh dinding-struktur, yang akan
bekerja seperti kantilever, maka itu menimbulkan konsekuensi baru, yaitu perlu
sistem pondasi kaku dan kuat untuk memikul momen di bagian bawah dinding-
struktur tersebut. Jelas itu semua akan memerlukan konsekuensi tambahan biaya
yang tidak bisa diabaikan.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 30/90


8.3.6. Sistem coupled shear wall
Karakter sistem dinding geser yang solid dari beton bertulang tentu akan berbeda
dibanding sistem brace-frame yang memang lebih mengakomodasi adanya bukaan
untuk jendela, atau pintu dan sebagainya. Untuk dinding geser perlu strategi khusus
mengantisipasi perlunya bukaan-bukaan dimaksud. Sistem struktur yang efisien dan
mempunyai response daktail dalam mendisipasikan energi gempa, dapat dicapai
jika bukaan-bukaan ditempatkan teratur. Bentuk dinding struktur yang meng-
akomodasi bukaan-bukaan teratur dinamakan dinding geser berangkai (coupled
shear wall), dimana bagian dinding yang mengakomodasi bukaan yang umumnya
terletak pada elevasi lanti dan terlihat seperti balok, dapat disebut balok perangkai
(coupled beam atau link-beam).

Gambar 16. Sistem Dinding Geser Berangkai (Paulay and Priestly 1992)

Tentang istilah teratur, bisa saja ada bukaan yang ditempatkan teratur pada dinding
tetapi menghasilkan pelemahan, beresiko terjadi keruntuhan geser.

Gambar 17. Penempatan bukaan buruk pada dinding geser (Paulay and Priestly 1992)

Untuk disebut balok perangkai sebenarnya ada ciri-ciri yang dapat diamati secara
visual. Jika tingginya relatif kecil, katakanlah sekedar pelat lantai penghubung
dinding dengan bukaan yang besar maka efektifitas fungsinya sebagai balok
perangakai dapat disangsikan. Artinya bukaan yang ada memisahkan dinding
struktur menjadi dua bagian yang akan bekerja sebagai struktur sendiri-sendiri.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 31/90


Jadi tujuan balok perangkai adalah agar dinding struktur dengan bukaan-bukaan
teratur dapat bekerja seakan-akan sebagai suatu dinding utuh (tanpa bukaan).
Karena ukuran balok perangkai yang relatif lebih kecil dibanding dinding secara
keseluruhan maka bagian tersebut menjadi paling lemah. Strategi perencanaan
hanya ada dua, balok perangkai dibiarkan lemah, dalam hal ini dibiarkan terjadi
deformasi yang besar dengan menyediakan tulangan yang akan mengalami leleh
dan akan bekerja seperti sendi. Tetapi bisa juga didesain mampu menjadi semacam
shear connector seperti balok komposit, menyatukan dua bagian dinding tersebut.

Jika balok perangkai didesain dapat berfungsi sebagai shear connector maka secara
fisik biasanya memerlukan suatu ketinggian tertentu dibanding bentang bersihnya.

Pada dinding struktur yang terpisah oleh bukaan maka kedua bagian dinding tadi
akan berperilaku seperti kantilever sehingga balok perangkai turut berotasi dan
leleh. Jika dapat dibuat detail yang baik, balok perangkai mampu mendisipasi enerji
pada keseluruhan tinggi dinding.

Gambar 18. Mekanisme kerja dinding-berangkai (Paulay and Priestly 1992)

Mekanisme tahanan beban dinding-perangkai secara kualitatif diperlihatkan pada


Gambar 18. Dapat terlihat momen guling keseluruhan, Mof atau M, pada dinding
struktur tanpa bukaan diperlihatkan pada Gambar 18a, ditahan secara keseluruhan
oleh momen lentur dinding. Pada sisi lain, pada dinding berangkai akan timbul gaya
aksial sekaligus momen lentur di tumpuan untuk menahan momen guling, M.

Kondisi keseimbangannya adalah :

M  M1  M2  T  l ....................................................................................................... (1)

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 32/90


Besarnya gaya aksial, T , sebagai jumlah total gaya geser yang terjadi pada balok
perangkai di atas level yang dievaluasi. Jika balok perangkai lemah, yang umumnya
dijumpai pada bangunan apartemen karena keterbatasan tinggi balok yang dapat
dipasang, maka besarnya tahanan momen guling dihasilkan dari komponen momen
(M1 dan M2). Pada sisi lain jika balok perangkainya sangat kaku, maka mayoritas
tahanan momen guling dihasilkan dari momen kopel (Tl) dari gaya-gaya aksial yang
bekerja pada dinding geser berangkai tersebut.

Balok perangkai yang tidak direncanakan khusus untuk berperilaku daktail dan
menerima gaya geser yang besar saat gempa besar akan menyebabkan kerusakan
dindingnya. Salah satu konfigurasi dengan penulangan diagonal dianggap paling
efektif untuk menghindari terjadinya degradasi kekuatan yang besar (Gambar 19).

Gambar 19. Penulangan dinding-geser dan balok perangkai (Taranath 2010)

Detail-1 pada penulangan diagonal balok perangkai Gambar 19, sesuai persyaratan
pengekangan menurut ACI 318-05, tetapi untuk mengapli-kasikannya di lapangan
dijumpai banyak kesulitan. Untuk itu dikembangkan detail-2 yang dapat diterapkan
pada hal yang sama mengikuti persyaratan ACI 318-08 yang lebih sederhana.

Taranath (2010) menyatakan bahwa sistem dinding geser berangkai ekonomis


digunakan pada gedung 40 lantai. Adapun dinding geser hanya efektif memikul gaya
lateral pada arah bidangnya, maka dinding geser pada arah saling tegak lurus
(ortogonal) diperlukan untuk menahan beban lateral dari dua arah. Penempatan
dinding geser disekitar elevator, tangga dan shaft utilitas adalah cukup umum
karena tidak mengganggu layout arsitektur. Meskipun demikian tahanan terhadap
beban torsional perlu dipertimbangkan untuk menetapkan layout tepat.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 33/90


8.3.7. Sistem dengan outrigger dan belt-truss
Untuk ketinggian lantai tertentu (± 50 ~ 60 lantai), kombinasi antar elemen atau
sistem,yaitu rigid-frame dengan braced-frame atau shear-wall cukup menghasilkan
sistem struktur penahan lateral yang kaku, baik terhadap beban gempa atau angin.
Tetapi pada bangunan gedung lebih tinggi, diperlukan strategi khusus agar perilaku
geometri gedung secara keseluruhan dapat diberdayakan.

Seperti diketahui untuk struktur kantilever yang menerima lentur, maka hanya sisi
bagian luar dari struktur tersebut yang bekerja. Bahkan dari rumus balok lenturpun
dapat diketahui bahwa titik di garis netral, tegangan lenturnya nol. Itu berarti pada
bangunan tinggi, kolom di tengah bangunan tidak efektif menyumbang kekakuan
pada sistem penahan lateralnya. Fungsi hanya menerima beban gravitasi ke pondasi.

Untuk memberdayakan kolom atau elemen-elemen struktur vertikal di bagian tepi


bangunan itu maka dibuat sistem out-trigger, belt-truss, mega-truss, perimeter tube,
modular tube, dan lain-lainnya. Sistem tube mensyaratkan struktur perlu dianalisis
sebagai suatu struktur ruang (space frame) secara keseluruhan (global).

Gambar 20. (a) Sistem outrigger dengan core-tengah; (b) Outrigger pada offset core; (c)
diagonal ; (d) elemen lantai yang bertugas sebagai outtriger (Taranath 2005)

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 34/90


Penggunaan sistem outrigger atau belt-truss dimaksudkan untuk memberdayakan
dimensi bangunan seoptimal mungkin agar berperilaku sebagai satu kesatuan
seperti kolom kantilever tunggal. Ciri-cirinya akan terjadi gaya tarik dan gaya tekan
di sisi perimeter luar (lihat perilaku kolom tunggal Gambar 6). Jadi outrigger dan
belt-truss berfungsi menyatukan elemen vertikal (kolom) yang berada di tepi luar.
Ingat bangunan tinggi dapat dianalogikan seperti kolom langsing, sehingga perilaku
lentur dominan. Oleh karena itu gaya / reaksi terbesar terjadi pada sisi luar terjauh.

Untuk mempelajari perilaku sistem outrigger atau belt truss, akan ditinjau bangunan
tinggi dengan sistem tersebut di atap, biasa disebut hat-truss sistem (Gambar 21).

Gambar 21. (a) Denah bangunan dengan belt-truss; (b) deformasi lentur braced-core;
(c) Deformasi akhir system (Taranath 2005)

Penempatan belt-truss yang kaku di atas gedung menyebabkan kolom perimeter


berfungsi sebagai batang tekan atau tarik (Gambar 21c), dan menghasilkan momen
kopel berlawanan dengan momen luar akibat gaya lateral. Akibatnya momen luar
berkurang, sehingga lendutan lateral yang terjadi juga berkurang.

Besarnya lendutan yang dapat direduksi ternyata berkaitan dengan penempatan


belt-truss atau outrigger tersebut. Penempatan di atas bangunan bukanlah yang
terbaik. Untuk melihat seberapa efektif lokasi penempatannya maka diperlukan
peninjauan perilaku lentur sebelum dan sesudah diberikan belt-truss tersebut.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 35/90


(a). Belt-truss di z = L

(b). Belt-truss di z = 0.75L

(c). Belt-truss di z = 0.50L

(d). Belt-truss di z = 0.25L

Gambar 22. Pengaruh penempatan Outrigger terhadap elevasi (Taranath 2005)

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 36/90


Dari perilaku penempatan single-outrigger pada Gambar 22 dapat diketahui bahwa
penempatan outrigger di ujung paling atas bangunan bukanlah yang terbaik. Selain
itu, jika ditempatkan di bagian paling atas, maka kolom perimeter sepanjang tinggi
bangunan harus didesain terhadap gaya tarik, meskipun untuk struktur baja baik,
karena tidak ada bahaya tekuk, tetapi sambungan tarik menjadi masalah pada
sistem sambungannya. Selanjutnya Taranath (2005) memberi usulan tinggi elevasi
optimum untuk beberapa tipe outrigger sebagai berikut.

Gambar 23. Lokasi optimum outrigger (a) single; (b) double; (c) triple; (d) quadro
(Taranath 2005)

8.3.8. Sistem framed-tube


Sistem framed-tube secara umum didefinsikan sebagai sistem struktur ruang (3D)
yang memanfaatkan keseluruhan perimeter luar bangunan sebagai sistem struktur
penahan lateral. Persyaratan yang diperlukan adalah perlu dibuat suatu struktur
seperti dinding tiga dimensi di sekeliling luar bangunan, analoginya adalah tabung
atau pipa. Untuk sistem rigid-frame dapat dilakukan dengan menempatkan kolom
perimeter secara rapat dan dihubungkan dengan balok tinggi.

Meskipun secara teroritis struktur tabung adalah sangat ideal, khususnya untuk
berperilaku seperti kantilever tunggal, tetapi dalam kenyataannya perilaku yang ada
relatif kompleks. Permasalahannya adalah digunakannya sistem rigid-frame, yang
ternyata kekakuan lentur penampang tunggal lebih dominan daripada sebagai suatu
kesatuan. Pelajari kembali illustrasi yang ada pada Gambar 6 dan 7. Dampaknya

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 37/90


disebut shear-lag, yang cenderung mengubah distribusi reaksi kolom perimeter.
Akibatnya kolom pojok pada perimeter akan menerima gaya reaksi yang lebih besar
dibanding kolom perimeter di bagian tengah. Lihat Gambar 24c.

Gambar 24. Framed-tube (a) Denah; (b) Perimeter; (c) Reaksi kolom perimeter

Frame tube yang mengandalkan rigid-frame untuk bekerja seperti dinding perimeter
tabung, tidak efisien karena pengaruh shear lag. Oleh karena itu frame-tube dipakai
pada bangunan 50 – 60 lantai, kecuali jika dapat diusahakan kolom-kolom perimeter
yang sangat rapat seperti halnya yang digunakan pada gedung WTC (World Trade
Centre), New York. Sistem frame-tube ternyata dapat dipakai untuk gedung sampai
109 lantai. Tetapi konsekuensi pakai sistem tersebut, jarak tipikal kolom perimeter
atas adalah 3.333 ft (1.0 m) sekeliling bangunan, detail lihat Gambar 25 dan 26.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 38/90


Gambar 25. Detail perimeter atas gedung WTC (http://911research.wtc7.net)

Gambar 26. WTC saat konstruksi medio 1966 – 1970 (http://911blog.yweb.skl)

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 39/90


8.3.9. Sistem trussed-tube
Untuk mendapatkan kekakuan perimeter dengan sistem frame-tube sebagaimana
halnya gedung WTC tentu tidak mudah. Perlu dukungan kuat dari arsitek, karena
untuk efektivitas sistem diperlukan kolom-kolom perimeter yang sangat rapat. Pada
WTC dengan jarak 3’4” dan kolom 1’2” maka jarak bersih antar kolom hanya 2’2”
atau 0.66 m atau selebar jendela saja. Itu hanya bisa terjadi jika arsiteknya memang
menghendaki, kalau hanya dari sisi engineer pasti tidak akan terwujud.

Untuk mengatasi permasalahan jarak kolom perimeter yang rapat, maka strategi
peningkatan kekakuan sebelumnya dapat digunakan, sistem rigid-frame diubah ke
brace-frame. Hanya saja brace atau batang diagonal yang dimaksud harus dapat
ditempatkan di sekeliling perimeter bangunan. Lihat Gambar 27 di bawah.

Gambar 27. (a) Tube building with multistory diagonal bracing; (b) rotated square tube
with super diagonal (Taranath 2005) dan Bank of China Hongkong (kanan)

Konsep brace atau batang diagonal memang populer digunakan pada bangunan dari
baja. Itu disebabkan batang diagonal akan memikul gaya tarik suatu saat, dan gaya
tekan di saat yang lain. Baja kuat terhadap tarik dan tekan, sedangkan beton hanya
mengandalkan tulangan baja terpasang, sehingga perlu tempat yang mencukupi oleh
karena itu sistem brace-frame akan digantikan dengan sistem shear-wall.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 40/90


Dengan jumlah lantai dan ukuran keseluruhan yang besar, gedung beton bertulang
juga dapat dibuat brace-frame. Caranya, kolom perimeter beton bertulang dibuat
rapat, juga baloknya, kemudian pada lobang-lobang antara kolom-balok tersebut
dapat dibuat dinding pengisi yang penempatannya diagonal (lihat Gambar 28).

(a). Wang Building, New York (b). Onterie Center, Chicago


Gambar 28. Trussed-tube beton bertulang

8.3.10. Sistem bundled-tube.


Analogi tabung langsing, tahanan momen paling efektif terhadap beban lateral jika
dipikul oleh mekanisme lentur. Ciri-cirinya, sisi-sisi luar perimeter mengalami gaya
tekan dan gaya tarik sekaligus, yang menghasilkan momen kopel. Padahal besarnya
momen kopel ditentukan oleh jarak antara gaya-gaya kopel tadi. Itu berarti luasan
dasar bangunan bertingkat menentukan efektifitas tahanan lateral.

Sisi lain pemakaian tabung tunggal menghadapi permasalahan shear-lag, kalaupun


dapat dipakai brace, diperlukan elemen berukuran besar, tentu saja akan kesulitan
dalam detailing. Untuk mengatasi hal tersebut, dengan harapan dapat memperbesar
luasan dasar bangunan sekaligus mengurangi efek shear lag, maka penggabungan
beberapa sistem tabung yang relatif kecil menjadi satu kesatuan dapat dipilih.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 41/90


Gambar 29. Bundled-tube: (a) denah (b)brace-tube; (b) frame-tube. (Taranath 2005)

Gambar 30. Struktur bundled-tube: Sear Tower, Chicago, tinggi bangunan ( 443 m)

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 42/90


8.4. Hubungan Bangunan, Tanah, Gaya Gempa dan Angin.
8.4.1. Perilaku dinamik gempa pada bangunan tinggi
Perilaku bangunan ketika gempa adalah permasalahan dinamik (getaran). Gerakan
gempa di tanah tidak menyebabkan kerusakan seperti impak atau tumbukan, atau
tekan seperti angin. Tetapi percepatan tanah menimbulkan gaya inersia dari massa
bangunan. Penambahan massa bangunan menimbulkan dua hal, pertama adalah
tambahan gaya inersia, kedua menimbulkan efek P-, sehingga terjadi tambahan
momen akibat adanya deformasi lateral yang relatif besar. Distribusi deformasi
dinamik akibat gerakan tanah saat gempa dan lama gerakannya merupakan hal
penting dalam perencanaan terhadap gempa. Meskipun durasi gempa kuat adalah
penting, tetapi tidak tersirat langsung dalam code yang ada (Taranath 2005).

Secara umum, respon bangunan tinggi terhadap gempa berbeda dibanding bangun-
an rendah. Besarnya gaya inersia selama gerakan gempa di tanah tergantung dari :
[1] massa bangunan; [2] akselerasi tanah; [3] kondisi tanah pondasi di bawah
bangunan dan [3] karakteristik dinamik bangunan itu sendiri (lihat Gambar 31) .

Gambar 31. Gambaran skematik gaya gempa (Taranath 2010)

Jika bangunan dan tanah pondasi sangat kaku, bangunan mengalami akselerasi (a)
sama dengan tanahnya, maka gaya inersia F, sesuai hukum Newton (F = m.a),
dengan m, massa bangunan. Untuk struktur yang mengalami deformasi relatif kecil,
deformasi cenderung mengurangi besarnya gaya inersia yang timbul (F < m .a).
Bangunan tinggi relatif lebih fleksibel dibanding bangunan rendah sehingga akan
menerima akselerasi yang lebih kecil. Tetapi bangunan fleksibel yang menerima
gerakan percepatan tanah dalam waktu yang lama dapat menghasilkan gaya inersia
lebih besar (F > m.a) jika periode getarnya berdekatan dengan gelombang tanah.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 43/90


Jadi, besarnya gaya lateral gampa bangunan bukan sekedar fungsi dari akselerasi
tanah saja, tetapi dipengaruhi oleh respons struktur itu sendiri dan pondasi-nya.
Hubungan perilaku bangunan dan pergerakan tanah akibat gempa juga ditentukan
oleh perioda getar bangunan yang dirumuskan dengan respons spektrum.

Sebelum membahas respons spektrum, ada baiknya dibahas dahulu periode getar
bangunan (T). Dari rumus analisa dinamik diketahui parameter yang berpengaruh

adalah massa (m) dan kekakuan (k) bangunan, sebagai berikut : T  2 m / k .

Jadi bangunan rendah dimana massa relatif kecil dan k relatif besar maka waktu
getarnya pendek, sedangkan bangunan tinggi yang sebaliknya, akan panjang.

Respons spektrum adalah pengganti parameter percepatan (a) pada rumus Newton
(F = m . a). Dengannya, pengaruh gempa pada bangunan yang tergantung juga oleh
perilaku pondasi, jenis dan tipe bangunan dapat dihitung memakai grafik tunggal.
Dari rekaman gerakan tanah yang ditinjau dengan beberapa prosentasi nilai dam-
ping kritis, maka pada suatu grafik respons spektrum akan diketahui hal-hal yang
berkaitan dengan respons gempanya, seperti akselerasi, kecepatan dan deformasi
untuk berbagai cakupan (spektrum) perioda getar bangunan.

Gambar 32. Illustrasi bergambar suatu Respons-spektrum (Taranath 2005)

Jadi respon spektrum (Gambar 32 dan 33) dapat dilihat sebagai suatu grafik tunggal
yang menunjukkan berbagai respon dinamik sederetan kantilever pendulum yang
bervariasi linier perioda getarnya terhadap rekaman pergerakan gempa tertentu.
Respon maksimumnya kemudian dicatat pada grafik respons spektrum tersebut.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 44/90


Gambar 33. Konsep response spektrum (Taranath 2005)

Jika respons percepatan pada respon spektrum dapat menunjukkan besarnya gaya
gempa pada bangunan, maka disimpulkan juga bahwa semakin tinggi bangunannya
maka gaya gempa yang terjadi adalah relatif lebih kecil. Padahal di sisi lain, angin
berbeda. Semakin tinggi, kecepatan angin juga bertambah (lihat Gambar 34).

Gambar 34. Profil kecepatan angin di berbagai daerah dan ketinggian (Taranath 2005)

Jadi bisa saja pada suatu kondisi ketinggian tertentu, gaya gempa yang bekerja pada
suatu bangunan tinggi tidak menjadi dominan dibanding pengaruh anginnya.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 45/90


8.4.2. Pengaruh angin pada bangunan tinggi.
Angin bisa menimbulkan masalah pada bangunan tinggi, meskipun tidak terlihat
oleh orang di bawahnya, tetapi akan dirasakan penghuninya. Angin menyebabkan
getaran, akan timbul bunyi-bunyian mengganggu, pintu / lampu gantung berayun-
ayun, dan sebagainya. Jika bangunannya sendiri berayun, penghuni akan merasakan
ilusi bahwa dunia luar bergerak, menciptakan gejala vertigo dan disorientasi. Jadi
meskipun tak ada yang rusak, tetapi menyebabkan bangunan tidak nyaman dihuni.

Untuk perencanaan terhadap angin, bangunan tidak dapat dianggap terpisah dari
sekitarnya. Pengaruh bangunan di dekatnya dan konfigurasi lahan berpengaruh.

8.4.3. Perilaku dinamik angin pada bangunan tinggi


Aliran angin melewati suatu bangunan tinggi dapat disederhanakan sebagai bidang
horizontal dan bervariasi besarnya terhadap tinggi (Gambar 34). Penyederhanaan
aliran angin sebagai bidang diperlihatkan pada Gambar 35 berikut.

Gambar 35. Aliran angin pada bidang horizontal (Taranath 2005)

Saat aliran angin menerjang halangan, alirannya terbelah dan bergerak menyamping
sembari berpusar disebut spiral vortices (Gambar 36), yang menekan bidang tegak
lurus arah angin utama. Pada kecepatan sedang, spiral vortices terjadi bersamaan di
dua arahnya sehingga terjadi keseimbangan. Tetapi ketika kecepatan bertambah,
juga karena sifat angin turbulen (tidak linier) maka kejadiannya secara bergantian,
terjadi getaran arah tegak lurus arah angin, yang disebut fenomena vortex-shedding.

Gambar 36. Fenomena Vortex-shedding (Taranath 2005)

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 46/90


Jadi akibat angin besar pada bangunan tinggi, akan terjadi deformasi searah angin
utama sekaligus deformasi arah tegak lurusnya secara berganti-ganti (vortex-
shedding). Pada kecepatan angin yang menyebabkan frekuensi vortex-shedding kira-
kira sama dengan frekuensi alami bangunan, akan terjadi resonansi. Pada kondisi
seperti itu perubahan kecepatan angin yang berubah relatif sedikit, tidak mengubah
keadaan, resonansi masih terjadi, seakan-akan keadaan menjadi terkunci. Jadi
kondisi vortex-shedding dikendalikan frekuensi alami. Baru setelah ada perubahan
kecepatan angin yang signifikan maka proses penguncian berhenti, dan kembali
frekuensi shedding dikendalikan oleh kecepatan angin. Untuk kecepatan angin baik
bawah atau di atas kisaran tersebut, vortex-sheding tidak akan kritis.

Besarnya frekuensi vortex-sheeding untuk menghindari resonansi, dihitung sbb:

V S
f  ................................................................................................................................. (2)
D
dimana
f = frekuensi vortex shedding dalam hertz
V = kecepatan rata-rata angin pada atap bangunan
S = konstanta Strouhal yang tergantung dari bentuk bangunan
D = diameter bangunan

Vortex-shedding terjadi pada banyak bentuk bangunan. Nilai S untuk bentuk yang
berbeda dapat ditentukan dengan uji terowongan angin dengan mengukur frekuensi
shedding pada berbagai kecepatan angin. Cukup sulit mengetahui nilai S yang akurat
karena adanya fenomena penguncian tadi, yang kira-kira sekitar 10% nilai frekuensi
bangunan yang tepat.

Aksi tekanan angin tidak tergantung pada lamanya angin mencapai maksimum dan
kembali nol lagi saja, tetapi juga tergantung dari periode alami bangunan itu sendiri.
Jika waktu yang diperlukan untuk maksimum dan nol, lebih pendek dari waktu getar
alami bangunan, maka perilakunya dinamik. Jika waktu angin mencapai intensitas
maksimum dan nol lagi lebih lama dari periode alami bangunan, maka sifatnya
statik. Sebagai contoh, hembusan angin yang mencapai kondisi terbesar dan kembali
kosong dalam dua detik menjadi beban dinamik untuk bangunan tinggi yang
mempunyai periode alami kira-kira 5 - 10 detik, tetapi untuk hembusan yang sama,
yaitu 2 detik adalah beban statik untuk bangunan rendah yang mempunyai perioda
alami kurang dari 2 detik.

Akibat perilaku angin pada bangunan tinggi yang kompleks, seperti vortex-shedding
dan perilaku dinamis, maka uji terowongan angin menjadi sesuatu yang penting.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 47/90


8.5. Perilaku Khusus Sistem Struktur Tahan Gempa
8.5.1. Sistem struktur dengan dissipasi enerji
Untuk beban gravitasi (beban tetap), beban angin dan beban gempa sedang (gempa
yang biasa), struktur diharapkan berperilaku elastis (beban hilang, deformasi juga
hilang). Tetapi saat gempa besar, yang jarang dan tak terduga, diperbolehkan terjadi
kondisi inelastis. Strategi ini untuk menjamin keselamatan terhadap gempa yang
lebih besar daripada yang diperkirakan oleh code yang ada. Untuk itu perencanaan
struktur tahan gempa harus didasarkan pada metodologi capacity design.

Dengan cara capacity design, struktur direncanakan sedemikian rupa sehingga bila
terjadi kondisi inelastis, maka itu hanya akan terjadi pada tempat-tempat yang telah
ditentukan, yang memang telah direncanakan untuk mengatisipasiknya. Kondisi
inelastis yang terjadi juga terkontrol, dan ditempat itulah yang dijadikan sebagai
tempat dissipasi energi. Sedangkan bagian struktur lainnya tetap berperilaku elastis.
Cara kerjanya seperti sekring (fuse) pada peralatan listrik saat menerima overload.
Jadi strateginya, kalaupun kondisi inelastis tersebut menyebabkan kerusakan, maka
sifatnya lokal, terisolir sehingga dapat dengan mudah diketahui dan diperbaiki.

Adanya bagian yang terpisah-pisah, ada elemen struktur yang bekerja secara elastis
dan ada elemen struktur lain yang bekerja sampai inelastis. Itu dapat dengan mudah
diterapkan pada konstruksi baja yang memang dari awalnya bersifat modul atau
segmen terpisah yang tidak monolit. Hal ini tentu saja berbeda dengan konstruksi
beton yang alaminya bersifat monolit (beton cast-in-situ). Strategi pada konstruksi
beton bertulang adalah mengandalkan detail penulangan khusus, dalam hal ini
perilaku inelastis akan terjadi pada baja tulangan yang daktail. Agar beton bertulang
dapat berperilaku inelastis yang optimal, maka keruntuhan yang diharapkan adalah
lentur. Karena dengan itu, pada kondisi ultimate terjadi sisi tekan (beton) dan sisi
tarik (baja). Jika keruntuhan aksial tarik, maka beton tidak akan bekerja, sedangkan
keruntuhan aksial tekan tidak bisa berperilaku inelastis karena tekuk akan terjadi
terlebih dahulu, dan itu sifatnya non-daktail.

Selanjutnya bagian mana dari sistem struktur tahan gempa yang bekerja seperti fuse
dan bagian mana yang tidak, disitulah yang menjadi variasinya. Struktur Special
Moment Frames misalnya, yang akan berfungsi sebagai fuse, tempat dissipasi energi
gempa, adalah sendi plastis yang terbentuk di balok. Untuk sistem struktur yang
lain, yang berfungsi sebagai fuse, bisa berbentuk lain (AISC 2005b, Geschwinder
2008). Untuk itu akan ditinjau satu persatu.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 48/90


8.5.2. Sistem portal daktail : Special Moment Frames (SMF)
Ini adalah jenis rangka yang didesain untuk bekerja secara inelastis penuh. Oleh
karena itu pada bagian yang akan mengalami sendi-plastis perlu didesain secara
khusus. Cocok dipakai untuk perencanaan gedung tinggi yang masih memungkinkan
dengan sistem rigid-frame.

Struktur rangka harus berperilaku strong-colum-weak-beam agar tidak terjadi sendi


plastis di kolom yang dapat menyebabkan story mechanisms.

a). Strong column-weak beam b). Story mechanism

Gambar 37. Perilaku inelastis sistem portal daktail (Hamburger et.al. 2009)

Pada konstruksi baja tahan gempa, jenis sambungan kolom-balok yang akan dipakai
rangka SMF ini harus didukung data empiris hasil uji laboratorium. Hal ini untuk
membuktikan bahwa jenis sambungan tersebut mempunyai kemampuan daktilitas
yang mencukupi, yaitu mampu menahan perputaran sudut interstory-drift minimum
sebesar 0.04 radian (Section 9.2a AISC 2005b).

Beberapa jenis sambungan yang telah dilakukan pengujian adalah sebagai berikut.

a). Prespektif b). Aplikasi

Gambar 38. Reduced beam (Hamburger et.al. 2009)

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 49/90


a). Prespektif b). Aplikasi

Gambar 39. Extended End-Plate (Hamburger et.al. 2009)

Kecuali dua jenis sambungan pada Gambar 38 dan 39, ada beberapa lagi yang dapat
dijumpai. Variasi jenis sambungan pada konstruksi baja umumnya terkait metode
pelaksanaan, misal sambungan jenis Reduced Beam memerlukan pekerjaan las di
lapangan. Persyaratan tersebut tentu terkait dengan harus disediakannya s.d.m yang
kompeten disertai pengawasan ketat. Ini berbeda jika digunakan jenis Extended End-
Plate yang cukup dipasang dengan baut mutu tinggi. Hanya saja jenis sambungan ini
memerlukan tingkat presisi fabrikasi tinggi, perlu memakai mesin CNC misalnya.

Konsep di atas berlaku pada konstruksi baja, yang ditentukan oleh sambungan
sebagai bagian terlemah sistem. Maklum, baja pada dasarnya komponen terpisah,
produk pabrik yang dirangkai di lapangan dengan sambungan. Untuk konstruksi
beton bertulang, konsep kontinyu relatif mudah dibuat. Tetapi material beton pada
dasarnya material non-daktail, apalagi jika dipakai beton mutu tinggi. Daktilitasnya
hanya mengandalkan baja tulangan yang terpasang. Untuk mendapatkan perilaku
daktail inelastis, maka keruntuhan yang diharapkan adalah lentur, karena pada satu
penampang dapat dimanfaatkan dua sifat bahan sekaligus. Sisi tekan ditahan beton
dan sisi tarik ditahan baja. Agar daktail, keruntuhan harus dimulai pada bahan yang
bersifat daktail terlebihd dahulu. Oleh karena itu penampang lentur harus bersifat
under reinforced section. Tulangan terpasang relatif sedikit, sehingga kalah terlebih
dahulu (leleh). Karena gempa bolak-balik, maka betonnya mengalami tarik-tekan,
untuk mengurangi resiko spalling dipersyaratkan tulangan sengkang rapat sekaligus
menghindari terjadinya kegagalan geser. Sistem SMF untuk beton dikenal sebagai
SMRF (special moment resisting frame), mensyaratkan pendetailan tulangan kolom
dan balok yang khusus sebagai terlihat pada Gambar 40.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 50/90


Gambar 40. Penulangan daktail untuk portal SMRF (Taranath 2010)

Hal penting dalam pendetailan portal SMRF adalah dihindari memakai sambungan
lewatan (lap-splice) di daerah yang berpotensi mengalami kondisi inelastis. Dalam
hal ini adalah daerah sepanjang 2 h di depan kolom. Untuk mendapat kepastian
bahwa kondisi inelastis hanya terjadi pada balok (bukan kolom), maka portal SMRF
mesyaratkan jumlah kapasitas nominal kolom lebih besar dari jumlah kapasitas
balok, yaitu  Mnc  (6/5) Mnb (sesuai ACI318 – Ps. 21-6-2) .

8.5.3. Sistem rangka diagonal khusus: Special Concentrically Braced Frames (SCBF)
Sistem rangka diagonal (brace-frame) mempunyai kekakuan lateral lebih tinggi
dibanding rigid-frame, sehingga efektif dipakai sebagai sistem penahan lateral pada
bangunan tinggi. Meskipun demikian perilaku keruntuhannya tidak daktail diban-
ding rigid-frame. Tentu saja sistem ini hanya dapat diterapkan pada konstruksi baja.
Sistem brace-frame yang dipersiapkan khusus terhadap kondisi inelastis (SCBF)
dibuat dengan cara bracing-nya dapat bekerja sebagai fuse melalui mekanisme leleh
akibat gaya aksial tarik atau tekuk akibat gaya tekan pada batang diagonal saat
terjadi gempa besar.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 51/90


Gambar 41. Mekanisme inelastis SCBF

Teoritis memang mudah, masalahnya adalah bahwa pada konstruksi baja bagian
yang kritis adalah pada detail sambungan. Jadi jika diharapkan kondisi inelastis
terjadi pada elemen batang, maka tentu saja sistem sambungan pada saat itu harus
tetap pada kondisi elastis (lebih kuat daripada elemen yang disambung).

Alternatif lain, kondisi inelastis ternyata dapat dipindahkan pada bagian sambungan
batang diagonal tersebut, khususnya pada gusset-plate boleh terjadi leleh. Bahkan
untuk menghindari gangguan ketika leleh tersebut (proses dissipasi enerji) maka
bagian gusset-plate yang bertemu pelat lantai harus dipisahkan, sebagaimana
terlihat pada Gambar 42 berikut.

Gambar 42. Sambungan SCBF yang bersifat daktail (Taranath 2005)

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 52/90


8.5.4. Sistem dinding-geser (shear-wall)
Sistem penahan lateral brace-frame lebih kaku dari rigid-frame, tetapi itu hanya
cocok untuk konstruksi baja. Alternatif untuk beton dapat memakai dinding-geser
atau shear-wall. Sistem penahan lateral berupa dinding-geser yang masuk dalam
kategori langsing bekerja seperti halnya balok kantilever dimana perilaku lenturnya
cukup dominan. Sebagai balok kantilever maka momen terbesar akan terletak pada
tumpuannya, yaitu bagian dasar dinding, yang menyambung pada pondasi.

Hal penting dalam perencanaan dinding-struktur adalah tersedianya sistem pondasi


kaku untuk menahan momen dari struktur yang bekerja seperti balok-kantilever
tersebut. Oleh karena itu secara visual sistem dinding-geser yang baik dapat dilihat
dari sistem dan cara penjangkaran tulangan ke pondasinya, sebagaimana terlihat
secara detail pada Gambar 43. Keberadaan sistem pondasi sebagai satu bagian dari
struktur dinding-geser tidak dapat diabaikan, bahkan untuk dinding geser daktail
harus dapat dipastikan bahwa kekuatan terhadap momen lebih besar dari kapasitas
lentur dinding-gesernya. Sehingga dapat dipastikan tidak terjadi kerusakan terlebih
dahulu pada sistem pondasinya. Untuk menghindari kerusakan tersebut maka
sistem pondasi direncanakan berperilaku elastis saat gempa terjadi, sedangkan yang
berperilaku inelastis adalah pada dinding-gesernya. Untuk beban guling yang besar
kadang perlu dipastikan sistem pondasi tiang yang ada cukup kuat menahan gaya
tarik, karena kalau sampai terjadi rotasi, apalagi pada sistem-ganda maka prediksi
elastis yang dilakukan akan berbeda.

Pada detail Gambar 43 akan terlihat bahwa sistem pondasinya adalah pondasi tiang
pancang yang disatukan oleh suatu pile-cap yang besar, yang ketebalannya juga
diperhitungkan agar dapat diperoleh penjangkaran tulangan dinding geser secara
sempuran. Kondisi itu tentu akan sangat berbeda dibanding sistem pondasi untuk
rangka-kaku biasa. Pada detail tersebut dapat dilihat juga bahwa kekangan tulangan
lentur masuk ke dalam pile-cap, khususnya ini untuk mengantisipasi kondisi in-
elastis pada saat terjadinya sendi plastis pada dinding geser di bagian bawah.

Kesuksesan suatu pendetailan tergantung pelaksanaan di lapangan. Meskipun hasil


penelitiannya sangat baik, tapi saat diaplikasikan banyak kendala tentu perlu
dievaluasi kembali detail tersebut. Bagaimanapun juga, meskipun detail yang dipilih
sudah terbukti sukses untuk kasus-kasus sebelumnya, tetapi kalau pelaksanaannya
tidak baik (akibat tingkat kesulitan dan tingkat ketrampilan sumber daya
manusianya) maka hasilnya tidak baik.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 53/90


Gambar 43. Alternatif detail penulangan dinding-geser daktail (Taranath 2005)

8.5.5. Sistem rangka diagonal eksentris: Eccentrically Braced Framed (EBF)


Mekanisme kerja sistem rangka EBF adalah memanfaatkan keunggulan brace-frame
yang kaku tetapi tidak daktail, dengan rigid-frame yang kurang kaku tetapi daktail.
Bagian brace-frame yang bekerja dengan mekanisme gaya aksial dibiarkan dalam
kondisi elastis, sedangkan daerah LINK akibat bracing yang eksentris akan bekerja
seperti balok lentur dan dibiarkan terjadi kondisi inelastis (fuse dissipasi enerji).

Gambar 44. Mekanisme inelastik LINK pada sistem EBF (Taranath 2010)

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 54/90


Link bisa ditempatkan di tengah (Gambar 44 kiri) dan tepi (Gambar 44 kanan). Dari
keduanya, sistem di tengah lebih banyak digunakan karena momen terbesar yang
akan mendekati kondisi plastik tidak terjadi di dekat kolom. Sistem pinggir dimana
balok dan kolom bertemu, jika rigid dan tidak dicheck dengan baik, maka mungkin
kolomnya yang akan mengalami kondisi inelastis. Padahal itu harus dicegah.

Gambar 45. Split-K-braced EBF :Detail Link (kiri) dan Tampak (kanan)

8.5.6. Special Truss Moment Frames (STMF)


Special Truss Moment Frames (STMF) adalah sistem struktur dengan rangka batang
(truss diagonal) atau Vierendeel sebagai elemen horizontalnya. Saat gempa besar
ada bagian elemen horizontal secara khusus dapat mengalami kondisi inelastis, yang
bekerja sebagai fuse (tempat dissipasi energi).

Gambar 46. Perilaku inelastis STMF (Basha and Goel 1996).

Sistem ini cocok digunakan untuk portal dengan bentang besar sedemikian sehingga
kekakuan kolom lebih besar dari kekakuan vierendel. Jika tidak maka sendi plastis
akan terbentuk pada kolom, dan ini tentunya tidak baik digunakan terhadap gempa.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 55/90


8.5.7. Buckling-Restrained Braced Frames (BRBF)
Sistem BRBF sejenis Concentrically Braced Frames tetapi bracing-nya diganti elemen
khusus, yang mampu berperilaku inelastis baik terhadap tarik maupun tekan. Untuk
mengantisipasi tekuk maka elemen khusus tersebut terdiri dari batang terbungkus
suatu elemen penutup yang dapat mencegah terjadinya tekuk, sehingga ketika ada
gaya tekan cenderung mengalami leleh saja. Itu menyebabkan perilaku histeretik
yang stabil dan mempunyai kemampuan dissipasi energi yang sangat baik.

Gambar 47. Detail dan tampak BRBF (Sabelli and López 2004)

8.5.8. Special Plate Shear Walls (SPSW)


Dinding geser umumnya terdiri dari beton bertulang, selain sebagai sistem struktur
penahan lateral, dinding geser juga bisa bekerja sebagai kolom, memikul beban
gravitasi. Konsep yang mirip juga dapa diterapkan pada konstruksi baja, struktur
rangka diberi dinding pengisi berupa pelat baja di dalamnya, yang diharapkan akan
bekerja sebagai fuse dengan mekanisme leleh pelat dan tekuk (tension field action).

Gambar 48. Steel Plate Shear Walls (Seilie and Hooper 2005).

Sistem ini tentu saja tidak bisa bekerja sebagai dinding pemikul beban gravitasi,
fungsinya lebih seperti pada plate-girder, yaitu menahan geser. Karena memakai
pelat yang relati tipis maka kekakuan tegak lurus bidang perlu dipertimbangkan
sehingga jarak antar kolom di antara dinding pelat tersebut juga terbatas.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 56/90


8.6. Sistem Isolasi Seismik
Pada prinsipnya, sistem isolasi seismik mengurangi respon bangunan terhadap
gempa karena memisahkannya dari gerakan tanah saat gempa. Isolasi mengurangi
dampak gempa dengan cara memperpanjang periode getar dan memperbesar
redaman. Akibatnya pada kondisi baik, sistem isolasi mengurangi drift bangunan
sampai dua kalinya, bahkan ada sampai lima kali, dibanding sistem biasa.

Gambar 49. Perbandingan respons sistem (a)biasa dan (b)terisolasi (Taranath 2005).

Akselerasi pada bangunan juga berkurang, meskipun itu tergantung karakteristik P-


 sistem isolasinya. Adanya sistem tersebut akan mengurangi akselerasi atap pada
bangunan rendah sampai sebesar 60 – 80%. Bagaimana dengan bangunan tinggi,
untuk itu ada baiknya dilihat kembali kurva respons spektrum perencanaan gempa.

Gambar 50. Gaya gempa rencana berdasarkan respons-spektrum (Taranath 2005)

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 57/90


Untuk mengetahui prinsip perencanaan gedung sistem terisolasi, lihat Gambar 50,
ada empat kurva respons A, B, C, dan D. Dalam hal ini anggap direncanakan gedung
lima lantai tumpuan bawah terjepit (belum diisolasi) dengan perioda getar 0.6 detik.

Kurva A, paling bawah, menunjukkan gaya gempa rencana sesuai code (IBC 2003
atau ASCE 7-02). Kurva B, ke-2 dari bawah, kemungkinan kuat struktur yang terjadi
sebenarnya. Kuat aktual bangunan bisa lebih besar dari kuat rencana karena banyak
hal (Taranath 2005), akibatnya kuat terpasang bisa 1.5 sampai 2.0 kali lebih besar
dari kuat rencananya. Kurva D, paling atas, menunjukkan gaya lateral gedung bila
berperilaku elastis saat gempa. Namun pada perencanaan tahan gempa, umumnya
dianggap sistem struktur akan mengalami kondisi non-linier selama gempa.
Sehingga bangunan direncanakan hanya memikul sebagian gaya lateral di Kurva D.
Konsekuensi logis, tentunya harus dapat disediakan detail struktur yang dapat
mengakomodasi terjadinya kondisi inelastis yang dimaksud. Perbedaan besarnya
gaya elastis linier, kurva D, dan kemungkinan kapasitas sesungguhnya, kurva B,
menunjukkan besarnya dissipasi enerji yang akan dipikul oleh daktilitas struktur.

Gambar 51. Sistem isolator seismik (Taranath 2005)

Selanjutnya dibandingkan dissipasi enerji yang dibutuhkan bangunan jika dipakai


sistem isolasi seismik. Gaya elastis bangunan terisolasi akan berkurang drastis
akibat dua hal. Pertama, isolator bangunan bersifat flesibel sehingga periode getar
bertambah panjang, misalnya, bangunan biasa (terjepit) perioda getarnya 0.6 detik,
ketika dipakai sistem isolasi seismik bertambah panjang jadi 2 – 2.5 detik. Besarnya
pengurangan akan terlihat langsung pada kurva respons spektrum di atas.

Hal kedua yang berkontribusi terhadap pengurangan gaya gempa adalah redaman
tambahan yang terjadi, tentu ini tergantung jenis isolator dasar dan viscous damper
(jika ada) yang dipilih. Redaman dapat meningkat dari nilai umum (asumsi 5%)

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 58/90


sebesar 20% atau lebih. Kedua hal tersebut membantu mengurangi kebutuhan
daktilitas dari struktur yang harus tersedia. Bahkan, bisa saja selama gempa tidak
pernah sampai pada kondisi inelastis, tetapi tetap elastis. Itu artinya tidak perlu lagi
segi pendetailan yang ketat (rumit). Dengan kata lain, untuk kisaran perioda getar
2.0 – 2.5 detik, kekuatan perlu bangunan sangat hampir sama dengan kebutuhan
elastis maksimum tanpa reduksi.

Gedung bertingkat pada Gambar 52a, adalah gedung yang terletak di kampus NTU,
Taiwan. Gedung tersebut sepintas terlihat seperti bangunan tinggi lain. Padahal itu
adalah prototipe skala 1:1 gedung tahan gempa sistem isolasi seismik. Keunikan
bangunan tersebut dibanding sistem serupa yang telah dibangun, adalah bahwa
isolasi atau pemisahan struktur atas dan struktur bawah bangunan tidak berada di
bawah, di level pondasi sebagaimana biasa, tetapi berada di lantai dua yang memang
sengaja dikosongkan sebagai tempat pemasangan karet isolasi. Gambar 52b,
memperlihatkan prototipe detail bearing pad yang berfungsi sebagai isolasi dan
tulangan beton di atasnya, yang berada di lantai dua, yang sepintas terkesan kosong
karena memang tidak digunakan oleh publik pemakai gedung.

(a). Tampak luar (b). Prototipe Pendetailan Base-isolation


Gambar 52. Bangunan dengan Sistem Base-Isolation NCREE, di Kampus NTU, Taipei

Pada kondisi elastis, gaya gempa terbesar gedung diakibatkan oleh perioda getar
pendek, biasanya bangunan rendah. Untuk periode getar bangunan tinggi, umumnya
cukup panjang (lama) sehingga pemilihan sistem isolasi seismik tidak signifikan
hasilnya, bahkan akan menemui kesulitan jika ada momen guling akibat angin yang
tinggi, yang akhirnya memerlukan kuat tarik pada pondasinya.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 59/90


9. BANGUNAN TINGGI (TALL BUILDING)
9.1. Council on Tall Buildings and Urban Habitat (CTBUH)
Telah dibahas karakter struktur bangunan tinggi terhadap beban lateral, dimana
resiko akibat gempa dan angin bisa sama-sama menentukan. Bahkan bisa saja pada
suatu ketinggian tertentu, angin lebih mendominasi dari gempa. Pada bangunan
seperti itulah maka istilah bangunan tinggi ini dimaksud. Untuk menjelaskan secara
lengkap dan terpadu, perlu mengacu pada CTBUH (http://www.ctbuh.org/), suatu
organisasi nirlaba tingkat internasional yang didukung para profesional di bidang
arsitektur, teknik, perencanaan, pengembangan dan konstruksi. Organisasi pertama
kali berdiri tahun 1969, oleh Lynn S. Beedle di Universitas Lehigh di Pennsylvania
dan pada waktu itu namanya adalah "Joint Committee on Tall Buildings”, baru pada
tahun 1976 berganti nama menjadi CTBUH sampai sekarang.

Gambar 53. Logo badan organisasi dunia tentang gedung tinggi (CTBUH 2012)

CTBUH merupakan organisasi internasional terkemuka untuk gedung tinggi dunia,


dan menjadi wasit atas kriteria ketinggian bangunan. Mereka pula yang mengukur
dan memberi gelar "Gedung Tertinggi di Dunia". Oleh karena itu, dalam membahas
gedung-gedung tinggi akan mengacu pada informasi dan publikasi dari CTBUH.

9.2. Apa itu Gedung Tinggi ?


Pertama kali tentu perlu mengetahui kriteria yang menentukan apa yang dimaksud
bangunan tinggi. Ternyata tidak ada definisi pastinya, bangunan dapat menunjukkan
unsur ketinggian melalui beberapa aspek atau kategori berikut.

a) Kriteria tinggi relatif terhadap lingkungannya

Gambar 54. Ketinggian relatif terhadap lingkungan sekitarnya (CTBUH 2012)

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 60/90


Ketinggian absolut bukan kriteria satu-satunya, tergantung bangunan sekitarnya.
Bangunan 14 lantai, bukan bangunan tinggi jika ada di kota Chicago atau Hong Kong,
tetapi akan menjadi bangunan tertinggi jika berada di kota kecil, di Jawa misalnya.

b) Kriteria tinggi berdasarkan proporsinya

Gedung tinggi ternyata bukan hanya tentang tinggi tetapi juga tentang proporsi. Ada
banyak bangunan yang tidak terlalu tinggi, tetapi cukup ramping untuk memberikan
tampilan sebuah gedung tinggi, terutama terhadap lingkungan gedung disekitarnya.
Sebaliknya, ada banyak tapak bangunan yang besar atau cukup tinggi tetapi karena
proporsi ukuran luas lantainya dan tingginya maka tidak termasuk bangunan tinggi.

Gambar 55. Kriteria tinggi berdasarkan proporsi ukurannya (CTBUH 2012)

c) Kriteria tinggi berdasarkan teknologi yang digunakan

Jika bangunan memakai teknologi yang spesifik pada bangunan tinggi (misalnya, lift
kecepatan tinggi, bracing penahan angin dll), dapat pula digolongkan gedung tinggi.

Gambar 56. Keberadaan teknologi pendukung (CTBUH 2012)

Meskipun jumlah lantai tidak cukup baik digunakan sebagai indikator ketinggian
suatu gedung, karena tinggi lantai kadang tergantung dari fungsi dan dapat berbeda
antara satu dengan yang lainnya (misal, kantor berbeda dengan perumahan), tapi
bangunan lebih dari 14 atau lebih dari 50 meter tingginya - dapat dipakai sebagai
indikator batas untuk disebut sebagai gedung tinggi.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 61/90


d). Kriteria bangunan super tinggi

Gambar 57. Kriteria bangunan super tinggi (CTBUH 2012)

Council on Tall Buildings and Urban Habitat (CTBUH) mendefinisikan "super tinggi"
sebagai bangunan lebih dari 300 meter tingginya. Meskipun saat ini ada gedung
tinggi lebih dari 800 meter, tetapi pertengahan tahun 2011 hanya ada 54 bangunan
yang lebih dari 300 meter yang telah selesai dan ditempati di seluruh dunia ini.

Catatan : Comcast Center (58 lantai, 297 m), selesai 2008, tertinggi di Philadelphia,
Pennsylvania, dan tertinggi ke-15 di USA; CCTV (China Central TV Headquarters)
(44 lantai, 234 m), selesai 2008, Beijing, China; Almas Tower (68 lantai, 360 m),
selesai 2008, tertinggi ke-3 di Dubai, setelah Emirates Park Towers dan Burj Khalifa.

9.3. Bagaimana Gedung Tinggi Diukur ?


Council on Tall Buildings and Urban Habitat (CTBUH) mengelompokkan ketinggian
gedung berdasarkan bagian atas tertinggi yang diukur. Tentu saja semuanya diukur
dari bagian bawah, yaitu dari elevasi terbuka paling bawah yang menjadi pintu
masuk gedung tersebut. Tinggi bagian atas yang diukur adalah :

a) Tinggi puncak bangunan arsitektur, termasuk menara, tetapi tidak termasuk


antena, signage, tiang bendera atau peralatan non-arsitektural lainnya. Cara ini
banyak dipakai CTBUH menentukan peringkat “World’s Tallest Buildings”.

b) Tinggi lantai yang dihuni (terpakai) paling atas.

c) Tinggi ke puncak gedung tertinggi, termasuk peralatan non-arsitektural, misal


menara radio dsb.

Daftar bangunan tertinggi yang dibuat CTBUH sifatnya tidak absolut, tergantung
waktu tahun pengukurannya. Itu berarti daftarnya bisa berubah-ubah pada tiap
tahunnya. Sebagai contoh, daftar yang tercatat sampai tanggal 1 Januari 2011 sbb:

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 62/90


Gambar 58. The World’s Tallest Buildings (Jan. 2011) – puncak arsitektural.

Gambar 59. Gedung tertinggi – lantai hunian paling atas

Gambar 60. Gedung tertinggi – ujung paling atas

9.4. Perbedaan Gedung dan Menara Telekomunikasi (Observasi)


Berkaitan dengan gedung tinggi, perlu dibedakan dengan menara telekomunikasi
atau pengamat (observasi) yang memang dibuat tinggi. CTBUH dalam hal ini hanya
mengevaluasi gedung tinggi, sesuai namanya Tall Building. Untuk membedakannya,
adalah didasarkan pada prosentasi lantai terhadap tinggi yang dapat dimanfaatkan.
Jika kurang dari 50% dianggap sebagai konstruksi menara dan sebaliknya.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 63/90


Gambar 61. Kriteria bangunan sebagai menara atau gedung (CTBUH 2012)

9.5. Sistem Struktur Bangunan Tinggi berdasarkan Jenis Material


Meskipun hanya digunakan dua macam material untuk bangunan tinggi, yaitu baja
dan beton, tetapi terkait dengan sistem strukturnya maka dapat dibedakan dalam
empat (4) macam material struktur, sebagai berikut :

 Gedung struktur baja (steel), jika unsur-unsur utama struktur vertikal dan
lateral, maupun sistem lantainya memakai struktur baja.

 Gedung struktur beton (concrete), jika unsur-unsur utama struktur vertikal dan
lateral, maupun sistem lantainya memakai struktur beton bertulang.

 Gedung struktur komposit (composite), jika dipakai kombinasi keduanya, baja


dan beton komposit sebagai elemen-elemen utama struktur, termasuk dalam hal
ini bangunan baja dengan core-wall dari beton bertulang.

 Gedung struktur campuran (mixed), jika bangunannya memakai sistem struktur


yang berbeda, antara bagian bawah dan atasnya, atau sebaliknya.

Dari studi CTBUH, pemakaian bahan material gedung tinggi dari tahun ke tahun
terjadi perkembangan. Lihat Gambar 62, struktur baja pada awal mulanya sangat
dominan. Era 1990 terjadi perkembangan pesat material beton, bahkan dari catatan
tahun 2010 pemakaian struktur beton bertulang untuk gedung tinggi mendominasi,
dan mengalahkan struktur baja. Meskipun dalam hal ini, jelas baja tidak bisa
ditinggalkan, tetapi berubah menjadi baja tulangan dan profil komposit untuk
bersama-sama memikul dengan beton. Material baja tidak akan dapat dihilangkan,
karena material inilah yang akan menahan gaya tarik pada elemen beton bertulang.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 64/90


Gambar 62. Trends pemakaian material struktur gedung tinggi (CTBUH 2012)

10. STRUKTUR KOMPOSIT DAN STRUKTUR CAMPURAN


10.1. Umum
Gedung dengan struktur baja atau beton, bukanlah sesuatu yang asing, termasuk
istilah komposit, yang umumnya diasosiasikan dengan perilaku balok komposit.
Padahal sebenarnya beton bertulang itu sendiri juga adalah struktur komposit juga.
Adapun komposit yang dimaksud di sini adalah gabungan profil baja dengan beton
bertulang yang disusun untuk bekerja sama agar pemakaian materialnya efisien.

Istilah yang cukup baru atau asing didengar adalah struktur campuran. Oleh sebab
itu akan dibahas terlebih dahulu perbedaan dan persamaan antara dua sistem itu,
yaitu struktur komposit dan struktur campuran.

10.2. Struktur Komposit


Penampang beton bertulang pada dasarnya adalah struktur komposit, yaitu elemen
struktur yang terdiri dari dua macam material berbeda (E berbeda) untuk bersama-
sama memikul gaya-gaya. Tidak disebut komposit karena beton bertulang dan beton
tanpa tulangan perilakunya sangat berbeda. Selain itu tulangan baja yang digunakan
adalah juga khusus, hanya untuk sistem beton bertulang saja, tidak bisa dipakai
mandiri seperti halnya profil baja. Oleh karena itu material beton yang dirangkai
bersama-sama dengan tulangan baja dianggap satu kesatuan, beton bertulang.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 65/90


Istilah elemen struktur komposit adalah untuk elemen struktur yang menggabung-
kan keunggulan beton-bertulang dengan pemakaian profil baja, yang biasa dipakai
pada konstruksi baja, untuk bersama-sama memikul gaya-gaya dan momen jika ada.

Elemen struktur komposit yang paling banyak dijumpai, untuk konstruksi bangunan
mulai dari yang rendah sampai tinggi adalah balok atau slab komposit. Ini wajar saja
karena pemilihan balok komposit memang ditujukan untuk mengantisipasi masalah
pada struktur bentang lebar, yaitu terjadinya momen lentur besar. Balok dibebani
lentur, sisi tarik ditahan oleh material baja secara efisien, sedangkan bagian desak
ditahan oleh beton yang berdimensi lebih besar dan mempunyai ketahanan tekuk
yang lebih baik. Jika dipakai baja pada sisi desak, tidak efisien, karena kegagalan
tekuk akan terjadi lebih dulu tanpa harus mengalami kelelehan. Jadi penggunaan
mutu baja yang tinggi menjadi tidak efisien.

Sistem balok komposit paling sesuai diterapkan pada balok pendukung lantai (dari
beton bertulang), baik pada bangunan gedung maupun jembatan. Pada sistem balok
lantai, agak susah membedakan dari tampilan luar apakah sistem balok baja non-
komposit atau komposit. Perbedaan hanyalah ditentukan oleh keberadaan shear
stud atau shear connector yang tertanam pada pelat betonnya, yang menyebabkan
kedua komponen struktur (profil baja dan lantai beton) berperilaku komposit.

Gambar 63. Sistem Balok Komposit pada Jembatan Standar (Sumber : Trans Bakrie)

Sistem balok komposit pada jembatan di atas, menghasilkan struktur yang sangat
efisien, kinerjanya bahkan dapat dibandingkan dengan sistem beton prategang.
Jembatan dipilih karena strukturnya simple-beam dan dapat berbentang panjang,
kasus masalah yang paling cocok memakai sistem balok komposit.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 66/90


Agar aksi komposit bekerja optimal, yaitu profil baja menerima tarik dan pelat beton
menerima tekan, maka penempatannya sangat menentukan. Dalam hal ini, pelat
beton umumnya adalah lantai, yang posisinya pasti ada di atas profil balok bajanya.
Untuk kondisi itu, akan optimal jika tegangan bagian atas (beton) adalah desak, dan
bagian bawah (baja) adalah tarik. Itu akan terjadi pada sistem balok sederhana
(simple-beam), khususnya untuk antisipasi momen lapangan balok bentang panjang.

Sistem simple-beam dengan bentang panjang jarang dijumpai pada gedung tinggi.
Kalau ada, umumnya diperuntukkan pada sistem lantai terhadap beban tetap. Untuk
balok dengan sistem menerus, dimana momen terbesar di tumpuan maka kondisi
tegangan jadi terbalik, sisi tarik di atas (beton) dan isi tekan di bawah (baja) pada
kondisi ini maka aksi komposit tidak efektif, sebaiknya diabaikan saja.

Meskipun sistem balok komposit tidak banyak dipakai pada gedung tinggi, tetapi
strateginya cocok diaplikasikan pada sistem pelat lantai. Bagaimanapun juga, lantai
gedung umumnya adalah beton, karena mempunyai redaman yang baik terhadap
getaran dan bunyi-bunyian. Masalahnya dari segi pelaksanaan, perlu bekisting dan
waktu melepaskannya. Masalah diatasi dengan menggunakan pelat corrugated baja
sehingga dapat sekaligus berfungsi sebagai bekisting sekaligus tulangan positip. Itu
berarti sistem lantai harus mengakomodasi sistem pelat komposit.

Gambar 64. Sistem pelat dan balok komposit pada lantai bangunan

Jadi keunggulan penggunaan pelat komposit adalah juga dalam segi pelaksanaannya,
yaitu sebagai bekisting permanen. Adapun kelemahan balok komposit pada sistem
menerus (momen negatif), diatasi dengan penambahan tulangan baja. Sedangkan
shear connector yang terdapat pada balok (Gambar 64), tidak sekedar agar menjadi
balok komposit, tetapi juga diperlukan untuk menyatukan lantai dengan sistem
struktur utamanya, yaitu agar lantainya dapat bekerja sebagai floor-diaphragm yang
menyebabkan gerakan lateral secara sekaligus pada saat gempa.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 67/90


Penggunaan lantai komposit memakai pelat corrugated baja menghasilkan perilaku
slab satu arah (one-way slab). Kondisi tersebut mempengaruhi konfigurasi balok
pemikulnya sehingga sistem balok dan pelat komposit perlu dipakai bersama-sama,
seperti yang terdapat pada sistem lantai tipikal gedung Petronas di Kuala Lumpur.

Gambar 65. Struktur komposit di Petronas, Kuala Lumpur (Taranath 2005)

Jadi penggunaan sistem struktur komposit pada gedung Petronas ditujukan untuk
sistem gravitasi, pada sistem struktur lantainya. Itulah mengapa balok kompositnya
lebih banyak berupa balok tunggal (simple-beam). Atas dasar asumsi simple-beam
itu pula maka hubungan balok komposit (profil baja) ke core-wall atau rangka beton
perimeternya menjadi tidak rumit detailnya, sambungan tipe geser atau tumpu akan
mencukupi (Gambar 66). Sistem balok komposit tidak memberi kekakuan lateral
pada bangunan, terhadap gempa hanya berfungsi sebagai Floor Diaphragms.

Keuntungan sistem balok dan pelat komposit untuk lantainya adalah tidak memer-
lukan sistem bekisting dan perancah khusus, sehingga konstruksinya jadi cepat.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 68/90


Gambar 66. Hubungan profil baja ke dinding beton (Taranath 2005)

Sistem balok dan pelat komposit pada Gedung Petronas sifatnya lokal (memikul
lantai itu saja), tidak mempengaruhi perilaku struktur keseluruhan, arah vertikal
atau arah lateral, maka sistem strukturnya tetap kategori gedung beton.

Kecuali struktur balok dan slab komposit, yang lainnya adalah kolom. Ada dua jenis
kolom komposit yang biasa dipakai pada konstruksi bangunan. Pertama, profil baja
terbungkus beton bertulang (Gambar 67). Kedua, pipa baja diisi beton struktur.

Gambar 67. Konsep desain kolom komposit (Taranath 2005)

Pada prinsipnya, perilaku dan perencanaan kolom komposit sama seperti kolom
beton bertulang biasa, dalam hal ini profil baja dianggap seperti diskrit-diskrit
tulangan. Adapun motivasi yang mendasari dipilihnya kolom komposit adalah agar
jumlah luasan baja pada kolom tidak dibatasi seperti halnya kolom beton bertulang
(≤ 4% Ab). Dengan kandungan material baja yang lebih banyak pada kolom tersebut
maka kapasitasnya diharapkan akan meningkat. Selain itu, karena banyak memakai
material baja, maka resiko terjadinya rangkak (creep) dapat dikurangi signifikan.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 69/90


Penggunaan kolom komposit memungkinkan proses pengecoran lantai-lantai secara
paralel. Dalam hal ini, profil baja untuk kolom komposit dipilih sesuai kebutuhan
erection, yaitu untuk memikul beberapa lantai di atasnya. Selanjutnya setelah lantai
selesai dirakit dapat dilakukan pengecoran beton beberapa lantai secara sekaligus,
termasuk kolom kompositnya. Contoh konfigurasi yang dijumpai di kota Louisiana
dan Texas (Taranath 2005) dapat dilihat pada Gambar 68 berikut.

Gambar 68. Tube system dengan kolom komposit (Taranath 2005)

Gambar 68 adalah konfigurasi bangunan tinggi dengan sistem framed-tube, kolom


perimeternya harus rapat. Untuk konstruksi beton bertulang, proses pelaksanaan
harus bertahap, lantai-per-lantai. Oleh karena itu, dipilih sistem rangka baja untuk
memikul beban gravitasi, sehingga dapat direncanakan ukuran minimalis. Adapun
kolom tengah didesain sebagai kolom komposit, tetapi profil baja yang dipilih cukup
untuk beberapa lantai di atasnya, meskipun sekedar untuk proses pelaksanaan saja.

Gambar 69. Alternatif sistem komposit pada gedung (Taranath 2005)

Elemen-elemen komposit bangunan di atas ditujukan untuk sistem struktur pemikul


beban gravitasi, tetapi sebagian juga sebagai sistem struktur penahan lateral. Oleh
karena itu bangunan tinggi di atas memakai sistem struktur komposit.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 70/90


Implementasi sistem struktur komposit yang lengkap, pada sistem struktur gedung
First City Tower, di Houston, Texas dalam dilihat secara detail, sebagai berikut:

Gambar 70. First-City Tower (49 lantai), di Houston, Texas (Taranath 2012)

Gedung First-City Tower dibangun tahun 1981, perencana struktur Walter P. Moore
& Associate, menarik dibahas selain karena bentuknya yang unik, juga pemakaian
sistem komposit lengkap, mulai balok, slab, kolom, bahkan core-wall utamanya.

(i) Kolom komposit (ii) Shear-wall komposit


Gambar 71. Detail Elemen komposit First-City Tower (Taranath 2012)

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 71/90


Struktur yang terdiri profil dan tulangan baja, serta beton yang dapat bekerja secara
sekaligus disebut struktur komposit. Tinjauan bisa lokal (elemen struktur), sehingga
dapat ditinjau dari segi penampangnya saja (balok/slab/kolom/dinding-komposit).

Gambar 72. Perilaku komposit dinding geser berangkai (Taranath 2012)

Selain penampang, efek komposit dapat diterapkan dengan cara lain. Pada dinding-
geser-berangkai, efek komposit dicapai dengan mengganti balok beton dengan profil
baja, sedangkan dinding dari beton bertulang. Ini dipilih karena balok perangkai
akan mengalami kondisi inelastis akibat momen bolak-balik. Jika dipilih profil baja,
detailnya relatif sederhana dan juga lebih daktail, meskipun belum tentu lebih kaku.

Gedung dengan sistem penahan lateral memakai elemen struktur komposit disebut
gedung dengan sistem struktur komposit. Selain itu, bisa saja tidak ada elemen-
elemen komposit yang digunakan, tetapi juga disebut sistem struktur komposit jika
ditinjau secara keseluruhan, misalnya ”portal-baja” dan ”dinding geser beton”.

Gambar 73. Sistem struktur komposit (Taranath 2012)

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 72/90


10.3. Struktur Campuran
Penjelasan gedung dengan sistem struktur komposit sebenarnya relatif kompleks,
maklum banyak variasi dapat berkembang, dari lokal (elemen), juga global (sistem).
Pada kondisi khusus, dapat juga dijumpai sistem struktur yang berbeda jika ditinjau
terhadap elevasinya yang lain. Lihat Gambar 74 di bawah, sistem struktur bagian
atas dari portal baja, sedangkan di bawahnya dari portal beton, atau bisa juga yang
diatas dari brace-frame sedangkan di bawahnya shear-wall. Gedung tinggi seperti
itu, disebut sebagai sistem struktur campuran, bukan sistem komposit seperti portal
baja dan core-wall pada Gambar 73 di atas. Sistem campuran, karena sistem tadi
dapat bekerja secara mandiri untuk suatu segmen tertentu.

(a) perimeter frame (b) internal lateral system


Gambar 74. Sistem struktur vertikal campuran (Taranath 2012)

Ada beberapa alasan dipilihnya sistem campuran. Umumnya karena tahapan kons-
truksi yang tidak sama. Untuk itu, sistem struktur atas yang banyak dipakai adalah
konstruksi baja yang berbentuk modul, dibuat di fabrikasi (luar proyek) jadi tinggal
dibawa ke lapangan untuk pemasangannya. Prosesnya terkesan sangat cepat.

Bisa juga akibat fungsi bangunan berbeda, misal level tertentu untuk kantor yang
perlu bentang lebar dan grid ruang tertentu, sehingga sistem rangka baja cocok.
Level yang lain, untuk fungsi apartemen dengan grid-grid ruangan bervariasi
sehingga perlu sistem lantai flate-slab dari beton agar fleksibel sifatnya.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 73/90


11. ERA GEDUNG MEGA-TINGGI (> 2020)
Laju pertambahan tinggi bangunan, ibarat laju perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi itu sendiri. Era sekarang ini adalah masa pesat-pesatnya, lihatlah:

Gambar 75. Peningkatan tinggi bangunan dari masa-ke-masa (CTBUH 2012)

Gambar 75 memperlihatkan progres perkembangan teknik rekayasa dan teknologi


konstruksi gedung-tinggi. Jika 2010 definisi gedung super tinggi (>300 m) sudah
cukup mengakomodasi, maklum hanya 54 buah di seluruh dunia ini. Maka sejak
Burj-Khalifa berhasil dibangun (2010), maka peta situasi berubah siginifikan. Untuk
memperbandingkannya dapat dilihat gedung-gedung tinggi berdasarkan dekadenya,
era lalu (2000), sekarang (2010), dan nantinya (2020), lihat Gambar 76.

Gambar 76. Perkembangan 20 gedung tertinggi tiga dekade terkini (CTBUH 2012)

Dekade 2000 ke 2010 ada peningkatan 17%, selanjutnya dari dekade 2010 ke 2020
yang dimulai dengan berdirinya Burj-Khalifa, peningkatannya sebesar 36%. Jadi era
saat ini telah terjadi revolusi ilmu pengetahuan tentang gedung tinggi. Saat inilah
terjadi peralihan antara era super-tinggi (300 m) menuju era mega-tinggi (600 m).

Melihat kondisi mayoritas penduduk negeri ini, tak terbayangkan masuk kancah
perlombaan gedung-gedung tinggi di tingkat dunia. Tapi fakta berbicara lain, nama
Indonesia ada tercantum pada daftar nama-nama gedung mega tinggi tersebut.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 74/90


Gambar 77. Urutan rencana gedung mega-tinggi menurut CTUBH (2012)
Dari kiri ke kanan data gedung mega-tinggi ditabulasikan sebagai berikut:

Tabel 4. Rincian gedung mega-tingg menurut CTBUH (2012)


No. Nama gedung Realisasi h (m) Lokasi
1 Kingdom Tower 1,000 m Jeddah
2 Burj Khalifa √ 828 m Dubai
3 Ping An Finance Center 660 m Shenzhen
4 Seoul Light DMC Tower 640 m Seoul
5 Signature Tower Jakarta 638 m Jakarta
6 Shanghai Tower 632 m Shanghai
7 Wuhan Greenland Center 606 m Wuhan
8 Makkah Royal Clock Tower Hotel 601 m Makkah
9 Goldin Finance 117 597 m Tianjin
10 Lotte World Tower 555 m Seoul
11 Doha Convention Center and Tower 551 m Doha
12 One World Trade Center 541 m New York City
13 Chow Tai Fook Guangzhou 530 m Guangzhou
14 Tianjin Chow Tai Fook Binhai Center 530 m Tianjin
15 Dalian Greenland Center 518 m Dalian
16 Pentominium 516 m Dubai
17 Busan Lotte Town Tower 510 m Busan
18 Taipei 101 √ 508 m Taipei
19 Kaisa Feng Long Centre 500 m Kaisa
20 Shanghai WFC √ 492 m Shanghai

Meskipun baru rencana, tetapi bagi insinyur-insinyur yang bermimpi dapat terlibat
pada salah satu gedung tertinggi dunia, tentu mendapatkan harapan yang besar.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 75/90


12. SEKELUMIT FAKTA DI BALIK GEDUNG TERTINGGI DUNIA 2012
12.1. Gedung Beton Tertinggi Saat Ini
Burj Khalifa (828 m) di Dubai, saat ini (2012) menjadi bangunan tertinggi di dunia.
Ketinggiannya melesat 60% lebih tinggi dari Taipei 101 (508 m), yang sebelumnya
telah menduduki singgasana itu selama 6 tahun (2004 – 2010) setelah mengalahkan
menara kembar Petronas Tower (452 m), di Kuala Lumpur.

Gambar 78. Burj Khalifa (828 m) gedung tertinggi di dunia (2012)

Arsiteknya Adrian Smith didukung Bill Baker (structural engineer) dari Skidmore,
Owings & Merrill (SOM), Chicago. Kontraktornya Samsung C&T, Besix dan Arabtec.
Konstruksi utama beton bertulang, dan baja untuk bagian menaranya. Penggunaan
beton cukup menarik, sepertinya akan menjadi kecenderungan gedung super-tinggi
yang lain. Faktor-faktor yang menyebabkannya (Taranath 2010), adalah :

 Besarnya massa dan rigiditas beton memperbesar redaman dibanding baja, yang
akan mengurangi gaya akibat angin pada bangunan super-tinggi.
 Peningkatan mutu campuran beton semakin baik, dari segi kekuatan (fc) dan
modulus elastisitas (Ec), termasuk SCC (Self-Consolidating Concrete).
 Beton bertulang secara nature bersifat tahan api (fire resistant)
 Penggunaan sistem lantai flat-slab, dapat menghasilkan tinggi lantai-ke-lantai
yang sangat minimal dan lebih efisien karena two-way system.
 Tersedia self-climbing form-work dinding otomatis dari Doka, Austria.
 Tersedia teknologi pompa beton kapasitas 5500 psi padahal perlunya hanya
3000 psi, yaitu buatan Putzmeister, Jerman. Crane sudah tidak diperlukan lagi.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 76/90


Untuk mengetahui keistimewaan Burj Khalifa, Dubai terkait dengan ketinggiannya
maka akan diperbandingkan dengan bangunan tinggi lain yang tercatat di dunia ini.

Gambar 79. Perbandingan tinggi berbagai objek buatan manusia (2012)

Dari perbandingan di atas, Burj Khalifa tingginya sangat signifikan mengalahkan


yang lain, padahal terbuat dari beton bertulang (kecuali menaranya). Keistimewaan
yang lain, yang tercatat dari pembangunan gedung Burj Khalifa adalah:

 Tinggi arsitektur 828 m, jumlah lantai 160, konstruksi mulai 2004 sampai 2010,
setara dengan kerja sebanyak 22 juta orang per jam.
 Tower beton bertulang seluas 280,000 m2 digunakan untuk tempat tinggal dan
kantor, sebagian juga hotel. Adapun luas tower dan podium adalah 465,000 m2.
Luas dasar (site area) adalah 104,210 m2, luasan proyek 454,249 m2.
 Mutu beton 60 – 80 MPa dan Ec 43,800 N/mm² (maks) sebanyak 250,000 m3
(setara 110,000 gajah), tulangan baja perlu 39,000 ton, dinding penutup 83,600
m2 kaca dan 27,900 m2 metal (ekivalen 17 lapangan bola). Aluminium yang
dipakai setara lima pesawat A380, panjang baja stainless setara 293 kali tinggi
menara Eiffel di Paris.

Untuk mewujudkan bangunan tertinggi, arsitek dan insinyur SOM, Chicago memakai
prinsip geometri organik triaksial yang bertumbuh secara spiral (lihat Gambar 80).
Untuk itu perlu sistem struktur baru, yang dinamakan ”buttressed core”, terdiri dari
dinding beton mutu tinggi membentuk tiga sayap yang saling menopang satu sama
lain melalui enam sisi core tengah atau hub hexagonal. Idenya sederhana, core beton
menghasilkan kekakuan torsi, sekaligus pelindung elevator. Tiga sayap menopang
core beton terhadap angin. Untuk menghasilkan satu kesatuan diberikan outriggers
di setiap ketinggian tertentu. Hasilnya denah berbentuk Y, yang ternyata ideal sekali
untuk bangunan resident dan hotel, karena memberikan keleluasaan pemandangan
luar yang terbaik.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 77/90


Gambar 80. Tampak gedung tertinggi Burj Khalifa, di Dubai (Baker et.al 2010)

Gambar 81. Denah Tipikal Burj-Khalifa (Baker et.al 2010)

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 78/90


Model struktur Burj-Khalifa dianalisis terhadap beban gravitasi (efek P-delta), angin,
dan gempa, memakai program ETABS versi 8.4 dari Computers & Structures, Inc.,
Berkeley, California. Model strukturnya terdiri RC-wall, link beam, slab, dan sistem
pondasi (rc-slab raft h = 3.7 m dan bore pile  1.5 m Pijin = 3000 ton), sekaligus juga
menara baja di atas. Model struktur lengkap terdiri dari 73,500 element Shells dan
75,000 titik nodal, untuk model struktur lantai tipikal dapat dilihat pada Gambar 82.

Gambar 82. Model Struktur lantai typikal dengan ETABS 8.4

Lendutan lateral akibat angin memenuhi persyaratan umum, dari analisa dinamik
diketahui bahwa ragam pertama (mode-1) berupa deformasi lateral dengan perioda
11.3 detik, ragam ke-2 juga deformasi lateral arah tegak lurusnya dengan perioda
10.2 detik. Deformasi torsi terjadi pada ragam ke-5 dengan perioda 4.3 detik, yang
berarti tidak menentukan perilaku bangunan terhadap pembebanan lateral.

Untuk perencanaan gempa, Dubai termasuk pada Zone-2 di Uniform Building Code
(International Code Council, 1997), yang berarti daerah gempa sedang (moderate)
sebanding kota New York dan Boston. Kondisi tanahnya pada kategori sangat padat
atau karang muda. Analisa gempanya berupa analisa respons spektrum khusus
kondisi tanah di sana. Hasilnya menunjukkan bahwa pembebanan gempa tidak
menentukan perencanaan bangunan tower beton bertulang, hanya bagian podium
dan menara baja di puncak tower yang terpengaruh. Meskipun demikian pada
perencanaan bangunan ini telah dilakukan seismic hazard analysis secara khusus,
termasuk mempelajari potensi terjadinya bahaya likuifaksi ketika terjadi gempa.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 79/90


Gambar 83. Tahapan konstruksi yang khusus (Baker et.al 2010)

Material beton mengalami creep (rangkak) dan shringkage (susut), yaitu deformasi
sebagai fungsi waktu. Karena tower sebagian besar beton bertulang, hanya bagian
atas yang menara baja, maka pengaruh rangkak dan susut harus dihitung cermat.
Strategi jangka panjang, mengusahakan tegangan tekan akibat beban gravitasi pada
penampang yang merata. Caranya ukuran penampang diproporsikan terhadap gaya
tekan yang ada. Ini mudah, karena proporsi kolom atau dinding menerus, dan
konsisten sesuai luasan lantai yang dipikul, tidak ada balok transfer dsb.

Untuk mengatasi perpendekan elastis jangka pendek, selama tahapan konstruksi


dilakukan analisis struktur, lihat Gambar 84. Analisis harus berurutan disesuaikan
dengan kondisi aktual pelaksanaannya, termasuk umur beton pada konfigurasi yang
ditinjau. Maklum, umur beton menentukan modulus elastisitas, dan itu parameter
yang menentukan besarnya deformasi aksial yang terjadi (ingat E.A). Hasil analisis
digunakan untuk menentukan besarnya kompensasi horizontal dan vertikal.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 80/90


Gambar 84. Tahapan konstruksi (Baker et.al 2010)

Kompensasi horizontal adalah untuk mengantisipasi adanya distorsi arah horizontal


menuju pusat. Jadi untuk pengecoran lantai di atasnya diperhitungkan kompensasi
arah lateral yang mengkoreksi terjadinya distorsi lateral yang terjadi. Deformasi
lateral tiap lantai dapat terdeteksi jika pemodelan struktur lantainya memakai
element Shell (atau Frame). Jika dipakai diapraghm-floor pada pemodelan lantai
seperti cara lama, maka kondisi distorsi lateral tidak akan terdeteksi.

Kompensasi vertikal adalah untuk mengantisipasi adanya distorsi vertikal akibat


adanya perpendekan kolom atau wall. Untuk itu diberikan penambahan tinggi, yang
besarnya sebanding dengan beban akibat jumlah lantai di atas yang dipikulnya.

Fenomena distorsi akibat perpendekan aksial diperlihatkan pada Gambar 85. Beban
di tengah lebih besar karena jumlah lantainya lebih banyak dibanding pinggir.

Gambar 85. Distorsi akibat perpendekan elastik elemen vertikal

Adanya pengaruh creep dan shrinkage pada struktur beton bertulang itulah yang
menyebabkan proses konstruksi Burj-Khalifa tidak dapat dikerjakan sekaligus pada
arah horizontal, yaitu keseluruhan luasan lantainya. Konstruksi dimulai dari bagian
yang nantinya akan paling tinggi terlebih dahulu, yaitu bagian tengah, kemudian
disusul oleh lantai-lantai ujung yang nanti ada di bawahnya (lihat Gambar 83).

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 81/90


12.2. Angin dan Bentuk Bangunan
Burj Khalifa (828 m), begitu tinggi sehingga perioda getar alaminya relatif panjang.
Selanjutnya dari kurva respons spektrum gempa (Gambar 33), dengan perioda yang
relatif panjang maka respons struktur terhadap gempa relatif kecil, kalah dominan
dibanding pengaruh angin. Bahkan untuk angin dengan perioda pendek, yaitu lama
waktu perlu untuk terjadi peningkatan intensitas maksimum ke kondisi nol kembali,
jika nilainya kurang dari perioda getar alami bangunan, maka respons struktur
terhadap angin akan berperilaku dinamis. Pembebanan anginlah yang menentukan.

Pada perencanaannya, bentuk dasar bangunan ditetapkan terlebih dahulu, arsitek


dan insinyurnya selanjutnya bersama-sama mengevaluasi hasil uji terowongan
angin. Bentuk bangunan dimodifikasi, jadi prosesnya mengandung trial-and-error.

Gambar 86. Uji terowongan angin di RWDI, Gulfp, Ontario (Baker 2010)

Uji terowongan angin oleh Rowan Williams Davies and Irwin Inc. (RWDI) dari Gulfp,
Ontario, Canada, sehingga pengaruh dinamik angin dan fenomena vortex-shedding
dapat dievaluasi sekaligus. Akhirnya melalui trial-and-error, bentuk bangunannya
dapat dipilih sedemikian rupa sehingga seakan-akan dapat “membingungkan” angin.
Lendutannya dievaluasi sesuai batas-batas tolerasi ijin sesuai ISO, Geneva. Hasilnya
sangat baik, bahkan tidak diperlukan teknologi dumping device khusus seperti yang
dipakai pada gedung Taipei 101, Taiwan, yaitu Tuned Mass Pendulum Damper
(Taranath 2005), untuk antisipasi goyangan berlebihan akibat angin.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 82/90


Uji terowongan angin yang dikerjakan konsultan RWDI, meliputi rigid-model force
balance tests, model aeroelastic, pengukuran tekanan lokal, studi pengaruh angin
terhadap pejalan kaki dan lingkungan sekitarnya. Model uji memakai model skala
1:500 (lihat Gambar 86); tetapi untuk studi pengaruh angin terhadap pejalan kaki
memakai model skala 1:250 agar pengaruhnya dapat dievaluasi secara teliti.

Melalui hasil uji terowongan angin maka efek vortec-shedding yang terjadi ketika
angin melewati bangunan tersebut dapat diprediksi (Gambar 86). Terlihat bahwa
vortec-shedding tidak mempengaruhi bangunan, karena terjadinya di belakang jauh.
Itu berarti tidak ada tekanan angin pada arah tegak lurus arah utama angin, hanya
tekanan searah angin utama yang perlu diperhitungkan dalam perencanaan. Karena
distorsi akibat angin tidak terlalu banyak, jika dapat dikontrol dengan baik maka
tentunya kenyamanan hunian akan lebih baik.

Gambar 87. Perilaku angin di sekitar tower Burj Khalifa (Baker 2010)

Untuk mendapatkan stabilitas bangunan terhadap pengaruh angin, maka perencana


hanya mengandalkan pada bentuk dan berat sendiri dari bangunannya saja. Oleh
sebab itu pemakaian beton SCC (self compacted conrete) pada proyek tersebut
sangat membantu, mudah dibentuk sesuai kebutuhan dan mempunyai massa atau
berat yang memadai untuk menghasilkan pengimbangan terhadap angin.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 83/90


12.3. Sosok Insinyur Perencana Burj Khalifa
Bagi awam, tentu tidak terbayang bagaimana bangunan setinggi 828 m, Burj Khalifa,
berhasil dibangun dan dapat ditempati manusia. Apalagi bagi awam yang pernah
membaca legenda menara Babel yang terkesan digagalkan oleh Tuhan karena hal itu
(menara tinggi yang menggapai langit) tidak dikehendaki-Nya.

Padahal jika mau merenungkan lebih mendalam, keberhasilan bangunan tertinggi


itu merupakan bukti akan kebesaran Tuhan itu sendiri. Mengapa itu bisa dikaitkan ?

Literatur tertua, yang sekarangpun masih dijadikan acuan banyak manusia, yaitu
Alkitab telah lama mengatakannya:

Berfirmanlah Allah: ”Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar


dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa . . . atas seluruh bumi . . .
Kejadian 1:26

Bahkan legenda menara Babel, tidak dapat dianggap itu sebagai ketidak-mampuan
manusia untuk berkuasa, sebagaimana ungkapan nats di atas. Bahkan ada suatu
pernyataan akan dahsyatnya kemampuan manusia tersebut. Baca lagi secara teliti :

. . . Ini barulah permulaan usaha mereka; mulai dari sekarang apapun juga
yang mereka rencanakan, tidak ada yang tidak akan dapat terlaksana. . . .
Kejadian 11:6

Jadi nats di atas merupakan bukti tertulis tertua yang menunjukkan bahwa sejak
awal mulanyapun, Tuhan sudah menyatakan bahwa manusia itu begitu istimewa
diantara ciptaan lainnya, karena memang sebagai gambar diri-Nya.

Lalu dimana keistimewaan manusia, dibanding burung dengan sayapnya yang dapat
terbang tinggi di udara, ikan dengan siripnya yang dapat berenang cepat di air, kuda
dengan kakinya yang dapat berlari di darat laksana angin.

Secara fisik, manusia itu lemah dibanding ciptaan Tuhan yang lain. Tetapi dibalik itu
ada sesuatu yang luar biasa, yaitu akal-budi. Dengannya dapat dibuat rencana yang
Tuhanpun tahu, bahwa tidak ada yang tidak akan dapat terlaksana. [Kejadian 11:6].

Jadi berbicara banyak tentang bangunan tertinggi dunia, tidaklah lengkap tanpa
mencari tahu sosok manusia yang erat dengan pembuatan rencana penciptaan itu.

Fokus penciptaan yang dimaksud dikaitkan dengan keterwujudan fisik, tidak seke-
dar bentuk atau tampilannya, tetapi kemampuannya atau tepatnya kekuatan dan,
kekakuannya untuk berada di alam dunia ini. Berarti itu sosok manusia yang ber-
tanggung jawab pada urusan rekayasa. Sosok yang dimaksud adalah :

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 84/90


William F. Baker, PE, SE, FASCE, FIStructE

Structural and Civil Engineering Partner Skidmore,


Owings & Merrill, LLP, Chicago, US.

Education :
 University of Illinois, MSc., Civil Engineering, 1980
 University of Missouri, BSc, Civil Engineering, 1975

Award
 Honorary Doctorate dari Uni Stuttgart, 2011
 OPAL Award, dari ASCE, 2011
 Gold Medal dari IStructE, London, 2010
 Fritz Leonhardt Prize, Uni Stuttgart, 2009
 Fazlur Rahman Khan Medal dari CTBUH, 2009.

Ternyata sosok penanggung-jawab rencana penciptaan itu adalah sosok yang mem-
pelajari dan menguasai ilmu teknik sipil, khususnya structural engineering. Itulah
ilmu yang Tuhan-pun tahu tidak ada yang tidak akan dapat terlaksana. Tentunya
kita semua di sini (kuliah umum di UAJY, Rabu, 9/5/2012) perlu mensyukuri, bahwa
ilmu yang kita pelajari itu adalah istimewa. Dengannya, dunia ini dapat diubah lebih
baik, tentunya jika diaplikasikan secara tepat. Bagaimana itu bisa dilakukan ?

W.F. Baker pada Burj Khalifa dikenal akan ide dan pengembangan sistem struktur
“buttressed core” yang belum pernah ada dipakai pada gedung tinggi sebelumnya.
Selain itu, sebelumnya juga telah dikenal akan inovasi-inovasinya yang lain, seperti
proyek bangunan bentang panjang Korean Air Lines Operations Hangar, Virginia
Beach Convention Center, juga spesial struktur seperti Broadgate-Exchange House.

Gambar 88. Spesial struktur : Broadgate, Exchange House, London – UK (1989)

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 85/90


Perhatikan keunikan rancangan bangunan sepuluh lantai pada Gambar 88, sistem
pelengkung yang terlihat bukan untuk keperluan arsitektural semata, itu dipilih
karena dibawahnya terdapat rel kereta api yang tidak dapat diganggu gugat. Berarti
bangunan tingkat sepuluh tersebut berdirinya pada ujung-ujung pelengkung saja.
Solusi yang berbeda dibanding bentuk-bentuk bangunan yang umum dijumpai. Itu
berarti rancangannya tidak sekedar mengandalkan kemampuan “bisa karena biasa”,
tetapi berdasarkan ilmu pengetahuan (teori/model) yang dimiliki dan diyakininya
bahwa nanti hasilnya memang akan berkorelasi sama dengan kondisi realnya.

Tentang ilmu pengetahuan yang diyakini Baker, yang terbukti andal menghasilkan
inovasi-inovasi rekayasa, ternyata tidak ada rahasia khusus. Itu diketahui saat Baker
memberikan kuliah (18 December 2011) di Universitas Illinois, Urbana-Champaign,
almamaternya. Pada pidatonya, Baker mengenang dan mengingatkan kembali akan
slogan gurunya 30 tahun lalu, Profesor Narby Khachaturian. Slogan yang dimaksud
adalah “Theory is Practical”. Teori yang dimaksud adalah teori-teori dasar yang
diajarkan di perguruan tinggi, seperti teori plate-shell, teori elastisitas (linear dan
nonlinear), metoda enerji, dll-nya, yang semua terkesan tidak praktis pemakaiannya.
Padahal dari teori-teori dasar seperti itulah, Baker menyusun hipotesis atas solusi
kasus-kasus yang dihadapinya. Ternyata itu semua dapat menghasilkan buah-buah
positip, yang bagi orang awam disebutnya sebagai inovasi terkini.

Apakah dengan hal-hal di atas sudah mencukupi untuk menjadi seperti W.F. Baker.
Ternyata tidak, penguasaan ilmu-ilmu dasar hanyalah modal awal, selanjutnya perlu
berani menerima tanggung jawab akan masalah-masalah rekayasa yang ada. Sebagai
Partner di konsultan rekayasa SOM, Chicago, tentulah kesempatan yang istimewa.
Masalah-masalah rekayasa pelik kelas dunia akan otomatis berdatangan. Nah disitu
akan ada titik temu antara “supply and demand”. Jadi tidak heranlah jika kemudian
ada kolaborasi dengan arsitek-arsitek terkenal dan menghasilkan berbagai inovasi.

Jika hanya itu yang dikerjakan W.F. Baker, maka pastilah yang dikenal hanya SOM,
kantor tempatnya bekerja. Tidak akan ada penghargaan khusus secara personal. Itu
semua ada karena W.F Baker ternyata juga aktif dengan banyak kegiatan organisasi
profesional dan institusi pendidikan tinggi, sebagai pembicara sekaligus penulis
tentang ide-ide yang dikembangkannya. Dia menulis secara rutin pada jurnal atau
majalah ilmiah di bidang rekayasa struktur, bahkan sudah ada sekitar 50 tulisannya
tentang proyek-proyeknya maupun penelitiannya terkait dengan optimasi struktur,
pengaruh angin dan stabilitas. Itulah profil insinyur struktur yang ideal untuk ditiru.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 86/90


13. PARTISIPASI INDONESIA DALAM ERA MEGA-TINGGI
Jika hanya menyimak berita nasional negeri ini, seperti bagaimana gigihnya rakyat
menolak rencana kenaikan harga b.b.m sebesar 0.15$ per liter, tentu merasa bahwa
yang namanya era mega-tinggi tentunya bukan di negeri ini, Indonesia. Ternyata
adalah tidak terduga, jika salah satu anak negeri ini ada yang mampu mewujudkan
diri terlibat dan menjadi bagian dari era mega tinggi tersebut. Luar biasa tentunya.
Sebagaimana ada pada daftar gedung mega-tinggi yang dilansir CTUBH, pada urutan
ke-5 tercantum gedung Signature Tower Jakarta (638 m) akan ada di Jakarta.

Gambar 89. Signature Tower Jakarta (638 m), rencana

Meskipun gedung di atas masih dalam tahap desain, dan terlihat belum adanya aksi
nyata di lapangan tapi kemungkinan terwujudnya akan lebih besar dan lebih cepat
dari mimpi bangsa ini akan jembatan bentang panjang penghubung Jawa-Sumatera.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 87/90


Ini dimungkinkan karena adanya perbedaan karakter proyek gedung dan jembatan.
Sebagaimana diungkapkan pada Tabel 2, gedung bersifat lokal, dapat dimiliki swasta
dan pengaruhnya terhadap lingkungan tidak sebesar proyek jembatan. Jadi ketika
proyek jembatan Jawa-Sumatera dalam tahap sosialisai maka bisa saja proyek
gedung tinggi ini berjalan, tanpa harus menunggu kesiapan yang lain. Ini bukti juga
bahwa untuk mewujudkannya tidak perlu harus menunggu kesiapan bangsa ini
akan kemampuan rekayasanya. Jujur saja, meskipun di Jakarta akan ada bangunan
tertinggi di dunia ke-5, tapi itu hasil pemikiran rekayasa bangsa lain. Perlu diketahui
bahwa arsiteknya adalah Smallwood, Reynolds, Stewart, Stewart & Associates, Inc.
(http://www.srssa.com) berbasis di USA, arsitek lokalnya (Indonesia) yang akan
membantu adalah PT. Pandega Desain Wehanma (http://www.pdw-architects.com).

Bagi sarjana teknik sipil, yang ingin diketahui pada proyek tersebut tentunya adalah
perencana strukturnya, Thornton Tomasetti (http://www.thorntontomasetti.com).
Konsultan rekayasa struktur yang telah berdiri sejak 1956 di USA dan telah menjadi
kelas dunia, gedung Taipei 101 di Taiwan, Shanghai World di Shanghai, Petronas
Tower di Kuala Lumpur, yang merupakan gedung ke-2, ke-3, ke-5 dan ke-6 tertinggi
dunia adalah beberapa dari karya-karyanya. Perlu juga diketahui, bahwa konsultan
struktur lokal yang berkenan mendapat kehormatan mendampingi perancang kelas
dunia adalah PT. Gistama Inti Semesta (http://www.gistama.com) di Jakarta.

Adapun gedung tertinggi saat ini adalah Burj Khalifa dengan perencana strukturnya
William F. Baker dari Skidmore, Owings & Merrill LLP (SOM), Amerika. Sedangkan
gedung tertinggi ke-4 dunia, International Commerce Centre Hongkong, perencana
strukturnya Arup, yang berkantor pusat di Inggris.

Adanya kesempatan dalam waktu dekat ini bahwa gedung mega-tinggi akan segera
hadir di Indonesia, tentunya perlu disikapi dengan baik. Bagaimanapun juga, tidak
setiap negara punya kesempatan terlibat dalam pembangunan gedung seperti itu.
Jadi bagi anak-anak muda calon engineer yang punya idealisme tentu akan melihat
bahwa ini kesempatan baik belajar dan menguasai teknologi di era mega-tinggi tadi.

14. KESIMPULAN DAN PENUTUP


Uraian makalah dimulai dengan membahas kesiapan sarjana teknik sipil menjadi
insinyur yang baik, dan tidak sekedar tukang kelas satu. Insinyur adalah profesional
yang memandang suatu penyelesaian masalah berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Adapun tukang, lebih mengandalkan pada ketrampilan dan pengalaman,

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 88/90


yang mana itu semua dapat diusahakan secara tekun dengan falsafah ”bisa karena
biasa”. Kompetensi tukang kelas satu jelas tidak bisa diabaikan, keberadaannya juga
penting, khususnya untuk kasus-kasus yang mirip dan ingin diulang secara repetisi.
Adapun insinyur penting karena mampu menangani kasus yang belum tentu pernah
dikerjakan sebelumnya, sebagaimana yang diharapkan pada era pembangunan
gedung tinggi dan jembatan bentang panjang nantinya. Dengan adanya kemampuan
insinyur maka harapannya kita bisa mandiri, tidak tergantung dari bangsa lain.

Materi bangunan tinggi dan bentang panjang ternyata sangat luas. Untuk itu tulisan
akan dibagi menjadi dua bagian. Pertama, makalah yang anda baca hanya membahas
tentang bangunan tinggi, yaitu gedung tinggi, super tinggi dan mega tinggi.

Uraian tentang gedung-gedung tinggi, banyak menguraikan pada falsafah dibelakang


sistem struktur penahan lateral, khususnya terhadap gempa dan angin. Untuk
menutup makalah, dibahas hal-hal manarik seputar gedung tertinggi dunia saat ini
(2012), yaitu Tower Burj Khalifa (828 m) di Dubai.

Meskipun tulisan ini hanya membahas masalah gedung-gedung tinggi saja, tetapi
ternyata masalahnya cukup kompleks, tidak sederhana. Itu pula yang menyebabkan,
meskipun dalam waktu dekat, di Jakarta akan dibangun gedung tertinggi ke-5 dunia,
tetapi semuanya itu masih melibatkan bangsa lain. Kita belum mandiri. Oleh karena
itu diharapkan dengan tulisan ini, akan memicu mahasiswa-mahasiswa yang sedang
belajar ilmu teknik sipil akan termotivasi lebih giat lagi untuk dapat menguasai ilmu
rekayasa dan akhirnya berhasil menjadi insinyur yang mandiri dan mumpuni.

15. UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih disampaikan kepada bapak Ir. Sugeng Wijanto, Ph.D., P.Eng.,
Presiden Direktur PT. Gistama Intisemesta, Jakarta, atas informasi terkait proyek
Signature Tower Jakarta, yang nantinya akan menjadi bangunan tertinggi Indonesia
dan bahkan ke-5 di tingkat dunia. Semoga impian ini menjadi kenyataan.

16. DAFTAR PUSTAKA


AISC. (2005a). “ANSI/AISC 360-05: Specification for Structural Steel Building”, AISC,
Chicago, Illinois
AISC. (2005b). “ANSI/AISC 341-05 : Seismic Provisions for Structural Steel
Buildings”, AISC, Chicago, Illinois
Basha, H.S. and Subhash C. Goel. (1996). “Seismic Resistant Truss Moment Frames
with Ductile Vierendeel Segment”, Paper No.487. Eleventh World Conference
on Earthquake Engineering, Elsevier Science Ltd.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 89/90


Hamburger, R.O., Helmut Krawinkler, James O. Malley, Scott M. Adan. (2009). “NIST
GCR 09-917-3 : Seismic Design of Steel Special Moment Frames: A Guide for
Practicing Engineers”, U.S. Department of Commerce and The National
Institute of Standards and Technology (NIST)
http://911research.wtc7.net/mirrors/guardian/WTC/WTC_ch2.htm
http://911blog.yweb.sk/55/Fotky-zo-stavby-WTC.html
http://steelconstruct.com/references/fiches/uk/broadgate/
Sabelli, R., and Walterio López. (2004). “Design of Buckling-Restrained Braced
Frames”, Modern Steel Construction
Seilie, I.F., and John D. Hooper.(2005). “Steel Plate Shear Walls: Practical Design and
Construction”, April 2005 Modern Steel Construction
Suriasumantri, J.S. (2006). "Ilmu Dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan
tentang Hakekat Ilmu", Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Taranath, B.S. (2005). “Wind and Earthquake Resistant Buildings Structural Analysis
and Design”, Marcel Dekker, New York 12701, U.S.A.
Taranath, B.S. (2010). “Reinforced Concrete Design of Tall Building”, CRC Press,
Taylor & Francis Group, Boca Raton.
Taranath, B.S. (2012). “Structural Analysis and Design of Tall Building”, CRC Press,
Taylor & Francis Group, Boca Raton.
William F. Baker (2011). “Advice to 2011 grads: 'Don't panic. Work the problem”,
http://engineering.illinois.edu/news/2011/12/19/advice-2011-grads-dont-
panic-work-problem
William F. Baker. (2010). “First person - Engineering an Idea: The Realization of the
Burj Khalifa, Civil Engineering, March 2010
William F. Baker, James J. Pawlikowski, and Bradley S. Young. (2010). “Reaching
Toward The Heavens”, Civil Engineering, March 2010

Tentang Pemakalah
Dr. Ir. Wiryanto Dewobroto, MT., adalah Dosen Profesional dan Lektor Kepala pada mata kuliah
analisa dan perancangan struktur (baja, beton dan kayu), komputer rekayasa, di Jurusan Teknik
Sipil, Fakultas Desain dan Teknik Perencanaan, Universitas Pelita Harapan,
Lippo-Karawaci, Tangerang. Pendidikan S -1 di UGM, Yogyakarta (1989); S2 - di
UI, Jakarta (1998); S3 di UNPAR, Bandung (2009) via dukungan promotor Prof.
Ir. Moh. Sahari Besari, M.Sc., Ph.D. Profesinya di dunia rekayasa diawali
sebagai structural engineer PT. Wiratman & Associates, Jakarta (1989–1994),
engineering manager di PT. Pandawa Swasatya Putra Consulting Engineer,
Jakarta (1994–1998). Krisis moneter (1998) mengalihkannya berkarya ke dunia
pendidikan, sebagai guru, peneliti dan penulis. Tentang hal itu, ada puluhan
publikasi, berupa prosiding, jurnal, buku, atau tulisan-tulisan ilmiah populer.
Semuanya dapat dilacak, bahkan sebagian dapat dibaca dan download di blog-pribadi-nya, yaitu :

http://wiryanto.wordpress.com

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012 90/90

Anda mungkin juga menyukai