Anda di halaman 1dari 13

GANGGUAN HOMEOSTASIS CAIRAN DAN ELEKTROLIT

3.1 Asupan dan Kehilangan Cairan dan Elektrolit

Homeostasis cairan tubuh yang normalnya diatur oleh ginjal dapat berubah oleh stres akibat operasi,
kontrol hormon yang abnormal, atau pun oleh adanya cedera pada paru-paru, atau traktus yak
dibandingkan air yang hilang. Karena kadar natrium10 serum rendah, air di kompartemen
intravaskularberpindahkekompartemenekstravaskular,sehinggamenyebabkan penurunan volume
intravascular.7Dehidrasi hipertonis (hipernatremik) terjadi ketika kehilangan cairan dengan
kandungannatrium lebih sedikit dari darah (kehilangan cairan hipotonis). Secara garis besar
terjadikehilangan air yang lebih banyak dibandingkan natrium yang hilang. Karena kadar natriumtinggi,
air di kompartemen ekstraskular berpindah ke kompartemen intravaskular, sehinggameminimalkan
penurunan volume intravascular.7

3.2.3 Kelebihan Volume

Kelebihan volume cairan ekstraselular merupakan suatu kondisi akibat iatrogenic(pemberian cairan
intravena seperti NaCl yang menyebabkan kelebihan air dan NaCl ataupunpemberian cairan intravena
glukosayang menyebabkan kelebihan air) ataupun dapat sekunderakibat insufisiensi renal (gangguan
pada GFR), sirosis, ataupun gagal jantung kongestif.Kelebihan cairan intaseluler dapat terjadi jika terjadi
kelebihan cairan tetapi jumlah NaCl tetapatau berkurang

3.3 Perubahan Konsentrasi

3.3.1 Hiponatremia

Jika < 120 mg/L maka akan timbul gejala disorientasi, gangguan mental, letargi,iritabilitas, lemah dan
henti pernafasan, sedangkan jika kadar < 110 mg/L maka akan timbulgejala kejang, koma. Hiponatremia
ini dapat disebabkan oleh euvolemia (SIADH,

3.3.2 Hipernatremia

Jika kadar natrium > 160 mg/L maka akan timbul gejala berupa perubahan mental,

letargi, kejang, koma, lemah. Hipernatremi dapat disebabkan oleh kehilangan cairan (diare,

muntah, diuresis, diabetes insipidus, keringat berlebihan), asupan air kurang, asupan natrium

berlebihan. Terapi keadaan ini adalah penggantian cairan dengan 5% dekstrose dalam air

sebanyak {(X-140) x BB x 0,6}: 140

3.3.3 Hipokalemia

Jika kadar kalium < 3.5 mEq/L. Dapat terjadi akibat dari redistribusi akut kalium dari
cairan ekstraselular ke intraselular atau dari pengurangan kronis kadar total kalium tubuh. Tanda

dan gejala hipokalemia dapat berupa disritmik jantung, perubahan EKG (QRS segmen melebar,

ST segmen depresi, hipotensi postural, kelemahan otot skeletal, poliuria, intoleransi glukosa.

Terapi hipokalemia dapat berupa koreksi faktor presipitasi (alkalosis, hipomagnesemia, obat-

obatan), infus potasium klorida sampai 10 mEq/jam (untuk mild hipokalemia ;>2 mEq/L) atau

infus potasium klorida sampai 40 mEq/jam dengan monitoring oleh EKG (untuk hipokalemia

berat;<2mEq/L disertai perubahan EKG, kelemahan otot yang hebat). Rumus untuk menghitung

defisit kalium.7

K = (K1 – K0) x 0,25 x BB

K = kalium yang dibutuhkan

K1 = serum kalium yang diinginkan

K0 = serum kalium yang terukur BB = berat badan (kg)

3.3.4 Hiperkalemia

Terjadi jika kadar kalium > 5.5 mEq/L, sering terjadi karena insufisiensi renal atau obatyang membatasi
ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-inhibitor, siklosporin, diuretik). Tanda dangejalanya terutama melibatkan
susunan saraf pusat (parestesia, kelemahan otot) dan sistemkardiovaskular (disritmik, perubahan EKG).
Terapi untuk hiperkalemia dapat berupaintravenakalsium klorida 10% dalam 10 menit, sodium
bikarbonat 50-100 mEq dalam 5-10 menit, ataudiuretik, hemodialisis.7

3.3.5 Hipokalsemia

Hipokalsemia harus didiagnosis berdasarkan konsentrasi ion kalsium plasma. Bila

pemeriksaan [Ca] plasma secara langsung tidak dapat dilakukan, konsentrasi kalsium total tetapharus
dikoreksi untuk menurunkan konsentrasi albumin plasma.Hipokalsemia yang berhubungan dengan
keadaan hipoparatiroid relatif seringmenyebabkan hipokalsemia simptomatik. Hipoparatiroid dapat
terjadi karena surgical, idiopatik,bagian dari kelainan endokrin multipel (paling sering insufisiensi
adrenal), atau berhubungandengan hipomagnesemia. Defisiensi magnesium dikatakan dapat
menggagalkan sekresi PTH danmengantagonis efeknya pada tulang. Hipokalsemia yang terjadi pada saat
sepsis berhubungan

dengan supresi pelepasan hormone paratiroid. Hiperfosfatemia juga merupakan penyebab yangrelatif
sering dari hipokalsemia terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik. Hipokalsemiayang
berhubungan dengan defisiensi vitamin D kemungkinan terutama disebabkan karenareduksi intake
(nutrisional), malabsorbsi vitamain D, atau abnormalitas metabolisme vitamin D.7

3.3.6 Hiperkalsemia

Hiperkalsemia dapat timbul akibat berbagai kelainan. Terutama adalah hiperparatioiddimana sekresi
paratiroid hormon akan meningkat dan hal ini tidak dipengaruhi oleh [Ca].Sebaliknya pada keadaan
hiperparatiroid skunder (gagal ginjal kronik atau malabsorbsi)peningkatan jumlah hormon paratiroid
adalah merupakan respon dari keadaan hipokalsemiakronik. Hiperparatiroid skunder yang berlarut
kadang-kadang akan menyebabkan sekresiPTHsecara otonom yang mengakibatkan [Ca] berada dalam
kadar normal atau meningkat(hiperparatiroid tersier).Pasien dengan kanker dapat
memberikangambaran hiperkalsemia baik apakah itu denganmetastase pada tulang ataupun tidak.
Destruksi tulang yang terjadi secara langsung atausekresimediator humoral pada hiperkalsemia (PTH like
substance, sitokin,, atau prostaglandin)kemungkinan bertanggung jawab pada sebagian besar pasien.
Hiperkalsemia yang berhubungandenganpeningkatan pengeluaran kalsium dari tulang dapat pula terjadi
padapasien denganpenyakit yang tidak ganas seperti Paget`s disease dan imobilisasi yang kronis.
Peningkatanabsorbsi kalsium oleh intestinal dapat menimbulkan hiperkalsemia pada pasien dengan
milk-alkali syndrome (ditandai dengan peningkatan intake kalsium), hipervitaminosis D, atau
penyakitgranulomatosa (memperkuat sensitivitas terhadap vitamin D). Mekanisme lain
terjadinyahiperkalsemia belum banyak diketahui.7

3.3.7 Hipofosfatemia

Hipofosfatemia merupakan akibat dari keseimbangan fosfor yang negatif atau ambilanselular tehadap
fosfor ekstraselular (pergeseran interkompartemen). Pergeseran fosforinterkompartemen dapat terjadi
pada keadaan alkalosis, dan setelah memakan sejumlahkarbohidrat atau pemberian insulin. Pemberian
dosis besar antasid yang mengandung alumunium

atau magnesium, luka bakar berat, suplementasi fosfor yang tidak adekuat selamahiperalimentasi,
ketoasidosis diabetic, alkohol withdrawal, dan alkalosis respiratorik yangmemanjang dapat
menyebabkan keseimbangan fosfor yang negative dan dapat menjadihipophosfetemia berat (<0,3
mmol/dL atau <1.0 mg/dL). Sebaliknya pada alkalosis metabolikjarang menyebabkan terjadinya
hipofosfatemia.

3.3.8 Hiperfosfatemia

Hiperfosfatemia dapat terjadi pada intake fosfor yang meningkat (penyalahgunaanlaksatif fosfor atau
pemberian potassium fosfat yang berlebihan ), penurunan ekskresi fosfor(pada insufisiensi renal), atau
lisis sel yang massif (setelah kemoterapi pada limfoma atauleukemia).7

3.4 Perubahan Komposisi

3.4.1 Asidosis respiratorik (pH< 3,75 dan PaCO2> 45 mmHg)


Kondisi ini berhubungan dengan retensi CO2 secara sekunder untuk menurunkanventilasi alveolar pada
pasien bedah. Kejadian akut merupakan akibat dari ventilasi yang tidakadekuat termasuk obstruksi jalan
nafas, atelektasis, pneumonia, efusi pleura, nyeri dari insisiabdomen atas, distensi abdomen dan
penggunaan narkose yang berlebihan. Manajemennyamelibatkan koreksi yang adekuat dari defek
pulmonal, intubasi endotrakeal, dan ventilasimekanis bila perlu. Perhatian yang ketat terhadap higiene
trakeobronkial saat post operatif adalahsangat penting.5

3.4.2 Alkalosis respiratorik (pH> 7,45 dan PaCO2 < 35 mmHg)

Kondisi ini disebabkan ketakutan, nyeri, hipoksia, cedera SSP, dan ventilasi yangdibantu.Pada fase akut,
konsentrasi bikarbonat serum normal, dan alkalosis terjadi sebagai hasildari penurunan PaCO2 yang
cepat. Terapi ditujukan untuk mengkoreksi masalah yangmendasaritermasuk sedasi yang sesuai,
analgesia, penggunaan yang tepat dari ventilator mekanik, dankoreksi defisit potasium yang terjadi.5

3.4.3 Asidosis metabolik (pH<7,35 dan bikarbonat <21 mEq/L)

Kondisi ini disebabkan oleh retensi atau penambahan asam atau kehilangan bikarbonat.Penyebab yang
paling umum termasuk gagal ginjal, diare, fistula usus kecil, diabetikketoasidosis, dan asidosis laktat.
Kompensasi awal yang terjadi adalah peningkatan ventilasi dandepresi PaCO2. Penyebab paling umum
adalah syok, diabetik ketoasidosis, kelaparan, aspirinyang berlebihan dan keracunan metanol.Terapi
sebaiknya ditujukan terhadap koreksi kelainan yang mendasari. Terapi bikarbonathanya diperuntukkan
bagi penanganan asidosis berat dan hanya setelah kompensasi alkalosisrespirasi digunakan

3.4.4 Alkalosis metabolik (pH>7,45 dan bikarbonat >27 mEq/L)

Kelainan ini merupakan akibat dari kehilangan asam atau penambahan bikarbonat dandiperburuk oleh
hipokalemia. Masalah yang umum terjadi pada pasien bedah adalah hipokloremik, hipokalemik akibat
defisit volume ekstraselular. Terapi yang digunakan adalahsodium klorida isotonik dan penggantian
kekurangan potasium. Koreksi alkalosis harus gradualselama perode 24 jam dengan pengukuran pH,
PaCO2 dan serum elektrolit yang sering.9

BAB IV

PENATALAKSANAAN CAIRAN

4.1 Terapi Cairan IntravenaInfus cairan intravena (intravenous fluids drip) adalah pemberian sejumlah
cairan kedalam tubuh, melalui sebuah jarum, ke dalam pembuluh vena (pembuluh balik)
untukmenggantikan kehilangan cairan atau zat-zat makanan dari tubuh.Secara umum, keadaan-keadaan
yang dapat memerlukan pemberian cairan infus adalah:

1) Perdarahan dalam jumlah banyak (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah); 2)
Traumaabdomen (perut) berat (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah); 3) Fraktur (patah
tulang),khususnya di pelvis (panggul) dan femur (paha) (kehilangan cairan tubuh dan
komponendarah);4) Kehilangan cairan tubuh pada dehidrasi (karena Heat stroke, demam dan diare); 5)
Semuatrauma kepala, dada, dan tulang punggung (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah).2

Indikasi Pemasangan Infus melalui Jalur Pembuluh Darah Vena (Peripheral VenousCannulation): 1)
Pemberian cairan intravena (intravenous fluids); 2) Pemberian nutrisi parenteral (langsung masuk ke
dalam darah) dalam jumlah terbatas; 3) Pemberian kantong darah danproduk darah; 4) Pemberian obat
yang terus-menerus (kontinyu); 5) Upaya profilaksis (tindakanpencegahan) sebelum prosedur (misalnya
pada operasi besar dengan risiko perdarahan, dipasangjalur infus intravena untuk persiapan jika terjadi
syok, juga untuk memudahkan pemberian obat);

6) Upaya profilaksis pada pasien-pasien yang tidak stabil, misalnya risiko dehidrasi (kekurangancairan)
dan syok (mengancam nyawa), sebelum pembuluh darah kolaps (tidak teraba),sehinggatidak dapat
dipasang jalur infus.

Kontraindikasi dan Peringatan pada Pemasangan Infus Melalui Jalur Pembuluh Darah

Vena: 1) Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi pemasangan infus; 2) Daerahlengan
bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan digunakan untuk pemasanganfistula arteri-vena
(A-V shunt) pada tindakan hemodialisis (cuci darah); 3) Obat-obatan yangberpotensi iritan terhadap
pembuluh vena kecil yang aliran darahnya lambat (misalnya pembuluhvena di tungkai dan kaki).2

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi dalam pemasangan infus: 1) Hematoma, yaknidarah mengumpul
dalam jaringan tubuh akibat pecahnya pembuluh darah arteri vena, ataukapiler, terjadi akibat
penekanan yang kurang tepat saat memasukkan jarum, atau “tusukan”berulang pada pembuluh darah;
2) Infiltrasi, yakni masuknya cairan infus ke dalam jaringansekitar (bukan pembuluh darah), terjadi
akibat ujung jarum infus melewati pembuluh darah; 3)Tromboflebitis atau bengkak (inflamasi) pada
pembuluh vena, terjadi akibat infus yang dipasangtidak dipantau secara ketat dan benar; 4) Emboli
udara, yakni masuknya udara ke dalam sirkulasidarah, terjadi akibat masuknya udara yang ada dalam
cairan infus ke dalam pembuluh darah; 5)Komplikasi yang dapat terjadi dalam pemberian cairan melalui
infus; 6) Rasa perih/sakit;

7)Reaksi alergi.2

4.1.1 Jenis Cairan Infus 2

Cairan hipotonik

Cairan hipotonik osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi ion Na+lebih rendah
dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan menurunkan osmolaritasserum. Maka cairan
“ditarik” dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsipcairan berpindah dari
osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai CDakhirnya mengisi sel-selyang dituju. Digunakan
pada keadaan sel “mengalami” dehidrasi, misalnya pada pasien cucidarah (dialisis) dalam terapi diuretik,
juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi)dengan ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang
membahayakan adalah perpindahantiba-tibacairan dari dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan
kolaps kardiovaskular dan peningkatantekanan intrakranial (dalam otak) pada beberapa orang.
Contohnya adalah NaCl 45% danDekstrosa 2,5%.Cairan IsotonikCairan Isotonik osmolaritas (tingkat
kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cairdari komponen darah), sehingga terus berada di
dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada pasienyang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh,
sehingga tekanan darah terus menurun).Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan cairan),
khususnya pada penyakit gagal jantungkongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat
(RL), dan normal saline/larutangaram fisiologis (NaCl 0,9%).

Cairan hipertonik

Cairan hipertonik osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga “menarik”cairan dan
elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah. Mampu menstabilkantekanan darah,
meningkatkan produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak). Penggunaannyakontradiktif dengan
cairan hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%
+NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin.

4.1.2 Pembagian Cairan

Kristaloid

Kristaloid bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah volume cairan (volumeexpanders) ke
dalam pembuluh darah dalam waktu yang singkat (relatif sebentar diintravaskuler), dan berguna pada
pasien yang memerlukan cairan segera. Misalnya Ringer-Laktatdan NaCl 0,9%.3,6Cairan ini mempunyai
komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES = CEF). Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah,
tersedia dengan mudah di setiap pusat kesehatan,tidak perlu dilakukan cross match, tidak menimbulkan
alergi atau syok anafilaktik, penyimpanansederhana dan dapat disimpan lama. Cairan kristaloid bila
diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid) ternyatasama efektifnya seperti pemberian cairan
koloid untuk mengatasi defisit volume intravaskuler.Waktu paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler
sekitar 20-30 menit.3Heugman et al (1972) mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah sedikit
larutankristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edema perifer dan paru serta
berakibatterganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka, apabila seseorang mendapat infus
1liter NaCl 0,9%. Penelitian Mills dkk (1967) di medan perang Vietnam turut memperkuatpenelitan yang
dilakukan oleh Heugman, yaitu pemberian sejumlah cairan kristaloid dapatmengakibatkan timbulnya
edema paru berat. Selain itu, pemberian cairan kristaloid berlebihanjuga dapat menyebabkan edema
otak dan meningkatnya tekanan intra kranial.Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana
kristaloid akan lebih banyakmenyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid maka kristaloid
sebaiknya dipilihuntuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitiel. Larutan Ringer Laktat merupakan
cairan kristaloid yang paling banyak digunakan untukresusitasi cairan walau agak hipotonis dengan
susunan yang hampirmenyerupai cairanintravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan tersebut
akan mengalami metabolisme di hatimenjadi bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang sering digunakan
adalah NaCl 0,9%, tetapibila diberikan berlebih dapat mengakibatkan asidosis hiperkloremik (delutional
hyperchloremic acidosis) dan menurunnya kadar bikarbonat plasma akibat peningkatan klorida.

Koloid

Koloid ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar sehingga tidak akan keluardari membran
kapiler, dan tetap berada lama dalam pembuluh darah, maka sifatnya hipertonik,dan dapat menarik
cairan dari luar pembuluh darah. Contohnya adalah albumin dan steroid.Disebut juga sebagai cairan
pengganti plasma atau biasa disebut “plasma substitute” atau“plasma expander”. Di dalam cairan koloid
terdapat zat/bahan yang mempunyai berat molekultinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan
cairan ini cenderung bertahan agak lama(waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler. Oleh karena
itu koloid sering digunakan untukresusitasi cairan secara cepat terutama pada syok
hipovolemik/hermorhagik atau pada penderitadengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein
yang banyak (misal luka bakar).Kerugian dari plasma expander yaitu mahal dan dapat menimbulkan
reaksi anafilaktik(walau jarang) dan dapat menyebabkan gangguan pada “cross match”.

4.2 Terapi Cairan Perioperatif

Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang umum terjadi pada pasien
bedah karena kombinasi dari faktor-faktor preoperatif, perioperatif dan postoperatif.

Faktor-faktor preoperatif: 3,6

1. Kondisi yang telah ada

Diabetes mellitus, penyakit hepar, atau insufisiensi renal dapat diperburuk oleh stres akibat

operasi.

2. Prosedur diagnostik

Arteriogram atau pyelogram intravena yang memerlukan marker intravena dapat menyebabkan ekskresi
cairan dan elektrolit urin yang tidak normal karena efek diuresisosmotik.

3. Pemberian obat

Pemberian obat seperti steroid dan diuretik dapat mempengaruhi eksresi air dan elektrolit

4. Preparasi bedah

Enema atau laksatif dapat menyebabkan peningkatan kehilangan air dan elekrolit
daritraktusgastrointestinal.

5. Penanganan medis terhadap kondisi yang telah ada

6. Restriksi cairan preoperatif


Selama periode 6 jam restriksi cairan, pasien dewasa yang sehat kehilangan cairan sekitar300-500 mL.
Kehilangan cairan dapat meningkat jika pasien menderita demam atau adanyakehilangan abnormal
cairan.

7. Defisit cairan yang telah ada sebelumnya

Harus dikoreksi sebelum operasi untuk meminimalkan efek dari anestesi.

Faktor Perioperatif: 3,6

1. Induksi anestesi

Dapat menyebabkan terjadinya hipotensi pada pasien dengan hipovolemia preoperatif karena

hilangnya mekanisme kompensasi seperti takikardia dan vasokonstriksi.

2. Kehilangan darah yang abnormal

3. Kehilangan abnormal cairan ekstraselular ke third space (contohnya kehilangan cairan

ekstraselular ke dinding dan lumen usus saat operasi)

4. Kehilangan cairan akibat evaporasi dari luka operasi (biasanya pada luka operasi yang

besar dan prosedur operasi yang berkepanjangan.

Faktor postoperatif: 3,6

1. Stres akibat operasi dan nyeri pasca operasi

2. Peningkatan katabolisme jaringan

3. Penurunan volume sirkulasi yang efektif

4. Risiko atau adanya ileus postoperatif

Gangguan cairan, elektrolit dan asam basa yang potensial terjadi perioperatif adalah :

- Hiperkalemia

- Asidosis metabolic

- Alkalosis metabolic

- Asidosis respiratorik

- Alkalosis repiratorik

4.2.1 Dasar-dasar Terapi Cairan Perioperatif


Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dan menjadi pegangan dalam pemberian

cairan perioperatif, yaitu :

Kebutuhan normal cairan dan elektrolit harian

Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan ± 40ml/kgBB/hari dan elektrolit utama

Na+=1-2 mmol/kgBB/hari dan K+= 1mmol/kgBB/hari. Kebutuhan tersebut merupakan pengganti

cairan yang hilang akibat pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan pengeluaran

lewat paru atau dikenal dengan insensible water losses. Cairan yang hilang ini pada umumnya

bersifat hipotonis (air lebih banyak dibandingkan elektrolit).

Defisit cairan dan elektrolit pra bedah

Hal ini dapat timbul akibat dipuasakannya penderita terutama pada penderita bedah

elektif (sektar 6-12 jam), kehilangan cairan abnormal yang seringkali menyertai penyakit

bedahnya (perdarahan, muntah, diare, diuresis berlebihan, translokasi cairan pada penderita

dengan trauma), kemungkinan meningkatnya insensible water loss akibat hiperventilasi, demam

dan berkeringat banyak. Sebaiknya kehilangan cairan pra bedah ini harus segera diganti sebelum

dilakukan pembedahan.

Kehilangan cairan saat pembedahan

a. Perdarahan2

Secara teoritis perdarahan dapat diukur dari : 1) Botol penampung darah yang disambung

dengan pipa penghisap darah (suction pump); 2)Kasa yang digunakan sebelum dan setelah

pembedahan. Kasa yang penuh darah (ukuran 4x4 cm) mengandung ± 10 ml darah, sedangkan

tampon besar (laparatomy pads) dapat menyerap darah ± 10-100 ml.

Dalam prakteknya jumlah perdarahan selama pembedahan hanya bias ditentukan

berdasarkan kepada taksiran (perlu pengalaman banyak) dan keadaan klinis penderita yang

kadang-kadang dibantu dengan pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit berulang-ulang


(serial). Pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit lebih menunjukkan rasio plasma

terhadap eritrosit daripada jumlah perdarahan. Kesulitan penaksiran akan bertambah bila pada

luka operasi digunakan cairan pembilas (irigasi) dan banyaknya darah yang mengenai kain

penutup, meja operasi dan lantai kamar bedah.

b. Kehilangan cairan lainnya

Pada setiap pembedahan selalu terjadi kehilangan cairan yang lebih menonjol

dibandingkan perdarahan sebagai akibat adanya evaporasi dan translokasi cairan internal.

Kehilangan cairan akibat penguapan (evaporasi) akan lebih banyak pada pembedahan dengan

luka pembedahan yang luas dan lama. Sedangkan perpindahan cairan atau lebih dikenal istilah

perpindahan ke ruang ketiga atau sequestrasi secara masif dapat berakibat terjadi defisit cairan

intravaskuler.

Jaringan yang mengalami trauma, inflamasi atau infeksi dapat mengakibatkan sequestrasi

sejumlah cairan interstitial dan perpindahan cairan ke ruangan serosa (ascites) atau ke lumen

usus. Akibatnya jumlah cairan ion fungsional dalam ruang ekstraseluler meningkat. Pergeseran

cairan yang terjadi tidak dapat dicegah dengan cara membatasi cairan dan dapat merugikan

secara fungsional cairan dalam kompartemen ekstraseluler dan juga dapat merugikan fungsional

cairan dalam ruang ekstraseluler.

Gangguan fungsi ginjal

Trauma, pembedahan dan anestesia dapat mengakibatkan: Laju Filtrasi Glomerular (GFR

= Glomerular Filtration Rate) menurun, reabsorbsi Na+ di tubulus meningkat yang sebagian

disebabkan oleh meningkatnya kadar aldosteron, meningkatnya kadar hormon anti diuretik

(ADH) menyebabkan terjadinya retensi air dan reabsorpsi Na+ di duktus koligentes (collecting

tubules) meningkat, Ginjal tidak mampu mengekskresikan “free water” atau untuk menghasilkan

urin hipotonis.

4.2.2 Pengganti defisit Pra bedah


Defisit cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa, lavement) harus

diperhitungkan dan sedapat mungkin segera diganti pada masa pra-bedah sebelum induksi.

Setelah dari sisa defisit yang masih ada diberikan pada jam pertama pembedahan, sedangkan

sisanya diberikan pada jam kedua berikutnya.2,6

Kehilangan cairan di ruang ECF ini cukup diganti dengan ciran hipotonis seperti garam

fisiologis, Ringer Laktat dan Dextrose. Pada penderita yang karena penyakitnya tidak mendapat

nutrisi yang cukup maka sebaiknya diberikan nutrisi enteral atau parenteral lebih dini lagi.

Penderita dewasa yang dipuasakan karena akan mengalami pembedahan (elektif) harus

mendapatkan penggantian cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam lama puasa.

Defisit karena perdarahan atau kehilangan cairan (hipovolemik, dehidrasi) yang

seringkali menyertai penyulit bedahnya harus segera diganti dengan melakukan resusitasi cairan

atau rehidrasi sebelum induksi anestesi.6

4.2.3 Terapi cairan selama pembedahan

Jumlah penggantian cairan selama pembedahan dihitung berdasarkan kebutuhan dasar

ditambah dengan kehilangan cairan akibat pembedahan (perdarahan, translokasi cairan dan

penguapan atau evaporasi). Jenis cairan yang diberikan tergantung kepada prosedur

pembedahannya dan jumlah darah yang hilang.

Jenis Operasi Kebutuhan Cairan

(sampai dengan)

Minor (Tendon repair,

Tympanoplasty

3 mL/KgBB/Jam

Moderate (Histrektomi,

Inguinal Hernia

6 mL/KgBB/Jam
Major (Total hips

replacement, peritonitis)

9 mL/KgBB/Jam

Tabel 5. Perkiraan Jumlah Cairan Berdasarkan Jenis Operasi.

4.2.4 Terapi Penggantian Darah

Kehilangan darah sampai sekitar 20% EBV (EBV = Estimated Blood Volume = taksiran

volume darah), akan menimbulkan gejala hipotensi, takikardi dan penurunan tekanan vena

sentral. Kompensasi tubuh ini akan menurun pada seseorang yang akan mengalami pembiusan

(anestesi) sehingga gejala-gejala tersebut seringkali tidak begitu tampak karena depresi

komponen vasoaktif.

Usia Volume Darah

Prematur Neonatus 90 Kg/BB

Fullterm Neonatus 85 Kg/BB

Bayi 80 Kg/BB

Laki-laki 70-75 Kg/BB

Wanita 60-65 Kg/BB

Walaupun volume cairan intravaskuler dapat dipertahankan dengan larutan kristaloid,

pemberian transfusi darah tetap harus menjadi bahan pertimbangan berdasarkan: 1) Keadaan

umum penderita ( kadar Hb dan hematokrit) sebelum pembedahan; 2) Jumlah/penaksiran

perdarahan yang terjadi; 3) Sumber perdarahan yang telah teratasi atau belum; 4) Keadaan

hemodinamik (tensi dan nadi); 5) Jumlah cairan kristaloid dan koloid yang telah diberikan; 6)

Kalau mungkin hasil serial pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit; 7) Usia penderita.

Sebagai patokan kasar dalam pemberian transfusi darah:

- 1 unit sel darah merah (PRC = Packed Red Cell) dapat menaikkan kadar hemoglobin sebesar
1gr% dan hematokrit 2-3% pada dewasa.

- Transfusi 10 cc/kgBB sel darah merah dapat menaikkan kadar hemoglobin 3gr% Monitor

organ-organ vital dan diuresis, berikan cairan secukupnya sehingga diuresis ± 1 ml/kgBB/jam

4.2.5 Terapi Cairan dan Elektrolit Pasca Bedah. Ditujukan terutama pada hal-hal di bawah ini:

1. Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi. Kebutuhan air untuk

penderita di daerah tropis dalam keadaan basal sekitar ± 50 ml/kgBB/24 jam. Pada hari

pertama pasca bedah tidak dianjurkan pemberian kalium karenaadanya pelepasan kalium dari

sel/jaringan yang rusak, proses katabolisme dan transfusi darah. Akibat stress pembedahan,

akan dilepaskan aldosteron dan ADH yang cenderung menimbulkan retensi air dan natrium.

Oleh sebab itu, pada 2-3 hari pasca bedah tidak perlu pemberian natrium. Penderita dengan

keadaan umum baik dan trauma pembedahan minimum, pemberian karbohidrat 100-150

mg/hari cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan kalori dan dapat menekan pemecahan

protein sampai 50% kadar albumin harus dipertahankan melebihi 3,5 gr%. Penggantian

cairan pasca bedah cukup dengan cairan hipotonis dan bila perlu larutan garam isotonis.

Terapi cairan ini berlangsung sampai penderita dapat minum dan makan.

2. Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah:Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat
sekitar 15% setiap kenaikan 1°C suhu tubuh

- Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung atau muntah.

- Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui trakeostomi dan humidifikasi.

3. Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama pembedahan yang belum

selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gr%, sebaiknya diberikan transfusi darah

untuk memperbaiki daya angkut oksigen.

4. Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan tersebut.

Monitoring organ-organ vital dilanjutkan secara seksama meliputi tekanan darah, frekuensi

nadi, diuresis, tingkat kesadaran, diameter pupil, jalan nafas, frekuensi nafas, suhu tubuh dan

warna kulit.

Anda mungkin juga menyukai