Anda di halaman 1dari 5

EVALUASI PROPTOSIS PASCA OPERASI PADA KASUS MENINGIOMA SPHENOORBITA DI RSUP

FATMAWATI, JAKARTA

PENDAHULUAN

Meningioma Sphenoorbita (MSO) pertama kali dideskripsikan oleh Harvey Cushing dan Louise
Eisenhardt tahun 1938 sebagai lesi meningioma yang tumbuh lambat dan dengan komponen en plaque
yang berhubungan dengan hiperostosis yang signifikan pada tulang di sekitar orbita(4). Hasil operasi
pada pasien dengan meningioma sphenoorbital pertama kali dilaporkan secara ilmiah oleh Walter E
Dandy tahun 1941(5). Pada pelaporan awal, hasil operasi dari kasus meningioma sphenoorbita ini
sangat mengecewakan dan direkomendasikan untuk dilakukan tindakan konservatif dengan operasi
hanya sebagai jalan terakhir karena tingginya angka mortalitas operatif (10%-15%) dan rekurensi pasca
operasi di masa itu(3). Namun setelah pelaporan akan hasil operasi yang cukup menjanjikan dari Guiot
dan Derome pada medio 1960 hingga 1970an, penanganan kasus meningioma sphenoorbita juga terus
berkembang(13). Hal ini juga didukung dengan perkembangan dari alat-alat diagnostic dan operasi serta
teknik operasi yang sudah jauh lebih modern(10), sehingga pendekatan konservatif untuk kasus
meningioma sphenoorbita sudah ditinggalkan saat ini(13). Saat ini tatalaksana operatif dini serta agresif
sudah diterima secara luas sebagai terapi pilihan pertama untuk mengatasi gejala pada pasien dengan
meningioma sphenoorbita(6) dan juga untuk mencegah rekurensi (9)

Proptosis adalah gejala awal yang paling sering muncul serta paling banyak dikeluhkan pada pasien
dengan meningioma sphenoorbita. Bahkan seringkali gejala ini menjadi gejala satu-satunya pada
pasien(13). Gejala ini seringkali berkaitan dengan gangguan kosmetik dan fungsional pada pasien
MSO(1). Meskipun demikian, masih sangat sedikit studi yang mengkaji lebih dalam, terutama secara
kuantitatif, tentang hasil operatif proptosis pada pasien dengan MSO. (7,11,13)

Pada studi kali ini, kami akan mengukur sejauh mana perbaikan proptosis pada pasien MSO yang telah
menjalani operasi di RSUP Fatmawati, Jakarta, selama periode tahun 2015 -2019. Selain itu kami akan
menyertakan teknik operasi yang dilakukan untuk menilai apakah teknik yang dilakukan sudah cukup
mumpuni untuk mengurangi proptosis secara bermakna dengan mortalitas dan morbiditas yang
rendah(1,13).

METODE

Kami melakukan pengambilan data dari rekam medik dan pencatatan pribadi pada 20 pasien dengan
MSO yang menjalani operasi di RSUP Fatmawati, Jakarta, dari 2015 hingga 1 Juni 2019 serta data
imaging (MRI/CT Scan) pre dan post operatif. Data yang diambil antara lain data demografik (jenis
kelamin, usia, dan lain-lain), pencatatan komplikasi dan keluhan pasca operasi, serta foto CT Scan/ MRI
pasien. Pasien dengan data imaging yang tidak lengkap serta dengan gangguan lain yang menyebabkan
proptosis diekslusi.

Kami juga menghitung level proptosis pada pasien pre dan post operatif secara kuantitatif berdasarkan
exophthalmos index (EI) yang dideskripsikan oleh Scarone et al(13) yaitu dengan menghitung jarak dari
garis horizontal antara 2 ujung prosesus frontalis (interzygomatic line) tegak lurus ke arah masing –
masing ujung anterior bola mata. Hasil jarak dari interzygomatic line ke ujung anterior masing – masing
bola mata ini kemudian dihitung rasionya antara bola mata yang sakit dan yang sehat yang didefinisikan
sebagai EI.

Teknik Operasi

Semua operasi dilakukan oleh ahli bedah saraf yang sama (D.K.R). MRI preoperatif dengan dan tanpa
kontras serta CT imaging dipelajari dan didokumentasikan dengan fokus ke letak tumor, kemungkinan
keterlibatan sinus kavernosus dan saraf kranialis sekitar. Hiperostosis dan jaringan lunak yang
menyebabkan proptosis juga dinilai untuk memperkirakan seberapa jauh orbitotomi yang akan
dilakukan untuk mencapai resolusi proptosis yang optimal.

Pasien diposisikan supine, kepala miring 45 derajat kea rah kontralateral lesi dan difiksasi ke Mayfield.
Insisi pterional dilakukan dimulai dari 1 cm di depan tragus hingga paramidline. Muskulus Temporalis
dipreservasi, serta periosteum diinsisi tapal kuda. Kemudian dilakukan insisi frontotemporal standar
(beberapa pasien dilakukan juga zygomatomi). Secara garis besar, tindakan terbagi menjadi tindakan
ekstradura dan intradura. Prosedur ekstradura dilakukan dengan mereseksi tulang orbita yang
hiperostosis dengan kombinasi dari high speed drill dan perlatan lainnya, terutama dinding lateral dan
superior orbita. Jika terdapat tumor intraorbita pada pasien, akan sekaligus diangkat. Reseksi ini
bergantung pada tingkat hiperostosis yang berbeda – beda pada masing - masing pasien. Kemudian
dilanjutkan dengan diseksi basis temporal, di mana dural attachment dibebaskan sampai dengan batas
tepi sinus kavernosus bagian lateral. Pada sebagian besar kasus, kanalis optikus didekompresi dengan
dilakukan orbitotomi pada atap kanalis optikus dan mengangkat prosesus klinoideus anterior.

Prosedur intradura dimulai dengan insisi duramater mengitari tepi luar lesi, dilanjutkan dengan
membebaskan perlengketan – perlengketan yang terjadi pada arachnoid dan pembuluh darah kortikal.
Pada umumnya meningioma enplaque yang kami temukan memiliki karakteristik draining vein yang
hiperdilatasi dan bermuara ke bridging vein tip temporal atau vena serebri interna atau pada beberapa
kasus, keduanya. Pada semua kasus dilakukan koagulasi bridging vein tip temporal. Bila draining vein
bermuara ke vena serebri interna, dilakukan diseksi semaksimal mungkin dengan mengupayakan vena
serebri interna seaman mungkin. Pada sebagian besar kasus, tumor dapat diangkat total (Simpson I).
Kecuali pada kasus-kasus di mana tumor yang terlibat melampaui batas sinus kavernosus dan arteri
karotis, pada kasus ini tumor diangkat near total (Simpson II) dengan menghindari untuk mengangkat
tumor yang melengket kuat pada struktur – struktur vital seperti arteri karotis, arteri/vena serebri, serta
nervus kranialisyang berhubungan. Periorbita dibiarkan intak kecuali ada infiltrasi tumor yang ekstensif
pada periorbita. Duramater, kranium dan kulit ditutup dengan teknik standar. Tidak ada pasien yang
menjalani rekonstruksi orbita pada saat mupun pasca operasi.

HASIL

Pasien yang kami sertakan dalam penelitian ini berjumlah 20 orang. 95% pasien berjenis kelamin
perempuan (19 dari 20) dan usia rata – rata pasien adalah 44,6 tahun. Rata – rata pasien menjalani
imaging pasca operasi yang diambil sebagai data setelah 109.45 hari (3.65 bulan) pasca operasi (range 5
– 524 hari)
Hampir seluruh pasien (19 dari 20) mengalami perbaikan EI berdasarkan pemeriksaan imaging pasca
operasi. 1 pasien mengalami penambahan exophthalmos index sebanyak 0.01. Tidak ada pasien yang
mengalami enoftalmus pasca operasi. Rata – rata EI sebelum operasi pada pasien adalah 1.51 (range
1,10 – 2,21) dan rata –rata EI setelah operasi adalah 1.24 (range 1,00 – 1,57), sehingga rata – rata
perbaikan EI pasca operasi pada pasien adalah 0.27 ( range -0,01 – 0,88).)

Tidak ada pasien yang meninggal pada saat operasi maupun perawatan pasca operasi. Hampir seluruh
pasien tidak mengalami komplikasi serius berkaitan dengan operasi maupun pada perawatan pasca
operasi. Namun pada salah satu kasus terjadi hidrosefalus pasca operasi yang kemudian ditatalaksana
dengan shunting dan pasien dalam kondisi baik dan stabil setelah itu.

DISKUSI

Pada studi retrospektif di rumah sakit kami, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengurangan proptosis
yang signifikan dapat dicapai dengan tatalaksana operatif yang agresif, dengan angka mortalitas dan
morbiditas yang sangat rendah. Rata – rata perbaikan EI pasca operasi pada pasien adalah 0.27 dan hal
ini dicapai hanya dengan rata-rata follow up imaging 109.45 hari (3.65 bulan) pasca operasi. Sedangkan
pada studi – studi lain menunjukkan bahwa hampir seluruh pasien memiliki kecenderungan untuk
berkurang proptosisnya secara progresif yang dapat dibuktikan dengan follow up imaging terus menerus
dalam jangka panjang (hingga rata – rata follow up imaging 4,5 tahun pada salah satu studi)(1,13). Hal
ini dipercaya karena adanya penyembuhan jaringan post operatif pada pasien yang terjadi secara
bertahap sehingga pengurangan dari proptosis juga terjadi secara bertahap (1,8). Sehingga kami yakin
bahwa dengan follow up imaging yang lebih lama pasien - pasien kami juga akan terbukti mengalami
pengurangan proptosis yang lebih signifikan.

Enoftalmos juga tidak didapatkan pada pasien kami, walaupun teknik operasi yang kami gunakan tanpa
melakukan rekonstruksi orbita pasca orbitotomi. Indikasi dan teknik rekonstruksi orbita memang tidak
menunjukkan hasil yang konsisten (1,11,12,13). Rekonstruksi orbita dilakukan umumnya ketika satu atau
lebih bagian dinding orbita direseksi (orbitotomi) untuk mencegah enoftalmos yang berdenyut (11,12).
Namun pada 3 studi besar menunjukkan bahwa enoftalmos juga tidak muncul bahkan tanpa melakukan
rekonstruksi orbita pasca reseksi dinding orbita yang ekstensif (1,6,9). Pada sebagian studi tersebut
dipercaya bahwa periorbita yang intak adalah factor penyebab enoftalmos tidak terjadi (6,9,11,12).
Namun pada studi lain menunjukkan bahwa dengan reseksi periorbita yang signifikan dan tanpa
rekonstruki orbita, tidak didapatkan enoftalmos bahkan setelah evaluasi imaging dalam jangka
panjang(1). Hal ini dipercaya, berdasarkan pengalaman peneliti pada studi tersebut, bahwa jaringan di
sekitar orbita memiliki konsistensi yang kaku sehingga mencegah terjadinya enoftalmos bahkan setelah
dekompresi periorbita yang ekstensif(1). Walaupun di satu sisi hal ini juga membuat pengurangan
proptosis memang menjadi lebih sulit pada kasus MSO(1).

Hidrosefalus pasca operasi pada salah satu pasien kami adalah salah satu jenis komplikasi yang
sebenarnya memang cukup sering muncul pada pembedahan tumor pada area skullbase dibandingkan
dengan area lain(2). Walaupun factor penyebab pastinya belum diketahui, namun salah sau teori yang
diyakini sebagai penyebabnya adalah pada operasi kasus tumor skullbase seperti pada MSO, lebih
mudah terjadi rembesan darah ke ruang subarachnoid dan sisterna sekitar pada saat intraoperatif
sehingga timbul hidrosefalus komunikans(2).

Keterbatasan pada studi ini adalah studi ini bersifat kohort retrospektif dari kasus yang ditangani
seorang ahli bedah pada satu institusi kesehatan saja. Oleh karena itu kami merekomendasikan studi ini
dapat dilakukan pada institusi-intitusi lainnya seta mengikutsertakan data dari operasi yang dilakukan
oleh ahli bedah lainnya.

Selain itu, data imaging, baik pre maupun post operatif, yang kami ambil juga memiliki rentang waktu
yang sangat variatif antara satu pasien dengan pasien lain karena seringkali pasien lupa untuk membawa
data imaging yang mereka pegang atau lupa untuk datang kontrol pada waktu yang telah ditentukan.
Hal ini membuat kami kesulitan untuk menyusun data follow up imaging yang berurutan dan lengkap.
Kami menyarankan pada studi selanjutnya agar pengumpulan data juga dilakukan lebih teliti dan disiplin
agar didapatkan data follow up imaging yang lengkap.

KESIMPULAN

Meningioma spheno-orbita adalah suatu jenis tumor yang infiltratif, tumbuh lambat dan berhubungan
dengan hiperostosis di sekitar orbita yang seringkali berkaitan dengan keluhan proptosis/eksoftalmus.
Keluhan proptosis sendiri merupakan keluhan tersering yang membawa pasien ke dokter. Reseksi yang
agresif pada meningioma spheno – orbita, pada studi kami, berhasil mengurangi proptosis secara
signifikan dari rata – rata EI sebelum operasi 1.51 menjadi rata –rata EI 1.13 pasca operasi. Hasil ini
dicapai dengan mortalitas dan morbiditas yang rendah. Dan yang juga penting, tidak ada enoftalmus
yang ditemukan pada pasien walaupun tidak dilakukan rekonstruksi orbita pada pasien – pasien kami.
Dengan teknik operasi yang benar dan aman, proptosis pada pasien meningioma spheno – orbita dapat
direduksi dengan operasi sebagai pilihan terapi utama.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bowers CA, Sorour M, Patel BC, Couldwell WT: Outcomes after surgical treatment of
meningioma associated proptosis. J Neurosurg:1-7, 2016
2. Burkhardt JK, Zinn PO, Graenicher M, et al: Predicting Postoperative Hydrocephalus in 227
patients with skull base meningioma. Neurosurg Focus 30:1-7, 2011
3. Castellano F, Guidetti B, Olivercrona H: Pterional meningiomas en plaque. J Neurosurg 9:188-
196, 1952
4. Cushing H, Eisenhardt L: Meningiomas. Their classification, regional behavior, life history, and
surgical end results. Springfield, IL: Charles C. Thomas, 1938
5. Dandy WE: Results following the transcranial operative attack on orbital tumors. Arch Opthal
25:191-216, 1941
6. DeMonte F, Tabrizi P, Culpepper SA, et al: Ophthalmological outcome after orbital entry during
anterior and anterolateral skull base surgery. J Neurosurg 97:851-856, 2002
7. Heufelder MJ, Sterker I, Trantakis C, et al: Reconstructive and ophthalmologic outcomes
following resection of sphenoorbital meningiomas. Opthal Plast Reconstr Surg 25:223-226, 2009
8. Leaper DJ, Harding KG, editors: Wounds: biology and management. USA: Oxford University
Press, 1998
9. Maroon JC, Kendrell JS, Vidovich DV, Abla A, Sternau L: Recurrent spheno-orbital meningioma. J
Neurosurg 80:202-208, 1994
10. Rhoton AL: Rhoton Cranial Anatomy and Surgical Approach. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, 2003
11. Ringel F, Cedzich C, Schramm J: Microsurgical technique and results of a series of 63 spheno-
orbital meningiomas. Neurosurgery 60 (4 Suppl 2):214-222, 2007
12. Saeed P, van Wurth WR, Tanck M, et al: Surgical treatment of sphenoorbital meningiomas. Br J
Ophthalmol 95:996-1000, 2011
13. Scarone P, Leclerq D, Heran F, Robert G: Long term results with exophthalmos in a surgical series
of 30 sphenoorbital meningiomas. Clinical Article. J Neurosurg 111:1069-1077, 2009

Anda mungkin juga menyukai