Pendahuluan
Kebutuhan manusia tidak lepas dari keberadaan hutan sebagai sumber penyedia kayu
yang utama. Luas hutan alam Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat
mengkhawatirkan. Indonesia telah kehilangan hutan alamnya sebesar 72% (World
Resource Institute, 2003). Menipisnya potensi hutan di Indonesia salah satu penyebabnya
yaitu adanya peningkatan kebutuhan manusia akan produk hutan berupa kayu. Kayu yang
secara komersial memiliki nilai ekonomis yang tinggi menjadi alasan terjadinya deforestasi
atau kerusakan hutan.
Akibatnya, pasokan kayu untuk bahan konstruksi beralih dari kayu komersial menjadi
kayu non komersial yang memiliki nilai keawetan rendah. Dari banyaknya jenis kayu,
hanya sebagian kecil yang mempunyai keawetan tinggi yaitu sebanyak 14,3 % termasuk
kelas awet I dan II. Sisanya terdiri dari jenis kayu yang kurang atau tidak awet yaitu 85,7 %
termasuk kelas awet III, IV dan V, sehingga untuk dapat memperpanjang umur pakai kayu
harus dilakukan pengeringan dan pengawetan terlebih dahulu.
II. Tinjauan Pustaka
A. Pengeringan Kayu
Pengeringan kayu adalah proses untuk mengeluarkan air yang terdapat pada kayu.
Kadar air kayu memberikan pengaruh yang sangat besar pada pemakaian kayu. Untuk
berbagai macam kegunaan dengan kondisi udara tertentuk kayu memerlukan batas
kandungan kadar air. Oleh karena itu masalah pengeringan merupakan faktor yang penting
pada kayu. Dengan adanya pengeringan akan diperoleh keuntungan-keuntungan sebagai
berikut :
Menjamin kestabilan dimensi kayu. Sebab dibawah titik jenuh serat, perubahan kadar
air dapat mengakibatkan kembang susut pada kayu. Sebaliknya bila kayu dikeringkan
sampai mendekati kadar air lingkungan, maka sifat kembang susut ini akan dapat
teratasi bahkan dapat diabaikan.
Menambah kekuatan kayu. Makin rendah kadar air kayu yang dikandung maka akan
semakin kuat kayu tersebut.
Membuat kayu menjadi ringan. Dengan demikian ongkos angkutan berkurang.
Mencegah serangan jamur dan bubuk kayu. Sebab umumnya jasad renik perusak kayu
atau jamur tak dapat hidup dibawah kadar air 20%.
Memudahkan pengerjaan selanjutnya, antara lain : pengetaman, perekatan, finishing,
pengawetan serta proses-proses kelanjutan lainnya (Ariyanti dan Erniwaty, 2000).
Pergerakan air pada kayu terjadi dari daerah berkelembaban tinggi ke daerah
berkelembaban lebih rendah. Kayu akan mengering dari bagian luar ke bagian dalam kayu.
Dengan kata lain permukaan kayu lebih cepat mengering daripada bagian dalamnya.
Proses keluarnya air pada proses pengeringan disebut proses evaporasi. Evaporasi akan
terjadi bila kadar air di dalam kayu lebih besar dari kadar air keseimbangan. Selama proses
pengeringan kayu berlangsung, yang terlebih dahulu keluar adalah air bebas yang terdapat
pada rongga sel. Setelah itu menyusul air yang terikat pada dinding-dinding sel. Keadaan
titik air bebas telah habis keluar, tetapi air terikat masih dalam keadaan jenuh, dinamakan
keadaan titik jenuh serat. Perubahan kadar air yang dialami kayu pada keadaan di atas titik
jenuh serat ini tidak akan mempengaruhi bentuk dan ukuran kayu. Tetapi segala
perubahan kadar air di bawah titik jenuh serat akan mengakibatkan perubahan bentuk dan
ukuran kayu. Oleh sebab itu, perubahan-perubahan kadar air di bawah titik jenuh serat
sangat mempengaruhi sifat-sifat fisika dan mekanika kayu (Ariyanti dan Erniwaty, 2000).
Pengeringan yang umum dipergunakan yaitu:
1. Pengeringan Alam
Proses pengeringan secara alami dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
Iklim : besar/kecilnya curah hujan, intensitas penyinaran matahari, ada tidaknya kabut.
Suhu : didalam keadaan udara yang tetap, makin tinggi suhu, makin cepat kayu
mengering.
Peredaran udara : berfungsi mengganti udara yang basah dengan udara yang kering
sehingga pengeringan dipercepat.
Kadar air awal : jika pada awal pengeringan kayunya masih segar, maka makin lama
waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkannya.
Jenis kayu : pada umumnya kayu daun jarum lebih cepat mengering daripada kayu daun
lebar.
Letak kayu : umumnya kayu gubal lebih cepat mengering daripada kayu teras.
Ukuran kayu : tebal atau tipisnya kayu yang akan dikeringkan.
Cara penyusunannya menggunakan ganjel/sticker
2. Pengeringan Buatan
Pengeringan ini merupakan lanjutan dari perkembangan pengeringan alami. Dengan
kemajuan dan perkembangan teknologi modern, meningkatnya permintaan akan kayu
berkualitas tinggi, maka usaha pengeringan buatan yang lebih efektif dan lebih efisien
dibanding dengan pengeringan alami (Ariyanti dan Erniwaty, 2000).
Pengeringan buatan terbagi atas 2 macam, yaitu :
a. Compartment kiln
Tingkat kekeringan kayu sama
Pintu masuk lori sama dengan pintu keluar
Arah pergerakan udara sama dengan arah lori
Tidak membutuhkan ruang yang besar
b. Progressive kiln
Tingkat kekeringan kayu berbeda
Pintu masuk dan pintu keluar tidak sama
Arah pergerakan udara berlawanan dengan arah lori
Membutuhkan ruang yang besar (berbentuk terowongan)
B. Pengawetan Kayu
1. Pengawetan Kayu
Pengawetan kayu tidak lain adalah proses memasukkan bahan pengawet ke dalam
kayu untuk melindungi diri dari serangan organisme perusak seperti serangga, jamur dan
binatang laut (Hunt dan Garratt 1986; Dumanauw 2001). Pada prinsipnya, tindakan
pengawetan kayu berfungsi untuk mencegah atau mengurangi kerusakan kayu yang
diakibatkan oleh berbagai mikroorganisme perusak kayu. Tujuan dari pengawetan kayu
adalah untuk meningkatkan masa pakai kayu sehingga menurunkan biaya akhir produk
dan menghindarkan penggantian kayu yang berulang.
Sebelum diawetkan, bentuk dan ukuran kayu harus sudah final sehingga tidak ada lagi
proses pengerjaan terhadap kayu (pemotongan, pengampelasan dan lain sebagainya)
setelah kayu diawetkan. Kadar air kayu juga harus disesuaikan dengan metode pengawetan
yang akan dilakukan. Pada umumnya sebelum diawetkan, kayu harus dalam keadaan
kering udara kecuali apabila diawetkan dengan metode difusi.
Keefektifan suatu bahan pengawet tergantung pada daya racun yang dimiliki (Hunt
dan Garratt 1986), sedangkan keberhasilan proses pengawetan yang dilakukan dilihat dari
nilai retensi dan penetrasi yang dihasilkan (SNI 03-5010.1-1999). Kayu yang sudah
diawetkan umumnya disebut kayu awetan.
Menurut Nandika et al. (1996), manfaat yang diperoleh melalui penerapan pengawetan
kayu antara lain:
Nilai guna jenis-jenis kayu kurang awet dapat meningkat secara nyata, sejalan dengan
peningkatan umur pakainya.
Biaya untuk perbaikan dan penggantian kayu dalam suatu penggunaan akan berkurang.
Dalam jangka panjang, kelestarian hutan lebih terjamin karena konsumsi kayu per
satuan waktu lebih rendah.