PREEKLAMPSIA BERAT
Oleh
Thalia Christabel
Preseptor
Dr. Freddy Dinata, Sp.OG
Mengetahui,
Pembimbing Referat
Preeklampsia merupakan salah satu penyakit pada wanita yang hamil pertama kali dan
menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi di dunia khususnya di negara
berkembang. Di negara berkembang, angka kematian ibu berkisar 350 per 10.000 kematian.
Angka kematian ibu di Indonesia adalah 470 per 100.000 kelahiran. Angka yang sangat
mengkhawatirkan karena meningkat dari angka yang tercatat peda beberapa tahun
sebelumnya. Dari lima juta kelahiran yang terjadi di Indonesia setiap tahunnya, diperkirakan
20.000 ibu meninggal akibat komplikasi kehamilan atau persalinan. Penyebab kematian ibu
yang utama adalah pendarahan, eklampsia, partus lama, komplikasi aborsi, dan infeksi.
Kontribusi dari penyebab kematian ibu tersebut masing-masing adalah pendarahan 28%,
eklampsia 13%, aborsi yang tidak aman 11%, serta sepsis 10%. Kejadian preeklampsi –
eklampsi dikatakan sebagai masalah kesehatan masyarakat apabila CFR PE-E mencapai
1,4%-1,8% (Zuspan F.P, 1978 dan Arulkumaran ,1995).
Penelitian yang dilakukan Soedjonoes pada tahun 1983 di 12 RS pendidikan di
Indonesia, di dapatkan kejadian PE-E 5,30% dengan kematian perinatal 10,83 per seribu (4,9
kali lebih besar dibanding kehamilan normal). Sedangkan berdasarkan penelitian Lukas dan
Rambulangi tahun 1994, di dua RS pendidikan di Makassar insiden preeklampsia berat
2,61%, eklampsia 0,84%, dan angka kematian akibatnya 22,2%. Target penurunan angka
kematian ibu menjadi 124 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 tidak mudah tercapai
mengingat sistem pelayanan kegawatdaruratan obstetri masih lemah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Proteinuria adalah protein lebih dari 0,3 gr/L dalam urin 24 jam atau lebih dari
1gr/L pada pemeriksaan urin sewaktu. Proteinuria ini harus ada dalam 2 hari berturut-turut
atau lebih.1,2
Dari gejala-gejala klinik preeklampsia dapat dibagi menjadi preeklampsia ringan dan
preeklampsia berat. Pembagian preeklampsia menjadi berat dan ringan tidaklah berarti adanya
dua penyakit yang jelas berbeda, sebab seringkali ditemukan penderita dengan preeklampsia
ringan dapat mendadak mengalami kejang dan jatuh dalam koma. 1,2
Preeklamsia berat merupakan salah satu jenis hipertensi dalam kehamilan yang sering
terjadi. Yang dimaksud dengan preeklamsia adalah sindrom spesifik-kehamilan berupa
berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai dengan
peningkatan tekanan darah dan proteinuria. Preeklampsia terjadi pada umur kehamilan diatas
20 minggu, paling banyak terlihat pada umur kehamilan 37 minggu, tetapi dapat juga timbul
kapan saja pada pertengahan kehamilan. Preeklampsia dapat berkembang dari preeklampsia
yang ringan sampai preeklampsia yang berat.1
KLASIFIKASI
Klasifikasi yang dipakai di Indonesia adalah bedasarkan Report of the National High
Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in Pregnancy
(NHBPEP) yaitu:
1. Hipertensi kronik
2. Preeklampsia – eklampsia
4. Hipertensi gestasional
1. Hipertensi Kronik
Hipertensi yang sudah ada dan dapat diamati sebelum kehamilan atau diagnosa
sebelum usia gestasi 20 minggu. Hipertensi yang didiagnosa pertama kali selama kehamilan
dan tidak kembali normal postpartum juga diklasifikasikan sebagai hipertensi kronik.
2. Preeklampsia – eklampsia
Kedua penyakit ini dikenal sebagai pregnancy-specific syndrome dan merupakan jenis
pregnancy-induced hypertension/PIH karena muncul hanya dengan adanya kehailan dan
berakhir dengan terminasi kehamilan. Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah usia
gestasi 20 minggu disertaia dengan proteinuria pada wanita yang sebelumnya memiliki
tekanan darah normal (normotensive). Bedasarkan manifestasi klinisnya, preeklampsia
diklasifikasikan menjadi preeklampsia ringan dan preeklampsia berat. Eclampsia adalah
kejadian kejang grand mal pada wanita dengan preeklapmsia yang tidak berkaitan dengan
penyebab lain.
3. Preeklampsia pada hipertensi kronik (preeclampsia superimposed upon chronic
hypertension)
EPIDEMIOLOGI
Pada ibu hamil primigravida terutama dengan usia muda lebih sering menderita
preeklampsia dibandingkan dengan multigravida. Faktor predisposisi lainnya adalah ras
hitam, usia ibu hamil dibawah 25 tahun atau diatas 35 tahun mola hidatidosa, polihidramnin
dan diabetes. 3,4
FAKTOR RISIKO
Terdapat banyak faktor risiko untuk terjadi hipertensi dalam kehamilan, yang dapat
dikelompokkan dalam faktor risiko sebagai berikut : 2
- Primigravida, primipaternitas
- Hiperplasentosis, misalnya mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes mellitus,
hidrops fetalis, bayi besar
- Umur yang ekstrim
- Riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklamsia
- Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
- Obesitas
ETIOLOGI
Etiologi preeklampsia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Banyak teori-teori
yang dikemukakan oleh para ahli yang mencoba menerangkan penyebabnya, oleh karena itu
disebut “penyakit teori”; namun belum ada yang memberikan jawaban yang memuaskan.
Teori sekarang yang dipakai sebagai penyebab preeklampsia adalah teori “iskemia plasenta”.
Namun teori ini belum dapat menerangkan semua hal yang berkaitan dengan penyakit ini.
Adapun etiologi yang diperoleh dari teori-teori tersebut adalah ; 1-4
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama karena pada kehamilan pertama
terjadi pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna.
Pada preeklampsia terjadi kompleks imun humoral dan aktivasi komplemen. Hal ini
dapat diikuti dengan terjadinya pembentukan proteinuria.
Preeklampsia hanya terjadi pada manusia. Preeklampsia meningkat pada anak dari ibu
yang menderita preeklampsia.
Kerusakan sel endotel vaskuler maternal memiliki peranan penting dalam patogenesis
terjadinya preeklampsia. Fibronektin dilepaskan oleh sel endotel yang mengalami
kerusakan dan meningkat secara signifikan dalam darah wanita hamil dengan
preeklampsia. Kenaikan kadar fibronektin sudah dimulai pada trimester pertama
kehamilan dan kadar fibronektin akan meningkat sesuai dengan kemajuan kehamilan.
PATOFISIOLOGI
Pada kehamilan normal, rahim, dan plasenta mendapat aliran darah dari cabang-
cabang arteri uterina dan erteria ovarika. Kedua pembuluh darah tersebut menembus
miometrium berupa arteri arkuata dan arteri arkuata memberi cabang arteria radialis. Arteria
radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis dan arteri basalis memberi cabang
arteria spiralis.2
Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblas ke dalam
lapisan otot arteri spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi
dilatasi arteria spiralis. Invasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis,
sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami
distensi dan dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis ini memberi dampak
penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan aliran darah pada
daerah utero plasenta. Akibatnya aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga
meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini dinamakan
‘remodeling arteri spiralis’.2
Pada hipertensi dalam kehamilan, tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada laisan otot
arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku
dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan
vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi, dan terjadi kegagalan
‘remodeling arteri spiralis’, sehingga aliran darah uteroplasenta menurun, dan terjadilah
hipoksia dan iskemia plasenta. Dampak iskemia plasenta akan menimbulkan perubahan-
perubahan yang dapat menjelaskan patogenesis hipertensi dalam kehamilan selanjutnya.2
Diameter rata-rata arteri spiralis pada hamil normal adalah 500 mikron, sedangkan
pada preeklamsia rata-rata 200 mikron. Pada hamil normal vasodilatasi lumen arteri spiralis
dapat meningkatkan 10 kali aliran darah ke uteroplasenta.2
Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada hipertensi dalam kehamilan
terjadi kegagalan ‘remodeling arteri spiralis’, dengan akibat plasenta mengalami iskemia.
Plasenta yang bebas mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan atau sering
disebut radikal bebas.2
Oksidan atau radikal bebas adalah senyawa penerima elektron atau molekul yang
mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Salah satu oksidan penting yang dihasilkan
plasenta iskemia adalah radikal hidroksil yang sangat toksis, khususnya terhadap membran sel
endotel pembuluh darah. Sebenarnya produksi oksidan pada manusia adalah suatu proses
normal, karena oksidan memang dibutuhkan untuk perlindungan tubuh. Adanya radikal
hidroksil dalam darah iungkin dahulu dianggap sebagai bahan toksin yang beredar dialam
darah, maka dulu hipertensi dalam kehamilah disebut “toksemia”.
Radikal hidroksil akan merusak membran sel, yang mengandung banyak asam lemak
tidak jenuh menjadi peroksia lemak. Peroksida lemak selain akan merusak membran sel, juga
akan merusak nukleus dan protein sel endotel. Dalam kondisi normal, produksi oksidan
(radikal bebas) dalam tubuh selalu diimbangi dengan produksi antioksidan. 2
Pada hipertensi dalam kehamilan, telah terbukti bahwa kadar okasidan, khususnya
peroksida lemak meningkat, sedangkan antioksidan menurun, sehingga terjadi dominasi kadar
oksidan peroksida lemak yang relatif tinggi. 2
Peroksida lemak sebagai oksidan yang sangat toksis ini akan beredar di seluruh tubuh
dalam aliran darah dan akan merusak membran sel endotel. Membran sel endotel lebih mudah
mengalami kerusakan oleh peroksida lemak, karena letaknya langsung berhubungan dengan
aliran darah dan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh sangat
rentan terhadap oksidan radikal hidroksil, yang akan berubah menjadi peroksida lemak.
Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi kerusakan sel
endotel yang kerusakannya dimulai dari membran sel endotel. Kerusakan membran sel
endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel
endotel. Keadaan ini disebut disfungsi endotel. Pada disfungsi endotel, terjadi gangguan
metabolisme prostaglandin, kerusakan agregasi sel trombosit yang mengakibatkan
vasokonstriksi, peningkatan permeabilitas kapiler, peningkatan produksi bahan vasopresor
seperti edotelin, dan peningkatan faktor koagulasi.
- Primigravida mempunyai risiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika
diibandingkan dengan multigravida. Ibu multipara yang kemudian menikah lagi
mempunya risiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan
dengan suami sebelumnya.
- Seks oral mempunyai risiko lebih rendah terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
Lamanya periode hubungan seks sampai saat kehamilan ialah makin lama periode ini,
makin kecil terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
Pada perempuan hamil normal, respon imun tidak menolak adanya hasil konsepsi
yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human leukocyte antigen protein G (HLA-G),
yang berperan penting dalam modulasi respon imun, sehingga si ibu tidak menolak hasil
konsepsi. Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel
natural killer (NK) ibu. 2
Selain itu, adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas ke dalam jaringan
desidua ibu. Jadi, HLA-G merupakan prakondisi untuk terjadinya invasi trofoblas ke dalam
jaringan desidua ibu, disamping untuk menghadapi sel NK. Pada plasenta dipertensi dalam
kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-G. Berkurangnya HLA-G di desidua daerah
plasenta, menghambat invasi trofopbblas ke dalam desidua. Invasi trofoblas sangat penting
agar jaringan desidua menjadi lunak, dan gembur sehingga memudahkan terjadinya dilatasi
arteri spiralis. HLA-G juga merangsang produksi sitikon, yang memudahkan terjadinya reaksi
inflamasi.
Pada hipertensi dalam kehamilan, terjadi kehilangan daya refrakter terhadap bahan
vasokonstriktor dan terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan vasopressor. Artinya,
daya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor hilang sehingga pembuluh darah
menjadi sangat peka terhadap bahan vasopresor. Peningkatan kepekaan pada kehamilan yang
akan menjadi hipertensi dalam kehamilan, sudah dapat ditemukan pada kehamilan dua puluh
minggu.
5. Teori genetik
Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotipe ibu lebih
menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial jika dibandingkan dengan
genotipe janin. telah terbukti bahwa pada ibu yang mengalami preeklamsia, 26% anak
perempuannya akan mengalami preeklamsia pula, sedangkan hanya 8% anak menantu
mengalami preeklamsia. 2
Penelitian yang dilakukan tentang pengaruh diet pada preeklamsia beberapa waktu
sebelum pecahnya Perang Dunia II menunjukkan bahwa suasana serba sulit mendapat gizi
yang cukup dalam masa persiapan perang menimbulkan kenaikan insiden hipertensi dalam
kehamilan. Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan, termasuk minyak
hati halibut, dapat mengurangi risiko preeklamsia.
Minyak ikan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang dapat menghambat
produksi tromboksan, menghambat aktivasi trombosit, dan mencegah vasokonstriksi
pembuluh darah.
Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas ke dalam sirkulasi darah
merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada kehamilan normal plasenta
juga melepaskan debris trofoblas, sebagai sisa-sisa proses apoptosis dan nekrotik trofoblas,
akibat reaksi stress oksidatif. 2-6
Bahan-bahan ini sebagai bahan asing yang kemudian merangsang timbulnya proses
inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah debris trofoblas masih dalam batas wajar, sehingga
reaksi inflamasi juga masih dalam batas normal. Berbeda dengan proses apoptosis pada
preeklamsia. Pada preeklamsia terjadi peningkatan stress oksidatif sehingga produksi debris
apoptosis dan nekrotik trofoblas juga meningkat. Makin banyak sel trofoblas plasenta,
misalnya pada plasenta besar, pada hamil ganda, maka reaksi stress oksidatif akan sangat
meningkat, sehingga jumlah sisa debris trofoblas juga makin meningkat. Keadaan ini
menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam darah ibu menjadi jauh lebih besar, dibanding
reaksi inflamasi pada kehamilan normal. Respon inflamasi ini akan mengaktivasi sel endotel,
dan sel-sel makrofag/granulosit, yang lebih besar pula, sehingga terjadi reaksi sistemik
inflamasi yang menimbulkan gejala-gejala preeklamsia pada ibu. 2-6
MANIFESTASI KLINIS
1. Gejala subjektif
Pada preeklampsia didapatkan sakit kepala di daerah frontal, skotoma, diplopia,
penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau muntah-muntah. Gejala-gejala ini
sering ditemukan pada preeklampsia yang meningkat dan merupakan petunjuk bahwa
eklampsia akan timbul. Tekanan darah pun akan meningkat lebih tinggi, edema dan
proteinuria bertambah meningkat. 2-6
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan meliputi; peningkatan tekanan sistolik
30mmHg dan diastolik 15 mmHg atau tekanan darah meningkat lebih dari 140/90mmHg.
Tekanan darah pada preeklampsia berat meningkat lebih dari 160/110 mmHg dan disertai
kerusakan beberapa organ. Selain itu kita juga akan menemukan takikardia, takipnu, edema
paru, perubahan kesadaran, hipertensi ensefalopati, hiperefleksia, pendarahan otak. 2-6
Diagnosis
1. Preeklampsia ringan
2. Preeklampsia berat
- Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg atau
lebih. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah
sakit dan sudah menjalani tirah baring.
- Proteinuria 2,0 gr atau lebih perliter dalam 24 jam atau > 2+.
- Oligouri, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam.
- Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di epigastrium.
- Kenaikan kadar kreatinin plasma
- Terdapat edema paru dan sianosis
- Trombositopenia berat <100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan cepat.
- Gangguan fungsi hati : peningkatan kadar SGOT dan SGPT.
- Pertumbuhan janin terhambat.
- Sindrom HELLP
TATALAKSANA
Penderita preeklamsi berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inap dan
dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang penting pada preeklamsia
berat adalah pengelolaan cairan karena penderita preeklamsia dan eklamsia mempunyai risiko
tinggi untuk terjadinya edema paru dan oliguria. Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut
belum jelas, tetapi faktor yang sangat menentukan terjadinya edema paru dan oliguria ialah
hipovolamia, vasospasme, kerusakan sel endotel, penurunan gradien tekanan onkotik koloid/
pulmonary capillary wedge pressure. 2-6
Oleh sebab itu, monitoring input cairan (melalui oral maupun infus) dan output cairan
(melalui urin) menjadi sangat penting. Artinya, harus dilakukan pengukuran secara tepat
berapa jumlah cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan melalui urin. Bila terjadi tanda-tanda
edema paru, segera lakukan tindakan koreksi. Cairan yang diberikan dapat berupa 5%
dekstrosa atau cairan garam faali dengan jumlah 125 cc/jam atau infus 5% dekstrosa yang tiap
1 liternya diselingi infus ringer laktat (60-125 cc/jam) sebanyak 500 cc. 2-6
Dipasang Foley catheter untuk mengukur pengeluaran urin. Oliguria terjadi bila
produksi urin <30 cc/jam dalam 2-3 jam atau <500 cc/24 jam. Diberikan antasida untuk
menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang, dapat menghindari risiko aspirasi
asam lambung. Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, dan garam. 2-7
Obat anti kejang yang banyak dipakai di Indonesia adalah Magnesium Sulfat (MgSO-
4). Magnesium Sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan saraf
dengan menghambat transmisi neuromuscular. Transisi neuromuscular membutuhkan kalsium
pada sinaps. Pada pemberian magnesium sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehigga
aliran rangsangan tidak terjadi (terjadi kompetitif inhibitor antara ion kalsium dan ion
magnesium). Kadar kalsum yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium
sulfat. Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi piliha pertama untuk antikejang pada
preeklampsia atau eclampsia. Banyak cara pemberian Magnesium Sulfat:2-7
2. Maintenance dose
Diberikan infus 6 gram dalam larutan ringer/6jam; atau diberikan 4 atau 5 gram i.m.
selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram i.m tiap 4 – 6 jam.
Pemberian magnesium sulfat dapat menurunkan risiko kematian ibu dan didapatkan
pada 50% pemberiannya menimbulkan efek flushes (efek panas).
Bila terjadi refrakter pada MgSO4 maka diberikan salah satu obat berikut : thiopental
sodium, sodium amobarbital, diazepam atau fenitoin.
Pemberian diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali ada bukti dan tanda adanya
edema paru-paru, payah jantung kongestif atu edema anasarca. Diuretikum yang digunakan
adalah furosemide. Pemberian diuretikum dapat merugikan, yaitu memperberat hipovolemia,
memperburuk perfusi utero-plasenta, meningkatkan hemokonsentrasi, menimbulkan dehidrasi
janin dan menurunkan berat janin.7,8
1. Lini pertama
Nifedipin; dosis 10 – 20 mg per oral, diulang setiap 30 menit, maksimal 120 mg dalam
24 jam. Nifedipin tidak boleh diberikan secara sublingual karena efek vasodilatasi yang
sangatcepat, sehingga hanya diberikan per oral.
2. Lini kedua
Berbagai obat telah dianjurkan untuk mengatasi hipertensi berat pada wanita eklamsia.
Terapi antihipertensi lini pertama kami di Parkland Hospital adalah hidralazin. 2-6
Di Parkland Hospital, hidralazin diberikan secara intravena jika tekanan diastolik 110
mm Hg atau lebih atau tekanan sistolik 160 mm Hg atau lebih. Hidralazin diberikan dalam
dosis 5 hingga 10 mg setiap 15 hingga 20 menit sampai dicapai respons yang memuaskan.
Respons memuaskan antepartum atau intrapartum didefinisikan sebagai penurunan tekanan
diastole menjadi 90 sampai 100 mm Hg, tetapi tidak lebih rendah karena perfusi plasenta
dapat terganggu.
Hidralazin yang diberikan dengan cara ini terbukti sangat efektif untuk mencegah
perdarahan otak. jarang diperlukan obat antihipertensi lain akibat respons yang kurang
terhadap hidralazin. Kecenderungan memberi dosis awal hidralazin yang lebih banyak
tekanan darah lebih tinggi harus dihindari. Respons terhadap dosis 5 sampai 10 mg tidak
dapat diperkirakan dari tingkat hipertensinya karena itu, selalu memberi 5 mg sebagai dosis
awal. 2-6,10
2. Konservatif (ekspektatif)
- Ibu
Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu keadaan klinik dan laboratorik
memburuk
- Janin
Ada tanda-tanda fetal distress
Adanya oligohidramnion
- Laboratorik
2. Perawatan Konservatif
Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehaliman preterm <37 minggu tanpa
disertai tanda-tanda impending eclampsia dengan keadaan janin yang baik. Diberi pengoatan
yang sama dengan pengobatan medikamentosa pada pengelolaan secara aktif. Selama
perawatan konservatif, sikap terhadap kehamilannya ialah hanya observasi dan evaluasi sama
seperti perawatan aktif hanya saja kehamilan tidak diakhiri.
HIPERTENSI KRONIK
DIAGNOSIS
Bila didapatkan adanya hipertensi yang telah timbu sebelum kehamilan atau timbul
hipertensi <20 minggu umur kehamilan. Adapaun ciri-ciri kronik hipertensi kronik:
- Obesitas
Bila perempuan hamil mendapat monoterapi untuk hipertensinya, dan hipertensi dapat
terkendali, maka hipertensi kronik tidak berpengaruh buruk pada kehamilan, meski tetap
mempunyai risiko terjadinya solusio plasenta, ataupun superimposed preeklampsia.
Hipertensi kronik yang diperberat oleh kehamilan akan memberikan tanda-tanda:
- Tekanan darah sistolik >200 mmHg diastolik >130 mmHg, dengan akibat segera
terjadi oliguria dan gangguan ginjal
Dampak hipertensi kronis pada janin ialah pertumbuhan janin yang terhambat atau
fetal growtth restriction, intrauterine growth retardation.
Tujuan pengelolaan adalah meminimalkan atau mncegah dampak buruk pada ibu
ataupun janin akibat hiperteniya sendiri ataupun akibat onbat0obat anitihipertensi. Secara
umum berarti mencegah terjadinya hipertensi ringan menjadi lebih berat (pregnancy
aggravated hypertension). Pada dasarnnya, terapi hipertensi kronik berat hanya
mempertimbangkan keselamatn ibu, tanpa memandang status kehamilan. Hal ini untuk
menghindari terjadinya ddisfungsi jantung dan ginjal.
TATALAKSANA
PROGNOSIS
Di Indonesia sendiri, preeklampsia menjadi salah satu yang menjadi perhatian khusus
di pelayanan kesehatan pada ibu dan janin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham, F.G et al. Williams Obstetrics.23 rd edition. Volume 2. New York: Mc
Graw Hill Medical Publising Division:2014.p.740-92.
2. Wiknosastro H. Hipertensi dalam kehamilan. Editor Wiknjosastro H, Saifuddin AB,
Rachmihadhi T, dalam Ilmu Kebidanan edisi kedua, cetakan keempat, Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta. 2010.h.530-61.
3. Arnett. Current Obstetry and Gynecology. McGrawHills : USA. 2007.p.345-89
4. Fortner K. Fox HE. Wallach EE. The Johns Hopkins Manual of Gynecology &
Obstetrics. Edisi ke3. Baltimore: Maryland. 2008. p. 982-98.
5. Manuaba I. Preeclampsia. Edisi 2012. Available from URLi
http://www.emedicinehealth.com/preeclampsia/page10_em.htm, 15th February 2019.
6. Sepllan. Prognosis preeclamsia. Edisi 2012. Available from URL:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000898.htm, 15th February 2019.
7. Lim KH. Preeclampsia. Available from URL:
https://emedicine.medscape.com/article/1476919-overview, 15th February 2019.
8. WHO. WHO recommendations for prevention and treatment of pre-eclampsia and
eclampsia. Geneva: WHO; 2011.p.1-38.
9. Peres GM, Mariana M, Cairrão E. Pre-eclampsia and eclampsia: an update on the
pharmacological treatment applied in Portugal 2018. J. Cardiovasc. Dev. Dis. 2018; 5
(3): 1-13.
10. Institute of Obstetrician and Gynaecologists Royal College and Physicians of Ireland.
Clinical practice guideline: the diagnosis and management of severe pre-eclampsia
and eclampsia. Ireland: Institute of Obstetrician and Gynaecologist Royal College and
Physicians of Ireland; 2016. p.6-20.