MEDAN
2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur pehulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat
dan kasih karuniaNya sehingga makalah ini dapat disusun sampai selesai.Makalah ini disusun
untuk melengkapi tugas mata kuliah Etika dan Estetika. Makalah ini membahas tentang
“Euthanasia” dan hukum yang melandasi euthanasia.Kami mengucapkan terimakasih kepada Ibu
Ade Rahmawati M.Psi selaku Dosen mata kuliah Etika dan Estetika yang telah memberikan
kami tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang yang
kami tekuni. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
kami sehingga makalah ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa isi dari makalah ini belum sempurna. Untuk itu diharapkan
kritik, saran yang membangun demi penyempurnaan isi makalah ini.Semoga makalah ini dapat
bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi
kami sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai.
Penyusun
Kata Pengantar.........................................................................................................i
Daftar Isi...................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................3
1.3 Tujuan dan Manfaat.............................................................................................3
BAB II PEMBAHASAAN
2.1 Pengertian Euthanasia..........................................................................................4
2.2 Sejarah Euthanasia...............................................................................................5
2.3 Pandangan Agama Terhadap Euthanasia.............................................................5
2.4 Klasifikasi Euthanasia..........................................................................................7
2.5 Hukum Negara Mengenai Euthanasia..................................................................8
2.6 Hubungan Etika Dengan Euthanasia....................................................................8
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat pada akhir- akhir ini
mengakibatkan perubahan- perubahan yang demikian cepat dalam kehidupan sosial budaya umat
manusia. Hal ini disebabkan oleh makin banyaknya penemuan- penemuan teknologi modern,
yang tentunya bertujuan untuk kemanfataan kehidupan dan kepentingan umat manusia dengan
segala konsekuensinya. Di antara penemuan-penemuan teknologi yang tidak kalah penting dan
juga demikian pesatnya adalah penemuan dalam bidang kedokteran akan diagnosa. Dengan
adanya perkembangan di bidang teknologi kedokteran ini, maka diagnosa mengenai suatu
penyakit dapat dilakukan dengan lebih sempurna dan akurat, sehingga pengobatannya pun dapat
dilakukan secara efektif. Namun dalam kenyataannya, meskipun teknologi di bidang kedokteran
demikian maju, masih ada beberapa pasien yang tidak dapat dihindarkan dari penderitaan yang
berat. Seorang pasien yang mengidap penyakit tertentu, yang memang sulit penyembuhannya,
seperti penyakit kanker ganas, akan mengalami penderitaan yang sangat berat. Penderitaan yang
berat itu baru akan lepas, apabila kematian telah datang. Namun kematian itu sendiri merupakan
suatu misteri yang sulit untuk ditebak, karena pada umumnya tidak seorangpun yang dapat
mengetahui dengan pasti kapan datangnya kematian itu.
Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan adalah merupakan hak dari Tuhan. Tak
seorangpun yang berhak menundanya sedetikpun, termasuk mempercepat waktu kematian.
Tetapi bagaimana dengan hak pasien untuk mati guna menghentikan penderitaannya. Hal itulah
yang masih menjadi pembahasan hangat di Indonesia. Hak pasien untuk mati, yang seringkali
dikenal dengan istilah euthanasia, sudah kerap dibicarakan oleh para ahli. Namun masalah ini
akan terus menjadi bahan perdebatan, terutama jika terjadi kasus-kasus menarik.
Euthanasia ditujukan pada mengakhiri kehidupan seorang manusia yang dilakukan orang
lain untuk mencegah rasa sakit dalam penderitaan yang berkepanjangan. Ada dua bentuk dasar
euthanasia, yaitu sukarela dan bukan sukarela. Euthanasia dinyatakan sebagai sukarela yaitu
apabila seorang pasien meminta bantuan untuk mempercepat proses kematiannya. Ini berarti
dibantu bunuh diri. Dan apabila euthanasia dinyatakan sebagai bukan sukarela, ini berarti
Agar pembahasan dalam makalah ini lebih terfokus dan sistematis, maka saya merasa
perlu untuk merumuskan masalah, yaitu sebagai berikut :
PEMBAHASAN
Mitos dalam bahasa Indonesia Euthanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu euthanatos
(eu=baik, thanatos=mati). Euthanasia adalah bantuan yang diberikan kepada seseorang untuk
mati dengan tenang atas permintaannya sendiri. Pengertian ini kemudian diperluas dan
euthanasia diartikan sebagai “mengakhiri hidup manusia secara tanpa sakit dengan tujuan
menghentikan penderitaan fisik yang berat dan sebagai cara menangani korban-korban yang
mengalami sakit yang tidak mungkin disembuhkan lagi”. Artinya tindakan euthanasia bersifat
kesengajaan, baik dengan tindakan aktif ataupun pasif, mengakhiri kehidupan oleh orang lain
atas permintaan yang bersangkutan. Adanya bantuan dengan orang lain inilah yang membedakan
euthanasia dengan bunuh diri. Dalam bunuh diri seseorang tidak menggunakan orang lain untuk
memperoleh kematiannya.
Di dalam buku Kode Etik Kedokteran Indonesia, kata euthanasia dapat dipergunakan
dalam tiga arti, yaitu:
1. Berpindah ke alam baqa dengan tenang tanpa penderitaan, untuk yang beriman dengan nama
Allah di bibir.
2. Ketika hidup akan berakhir, di ringankan penderitaan pasien dengan memberikan obat
penenang.
3. Mengakhiri penderitaan hidup seseorang yang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien
sendiri dan keluarganya.
Dalam makalah temu ilmiah Perhuki dikemukakan bahwa pengertian euthanasia ada lah
"tindakan mempercepat kemati an dan memperpendek kehidupan bagi seseorang yang sangat
men derita sebabkan oleh penyakit yang tidak mungkin lagi disembuhkan". Pada prinsipnya
semua pengertian tentang euthanasia hampir bersamaan, karena euthanasia di artikan mati
dengan tenang tanpa suatu penderitaan. Sebagaimana di kemukakan oleh Bachtiar Agus Salim,
SH., bahwa "Euthanasia adalah perbuatan yang dengan sengaja memperpendek hidup dengan
sengaja tidak berbuat untuk memperpanjang hidup demi kepentingan si pasien oleh seorang
Di Indonesia, isu euthanasia muncul belakangan ini kejadiannya berawal dari keinginan
Pasca Satriya Hasan, warga Bogor, yang meminta penetapan izin euthanasia dari Pengadilan
Tinggi Jakarta Pusat. Sebagai suami, ia sudah tidak sanggup lagi menanggung biaya pengobatan
isterinya, Agian Isna Nauli yang sudah sekian lama terbaring di rumah sakit. Tindakanya
tersebut bermula atas saran ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI), Indriyanto Seno
Adji" Euthanasia menjadi persoalan yang rumit karena menyangkut hak hidup, hak asasi
manusia, moralitas, kode etik profesi dan hakekat manusia .
Muncul kontroversi yang menyangkut isu etika euthanasia tidak saja didiskusikan di
kalangan dunia medis, akan tetapi telah merambah kepada para ulama Islam. Meskipun di dalam
hukum Islam belum ada kejelasan atau ketidakpastian dalam menentukan apakah euthanasia
termasuk jarimah (dosa) atau bukan. Pendapat demikian didasarkan atas pertimbangan karena
perbuatan itu telah memenuhi syarat-syarat untuk dapat dilaksanakan dalam qishash (pemberian
Konsep euthanasia yang dirumuskan para ahli, sebenarnya ditemukan pula larangannya
dalam Al-Quran dan Hadits. Misalnya dalam Al-Qur’an pada QS. Al- An’am ayat 151: ”Dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan
sesuatu sebab yang benar”. Membunuh disini dapat diartikan membunuh dengan cara apapun
termasuk membunuh dengan bantuan orang lain seperti konsep euthanasia aktif. Pembunuhan
yang dikecualikan dalam ayat tersebut adalah pembunuhan yang dibenarkan seperti membunuh
saat berperang dalam melawan kaum kafir. Penderitapun tidak berhak mengakhiri hidupnya
dengan bunuh diri karena berputus asa terhadap penyakit yang dideritanya.
Dalam Alkitab, penderitaan mempunyai fungsi yang positif dan konstruktif dalam hidup
manusia (Yakobus 1:2-4; Roma 5:3-4), penderitaan melahirkan ketekunan dan pengharapan dan
kesempurnaan hidup. Jika pro euthanasia mengatakan bahwa mengakhiri penderitaan seseorang
adalah sikap murah hati, berarti penderitaan dijadikan sebagai alat pembenaran praktek.
Walaupun euthanasia dapat mengakhiri penderitaan, euthanasia tetaplah suatu pembunuhan.
Kalau penderitaan diakhiri dengan euthanasia, itu sama artinya menghalalkan segala cara untuk
tujuan tertentu. Dengan demikian tidak ada alasan moral apapun yang mengijinkan pembunuhan,
dan manusia itu sendiri tidak memiliki hak untuk menentukan kematiannya, karena kematian
adalah hak Tuhan. Hal tersebut tidak bisa diterima secara moral maupun keyakinan Kristen.
Euthanasia bila dilihat dari sudut pandang agama buddha berarti termasuk dalam
pembunuhan manusia, walaupun pasien sendiri yang menghendaki untuk dibunuh. Euthanasia
adalah pembunuhan yang dilakukan dengan kehendak (cethana). Euthanasia juga termasuk
dalam tindakan bunuh diri, Sang Buddha menetapkan tindakan membunuh manusia dan bunuh
diri adalah termasik pelanggaran parajika dalam Vinaya pitaka III.
Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia didasarkan pada ajaran tentang karma,
moksa dan ahimsa. Karma merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan
maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata
atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari “karma” yang buruk adalah menjadi
Petrus Yoyo Kardi, membagi euthanasia ke dalam empat kategori dasar, yaitu:
1. Aktif atas kehendak yang bersangkutan (active voluntary euthanasia) adalah apabila
yang bersangkutan meminta agar hidupnya diakhiri dengan segera dan dokter atau orang
lain mengambil tindakan-tindakan untuk mempercepat kematian orang tersebut. Orang
tersebut menghendaki kematiannya karena sudah tidak sanggup menderita sakit
berkepanjangan, sudah tidak mempunyai harapan sembuh, sedang dokter atau orang lain
merasa kasihan dan tidak tega atas penderitaannya dan berusaha mengakhiri hidupnya
tanpa rasa sakit.
2. Pasif atas kehendak yang bersangkutan (passive voluntary euthanasia) adalah bila orang
yang bersangkutan menghendaki segala usaha pertolongan untuk memperpanjang
hidupnya dihentikan sehingga maut bisa segera menjemputnya berhubung ia sudah tidak
tahan lagi menahan penderitaan yang berkepanjangan.
3. Aktif dengan tanpa kehendak yang bersangkutan (active non-voluntary euthanasia )
adalah bila orang yang bersangkutan sudah tidak mampu lagi menyatakan kehendaknya
dan dokter atau orang lain memutuskan untuk menghentikan usaha-usaha pertolongan
yang dimaksudkan untuk menyelamatkan jiwanya karena penyakitnya sudah tidak
tertolong lagi.
4. Pasif tanpa kehendak yang bersangkutan (passive non-voluntary euthanasia), yakni bila
orang yang bersangkutan sudah dalam keadaan parah, sehingga tidak mampu lagi untuk
menyatakan kehendaknya dan dokter atau orang lain karena kasihan, mengakhiri hidup
orang tersebut dengan cara yang tidak menimbulkan rasa sakit sehingga orang tersebut
bebas dari penderitaannya.
Selain keempat bentuk euthanasia yang diuraikan di atas, ada beberapa bentuk
pengakhiran kehidupan yang sangat mirip dengan euthanasia, tetapi sebenarnya bukan
euthanasia. Dalam bahasa Indonesia disebut euthanasia semu. Adapun bentuk-bentuk semu
Keberadaan pasal-pasal tersebut diatas mengingatkan kepada setiap orang untuk berhati-
hati menghadapi kasus euthanasia. Walaupun secara khusus kasus euthanasia tidak dijelaskan
dalam KUHP, namun mengingat euthanasia dapat menghilangkan nyawa seseorang secara
disengaja maka tindakan euthanasia adalah perbuatan yang dilarang dilakukan oleh siapaun
termasuk oleh para dokter atau tenaga medis.
Etika sangat erat kaitannya dengan moral. Bahkan secara etimologi moral mempunyai
arti yang kurang lebih sama dengan etika, sekalipun asal katanya berbeda. Moral adalah nilainilai
dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur
tingkah lakunya. Dari sudut pandang etika/moral, euthanasia berhadapan dengan suatu prinsip
yang sangat mendasar, yakni kita harus menghormati kehidupan manusia. Bahkan kita harus
menghormatinya dengan mutlak. Tidak pernah dibenarkan mengorbankan manusia karena suatu
tujuan. Dalam etika, prinsip ini sudah lama dirumuskan sebagai “kesucian kehidupan” (the
sanctity of life). Kehidupan manusia adalah suci dan martabat luhur setiap manusia tidak
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Euthanasia merupakan praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara
yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal,
biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan. Euthanasia dibedakan
menjadi empat bentuk, yakni euthanasia aktif atas kehendak yang bersangkutan (active voluntary
euthanasia), euthanasia pasif atas kehendak yang bersangkutan (passive voluntary euthanasia),
euthanasia aktif dengan tanpa kehendak yang bersangkutan (active non-voluntary euthanasia),
dan euthanasia pasif tanpa kehendak yang bersangkutan (passive non-voluntary euthanasia).
Euthanasia membuat segala macam argumen pro dan kontra baik di bidang medis,
hukum, dan agama. Euthanasia juga merupakan suatu persoalan yang dilematik baik di kalangan
dokter. Dalam situasi ini dijumpai konflik antara dokter dan pasien yang tidak dapat dipecahkan
oleh kaidah-kaidah etika. Dalam hal seperti ini maka kaidah-kaidah hukum dapat dapat
diberlakukan. Walaupun hukum di Indonesia belum mengatur secara eksplisit tentang
euthanasia, namun secara implisit dimunculkan dalam KUHP yang menyatakan bahwa tindakan
mengakhiri kehidupan seseorang dengan cara apapun termasuk dalam kategori pembunuhan
yang dapat diancam hukuman penjara. Hal ini dapat disimpulkan bahwa euthanasia tidak dapat
diterima secara moral, agama, medis dan hukum yang berlaku di Indonesia.
3.2 Saran
Alasan sosial yang berkembang di masyarakay untuk melegalkan euthanasia adalah idak benar.
Meskipun ada alasan pembenar atas perbuatan penghilangan nyawa tetapi tetap harus dipandang
secara kasuitis dan sifatnya limitatif.Demikian makalah ini kami susun. Dan penyusun
mengucapkan banyak terima kasih atas pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah
ini, sehingga kami dapat menyelesaikannya.ami merasa cukup sekian kata penutup yang
disampaikan. Dalam makalah ini penyusun merasa masih banyak kekurangan. Oleh karena itu
aran dan kritik yang dapat membangun perbaikan makalah ini sedikit banyak kami ucapkan
terima kasih.
L Purwastuti. Tinjauan yuridis euthanasia dilihat dari aspek hukum pidana. Jurnal Ilmu
Hukum, hlm. 110-126.
Noor Tri Hastuti, Ratna Winahayu, Lestari Dewi (2005). Euthanasia dalam perspektif
hukum pidana, etika profesi kedokteran dan hak asasi manusia. Jurnal Perspektif, Vol. X (2).
Pradjonggo, TS (2016). Euthanasia ditinjau dari aspek hukum pidana dan HAM. Jurnal
Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol 1 (1).
Internet. https://zumrohhasanah.wordpress.com/2010/07/05/euthanasia-ditinjau-dari-5-
agama/
Internet.https://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia