Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

DESENTRALISASI KESEHATAN

Mata Kuliah
Sistem Pembangunan Kesehatan Nasional dan Daerah

Disusun oleh :
Cindy Yulia Eka Putri (1706041103)
Detia Silvarisa (1706040864)
Dhia Fairuz Auza (1706040851)
Nur A’isyah Amalia P (1706040271)
Tania Putri (1706978856)
Via Aulia (1706978862)

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS INDONESIA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan
hidayah-Nya kami diberikan kesehatan serta kemampuan sehingga dapat menyelesaikan makalah
berjudul “Desentralisasi”. Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Sistem Pembangunan Kesehatan Nasional dan Daerah.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam proses penyusunan makalah ini kami mengalami
banyak kendala yang harus dihadapi. Namun, berkat bantuan dari berbagai pihak berupa saran,
bimbingan, serta arahan yang sangat membantu dan membangun, serta para penulis yang
bukunya dapat menjadi inspirasi dan sumber pustaka yang kami gunakan dalam penyusunan
makalah ini sehingga penyusunan makalah ini pun dapat terselesaikan.
Akhir kata, kami sangat menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, berbagai kritik serta saran yang sangat membangun begitu diharapkan. Kami
juga mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat diterima oleh dosen
pengampu yang memberikan tugas ini.

Depok, 10 November 2019

Kelompok 1

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
PENDAHULUAN 3
1. 1 Latar Belakang 3
1. 2 Rumusan Masalah 3
1. 3 Tujuan 4
PEMBAHASAN 5
2. 1 Definisi Desentralisasi dan Desentralisasi Kesehatan 5
2. 2 Dasar Hukum Desentralisasi Kesehatan 5
2. 3 Penerapan Desentralisasi dalam Kesehatan 7
2. 4 Kelebihan Desentralisasi 10
2. 5 Kekurangan Desentralisasi 10
2. 6 Kendala Desentralisasi 11
2. 7 Program "Desa Siaga" 14
PENUTUP 18
3. 1 Kesimpulan 18
3. 2 Saran 18
DAFTAR PUSTAKA 19

2
BAB I
PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat keragaman tinggi dan tersebar di
seluruh penjuru nusantara. Adanya perbedaan budaya, kepercayaan, dan pola pikir yang
beragam pada individu membuat penanganan masalah di setiap daerah berbeda. Oleh karena
itu, untuk menangani permasalahan yang ada kita harus menyesuaikannya dengan
karakteristik daerah tersebut yaitu dengan memberlakukan desentralisasi.
Desentralisasi merupakan perwujudan dari pelaksanaan otonomi daerah.
Desentralisasi dapat didefinisikan sebagai penyerahan tugas dan wewenang dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus secara mandiri
pemerintahannya dan kepentingan masyarakat di wilayahnya.
Untuk mengoptimalkan pelaksanaan otonomi, setiap daerah dituntut untuk melakukan
inovatif dalam membuat kebijakan pemerintah dan pengelolaannya salah satunya pada
bidang kesehatan. Desentralisasi kesehatan bertujuan untuk melakukan pembangunan dengan
lebih mendekatkan pelayanan kesehatan pada masyarakat, meningkatkan kapasitas sumber
daya manusia, serta mewujudkan komitmen nasional dan global dalam kesehatan daerah
serta menata manajemen kesehatan di era desentralisasi. Berdasarkan perbedaan masalah
yang dimiliki oleh masing-masing daerah membuat desentralisasi kesehatan efektif dan
efisien diterapkan karena pembagian tugas dan wewenangnya hingga tingkat terendah dan
disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, hal itu membuat sasaran kebijakan yang
diperoleh semakin kompleks dan luas, selain itu cakupan yang semakin kecil membuatnya
lebih mudah untuk dilakukannya

1. 2 Rumusan Masalah
Sejalan dengan latar belakang di atas, adapun rumusan masalahnya sebagai berikut:
1. Apa definisi desentralisasi?
2. Apa definisi desentralisasi kesehatan?
3. Apa dasar hukum desentralisasi kesehatan?
4. Apa tujuan desentralisasi kesehatan?

3
5. Bagaimana penerapan desentralisasi dalam bidang kesehatan?
6. Apa saja kelebihan desentralisasi?
7. Apa saja kekurangan desentralisasi?
8. Apa saja kendala desentralisasi?
9. Apa contoh desentralisasi kesehatan?

1. 3 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini antar lain:
1. Mengetahui definisi desentralisasi
2. Mengetahui definisi desentralisasi kesehatan
3. Mengetahui dasar hukum desentralisasi kesehatan
4. Mengetahui tujuan desentralisasi kesehatan
5. Mengetahui penerapan desentralisasi dalam bidang kesehatan
6. Mengetahui kelebihan desentralisasi
7. Mengetahui kekurangan desentralisasi
8. Mengetahui kendala desentralisasi
9. Mengetahui contoh desentralisasi kesehatan

4
BAB II
PEMBAHASAN

2. 1 Definisi Desentralisasi dan Desentralisasi Kesehatan


Menurut UU No 23 Tahun 2014, desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintah
oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi. Pada desentralisasi
terjadi penyerahan kekuasaan dan wewenang dari pusat ke daerah. Menurut Bastian, I, (n.d),
desentralisasi kesehatan berarti memberikan peluang yang lebih besar bagi daerah untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di daerah tersebut. Sehingga, masalah kesehatan
bukan hanya urusan pusat, tetapi merupakan urusan bersama pusat, provinsi, dan kabupaten atau
kota. Hal yang sama dijelaskan WHO (n.d), desentralisasi sistem kesehatan melibatkan
pengambilan kontrol terpusat dan lebih dekat dengan pengguna layanan kesehatan.
Desentralisasi pembangunan kesehatan bertujuan mengoptimalkan pembangunan bidang
kesehatan dengan cara lebih mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Dengan
sistem desentralisasi, diharapkan program pembangunan kesehatan lebih efektif dan efisien
untuk menjawab kebutuhan kesehatan masyarakat karena akan memperpendek rantai birokrasi.
Selain itu, sistem desentralisasi juga memberi kewenangan bagi daerah untuk menentukan
program serta pengalokasian dana pembangunan kesehatan di daerahnya. Sehingga, dibutuhkan
keterlibatan masyarakat (community involvement) untuk dapat lebih mengeksplorasi kebutuhan
dan potensi lokal (Bastian,I, n.d).

2. 2 Dasar Hukum Desentralisasi Kesehatan


Adapun dasar hukum desentralisasi antara lain:
1. Undang-undang Dasar NKRI 1945 pasal 18, pasal 18A, dan pasal 18B
2. Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR.1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah di
Indonesia
3. Undang-undang Nomor 34 tahun 2000 tentang pajak daerah dan retribusi daerah.
Undang-undang ini merupakan perubahan atas Undang-undang nomor 18 tahun 1997.
4. Undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara
5. Undang-undang nomor 1 tahun 2004 mengenai perbendaharaan negara
6. Undang-undang nomor 32 tahun 2004 mengenai pemerintahan daerah

5
7. Undang-undang nomor 33 tahun 2004 mengenai perimbangan keuangan di antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah
8. Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2005
9. Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah

Dasar hukum desentralisasi kesehatan antara lain:


1. Keputusan Menkes RI No. 004/Menkes/SK/I/2003 tentang Kebijakan dan Strategi
Desentralisasi Bidang Kesehatan
2. Peraturan Menteri Kesehatan RI no 2 Tahun 2019 tentang Petunjuk Operasional
Penggunaan Dana Alokasi Khusus Fisik Bidang Kesehatan Tahun Anggaran 2019

Keputusan Menkes RI No. 004/Menkes/SK/I/2003 tentang Kebijakan dan Strategi Desentralisasi


Bidang Kesehatan membahas beberapa hal terkait penjelasan desentralisasi di bidang kesehatan,
antara lain:
1. Unit desentralisasi sebagaimana dimaksud dictum pertama merupakan unit non structural
dan bersifat ad-hoc
2. susunan keanggotaan unit desentralisasi,
a. Tim pengarah
b. Tim pelaksana
c. Tim teknis
3. Tugas pokok unit desentralisasi:
a. Melakukan telaah kritis terhadap penerapan desentralisasi kesehatan di semua
tingkat administrasi, khususnya di Kabupaten/kota.
b. Menyusun policy paper tentang berbagai aspek penerapan desentralisasi
kesehatan sebagai bahan masukan bagi pengambilan keputusan.
c. Mengembangkan konsep untuk peningkatan kapasitas institusi di Pusat, Propinsi,
dan Kabupaten/Kota dalam melaksanakan desentralisasi kesehatan.
d. Memfasilitasi berbagai kegiatan untuk menjawab tantangan dan kebutuhan
sumber daya dalam rangka penerapan desentralisasi kesehatan.
e. Memfasilitasi pelaksanaan langkah-langkah kunci dan kegiatan dalam kebijakan
dan strategi desentralisasi bidang kesehatan.

6
4. Dalam melaksanakan tugasnya Unit Desentralisasi dapat melakukan konsultasi dengan
berbagai narasumber baik dari dalam dan luar Departermen Kesehatan termasuk
Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen, LSM, Organisasi Profesi dan
Perguruan Tinggi.
5. Biaya yang dibutuhkan untuk kegiatan Unit Desentralisasi dibebankan kepada Anggaran
Belanja Departemen Kesehatan dan bantuan Donor/Badan Internasional yang sifatnya
tidak mengikat.

2. 3 Penerapan Desentralisasi dalam Kesehatan


Salah satu contoh bentuk desentralisasi di dalam bidang kesehatan yang ada di Indonesia
adalah BLUD (Badan Layanan Umum Daerah). BLUD yang diatur di dalam Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 memiliki definisi sebagai Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) atau Unit Kerja pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan pemerintah
daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan
barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam
melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. BLUD memiliki
tujuan yaitu pemberian layanan umum secara lebih efektif dan efisien sejalan dengan praktek
bisnis yang sehat, yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan kewenangan yang didelegasikan
oleh kepala daerah. Manfaat dari BLUD yaitu meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan
juga efisiensi anggaran.
Di dalam BLUD juga terdapat istilah Pola Pengelolaan Keuangan BLUD yang dikenal
dengan PPK-BLUD. PPK BLUD menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun
2007 memiliki definisi sebagai pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa
keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa, sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya. PPK-
BLUD memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat untuk
mewujudkan penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah dan/atau pemerintah daerah dalam
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Contoh badan yang merupakan BLUD adalah Puskesmas. Menurut Direktorat Jenderal
Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, pada tahun 2014 terdapat 209 puskesmas

7
yang sudah berstatus BLUD dari 9731 puskesmas yang ada di Indonesia. 209 puskesmas tersebut
terbagi menjadi dua yaitu 91 puskesmas berstatus BLUD penuh dan 118 puskesmas berstatus
BLUD bertahap. BLUD penuh adalah badan yang diberikan seluruh fleksibilitas sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri yang berkaitan dengan jumlah dana yang dapat
dikelola langsung, pengelolaan barang, pengelolaan piutang, serta perumusan standar, kebijakan,
sistem, dan prosedur pengelolaan keuangan serta diberikan fleksibilitas dalam hal pengelolaan
investasi, pengelolaan utang, dan pengadaan barang dan/atau jasa. Sementara itu, BLUD
bertahap adalah badan yang diberikan fleksibilitas pada batas-batas tertentu berkaitan dengan
jumlah dana yang dapat dikelola langsung, pengelolaan barang, pengelolaan piutang, serta
perumusan standar, kebijakan, sistem, dan prosedur pengelolaan keuangan namun tidak
diberikan kebebasan terkait dengan fleksibilitas dalam hal pengelolaan investasi, pengelolaan
utang, dan pengadaan barang dan/atau jasa.
Untuk puskesmas non BLUD, pendapatan yang diperoleh akan disetor ke kas daerah, lalu
dialokasikan kembali kepada puskesmas sebagai bagian dari Rencana Kerja yang diusulkan oleh
Satuan Unit Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang menjadi induknya. Kerugian dari puskesmas
yang berstatus non BLUD adalah adanya kemungkinan anggaran alokasi dana yang diberikan
oleh daerah tidak sesuai dengan apa yg dibutuhkan oleh puskesmas.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007, untuk menjadikan
puskesmas berstatus BLUD, maka puskesmas atau badan tertentu harus memenuhi 3 persyaratan
yaitu :
1. Syarat Substantif
Persyaratan ini akan terpenuhi jika tugas dan fungsi SKPD atau Unit Kerja
bersifat operasional dalam menyelenggarakan pelayanan umum yang menghasilkan semi
barang/jasa publik (quasi public goods).
2. Syarat Teknis
Persyaratan ini akan terpenuhi apabila : (1) kinerja pelayanan di bidang tugas dan
fungsinya layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLUD atas
rekomendasi sekretaris daerah untuk SKPD atau kepala SKPD untuk Unit Kerja, dan (2)
kinerja keuangan SKPD atau Unit Kerja yang sehat.
3. Syarat Administratif
Persyaratan ini akan terpenuhi apabila SKPD atau Unit Kerja membuat dan

8
menyampaikan dokumen yang meliputi :
1. Surat pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan,
keuangan, dan manfaat bagi masyarakat;
2. pola tata kelola;
3. rencana strategis bisnis;
4. standar pelayanan minimal;
5. laporan keuangan pokok atau prognosa/proyeksi laporan keuangan; dan
6. laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara
independen.
Tidak hanya puskesmas namun terdapat beberapa jenis fasilitas pelayanan kesehatan
yang berstatus BLUD, baik penuh maupun bertahap. Berikut data yang diperoleh dari Direktorat
Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2014.

2. 4 Kelebihan Desentralisasi
Desentralisasi pada dasarnya adalah proses pelimpahan tanggung jawab pada tingkatan
yang lebih rendah. Kelebihan desentralisasi diantaranya adalah masalah yang terdapat di daerah
bisa ditangani dengan cepat oleh pihak yang berwenang dan lebih mengerti dengan akar dari
masalah tersebut. Selain itu, program-program yang dibuat juga bisa lebih tepat sasaran dan pada
akhirnya, penggunaan APBD dalam penyelesaian masalah di daerah tersebut lebih terarah.

9
2. 5 Kekurangan Desentralisasi
Kekurangan yang dialami ketika menerapkan sistem desentralisasi adalah seringnya dana
kesehatan yang dituangkan pemerintah pusat melalui Dana Alokasi Umum (DAU) ke daerah-
daerah dalam penerapannya tidak dapat direalisasikan seutuhnya. Justru beralih untuk
penggunaan di sektor-sektor lain dalam penyusunan Anggaran Perencanaan Belanja Daerah
(APBD). Selain itu, banyak obat-obatan untuk puskesmas tidak terbeli karena Bupati dan DPRD
yang memutuskan penggunaan dana tersebut. Lalu, seringkali puskesmas dijadikan sumber dana
peningkatan hasil pendapatan daerah padahal semestinya tidak. Setelah ditelaah kembali,
ternyata dengan menerapkan sistem desentralisasi dirasa ada penurunan tingkat koordinasi di
tingkat dinas kesehatan di daerah. Intinya, penggunaan anggaran, termasuk dana kesehatan,
dikompromikan, tergantung kebutuhan sehingga anggaran kesehatan itu tidak pada tempat
semestinya. Semisal, digunakan untuk pembangunan rumah walikota, pengadaan rumah dinas,
pembangunan jalan, dll.

2. 6 Kendala Desentralisasi
Dilihat dari tujuan desentralisasi kesehatan yaitu mengoptimalkan pembangunan
kesehatan dengan memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk menciptakan upaya
kesehatan yang sesuai, efektif dan efisien dengan kebutuhan masyarakat. Situasi ini memberikan
peran yang sangat penting bagi Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten dan Kota terkait
pengelolaan sumber daya atau program. Tidak hanya itu saja, Dinkes juga dituntut untuk mampu
mengembangkan dan mengelola sistem kesehatan yang sesuai dengan kondisi wilayah setempat
(mampu melakukan penataan sumber daya manusia dan sistem kesehatan wilayah). Dalam
melakukan pengelolaan program dan pengembangan SDM terkait dengan pelaksanaan
desentralisasi, Dinkes Kabupaten Kota menghadapi beberapa kendala, antara lain (Pudjiharjo,
2012):
1) Lambatnya kinerja petugas kesehatan di Institusi milik pemerintah. Belum optimalnya
kualitas dan lambatnya pelayanan lembaga Dinkes milik pemerintah dibandingkan
lembaga milik swasta. Oleh karenanya, perlu diperhatikan status kepegawaian SDM,
faktor sistem rekrutmen SDM, manajemen yang diterapkan dalam lembaga, dan
renumerasi atau sistem pengukuran kinerja petugas kesehatan.
2) Menumpuknya pola penyakit menyebabkan “kompetisi” dalam prioritas dan alokasi

10
biaya kesehatan, khususnya pelayanan kesehatan primer yang berbasis program
kesehatan masyarakat bersifat publik, pelayanan kesehatan sekunder dan tersier yang
berbasis kuratif dan rumah sakit yang bersifat privat. Dengan ini diharapkan bahwa
Dinkes Kabupaten Kota segera menata program dan struktur organisasi sesuai dengan ciri
pelayanan kesehatan tersebut.
3) Permintaan sumber daya manusia kesehatan meningkat lebih cepat daripada kemampuan
pasokan. Contohnya tenaga spesialis yang langka menyebabkan tenaga spesialis lebih
sulit ditata, akibatnya biaya pelayanan menjadi mahal. Kondisi ini juga dapat memicu
moral hazard bagi para tenaga kesehatan spesialis dalam alokasi waktu kerja. Untuk itu,
peran pemerintah daerah sangat dibutuhkan sebagai pembina, fasilitator, pengawas
(regulator) dalam problematika distribusi sumber daya manusia kesehatan.
4) Masuknya investor ke dalam industri kesehatan dengan motivasi untuk mendapatkan
keuntungan dan masuknya tenaga asing dengan kompetensi dan keterampilan yang lebih
kompetitif. Oleh karena itu, lembaga pendidikan dan pelatihan harus menyikapi persoalan
ini dengan merumuskan kurikulum atau memberikan pelatihan dalam bidang teknis dan
manajerial kesehatan untuk membentuk kompetensi SDM yang tidak kalah dan dapat
bersaing dengan tenaga asing.

Menurut Tjahjo Kumolo, pemerintah daerah perlu melakukan inovasi untuk menciptakan
terobosan baru yang mampu meningkatkan kinerja (meningkatkan pembangunan dan kualitas
SDM). Namun, kenyataannya tidak sedikit kepala daerah takut dan kaku untuk berinovasi karena
adanya peluang terjerat proses hukum. Inovasi dapat dianggap sebagai penyalahgunaan
wewenang oleh para penegak hukum dalam beberapa kasus. Dalam situasi ini, pemerintah telah
menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2017 mengenai Inovasi Daerah untuk
jaminan perlindungan hukum (KPPOD, 2018). Contohnya, Bupati Simalungun yaitu Dr. JR.
Saragih, SH, MM melakukan suatu inovasi untuk mewujudkan masyarakat sehat dan sejahtera
dengan cara meningkatkan pelayanan di Puskesmas. Jumlah puskesmas diperbanyak dalam
waktu 8 tahun terakhir dan pelayanan 24 jam tersedia di Puskesmas secara gratis melalui
program jaminan kesehatan nasional
Selain itu maraknya kasus korupsi menjadi kendala dalam desentralisasi. Korupsi
melibatkan pimpinan-pimpinan daerah (KPPOD, 2018). Contohnya beberapa kepala daerah
ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena terbukti dalam korupsi proyek dan

11
anggaran kesehatan yaitu Wali Kota Tegal Siti Mashita, mantan Gubernur Banten Atut Chosiyah
dan Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko. Pengadaan alat kesehatan dan obat menjadi
sektor paling rawan kasus korupsi karena alokasi anggaran yang besar, alat kesehatan
mempunyai banyak substitusi (1 produk dengan fungsi dan spesifikasi sama dapat diproduksi
oleh banyak perusahaan), dan lemahnya pengawasan karena hanya sedikit orang yang mampu
memahami dan membedakan antara alat kesehatan yang berkualitas tinggi atau rendah. Dampak
yang ditimbulkan dari korupsi ini yaitu kerugian pada keuangan negara, tersedianya alat
kesehatan yang tidak memadai dan kurangnya obat di rumah sakit milik pemerintah dan
puskesmas serta membahayakan nyawa masyarakat karena peralatan kesehatan yang digunakan
tidak memberikan informasi yang akurat sehingga membuat tenaga medis kemungkinan besar
salah dalam melakukan tindakan. Solusi yang dapat dilakukan untuk menekan terjadinya korupsi
yaitu dengan e-katalog, e-purchasing, dan pengontrolan publik pada proses politik untuk
penganggaran (Indonesia Corruption Watch, 2018).
Kendala lain yang muncul pada pelaksanaan desentralisasi di Indonesia (Wicaksono,
2012) :
1) Kesenjangan pembangunan antar wilayah, seperti pembangunan di wilayah Indonesia
Bagian Timur dan Barat, perkotaan dan pedesaan, pembangunan di pulau-pulau
perbatasan dan terluar Indonesia. Kendala tersebut menjadikan ketidakadilan pada
pembangunan di berbagai kawasan.
2) Kesiapan aparatur pemerintahan daerah dalam mengemban kewenangan. Pemerintah
daerah terbiasa bergantung pada pemerintah pusat pada masa orde baru seperti terbiasa
menerima komando dari pihak pusat terkait anggaran, petunjuk teknis dan petunjuk
pelaksanaan.
3) Integrasi pembangunan nasional dari aspek perencanaan maupun realisasi pembangunan.
Kepala Daerah mempunyai program sendiri yang membuat pemerintah pusat agak sulit
untuk mengintegrasikan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang
ditawarkan ketika Presiden melakukan kampanye dengan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) yang ditawarkan ketika Kepala Daerah kampanye.
Akibatnya terdapat perbedaan arah yang digunakan pemerintah pusat dan daerah.
4) Lemahnya perolehan pendapatan daerah sebagai akibat dari kewenangan pajak yang
terbatas. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk melaksanakan sejumlah

12
pelayanan dan penyediaan barang publik namun kewenangan pajak masih banyak yang
dipungut oleh Pemerintah Pusat contohnya pajak penghasilan, bumi dan bangunan.
Akibatnya pemerintah belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan jika hanya mengandalkan
sumber pendapatan daerah.

Rekomendasi penyelesaian (Wicaksono, 2012):


1) Daerah yang mendapatkan pelimpahan kewenangan sebaiknya mempunyai anggaran,
kekayaan dan dana cadangan yang memadai. Diperlukan pertimbangan dalam distribusi
kewenangan mengenai pemungutan pajak. Pajak yang strategis diberikan kepada lini
desentralisasi yang berhubungan langsung dengan masyarakat sehingga kebijakan dapat
memberikan dampak dan manfaat yang nyata bagi peningkatan kesejahteraan.
2) Mempekerjakan aparatur pemerintahan yang kompeten. Direkrut melalui sistem yang
sesuai, dipecat ketika tidak kompeten, dan dipromosikan sesuai kinerja. Badan
Kepegawaian Daerah memiliki peran penting dalam menentukan proses, agar mekanisme
kepegawaian dilaksanakan secara adil dan transparan untuk menciptakan organisasi
daerah yang handal
3) Penguatan kelembagaan pemerintahan daerah menjadi prioritas. Hal ini dilakukan dengan
melakukan spesialisasi pekerjaan dan merampingkan struktur pada pemerintahan pusat.

2. 7 Program "Desa Siaga"


Desa siaga lahir sebagai strategi baru pembangunan kesehatan, yang merupakan wujud
respon pemerintah terhadap masalah kesehatan di Indonesia yang tak kunjung selesai. Desa siaga
merupakan salah satu bentuk reorientasi pelayanan kesehatan dari yang sebelumnya bersifat
sentralistik dan top down menjadi lebih partisipatif dan bottom up.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
564/MENKES/SK/VIII/2006, tentang Pedoman Pelaksanaan Pengembangan Desa Siaga, desa
siaga merupakan desa yang penduduknya memiliki kesiapan sumber daya dan kemampuan serta
kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah-masalah kesehatan, bencana dan
kegawatdaruratan kesehatan secara mandiri.
Konsep desa siaga adalah membangun suatu sistem di suatu desa, yang mana masyarakat
desa tersebut diberi tanggung jawab untuk memelihara kesehatan mereka sendiri, di bawah
bimbingan dan interaksi dengan seorang bidan dan 2 orang kader desa. Di samping itu, juga

13
dilibatkan berbagai pengurus desa, seperti kepala desa atau lurah untuk mendorong peran serta
masyarakat dalam program kesehatan, seperti imunisasi dan posyandu (Depkes, 2008). Adapun
ciri-ciri desa siaga, sebagai berikut:
1. Minimal memiliki pos kesehatan desa yang berfungsi memberi pelayanan dasar (dengan
sumberdaya minimal 1 tenaga kesehatan dan sarana fisik bangunan, seperti perlengkapan
dan peralatan alat komunikasi ke masyarakat dan ke puskesmas )
2. Memiliki sistem gawat darurat berbasis masyarakat
3. Memiliki sistem pembiayaan kesehatan secara mandiri
Secara umum, tujuan pengembangan desa siaga adalah terwujudnya masyarakat desa
yang sehat, peduli dan tanggap terhadap permasalahan kesehatan di wilayahnya. Selanjutnya,
secara khusus, tujuan pengembangan desa siaga (Depkes, 2006), yaitu :
1. Meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat desa tentang pentingnya
kesehatan.
2. Meningkatnya kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat desa.
3. Meningkatnya keluarga yang sadar gizi dan melaksanakan perilaku hidup bersih dan
sehat.
4. Meningkatnya kesehatan lingkungan di desa.

Berikut ini prinsip-prinsip pengembangan desa siaga (Depkes, 2006) :


1. Desa siaga adalah titik temu antara pelayanan kesehatan dan program kesehatan yang
diselenggarakan oleh pemerintah dengan upaya masyarakat yang terorganisir.
2. Desa siaga mengandung makna “kesiapan” dan “kesiagaan” Kesiagaan masyarakat dapat
didorong dengan memberi informasi yang akurat dan cepat tentang situasi dan masalah-
masalah yang mereka hadapi.
3. Prinsip respons segera. Begitu masyarakat mengetahui adanya suatu masalah, mereka
melalui desa siaga, akan melakukan langkah-langkah yang perlu dan apabila langkah
tersebut tidak cukup, sistem kesehatan akan memberikan bantuan (termasuk pustu,
puskesmas, Dinkes, dan RSUD).
4. Desa siaga adalah “wadah” bagi masyarakat dan sistem pelayanan kesehatan untuk
menyelenggarakan berbagai program kesehatan.

Secara organisasi, koordinasi dan kontrol proses pengembangan desa siaga dilakukan

14
oleh sebuah organisasi desa siaga. Organisasi desa siaga ini berada di tingkat desa/kelurahan
dengan penanggung jawab umum kepala desa atau lurah. Sedangkan pengelola kegiatan harian
desa siaga, bertugas melaksanakan kegiatan lapangan seperti pemetaan balita untuk
penimbangan dan imunisasi, pemetaan ibu hamil, membantu tugas administrasi di poskesdes dan
lain-lain. Lalu, dalam pengembangan desa siaga akan meningkat dengan membagi menjadi
empat tahapan (Kemenkes, 2018):, yaitu:
1. Tahap bina. Tahap ini forum masyarakat desa mungkin belum aktif, tetapi telah ada
forum atau lembaga masyarakat desa yang telah berfungsi dalam bentuk apa saja
misalnya kelompok rembug desa, kelompok pengajian, atau kelompok persekutuan do’a.
2. Tahap tambah. Pada tahap ini, forum masyarakat desa telah aktif dan anggota forum
mengembangkan UKBM sesuai kebutuhan masyarakat , selain posyandu. Demikian juga
dengan polindes dan posyandu sedikitnya sudah pada tahap madya.
3. Tahap kembang. Pada tahap ini, forum kesehatan masyarakat telah berperan secara
aktif,dan mampu mengembangkan UKBM sesuai kebutuhan dengan biaya berbasis
masyarakat.Jika selama ini pembiayaan kesehatan oleh masyarakat sempat terhenti
karena kurangnya pemahaman terhadap sistem jaminan,masyarakat didorong lagi untuk
mengembangkan sistem serupa dimulai dari sistem yang sederhana dan dibutuhkan oleh
masyarakat misalnya tabulin.
4. Tahap Paripurna,tahap ini,semua indikator dalam kriteria dengan siaga sudah terpenuhi.
Masyarakat sudah hidup dalam lingkungan sehat serta berperilaku hidup bersih dan sehat.

Adapun kegiatan-kegiatan pokok desa siaga, sebagai berikut (Kemenkes, 2018):


1. Surveilans dan pemetaan : Setiap ada masalah kesehatan di rumah tangga akan dicatat
dalam kartu sehat keluarga. Selanjutnya, semua informasi tersebut akan direkapitulasi
dalam sebuah peta desa (spasial) dan peta tersebut dipaparkan di poskesdes.
2. Perencanaan partisipatif: Perencanaan partisipatif dilaksanakan melalui survei mawas diri
(SMD) dan musyawarah masyarakat desa (MMD). Melalui SMD, desa siaga menentukan
prioritas masalah. Selanjutnya, melalui MMD, desa siaga menentukan target dan kegiatan
yang akan dilaksanakan untuk mencapai target tersebut. Selanjutnya melakukan
penyusunan anggaran.
3. Mobilisasi sumber daya masyarakat : Melalui forum desa siaga, masyarakat dihimbau
memberikan kontribusi dana sesuai dengan kemampuannya. Dana yang terkumpul bisa

15
dipergunakan sebagai tambahan biaya operasional poskesdes. Desa siaga juga bisa
mengembangkan kegiatan peningkatan pendapatan, misalnya dengan koperasi desa.
Mobilisasi sumber daya masyarakat sangat penting agar desa siaga berkelanjutan
(sustainable).
4. Kegiatan khusus: Desa siaga dapat mengembangkan kegiatan khusus yang efektif
mengatasi masalah kesehatan yang diprioritaskan. Dasar penentuan kegiatan tersebut
adalah pedoman standar yang sudah ada untuk program tertentu, seperti malaria, TBC
dan lain-lain. Dalam mengembangkan kegiatan khusus ini, pengurus desa siaga dibantu
oleh fasilitator dan pihak puskesmas.
5. Monitoring kinerja : Monitoring menggunakan peta rumah tangga sebagai bagian dari
surveilans rutin. Setiap rumah tangga akan diberi Kartu Kesehatan Keluarga untuk diisi
sesuai dengan keadaan dalam keluarga tersebut. Kemudian pengurus desa siaga atau
kader secara berkala mengumpulkan data dari Kartu Kesehatan Keluarga untuk
dimasukkan dalam peta desa.
6. Manajemen keuangan: Desa siaga akan mendapat dana hibah (block grant) setiap tahun
dari DHS-2 guna mendukung kegiatannya. Besarnya sesuai dengan proposal yang
diajukan dan proposal tersebut sebelumnya sudah direview oleh Dewan Kesehatan Desa,
kepala desa, fasilitator dan Puskesmas. Untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas,
penggunaan dana tersebut harus dicatat dan dilaporkan sesuai dengan pedoman yang ada.

16
BAB III
PENUTUP

3. 1 Kesimpulan
Desentralisasi merupakan pelimpahan wewenang dari pemerintahan tingkat tinggi (pusat)
kepada tingkat rendah (daerah) untuk mengatur dan mengurus secara mandiri pemerintahannya
dan kepentingan masyarakat di wilayahnya. Hal ini dilakukan sebagai perwujudan dari
pelaksanaan otonomi daerah.
Desentralisasi kesehatan bertujuan untuk melakukan pembangunan dengan lebih
mendekatkan pelayanan kesehatan pada masyarakat, meningkatkan kapasitas sumber daya
manusia, serta mewujudkan komitmen nasional dan global dalam kesehatan daerah serta menata
manajemen kesehatan di era desentralisasi.

3. 2 Saran
Dalam pelaksanaan desentralisasi kesehatan pemerintah pusat perlu meningkatkan
monitoring dan evaluasi kepada pemerintah daerah agar pelaksanaan dari desentralisasi
kesehatan berjalan dengan semestinya. Selain itu, perlu dilakukannya sosialisasi terhadap sumber
daya manusianya terkait pelaksanaan desentralisasi kesehatan yang baik dan benar serta
peningkatan kesadaran diri akan tanggung jawab dari masing-masing sumber daya manusia agar
melaksanakan desentralisasi kesehatan dengan maksimal.

17
DAFTAR PUSTAKA

Bastian, I. (n.d.). Paradigma Baru Manajemen Kesehatan. [online] Repository.ut.ac.id.


Available at: http://repository.ut.ac.id/3893/1/EKSI4418-M1.pdf [Accessed 5 Nov. 2019].
Departemen Kesehatan RI. (2006). Buku Pedoman Pelaksanaan Pengembangan Desa Siaga.
Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. (2006). Pedoman Pelaksanaan Pengembangan Desa Siaga Keputusan
Menteri Kesehatan RI Nomor : 564/Menkes/SK/VIII/2006. Tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengembangan Desa Siaga. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. (2008). Laporan Hasil Riset Kesehatan dasar (Riskesdas) Indonesia
Tahun 2007. Jakarta.

Indonesia Corruption Watch. (2018). Sakitnya Korupsi Kesehatan. Diakses pada 4 November
2019, dari https://antikorupsi.org/id/news/sakitnya-korupsi-kesehatan

Kementerian Kesehatan RI. (2018). Pengertian, Tujuan, Indikator, dan Kegiatan Pokok Desa
Siaga. Diakses pada 4 November 2019, dari http://promkes.kemkes.go.id/pengertian-tujuan-
indikator-dan-kegiatan-pokok-desa-siaga

Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah. (2018). Rapor Merah Desentralisasi. Diakses
pada 4 November 2019, dari https://www.kppod.org/berita/view?id=647

Pemerintah Kabupaten Simalungun. (2019). Bupati Simalungun Raih Penghargaan Kepala


Daerah Inovatif Koran Sindo Tahun 2019. Diakses pada 4 November 2019, dari
https://www.simalungunkab.go.id/id/berita/bupati-simalungun-raih-penghargaan-kepala-
daerah-inovatif-koran-sindo-tahun-2019

Pudjihardjo, W. J. (2012). Pengembangan SDM Kesehatan di Era Desentralisasi dan Mekanisme


Pasar. Diakses pada 4 November 2019, dari
http://ejournal.litbang.kemkes.go.id/index.php/hsr/article/view/2979/0

Wicaksono, K. W. (2012). Problematika dan Tantangan Desentralisasi di Indonesia. Diakses


pada 4 November 2019, dari
http://jurnal.kemendagri.go.id/index.php/jbp/article/download/58/55/

World Health Organization. (n.d.). Decentralisation. [online] Available at:


https://www.who.int/health-laws/topics/governance-decentralisation/en/ [Accessed 5 Nov.
2019].

18

Anda mungkin juga menyukai