Asuhan Keperawatan Winda
Asuhan Keperawatan Winda
Pendahuluan
Di seluruh dunia kejadian HIV menyebar luas. Pada akhir tahun 2004, program
HIV/AIDS di US memperkirakan 2,5 juta anak dibawah usia 15 tahun terkena HIV/AIDS.
Ditambah lagi sekitar 500.000 anak pada kelompok yang sama meninggal karena
penyakit tersebut setiap tahunnya. Di US 90% infeksi HIV/AIDS yang dialami anak
merupakan infeksi yang didapatkan saat lahir. Efek dari penyakit ini pada anak-anak
berbeda bila dibandingkan dengan orang dewasa, dilaporkan dari hasil penelitian
Juli/Agustus 2006 dalam General Dentisrty, Journal AGD clinical.Tipe, keparahan dan
progresi gejalanya pun berbeda, tergantung dari usia saat mereka menderita sakit
(Chika, 2007).
Anak-anak tidak menunjukkan gejala spesifik dari HIV, berbeda dengan orang
dewasa, dikatakan Kishore Shetty, DDS, pemimpin penelitian ini. Tubuh mereka akan
lebih menunjukkan adanya infeksi atau kelemahan daripada tanda HIV nya sendiri
(Chika, 2007).
Selama kurun waktu 3,5 tahun terakhir, terdapat 11 pasien HIV anak di RS Dr Sardjito
Jogja, tiga di antaranya meninggal. Usia penderita HIV anak ini 1- 4 tahun. . Ibarat
gunung es, fenomena ini hanya bagian puncaknya saja. Masih banyak kasus yang
belum terlaporkan dan masuk ke rumah sakit. Selain juga terjadi di beberapa rumah
sakit daerah dan swasta, diperkirakan ada pasien-pasien lain yang belum terdeteksi.
Mengutip data WHO, pada tahun 2005 lalu, terdapat 540 ribu kasus baru anak-anak
penderita HIV di seluruh dunia. Sebagian besar kasus-kasus ini mendapatkan infeksi
melalui transmisi ibu-anak (MTCT: Mother to Child Transmition). Kondisi ini dapat
terjadi pada saat kehamilan, persalinan atau selama masa menyusui. Untuk
pencegahannya, diperlukan langkah-langkah strategis dan secara komprehensif.
Antara lain dengan pencegahan secara primer. Pencegahan kehamilan pada wanita
yang tinggal dengan penderita HIV, pencegahan penularan dari ibu HIV kepada
bayinya, dan perawatan, pendampingan serta terapi kepada ibu, anak dan keluarga
penderita.
Sementara, untuk anak di bawah umur 15 tahun yang telah terinfeksi jumlahnya
mencapai 55 orang. Dari data Departemen Kesehatan, 2, 7 persen anak di bawah usia
5 tahun di Indonesia sudah terinfeksi HIV. Steorotipe buruk pada penyakit HIV/AIDS
membuat sebagian penderitanya memilih menutup diri dan merahasiakan
penyakitnya. Data yang diketahui masyarakat hanya 10 persen dari jumlah riil
pengidap. Sebab, diduga ada 230 ribu masyarakat Indonesia yang terinfeksi. Ancaman
HIV/AIDS terus meningkat. Jika tak ditanggulangi, jumlah orang meninggal karena
penyakit ini bisa meledak. Di China, misalnya, AIDS menjadi penyebab utama
kematian (Kristianti, 2009).
Landasan Teori
Anatomi dan Fisiologi
1. Sistem Limfoid
Sistem limfoid terdiri dari berbagai sel, jaringan dan organ yang
merupakan tempat prekursor dan turunan limfosit berasal, berdiferensiasi,
mengalami pematangan dan tersangkut. Semua sel darah berasal dari
prekursor bersama, yaitu sel bakal pluripotensial. Sel bakal pluripotensial
adalah sel-sel embrionik yang dapat membentuk bermacam-macam sel
hematopoetik dan dapat membelah diri. Sel-sel ini ditemukan dalam
sumsum tulang dan jaringan hematopoetik lain serta menghasilkan semua
komponen darah (misalnya, eritrosit, trombosit, granulosit, monosit dan
limfosit).
4. Imunitas Selular
Peran sel T dapat dibagi menjadi dua fungsi utama : fungsi regulator dan
fungsi efektor. Fungsi regulator terutama dilakukan oleh salah satu subset
sel T, sel T penolong (CD4). Sel-sel CD4 mengeluarkan molekul yang dikenal
dengan nama sitokin (protein berberat molekul rendah yang disekresikan
oleh sel-sel sistem imun) untuk melaksanakan fungsi regulatornya. Sitokin
dari sel CD4 mengendalikan proses imun seperti pembentukan imunoglobulin
oleh sel B, pengaktivan sel T lain dan pengaktifan makrofag. Fungsi efektor
dilakukan oleh sel T sitotoksik (sel CD8). Sel-sel CD8 ini mampu mematikan
sel yang terinfeksi oleh virus, sel tumor dan jaringan transplantasi dengan
menyuntikkan zat kimia yang disebut perforin ke dalam sasaran "asing". Baik
sel CD4 dan CD8 menjalani pendidikan timus di kelenjar timus untuk belajar
mengenal fungsi.
Ada dua tipe umum imunitas, yaitu : alami (natural) dan didapat
(akuisita). Imunitas alami yang merupakan kekebalan non spesifik sudah
ditemukan pada saat lahir. Sedangkan imunitas di dapat atau imunitas
spesifik terbentuk sesudah lahir. Imunitas alami akan memberikan respon
nonspesifik terhadap setiap penyerang asing tanpa memperhatikan
komposisi penyerang tersebut. Dasar pertahanan alami semata-mata berupa
kemampuan untuk membedakan antara sahabat dan musuh atau antara "diri
sendiri" dan "bukan diri sendiri". Mekanisme alami semacam ini mencakup
sawar (barier) fisik dan kimia, kerja sel-sel darah putih dan respon
inflamasi.
Definisi
Menurut Judarwanto (2008) infeksi HIV adalah penyakit yang diakibatkan oleh
infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). AIDS adalah penyakit yang
menunjukkan adanya sindrom defisiensi imun selular sebagai akibat infeksi HIV. Suati
kondisi klinis yang disebabkan oleh infeksi virus HIV yang dapat menyebabkan
acquired immune deficiency syndrome (AIDA) (Barhers, 2008).
Etiologi
Patofisiologi
Meskipun HIV dapat ditemukan pada cairan tubuh pengidap HIV seperti air
ludah (saliva) dan air mata serta urin, namun ciuman, berenang di kolam
renang atau kontak sosial seperti pelukan dan berjabatan tangan, serta dengan
barang yang dipergunakan sehari-hari bukanlah merupakan cara untuk
penularan. Oleh karena itu, seorang anak yang terinfeksi HIV tetapi belum
memberikan gejala AIDS tidak perlu dikucilkan.
Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan virus tersebut ke bayi yang
dikandungnya. Cara transmisi ini dinamakan juga transmisi secara vertikal.
Transmisi dapat terjadi melalui plasenta (intrauterin) intrapartum, yaitu pada
waktu bayi terpapar dengan darah ibu atau sekret genitalia yang mengandung
HIVselama proses kelahiran, dan post partum melalui ASI. Transmisi dapat
terjadi pada 20-50% kasus (Judarwanto, 2008).
Faktor prediktor penularan adalah stadium infeksi ibu, kadar Limfosit T CD4
dan jumlah virus pada tubuh ibu, penyakit koinfeksi hepatitis B, CMV atau penyakit
menular seksual lain pada ibu, serta apakah ibu pengguna narkoba suntik sebelumnya
dan tidak minum obat ARV selama hamil. Proses intrapartum yang sulit juga akan
meningkatkan transmisi, yaitu lamanya ketuban pecah, persalinan per vagina dan
dilakukannya prosedur invasif pada bayi. Selain itu prematuritas akan meningkatkan
angka transmisi HIV pada bayi.
HIV dapat diisolasi dari ASI pada ibu yang mengandung HIV di dalam tubuhnya
baik dari cairan ASI maupun sel-sel yang berada dalam cairan ASI (limfosit, epitel
duktus laktiferus). Risiko untuk tertular HIV melalui ASI adalah 11-29%. Bayi yang lahir
dari ibu HIV (+) dan mendapat ASI tidak semuanya tertular HIV, dan hingga kini belum
didapatkan jawaban pasti; tetapi diduga IgA yang terlarut berperan dalam proses
pengurangan antigen. WHO menganjurkan untuk negara dengan angka kematian bayi
tinggi dan akses terhadap pengganti air susu ibu rendah, pemberian ASI eksklusif
sebagai pilihan cara nutrisi bagi bayi yang lahir dari ibu HIV (+). Transmisi melalui
perawatan ibu ke bayinya belum pernah dilaporkan (Judarwanto, 2008).
Infeksi primer terjadi bila virion HIV dalam darah, semen, atau cairan tubuh
lainnya dari seseorang masuk ke dalam sel orang lain melalui fusi yang diperantarai
oleh reseptor gp120 atau gp41. Tergantung dari tempat masuknya virus, sel T CD4+
dan monosit di darah, atau sel T CD4+ dan makrofag di jaringan mukosa merupakan
sel yang pertama terkena. Sel dendrit di epitel tempat masuknya virus akan
menangkap virus kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening. Sel dendrit
mengekspresikan protein yang berperan dalam pengikatan envelope HIV, sehingga sel
dendrit berperan besar dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Di jaringan limfoid,
sel dendrit dapat menularkan HIV ke sel T CD4+ melalui kontak langsung antar sel
(Judarwanto, 2008).
Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam
jumlah banyak dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini menyebabkan
viremia disertai dengan sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik seperti infeksi
virus lainnya). Virus menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksi sel T subset CD4 atau
T helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer. Setelah penyebaran
infeksi HIV, terjadi respons imun adaptif baik humoral maupun selular terhadap
antigen virus. Respons imun dapat mengontrol sebagian dari infeksi dan produksi
virus, yang menyebabkan berkurangnya viremia dalam 12 minggu setelah paparan
pertama (Judarwanto, 2008).
Setelah infeksi akut, terjadilah fase kedua dimana kelenjar getah bening dan
limpa menjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem imun
masih kompeten mengatasi infeksi mikroba oportunistik dan belum muncul
manifestasi klinis infeksi HIV, sehingga fase ini disebut juga masa laten klinis (clinical
latency period). Pada fase ini jumlah virus rendah dan sebagian besar sel T perifer
tidak mengandung HIV. Kendati demikian, penghancuran sel T CD4+ dalam jaringan
limfoid terus berlangsung dan jumlah sel T CD4+ yang bersirkulasi semakin berkurang
(Judarwanto, 2008).
Lebih dari 90% sel T yang berjumlah 1012 terdapat dalam jaringan limfoid, dan
HIV diperkirakan menghancurkan 1-2 x 109 sel T CD4+ per hari. Pada awal penyakit,
tubuh dapat menggantikan sel T CD4+ yang hancur dengan yang baru. Namun setelah
beberapa tahun, siklus infeksi virus, kematian sel T, dan infeksi baru berjalan terus
sehingga akhirnya menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4+ di jaringan limfoid dan
sirkulasi.Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain, dan respons
imun terhadap infeksi tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi jaringan
limfoid. Transkripsi gen HIV dapat ditingkatkan oleh stimulus yang mengaktivasi sel T,
seperti antigen dan sitokin. Sitokin (misalnya TNF) yang diproduksi sistem imun
alamiah sebagai respons terhadap infeksi mikroba, sangat efektif untuk memacu
produksi HIV. Jadi, pada saat sistem imun berusaha menghancurkan mikroba lain,
terjadi pula kerusakan terhadap sistem imun oleh HIV (Judarwanto, 2008).
Penyakit HIV berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS dimana
terjadi destruksi seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4+ dalam darah
kurang dari 200 sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastis. Pasien AIDS menderita
infeksi oportunistik, neoplasma, kaheksia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal
(nefropati HIV), dan degenerasi susunan saraf pusat (ensefalopati HIV) (Judarwanto,
2008).
Pathways
Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis infeksi HIV pada anak bervariasi dari asimtomatis sampai
penyakit berat yang dinamakan AIDS. AIDS pada anak terutama terjadi pada umur
muda karena sebagian besar (>80%) AIDS pada anak akibat transmisi vertikal dari ibu
ke anak. Lima puluh persen kasus AIDS anak berumur < l tahun dan 82% berumur <3
tahun. Meskipun demikian ada juga bayi yang terinfeksi HIV secara vertikal belum
memperlihatkan gejala AIDS pada umur 10 tahun.Gejala klinis yang terlihat adalah
akibat adanya infeksi oleh mikroorganisme yang ada di lingkungan anak. Oleh karena
itu, manifestasinya pun berupa manifestasi nonspesifik berupa gagal tumbuh, berat
badan menurun, anemia, panas berulang, limfadenopati, dan hepatosplenomegali
(Judarwanto, 2008).
Gejala yang menjurus kemungkinan adanya infeksi HIV adalah adanya infeksi
oportunistik, yaitu infeksi dengan kuman, parasit, jamur, atau protozoa yang lazimnya
tidak memberikan penyakit pada anak normal. Karena adanya penurunan fungsi imun,
terutama imunitas selular, maka anak akan menjadi sakit bila terpajan pada
organisme tersebut, yang biasanya lebih lama, lebih berat serta sering berulang.
Penyakit tersebut antara lain kandidiasis mulut yang dapat menyebar ke esofagus,
radang paru karena Pneumocystis carinii, radang paru karena mikobakterium atipik,
atau toksoplasmosis otak. Bila anak terserang Mycobacterium tuberculosis,
penyakitnya akan berjalan berat dengan kelainan luas pada paru dan otak. Anak
sering juga menderita diare berulang (Judarwanto, 2008).
Manifestasi klinis lainnya yang sering ditemukan pada anak adalah pneumonia
interstisialis limfositik, yaitu kelainan yang mungkin langsung disebabkan oleh HIV
pada jaringan paru. Manifestasi klinisnya berupa hipoksia, sesak napas, jari tabuh,
dan limfadenopati. Secara radiologis terlihat adanya infiltrat retikulonodular difus
bilateral, terkadang dengan adenopati di hilus dan mediastinum (Judarwanto, 2008).
Manifestasi klinis yang lebih tragis adalah yang dinamakan ensefalopati kronik
yang mengakibatkan hambatan perkembangan atau kemunduran ketrampilan motorik
dan daya intelektual, sehingga terjadi retardasi mental dan motorik. Ensefalopati
dapat merupakan manifestasi primer infeksi HIV. Otak menjadi atrofi dengan
pelebaran ventrikel dan kadangkala terdapat kalsifikasi. Antigen HIV dapat ditemukan
pada jaringan susunan saraf pusat atau cairan serebrospinal (Judarwanto, 2008).
Seperti dengan orang dewasa, ada beberapa tanda dan gejala yang seharusnya
menimbulkan kecurigaan bahwa anak terinfeksi HIV. Ini termasuk: berat bada
menurun, atau gagal tumbuh; diare lebih dari 14 hari; demam lebih dari satu bulan;
infeksi saluran pernapasan bagian bawah yang parah atau menetap; batuk kronis; dan
infeksi oportunistik sama yang dialami oleh orang dewasa. Tes HIV umum akan
menunjukkan hasil positif selama beberapa bulan jika ibunya terinfeksi HIV, walaupun
anak mungkin tidak terinfeksi. Jadi, jika hasil tes anak adalah positif, ini bukti bahwa
ibunya HIV, dan karena itu, penting ibu diberi konseling sebelum anaknya dites
(Anonim, 2008).
Menurut Hidayat (2008) secara umum perjalanan infeksi HIV dan AIDS dalam
empat stadium antara lain :
1. Stadium HIV
4. Stadium AIDS
Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
Menurut Hidayat (2008) diagnosis HIV dapat tegakkan dengan menguji HIV. Tes
ini meliputi tes Elisa, latex agglutination dan western blot. Penilaian Elisa dan latex
agglutination dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi HIV atau tidak, bila
dikatakan positif HIV harus dipastikan dengan tes western blot. Tes lain adalah
dengan cara menguji antigen HIV, yaitu tes antigen P 24 (polymerase chain reaction)
atau PCR. Bila pemeriksaan pada kulit, maka dideteksi dengan tes antibodi (biasanya
digunakan pada bayi lahir dengan ibu HIV.
1. Perawatan
Menurut Hidayat (2008) perawatan pada anak yang terinfeksi HIV antara
lain:
Hingga kini belum ada penyembuhan untuk infeksi HIV dan AIDS.
Penatalaksanaan AIDS dimulai dengan evaluasi staging untuk menentukan
perkembangan penyakit dan pengobatan yang sesuai. Anak dikategorikan
dengan menmggunakan tiga parameter : status kekebalan, status infeksi
dan status klinik dalam kategori imun : 1) tanpa tanda supresi, 2) tanda
supresi sedang dan 3) tanda supresi berat. Seorang anak dikatakan dengan
tanda dan gejala ringan tetapi tanpa bukti adanya supresi imun
dikategorikan sebagai A2. Status imun didasarkan pada jumlah CD$ atau
persentase CD4 yang tergantung usia anak (Betz dan Sowden, 2002).
Pengkajian
Menurut Wong (2004) hal-hal yang perlu dikaji pada anak dengan HIV antara
lain :
Diagnosa Keperawatan
Menurut Wong (2004) diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan pada anak
dengan HIV antara lain:
Intervensi Keperawatan
Intervensi
1. Pertahankan lingkungan sejuk, dengan menggunakan
piyama dan selimut yang tidak tebal serta pertahankan suhu
ruangan antara 22o dan 24 oC
Tujuan
keseimbangan cairan tubuh adekuat dengan kriteria hasil : tidak ada ada
tanda-tanda dehidrasi (tanda-tanda vital stabil, kualitas denyut nadi baik, turgor kulit
normal, membran mukosa lembab dan pengeluaran urine yang sesuai).
Intervensi :
Intervensi
1. Berikan makanan dan kudapan tinggi kalori dan tinggi
protein
Rasional : Untuk memenuhi kebutuhan tubuh untuk
metabolisme dan pertumbuhan
Intervensi
1. Bantu anak dalam mengidentifikasi kekuatan pribadi
Pasien tidak menunjukkan atau tidak ada bukti nyeri atau peka
rangsang dengan kriteria hasil bukti-bukti atau peka rangsang yang
ditunjukkan anak minimal atau tidak ada
Intervensi
1. Kaji nyeri
2. Gunakan strategi nonfarmakologis
Intervensi
1. Kenali masalah keluarga dan kebutuhan akan informasi dan
dukungan
Pembahasan
Sejak seseorang terinfeksi HIV, ada masa jendela (window period) hingga tiga
bulan. Di bawah waktu tiga bulan itu infeksi HIV tak terdeteksi walaupun melalui tes
darah. Setelah masa jendela, virus HIV di dalam tubuh masuk pada periode laten,
sebelum masuk fase AIDS. Periode laten itu bagi orang dewasa bisa berlangsung 10-15
tahun. Pada anak-anak, periode laten ini bisa sangat pendek. Untuk masuk fase AIDS
bisa sangat cepat, tidak perlu menunggu waktu 10-15 tahun. Jika kondisi anak bisa
diketahui sejak awal, maka penanganan akan lebih mudah. Namun, sering terjadi
anak dibawa ke rumah sakit ketika sudah pada tahap AIDS. Karena itu penanganannya
jadi lebih sulit. Jika status anak bisa terdeteksi sejak awal, maka perlakuan yang bisa
diberikan adalah pemberian obat Anti Retro Viral (ARV) untuk menahan laju virus HIV
di tubuhnya. Dengan mengonsumsi ARV secara rutin maka kemungkinan anak bisa
bertahan lebih lama. Bahkan, ada yang kini sudah berumur 10 tahun.
Dalam kehidupan sehari-hari, risiko penularan HIV kecil. HIV tidak menular
melalui kontak sosial. Karena itu, menurutnya, pergaulan anak-anak yang mengidap
HIV tak perlu dibatasi. Jika anak HIV positif terjatuh dan berdarah, agar dihindarkan
dari kontak langsung dengan orang lain. Luka yang berdarah itu cukup dibasuh dengan
air mengalir, lalu luka ditutup dengan perban atau plester. HIV pada anak umumnya
ditularkan oleh ibu yang mengidap HIV/AIDS. Penularan virus HIV bisa terjadi pada
saat bayi dalam kandungan, saat melahirkan, dan saat menyusui. Namun, seorang bayi
tidak otomatis mengidap virus HIV kendati ibunya positif.
Menurut Betz dan Sowden (2002) intervensi keperawatan yang dapat dilakukan
oleh seorang perawat terhadap anak dan ibu yang sudah menderita infeksi HIV antara
lain :
1. Lindungi bayi, anak atau remaja dari kontak infeksius, meskipun kontak biasa
dari orang ke orang tidak menularkan HIV
2. Cegah penularan infeksi HIV dengan membersihkan bekas darah atau cairan
tubuh lain dengan larutan khusus, pakai sarung tangan lateks bila akan terpajan darah
atau cairan tubuh, pakai masker dengan pelindung mata jika ada kemungkinan
terdapat aerosolisasi atau terkena percikan darah atau cairan tubuh, cuci tangan
setelah terpajan darah atau cairan tubuh dan sesudah lepasa sarung tangan, sampah-
sampah yang terrkontaminasi darah dimasukkan ke dalam kantong plastik limbah
khusus.
3. Lindungi anak dari kontak infeksius bila tingkat kekebalan anak rendah dengan
cara lakukan skrining infeksi, tempatkan anak bersama anak yang non infeksi dan
batasi pengunjung dengan penyakit infeksi
4. Kaji pencapaian perkembangan anak sesuai usia dan pantau pertumbuhan
(tinggi badan, berat badan, lingkar kepala
5. Bantu keluarga untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menghambat
kepatuhan terhadap perencanaan pengobatan
6. Ajarkan pada anak dan keluarga untuk menghubungi tim kesehatan bila
terdapat tanda-tanda dan gejala infeksi, ajarkan pada anak dan keluarga
memberitahu dokter tentang adanya efek samping
7. Ajarkan pada anak dan keluarga tentang penjadualan pemeriksaan tindak
lanjut : nama dan nomor telepon dokter serta anggota tim kesehatan lain yang sesuai,
tanggal dan waktu serta tujuan kunjungan pemeriksaan tindak lanjut
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan pada ibu dan anak yang belum
terinfeksi HIV antara lain :
Daftar Pustaka