Anda di halaman 1dari 27

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN HIV (Human Immnunodeficiency Virus)

 Pendahuluan

Di seluruh dunia kejadian HIV menyebar luas. Pada akhir tahun 2004, program
HIV/AIDS di US memperkirakan 2,5 juta anak dibawah usia 15 tahun terkena HIV/AIDS.
Ditambah lagi sekitar 500.000 anak pada kelompok yang sama meninggal karena
penyakit tersebut setiap tahunnya. Di US 90% infeksi HIV/AIDS yang dialami anak
merupakan infeksi yang didapatkan saat lahir. Efek dari penyakit ini pada anak-anak
berbeda bila dibandingkan dengan orang dewasa, dilaporkan dari hasil penelitian
Juli/Agustus 2006 dalam General Dentisrty, Journal AGD clinical.Tipe, keparahan dan
progresi gejalanya pun berbeda, tergantung dari usia saat mereka menderita sakit
(Chika, 2007).

Anak-anak tidak menunjukkan gejala spesifik dari HIV, berbeda dengan orang
dewasa, dikatakan Kishore Shetty, DDS, pemimpin penelitian ini. Tubuh mereka akan
lebih menunjukkan adanya infeksi atau kelemahan daripada tanda HIV nya sendiri
(Chika, 2007).
Selama kurun waktu 3,5 tahun terakhir, terdapat 11 pasien HIV anak di RS Dr Sardjito
Jogja, tiga di antaranya meninggal. Usia penderita HIV anak ini 1- 4 tahun. . Ibarat
gunung es, fenomena ini hanya bagian puncaknya saja. Masih banyak kasus yang
belum terlaporkan dan masuk ke rumah sakit. Selain juga terjadi di beberapa rumah
sakit daerah dan swasta, diperkirakan ada pasien-pasien lain yang belum terdeteksi. 

Mengutip data WHO, pada tahun 2005 lalu, terdapat 540 ribu kasus baru anak-anak
penderita HIV di seluruh dunia. Sebagian besar kasus-kasus ini mendapatkan infeksi
melalui transmisi ibu-anak (MTCT: Mother to Child Transmition). Kondisi ini dapat
terjadi pada saat kehamilan, persalinan atau selama masa menyusui. Untuk
pencegahannya, diperlukan langkah-langkah strategis dan secara komprehensif.
Antara lain dengan pencegahan secara primer. Pencegahan kehamilan pada wanita
yang tinggal dengan penderita HIV, pencegahan penularan dari ibu HIV kepada
bayinya, dan perawatan, pendampingan serta terapi kepada ibu, anak dan keluarga
penderita.

Sementara, untuk anak di bawah umur 15 tahun yang telah terinfeksi jumlahnya
mencapai 55 orang. Dari data Departemen Kesehatan, 2, 7 persen anak di bawah usia
5 tahun di Indonesia sudah terinfeksi HIV. Steorotipe buruk pada penyakit HIV/AIDS
membuat sebagian penderitanya memilih menutup diri dan merahasiakan
penyakitnya. Data yang diketahui masyarakat hanya 10 persen dari jumlah riil
pengidap. Sebab, diduga ada 230 ribu masyarakat Indonesia yang terinfeksi. Ancaman
HIV/AIDS terus meningkat. Jika tak ditanggulangi, jumlah orang meninggal karena
penyakit ini bisa meledak. Di China, misalnya, AIDS menjadi penyebab utama
kematian (Kristianti, 2009). 
 

 Landasan Teori
Anatomi dan Fisiologi
1. Sistem Limfoid

Sistem limfoid terdiri dari berbagai sel, jaringan dan organ yang
merupakan tempat prekursor dan turunan limfosit berasal, berdiferensiasi,
mengalami pematangan dan tersangkut. Semua sel darah berasal dari
prekursor bersama, yaitu sel bakal pluripotensial. Sel bakal pluripotensial
adalah sel-sel embrionik yang dapat membentuk bermacam-macam sel
hematopoetik dan dapat membelah diri. Sel-sel ini ditemukan dalam
sumsum tulang dan jaringan hematopoetik lain serta menghasilkan semua
komponen darah (misalnya, eritrosit, trombosit, granulosit, monosit dan
limfosit).

2. Organ Limfoid Primer

Walaupun terdapat di semua bagian tubuh, namun limfoid cenderung


terkonsentrasi di beberapa organ limfoid, termasuk sumsum tulang, timus,
limpa, kelenjar getah bening dan jaringan limfoid terkait organ. Sumsum
tulang dan timus dianggap sebagai organ limfoid primer.

3. Organ Limfoid Sekunder

Organ limfoid sekunder mencakup limpa, kelenjar getah bening dan


jaringan tidak berkapsul. Contoh-contoh jaringan tidak berkapsul adalah
tonsil, adenoid dan bercak-bercak jaringan limfoid di lamina propria
(jaringan ikat fibrosa yang terletak tepat di bawah epitel permukaan
selaput lendir) dan di sub mukosa saluran cerna.

4. Imunitas Selular

Peran sel T dapat dibagi menjadi dua fungsi utama : fungsi regulator dan
fungsi efektor. Fungsi regulator terutama dilakukan oleh salah satu subset
sel T, sel T penolong (CD4). Sel-sel CD4 mengeluarkan molekul yang dikenal
dengan nama sitokin (protein berberat molekul rendah yang disekresikan
oleh sel-sel sistem imun) untuk melaksanakan fungsi regulatornya. Sitokin
dari sel CD4 mengendalikan proses imun seperti pembentukan imunoglobulin
oleh sel B, pengaktivan sel T lain dan pengaktifan makrofag. Fungsi efektor
dilakukan oleh sel T sitotoksik (sel CD8). Sel-sel CD8 ini mampu mematikan
sel yang terinfeksi oleh virus, sel tumor dan jaringan transplantasi dengan
menyuntikkan zat kimia yang disebut perforin ke dalam sasaran "asing". Baik
sel CD4 dan CD8 menjalani pendidikan timus di kelenjar timus untuk belajar
mengenal fungsi.

Fungsi utama imunitas selular adalah : 

1. Sel T CD8 memiliki fungsi sitotoksik.


2. Sel T juga menyebabkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat saat
menghasilkan berbagai limfokin yang menyebabkan peradangan.
3. Sel T memiliki kemampuan untuk mengingat.
4. Sel T juga memiliki peran penting dalam regulasi atau
pengendalian sel.
5. Imunoglobulin

Imunoglobulin (antibodi) , yang membentuk sekitar 20% dari semua


protein dalam plasma darah, adalah produk utama sel plasma. Selain di
plasma darah, imunoglobulin juga ditemukan di dalam air mata, air liur,
sekresi mukosa saluran napas, cerna dan kemih-kelamin, serta kolostrum.
Fungsi imunoglobulin adalah :

1. Menyebabkan sitotoksisitas yang diperantarai oleh sel yang


dependen antibodi.
2. Memungkinkan terjadinya imunisasi pasif
3. Meningkatkan opsonisasi (pengendapan komplemen pada suatu
antigen sehingga kontak lekat dengan sel fagositik menjadi lebih stabil).
4. Mengaktifkan komplemen (kumpulan glikoprotein serum)
5. Menyebabkan anafilaksis.

1. Imunitas : Alami Dan Didapat

Ada dua tipe umum imunitas, yaitu : alami (natural) dan didapat
(akuisita). Imunitas alami yang merupakan kekebalan non spesifik sudah
ditemukan pada saat lahir. Sedangkan imunitas di dapat atau imunitas
spesifik terbentuk sesudah lahir. Imunitas alami akan memberikan respon
nonspesifik terhadap setiap penyerang asing tanpa memperhatikan
komposisi penyerang tersebut. Dasar pertahanan alami semata-mata berupa
kemampuan untuk membedakan antara sahabat dan musuh atau antara "diri
sendiri" dan "bukan diri sendiri". Mekanisme alami semacam ini mencakup
sawar (barier) fisik dan kimia, kerja sel-sel darah putih dan respon
inflamasi.

Imunitas di dapat biasanya terjadi setelah seseorang terjangkit penyakit


atau mendapatkan imunisasi yang menghasilkan respon imun yang bersifat
protektif. Beberapa minggu atau bulan sesudah seseorang terjangkit
penyakit atau mendapatkan imunisasi akan timbul respon imun yang cukup
kuat untuk mencegah terjadinya penyakit atau jangkitan ulang. Ada dua
tipe imunitas yang di dapat, yaitu aktif dan pasif.
Pada imunitas yang didapat aktif, pertahanan imunologi akan dibentuk oleh
tubuh orang yang dilindungi oleh imunitas tersebut. Imunitas ini umumnya
berlangsung selama bertahun-tahun atau bahkan seumur hidup.
Imunitas didapat yang pasif merupakan imunitas temporer yang
ditransmisikan dari sumber lain yang sudah memiliki kekebalan setelah
menderita sakit atau menjalani imunisasi.

 Definisi

Menurut Judarwanto (2008) infeksi HIV adalah penyakit yang diakibatkan oleh
infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). AIDS adalah penyakit yang
menunjukkan adanya sindrom defisiensi imun selular sebagai akibat infeksi HIV. Suati
kondisi klinis yang disebabkan oleh infeksi virus HIV yang dapat menyebabkan
acquired immune deficiency syndrome (AIDA) (Barhers, 2008).

HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus yang dapat


menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4
sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia yang pada akhirnya tidak
dapat bertahan dari gangguan penyakit walaupun yang sangat ringan sekalipun
(Qodam, 2006). 

HIV (AIDS (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu penyakit yang


menghancurkan sistem kekebalan tubuh manusia. Infeksi HIV dengan cepat akan
melumpuhkan sistem kekebalan manusia. Setelah sistem kekebalan tubuh lumpuh,
seseorang penderita HIV biasanya akan meninggal karena suatu penyakit (disebut
penyakit sekunder) yang biasanya akan dapat dibasmi oleh tubuh seandainya sistem
kekebalan itu masih baik (Pustekkom, 2005).

 Etiologi

HIV disebabkan oleh human immunodeficiency virus yang melekat dan


memasuki linfosit T herlper CD4+. Virus tersebut menginfeksi limfosit CD4+ dan sel-sel
imunologik lain dan orang itu mengalamu destruksi sel CD4+ secara bertahap (Betz
dan Sowden, 2002). Infeksi HIV disebabkan oleh masuknya virus yang bernama HIV
(Human Immunodeficiency Virus) ke dalam tubuh manusia (Pustekkom, 2005).

 Patofisiologi

Meskipun HIV dapat ditemukan pada cairan tubuh pengidap HIV seperti air
ludah (saliva) dan air mata serta urin, namun ciuman, berenang di kolam
renang atau kontak sosial seperti pelukan dan berjabatan tangan, serta dengan
barang yang dipergunakan sehari-hari bukanlah merupakan cara untuk
penularan. Oleh karena itu, seorang anak yang terinfeksi HIV tetapi belum
memberikan gejala AIDS tidak perlu dikucilkan.
Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan virus tersebut ke bayi yang
dikandungnya. Cara transmisi ini dinamakan juga transmisi secara vertikal.
Transmisi dapat terjadi melalui plasenta (intrauterin) intrapartum, yaitu pada
waktu bayi terpapar dengan darah ibu atau sekret genitalia yang mengandung
HIVselama proses kelahiran, dan post partum melalui ASI. Transmisi dapat
terjadi pada 20-50% kasus (Judarwanto, 2008).

Faktor prediktor penularan adalah stadium infeksi ibu, kadar Limfosit T CD4
dan jumlah virus pada tubuh ibu, penyakit koinfeksi hepatitis B, CMV atau penyakit
menular seksual lain pada ibu, serta apakah ibu pengguna narkoba suntik sebelumnya
dan tidak minum obat ARV selama hamil. Proses intrapartum yang sulit juga akan
meningkatkan transmisi, yaitu lamanya ketuban pecah, persalinan per vagina dan
dilakukannya prosedur invasif pada bayi. Selain itu prematuritas akan meningkatkan
angka transmisi HIV pada bayi.

HIV dapat diisolasi dari ASI pada ibu yang mengandung HIV di dalam tubuhnya
baik dari cairan ASI maupun sel-sel yang berada dalam cairan ASI (limfosit, epitel
duktus laktiferus). Risiko untuk tertular HIV melalui ASI adalah 11-29%. Bayi yang lahir
dari ibu HIV (+) dan mendapat ASI tidak semuanya tertular HIV, dan hingga kini belum
didapatkan jawaban pasti; tetapi diduga IgA yang terlarut berperan dalam proses
pengurangan antigen. WHO menganjurkan untuk negara dengan angka kematian bayi
tinggi dan akses terhadap pengganti air susu ibu rendah, pemberian ASI eksklusif
sebagai pilihan cara nutrisi bagi bayi yang lahir dari ibu HIV (+). Transmisi melalui
perawatan ibu ke bayinya belum pernah dilaporkan (Judarwanto, 2008).

Perkembangan penyakit AIDS tergantung dari kemampuan virus HIV untuk


menghancurkan sistem imun pejamu dan ketidakmampuan sistem imun untuk
menghancurkan HIV. Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut yang tidak dapat diatasi
sempurna oleh respons imun adaptif, dan berlanjut menjadi infeksi jaringan limfoid
perifer yang kronik dan progresif. Perjalanan penyakit HIV dapat diikuti dengan
memeriksa jumlah virus di plasma dan jumlah sel T CD4+ dalam darah. Infeksi primer
HIV pada fetus dan neonatus terjadi pada situasi sistim imun imatur, sehingga
penjelasan berikut merupakan ilustrasi patogenesis yang khas dapat diikuti pada orang
dewasa (Judarwanto, 2008).

Infeksi primer terjadi bila virion HIV dalam darah, semen, atau cairan tubuh
lainnya dari seseorang masuk ke dalam sel orang lain melalui fusi yang diperantarai
oleh reseptor gp120 atau gp41. Tergantung dari tempat masuknya virus, sel T CD4+
dan monosit di darah, atau sel T CD4+ dan makrofag di jaringan mukosa merupakan
sel yang pertama terkena. Sel dendrit di epitel tempat masuknya virus akan
menangkap virus kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening. Sel dendrit
mengekspresikan protein yang berperan dalam pengikatan envelope HIV, sehingga sel
dendrit berperan besar dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Di jaringan limfoid,
sel dendrit dapat menularkan HIV ke sel T CD4+ melalui kontak langsung antar sel
(Judarwanto, 2008).

Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam
jumlah banyak dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini menyebabkan
viremia disertai dengan sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik seperti infeksi
virus lainnya). Virus menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksi sel T subset CD4 atau
T helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer. Setelah penyebaran
infeksi HIV, terjadi respons imun adaptif baik humoral maupun selular terhadap
antigen virus. Respons imun dapat mengontrol sebagian dari infeksi dan produksi
virus, yang menyebabkan berkurangnya viremia dalam 12 minggu setelah paparan
pertama (Judarwanto, 2008).

Setelah infeksi akut, terjadilah fase kedua dimana kelenjar getah bening dan
limpa menjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem imun
masih kompeten mengatasi infeksi mikroba oportunistik dan belum muncul
manifestasi klinis infeksi HIV, sehingga fase ini disebut juga masa laten klinis (clinical
latency period). Pada fase ini jumlah virus rendah dan sebagian besar sel T perifer
tidak mengandung HIV. Kendati demikian, penghancuran sel T CD4+ dalam jaringan
limfoid terus berlangsung dan jumlah sel T CD4+ yang bersirkulasi semakin berkurang
(Judarwanto, 2008). 

Lebih dari 90% sel T yang berjumlah 1012 terdapat dalam jaringan limfoid, dan
HIV diperkirakan menghancurkan 1-2 x 109 sel T CD4+ per hari. Pada awal penyakit,
tubuh dapat menggantikan sel T CD4+ yang hancur dengan yang baru. Namun setelah
beberapa tahun, siklus infeksi virus, kematian sel T, dan infeksi baru berjalan terus
sehingga akhirnya menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4+ di jaringan limfoid dan
sirkulasi.Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain, dan respons
imun terhadap infeksi tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi jaringan
limfoid. Transkripsi gen HIV dapat ditingkatkan oleh stimulus yang mengaktivasi sel T,
seperti antigen dan sitokin. Sitokin (misalnya TNF) yang diproduksi sistem imun
alamiah sebagai respons terhadap infeksi mikroba, sangat efektif untuk memacu
produksi HIV. Jadi, pada saat sistem imun berusaha menghancurkan mikroba lain,
terjadi pula kerusakan terhadap sistem imun oleh HIV (Judarwanto, 2008).

Penyakit HIV berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS dimana
terjadi destruksi seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4+ dalam darah
kurang dari 200 sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastis. Pasien AIDS menderita
infeksi oportunistik, neoplasma, kaheksia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal
(nefropati HIV), dan degenerasi susunan saraf pusat (ensefalopati HIV) (Judarwanto,
2008).

 Pathways
 Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis infeksi HIV pada anak bervariasi dari asimtomatis sampai
penyakit berat yang dinamakan AIDS. AIDS pada anak terutama terjadi pada umur
muda karena sebagian besar (>80%) AIDS pada anak akibat transmisi vertikal dari ibu
ke anak. Lima puluh persen kasus AIDS anak berumur < l tahun dan 82% berumur <3
tahun. Meskipun demikian ada juga bayi yang terinfeksi HIV secara vertikal belum
memperlihatkan gejala AIDS pada umur 10 tahun.Gejala klinis yang terlihat adalah
akibat adanya infeksi oleh mikroorganisme yang ada di lingkungan anak. Oleh karena
itu, manifestasinya pun berupa manifestasi nonspesifik berupa gagal tumbuh, berat
badan menurun, anemia, panas berulang, limfadenopati, dan hepatosplenomegali
(Judarwanto, 2008). 

Gejala yang menjurus kemungkinan adanya infeksi HIV adalah adanya infeksi
oportunistik, yaitu infeksi dengan kuman, parasit, jamur, atau protozoa yang lazimnya
tidak memberikan penyakit pada anak normal. Karena adanya penurunan fungsi imun,
terutama imunitas selular, maka anak akan menjadi sakit bila terpajan pada
organisme tersebut, yang biasanya lebih lama, lebih berat serta sering berulang.
Penyakit tersebut antara lain kandidiasis mulut yang dapat menyebar ke esofagus,
radang paru karena Pneumocystis carinii, radang paru karena mikobakterium atipik,
atau toksoplasmosis otak. Bila anak terserang Mycobacterium tuberculosis,
penyakitnya akan berjalan berat dengan kelainan luas pada paru dan otak. Anak
sering juga menderita diare berulang (Judarwanto, 2008).

Manifestasi klinis lainnya yang sering ditemukan pada anak adalah pneumonia
interstisialis limfositik, yaitu kelainan yang mungkin langsung disebabkan oleh HIV
pada jaringan paru. Manifestasi klinisnya berupa hipoksia, sesak napas, jari tabuh,
dan limfadenopati. Secara radiologis terlihat adanya infiltrat retikulonodular difus
bilateral, terkadang dengan adenopati di hilus dan mediastinum (Judarwanto, 2008).

Manifestasi klinis yang lebih tragis adalah yang dinamakan ensefalopati kronik
yang mengakibatkan hambatan perkembangan atau kemunduran ketrampilan motorik
dan daya intelektual, sehingga terjadi retardasi mental dan motorik. Ensefalopati
dapat merupakan manifestasi primer infeksi HIV. Otak menjadi atrofi dengan
pelebaran ventrikel dan kadangkala terdapat kalsifikasi. Antigen HIV dapat ditemukan
pada jaringan susunan saraf pusat atau cairan serebrospinal (Judarwanto, 2008).

Seperti dengan orang dewasa, ada beberapa tanda dan gejala yang seharusnya
menimbulkan kecurigaan bahwa anak terinfeksi HIV. Ini termasuk: berat bada
menurun, atau gagal tumbuh; diare lebih dari 14 hari; demam lebih dari satu bulan;
infeksi saluran pernapasan bagian bawah yang parah atau menetap; batuk kronis; dan
infeksi oportunistik sama yang dialami oleh orang dewasa. Tes HIV umum akan
menunjukkan hasil positif selama beberapa bulan jika ibunya terinfeksi HIV, walaupun
anak mungkin tidak terinfeksi. Jadi, jika hasil tes anak adalah positif, ini bukti bahwa
ibunya HIV, dan karena itu, penting ibu diberi konseling sebelum anaknya dites
(Anonim, 2008).
Menurut Hidayat (2008) secara umum perjalanan infeksi HIV dan AIDS dalam
empat stadium antara lain :

1. Stadium HIV

Dimulai dengan maksuknya HIV yang dikuti terjadinya perubahan


serologis ketoika antibody terhadap virus tersebut dari negative menjadi
positif. Waktu masuknya HIV ke dalam tubuh hingga dapat diteksi HIV positif
adalah 1-3 bulan atau bias sampai 6 bulan (window period)

2. Stadium Asimtomatis (tanpa gejala)

Menunjulkan didalam organ terdapat HIV tetapi belum menunjukkan


gejala-gejala dan berlangsung 5-10 tahun

3. Stadium pembesaran kelenjar limfe

Menunjukkan adanya pembesaran kelenjar linfe secara menetap dan


merata (persistent generalized lymphadenophaty) dan berlangsung lebih 1
dari bulan

4. Stadium AIDS

Merupakan tahap akhir infeksi HIV. Keadaan ini disertai dengan


bermacam-macam penyakit infeksi sekunder dengan gejala mayor:

1. Demam berkepanjangan lebih dari 3 bulan


2. Diare kronis lebih dari 1 bulan berulang atau terus menerus
3. Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam 3 bulan

Dan ada beberapa gejala minor antara lain:

4. Batuk kronis selama 1 bulan


5. Infeksi pada mulut dan tenggorokan disebabkan oleh jamur
Candida albicans
6. Pembengkakan kelenjar linfe betah bening yang menetap di
seluruh tubuh
7. Munculnya herpes zoster berulang
8. Bercak-bercak dan gatal-gatal di seluruh tubuh

 
 Pemeriksaan Penunjang Diagnostik

Menurut Hidayat (2008) diagnosis HIV dapat tegakkan dengan menguji HIV. Tes
ini meliputi tes Elisa, latex agglutination dan western blot. Penilaian Elisa dan latex
agglutination dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi HIV atau tidak, bila
dikatakan positif HIV harus dipastikan dengan tes western blot. Tes lain adalah
dengan cara menguji antigen HIV, yaitu tes antigen P 24 (polymerase chain reaction)
atau PCR. Bila pemeriksaan pada kulit, maka dideteksi dengan tes antibodi (biasanya
digunakan pada bayi lahir dengan ibu HIV.

 Penatalaksanaan Medis dan Perawatan

1. Perawatan

Menurut Hidayat (2008) perawatan pada anak yang terinfeksi HIV antara
lain:

1. Suportif dengan cara mengusahakan agar gizi cukup, hidup sehat


dan mencegah kemungkinan terjadi infeksi
2. Menanggulangi infeksi opportunistic atau infeksi lain serta
keganasan yang ada
3. Menghambat replikasi HIV dengan obat antivirus seperti golongan
dideosinukleotid, yaitu azidomitidin (AZT) yang dapat menghambat
enzim RT dengan berintegrasi ke DNA virus, sehingga tidak terjadi
transkripsi DNA HIV
4. Mengatasi dampak psikososial
5. Konseling pada keluarga tentang cara penularan HIV, perjalanan
penyakit, dan prosedur yang dilakukan oleh tenaga medis
6. Dalam menangani pasien HIV dan AIDS tenaga kesehatan harus
selalu memperhatikan perlindungan universal (universal precaution)
2. Pengobatan

Hingga kini belum ada penyembuhan untuk infeksi HIV dan AIDS.
Penatalaksanaan AIDS dimulai dengan evaluasi staging untuk menentukan
perkembangan penyakit dan pengobatan yang sesuai. Anak dikategorikan
dengan menmggunakan tiga parameter : status kekebalan, status infeksi
dan status klinik dalam kategori imun : 1) tanpa tanda supresi, 2) tanda
supresi sedang dan 3) tanda supresi berat. Seorang anak dikatakan dengan
tanda dan gejala ringan tetapi tanpa bukti adanya supresi imun
dikategorikan sebagai A2. Status imun didasarkan pada jumlah CD$ atau
persentase CD4 yang tergantung usia anak (Betz dan Sowden, 2002).

Selain mengendalikan perkembangan penyakit, pengobatan ditujuan


terhadap mencegah dan menangani infeksi oportunistik seperti Kandidiasis
dan pneumonia interstisiel. Azidomitidin ( Zidovudin), videks dan Zalcitacin
(DDC) adalah obat-obatan untuk infeksi HIV dengan jumlah CD4 rendah,
Videks dan DDC kurang bermanfaat untuk oenyakit sistem saraf pusat.
Trimetoprin sulfametojsazol (Septra, Bactrim) dan Pentamadin digunakan
untuk pengobatan dan profilaksi pneumonia cariini setiap bulan sekali
berguna untuk mencegah infeksi bakteri berat pada anak, selain untuk
hipogamaglobulinemia. Imunisasi disarankan untuk anak-anak dengan infeksi
HIV, sebagai pengganti vaksin poliovirus (OPV), anak-anak diberi vaksin
vorus polio yang tidak aktif (IPV) (Betz dan Sowden, 2002).

 Pengkajian

Menurut Wong (2004) hal-hal yang perlu dikaji pada anak dengan HIV antara
lain :

1. Lakukan pengkajian fisik


2. Dapatkan riwayat imunisasi
3. Dapatkan riwayat yang berhubungan dengan faktor risiko terhadap AIDS
pada anak-anak:
-Exposure in utero to HIV-infected mother
-Pemajanan terhadap produk darah, khususnya anak dengan hemofilia
-Remaja yang menunjukkan perilaku risiko tinggi
4. Observasi adanya manifestasi AIDS pada anak-anak:
-Gagal tumbuh
-Limfadenopati
-Hepatosplenomegali
5. Kajinya adanya infeksi bakteri berulang
6. Penyakit paru khususnya pneumonia Pneumocystis carnii (pneumonia
interstisiel limfositik dan hiperplasia limfoid paru)
7. Diare kronis
8. Gambaran neurologis:
1. Pelambatan perkembangan
2. Kehilangan kemampuan motorik yang telah dicapai sebelumnya
3. Kemungkinan mikrosefali
4. Pemeriksaan neurologis abnormal
9. Bantu prosedur diagnostik dan pengujian misalnya tes antibodi
 

 Diagnosa Keperawatan

Menurut Wong (2004) diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan pada anak
dengan HIV antara lain:

1. Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan akumulasi secret


sekunder terhadap hipersekresi sputum karena proses inflamasi
2. Hipertermi berhubungan dengan pelepasan pyrogen dari hipotalamus
sekunder terhadap reaksi antigen dan antibody (Proses inflamasi)
3. Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan penurunan
pemasukan dan pengeluaran sekunder karena kehilangan nafsu makan dan
diare
4. Perubahan eliminasi (diare) yang berhubungan dengan peningkatan
motilitas usus sekunder proses inflamasi system pencernaan
5. Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan dermatitis
seboroik dan herpers zoster sekunder proses inflamasi system integumen
6. Risiko infeksi (ISK) berhubungan dengan kerusakan pertahanan tubuh,
adanya organisme infeksius dan imobilisasi
7. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kekambuhan penyakit, diare, kehilangan nafsu makan, kandidiasis oral
8. Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan pembatasan fisik,
hospitalisasi, stigma sosial terhadap HIV
9. Nyeri berhubungan dengan peningkatan TIK sekunder proses penyakit
(misal: ensefalopati, pengobatan).
10.Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak
dengan penyakit yang mengancam hidup

 Intervensi Keperawatan

Menurut Wong (2004) intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk


mengatasi diagnosa keperawatan pada anak yang menderita HIV antara lain :

1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sekret


Tujuan

 Anak menunjukkan jalan nafas yang efektif


 Intervensi
1. Auskultasi area paru, catat area penurunan/tidak ada
aliran udara dan bunyi napas adventisius, 

Rasional : penurunan aliran udara terjadi pada area


konsolidasi dengan cairan. Bunyi napas bronkhial dapat juga
terjadi pada area konsolidasi. 

2. Mengkaji ulang tanda-tanda vital (irama dan frekuensi,


serta gerakan dinding dada )

Rasional : takipnea, pernapasan dangkal dan gerakan dada


tidak simetris terjadi karena ketidaknyaman gerakan dinding
dada dan atau cairan paru-paru

3. Bantu pasien latihan napas sering. Tunjukkan/bantu pasien


mempelajari melakukan batuk, misalnya menekan dada dan
batuk efektif sementara posisi duduk tinggi

Rasional : Napas dalam memudahkan ekspansi maksimum


paru/jalan napas lebih kecil. Batuk adalah mekanisme
pembersihan jalan napas alami membantu silia untuk
mempertahankan jalan napas paten. Penekanan menurunkan
ketidaknyamanan dada dan posisi duduk memungkinkan upaya
napas lebih dalam dan lebih kuat 

4. Penghisapan sesuai indikasi

Rasional : merangsang batuk atau pembersihan jalan napas


secara mekanik pada pasien yang tidak mampu melakukan
karena batuk tidak efektif atau penurunan tingkat kesadaran

5. Berikan cairan sedikitnya 2500 ml/hari (kecuali


kontraindikasi). Tawarkan air hangat dari pada dingin

Rasional : Cairan (khususnya yang hangat) memobilisasi dan


mengeluarkan sekret

6. Memberikan obat yang dapat meningkatkan efektifnya jalan


nafas (seperti bronchodilator) 

Rasional : alat untuk menurunkan spasme bronkhus dengan


memobilisasi sekret, obat bronchodilator dapat membantu
mengencerkan sekret sehingga mudah untuk dikeluarkan
2. Hipertermi berhubungan dengan pelepasan pyrogen dari hipotalamus
sekunder terhadap reaksi antigen dan antibody
Tujuan

Anak akan mempertahankan suhu tubuh kurang dari 37,5 oC

 Intervensi
1. Pertahankan lingkungan sejuk, dengan menggunakan
piyama dan selimut yang tidak tebal serta pertahankan suhu
ruangan antara 22o dan 24 oC

Rasional : Lingkungan yang sejuk membantu menurunkan suhu


tubuh dengan cara radiasi

2. Beri antipiretik sesuai petunjuk

Rasional : Antipiretik seperti asetaminofen (Tylenol), efektif


menurunkan demam

3. Pantau suhu tubuh anak setiap 1-2 jam, bila terjadi


peningkatan secara tiba-tiba

Rasional : Peningkatan suhu secara tiba-tiba akan mengakibatkan


kejang

4. Beri antimikroba/antibiotik jira disarankan

Rasional : Antimikroba mungkin disarankan untuk mengobati


organismo penyebab.

5. Berikan kompres dengan suhu 37 oC pada anak untuk


menurunkan demam

Rasional : kompres hangat efektif mendinginkan tubuh melalui


cara konduksi

1. Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan pemasukan


dan pengeluaran sekunder karena kehilangan nafsu makan dan diare

Tujuan

keseimbangan cairan tubuh adekuat dengan kriteria hasil : tidak ada ada
tanda-tanda dehidrasi (tanda-tanda vital stabil, kualitas denyut nadi baik, turgor kulit
normal, membran mukosa lembab dan pengeluaran urine yang sesuai).
 Intervensi : 

1. Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran. Tinjau ulang catatan


intra operasi.

Rasional : dokumentasi yang akurat akan membantu dalam


mengidentifikasi pengeluaran cairan/kebutuhan penggantian dan pilihan-
pilihan yang mempengaruhi intervensi.

2. Pantau tanda-tanda vital.

Rasional :     hipotensi, takikardia, peningkatan pernapasan


mengindikasikan kekurangan kekurangan cairan.

3. Letakkan pasien pada posisi yang sesuai, tergantung pada


kekuatan pernapasan.

Rasional : elevasi kepala dan posisi miring akan mencegah terjadinya


aspirasi dari muntah, posisi yang benar akan mendorong ventilasi pada
lobus paru bagian bawah dan menurunkan tekanan pada diafragma.

4. Pantau suhu kulit, palpasi denyut perifer.

Rasional :    kulit yang dingin/lembab, denyut yang lemah


mengindikasikan penurunan sirkulasi perifer dan dibutuhkan untuk
penggantian cairan tambahan.

5. Kolaborasi, berikan cairan parenteral, produksi darah dan atau


plasma ekspander sesuai petunjuk. Tingkatkan kecepatan IV jika
diperluakan.

Rasional : gantikan kehilangan cairan yang telah didokumentasikan.


Catat waktu penggangtian volume sirkulasi yang potensial bagi
penurunan komplikasi, misalnya ketidak seimbangan.

1. Perubahan eliminasi (diare) yang berhubungan dengan peningkatan


motilitas usus sekunder proses inflamasi system pencernaan
Tujuan : Orang tua melaporkan penurunan frekuensi defekasi dengan
kriteria, konsistensi feases kembali normal dan orang tua mampu
mengidentifikasi/menghindari faktor pemberat.
 Intervensi :
1. Observasi dan catat frekuensi defekasi, karakteristik,
jumlah dan faktor pencetus
Rasional : Membantu membedakan penyakit individu dan
mengkaji beratnya episode.

2. Tingkat tirah baring, berikan alat-alat disamping tempat


tidur

Rasional : Istirahat menurunkan motilitas usus juga


menurunkan laju metabolisme bila infeksi atau perdarahan
sebagai komplikasi.

3. Buang feses dengan cepat dan berikan pengharum ruangan

Rasional : menurunkan bau tidak sedap untuk menghindari


rasa malu pasien

4. Identifikasi makanan dan cairan yang mencetuskan diare


(misalnya sayuran segar, buah, sereal, bumbu, minuman
karnonat, produks susu)

Rasional : Menghindarkan irirtan meningkatkan istirahat usus

5. Mulai lagi pemasukan cairan per oral secara bertahap dan


hindari minuman dingin

Rasional : memberikan istirahat kolon dengan menghilangkan


atau menurunkan rangsang makanan/cairan. Makan kembali
secara bertahap cairan mencegah kram dan diare berulang,
namun cairan yang dingin dapat meningkatkan motilitas usus

6. Berikan kolaburasi antibiotik

Rasional : Mengobati infeksi supuratif fokal

2. Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan dermatitis


seboroik dan herpers zoster sekunder proses inflamasi system integument
Tujuan :
Anak menunjukkan integritas kulit yang utuh dengan kriteria hasil :
infeksi virus herpes tidak meluas, anak tidak menggaruk kulit yang
terinfeksi dan orang tua mendemonstrasikan cara perawatan kulit
untuk mencegah kerusakan kulit.
 Intervensi : 
1. Pasang alat pelembab dalam rumah untuk menghindari
kulit terlalu kering
Rasional : Kulit yang kering dapat mempermudah terjadinya
kerusakan kulit sehingga perlu dijaga kelembabannya sehingga
kulit tidak mudah lecet

2. Bersihkan daerah yang tidak infeksi

Rasional : membersighan daerah yang tidak terinfeksi dapat


mencegah terjadinya perluasan infeksi kulit

3. Sarankan klien untuk tidak menggaruk

Rasional : Menggaruk dapat mendorong terjadinya


diskountinuitas jaringan kulit, apa bila jika dilakukan dengan
keras/kuat 

4. Kulit yang mengeras dan bersisik jangan dikupas, biarkan


terkelupas sendiri

Rasional : berusaha mengelupas/melepas kulit yang bersisik


dapat memicu terjadinya luka pada kulit yang bersisik

5. Pemberian antibiotik sistemik

Rasional : pemberian antibiotik dapat membantu membasmi


bakteri sehingga infeksi kulit tidak meluas 

3. Risiko infeksi (ISK) berhubungan dengan kerusakan pertahanan tubuh,


adanya organisme infeksius dan imobilisasi
Tujuan

Anak mengalami risiko infeksi yang minimal dan anak tidak


menyebarkan penyakit pada orang lain dengan kriteria hasil:

1. Anak tidak kontak dengan individu terinfeksi


2. Anak dan keluarga menjalankan praktik kesehatan yang
baik
3. Anak tidak menunjukkan bukti-bukti infeksi
4. Orang lain tidak mendapatkan penyakit tersebut
 Intervensi
5. Gunakan teknik mencuci tangan yang cermat 

Rasional : Untuk meminimalkan pemajanan pada organisme


infeksius
6. Beri tahu pengunjung untuk menggunakan teknik mencuci
tangan yang baik

Rasional : Untuk meminimalkan pemajanan organisme


infeksius

7. Tempatkan anak diruangan bersama anak yang tidak


mengalami infeksi atau diruangan probadi

Rasional : pemahaman yang baik tentang cuci tangan dapat


mempengaruhi perliku orang tua untuk cuci tangan sebelum
dan sesudah memegang atau menyentuh anak

8. Batasi kontak dengan individu yang mengalami infeksi,


termasuk keluarga, anak lain, teman dan anggota staf,
jelaskan bahwa anak sangat rentan terhadap infeksi 

Rasional : Untuk mendorong kerja sama dan pemahaman

9. Observasi asepsis medis dengan tepat

Rasional : Untuk menurunkan risiko infeksi

10. Dorong nutrisi yang baik dan istirahat yang cukup

Rasional : Untuk meningkatkan pertahan alamiah tubuh yang


masih ada

11. Jelaskan pada keluarga dan anak yang lebih besar


tentang pentingnya menghubungi profesional kesehatan bila
terpajan penyakit masa kecil (misalnya. Cacar air, gondongan)

Rasional : Penjelasan yang baik akan memungkinkan orang tua


memberikan imunisasi yang tepat pada bayinya

12. Berikan imunisasi yang tepat sesuai ketentuan

Rasional : Untuk mencegah infeksi

13. Berikan antibiotik sesuai ketentuan

Rasional : Dapat untuk mencegah infeksi bakteri/ sebagai


profilaksi

14. Implementasikan dan lakukan kewaspadaan


universal, khususnya isolasi bahan tubuh
Rasional : Untuk mencegah penyebaran virus

15. Instruksikan orang lain (misalnya keluarga, anggota


staf) untuk menggunakan kewaspadaan yang tepat, jelaskan
adanya kesalahan konsep tentang penularan virus

Rasional : Hal ini merupakan masalah yang sering terjadi dan


dapat mempengaruhi penggunaan kewaspadaan yang tepat

16. Ajarkan metode perlindungan anak yang sakit


(misalnya mencuci tangan, emmegang area genital,
perawatan setelah menggunakan berdpan atau toilet

Rasional : Untuk mencegah penyebaran infeksi

17. Usahakan untuk mencegah bayi dan semua anak kecil


agar tidak menempatkan tangan dan objek pada area
terkontaminasi

Rasional : Dapat mencegah penularan virus HIV ke orang lain

18. Tempatkan pembatasan perilaku dan kontak untuk


anak yang sakit yang menggigit atau tidak mempunyai kontrol
terhadap sekresi tubuh mereka

Rasional : Membatasi perilaku dan kontak dengan anak dapat


menghindari kemungkinan tergigit dan mengalami cedera

19. Kaji situasi rumah dan implementasikan tindakan


perlindungan yang mungkin dilakukan pada situasi individu

Rasional : Identifikasi kondisi dan situasi di rumah dapat


membantu mengawasi anak akan bermain di lingkungan yang
aman dan terbebas dari cidera

4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


kekambuhan penyakit, diare, kehilangan nafsu makan, kandidiasis oral
Tujuan

Pasien mendapatkan nutrisi yang optimal dengan kriteria hasil anak


mengkonsumsi jumlah nutrien yang cukup

 Intervensi
1. Berikan makanan dan kudapan tinggi kalori dan tinggi
protein
Rasional : Untuk memenuhi kebutuhan tubuh untuk
metabolisme dan pertumbuhan

2. Beri makanan yang disukai anak

Rasional : Untuk mendorong agar anak mau makan

3. Perkaya makanan dengan suplemen nutrisi, misalnya susu


bubuk atau suplemen yang dijual bebas

Rasional : Untuk memaksimalkan kualitas asupan makanan

4. Berikan makanan ketika anak sedang mau makan dengan


baik

Rasional : Ketika anak mau makan adalah kesempatan yang


berharga bagi perawat maupun orang tua untuk memberikan
makanan sehingga porsi yang disediakan dihabiskan

5. Gunakan kreativitas untuk mendorong anak 

Rasional : Dapat menarik minat anak untuk makan dan


menghabiskan porsi makanan yang disediakan

6. Pantau berat badan dan pertumbuhan

Rasional : Pemantauan berat badan dilakukan sehingga


intervensi nutrisi tambahan dapat diimplementasikan bila
pertumbuhan mulai melambat atau berat badan turun

7. Berikan obat antijamur sesuai instruksi

Rasional : Untuk mengobati kandidiasis oral

5. Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan pembatasan fisik,


hospitalisasi, stigma sosial terhadap HIV
Tujuan

Pasien berpartisipasi dalam kelompok sebaya dan aktivitas keluarga

 Intervensi
1. Bantu anak dalam mengidentifikasi kekuatan pribadi

Rasional : Untuk memfasilitas koping


2. Didik petugas sekolah dan teman sekelas tentang HIV

Rasional : Menjamin anak tidak mendapatkan perlakukan


isolasi di sekolah

3. Dorong anak untuk berpartisipasi dalam aktivitas bersama


anak-anak dan keluarga yang lain

Rasional : Menjamin anak dapat mengembangkan hubungan


dengan anak lain atau orang lain 

4. Dorong anak untuk mempertahankan hubungan via telepon


dengan teman-temannya selama hospitalisasi

Rasional : Untuk mengurangi isolasi

6. Nyeri berhubungan dengan proses penyakit (misal: ensefalopati,


pengobatan.
Tujuan

Pasien tidak menunjukkan atau tidak ada bukti nyeri atau peka
rangsang dengan kriteria hasil bukti-bukti atau peka rangsang yang
ditunjukkan anak minimal atau tidak ada

 Intervensi
1. Kaji nyeri
2. Gunakan strategi nonfarmakologis

Rasional : Teknik-teknik seperti relaksasi, pernapasan dalam


berirama dan distraksi dapat membuat nyeri dapat lebih
ditoleransi

3. Untuk bayi dapat dicoba tindakan kenyamanan umum


(misalnya: mengayun, menggendong, membuai, menurunkan
stimulus lingkungan 

Rasional : Dapat mengurangi nyeri atau mengalihkan nyeri


anak

4. Gunakan strategi farmakologis

Rasional : rapat membantu mengurangi atau menghilangkan


nyeri
5. Rencanakan jadual awal pencegahan bila analgesik efektif
dalam mengurangi nyeri yang terus menerus

Rasional : Untuk mempertahankan kadar analgesik mantap


dalam darah

6. Anjurkan penggunaan premedikasi untuk prosedur yang


menimbulkan nyeri

Rasional : Dapat mengurangi nyeri pada saat dilakukan


tindakan perawatan

7. Gunakan catatan pengkajian nyeri

Rasional : Untuk mengevaluasi efektifitas intervensi


keperawatan

7. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak


dengan penyakit yang mengancam hidup
Tujuan

Pasien dan keluarga mendapat dukungan yang adekuat dan keluarga


dapat terlibat dengan kelompok-kelompok khusus

 Intervensi
1. Kenali masalah keluarga dan kebutuhan akan informasi dan
dukungan

Rasional : dengan mengkaji masalah yang dihadapi keluarga


perawat dapat membuat rencana intervensi yang tepat serta
dapat melakukan pendekatan dengan keluarga dengan cara
yang tepat.

2. Kaji pemahaman keluarga tentang diagnosa dan rencana


perawatan

Rasional : Tingkat pemahaman keluarga tentang penyakit dan


terapinya sangat diperlukan perawat dapat menentukan
intervensi yang tepat

3. Tekankan dan jelaskan penjelasan profesional kesehatan


tentang kondisi anak, prosedur dan terapi yang dianjurkan
serta prognosanya
Rasional : penjelasan yang tepat dari profesional akan
mempertegas bahwa informasi yang didapatkan tentang
penyakit dan terainya tersebut tepat 

4. Gunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan


pemahaman keluarga tentang penyakit dan terapinya dan
ulangi informasi sesering mungkin 

Rasional : Untuk memfasilitasi keluarga belajar dan


meningkatkan kemampuannya dalam merawat klien

5. Bantu orang tua mengintepretasikan perilaku dan respon


bayi atau anak 

Rasional : Menginteoretasikan perilaku dan respon bayi atau


anak secara tepat dapat membantu keluarga dalam
mengambil keputusan kapan harus lapor perawat atau dokter

6. Sambut keberadaan keluargatanpa batas

Rasional : untuk meningkatkan hubungan keluarga

7. Dorong keluarga untuk memberikan barang-barang yang


berarti dan dapat diatur pada anak

Rasional : Untuk memberikan rasa aman

8. Rujuk pada kelompok pendukung dan lembaga-lembaga


khusus (mis yayasan HIV/AIDS Indonesia)

Rasional : untuk dukungan interpersonal tambahan dan


konkret (misalnya pelayanan sosial, rohaniawan dan yayasan
HIV AIDS Indonesia)

 Isue Di Masyarakat Tentang HIV (Human Imunodeficiency Virus)

Anak-anak yang dirawat karena HIV/AIDS di RSCM semakin bertambah banyak,


Rata-rata dalam seharinya ada sekitar lima hingga delapan anak yang dirawat di
RSCM. Sedangkan mereka yang menjalani rawat jalan rata-rata tiga hingga lima orang
sekali praktik, atau sekitar sembilan hingga 15 orang seminggu. Trend HIV pada anak-
anak naik terus. Di RSCM saja, tutur Nia, hingga tahun 2006 total anak-anak yang
positif HIV tercatat lebih dari 100 orang. Tahun 1996 hingga 2003 baru tiga anak yang
terdeteksi positif HIV. Namun, sejak 2003 jumlahnya meningkat menjadi 17 orang
(2003), lalu naik lagi menjadi 44 orang (2004), dan 74 orang (2005). Tapi jumlah yang
lebih banyak ada di luar. Tak terdeteksi,(Betsy, 2009). 

 Pembahasan

Anak-anak yang dirawat karena HIV/AIDS di RSCM sangat banyak sekali,


Seharinya ada sekitar lima hingga delapan anak yang dirawat di RSCM. Sedangkan
mereka yang menjalani rawat jalan rata-rata tiga hingga lima orang sekali praktik,
atau sekitar sembilan hingga 15 orang seminggu. Trend HIV saat ini mengalami terus
menerus, hingga tahun 2006 total anak-anak yang positif HIV tercatat lebih dari 100
orang. Tahun 1996 hingga 2003 baru tiga anak yang terdeteksi positif HIV. Namun,
sejak 2003 jumlahnya meningkat menjadi 17 orang (2003), lalu naik lagi menjadi 44
orang (2004), dan 74 orang (2005). 

Secara global HIV di kalangan anak-anak juga menjadi gejala yang


mengkhawatirkan. Data UNAIDS (Badan PBB yang menangani masalah AIDS) tahun 2005
menyebutkan, tiap hari 1.800 anak di seluruh dunia terinfeksi HIV. Kebanyakan dari
mereka yang terinfeksi adalah kelahiran baru. Di Asia diperkirakan kini ada 75 ribu
hingga 390 ribu anak yang hidup dengan HIV. Gejala HIV/AIDS pada anak-anak
biasanya terlihat dengan gizi buruk, diare, dan kelainan kulit. Pada orang dewasa
gejala HIV/AIDS sering terlihat dengan TBC, tapi pada anak-anak jarang. 'Umumnya
gejalanya dimulai gizi dengan buruk, tapi bisa disebabkan oleh apa saja. 

Sejak seseorang terinfeksi HIV, ada masa jendela (window period) hingga tiga
bulan. Di bawah waktu tiga bulan itu infeksi HIV tak terdeteksi walaupun melalui tes
darah. Setelah masa jendela, virus HIV di dalam tubuh masuk pada periode laten,
sebelum masuk fase AIDS. Periode laten itu bagi orang dewasa bisa berlangsung 10-15
tahun. Pada anak-anak, periode laten ini bisa sangat pendek. Untuk masuk fase AIDS
bisa sangat cepat, tidak perlu menunggu waktu 10-15 tahun. Jika kondisi anak bisa
diketahui sejak awal, maka penanganan akan lebih mudah. Namun, sering terjadi
anak dibawa ke rumah sakit ketika sudah pada tahap AIDS. Karena itu penanganannya
jadi lebih sulit. Jika status anak bisa terdeteksi sejak awal, maka perlakuan yang bisa
diberikan adalah pemberian obat Anti Retro Viral (ARV) untuk menahan laju virus HIV
di tubuhnya. Dengan mengonsumsi ARV secara rutin maka kemungkinan anak bisa
bertahan lebih lama. Bahkan, ada yang kini sudah berumur 10 tahun.

Dalam kehidupan sehari-hari, risiko penularan HIV kecil. HIV tidak menular
melalui kontak sosial. Karena itu, menurutnya, pergaulan anak-anak yang mengidap
HIV tak perlu dibatasi. Jika anak HIV positif terjatuh dan berdarah, agar dihindarkan
dari kontak langsung dengan orang lain. Luka yang berdarah itu cukup dibasuh dengan
air mengalir, lalu luka ditutup dengan perban atau plester. HIV pada anak umumnya
ditularkan oleh ibu yang mengidap HIV/AIDS. Penularan virus HIV bisa terjadi pada
saat bayi dalam kandungan, saat melahirkan, dan saat menyusui. Namun, seorang bayi
tidak otomatis mengidap virus HIV kendati ibunya positif.

Epidemi HIV/AIDS kini sudah masuk ke dalam keluarga. Pengidap HIV/AIDS


bukan lagi hanya mereka yang berperilaku risiko tinggi seperti pekerja seks komersial
(PSK), pengguna narkoba suntik bergantian, gay, ataupun pria konsumen PSK. Ibu-ibu
rumah tangga dan anak-anak pun sudah banyak yang terjangkit HIV. Jika epidemi
HIV/AIDS sudah masuk ke dalam keluarga, maka penanganannya jauh lebih sulit dari
yang dihadapi saat ini. Anak-anak pengidap HIV, seperti juga anak-anak lainnya,
berhak mendapatkan perhatian termasuk hak-hak mereka untuk mendapatkan
penanganan yang serius. Namun, menurutnya, pemerintah belum terlalu serius
memerhatikan masalah ini. 

Menurut Betz dan Sowden (2002) intervensi keperawatan yang dapat dilakukan
oleh seorang perawat terhadap anak dan ibu yang sudah menderita infeksi HIV antara
lain : 

1. Lindungi bayi, anak atau remaja dari kontak infeksius, meskipun kontak biasa
dari orang ke orang tidak menularkan HIV
2. Cegah penularan infeksi HIV dengan membersihkan bekas darah atau cairan
tubuh lain dengan larutan khusus, pakai sarung tangan lateks bila akan terpajan darah
atau cairan tubuh, pakai masker dengan pelindung mata jika ada kemungkinan
terdapat aerosolisasi atau terkena percikan darah atau cairan tubuh, cuci tangan
setelah terpajan darah atau cairan tubuh dan sesudah lepasa sarung tangan, sampah-
sampah yang terrkontaminasi darah dimasukkan ke dalam kantong plastik limbah
khusus.
3. Lindungi anak dari kontak infeksius bila tingkat kekebalan anak rendah dengan
cara lakukan skrining infeksi, tempatkan anak bersama anak yang non infeksi dan
batasi pengunjung dengan penyakit infeksi
4. Kaji pencapaian perkembangan anak sesuai usia dan pantau pertumbuhan
(tinggi badan, berat badan, lingkar kepala 
5. Bantu keluarga untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menghambat
kepatuhan terhadap perencanaan pengobatan
6. Ajarkan pada anak dan keluarga untuk menghubungi tim kesehatan bila
terdapat tanda-tanda dan gejala infeksi, ajarkan pada anak dan keluarga
memberitahu dokter tentang adanya efek samping
7. Ajarkan pada anak dan keluarga tentang penjadualan pemeriksaan tindak
lanjut : nama dan nomor telepon dokter serta anggota tim kesehatan lain yang sesuai,
tanggal dan waktu serta tujuan kunjungan pemeriksaan tindak lanjut

Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan pada ibu dan anak yang belum
terinfeksi HIV antara lain :

1. Ibu jangan melakukan hubungan seksual berganti-ganti pasangan tanpa


kondom 
2. Gunakan jarum suntik steril, dan tidak menggunakan jarum suntik secara
bersama secara bergantian atau tercemar darah mengandung HIV. 
3. Tranfusi darah melalui proses pemeriksaan terhadap HIV terlebih dahulu.
4. Untuk Ibu HIV positif kepada bayinya saat hamil, proses melahirkan
spontan/normal sebaiknya tidak menyusui bayi dengan ASInya
5. HIV tidak menular melalui : bersentuhan, bersalaman dan berpelukan (kontak
sosial), berciuman (melalui air liur), keringat, batuk dan bersin, berbagi makanan
atau menggunakan peralatan makan bersama, gigitan nyamuk atau serangga lain,
berenang bersama, dan memakai toilet bersama sehingga tidak perlu takut dan
khawatir tertular HIV.

 Daftar Pustaka

Anonim. (2008). Anak dan HIV.


ihttp://www.odhaindonesia.org/content/anak-dan-hiv. Diakses tanggal 17
Maret 2009

Betz, C.L, Sowden, L.A. (2002). Buku Saku Keperawatan


Pediatri (terjemahan). Edisi 3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Brashers, V.L. (2008). Aplikasi Klinis Patofisiologi Pemeriksaan &


Manajemen (terjemahan). Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC 

Betz, C.L dan Sowden, L.A. (2002). Buku saku Keperawatan


Pediatri (terjemahan). Edisi 3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
 

Betsy. (2009). Derita Anak-anak HIV Positif


http://betsyhr.multiply.com/journal /item/40. Diakses tanggal 17 Maret
2009

Chika. (2007). Luka di mulut tanda adanya gejala HIV pada anak


www.indoforum.org/showthread.php?t=12873 – 47. Diakses tanggal 17 Maret
2009

Doengoes, M.E, Moorhouse, M.F, dan Geissler, A.C. (2000). Rencana Asuhan


Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien (terjemahan). Edisi 3. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC .

Hidayat, A.A. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan


Kebidanan. Cetakan I. Jakarta : Penerbit Salemba Medika

Judarwanto.W .(2008). Manifestasi Klinik dan Diagnosis HIV Pada Anak. 


http://aidshivchildren.blogspot.com/2008/06/.html. Diakses tanggal 17
Maret 2009 

Kristanti. E.Y. (2009). Penyebaran HIV/AIDS Anak Dibawah Lima Tahun


Mengidap HIV/AIDS. http://nasional.vivanews.com/news/read/ Diakses
tangga;l 17 Maret 2009

Nursalam dan Kurniawati, N.D. (2007). Asuhan Keperawatam Pada Pasien


Terifeksi HIV/AIDS. Cetakan I. Jakarta : Penerbit salemba Medika
 

Nusalam, Susilaningrum, R. Utami, S. (2005). Asuhan Keperawatan Bayi dan


Anak (Untuk Perawat dan Bidan). Cetakan I. Jakarta : Penerbit Salemba
Medika

Pustekkom, (2005). HIV/AIDS. Diakses tanggal 16 Maret 2009

Speer, K.M. (2008). Rencana Asuhan Keperawatan Pediatrik Dengan Clinical


Pathways (terjemahan). Edisi 3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Sumadiono, (2007). Terdapat 11 pasien HIV Anak. http://aids-


ina.org/modules. php?. Diakses tanggal 17 Maret 2009

Wong, D.L. (2004). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik (terjemahan).


Edisi 4. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Anda mungkin juga menyukai