Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ampas Tebu


Ampas tebu merupakan limbah selulosa yang banyak sekali potensi
pemanfaatannya. Selain yang telah disebutkan di atas, ampas tebu juga dapat
dimanfaatkan sebagai bahan untuk pembuatan kanvas rem, furfural, sirup glukosa,
etanol, CMC (carboxymethil cellulose) dan bahan penyerap (adsorben). Bahkan di
Hawaii dan Kuba ampas tebu telah pula dimanfaatkan untuk menghasilkan energi
listrik yang dikenal dengan co-generation (kogenerasi). Di kuba, ampas tebu telah
memasok sepertiga kebutuhan energi nasional. Ampas tebu yang mirip jerami
dibakar untuk menghasilkan listrik.

Gambar 2.1 Ampas tebu

Ampas tebu merupakan limbah pabrik gula (± 30% dari kapasitas giling)
yang sangat mengganggu apabila tidak dimanfaatkan. Ampas tebu yang
dipergunakan adalah ampas tebu yang telah mengalami proses penggilingan
kelima kali. Secara garis besar, proses produksi dari tebu menjadi ampas tebu
dapat dilihat pada gambar berikut:

4
5

Gambar 2.2 Proses penggilingan tebu


Ampas tebu mengandung serat (selulosa, pentosan dan lignin), abu dan air.
Adanya serat memungkinkan ampas tebu untuk digunakan sebagai pakan ternak,
tetapi dengan adanya lignin dengan kandungan yang cukup tinggi (19,7%) dan
kadar protein yang rendah (28%) menyebabkan penggunaannya sangat terbatas.
Pentosan merupakan salah satu polisakarida yang terdapat dalam ampas tebu
dengan persentase sebesar 20-27%. Kandungan pentosan yang cukup tinggi
tersebut memungkinkan ampas tebu tersebut diolah menjadi furfural yang
memiliki aplikasi cukup luas dalam industri terutama untuk mensintesis senyawa
senyawa turunannya seperti furfuril, alkohol, furan dan lain-lain. Ampas tebu juga
dapat dimanfaatkan sebagai adsorben logam berat seperti Zn2+(90%), Cd2+ (70%),
Pb2+(80%) dan Cu2+ (55%). Kandungan karbon yang cukup tinggi pada ampas
tebu menjadi dasar pembuatan karbon dalam pemurnian minyak goreng bekas.
Pemurnian minyak goreng bekas dengan menggunakan adsorben dapat
meningkatkan kualitas minyak itu sendiri dan secara langsung juga meningkatkan
kualitas makanan yang dihasilkan. Proses peningkatan kualitas minyak bekas
dilakukan dengan cara menghilangkan senyawa yang teroksidasi, zat warna,
senyawaan non polar dan berbagai macam senyawa polimer.
a. Komponen Penyusun Serat Ampas Tebu
Tanaman tebu yang sering kita lihat tidak hanya berisi air yang digunakan
sebagai bahan pembuat gula tetapi memiliki komposisi yang lebih kompleks
yakni: sukrosa, zat sabut (fiber), gula reduksi dan beberapa bahan lainnya.
Sabut yang terkandung dalam ampas tebu tersusun dari beberapa komponen
penyusun yakni: selulosa, pentosan, lignin dan beberapa komponen lain seperti
ditampilkan dalam tabel berikut:
6

Tabel 2.1 Komponen penyusun serat ampas tebu


No. Nama Bahan Jumlah (%)
1. Selulosa 45
2. Pentosan 32
3. Lignin 18
4. Lain-lain 5
Sumber : Materials Handbook Thirteenth Edition
Sementara itu berdasarkan hasil penelitian dari beberapa orang ahli,
diperoleh komposisi unsur kimia dari ampas tebu sebagai berikut:
Tabel 2.2 Komposisi unsur kimia ampas tebu
N.Deer Tromp Kelly M.R Daries Gregory
Karbon 46,5 44 48,2 47,5 47,9 48,1
Hidrogen 6,5 6 6 6,1 6,7 6,1
Oksigen 46 48 43,1 44,4 45,5 43,3
Ash (debu) 1 2 2,7 2 2,5
100 100 100 100 100 100
Sumber : Hand book of Cane Sugar Engineering
Berdasarkan penelitian, senyawa kimia yang terkandung dalam ampas tebu
adalah sebagai berikut:
Tabel 2.3 Senyawa kimia dalam ampas tebu
Senyawa Jumlah (%)
SiO2 70.79
Al2O3 0.33
Fe2O3 0.36
K2O 4.82
Na2O 0.43
MgO 0.82
C5H10O5 22.27
C7H10O3
C5H8O4
Sumber : Hasil analisa No 4246/LT AKI/XI/99
Dari data di atas, jelas sekali terlihat bahwa senyawa kimia yang dominan
adalah SiO2 (Silika) sebesar 70,97 %. Silika tersebut dapat digunakan sebagai
adsorben,katalis dan lain-lain.
2.2. Minyak Jelantah
Minyak goreng berulang kali atau yang lebih dikenal dengan minyak
jelantah adalah minyak limbah yang bisa berasal dari jenis-jenis minyak goreng
seperti halnya minyak jagung, minyak sayur, minyak samin dan sebagainya.
Minyak ini merupakan minyak bekas pemakaian kebutuhan rumah tangga yang
7

dapat digunakan kembali untuk keperluan kuliner, akan tetapi bila ditinjau dari
komposisi kimianya, minyak jelantah mengandung senyawa-senyawa yang
bersifat karsinogenik, yang terjadi selama proses penggorengan sehingga dapat
menyebabkan penyakit kanker dalam jangka waktu yang panjang (Tamrin, 2013).

2.2.1 Akibat Penggunaan Minyak Jelantah


Menurut Ketaren (2014), tanda awal dari kerusakan minyak goreng
adalah terbentuknya akrolein pada minyak goreng. Akrolein ini menyebabkan rasa
gatal pada tenggorokan pada saat mengkonsumsi makanan yang digoreng
menggunakan minyak goreng berulang kali. Akrolein terbentuk dari hidrasi
gliserol yang membentuk aldehida tidak jenuh atau akrolein. Skema proses
terbentuknya akrolein dapat dilihat pada Gambar 2.3

Gambar 2.3 Skema Terbentuknya Akrolein

Minyak goreng sangat mudah untuk mengalami oksidasi (Ketaren, 2014).


Maka minyak jelantah telah mengalami penguraian molekul-molekul, sehingga
titik asapnya turun drastis, dan bila disimpan dapat menyebabkan minyak menjadi
berbau tengik. Bau tengik dapat terjadi karena penyimpanan yang salah dalam
jangka waktu tertentu menyebabkan pecahnya ikatan trigliserida menjadi gliserol
dan free fatty acid (FFA) atau asam lemak bebas. Selain itu, minyak jelantah ini
juga sangat disukai oleh jamur aflatoksin. Jamur ini dapat menghasilkan racun
aflatoksin yang dapat menyebabkan penyakit pada hati.
Akibat dari penggunaan minyak jelantah dapat dijelaskan melalui
penelitian yang dilakukan oleh Rukmini (2015) tentang regenerasi minyak
jelantah dengan arang sekam menekan kerusakan organ tubuh. Hasil penelitian
8

pada tikus wistar yang diberi pakan mengandung minyak jelantah yang sudah
tidak layak pakai terjadi kerusakan pada sel hepar (liver), jantung, pembuluh
darah maupun ginjal.

2.2.2 Sifat-sifat Minyak Jelantah


Sifat-sifat minyak jelantah dibagi menjadi sifat fisik dan sifat kimia
(Ketaren, 2014) yaitu:
a. Sifat Fisik
1) Warna, terdiri dari dua golongan : golongan pertama yaitu zat warna
alamiah, yaitu secara alamiah terdapat dalam bahan yang
mengandung minyak dan ikut terekstrak bersama minyak pada
proses ekstrasi. Zat warna tersebut antara lain α dan β karoten
(berwarna kuning), xantofil (berwarna kuning kecoklatan), klorofil
(berwarna kehijauan) dan antosyanin (berwarna kemerahan).
Golongan kedua yaitu zat warna dari hasil degradasi zat warna
alamiah, yaitu warna gelap disebabkan oleh proses oksidasi terhadap
tokoferol (vitamin E), warna cokelat disebabkan oleh bahan untuk
membuat minyak yang telah busuk atau rusak, warna kuning
umumnya terjadi pada minyak tidak jenuh.
2) Odor dan flavor, terdapat secara alami dalam minyak dan juga terjadi
karena pembentukan asam-asam yang berantai sangat pendek.
3) Kelarutan, minyak tidak larut dalam air kecuali minyak jarak (castor
oil), dan minyak sedikit larut dalam alkohol, etil eter, karbon
disulfida dan pelarut-pelarut halogen.
4) Titik cair dan polymorphism, minyak tidak mencair dengan tepat
pada suatu nilai temperatur tertentu. Polymorphism adalah keadaan
dimana terdapat lebih dari satu bentuk kristal.
5) Titik didih (boiling point), titik didih akan semakin meningkat
dengan bertambah panjangnya rantai karbon asam lemak tersebut.
6) Titik lunak (softening point), dimaksudkan untuk identifikasi minyak
tersebut.
9

7) Sliping point, digunakan untuk pengenalan minyak serta pengaruh


kehadiran komponen-komponennya.
8) Shot melting point, yaitu temperatur pada saat terjadi tetesan pertama
dari minyak atau lemak.
9) Bobot jenis, biasanya ditentukan pada temperature 25°C , dan juga
perlu dilakukan pengukuran pada temperature 40°C.
10) Titik asap, titik nyala dan titik api, dapat dilakukan apabila minyak
dipanaskan. Merupakan kriteria mutu yang penting dalam
hubungannya dengan minyak yang akan digunakan untuk
menggoreng.
11) Titik kekeruhan (turbidity point), ditetapkan dengan cara
mendinginkan campuran minyak dengan pelarut lemak.
b. Sifat Kimia
1) Hidrolisa, dalam reaksi hidrolisa, minyak akan diubah menjadi asam
lemak bebas dan gliserol. Reaksi hidrolisa yang dapat menyebabkan
kerusakan minyak atau lemak terjadi karena terdapatnya sejumlah air
dalam minyak tersebut.
2) Oksidasi, proses oksidasi berlangsung bila terjadi kontak antara
sejumlah oksigen dengan minyak. Terjadinya reaksi oksidasi akan
mengakibatkan bau tengik pada minyak dan lemak.
3) Hidrogenasi, proses hidrogenasi bertujuan untuk menumbuhkan
ikatan rangkap dari rantai karbon asam lemak pada minyak.
4) Esterifikasi, proses esterifikasi bertujuan untuk mengubah asam-
asam lemak dari trigliserida dalam bentuk ester. Dengan
menggunakan prinsip reaksi ini hidrokarbon rantai pendek dalam
asam lemak yang menyebabkan bau tidak enak, dapat ditukar dengan
rantai panjang yang bersifat tidak menguap, sifat-sifat minyak
jelantah secara sederhana dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4. Sifat Fisik dan Kimia Minyak Jelantah
Sifat Fisik Minyak Jelantah Sifat Kimia Minyak Jelantah
Warna coklat kekuning-kuningan Hidrolisa, minyak akan diubah menjadi
asam lemak bebas dan gliserol.
Berbau tengik Proses oksidasi berlangsung bila terjadi
10

kontak antara sejumlah oksigen dengan


minyak.
Terdapat endapan Proses hidrogenasi bertujuan untuk
menumbuhkan ikatan rangkap dari
rantai karbon asam lemak pada minyak.

2.2.3 Standar Mutu Minyak untuk Penggorengan


Secara umum komponen utama minyak yang sangat menentukan mutu
minyak adalah asam lemaknya karena asam lemak menentukan sifat kimia dan
stabilitas minyak. Mutu minyak jelantah ditentukan oleh titik asapnya, yaitu suhu
pemanasan minyak sampai terbentuk akrolein yang menimbulkan rasa gatal pada
tenggorokan. Akrolein terbentuk dari hidrasi gliserol. Titik asap suatu minyak
tergantung pada kadar gliserol bebasnya. Setiap minyak goreng tidak boleh
berbau dan sebaiknya beraroma netral. Suhu penggorengan yang dianjurkan
biasanya berkisar antara 177°C sampai 201°C. Menurut Winarno yang dikutip
dari Jonarson (2004) makin tinggi kadar gliserol makin rendah titik asapnya,
artinya minyak tersebut makin cepat berasap. Makin tinggi titik asapnya, makin
baik mutu minyak tersebut. Adapun syarat mutu minyak yang baik untuk
penggorengan/memasak dapat dilihat pada Tabel 2.5

Tabel 2.5 Syarat Mutu Minyak untuk Penggorengan


Kriteria Uji Satuan Syarat
Keadaan bau, warna - Normal
dan rasa
Air %b/b Maks 0.30
Asam Lemak Bebas %b/b Maks 0.30
(dihitung sebagai
asam laurat)
Bahan Makanan Sesuai SNI. 022-M dan
Permenkes
No. 722/Menkes/Per/IX/88
Tambahan
Cemaran Logam :
- Besi (Fe) Mg/kg Maks 1.5
- Tembaga (Cu) Mg/kg Maks 0.1
- Raksa (Hg) Mg/kg Maks 0.1
- Timbal (Pb) Mg/kg Maks 40.0
11

- Timah (Sn) Mg/kg Maks 0.005


- Seng (Zn) Mg/kg Maks (40.0/25.0)*
Arsen (As) %b/b Maks 0.1
Angka Peroksida %mg 0.2/gr Maks 1
Sumber : Departemen Perindustrian (SNI 01-3741-2019)
*) Dalam kemasan kaleng

Minyak jelantah juga dapat diproses menjadi minyak yang bermutu,


misalnya pembuatan biodiesel dari minyak jelantah. Akan tetapi minyak jelantah
yang akan diproses untuk pembuatan biodiesel ini harus melalui proses pemurnian
yang menggunakan katalis dalam proses esterifikasi dan transesterifikasi (Gareso,
2010). Pemanfaatan jelantah dapat dilakukan dengan dua cara. Cara yang pertama
dengan melakukan beberapa proses pada jelantah tersebut hingga menjadi seperti
solar. Misal dengan proses transesterifikasi. Hasilnya, jelantah tersebut dapat
digunakan untuk bahan bakar pada metode pembakaran dalam (internal
combustions) maupun pembakaran luar (external combustions). Tetapi, proses
tersebut membutuhkan waktu yang relatif cukup lama karena ada tahapan
pengendapan, penyaringan dan pencucian. Selain waktunya lama, proses tersebut
juga membutuhkan biaya, yaitu untuk aditif dan katalisatornya. Proses ini juga
tidak efisien bila volume jelantah hanya dalam skala kecil.

2.3. Kerusakan pada minyak


Pemakaian minyak yang berulang-ulang menyebabkan perubahan pada
minyak yang ditandai dengan penampakan minyak yang menjadi kotor dan
berwarna coklat. Tingkat kerusakan minyak goreng berbanding lurus dengan
intensitas penggunaannya. Semakin sering digunakan, tingkat kerusakan pun akan
semakin tinggi. Kerusakan minyak goreng akan mengakibatkan terjadinya proses
oksidasi, hidrolisis dan polimerisasi sehingga menimbulkan bau dan rasa tengik
sedangkan kerusakan lain meliputi peningkatan kadar asam lemak bebas (FFA),
perubahan indeks refraksi, bilangan peroksida, timbulnya kekentalan minyak,
terbentuknya busa dan adanya kotoran dari bumbu yang digunakan dan dari bahan
yang digoreng. Kerusakan minyak terdiri dari:
12

1. Ketengikan
Proses oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah
oksigen dengan minyak atau lemak. Terjadi reaksi oksidasi ini akan
mengakibatkan bau tengik. Oksidasi minyak biasanya dimulai dengan
pembentukan peroksida dan hidroperoksida. Tingkat selanjutnya ialah
terurainya asam-asam lemak disertai konversi hidroperoksida menjadi aldehid
dan keton serta asam-asam lemak bebas. Oksidasi minyak akan menghasilkan
senyawa aldehid, keton, hidrokarbon, alkohol serta senyawa aromatis yang
mempunyai bau tengik dan rasa getir (Ketaren, 2014).
2. Hidrolisis
Reaksi hidrolisis lemak atau minyak telah diubah menjadi asam-asam lemak
bebas dan gliserol. Reaksi hidrolisis dapat mengakibatkan kerusakan minyak
atau lemak yang terjadi karena terdapat sejumlah air dalam minyak atau lemak
tersebut. Reaksi ini akan mengakibatkan hydrolytic rancidity yang
menyebabkan timbulnya cita rasa dan bau tengik pada minyak atau lemak.
Kecepatan reaksi hidrolisis pada minyak atau lemak dipengaruhi oleh
kandungan air dalam bahan pangan dan dipercepat oleh basa, asam, suhu tinggi
dan tekanan. Kandungan air semakin tinggi dalam bahan pangan sehingga
semakin cepat proses hidrolisis berlangsung dan terjadi akumulasi asam lemak
bebas. Hidrolisis minyak atau lemak dapat dikatalis oleh adanya asam lemak
dan enzim lipase.
Hidrolisis minyak menghasilkan asam-asam lemak bebas yang dapat
mempengaruhi cita rasa dan bau. Hidrolisis dapat disebabkan oleh adanya air
dalam minyak atau karena kegiatan enzim. Persamaan reaksi hidrolisis pada
minyak dan lemak adalah sebagai berikut:
13

Gambar 2.4 Reaksi hidrolisis pada minyak goreng.

3. Polimerisasi
Polimer merupakan senyawa yang terbentuk di dalam minyak goreng akibat
pemanasan yang terus menerus pada suhu tinggi dengan atau tanpa adanya
oksigen. Polimer terbentuk akibat terjadinya ikatan antara atom karbon dan
oksigen (Ika Arnas,2010).
Pembentukan senyawa polimer selama proses menggoreng terjadi karena
reaksi polimerisasi adisi dari asam lemak tidak jenuh, hal ini terbukti dengan
terbentuknya bahan menyerupai gum yang mengendap di dasar wadah
penggoreng. Proses polimerisasi ini mudah terjadi pada minyak setengah
mengering atau minyak mengering, karena minyak tersebut mengandung asam
lemak tidak jenuh dalam jumlah besar (Ketaren,2014).

4. Perubahan Warna
Zat warna alami seperti α dan β karoten, xanthofil, klorofil, antosianin
menyebabkan minyak berwarna kuning, kuning kecoklatan, kehijauan dan
kemerah-merahan. Selama proses pengolahan dan penyimpanan, minyak dapat
mengalami perubahan warna menjadi gelap atau kecoklatan.
Warna gelap pada minyak goreng bekas pemakaian, disebabkan oleh proses
oksidasi terhadap tokoferol (vitamin E). Warna gelap ini dapat terjadi selama
proses pengolahan dan penyimpanan, yang disebabkan oleh beberapa faktor,
seperti suhu pemanasan yang terlalu tinggi, dan oksidasi terhadap fraksi tidak
tersabunkan dalam minyak (Nila istighfaro,2010).
Perubahan warna dapat disebabkan oleh perubahan zat warna alami atau
tokoferol yang terkandung dalam minyak, produk degradasi minyak, reaksi
Maillard karena minyak yang panas akan mengekstraksi zat warna yang
terdapat dalam bahan pangan, adanya logam seperti Fe, Cu, Mn atau adanya
oksidasi.

5. Bilangan Peroksida
14

Bilangan peroksida adalah nilai terpenting untuk menetukan derajat


kerusakan pada minyak atau lemak. Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat
oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk peroksida. Peroksida
yaitu produk awal dari reaksi oksidasi yang bersifat labil, reaksi ini dapat
berlangsung bila terjadi kontak antara oksigen dengan minyak goreng. Semakin
rendah angka peroksida berarti semakin tinggi kualitas minyak goreng tersebut.
Peroksida dapat mempercepat proses timbulnya bau tengik dan flavour yang
tidak dikehendaki dalam bahan pangan. Jumlah peroksida dalam bahan jika
lebih besar dari 100 meq/kg akan bersifat sangat beracun dan tidak dapat
dikonsumsi, disamping itu bahan pangan tersebut mempunyai bau yang tidak
enak. Secara umum reaksi pembentukan peroksida dapat digambarkan sebagai
berikut:

Gambar 2.5 Reaksi pembentukan peroksida.

Kadar peroksida terbentuk pada tahap awal reaksi oksidasi lemak.


Pengukuran dilakukan dengan titrasi menggunakan larutan iod dan dinyatakan
sebagai miliequivalen (meq) peroksida per kg minyak. Kadar peroksida bisa
terakumulasi cukup tinggi, cepat terdegradasi dan bereaksi dengan zat lain,
maka besarnya bilangan peroksida harus ditentukan dengan hati-hati. Bilangan
peroksida tinggi diindikasikan bahwa minyak sudah mengalami oksidasi
sedangkan bilangan peroksida rendah disebabkan laju pembentukan peroksida
baru lebih kecil dibandingkan dengan laju degradasinya menjadi senyawa lain.
Menentukan bilangan peroksida harus dilakukan pengukuran beberapa kali
dalam interval waktu tertentu.
15

6. Asam Lemak Bebas (FFA)


Asam lemak adalah asam organik yang terdiri dari rantai hidrokarbon lurus
yang salah satu ujungnya memiliki gugus karboksil (COOH) dan ujung satunya
lagi mengandung gugus metil (CH3). Asam lemak memilki panjang rantai yang
berbeda-beda ada yang terdiri dari 6 atom karbon biasanya disebut rantai
pendek, ada yang terdiri dari 12 aton karbon yang dikenal dengan rantai sedang,
dan yang terdiri dari 18 lebih atom karbon disebut rantai panjang. Dan hampir
semua jenis lemak hewani dan nabati termasuk dalam asam lemak rantai
panjang. Adapun macam-macam asam lemak yaitu
a. Asam lemak tak jenuh yaitu asam lemak tak jenuh memiliki satu atau lebih
ikatan rangkap antar atom karbon. (Pasangan atom karbon yang terhubung
melalui ikatan rangkap dapat dijenuhkan dengan adisi atom hidrogen,
mengubah ikatan rangkap menjadi ikatan tunggal. Oleh karena itu, ikatan
rangkap disebut tak jenuh).
b. Asam lemak jenuh tidak memiliki ikatan rantai ganda di antara atom-atom
karbonnya sehingga disebut penuh dengan hidrogen. Asam lemak jenuh
memiliki jumlah atom karbon yang bervariasi mulai dari tiga (asam
propionat).
c. Asam lemak bebas adalah asam lemak yang berada sebagai asam bebas
tidak terikat sebagai rigliserida. Asam lemak bebas dihasilkan oleh proses
hidrolisis dan oksidasi biasanya bergabung dengan lemak netral.
Asam lemak bebas (Free Fatty Acid) dalam minyak nabati dihasilkan dari
pemecahan ikatan ester trigliserida. Asam lemak bebas secara umum
dihilangkan selama proses penjernihan. Adsorpsi asam lemak bebas ditentukan
oleh beberapa faktor seperti kadar air dalam minyak, kadar sabun, temperatur
dan lamanya waktu kontak dengan adsorben.
Bilangan asam lemak bebas adalah ukuran dari asam lemak yang terlepas
dari ikatan ester, penetapannya didasarkan atas asam lemak dominan yang
terkandung dalam minyak. Kadar asam lemak bebas dapat dijadikan dasar untuk
mengetahui umur minyak, kemurnian minyak, tingkat hidrolisis serta
menentukan kemungkinan terjadinya kesalahan proses. Minyak digunakan
untuk menggoreng terjadi peristiwa oksidasi dan hidrolisis yang memecah
16

molekul minyak menjadi asam. Proses ini bertambah besar dengan pemanasan
yang tinggi dan waktu yang lama selama penggorengan makanan. Adanya asam
lemak bebas dalam minyak goreng tidak baik bagi kesehatan. Asam lemak
bebas dengan kadar lebih dari 0,2% dari berat lemak akan mengakibatkan
flavour yang tidak diinginkan dan kadang-kadang dapat meracuni tubuh,
sedangkan kadar asam lemak bebas yang lebih besar dari 1%, jika dicicipi akan
terasa membentuk filem pada permukaan lidah dan tidak berbau tengik, namun
intensitasnya tidak bertambah dengan bertambahnya jumlah asam lemak bebas
(Ketaren, 2014).
Asam lemak bebas walaupun berada dalam jumlah kecil mengakibatkan
rasa tidak lezat, menyebabkan karat dan warna gelap jika dipanaskan dalam
wajan besi. Reaksi hidrolisis minyak atau lemak akan diubah menjadi asam-
asam lemak bebas dan gliserol. Reaksi ini dapat mengakibatkan kerusakan
lemak atau minyak dan dipercepat dengan adanya panas, air, keasaman dan
katalis (enzim). Penentuan asam lemak dapat dipergunakan untuk mengetahui
kualitas dari minyak atau lemak, hal ini dikarenakan bilangan asam dapat
dipergunakan untuk mengukur dan mengetahui jumlah asam lemak bebas dalam
suatu bahan atau sampel.
Semakin besar bilangan asam maka dapat diartikan kandungan asam lemak
bebas dalam sample semakin tinggi, besarnya asam lemak bebas yang
terkandung dalam sampel dapat diakibatkan dari proses hidrolisis ataupun
karena proses pengolahan yang kurang baik. Asam lemak bebas terbentuk
karena proses oksidasi, dan hidrolisa enzim selama pengolahan dan
penyimpanan. Ketika minyak digunakan untuk menggoreng terjadi peristiwa
oksidasi dan hidrolisis yang memecah molekul minyak menjadi asam-asam
lemak bebas dan gliserol. Proses ini bertambah besar dengan pemanasan yang
tinggi dan waktu yang lama selama penggorengan makanan.

2.4. Syarat bahan baku pembuatan biodiesel


Berdasarkan standar kandungan yang terdapat biodiesel didapatkan data
sebagai berikut :
Tabel 2.6. Syarat bahan baku biodiesel
17

Parameter Syarat
Kadar air dalam minyak Maxs 0,01-0,03%
Asam lemak bebas (FFA) dalam mg Maxs 0,5%
NaOH/gr minyak
Angka penyabunan dalam mg 131-133
KOH/gr minyak

a. Kandungan air dalam minyak goreng bekas


Air bila terdapat dalam minyak dapat mempercepat terjadinya hidrolisa
minyak menjadi gliserol atau asam lemak (FFA). Bila minyak terhidrolisa,
maka minyak akan menjadi tengik sehingga dapat menurunkan kualitas
minyak. Reaksi hidrolisa minyak dapat terjadi selama penyimpanan.
Kandungan air harus dihilangkan karena dalam proses transesterifikasi air
dapat membentukan asam lemak bebas.
b. Kadar Asam Lemak Bebas (Free Fatty Acid / FFA)
Asam lemak bebas ditentukan sebagai kandungan asam lemak yang
terdapat paling banyak dalam minyak tertentu.
FFA dapat pula menjadi ester jika bereaksi dengan methanol, sedang
jika bereaksi dengan soda akan membentuk sabun. Produk biodiesel harus
dimurnikan dari produk samping, gliserin, sabun sisa methanol dan soda.
Sisa soda yang ada pada biodiesel dapat menghidrolisa dan memecah
biodiesel menjadi FFA yang kemudian terlarut dalam biodiesel itu sendiri.
Kandungan FFA dalam biodiesel tidak bagus karena dapat menyumbat
filter atau saringan dengan endapan dan menjadi korosi pada logam mesin
diesel.
Demikian asam lemak bebas sebagai berikut ini dipakai sebagai tolok
ukur jenis minyak tertentu :

Tabel 2.7 Jenis-jenis Asam Lemak Bebas


Sumber minyak Asam lemak terbanyak Bobot molekul
Kelapa sawit Palmitat C16H32O2 256
Kelapa, inti sawit Laurat C12H24O2 200
Susu Oleat C18H34O2 282
Jagung, Kedelai Linoleat C18H32O2 278
Sumber : Suhardi, Bambang dan Slamet, 2019
18

c. Angka Penyabunan
Angka penyabunan (Saponification Value) menunjukkan secara relatif
besar kecilnya molekul asam-asam lemak yang terkandung dalam
gliserida. Angka penyabunan dinyatakan sebagai banyaknya mg KOH
yang dibutuhkan untuk menyabunkan minyak secara sempurna dari 1
gram minyak tersebut. Angka penyabunan dapat mempengaruhi biodiesel
yang dihasilkan, tingginya angka penyabunan pada minyak dapat
menyebabkan produksi biodiesel dengan hasil yang sedikit dapat pula
merusak biodiesel dengan terbentuknya sabun.

2.5. Proses Adsorpsi


Adsorpsi atau penjerapan adalah suatu proses yang terjadi ketika suatu
fluida, cairan maupun gas, terikat kepada suatu padatan atau cairan (zat penjerap,
adsorben) dan akhirnya membentuk suatu lapisan tipis atau film (zat terjerap,
adsorbat) pada permukaannya. Berbeda dengan absorpsi yang merupakan
penjerapan fluida oleh fluida lainnya dengan membentuk suatu larutan.
Definisi lain menyatakan adsorpsi sebagai suatu peristiwa penyerapan
pada lapisan permukaan atau antar fasa, di mana molekul dari suatu materi
terkumpul pada bahan pengadsorpsi atau adsorben.

Adsorpsi dibedakan menjadi dua jenis,


a. Adsorpsi fisika
Berhubungan dengan gaya Van der Waals. Apabila gaya tarik menarik
antara zat terlarut dengan adsorben lebih besar dari gaya tarik menarik
antara zat terlarut dengan pelarutnya, maka zat yang terlarut akan
diadsorpsi pada permukaan adsorben. Adsorpsi ini mirip dengan proses
kondensasi dan biasanya terjadi pada temperatur rendah. Pada proses ini
gaya yang menahan molekul fluida pada permukaan solid relatif lemah,
dan besarnya sama dengan gaya kohesi molekul pada fase cair (gaya van
der waals) mempunyai derajat yang sama dengan panas kondensasi dari
gas menjadi cair, yaitu sekitar 2.19-21.9 kg/mol. Keseimbangan antara
19

permukaan solid dengan molekul fluida biasanya cepat tercapai dan


bersifat reversibel. Adsorbsi dapat memurnikan suatu larutan dari zat-zat
pengotornya.

b. Adsorpsi kimia
Yaitu reaksi yang terjadi antara zat padat dengan zat terlarut yang
teradsorpsi. Adsorpsi ini bersifat spesifik dan melibatkan gaya yang jauh
lebih besar daripada adsorpsi fisika. Panas yang dilibatkan adalah sama
dengan panas reaksi kimia. Menurut Langmuir, molekul teradsorpsi
ditahan pada permukaan oleh gaya valensi yang tipenya sama dengan yang
terjadi antara atom-atom dalam molekul. Karena adanya ikatan kimia
maka pada permukaan adsorben akan terbentuk suatu lapisan, di mana
terbentuknya lapisan tersebut akan menghambat proses penjerapan
selanjutnya oleh bantuan adsorben sehingga efektifitasnya berkurang.
Proses adsorbsi dengan menggunakan ampas tebu didalam ampas tebu
memiliki kandungan senyawa karbon yang dapat mengikat senyawa yang
teroksidasi, zat warna, senyawaan non polar dan berbagai macam senyawa
polimer.

Gambar 2.6. Proses Adsorpsi

Menurut weber (1982) dan Benefield (1982) mekanisme yang terjadi pada
proses adsorpsi yaitu :
1. Molekul-molekul adsorben berpindah dari fase bagian terbesar larutan ke
permukaan interface, yaitu lapisan film yang melapisi permukaan adsorben
atau eksernal.
20

2. Molekul adsorben dipindahkan dari permukaan ke permukaan luar dari


adsorben (exterior surface)
3. Molekul-molekul adsorbat dipindahkan dari permukaan luar adsorben
menyebar menuju pori-pori adsorben. Fase ini disebut dengan difusi pori
4. Molekul adsorbat menempel pada permukaan pori-pori adsorben Menurut
Smisek (1970) umumnya adsorpsi ion logam dari larutan ke permukaan
adsorben merupakan adsorpsi fisik dimana gaya yang bekerja antar logam
berat dari permukaan karbon aktif adalah gaya Van der Walls dimana tidak
terjadi reaksi reaksi secara kimia atau pengikatan secara ionik logam
dengan adsorben.

Gambar 2.7 Mekanisme adsorpsi

Gambar 2.8 Mekanisme adsorpsi 2

Ada sejumlah hal yang mempengaruhi efektivitas adsorpsi, yaitu:


 Jenis adsorban, apakah berupa arang batok, batubara (antrasit), sekam, dll;
 Temperatur lingkungan (udara, air, cairan): proses adsorpsi makin baik
jika temperaturnya makin rendah;
21

 Jenis adsorbat, bergantung pada bangun molekul zat, kelarutan zat (makin
mudah larut, makin sulit diadsorpsi), taraf ionisasi (zat organik yang tidak
terionisasi lebih mudah diadsorpsi). Berdasarkan jenis adsorbatnya, tingkat
adsorpsi digolongkan menjadi tiga, yaitu lemah (weak), terjadi pada zat
anorganik kecuali golongan halogen (salah satunya adalah klor). Adsorpsi
menengah (medium), terjadi pada zat organik alifatik dan adsorpsi kuat
(strong) terjadi pada senyawa aromatik (zat organik yang berbau (aroma)
dengan struktur benzena, C6H6).
 Macam zat yang diadsorpsi (adsorbate) : Macam zat yang diadsopsi juga
sangat berpengaruh karena semakin banyak zat pengotor pada suatu fluida
atau larutan maka semakin lambat kinetika atau kecepatan penjerapannya
(adsorpsi)
 Luas permukaan adsorben : semakin luas permukaan adsorben maka
semakin cepat efektif kemampuan menjerap zat-zat impuritis sehingga
larutan menjadi lebih murni dan cenderung lebih bersih dari zat-zat
impuritis atau zat-zat pengotor tersebut.
 Konsentrasi zat yang diadsorpsi (adsorbate) : Semakin tinggi konsentrasi
maka ion yang dihasilkan juga semakin banyak sehingga mempengaruhi
adsorpsi atau penjerapan larutan tersebut.
 Kecepatan putar sentrifugasi : Semakin cepat kecepatan sentrifugasi maka
semakin cepat larutan tersebut murni dan hal tersebut biasa dilakukan pada
percobaan konduktometri, yaitu daya hantar listriknya yang semakin tinggi
pula.

2.6. Adsorben
Ada beberapa pengertian tentang adsorben, yaitu adsorben merupakan zat
padat yang dapat menyerap komponen tertentu dari suatu fase fluida (Saragih,
2013). Kebanyakan adsorben adalah bahan-bahan yang sangat berpori dan
adsorpsi berlangsung terutama pada dinding pori- pori atau pada letak-letak
tertentu di dalam partikel itu. Oleh karena pori-pori biasanya sangat kecil maka
luas permukaan dalam menjadi beberapa orde besaran lebih besar daripada
permukaan luar dan bisa mencapai 2000 m/g. Pemisahan terjadi karena perbedaan
22

bobot molekul atau karena perbedaan polaritas yang menyebabkan sebagian


molekul melekat pada permukaan tersebut lebih erat daripada molekul lainnya.
Adsorben yang digunakan secara komersial dapat dikelompokkan menjadi dua
yaitu kelompok polar dan non polar, berikut adalah defenisinya :
 Adsorben Polar disebut juga hydrophilic. Jenis adsorben yang termasuk
kedalam kelompok ini adalah silika gel, alumina aktif, dan zeolit.
 Adsorben non polar disebut juga hydrophobic. Jenis adsorben yang
termasuk kedalam kelompok ini adalah polimer adsorben dan karbon aktif
(Saragih, 2013).

Anda mungkin juga menyukai