Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

PREEKLAMPSIA BERAT

Oleh
Thalia Christabel

Preseptor
Dr. Freddy Dinata, Sp.OG

KEPANITERAAN OBSTETRIK DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
2019
Halaman Pengesahan

Penyusun : Thalia Christabel (406182111)


Perguruan Tinggi : Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Bagian : Ilmu Obstetrik dan Ginekologi
Periode : 11 Maret – 19 Mei 2019
Judul : Preeklampsia Berat
Pembimbing : dr. Freddy Dinata, Sp.OG

Telah diperiksa dan disetujui tanggal :

Kepaniteraan Klinik Ilmu Obstetrik dan Ginekologi


Rumah Sakit Daerah Ciawi
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Mengetahui,
Pembimbing Referat

dr. Freddy Dinata, Sp.OG


BAB I
PENDAHULUAN

Preeklampsia merupakan salah satu penyakit pada wanita yang hamil pertama kali dan
menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi di dunia khususnya di negara
berkembang. Di negara berkembang, angka kematian ibu berkisar 350 per 10.000 kematian.
Angka kematian ibu di Indonesia adalah 470 per 100.000 kelahiran. Angka yang sangat
mengkhawatirkan karena meningkat dari angka yang tercatat peda beberapa tahun
sebelumnya. Dari lima juta kelahiran yang terjadi di Indonesia setiap tahunnya, diperkirakan
20.000 ibu meninggal akibat komplikasi kehamilan atau persalinan. Penyebab kematian ibu
yang utama adalah pendarahan, eklampsia, partus lama, komplikasi aborsi, dan infeksi.
Kontribusi dari penyebab kematian ibu tersebut masing-masing adalah pendarahan 28%,
eklampsia 13%, aborsi yang tidak aman 11%, serta sepsis 10%. Kejadian preeklampsi –
eklampsi dikatakan sebagai masalah kesehatan masyarakat apabila CFR PE-E mencapai
1,4%-1,8% (Zuspan F.P, 1978 dan Arulkumaran ,1995).
Penelitian yang dilakukan Soedjonoes pada tahun 1983 di 12 RS pendidikan di
Indonesia, di dapatkan kejadian PE-E 5,30% dengan kematian perinatal 10,83 per seribu (4,9
kali lebih besar dibanding kehamilan normal). Sedangkan berdasarkan penelitian Lukas dan
Rambulangi tahun 1994, di dua RS pendidikan di Makassar insiden preeklampsia berat
2,61%, eklampsia 0,84%, dan angka kematian akibatnya 22,2%. Target penurunan angka
kematian ibu menjadi 124 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 tidak mudah tercapai
mengingat sistem pelayanan kegawatdaruratan obstetri masih lemah.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Preeklampsia adalah sindrom spesifik kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ


akibat vasospasme dan aktivasi endotel. Penyakit ini merupakan penyakit dengan tanda-tanda
hipertensi, edema dan proteinuria yang timbul akibat kehamilan yang biasanya terjadi pada
triwulan ketiga kehamilan tetapi dapat timbul juga sebelum triwulan ketiga seperti pada
pasien mola hidatidosa.1,2

Preeklampsia ialah penyakit dengan tanda-tanda khas tekanan darah tinggi


(hipertensi), pembengkakan jaringan (edema anasarka), dan ditemukannya protein dalam urin
(proteinuria) yang timbul karena kehamilan. 1,2

Preeklampsia dan eklampsia adalah penyakit hipertensi dalam kehamilan dengan


gejala utama hipertensi akut pada wanita dengan usia kehamilan lebih dari 20 minggu dan
wanita dalam masa nifas. Pada wanita tingkat tanpa kejang disebut preeklampsia dan pada
tingkat dengan kejang disebut eklampsia. Pada umumnya, preeklampsia dan eklampsia baru
timbul sesudah minggu ke-20, setelah persalinan gejala-gejalanya menghilang dengan sendiri.
Untuk diagnosis preeklampsia pada wanita yang hamil 20 minggu atau lebih, ditemukan
sekurang-kurangnya hipertensi dan proteinuria. Namun demikian proteinuria bisa saja tidak
ada apabila timbul hipertensi yang disertai dengan nyeri kepala, penglihatan menjadi kabur,
nyeri abdominal atau dari pemeriksaan laboratorium ditemukan gangguan enzim hati, maka
keadaan ini sangat dicurigai suatu preeklampsia (atypical preeclampsia). 1,2

Dikatakan hipertensi apabila tekanan sistolik dan diastolik ≥140/90 mmHg.


Pengukuran tekanan darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selang 4 jam. Kenaikan
tekanan darah sistolik ≥30 mmHg dan kenaikan tekanan darah diastolik≥15 mmHg sebagai
parameter hipertensi sudah tidak dipakai lagi. 1,2

Proteinuria adalah protein lebih dari 0,3 gr/L dalam urin 24 jam atau lebih dari
1gr/L pada pemeriksaan urin sewaktu. Proteinuria ini harus ada dalam 2 hari berturut-turut
atau lebih.1,2

Dari gejala-gejala klinik preeklampsia dapat dibagi menjadi preeklampsia ringan dan
preeklampsia berat. Pembagian preeklampsia menjadi berat dan ringan tidaklah berarti adanya
dua penyakit yang jelas berbeda, sebab seringkali ditemukan penderita dengan preeklampsia
ringan dapat mendadak mengalami kejang dan jatuh dalam koma. 1,2

Preeklamsia berat merupakan salah satu jenis hipertensi dalam kehamilan yang sering
terjadi. Yang dimaksud dengan preeklamsia adalah sindrom spesifik-kehamilan berupa
berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai dengan
peningkatan tekanan darah dan proteinuria. Preeklampsia terjadi pada umur kehamilan diatas
20 minggu, paling banyak terlihat pada umur kehamilan 37 minggu, tetapi dapat juga timbul
kapan saja pada pertengahan kehamilan. Preeklampsia dapat berkembang dari preeklampsia
yang ringan sampai preeklampsia yang berat.1

KLASIFIKASI

Klasifikasi yang dipakai di Indonesia adalah bedasarkan Report of the National High
Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in Pregnancy
(NHBPEP) yaitu:

1. Hipertensi kronik

2. Preeklampsia – eklampsia

3. Preeklampsia pada hipertensi kronik (preeclampsia superimposed upon chronic


hypertension)

4. Hipertensi gestasional

1. Hipertensi Kronik

Hipertensi yang sudah ada dan dapat diamati sebelum kehamilan atau diagnosa
sebelum usia gestasi 20 minggu. Hipertensi yang didiagnosa pertama kali selama kehamilan
dan tidak kembali normal postpartum juga diklasifikasikan sebagai hipertensi kronik.

2. Preeklampsia – eklampsia

Kedua penyakit ini dikenal sebagai pregnancy-specific syndrome dan merupakan jenis
pregnancy-induced hypertension/PIH karena muncul hanya dengan adanya kehailan dan
berakhir dengan terminasi kehamilan. Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah usia
gestasi 20 minggu disertaia dengan proteinuria pada wanita yang sebelumnya memiliki
tekanan darah normal (normotensive). Bedasarkan manifestasi klinisnya, preeklampsia
diklasifikasikan menjadi preeklampsia ringan dan preeklampsia berat. Eclampsia adalah
kejadian kejang grand mal pada wanita dengan preeklapmsia yang tidak berkaitan dengan
penyebab lain.
3. Preeklampsia pada hipertensi kronik (preeclampsia superimposed upon chronic
hypertension)

Semua gangguan hipertensi kronik, apapun penyebabnya, merupakan predisposisi


timbulnya preeklampsia atau eklampsia. Pada sebagian wanita, hipertensi kronik yang sudah
ada sebelumnya semakin memburuk setelah usia gestasi 24 minggu. Apabilaa disertai dengan
proteinuria, diddiagnosa sebagai preeklampsia pada hiperensi kronik (superimposed
preeclampsia)

EPIDEMIOLOGI

Kejadian preeklampsia di Amerika Serikat berkisar antara 2 – 6 % dari ibu hamil


nulipara yang sehat. Di negara berkembang, kejadian preeklampsia berkisar antara 4 – 18%.
Penyakit preeklampsia ringan terjadi 75% dan peeklampsia berat terjadi 25%. Dari seluruh
kejadian preeklampsia, sekitar 10% kehamilan umurnya kurang dari 34 minggu. Kejadian
preeklampsia meningkat pada wanita dengan riwayat preeklampsia, kehamilan ganda,
hipertensi kronis dan penyakit ginjal.3

Pada ibu hamil primigravida terutama dengan usia muda lebih sering menderita
preeklampsia dibandingkan dengan multigravida. Faktor predisposisi lainnya adalah ras
hitam, usia ibu hamil dibawah 25 tahun atau diatas 35 tahun mola hidatidosa, polihidramnin
dan diabetes. 3,4

FAKTOR RISIKO

Terdapat banyak faktor risiko untuk terjadi hipertensi dalam kehamilan, yang dapat
dikelompokkan dalam faktor risiko sebagai berikut : 2

- Primigravida, primipaternitas
- Hiperplasentosis, misalnya mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes mellitus,
hidrops fetalis, bayi besar
- Umur yang ekstrim
- Riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklamsia
- Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
- Obesitas

ETIOLOGI

Etiologi preeklampsia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Banyak teori-teori
yang dikemukakan oleh para ahli yang mencoba menerangkan penyebabnya, oleh karena itu
disebut “penyakit teori”; namun belum ada yang memberikan jawaban yang memuaskan.
Teori sekarang yang dipakai sebagai penyebab preeklampsia adalah teori “iskemia plasenta”.
Namun teori ini belum dapat menerangkan semua hal yang berkaitan dengan penyakit ini.
Adapun etiologi yang diperoleh dari teori-teori tersebut adalah ; 1-4

1. Peran prostasiklin dan tromboksan

Pada preeklampsia dan eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler,


sehingga sekresi vasodilatator prostasiklin oleh sel-sel endotelial plasenta berkurang,
sedangkan pada kehamilan normal, prostasiklin meningkat. Sekresi tromboksan oleh
trombosit bertambah sehingga timbul vasokonstriksi generalisata dan sekresi
aldosteron menurun. Akibat perubahan ini menyebabkan pengurangan perfusi plasenta
sebanyak 50%, hipertensi dan penurunan volume plasma.

2. Peran faktor imunologis

Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama karena pada kehamilan pertama
terjadi pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna.
Pada preeklampsia terjadi kompleks imun humoral dan aktivasi komplemen. Hal ini
dapat diikuti dengan terjadinya pembentukan proteinuria.

3. Peran faktor genetik

Preeklampsia hanya terjadi pada manusia. Preeklampsia meningkat pada anak dari ibu
yang menderita preeklampsia.

4. Iskemik dari uterus


Terjadi penurunan aliran darah di uterus.
5. Defisiensi kalsium.

Diketahui bahwa kalsium berfungsi membantu mempertahankan vasodilatasi dari


pembuluh darah.

6. Disfungsi dan aktivasi dari endotelial.

Kerusakan sel endotel vaskuler maternal memiliki peranan penting dalam patogenesis
terjadinya preeklampsia. Fibronektin dilepaskan oleh sel endotel yang mengalami
kerusakan dan meningkat secara signifikan dalam darah wanita hamil dengan
preeklampsia. Kenaikan kadar fibronektin sudah dimulai pada trimester pertama
kehamilan dan kadar fibronektin akan meningkat sesuai dengan kemajuan kehamilan.
PATOFISIOLOGI

Preeklampsia termasuk dalam hipertensi dalam kehamilan. Patofisiologi dari


hipertensi dalam kehamilan tidak dapat dijelaskan dalam satu teori saja. Teori-teori yang
sekarang banyak dianut adalah :

1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta

Pada kehamilan normal, rahim, dan plasenta mendapat aliran darah dari cabang-
cabang arteri uterina dan erteria ovarika. Kedua pembuluh darah tersebut menembus
miometrium berupa arteri arkuata dan arteri arkuata memberi cabang arteria radialis. Arteria
radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis dan arteri basalis memberi cabang
arteria spiralis.2

Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblas ke dalam
lapisan otot arteri spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi
dilatasi arteria spiralis. Invasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis,
sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami
distensi dan dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis ini memberi dampak
penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan aliran darah pada
daerah utero plasenta. Akibatnya aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga
meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini dinamakan
‘remodeling arteri spiralis’.2

Pada hipertensi dalam kehamilan, tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada laisan otot
arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku
dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan
vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi, dan terjadi kegagalan
‘remodeling arteri spiralis’, sehingga aliran darah uteroplasenta menurun, dan terjadilah
hipoksia dan iskemia plasenta. Dampak iskemia plasenta akan menimbulkan perubahan-
perubahan yang dapat menjelaskan patogenesis hipertensi dalam kehamilan selanjutnya.2

Diameter rata-rata arteri spiralis pada hamil normal adalah 500 mikron, sedangkan
pada preeklamsia rata-rata 200 mikron. Pada hamil normal vasodilatasi lumen arteri spiralis
dapat meningkatkan 10 kali aliran darah ke uteroplasenta.2

2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel

Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada hipertensi dalam kehamilan
terjadi kegagalan ‘remodeling arteri spiralis’, dengan akibat plasenta mengalami iskemia.
Plasenta yang bebas mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan atau sering
disebut radikal bebas.2

Oksidan atau radikal bebas adalah senyawa penerima elektron atau molekul yang
mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Salah satu oksidan penting yang dihasilkan
plasenta iskemia adalah radikal hidroksil yang sangat toksis, khususnya terhadap membran sel
endotel pembuluh darah. Sebenarnya produksi oksidan pada manusia adalah suatu proses
normal, karena oksidan memang dibutuhkan untuk perlindungan tubuh. Adanya radikal
hidroksil dalam darah iungkin dahulu dianggap sebagai bahan toksin yang beredar dialam
darah, maka dulu hipertensi dalam kehamilah disebut “toksemia”.

Radikal hidroksil akan merusak membran sel, yang mengandung banyak asam lemak
tidak jenuh menjadi peroksia lemak. Peroksida lemak selain akan merusak membran sel, juga
akan merusak nukleus dan protein sel endotel. Dalam kondisi normal, produksi oksidan
(radikal bebas) dalam tubuh selalu diimbangi dengan produksi antioksidan. 2

Pada hipertensi dalam kehamilan, telah terbukti bahwa kadar okasidan, khususnya
peroksida lemak meningkat, sedangkan antioksidan menurun, sehingga terjadi dominasi kadar
oksidan peroksida lemak yang relatif tinggi. 2

Peroksida lemak sebagai oksidan yang sangat toksis ini akan beredar di seluruh tubuh
dalam aliran darah dan akan merusak membran sel endotel. Membran sel endotel lebih mudah
mengalami kerusakan oleh peroksida lemak, karena letaknya langsung berhubungan dengan
aliran darah dan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh sangat
rentan terhadap oksidan radikal hidroksil, yang akan berubah menjadi peroksida lemak.

Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi kerusakan sel
endotel yang kerusakannya dimulai dari membran sel endotel. Kerusakan membran sel
endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel
endotel. Keadaan ini disebut disfungsi endotel. Pada disfungsi endotel, terjadi gangguan
metabolisme prostaglandin, kerusakan agregasi sel trombosit yang mengakibatkan
vasokonstriksi, peningkatan permeabilitas kapiler, peningkatan produksi bahan vasopresor
seperti edotelin, dan peningkatan faktor koagulasi.

3. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin

Dugaan bahwa faktor imunologik berperan terhadap terjadinya hipertensi dalam


kehamilan terbukti dengan fakta sebagai berikut :

- Primigravida mempunyai risiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika
diibandingkan dengan multigravida. Ibu multipara yang kemudian menikah lagi
mempunya risiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan
dengan suami sebelumnya.
- Seks oral mempunyai risiko lebih rendah terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
Lamanya periode hubungan seks sampai saat kehamilan ialah makin lama periode ini,
makin kecil terjadinya hipertensi dalam kehamilan.

Pada perempuan hamil normal, respon imun tidak menolak adanya hasil konsepsi
yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human leukocyte antigen protein G (HLA-G),
yang berperan penting dalam modulasi respon imun, sehingga si ibu tidak menolak hasil
konsepsi. Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel
natural killer (NK) ibu. 2

Selain itu, adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas ke dalam jaringan
desidua ibu. Jadi, HLA-G merupakan prakondisi untuk terjadinya invasi trofoblas ke dalam
jaringan desidua ibu, disamping untuk menghadapi sel NK. Pada plasenta dipertensi dalam
kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-G. Berkurangnya HLA-G di desidua daerah
plasenta, menghambat invasi trofopbblas ke dalam desidua. Invasi trofoblas sangat penting
agar jaringan desidua menjadi lunak, dan gembur sehingga memudahkan terjadinya dilatasi
arteri spiralis. HLA-G juga merangsang produksi sitikon, yang memudahkan terjadinya reaksi
inflamasi.

Pada awal trimester kedua kehamiln, perempuan dengan kecenderungan terjadi


preeklamsia ternyata memiliki proporsi sel Helper yang lebih rendah dibanding pada
normotensif.

4. Teori adaptasi kardiovaskular

Pada hamil normal, pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan vasopressor.


Refrakter berarti pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan bahan vasopresor, atau
dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih tinggi untuk menimbulkan respon vasokonstriksi.
Pada kehamilan normal, terjadinya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor
adalah akibat dilindungi oleh adanya sintesis prostaglandin pada sel endotel pembuluh darah.
2

Pada hipertensi dalam kehamilan, terjadi kehilangan daya refrakter terhadap bahan
vasokonstriktor dan terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan vasopressor. Artinya,
daya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor hilang sehingga pembuluh darah
menjadi sangat peka terhadap bahan vasopresor. Peningkatan kepekaan pada kehamilan yang
akan menjadi hipertensi dalam kehamilan, sudah dapat ditemukan pada kehamilan dua puluh
minggu.

5. Teori genetik

Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotipe ibu lebih
menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial jika dibandingkan dengan
genotipe janin. telah terbukti bahwa pada ibu yang mengalami preeklamsia, 26% anak
perempuannya akan mengalami preeklamsia pula, sedangkan hanya 8% anak menantu
mengalami preeklamsia. 2

6. Teori defisiensi gizi

Penelitian yang dilakukan tentang pengaruh diet pada preeklamsia beberapa waktu
sebelum pecahnya Perang Dunia II menunjukkan bahwa suasana serba sulit mendapat gizi
yang cukup dalam masa persiapan perang menimbulkan kenaikan insiden hipertensi dalam
kehamilan. Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan, termasuk minyak
hati halibut, dapat mengurangi risiko preeklamsia.

Minyak ikan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang dapat menghambat
produksi tromboksan, menghambat aktivasi trombosit, dan mencegah vasokonstriksi
pembuluh darah.

7. Teori stimulus inflamasi

Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas ke dalam sirkulasi darah
merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada kehamilan normal plasenta
juga melepaskan debris trofoblas, sebagai sisa-sisa proses apoptosis dan nekrotik trofoblas,
akibat reaksi stress oksidatif. 2-6

Bahan-bahan ini sebagai bahan asing yang kemudian merangsang timbulnya proses
inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah debris trofoblas masih dalam batas wajar, sehingga
reaksi inflamasi juga masih dalam batas normal. Berbeda dengan proses apoptosis pada
preeklamsia. Pada preeklamsia terjadi peningkatan stress oksidatif sehingga produksi debris
apoptosis dan nekrotik trofoblas juga meningkat. Makin banyak sel trofoblas plasenta,
misalnya pada plasenta besar, pada hamil ganda, maka reaksi stress oksidatif akan sangat
meningkat, sehingga jumlah sisa debris trofoblas juga makin meningkat. Keadaan ini
menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam darah ibu menjadi jauh lebih besar, dibanding
reaksi inflamasi pada kehamilan normal. Respon inflamasi ini akan mengaktivasi sel endotel,
dan sel-sel makrofag/granulosit, yang lebih besar pula, sehingga terjadi reaksi sistemik
inflamasi yang menimbulkan gejala-gejala preeklamsia pada ibu. 2-6
MANIFESTASI KLINIS

1. Gejala subjektif
Pada preeklampsia didapatkan sakit kepala di daerah frontal, skotoma, diplopia,
penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau muntah-muntah. Gejala-gejala ini
sering ditemukan pada preeklampsia yang meningkat dan merupakan petunjuk bahwa
eklampsia akan timbul. Tekanan darah pun akan meningkat lebih tinggi, edema dan
proteinuria bertambah meningkat. 2-6
2. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan meliputi; peningkatan tekanan sistolik
30mmHg dan diastolik 15 mmHg atau tekanan darah meningkat lebih dari 140/90mmHg.
Tekanan darah pada preeklampsia berat meningkat lebih dari 160/110 mmHg dan disertai
kerusakan beberapa organ. Selain itu kita juga akan menemukan takikardia, takipnu, edema
paru, perubahan kesadaran, hipertensi ensefalopati, hiperefleksia, pendarahan otak. 2-6

Diagnosis

Diagnosis preeklampsia dapat ditegakkan dari gambaran klinik dan pemeriksaan


laboratorium. Dari hasil diagnosis, maka preeklampsia dapat diklasifikasikan menjadi dua
golongan yaitu; 2-6

1. Preeklampsia ringan

- Tekanan darah 140/90 mmHg setelah 20 minggu kehamilan dengan riwayat


tekanan darah normal.
- Proteinuria kuantitatif ≥ 0,3 gr perliter atau kualitatif 1+ atau 2+ pada urine kateter
atau midstream.
- Edema pada lengan, muka, perut, atau edema geralisata. Edema lokal tidak
dimasukkan dalam kriteria preeklamsia.

2. Preeklampsia berat

- Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg atau
lebih. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah
sakit dan sudah menjalani tirah baring.
- Proteinuria 2,0 gr atau lebih perliter dalam 24 jam atau > 2+.
- Oligouri, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam.
- Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di epigastrium.
- Kenaikan kadar kreatinin plasma
- Terdapat edema paru dan sianosis
- Trombositopenia berat <100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan cepat.
- Gangguan fungsi hati : peningkatan kadar SGOT dan SGPT.
- Pertumbuhan janin terhambat.
- Sindrom HELLP

TATALAKSANA

Penderita preeklamsi berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inap dan
dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang penting pada preeklamsia
berat adalah pengelolaan cairan karena penderita preeklamsia dan eklamsia mempunyai risiko
tinggi untuk terjadinya edema paru dan oliguria. Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut
belum jelas, tetapi faktor yang sangat menentukan terjadinya edema paru dan oliguria ialah
hipovolamia, vasospasme, kerusakan sel endotel, penurunan gradien tekanan onkotik koloid/
pulmonary capillary wedge pressure. 2-6

Oleh sebab itu, monitoring input cairan (melalui oral maupun infus) dan output cairan
(melalui urin) menjadi sangat penting. Artinya, harus dilakukan pengukuran secara tepat
berapa jumlah cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan melalui urin. Bila terjadi tanda-tanda
edema paru, segera lakukan tindakan koreksi. Cairan yang diberikan dapat berupa 5%
dekstrosa atau cairan garam faali dengan jumlah 125 cc/jam atau infus 5% dekstrosa yang tiap
1 liternya diselingi infus ringer laktat (60-125 cc/jam) sebanyak 500 cc. 2-6

Dipasang Foley catheter untuk mengukur pengeluaran urin. Oliguria terjadi bila
produksi urin <30 cc/jam dalam 2-3 jam atau <500 cc/24 jam. Diberikan antasida untuk
menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang, dapat menghindari risiko aspirasi
asam lambung. Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, dan garam. 2-7

Obat anti kejang yang banyak dipakai di Indonesia adalah Magnesium Sulfat (MgSO-
4). Magnesium Sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan saraf
dengan menghambat transmisi neuromuscular. Transisi neuromuscular membutuhkan kalsium
pada sinaps. Pada pemberian magnesium sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehigga
aliran rangsangan tidak terjadi (terjadi kompetitif inhibitor antara ion kalsium dan ion
magnesium). Kadar kalsum yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium
sulfat. Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi piliha pertama untuk antikejang pada
preeklampsia atau eclampsia. Banyak cara pemberian Magnesium Sulfat:2-7

1. Loading dose : initial dose


4 gram MgSO4 : intravena, (40% dalam 10cc) selama 15 menit

2. Maintenance dose

Diberikan infus 6 gram dalam larutan ringer/6jam; atau diberikan 4 atau 5 gram i.m.
selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram i.m tiap 4 – 6 jam.

3. Syarat-syarat pemberian MgSO4


a. Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium glukonas
10% : 1 g (10% dalam 10cc) diberikan i.v 3 menit
b. Reflex patella (+) kuat
c. Frekuensi pernafasan >16 kali/menit
4. Magnesium Sulfat dihentikan bila:
a. Ada tanda-tanda intoksikasi
b. Setelah 24 jam pasca persalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir
5. Dosis terapeutik dan toksik MgSO4
a. Dosis terapeutik : 4 – 7 mEq/liter (4,8 – 8,4 mg/dL)
b. Hilangnya reflex tendon : 10 mEq/liter (12 mg/dL)
c. Terhentinya pernafasan : 15 mEq/liter (18 mg/dL)
d. Terhentinya jantung : >30mEq/liter (>36 mg/dL)

Pemberian magnesium sulfat dapat menurunkan risiko kematian ibu dan didapatkan
pada 50% pemberiannya menimbulkan efek flushes (efek panas).

Bila terjadi refrakter pada MgSO4 maka diberikan salah satu obat berikut : thiopental
sodium, sodium amobarbital, diazepam atau fenitoin.

Pemberian diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali ada bukti dan tanda adanya
edema paru-paru, payah jantung kongestif atu edema anasarca. Diuretikum yang digunakan
adalah furosemide. Pemberian diuretikum dapat merugikan, yaitu memperberat hipovolemia,
memperburuk perfusi utero-plasenta, meningkatkan hemokonsentrasi, menimbulkan dehidrasi
janin dan menurunkan berat janin.7,8

Pada pasien dengan preeklampsia, kan ditemukan terdapatnya peningkatan tekanan


darah. Pemberian antihipertensi masih terdapat batas penentuan dimana antihipertensi
diberikan pada tekanan darah > 160/110 mmHg seperti yang diusulkan oleh Belfort. Namun
ada juga yang memberikan batas penentuan pemberian antihipertensi yaitu pada keadan
tekanan sistolik ≥180 mmHg dan/atau tekanan diastolik >110 mmHg. Biasanya pemberian
anti hipertensi akan dihentikan bila telah terapat penurunan tekanan darah yang mencapai
<160/105 mmHg atau MAP <125. Pemberian obat antihipertensi yang dapat digunakan antara
lain :

1. Lini pertama

Nifedipin; dosis 10 – 20 mg per oral, diulang setiap 30 menit, maksimal 120 mg dalam
24 jam. Nifedipin tidak boleh diberikan secara sublingual karena efek vasodilatasi yang
sangatcepat, sehingga hanya diberikan per oral.

2. Lini kedua

Sodium nitroprusside; 0,25 ug i.v/kgbb/menit, secara infus, ditingkatkan 0,25 ug


i.v/kgBB/5 menit

3. Alternatif dan dalam penelitian

Calcium channel blockers : isradipin, nimodipin

Berbagai obat telah dianjurkan untuk mengatasi hipertensi berat pada wanita eklamsia.
Terapi antihipertensi lini pertama kami di Parkland Hospital adalah hidralazin. 2-6

Di Parkland Hospital, hidralazin diberikan secara intravena jika tekanan diastolik 110
mm Hg atau lebih atau tekanan sistolik 160 mm Hg atau lebih. Hidralazin diberikan dalam
dosis 5 hingga 10 mg setiap 15 hingga 20 menit sampai dicapai respons yang memuaskan.
Respons memuaskan antepartum atau intrapartum didefinisikan sebagai penurunan tekanan
diastole menjadi 90 sampai 100 mm Hg, tetapi tidak lebih rendah karena perfusi plasenta
dapat terganggu.

Hidralazin yang diberikan dengan cara ini terbukti sangat efektif untuk mencegah
perdarahan otak. jarang diperlukan obat antihipertensi lain akibat respons yang kurang
terhadap hidralazin. Kecenderungan memberi dosis awal hidralazin yang lebih banyak
tekanan darah lebih tinggi harus dihindari. Respons terhadap dosis 5 sampai 10 mg tidak
dapat diperkirakan dari tingkat hipertensinya karena itu, selalu memberi 5 mg sebagai dosis
awal. 2-6,10

SIKAP TERHADAP KEHAMILAN

Pelahiran jalan adalah penyembuhan bagi preeklamsia. Nyeri kepala, gangguan


penglihatan atau nyeri epigastrium merupakan petunjuk bahwa akan terjadi kejang dan
oliguria adalah tanda buruk lainnya. Preeklamsia berat memerlukan anti kejang dan biasanya
terapi antihipertensi diikuti kelahiran. Terapi serupa dengan yang akan dijelaskan kemudian
untuk eklamsia. Tujuan utama adalah mencegah kejang, perdarahan intrakranial dan
kerusakan serius pada organ vital lain, serta melahirkan bayi yang sehat.2-6,10

Namun, apabila janin dicurigai atau diketahui prematur, cenderung penundaan


persalinan dengan harapan bahwa tambahan beberapa minggu in utero akan menurunkan
risiko kematian atau morbiditas serius pada neonatus. Seperti telah dibicarakan, kebijakan
semacam ini jelas dibenarkan untuk kasus yang lebih ringan. Dilakukan penilaian
kesejahteraan janin dan fungsi plasenta, terutama apabila terdapat keengganan untuk
melahirkan janin dengan alasan prematuritas. Sebagian besar peneliti menganjurkan
pemeriksaan berkala berbagai uji yang saat ini digunakan untuk menilai kesejahteraan
janin.6,8-10

Ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala preeklampsia berat


selama perawatan, maka sikap terhadap kehamilan dibagi menjadi :

1. Aktif (aggressive management)

Kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan dengan pemberian pengobatan


medikamentosa

2. Konservatif (ekspektatif)

Kehamilan tetap dipertahankan bersamaan dengan pemberian pengobatan


medikamentosa

1. Perawatan Aktif (agresif)

Pemberian medikamentosa dilaukan, lalu kehamilan akan segera diakhiri. Indikasi


perawatan aktif ialah bila terdapat satu/lebih keadaan di bawah ini :

- Ibu

 Usia kehamilan ibu > 37 minggu.

 Adanya gejala impending eclampsia

 Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu keadaan klinik dan laboratorik
memburuk

 Diduga adanya solusio plasenta

 Adanya onset persalinan, ketuban pecah, atau terdapat perdarahan

- Janin
 Ada tanda-tanda fetal distress

 Ada tanda-tanda intrauterine growth retardation (IUGR)

 NST non reaktif dengan profil biofisik abnormal

 Adanya oligohidramnion

- Laboratorik

Adanya tanda-tanda “sindrom HELLP” terutama bila ditandai dengan


trombositopenia.

2. Perawatan Konservatif

Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehaliman preterm <37 minggu tanpa
disertai tanda-tanda impending eclampsia dengan keadaan janin yang baik. Diberi pengoatan
yang sama dengan pengobatan medikamentosa pada pengelolaan secara aktif. Selama
perawatan konservatif, sikap terhadap kehamilannya ialah hanya observasi dan evaluasi sama
seperti perawatan aktif hanya saja kehamilan tidak diakhiri.

Magnesium sulfat dihentikan bula ibu sudah mencapai tanda-tanda preeklampsia


ringan, selambat-ambatnya dalam 24 jam. Bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan, keadaan
ini dianggap sebagai kegagalan pengobatan medikamentosa dan harus diterminasi. Penderita
boleh dipulangkan bilapenderita kembali ke gejala-gejala atau tanda-tanda preeklampsia
ringan.

HIPERTENSI KRONIK

Hipertensi kronik dalam kehamilan ialah hipertensi yang didapatkan sebelum


timbulnya kehamila. Apabila tida diketahui adanya hipertensi sebelum kehamilan, maka
hipertensi kronik didefinisikan bila didapatkan tekanan darah sistolik 140 mmHg atau tekanan
darah diastolik > 90 mmHg sebelum usia kehamilan 20 minggu.

DIAGNOSIS

Bila didapatkan adanya hipertensi yang telah timbu sebelum kehamilan atau timbul
hipertensi <20 minggu umur kehamilan. Adapaun ciri-ciri kronik hipertensi kronik:

- Umur ibu relatif tua diatas 35 tahun

- Tekanan darah sangat tinggi


- Umumnya multipara

- Umumya ditemukan adanya kelainan jantung, ginjal, dan diabtese melitus

- Obesitas

- Penggunaan obat-obat antihipertensi sebelum kehamilan

- Hipertensi yang menetap pascapersalinan

Pada keadaan buruk dapat terjadi superimposed dengan tanda-tanda adanya


proteinuria, gejala neurologik, nyeri kepala hebat, gangguan visus, edema anasarka, edema
paru. Pada hasil laboratorium dapat terlihat adanya kenaikan serum kreatinin,
trombositopenia, kenaikan transaminase serum hepar.

DAMPAK HIPERTENSI KRONIK PADA KEHAMILAN

Bila perempuan hamil mendapat monoterapi untuk hipertensinya, dan hipertensi dapat
terkendali, maka hipertensi kronik tidak berpengaruh buruk pada kehamilan, meski tetap
mempunyai risiko terjadinya solusio plasenta, ataupun superimposed preeklampsia.
Hipertensi kronik yang diperberat oleh kehamilan akan memberikan tanda-tanda:

- Kenaikan mendadak tekanan darah yang akhirnya disusul dengan proterinuria

- Tekanan darah sistolik >200 mmHg diastolik >130 mmHg, dengan akibat segera
terjadi oliguria dan gangguan ginjal

Dampak hipertensi kronis pada janin ialah pertumbuhan janin yang terhambat atau
fetal growtth restriction, intrauterine growth retardation.

PENGELOLAAN PADA KEHAMILAN

Tujuan pengelolaan adalah meminimalkan atau mncegah dampak buruk pada ibu
ataupun janin akibat hiperteniya sendiri ataupun akibat onbat0obat anitihipertensi. Secara
umum berarti mencegah terjadinya hipertensi ringan menjadi lebih berat (pregnancy
aggravated hypertension). Pada dasarnnya, terapi hipertensi kronik berat hanya
mempertimbangkan keselamatn ibu, tanpa memandang status kehamilan. Hal ini untuk
menghindari terjadinya ddisfungsi jantung dan ginjal.

TATALAKSANA

Pemberian penggunaan obat dapat menggunakan metildopa (dosis 500mg, 3x per


hari), bisa juga dengan Calcium Channel Blocker seperti nifedipin (dosis antara 30 – 90mg
per hari).
Untuk perawatan pasca persalinan, pada hipertensi kronik sama dengan preeklampsia.
Edema serebri, edema paru, gangguan ginjal, dapat terjadi 24 – 36 jam pascapersalinan.
Setelah persalinan, 6 jam pertama akan terjadi resistensi (tahanan) perifer meningkat.
Akibatnya, terjadi peningkatan kerja ventrikel kiri. Bersamaan dengan itu akumulasi cairan
interstitial masuk ke dalam intravaskular. Banyak perempuan dengan hipertensi kronik dan
superimposed preeklampsia mengalami hipovolemia. Bila terjadi perdarahan pascapersalinan,
sangat berbahaya bila diberi cairan kristaloid atau koloid, karena lumen pembuluh darah telah
mengalami vasokonstriksi. Terapi terbaik bila terjadi perdarahan ialah pemberian transfusi
darah.

PROGNOSIS

Preeklampsia diperhitungan terhadap kematian maternal mencapai 14% etiap


tahunnya, yaitu sekitar 50,000 – 75,000 penduduk didunia. Morbiditas dan mortalitas pada
pasien dengan preeklampsia dihubungkan pada keadaan pasien dengan disfungsi sistem
endotel, vasospasme dan trombosis yang berlanjut menjadi iskemia jaringan, dan juga
terhadap angka kejadian strokes dan hemoragik.

Di Indonesia sendiri, preeklampsia menjadi salah satu yang menjadi perhatian khusus
di pelayanan kesehatan pada ibu dan janin.

DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham, F.G et al. Williams Obstetrics.23 rd edition. Volume 2. New York: Mc
Graw Hill Medical Publising Division:2014.p.740-92.
2. Wiknosastro H. Hipertensi dalam kehamilan. Editor Wiknjosastro H, Saifuddin AB,
Rachmihadhi T, dalam Ilmu Kebidanan edisi kedua, cetakan keempat, Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta. 2010.h.530-61.
3. Arnett. Current Obstetry and Gynecology. McGrawHills : USA. 2007.p.345-89
4. Fortner K. Fox HE. Wallach EE. The Johns Hopkins Manual of Gynecology &
Obstetrics. Edisi ke3. Baltimore: Maryland. 2008. p. 982-98.
5. Manuaba I. Preeclampsia. Edisi 2012. Available from URLi
http://www.emedicinehealth.com/preeclampsia/page10_em.htm, 15th February 2019.
6. Sepllan. Prognosis preeclamsia. Edisi 2012. Available from URL:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000898.htm, 15th February 2019.
7. Lim KH. Preeclampsia. Available from URL:
https://emedicine.medscape.com/article/1476919-overview, 15th February 2019.
8. WHO. WHO recommendations for prevention and treatment of pre-eclampsia and
eclampsia. Geneva: WHO; 2011.p.1-38.
9. Peres GM, Mariana M, Cairrão E. Pre-eclampsia and eclampsia: an update on the
pharmacological treatment applied in Portugal 2018. J. Cardiovasc. Dev. Dis. 2018; 5
(3): 1-13.
10. Institute of Obstetrician and Gynaecologists Royal College and Physicians of Ireland.
Clinical practice guideline: the diagnosis and management of severe pre-eclampsia
and eclampsia. Ireland: Institute of Obstetrician and Gynaecologist Royal College and
Physicians of Ireland; 2016. p.6-20.

Anda mungkin juga menyukai