Anda di halaman 1dari 5

Hubungan Antara Konsep Millennial Tourism, Digital Tourism dan Gastronomy Tourism

oleh:
I Putu Sagita Jaya Utama

PENDAHULUAN

1.1 Devinisi
Sebelum mencari hubungan dari ke 3 (tiga) konsep pariwisata tersebut kita mencoba untuk
menggali devinisi yang terkandung sebagai pemahaman awal. Millennial tourism, digital tourism
dan gastronomi tourism adalah suatu konsep baru yang ditawarkan atas implikasi perubahan
zaman di sector pariwisata. Keseluruhan memang menawarkan beberapa hal penting dalam
tujuannya yaitu kenyamanan, kepuasan dan pengalaman. Kenyamanan telah dikonseptualisasikan
sebagai pengalaman yang sudah ada di awal tahun 1970-an (Ritchie dan Hudson, 2009).
Pengalaman pariwisata terdiri dari tiga komponen utama: kebutuhan untuk melakukan perjalanan,
penyempurnaan dari pengalaman itu sendiri dan evaluasinya. Kebutuhan untuk melakukan
perjalanan dan akhirnya mereka sampai di destinasi merupakan tugas dan tanggung jawab dari
para penyedia jasa dan usaha komersil di dalam pariwisata itu sendiri. Saat ini perubahan sudah
sangat terasa, bagi pelaku bisnis pariwisata Indonesia perlu segera mengantisipasi perubahan
model bisnis pariwisata di era digital atau Millennial Tourism. Pasalnya, pasar dunia akan
didominasi kelompok wisatawan generasi millennial yang rata-rata berusia muda antara 16 tahun
hingga 29 tahun atau lebih dikenal dengan generasi Y. Ketika menafsirkan pariwisata millennial
sebagai trend-nya kaum muda, konseptualisasi pariwisata sebagai pengalaman bahkan lebih
penting karena pelancong muda menolak produk standar atau homogen dan mencari solusi, ide,
dan emosi baru atau, dalam satu kata, pengalaman baru. Dan pada akhirnya pariwisata millennial
merupakan kegiatan wisata oleh para pemuda yang didefinisikan sebagai semua perjalanan
independen untuk periode kurang dari satu tahun oleh orang berusia sangat produktif yang
termotivasi, sebagian atau seluruhnya, oleh keinginan untuk mengalami budaya lain, membangun
pengalaman hidup dan / atau mendapat peluang manfaat dari pembelajaran formal dan informal di
luar lingkungannya
Untuk mewujudkan tantangan di era pariwisata millennial, sudah barang tentu memerlukan
suatu strategi dan program yang jelas. Salah satunya adalah digitalisasi pariwisata sebagai program
untuk era industri 4.0. Menurut Menteri Pariwisata Arief Yahya, perubahan perilaku konsumen
saat ini semakin digital dan personal. Semua informasi terkait produk, layanan, fasilitas utama
maupun pendukung dari suatu destinasi sudah dapat diakses secara real-time. Salah satu contoh
bentuk pariwisata digital di era millennial adalah pariwisata gastronomi.

PEMBAHASAN

Ketika berbicara tentang istilah millennial hal yang pertama muncul adalah kata
“generasi”. Hal tersebut merupakan gambaran dari subjek atau pemeran serta pelaku utama di
dalamnya. Berkaitan dengan hal tersebut ialah generasi millenial disematkan pada wisatawan
muda yang memiliki rentang usia antara 16 hingga 29 tahun. Mereka cenderung spontan, tak
terlalu banyak waktu untuk perencanaan, dan percaya pada ulasan-ulasan destinasi wisata di
internet terutama pada media sosial. Maka tak heran kalau travel blogger menjadi kiblatnya.
Kemudian, perilaku ini berkembang menjadi tren dan kian menular. Berikutnya adalah perilaku
dari pasar tersebut memiliki keunikan sebagai ciri khas mereka dan perlu dikenali lebih mendalam
sebagai target segmen yang memerlukan perlakuan “khusus” terutama dari segi kebutuhan akan
informasi yang lebih mudah, kelengkapan akomodasi, variasi bentuk produk dan layanan serta
sudah barang tentu keterbukaan mengenai harga. Bagaimana mengenai potensi mereka?
Kementerian Pariwisata (Kemenpar) menyadari bahwa wisatawan milenial memiliki potensi
besar. Pernyataan tersebut disampaikan Melalui Focus Group Discussion (FGD), Kemenpar yang
telah menyiapkan strategi untuk menjaring wisatawan millennial. Saat ini Kemenpar telah
menempatkan program prioritas “Digital dan millennial” selanjutnya menjadi program strategis
pertama di Kementerian tersebut. Terdapat kaitan yang sangat erat antara digital dan millennial,
karena potensi pengembangan yang besar dan sangat menjanjikan adalah disebabkan oleh
digitalisasi pariwisata itu sendiri. Yang menjadi titik tolak perbedaan dengan sector lain adalah
penggunaan digital sebagai lifestyle. Masa depan menjadi lebih terbuka berkat akses informasi
yang cepat, terbuka dan terdapat umpan balik yang simultan antara penyedia produk dan jasa
dengan konsumennya. Berdasarkan survei Everbrite-Harris Poll 2014, untuk mendapatkan
pengalaman (experience) adalah prioritas para millennial tourist dalam motivasi wisatanya. Bagi
mereka, hal itu lebih penting dibandingkan produk-produk tangible lainnya. Peluang ini yang tak
mau disia-siakan Kemenpar. Ditambahkan oleh Menpar bahwa terdapat kelompok millennial yang
memiliki needs dan behavior khususnya bagi mereka yang tergantung dengan teknologi dan social
media. Terdapat banyak aktivitas-aktivitas wisata yang telah beralih bentuknya dari bentuk
terdahulu yang secara konvensional mengenal produk dan aktivitas wisata bersamaan saat mereka
menginjakkan kaki di destinasi. Saat ini sudah berbeda, para tourist sudah mendapatkan hampir
setengah dari keseluruhan informasi mengenai produk-produk wisata dan aktivitas yang
ditawarkan di destinasi sebelum mereka tiba.
Wisata gastronomi memang terdengar masih sangat baru dan asing di Indonesia. Istilah
wisata gastronomi memang lebih terkenal di luar negeri dibanding dalam negeri. Namun jika
diartikan, menurut Hall dan Shraples (2003) sebagaimana yang dirangkum oleh Organisasi
Pariwisata Dunia PBB (UNWTO), wisata gastronomi adalah sebuah perjalanan yang berhubungan
dengan makanan ke suatu daerah dengan tujuan rekreasi. Termasuk berkunjung ke penghasil
makanan utama dan kedua, acara festival makanan, pasar petani, acara memasak dan demonstrasi,
serta mencicipi produk makanan berkualitas dan aktivitas pariwisata yang berhubungan dengan
makanan. Lalu apa kaitannya gastronomi pariwisata dengan digitalisasi di era millennial tourism
saat ini? Semua orang perlu makan begitu juga wisatawan, makan adalah kebutuhan fisiologis
primer dan sangat mendasar sehingga tidak perlu terlalu dalam menjelaskan hal tersebut. Yang
menjadi focus utamanya adalah “kebiasaan”. Jika diperhatikan dengan seksama bahwa terdapat
kebiasaan atau tren baru di masyarakat dewasa ini untuk membagi informasi lewat media social
terkait dengan pengalamannya untuk berwisata kuliner. Makanan berubah menjadi image-image
(foto) digital yang tersebar di dunia maya. Ulasannya pun sudah menggambarkan sama seperti
aroma dan cita-rasa yang dimiliki makanan tersebut dan semua berubah ke bentuk digital. (bahkan
terdapat lelucon bahwa kebiasaan memfoto makanan atau sering disebut tweet-pic telah menggeser
peran doa dan bersukur sebelum makan)
KESIMPULAN
Setelah mencoba menguraikan tentang ke 3 (tiga) konsep pariwisata di atas yaitu millennial
tourism, digital tourism dan gastronomy tourism selanjutnya kami mencoba untuk menarik sebuah
kesimpulan mengenai factor-faktor yang menjadi penghubung dari konsep-konsep tersebut

3.1 Orientasi
Terdapat suatu hubungan yang erat antara konsep-konsep tersebut ditinjau dari segi
orientasi perjalanannya. Wisata millennial yang diwakili oleh para pemuda berusia 16-29 tahun,
cenderung “menolak” produk standar atau homogen dan mencari solusi, ide, dan emosi baru atau,
dalam satu kata, pengalaman baru
3.2 Value
Kelompok target millennial tidaklah homogen. Mereka datang dengan latar belakang yang
berbeda baik dari segi budaya origin, pendidikan, pengalaman, cara pandang dan karakter. Untuk
memuaskan para wisatawan milenial di masa depan dan masa depan, organisasi pariwisata harus
mempertimbangkan nilai atau bahkan value for money yang lebih tinggi dari yang mereka miliki
dan makna berbeda yang mereka berikan untuk bepergian. Mereka cenderung cepat merasakan
kebosanan dalam aktivitasnya sehingga sangat memerlukan produk wisata yang sangat variatif.
3.2 Tantangan
Selain potensi yang sangat menjanjikan jika dikembangkan, pariwisata millennial juga
memiliki banyak tantangan. Yang kita fokuskan saat ini adalah terkait behavior and expenditure
dari para wisatawannya. Generasi ini begitu cepat, kritis dan secara kuntitas jumlah mereka
tergolong besar dan sangat potensial. Kebanyakan dari mereka adalah wisatawan yang low-budget
traveler. Hal tersebut mengindikasikan banyak dari mereka adalah wisatawan back-packer yang
cenderung tidak banyak dalam pengeluarannya sehari-hari di suatu destinasi. Tentunya secara
umum juga berimbas pada pemanfaatan fasilitas yang berada pada level menengah ke bawah serta
margin of benefit suatu destinasi tidaklah tinggi. Jika dikaitkan dengan behavior atau sikap mereka
pada saat melakukan perjalanan wisata sangat erat kaitannya dengan tingkat pendidikannya.
Semakin dewasa wisatawan biasanya sudah cukup memiliki pendidikan dan pemahawan tentang
sikap yang ideal (well-educated). Mereka (millennial) cenderung cepat bosan yang mengakibatkan
tingkat loyalty para wisatawan ini berkontribusi tidak terlalu positif bagi suatu destinasi.
Daftar Pustaka

Cavagnaro Elena, Simona Staffieri and Albert Postma. 2018. “Understanding millennials’ tourism
experience: values and meaning to travel as a key for identifying target clusters for youth
(sustainable) tourism”. Journal of Tourism Futures, Vol. 4. pp. 31-42

Kompas.com. 2014. "Mengenal Wisatawan Millenial Lebih Jauh" sumber:


https://travel.kompas.com/read/2014/08/28/081019027/Mengenal.Wisatawan.Millenial.
Lebih.Jauh. Diakses 15/04/2019.

Liputan6.com. 2018. “kemenpar-siap-rebut-pasar-wisatawan-millennial” sumber:


https://www.liputan6.com/lifestyle/read/3677023/kemenpar-siap-rebut-pasar-wisatawan-
millennial. Diakses 15/04/2019.

Anda mungkin juga menyukai