Anda di halaman 1dari 15

1.

Pengertian dasar manajemen pajak dengan sub pokok


bahasan:

A. Konsep Manajemen Perpajakan


Manajemen perpajakan adalah suatu strategi manajemen untuk mengendalikan,
merencanakan, dan mengorganisasikan aspek-aspek perpajakan dari sisi yang dapat
menguntungkan nilai bisnis perusahaan dengan tetap melaksanakan kewajiban perpajakan
secara peraturan dan perundang-undangan. Sehingga dengan adanya perencanaan pajak yang
didukung suatu konsep manajeman pajak yang jelas, diharapkan dapat mengoptimalkan
tingkat likuiditas perusahaan.
Manajemen Pajak adalah sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar
tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba
dan likuiditas yang diharapkan. Manajemen pajak merupakan upaya dalam melakukan
penghematan pajak secara legal.
Manfaat manajemen perpajakan adalah untuk melakukan kewajiban perpajakan dan
usaha efisiensi untuk mencapai laba, mengefisiensikan pembayaran pajak terhutang,
melakukan pembayaran pajak dengan tepat waktu dan membuat data-data terbaru untuk
mengupdate peraturan perpajakan.
Adapun tujuan akhir yang ingin dicapai dari manajemen pajak adalah optimalisasi
dan/atau meminimalkan beban pajak yang dapat dicapai tidak hanya dengan melakukan
suatu perencanaan yang matang, melainkan juga harus melewati tahap pengorganisasian
(organizing), pelaksanaan (actuating), dan pengawasan (controlling) yang baik dan
terkendali.
Jadi pada dasarnya, manajemen pajak memiliki beberapa fungsi, yaitu:
1. Fungsi Perencanaan pajak (Fungsi Planning)
2. Fungsi Pengorganisasian pajak (Fungsi Organizing)
3. Fungsi Pelaksanaan pajak (Fungsi Actuating)
4. Fungsi Pengawasan pajak (Fungsi Controlling)
Motivasi Manajemen Pajak
Tujuan utama dari dilakukannya manajemen pajak adalah untuk melaksanakan kewajiban
perpajakan dengan benar dan meminimalisasi beban pajak untuk maksimalisasi Net Profit
After Tax. Manajemen pajak tidak dimaksudkan untuk mengelak dari kewajiban perpajakan
melalui cara-cara yang melanggar aturan perpajakan, salah satunya karena banyak ketentuan
perpajakan yang multitafsir.
Gunadi, mengutip Simon James dan Christoper Nobes menyebutkan bahwa motivasi
dilakukannya tax management, diantaranya adalah:
1. tingginya tariff pajak;
2. kekuranggamblangan ketentuan, baik rumusan eksplisit ketentuan maupun semangat,
maksud dan tujuan implisitnya;
3. terlalu kecilnya sanksi;
4. kekurangwajaran atau kekurangmerataan; dan
5. distorsi dalam system perpajakan.
Motivasi lain dilakukannya manajemen pajak, menurut Simon James dan Christoper Nobes,
adalah kekurangwajaran dan ketidakmerataan. Faktor ini biasanya dikaitkan dengan prinsip
manfaat/benefit dari pembayaran pajak dalam kaitannya dengan azas keadilan dan
kemerataan. Konsepsi dari prinsip manfaat/benefit yang diterima dati pelayanan public oleh
pemerintah. Sehingga mereka yang mendapatkan manfaat/benefit lebih besar seharusnya
membayar pajak lebih besar. Konsekuensinya, apabila mereka merasa bahwa kualitas
pelayanan dan public goods yang disediakan pemerintah kurang memadai atau tidak
setimpal dengan pajak yang mereka bayarkan, wajib pajak kemudian cenderung untuk
melakukan tindak manajemen pajak.
Perencanaan Pajak (Tax Planning)
Perencanaan Pajak merupakan langkah awal yang menjadi bagian kritikal dari
keseluruhan manajemen pajak yang lebih besar. Manajemen pajak itu sendiri merupakan
sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar, tetapi jumlah pajak yang
dibayarkan dapat ditekan seminimal mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang
diharapkan. Perencanaan yang baik juga mensyaratkan adanya pengendalian terhadap
pemenuhsemua kewajiban perpajakan (tax compliance/ tax administration) agar risiko
perpajakan karena adanya kesalahan pengurusan (mis-organizing) dapat dihindari, sehingga
penghematan pajak (tax saving) dapat tercapai.
Dictionary of Tax Terms, Barron’s Guides menyebutkan bahwa “tax planning is a
systematic analysis of differing tax option aimed at the minimization of tax liability in curent
and future tax periods”. Bahwa perencanaan pajak adalah suatu analisis sistematik atas
pilihan-pilihan pajak yang berbeda yang bertujuan untuk meminimalkan kewajiban/ hutang
pajak baik saat ini maupun yang akan datang.
Makin pentingnya variabel pajak sebagai komponen yang harus diperhitungkan, membuat
banyak perusahaan melakukan perencanaan pajak (Tax Planning). Suatu perencanaan pajak
yang tepat akan menghasilkan beban pajak minimal yang merupakan hasil dari perbuatan
penghematan pajak atau penghindaran pajak, bukan karena penyelundupan pajak yang tidak
berdasarkan pada peraturan perundang-undangan perpajakan.Jadi, perencanaan pajak tidak
berarti penyelundupan pajak. Pada dasarnya usaha penghematan pajak berdasarkan the least
and latest rule, yaitu Wajib Pajak selalu berusaha menekan pajak sekecil mungkin dan
menunda pembayaran selambat mungkin sebatas masih diperkenankan peraturan
perpajakan.
Jenis-jenis perencanaan pajak menurut Sundy (2011), dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:
a. Perencanaan Pajak Nasional (National Tax Planning)
Perencanaan dilakukan berdasarkan undang-undang domestik. Dalam perencanaan
pajak nasional pemilihan pelaksanaan atau tidak suatu transaksi hanya bergantung terhadap
transaksi tersebut. Untuk menghindari/ mengurangi pajak, wajib pajak dapat memilih jenis
transaksiyang akan dilaksanakan sesuai dengan hukum pajak yang ada.
b.  Perencanaan Pajak Internasional (international Tax Planning)
Perencanaan pajak yang dilakukan berdasarkan undang-undang domestik dan juga
harus memperhatikan perjanjian pajak (Tax Treaty) dan undang-undang dari Negara-Negara
terlibat.
Perencanaan Pajak sebagai bagian dari kegiatan manajemen memiliki beberapa manfaat
yang berguna bagi perusahaan yang melaksanakan kegiatan usaha dalam pencapaian laba
maksimum. Terdapat 4 hal yang dapat diambil sebagai keuntungan dari melaksanakan
perencanaan pajak, yaitu sebagai berikut:
1. Penghematan kas keluar, dimana pajak dianggap sebagai unsur biaya yang dapat
diefisienkan.
2. Mengatur aliran kas, dimana dengan perencanaan pajak yang dikelola secara cermat
perusahaan dapat menyusun anggaran kas secara lebih kuat.
3. Menentukan waktu pembayaran untuk menghindari keterlambatan yang akan
mengakibatkan denda atau sanksi.
4. Membuat data-data terbaru untuk mengupdate peraturan perpajakan.
Motivasi yang mendasari dilakukannya perencanaan pajak umumnya bersumber dari tiga
unsur perpajakan, yaitu:
1. Kebijakan perpajakan (Tax policy)
Kebijakan perpajakan merupakan alternatif dari berbagai sasaran yang hendak dituju
dalam system perpajakan.
2. Undang-undang perpajakan (Tax Law)
Kita menyadari bahwa kenyataannya di manapun tidak ada undang-undang yang
mengatur setiap permasalahan secara sempurna, maka dalam pelaksanaannya selalu diikuti
oleh ketentuan-ketentuan lain (Peraturan Pemerintah Keputusan Presiden, Keputusa
digunakan  Menteri Keuangan dan Direktur Jendral Pajak), maka tidak jarang ketentuan
pelaksanaan tersebut bertentangan mencapai tujuan yang lain yang ingin dicapainya.
Keadaan ini menyebabkan munculnya celah (loopholes) bagi wajib Pajak untuk
menganalisis dengan cermat atas kesempatan tersebut untuk perencanaan pajak yang baik.
3. Administrasi perpajakan (Tax Administration)
Indonesia merupakan  negara yang begitu luas wilayahnya dan begitu banyak
penduduknya, dan sebagai negara yang sedang membangun (developing country) masih
mengalami kesulitan dalam melaksanakan secara memadai (property). Hal yang
mendorong perusahaan untuk melaksanakan perencanaan perpajakan (tax planning)dengan
baik agar terhindar dari sanksi administrasi maupun pidana karena adanya perbedaan
penafsiran antara aparat fikus dengan Wajib pajak akibat dari begitu luasnya peraturan
perpajakan yang berlaku dan system informasi yang belum efektif.
Secara umum motivasi dilakukannya perencanaan pajak (tax planning) adalah untuk
memaksimalkan laba setelah pajak (after tax return) karena pajak itu ikut mempengaruhi
dalam pengembalian keputusan atas suatu tindakan dalam operasi perusahaan untuk
melakukan investasi dengan cara menganalisis secara cermat. Adapun tahapan-tahapan
dalam membuat perencanaan pajak menurut Erly Suandi dalam bukunya Perencanaan Pajak
(2006:14) adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis informasi (basis data) yang ada.
Tahap pertama dari proses pembuatan perencanaan pajak dilakukan dengan
mempertimbangkan masing-masing elemen dari pajak, baik secara sendiri-sendiri maupun
secacar total pajak yang harus dapat dirumuskan sebagai perencanaan pajak yang paling
efisien.
2. Membuat satu  model atau lebih model kemungkinan jumlah besarnya pajak.
Model perjanjian internasional dapat melibatkan satu atau lebih atas tindakan-tindakan
berikut:
a. Pemilihan bentuk transaksi yang akan dilakukan oleh perusahaan atau hubungan
internasional.
b. Pemilihan negara asing sebagai tempat melakukan investasi atau menjadi residen dari
negara tersebut.
c. Penggunaan satu atau lebih negara tambahan.
3. Mengevaluasi pelaksanaan perencanaan pajak.
Perencanaan pajak sebagai suatu perencanaan yang merupakan bagian kecil dari seluruh
perencanaan strategis perusahaan, oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi untuk melihat
sejauh mana hasil pelaksanaan suatu perencanaan pajak terhadap beban pajak yang harus
dibayar oleh perusahaan.
4. Mencari kelemahan dan kemudian memperbaiki rencana pajak.
Untuk mengatakan bahwa hasil suatu perencanaan baik atau tidak, tentu harus dievaluasi
melalui berbagai rencana yang dibuat. Dengan demikian  keputusan yang terbaik atas suatu
perencaan pajak harus sesuai dengan bentuk transaksi dengan tujuan operasi. Perbandingan
berbagai rencana harus dibuat sebanyak mungkin sesuai dengan bentuk perencanaan pajak
yang inginkan. Kadang suatu rencana harus diubah mengingat adanya perubahan perundang-
undangan atau peraturan. Tindakan perubahan harus tetap dijalankan walaupun diperlukan
penambahan biaya atau kemungkinan keberhasilan sangat kecil.
5. Memutakhirkan rencana pajak.
Meskipun suatu rencana pajak telah dilaksanakan dan proyek juga telah berjalan, namun
juga masih perlu memperhitungkan setiap perubahan yang terjadi baik dari undang-undang
maupun pelaksanaannya di negara dimana aktivitas tersebut dilakukan.
Untuk meminimumkan kewajiban pajak dapat dilakukan dengan berbagai cara baik yang
masih memenuhi ketentuan perpajakan (lawful) maupun yang melanggar peraturan
perpajakan (unlawful). Ukuran yang digunakan dalam mengukur kepatuhan perpajakan
wajib pajak, yaitu dengan:
 Penghematan Pajak (Tax saving), merupakan usaha untuk mengefisienkan beban pajak
melalui alternatif pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah.
 Penghindaran Pajak (Tax avoidance) merupakan usaha efisiensi beban pajak dengan
menghindari pengenaan pajak melalui transaksi yang bukan merupakan objek pajak.
 Penyelundupan Pajak (Tax evasion)merupakan upaya wajib pajak dengan penghindaran
pajak terhutang secara illegal dengan cara menyembunyikan keadaan yang sebenarnya.

B. Tax avoidance Versus Tax evasion


Tax avoidance memiliki makna upaya yang dilakukan untuk menghindari pajak
(penghindaran pajak). Secara lebih jelas, tax avoidance dapat didefinisikan sebagai suatu
upaya mendeteksi celah dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan hingga ditemukan
titik kelemahan dari perundangan tersebut yang memungkinkan untuk dilakukannya
penghindaran pajak yang dapat menghemat besaran pajak yang dibayarkan.
Definisi tax avoidance yaitu sebagai upaya yang dilakukan oleh wajib pajak baik
perorangan maupun badan hukum atau usaha untuk meminimalisir pembayaran pajak.
Sementara tax evasion merupakan upaya yang dilakukan untuk menghindari pajak secara
ilegal dengan tidak melaporkan penghasilan atau melaporkan tetapi bukan nilai penghasilan
yang sebenarnya.
Sebagai tindakan ilegal, jelas tax evasion melanggar hukum sehingga praktiknya tidak
diperkenankan. Tindakan tax evasion merupakan kecurangan, karena wajib pajak berusaha
untuk merekayasa transaksi agar timbul biaya-biaya yang mengurangi penghasilan bahkan
menyebabkan kerugian. Tax evasion merugikan negara, karena nilai pajak yang dibayarkan
oleh wajib pajak bukanlah nilai yang seharusnya. Bahkan bisa jadi, wajib pajak bebas dari
beban pajak jika penghasilannya justru minus atau mengalami kerugian.
Perbedaan tax avoidance dengan tax evasion
Tax evansion dan tax evasion sama-sama merupakan upaya untuk menghindari pajak,
namun keduanya sangatlah berbeda, antara lain:
1. Sisi legalitasnya
Dari definisi antara tax avoidance dengan tax evasion, jelas keduanya memiliki perbedaan
dalam hal legalitasnya.
 Tax avoidance (penghindaran pajak) merupakan upaya untuk mengurangi atau
meminimalkan beban pajak dengan cara-cara yang diperkenankan secara hukum. Jadi,
dari sudut pandang hukum, tax avoidance merupakan tindakan legal dengan
memanfaatkan celah atau kelemahan yang terdapat dalam ketentuan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku.
 Tax evasion, merupakan upaya penghindaran pajak lebih mengarah pada penggelapan
pajak yang dari sisi legalitasnya dikategorikan sebagai tindakan ilegal. Upaya
penghindaran pajak pada tax evasion dilakukan dengan cara-cara yang bertentangan
dengan hukum perpajakan yang berlaku. Di sini wajib pajak sudah memiliki niat untuk
tidak membayar pajak.
2. Upaya konkret yang dilakukan
Semakin besar penghasilan, beban pajak juga akan semakin besar. Lagi-lagi harus diakui
bahwa tak ada yang suka penghasilannya berkurang banyak untuk membayar pajak.
Tax avoidance
Adapun beberapa upaya yang dilakukan pada tax avoidance meliputi:
 Mempercepat depresiasi sehingga diperoleh nilai penyusutan yang lebih besar. Dalam
laporan keuangan, penyusutan merupakan salah satu komponen yang mengurangi
penghasilan atau laba usaha yang digunakan sebagai dasar penghitungan pajak.
 Melakukan tax planning atau perencanaan pajak. Ada dua skema tax planning yang bisa
dilakukan untuk menghemat pajak, yaitu substantive tax planning dan formal tax
planning. Substantive tax planning dapat dilakukan dengan memindahkan subjek pajak,
objek pajak, atau subjek dan objek pajak sekaligus ke negara lain yang memberikan
perlakuan pajak khusus dalam arti keringanan pajak. Sementara formal tax planning
merupakan upaya menghindari pajak dengan tetap mempertahankan substansi ekonomi
dari suatu transaksi tetapi memilih jenis transaksi yang memiliki beban pajak rendah.
Tax evasion
Adapun upaya konkret yang dilakukan tax evasion meliputi:
 Tidak melaporkan SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan) yang memuat tentang harta atau
penghasilan yang menjadi objek pajak serta penghitungan dan pembayaran pajak sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
 Melakukan kecurangan dengan merekayasa laporan keuangan, di mana biaya-biaya fiktif
dimunculkan untuk memperbesar biaya dan memperkecil penghasilan atau laba usaha,
bahkan jika dimungkinkan disusun sedemikian rupa sehingga wajib pajak seolah-olah
mengalami kerugian. Penghasilan yang telah direkayasa ini yang kemudian dilaporkan
untuk kepentingan perpajakan.
 Menyembunyikan atau menyelundupkan harta kekayaan yang menjadi objek pajak secara
sengaja agar tidak dikenai beban pajak.
Penghindaran pajak (tax avoidance) dapat dilakukan dengan tiga cara berikut.
 Menahan diri yaitu wajib pajak tidak melakukan sesuatu yang bisa dikenai pajak.
 Pindah lokasi yaitu memindahan lokasi usaha atau domisili dari lokasi yang tarif
pajaknya tinggi ke lokasi yang tarif pajaknya rendah.
 Penghindaran pajak secara yuridis yaitu dengan cara melakukan perbuatan-perbuatan
agar tidak terkena pajak dan biasanya perbuatan tersebut memanfaatkan kekosongan atau
ketidakjelasan dari undang-undang.
Ketentuan-ketentuan yang dapat digunakan untuk menentukan legal (tax avoidance)atau
tidak legalnya (tax evasion) dari suatu aktivitas tax management adalah ketentuan pidana
pasal 38, 39, 41, 41A, 41B, dan 43 Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 yang telah diubah
terakhir dalam Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 mengenai Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan. Berikut adalah penjelasan masing-masing dari ketentuan tersebut.
a. Pasal 38
Setiap orang yang karena kealpaannya: (1) tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
(2) menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau
melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang
pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah
pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga)
bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.
b. Pasal 39
1) Setiap orang yang dengan sengaja:
1. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
2. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
3. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
4. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar
atau tidak lengkap;
5. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
6. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau
dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang
sebenarnya;
7. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak
memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
8. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau
pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang
dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi online di
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau
9. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling
sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling
banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
2). Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua)
kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan
sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang
dijatuhkan.
3). Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, atau menyampaikan
Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dalam rangka mengajukan permohonan
restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit
2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang
dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau
kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.
c. Pasal 41
1. Pejabat yang karena kealpaanya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima
juta rupiah).
2. Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang
menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
3. Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.
d. Pasal 41A
Setiap orang yang wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau
memberi keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
e.Pasal 41B
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana
di bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).
f. Pasal 43
1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga
bagi wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh
melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A dan Pasal 41B berlaku juga
bagi yang menyuruh melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

C. Pengukuran Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)


Saat ini sudah banyak cara dalam pengukuran tax avoidance. Setidaknya terdapat dua belas
cara yang dapat digunakan dalam mengukur tax avoidance, Antara lain:
1. GAAP ETR
2. Current ETR
3. Cash ETR
4. Long-run cash ETR
5. ETRDifferential
6. DTAX
7. Total BTD
8. Temporary BTD
9. Abnormal total BTD
10. Unrecognized tax benefits
11. Tax shelter activity
12. Marginal tax rate
Ketentuan Anti Penghindaran Pajak di Indonesia
Negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, membuat aturan dan kebijakan yang mengatur
anti penghindaran pajak.
1. Anti Thin Capitalization
Ketentuan anti thin capitalization merupakan upaya wajib pajak mengurangi beban pajak
dengan cara memperbesar pinjaman, agar dapat membebankan biaya bunga dan
mengecilkan laba. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 18 ayat 1 UU PPh dan Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) Nomor 169/PMK.03/2015 yang mengatur Penentuan Besarnya
Perbandingan antara Utang dan Modal Perusahaan untuk Keperluan Penghitungan Pajak
penghasilan (Debt to Equity Ratio).
2. Controlled Foreign Corporation (CFC) Rules
Ketentuan ini tertuang dalam PasaL 18 Ayat 2 UU PPh yang memuat aturan mengenai
kewenangan Menteri Keuangan menetapkan saat diperolehnya dividen oleh wajib pajak
dalam negeri atas penyertaan modal pada Badan Usaha di luar negeri yang tidak menjual
saham di bursa efek paling rendah 50%.
3. Transfer Pricing
Ketentuan mengenai Transfer Pricing diatur dalam Pasal 18 Ayat 3 UU PPh. Dalam pasal ini
mengatur kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk menentukan kembali besaran
penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung
besar Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak yang memiliki hubungan istimewa.
4. Anti-treaty Shopping
Ketentuan mengenai anti treaty shopping diatur dalam PER-25/PJ/2010 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
5. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
PER-32/PJ/2011 mengatur tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
dalam Transaksi antara Wajib Pajak dan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa.

Ketentuan Anti Penghindaran Pajak di Indonesia


Negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, membuat aturan dan kebijakan yang mengatur
anti penghindaran pajak.
1. Anti Thin Capitalization
Ketentuan anti thin capitalization merupakan upaya wajib pajak mengurangi beban pajak
dengan cara memperbesar pinjaman, agar dapat membebankan biaya bunga dan
mengecilkan laba. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 18 ayat 1 UU PPh dan Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) Nomor 169/PMK.03/2015 yang mengatur Penentuan Besarnya
Perbandingan antara Utang dan Modal Perusahaan untuk Keperluan Penghitungan Pajak
penghasilan (Debt to Equity Ratio).
2. Controlled Foreign Corporation (CFC) Rules
Ketentuan ini tertuang dalam PasaL 18 Ayat 2 UU PPh yang memuat aturan mengenai
kewenangan Menteri Keuangan menetapkan saat diperolehnya dividen oleh wajib pajak
dalam negeri atas penyertaan modal pada Badan Usaha di luar negeri yang tidak menjual
saham di bursa efek paling rendah 50%.
3. Transfer Pricing
Ketentuan mengenai Transfer Pricing diatur dalam Pasal 18 Ayat 3 UU PPh. Dalam pasal ini
mengatur kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk menentukan kembali besaran
penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung
besar Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak yang memiliki hubungan istimewa.
4. Anti-treaty Shopping
Ketentuan mengenai anti treaty shopping diatur dalam PER-25/PJ/2010 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
5. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
PER-32/PJ/2011 mengatur tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
dalam Transaksi antara Wajib Pajak dan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa.

D. Etika Dan Tata Kelola Dalam Perpajakan


Dalam kaitannya dengan etika akuntan pajak, AICPA mengeluarkan Statemet on
Responsibilities in Tax Practice (SRTP). Adapun isinya adalah sebagai berikut:
1. Statement on Responsibilities in Tax Services No. 1, Tax Return Positions (Posisi
Pengembalian Pajak)
Statemen ini menetapkan standar masa depan yang bisa diterapkan untuk anggota ketika
merekomendasikan tingkat pengembalian pajak dan menyiapkan atau menandatangani surat
pembayaran pajak (termasuk klaim untuk lebih bayar) yang disimpan dengan mengenakan
pajak otoritas. Karena tujuan standar ini, suatu nilai pajak terutang,
a. mencerminkan tingkat pengembalian pajak seperti yang mana wajib pajak telah secara
rinci membicarakannya dengan anggota atau
b. suatu anggota mempunyai pengetahuan semua fakta yang bersifat material dan, atas dasar
fakta itu, telah menyimpulkan apakah posisinya sudah sesuai. Karena tujuan standar ini,
suatu wajib pajak adalah klien, pemberi kerja, atau pihak ketiga lain penerima jasa pajak.

2. Statement on Responsibilities in Tax Services No. 2, Answers to Questions on Returns


(Jawaban Pertanyaan atas Pengembalian)

Statemen Ini menetapkan standar yang bisa diterapkan untuk anggota ketika
menandatangani suatu pajak kembalian jika atau mempertanyakan kelebiahan pajak
kembalian. Istilah questionsincludes meminta informasi untuk pajak kembalian di dalam
perusahaan. Instruksi, atau di dalam peraturan, ya atau tidaknya dinyatakan format suatu
pertanyaan.

Pernyataan: Suatu anggota perlu membuat suatu usaha yang layak untuk memperoleh
informasi dari wajib pajak yang diperlukan untuk menyediakan jawaban sesuai dengan
semua pertanyaan atas suatu pajak kembalian sebelum ditandatangani.

3. Statement on Responsibilities in Tax Services No. 3, Certain Procedural Aspects of


Preparing Returns (Aspek prosedur tertentu dalam menyiapkan Pengembalian)

Dalam menyiapkan atau menandatangani suatu pajak kembalian, suatu anggota dengan
hati jujur boleh mempercayakan, tanpa verifikasi, atas informasi yang diberikan oleh wajib
pajak atau dengan pihak ketiga. Bagaimanapun, suatu anggota mestinya tidak mengabaikan
tentang implikasi yang melengkapi informasi tersebut dan perlu membuat pemeriksaan yang
layak jika informasi nampak seperti ada kesalahan, tidak sempurna, atau plin-plan baik di
bagian depannya atau atas dasar lain fakta tidak diketahui oleh suatu anggota. Jika hukum
perpajakan atau peraturan memaksakan suatu kondisi dengan rasa hormat, seperti
pemeliharaan buku dan arsip atau memperkuat dokumentasi wajib pajak untuk mendukung
pengurangan yang dilaporkan ke kantor pajak, suatu anggota perlu membuat pemeriksaan
yang sesuai untuk menentukan kondisi yang dijumpai untuk memberi kepuasan kepada
wajib pajak.

4. Statement on Responsibilities in Tax Services No. 4, Use of Estimates(Penggunaan


Estimasi)

Kecuali jika yang dilarang oleh undang-undang atau menurut peraturan, suatu anggota
boleh menggunakan taxpayer’s untuk menaksir persiapan suatu pajak kembalian jika itu
bukanlah praktis untuk memperoleh data tepat dan jika anggota menentukan bahwa
perkiraan yang layak adalah didasarkan pada keadaan dan fakta saat itu yang diperlihatkan
kepada anggota. Jika perkiraan dengan taxpayer’s digunakan, mereka harus diperlihatkan
dengan suatu cara yang tidak menyiratkan ketelitian lebih besar disbanding yang ada.

5. Statement on Responsibilities in Tax Services No. 5, Departure From a Position


Previously Concluded in an Administrative Proceeding or Court Decision (Keberangkatan
dari suatu posisi yang sebelumnya disampaikan di dalam suatu kelanjutan administrative
atau keputusan pengadilan)
Pajak Kembalian berkenaan dengan memposisikan suatu item ketika ditentukan di
dalam suatu kelanjutan administratif atau keputusan pengadilan/lingkungan tidak membatasi
suatu anggota merekomendasikan dari suatu pajak yang berbeda, kemudian
memposisikannya kembali, kecuali jika wajib pajak dalam pemeriksaan. Oleh karena itu,
ketika disiapkan dalam bentuk Statement on Responsibilities in Tax Services No.1, pajak
kembalian diposisikan, anggota boleh merekomendasikan sebuah pajak kembalian untuk
memposisikan atau menyiapkan suatu pajak kembalian yang memerlukan pemeriksaan dari
suatu item ketika disimpulkan untuk suatu kelanjutan administratif atau meramahi keputusan
berkenaan dengan suatu kembali wajib pajak.

6. Statement on Responsibilities in Tax Services No. 6, Knowledge of Error: Return


Preparation (Pengetahuan Kesalahan: Persiapan Kembalian)

Suatu anggota perlu menginformasikan kepada wajib pajak dengan segera atas suatu
kesalahan di dalam suatu pajak kembalian yang disimpan atau ketika sadar akan kegaalan
suatu taxpayer’s untuk memfile suatu kembalian yang diperlukan. Seorang anggota perlu
merekomendasikan ukuran yang diambil untuk melakukan koreksi, seperti rekomendasi
yang diberi dengan lisan. Anggota tidaklah diwajibkan untuk menginformasikannya untuk
mengenakan pajak otoritas, dan suatu anggota tidak boleh melakukannya tanpa ijin
taxpayer’s, kecuali ketika yang diperlukan di depan hukum.

Jika suatu anggota diminta untuk kembalian untuk tahun sekarang dan wajib pajak
belum mengambil tindakan yang sesuai untuk mengoreksi suatu kesalahan utama di dalam
suatu tahun kembalian, anggota perlu mempertimbangkan apakah untuk menarik dari
menyiapkan kembalian itu dan apakah suatu professional melanjutkan hubungan atau
hubungan ketenaga-kerjaan dengan wajib pajak itu. Jika anggota menyiapkan, seperti itu
kembalian tahun ini, anggota perlu mengambil langkah-langkah layak untuk memastikan
bahwa kesalahan itu tidaklah diulangi.

7. Statement on Responsibilities in Tax Services No. 7, Knowledge of Error:


Administrative Proceedings (Pengetahuan Kesalahan: Cara kerja administrasi)

Jika suatu anggota sedang mewakili suatu wajib pajak di dalam administratifnya untuk
suatu kembalian yang berisi suatu kesalahan, maka anggota perlu menginformasikannya
kepada wajib pajak itu. Anggota perlu merekomendasikan ukuran yang akan diambil untuk
mengoreksinya, yang mungkin diberi dengan lisan. Suatu anggota bukan diwajibkan untuk
menginformasikan hal itu mengenakan pajak otoritas maupun mengijinkan untuk
melakukannya tanpa ijin tax payer’s, kecuali jika yang diperlukan di depan hukum. Suatu
anggota perlu meminta persetujuan tax payer’s untuk menyingkapkan kesalahan kepada
pajak authority.

8. Statement on Responsibilities in Tax Services No. 8, Form and Content of Advice to


Taxpayers (Format dan isi nasihat pada klien)

Suatu anggota tidaklah diperlukan untuk mengikuti suatu bentuk standar atau petunjuk
dalam berkomunikasi lisan atau tertulisdalam memberi petunjuk kepada suatu wajib pajak.
Suatu anggota perlu berasumsi bahwa petunjuk pajak yang disajikan ke suatu wajib pajak
akan mempengaruhi cara di mana berbagai hal atau transaksi yang akan dipertimbangkan.
Oleh karena itu, untuk semua petunjuk pajak diberikan kepada suatu wajib pajak, suatu
anggota perlu mengikuti aturan yang baku dalam Statement on Responsibilities inTax
Services No. 1.
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Perpajakan
Tahun Akademik 2019/2020

Oleh
Wilma Winati
10090117015
Kelas B

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
BANDUNG
2019

Anda mungkin juga menyukai