Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

TENTANG

“STRATEGI PEMBELAJARAN AFEKTIF”

KELOMPOK X

RAZAB NUUR (A1I116060)

NURHIKMAWATI (A1I216049)

SUHENDRI (A1I117148)

ARNAS (A1I119024)

RATRI (A1I119054)

MUHAMMAD WALDY (A1I1190082)

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2020
KATA PENGANTAR

                Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha  Esa yang telah
memberkati kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Kami
juga ingin mengucapkan terimakasih bagi seluruh pihak yang telah membantu kami
dalam pembuatan makalah  ini dan berbagai sumber yang telah kami pakai sebagai data
dan fakta pada makalah ini.
            Kami  mengakui bahwa kami adalah manusia yang mempunyai
keterbatasan  dalam berbagai hal. Oleh karena itu tidak ada hal yang dapat diselesaikan
dengan sangat  sempurna. Begitu pula dengan makalah  ini yang telah kami selesaikan
tidak semua dapat kami deskripsikan dengan sempurna dengan makalah  ini. Kami
melakukannya semaksimal mungkin dengan kemampuan yang kami miliki. Dimana kami
juga memiliki keterbatasan kemampuan. Untuk itu kami mohon saran dan kritik dari
pembaca yang mana sebagai batu loncatan untuk penyusunan makalah berikutnya. Kami
harap dengan makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca dan terutama untuk pribadi kami
sendiri.

Kendari, 24 Maret 2020

                                                                                                         
 Penulis
 

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Strategi Pembelajaran Afektif 3
2.2 Hakikat Strategi Pembelajaran Afektif 5
2.3 Karakteristik Strategi Pembelajaran Afektif 9
2.4 Proses dan Model Strategi Pembelajaran Afektif 14
2.4.1 Proses Strategi Pembelajaran Afektif 14
2.4.2 Model Strategi Pembelajaran Afektif 15
2.5 Keunggulan,Kesulitan dan Cara Mengatasi Kesulitan Dalam
Pelaksanaan Strategi Pembelajaran Afektif 17
2.5.1 Kelebihan Strategi Pembelajaran Afektif 17
2.5.2 Kesulitan Dalam Pelaksanaan Strategi Pembeljaran
Afektif 17
2.5.3 Cara mengatasi Kesulitan dalam Pembelajaran
Afektif 19

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan 21
3.2 Saran 23

DAFTAR PUSTAKA 24

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latarbelakang Masalah
            Masalah-masalah kehidupan bermasyarakat yang ditandai oleh maraknya berbagai
problem sosial bersumber dari lemahnya sumber daya manusia dan atau modal sosial
yang ada di masyarakat. Persoalan-persoalan tersebut tentunya bukanlah semata-mata
menjadi tanggung jawab dunia pendidikan, namun pendidikanlah yang paling banyak
berperan terhadap munculnya persoalan-persoalan tersebut.
 Orang-orang yang telah melewati sistem pendidikan, mulai dari pendidikan
dalam keluarga, pendidikan di masyarakat dan di lembaga-lembaga pendidikan formal,
kurang memiliki kemampuan untuk mengelola kekacauan. Demikian juga kesadaran
individu akan nilai-nilai  kesatuan dalam kemajemukan, nilai-nilai moral, kemanusiaan,
dan religi, pengembangan kreativitas, produktivitas, berpikir kritis, tanggungjawab,
kemandirian, berjiwa kepemimpinan serta kemampuan berkolaborasi kurang berkembang
dengan baik,sehingga orang-orang muda selalu menjadi korban kekacauan.
     Asumsi-asumsi yang melandasi program-program  pendidikan sering kali tidak sejalan
dengan hakekat belajar, hakekat orang yang belajar, dan hakekat orang yang mengajar.
Dunia pendidikan, lebih khusus lagi dunia belajar, didekati dengan  paradigma yang tidak
mampu menggambarkan hakekat belajar dan pembelajaran secara komprehensif. Praktek-
praktek pendidikan dan pembelajaran sangat diwarnai oleh landasan teoretik dan
konseptual yang tidak akurat. Pendidikan dan pembelajaran selama ini hanya
mengagungkan pada pembentukan aspek-aspek kognitif dengan sedikit ketrampilan.
Sistem pendidikan yang dianut bukan lagi suatu upaya pencerdasan kehidupan bangsa
agar mampu mengenal realitas diri dan dunianya, melainkan suatu upaya pembutaan
kesadaran yang disengaja dan  terencana (Berybe, 2001) yang menutup proses perubahan
dan perkembangan.
    Sudah saatnya orang-orang muda dipersiapkan untuk memasuki era demokratisasi,
suatu era yang ditandai oleh keragaman perilaku, dengan cara terlibat dan
mengalami langsung proses pendemokrasian ketika mereka berada di dalam setting
belajar. Keterlambatan hanya akan memunculkan peluang terjadinya peristiwa kekerasan
sebagaimana yang terjadi akhir-akhir ini. Kita perlu mengkaji ulang, atau dengan
ungkapan lain, kita perlu melakukan  reformasi, redefinisi, dan reorientasi

1
bahkan revolusi terhadap landasan teoritik dan  konseptual tentang belajar dan
pembelajaran, agar lebih mampu menumbuh kembangkan anak-anak bangsa ini untuk
lebih menghargai keragaman, meningkatkan kesadaran individu akan nilai-nilai kesatuan
dalam kemajemukan, nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan religi, mengembangkan
kreativitas, produktivitas, berpikir kritis, bertanggungjawab, memiliki kemandirian,
berjiwa kepemimpinan serta mampu berkolaborasi. Bagaimana pengajar/guru dapat
memfasilitasi terjadinya perkembangan kemampuan  siswa/mahasiswa pada aspek-aspek
afektif tersebut secara optimal ?.

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dari strategi pembelajaran afektif adalah sbb :
1. Apakah pengertian dari strategi pembelajaran afektif  ?
2. Bagaimana karakteristik dari strategi pembelajaran afektif  ?
3. Apa saja model-model  dari pembelajaran afektif ?
4. Apa kelemahan dari  pembelajaran afektif ?
5. Bagaimana keunggulan,kesulitan dan cara mengatasi kesulitan dalam pelaksanaan
strategi pembelajaran afektif?

1.3. Tujuan Penulisan


            Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui pengertian strategi pembelajaran afektif.
2. Mengetahui karakteristik yang terkandung dari straegi pembelajaran afektif
3. Mengetahui model-model dari strategi pembelajaran afektif.
4. Mengetahui kelemahan dari strategi pembelajaran afektif.
5. Mengetahui keunggulan,kesulitan dan cara mengatasi kesulitan dalam pelaksanaan
strategi pembelajaran afektif.

2
                                                          BAB II
                                                  PEMBAHASAN
                                                                        
  2.1.  Pengertian Strategi Pembelajaran Afektif
Dalam dunia pendidikan strategi di artikan sebagai a plan, method, or series of
activities designed to achieves a particular educational goal (J.R. David, 1976). Jadi
dengan demikian, strategi pembelajaran dapat di artikan sebagai perencanan yang berisi
tentang rangkaian kegiatan yang di desain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
[1]sedangkan menurut Kemp (1995) menjelaskan bahwa strategi pembelajaran adalah
suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan
pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien, dan menurut Dick and Caret (1985)
mengartikan strategi pembelajaran adalah suatu set materi dan prosedur pembelajaran
yang digunakan secara bersama-sama untuk menimbulkan hasil belajar pada siswa.

Kecacatan metodologi berbagai strategi pembelajaran yang telah lama


berlangsung hingga saat ini adalah tidak seimbangnya pengembangan ranah kognitif,
afektif,psikomotor. Selama ini, hampir semua strategi pembelajaran menitikberatkan pada
pengembangan kognitif peserta didik. Di sisi lain, pengembangan ranah afektif dan
psikomotor tidaklah mudah. Dalam konteks ini, keberadaan strategi pembelajaran afektif
memeberi harapan besar bagi penyeimbangan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.[2]

Strategi pembelajaran adalah strategi pembelajaran yang mampu membentuk


sikap peserta didik melalui proses pembelajaran (Hamruni 2009). Ditinjau dari segi nama
harfiah, strategi ini menekankan pada aspek afektif, bukan kognitif maupun psikomotor.
Hal ini bukan berarti strategi ini lepas sama sekali dengan aspek kognitif maupun
psikomotor, namun hanya komposisinya lebih dominan afektif. Afektif berbeda dengan
kognitif, jika afektif adalah sikap mental(emosional), maka kognitif adalah
pemikiran(intelektual); jika kognisi membutuhkan suatu disiplin mata pelajaran tertentu
yang berdiri sendiri (matematika, misalnya), maka tidak demikian dengan afeksi. Oleh
karena itu, pemebelajaran afektif untuk membentuk sikap peserta didik tidak bisa di
bebankan pada hanya satu mata pelajaran tertentu saja. Dengan kata lain, pembentukan
sikap(afeksi) harus menjadi tanggung jawab semua matapelajaran. Dalam hal ini, atrategi
pembelajaran menjadi jembatan antar mata pelajaran dalam membentuk sikap (afeksi)

3
peserta didik. Dengan kata lain, mata pelajaran apapun yang di ajarkan dengan metode
afektif dapat membentuk sikap dan mental pesertsa didik.

Dengan demikian, jelas bahwa strategi pembelajaran afektif adalah strategi


pembelajaran pembentukan sikap, moral atau karakter peserta didik melalui semua mata
pelajaran. Hal ini dikarenakan ranah afektif peseta didik sangat berkaitan dengan
komotmen, tanggung jawab, kerja sama, disiplin, percaya diri, jujur, menghargai
pendapat orang lain mengendalikan diri, dan lain sebgainya. Semua yang di sebutkan
tidak lain dan tidak bukan adalah nila-nilai strategi pembelajaran karakter itu sendiri.

Strategi pembelajaran afektif di kembangkan dari psikologi behavioral, di mana


stimulus-respons (s-r) dapat membentuk perilaku sikap (baru). Afektif selalu
berhubungan dengan minat dan sika, seperti komitmen, tanggung jawab, disiplin percaya
diri, jujur, menghargai pendapat orang lain, pengendalian diri dan sebagainya. Oleh
karena itu, ketika strategi pembelajaran, secara otomatis akan berorientasi pada
penanaman nilai-nilai karakter tersebut. Dalam pengertian lain, ranah afektif sangat
mempengaruhi perasaan atau emosi positif, sehingga guru dapat memandang proses
belajar peserta didik sebagai “proses menjadi”, bukan berhenti pada “hasil jadi”.

Dalam dimensi yang lebih luas, dimensi afeksi atau afektif merupaka sisi
kejiwaan (psikis) peserta didik yang relatif sulit di baca dan di ukur secara kognitif.
Namun demikian, hal ini bukan berarti mustahil di jelajahi. Melalui gejala psikologi yang
di timbulkan (perilaku, kedisiplinan, sikap, dan lain-lain), dimensi afeksi peserta didik
dapat di pelajari bahkan di bentuk sesuai asas-asas pendidikan.

Dimensi afektif seringkali di sebut sebagai dimensi emosi. Berbagai penelitian


menunjukkan bahwa emosi (afektif) mempunyai pengaruh besar bagi keberhasilan belajar
peserta didik (Eric Jensen, 2008), penerapan strategi pembelajaran afektif berpengaruh
besar dalam meningkatkan prestasi belajar peseta didik. Misalnya peserta didik yang
memiliki minat belajar atau emosi positif terhadap pelajaran tertentu akan mersa senang
mempelajari mata pelajaran tersebut, sehingga dapat mencapai hasil belajar yang optimal.
[3]

            Strategi Pembelajaran Afektif memang berbeda dengan strategi pembelajaran


kognitif dan keterampilan. Afektif berhubungan dengan nilai (value), yang sulit diukur,
oleh sebab itu menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam diri siswa.

4
Dalam batasan tertentu memang afeksi dapat muncul dalam kejadian behavioral, akan
tetapi penilaiannya untuk sampai kepada kesimpulan yang bisa dipertanggungj awapkan
membutuhkan ketelitian dan observasi yang terus menerus, dan hal ini tidaklah mudah
untuk dilakukan. Apabila menilai perubahan sikap sebagai akibat dari proses
pembelajaran yang dilakukan guru disekolah kita tidak bisa menyimpulkan bahwa sikap
anak itu baik, misalnya dilihat dari kebiasaan bahasa atau sopan santun yang
bersangkutan, sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan guru. Mungkin
sikap itu terbentuk oleh kebiasaan guru dalam keluarga dan lingkungan sekitar.
            Strategi pembelajaran afektif pada umumnya menghadapkan siswa pada situasi
yang mengandung konflik atau situasi yang problematis, dan pengajar dapat membina
dalam menyelesaikan masalah tersebut sesuai dengan tingkat nilai kemampuan masing-
masing.

2.2.  Hakikat Strategi Pembelajaran Afektif


Agar lulusan pendidikan  memiliki integritas pribadi di bidang keilmuannya
secara optimal, disamping menguasai substansi bidang keilmuan pada sisi kognitif dan
psikomotorik, diperlukan pula penguasaan pada aspek-aspek afektif. Studi tentang
pembelajaran untuk aspek-aspek afektif dapat memberikan kontribusi yang berarti,
sekalipun studi ini belum cukup menjamin terbentuknya integritas pribadi yang ideal.
Studi tentang pembelajaran aspek-aspek afektif tidak bersifat teknis melainkan refleksif,
yaitu suatu  refleksi tentang nilai-nilai dan atau tema-tema yang berkaitan dengan
perilaku manusia terutama  pada pengembangan aspek perasaan, sikap, nilai dan emosi.
Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya
tersenbunyi, tidak berada di dalam dunia yang empiris.Nilai berhubungan dengan
pandangan seseorang tentang baik dan buruk, indah dan tidak indah, layak dan tidak
layak, adil dan tidak adil, dan lain sebagainya. Pandangan seseorang tentang senua itu
tidak bisa diraba, kita hanya mungkin dapat mengetahuinya dari perilaku yang
bersangkutan. Oleh karena itulah nilai pada dasarnya standar perilaku, ukuran yang
menentukan atau kriteria seseorang tentang baik dan buruk, indah dan tidak indah, layak
dan tidak layak, adil dan tidak adil, dsb. Sehingga standar itu yang akan mewarnai
perilaku sesorang. Dengan demikian pendidikan nilai pada dasarnya merupakan proses
penanaman nilai kepada peserta didik yang diharapkan, oleh karenanya siswa dapat
berperilaku sesuai dengan pandangan yang dianggapnya baik dan tidak bertentangan
dengan norma-norma yang berlaku. Banyak ahli pendidikan yang juga menaruh perhatian

5
khusus pada strategi pembelajaran afektif,berikut adalah pendapat beberapa ahli yang
berhubungan dengan strategi pembelajaran afektif :
1. Bloom (1976),Mengatakan bahwa hasil belajar mencakup prestasi belajar,
kecepatan belajar, dan hasil afektif.
2. Andersen (1981),Andersen sependapat dengan Bloom bahwa karakteristik
manusia meliputi cara yang tipikal dari berpikir, berbuat, dan perasaan. Tipikal
berpikir berkaitan dengan ranah kognitif, tipikal berbuat berkaitan dengan ranah
psikomotor, dan tipikal perasaan berkaitan dengan ranah afektif. Ranah afektif
mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, atau nilai. Ketiga
ranah tersebut merupakan karakteristik manusia sebagai hasil belajar dalam
bidang pendidikan.
3. Popham (1995), Ranah afektif menentukan keberhasilan belajar seseorang. Orang
yang tidak memiliki minat pada pelajaran tertentu sulit untuk mencapai
keberhasilan belajar secara optimal. Seseorang yang berminat dalam suatu mata
pelajaran diharapkan akan mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Oleh
karena itu semua pendidik harus mampu membangkitkan minat semua peserta
didik untuk mencapai kompetensi yang telah ditentukan. Selain itu ikatan
emosional sering diperlukan untuk membangun semangat kebersamaan,
semangat persatuan, semangat nasionalisme, rasa sosial, dan sebagainya. Untuk
itu semua dalam merancang program pembelajaran, satuan pendidikan harus
memperhatikan ranah afektif.

Dari pendapat beberapa ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa keberhasilan
pembelajaran pada ranah kognitif dan psikomotor dipengaruhi oleh kondisi afektif peserta
didik. Peserta didik yang memiliki minat belajar dan sikap positif terhadap pelajaran akan
merasa senang mempelajari mata pelajaran tertentu, sehingga dapat mencapai hasil
pembelajaran yang optimal. Walaupun para pendidik sadar akan hal ini, namun belum
banyak tindakan yang dilakukan pendidik secara sistematik untuk meningkatkan minat
peserta didik. Oleh karena itu untuk mencapai hasil belajar yang optimal, dalam
merancang program pembelajaran dan kegiatan pembelajaran bagi peserta didik, pendidik
harus memperhatikan karakteristik afektif peserta didik. Sementara itu Douglas Graham
(Gulo, 2002) melihat empat faktor yang merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap
nilai tertentu yaitu :

6
a. Normativist, biasanya kepatuhan pada norma-norma dan hukum. Selanjutnya
dikatakan bahwa kepatuhan ini terdapat dalam tiga bentuk, yaitu :
1).Kepatuhan pada nilai atau norma itu sendiri.
2).Kepatuhan pada proses tanpa memperdulikan normanya sendiri.
3).Kepatuhan pada hasilnya atau tujuan yang diharapkannya dari peraturan itu.
b. Integralist, yaitu kepatuhan yang didasarkan kepada kesadaran dengan
pertimbangan-pertimbangan yang rasional.
c. Fenomenalist, yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basa-basi.
d. Hedonist, yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri.

         Dari keempat faktor yang menjadi dasar kepatuhan setiap individual, tentu saja
yang kita harapkan adalah kepatuhan yang bersifat normativist, karena kepatuhan
semacam itu adalah kepatuhan yang didasari kesadaran akan nilai, tanpa memperdulikan
apakah perilaku itu menguntungkan untuk dirinya atau tidak.
          Selanjutnya dalam sumber yang sama dijelaskan, dari empat faktor ini terdapat
lima tipe kepatuhan, yaitu :
a. Otoritarian, yaitu suatu kepatuhan tanpa reserve atau kepatuhan yang ikut-ikutan.
b. Conformist, kepatuhan tipe ini mempunyai tiga bentuk, yaitu :
   1).Conformist Directed, yaitu penyesuaian diri terhadap masyarakat atau orang
lain.
   2).Conformist Hedonist, yakni kepatuhan yang berorientasi pada “untung-rugi”.
   3).Conformist Integral, adalah kepatuhan yang menyesuaikan kepentingan diri
sendiri dan masyarakat.
c. Compulsive Deviant, yaiut kepatuhan yang tidak konsisten.
d. Hedonik Psikopatik, yaitu kepatuhan pada kekayaan tanpa memperhitungkan
kepentingan orang lain.
e. Supramoralist, yaitu kepatuhan karena keyakinan yang tinggi terhadap nilai-nilai
moral.

Dalam masyarakat yang cepat berubah seperti dewasa ini, pendidikan nilai bagi
anak merupakan hal yang sangat penting. Hal ini disebabkan pada era global ini, anak
akan dihadapkan pada banyak pilihan tentang nilai yang mungkin dianggapnya baik.
Penukaran dan pengikisan nilai-nilai suatu masyarakat dewasa ini akan mungkin terjadi
secara terbuka. Nilai-nilai yang dianggap baik oleh suatu kelompok masyarakat bukan tak

7
mungkin akan menjadi luntur digantikan oleh nilai-nilai baru yang belum tentu cocok
dengan budaya masyarakat.
Gulo (2005), menyimpulkan tentang nilai sebagai berikut :
 Nilai tidak bisa diajarkan tetapi diketahui dari penampilannya.
 Pengembangan domain afektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari asfek
kognitif dan psikomotor.
 Masalah nilai adalah masalah emosional dank arena itu dapat berubah,
berkembang, sehingga bisa dibina.
 Perkembangan nilai atau moral tidak terjadi sekaligus, tetapi melalui
tahap tertentu.
       Menurut Martin dan Briggs (1986), perkembangan kepribadian manusia (self-
development) sebagai tujuan pendidikan merupakan komponen afektif paling inklusif
yang mencakup nilai, moral dan etika, motivasi dan kompetensi sosial. Nilai lebih
inklusif dari pada sikap (attitudes) dan berbeda dengan moral dan etika. Nilai berkenaan
dengan penilaian terhadap sesuatu yang berharga atau bernilai, sedangkan moral dan etika
berkenaan dengan penilaian tentang benar-salah.
Di dalam bukunya yang berjudul “The Affective and Cognitive Domains:
Integration for Instruction and Research”, Martin dan Briggs menggambarkan adanya
hubungan langsung antara sikap dan  nilai serta sikap dengan moral dan etika. Mereka
berpendapat bahwa perkembangan nilai, moral dan etika, berhubungan langsung dengan
sikap seseorang. Sedangkan sikap tidak berhubungan secara langsung dengan motivasi
dan kompetensi sosial, namun  sikap berpengaruh  terhadap pilihan seseorang, motivasi,
dan juga perilaku sosialnya. Sikap bukanlah inti dari motivasi dan kompetensi sosial
seseorang sebagaimana pada nilai serta moral dan etika.
Dalam diagram berikut  Martin dan Briggs menempatkan  kompetensi sosial,
motivasi, nilai, serta moral dan etika, dalam satu garis lurus sebagai persyaratan bagi
perkembangan pribadi seseorang (self-development). Sedangkan interes merupakan
prerequisit bagi  motivasi seseorang. Suatu perbuatan dinilai baik atau buruk, benar atau
salah dengan cara menunjukkan alasan-alasan  rasionalnya saja tidaklah cukup. Penilaian
kognitif juga berhubungan dengan perasaan.
Martin dan Briggs menggambarkan bahwa emosi seseorang mendasari
perkembangan sikap,  interes,  kompetensi sosial,  serta aspek-aspek afektif lainnya.
Sedangkan perasaan berkaitan dengan emosi. Atribusi ditempatkan sebagai komponen
afektif yang paling akhir. Atribusi berhubungan langsung dengan perkembangan

8
pribadi(self development). Untuk menggambarkan hubungan sikap dan atribusi hanya
dibatasi pada sub kategori sikap, yaitu sikap tentang diri sendiri. Kompetensi sosial
berhubungan langsung dengan atribusi, sebab penilaian terhadap seseorang banyak
dilakukan melalui interaksi sosial.

Maksud dari bahasan ini adalah untuk menunjukkan bahwa integritas kepribadian
seseorang dapat dikembangkan melalui aspek kognitif dan aspek afektif. Gambaran
tentang hubungan di antara aspek-aspek afektif di atas dapat dijadikan acuan studi tentang
pendidikan  untuk mengembangkan sisi-sisi afektif dan soft-skills.
                                                                                       
2.3 Karakteristik Strategi Pembelajaran Afektif
Pemikiran atau perilaku harus memiliki dua kriteria untuk diklasifikasikan
sebagai ranah afektif (Andersen, 1981:4). Pertama, perilaku melibatkan perasaan dan
emosi seseorang. Kedua, perilaku harus tipikal perilaku seseorang. Kriteria lain yang
termasuk ranah afektif adalah intensitas, arah, dan target. Intensitas menyatakan derajat
atau kekuatan dari perasaan. Beberapa perasaan lebih kuat dari yang lain, misalnya cinta
lebih kuat dari senang atau suka. Sebagian orang kemungkinan memiliki perasaan yang
lebih kuat dibanding yang lain. Arah perasaan berkaitan dengan orientasi positif atau
negatif dari perasaan yang menunjukkan apakah perasaan itu baik atau buruk. Misalnya
senang pada pelajaran dimaknai positif, sedang kecemasan dimaknai negatif.
Bila intensitas dan arah perasaan ditinjau bersama-sama, maka karakteristik
afektif berada dalam suatu skala yang kontinum. Target mengacu pada objek, aktivitas,
atau ide sebagai arah dari perasaan. Bila kecemasan merupakan karakteristik afektif yang
ditinjau, ada beberapa kemungkinan target. Peserta didik mungkin bereaksi terhadap
sekolah, matematika, situasi sosial, atau pembelajaran. Tiap unsur ini bisa merupakan
target dari kecemasan. Kadang-kadang target ini diketahui oleh seseorang namun kadang-
kadang tidak diketahui. Seringkali peserta didik merasa cemas bila menghadapi tes di
kelas. Peserta didik tersebut cenderung sadar bahwa target kecemasannya adalah tes.
Ada 5 (lima) tipe karakteristik afektif yang penting, yaitu sikap, minat, konsep
diri, nilai, dan moral.
1) Sikap.
Sikap merupakan suatu kencendrungan untuk bertindak secara suka atau tidak
suka terhadap suatu objek, suatu kecenderungan untuk menerima atau menolak suatu
objek berdasarkan nilai yang dianggapnya baik atau tidak baik. Sikap dapat dibentuk

9
melalui cara mengamati dan menirukan sesuatu yang positif, kemudian melalui
penguatan serta menerima informasi verbal. Perubahan sikap dapat diamati dalam proses
pembelajaran, tujuan yang ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi terhadap sesuatu.
Penilaian sikap adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui sikap peserta didik
terhadap mata pelajaran, kondisi pembelajaran, pendidik, dan sebagainya. Dengan
demikian, belajar sikap berarti memperoleh kecenderungan untuk menolak suatu objek.
Selain itu terdapat pula pandangan beberapa ahli mengenai pengertian sikap, yaitu :
1. Thurstone & Chave (dalam Mitchell, 1990),Mengemukakan definisi
sikap yaitu, Sikap adalah keseluruhan dari kecenderungan dan perasaan,
curiga atau bias, asumsi-asumsi, ide-ide, ketakutan-ketakutan, tantangan-
tantangan, dan keyakinan manusia mengenai topik tertentu.
2. Allport (1921);Sikap adalah kondisi mental dan neural yang diperoleh
dari pengalaman, yang mengarahkan dan secara dinamis mempengaruhi
respon-respon individu terhadap semua objek dan situasi yang terkait.
3. Menurut Krech & Crutchfield;Sikap adalah pengorganisasian yang relatif
berlangsung lama dari proses motivasi, persepsi dan kognitif yang relatif
menetap pada diri individu dalam berhubungan dengan aspek
kehidupannya.
4. Winkel (2004);Sikap merupakan suatu kemampuan internal yang
berperanan sekali dalam mengambil tindakan (action), lebih-lebih apabila
terbuka berbagai kemungkinan untuk bertindak atau tersedia beberapa
alternatif.
5. Fishbein dan Ajzen (1975);Sikap adalah suatu predisposisi yang
dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu
objek, situasi, konsep, atau orang. Sikap peserta didik terhadap objek
misalnya sikap terhadap sekolah atau terhadap mata pelajaran.

Dari berbagai definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa, sikap adalah
kecenderungan seseorang untuk menerima atau menolak suatu objek berdasarkan nilai
yang dianggapnya baik atau tidak baik. Dengan demikian, belajar sikap berarti
memperoleh kecenderungan untuk menerima atau menolak suatu objek berdasarkan
penilaian terhadap objek itu sebagai hal yang berguna atau berharga (sikap positif) dan
tidak berharga atau tidak berguna (sikap negatif).

10
Pernyataan kesenangan dan ketidaksenangan seseorang terhadap objek yang
dihadapinya, akan sangat dipengaruhi oleh tingkat pemahamannya (aspek kognitif)
terhadap objek tersebut. Oleh karena itu, tingkat penalaran (kognitif) terhadap sesuatu
objek dan kemampuan untuk bertindak terhadapnya (psikomotorik) turut menentukan
sikap seseorang terhadap objek yang bersangkutan dan yang akan dipilihnya. Sikap
peserta didik ini penting untuk ditingkatkan (Popham, 1999). Sikap peserta didik terhadap
mata pelajaran, misalnya bahasa Inggris, harus lebih positif setelah peserta didik
mengikuti pembelajaran bahasa Inggris dibanding sebelum mengikuti pembelajaran.
Perubahan ini merupakan salah satu indikator keberhasilan pendidik dalam melaksanakan
proses pembelajaran. Untuk itu pendidik harus membuat rencana pembelajaran termasuk
pengalaman belajar peserta didik yang membuat sikap peserta didik terhadap mata
pelajaran menjadi lebih positif.
2) Minat.
Menurut Getzel (1966), minat adalah suatu disposisi yang terorganisir melalui
pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek khusus, aktivitas,
pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian. Sedangkan
menurut kamus besar Bahasa Indonesia (1990: 583), minat atau keinginan adalah
kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Hal penting pada minat adalah
intensitasnya. Secara umum minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki intensitas
tinggi.Penilaian minat dapat digunakan untuk:
a) mengetahui minat peserta didik sehingga mudah untuk pengarahan dalam
pembelajaran,
b) mengetahui bakat dan minat peserta didik yang sebenarnya,
c) pertimbangan penjurusan dan pelayanan individual peserta didik,
d) menggambarkan keadaan langsung di lapangan/kelas,
e) mengelompokkan peserta didik yang memiliki minat sama,
f) acuan dalam menilai kemampuan peserta didik secara keseluruhan dan
memilih metode yang tepat dalam penyampaian materi,
g) mengetahui tingkat minat peserta didik terhadap pelajaran yang diberikan
pendidik,
h) bahan pertimbangan menentukan program sekolah,
i) meningkatkan motivasi belajar peserta didik.
3) Konsep Diri.

11
Menurut Smith, konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu terhadap
kemampuan dan kelemahan yang dimiliki. Target, arah, dan intensitas konsep diri pada
dasarnya seperti ranah afektif yang lain. Target konsep diri biasanya orang tetapi bisa
juga institusi seperti sekolah. Arah konsep diri bisa positif atau negatif, dan intensitasnya
bisa dinyatakan dalam suatu daerah kontinum, yaitu mulai dari rendah sampai tinggi.
Konsep diri ini penting untuk menentukan jenjang karir peserta didik, yaitu dengan
mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, dapat dipilih alternatif karir yang tepat
bagi peserta didik. Selain itu informasi konsep diri penting bagi sekolah untuk
memberikan motivasi belajar peserta didik dengan tepat.
Penilaian konsep diri dapat dilakukan dengan penilaian diri. Kelebihan dari
penilaian diri adalah sebagai berikut :
a. Pendidik mampu mengenal kelebihan dan kekurangan peserta didik.
b. Peserta didik mampu merefleksikan kompetensi yang sudah dicapai.
c. Pernyataan yang dibuat sesuai dengan keinginan penanya.
d. Memberikan motivasi diri dalam hal penilaian kegiatan peserta didik.
e. Peserta didik lebih aktif dan berpartisipasi dalam proses pembelajaran.
f. Dapat digunakan untuk acuan menyusun bahan ajar dan mengetahui
standar input peserta didik.
g. Peserta didik dapat mengukur kemampuan untuk mengikuti
pembelajaran.
h. Peserta didik dapat mengetahui ketuntasan belajarnya.
i. Melatih kejujuran dan kemandirian peserta didik.
j. Peserta didik mengetahui bagian yang harus diperbaiki.
k. Peserta didik memahami kemampuan dirinya.
l. Pendidik memperoleh masukan objektif tentang daya serap peserta didik.
m. Mempermudah pendidik untuk melaksanakan remedial, hasilnya dapat
untuk instropeksi pembelajaran yang dilakukan.
n. Peserta didik belajar terbuka dengan orang lain.
o. Peserta didik mampu menilai dirinya.
p. Peserta didik dapat mencari materi sendiri.
q. Peserta didik dapat berkomunikasi dengan temannya.

4) Nilai

12
Nilai menurut Rokeach (1968) merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan,
tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Selanjutnya
dijelaskan bahwa sikap mengacu pada suatu organisasi sejumlah keyakinan sekitar objek
spesifik atau situasi, sedangkan nilai mengacu pada keyakinan.
Target nilai cenderung menjadi ide, target nilai dapat juga berupa sesuatu seperti sikap
dan perilaku. Arah nilai dapat positif dan dapat negatif. Selanjutnya intensitas nilai dapat
dikatakan tinggi atau rendah tergantung pada situasi dan nilai yang diacu.
Definisi lain tentang nilai disampaikan oleh Tyler (1973:7), yaitu nilai adalah suatu objek,
aktivitas, atau ide yang dinyatakan oleh individu dalam mengarahkan minat, sikap, dan
kepuasan. Selanjutnya dijelaskan bahwa manusia belajar menilai suatu objek, aktivitas,
dan ide sehingga objek ini menjadi pengatur penting minat, sikap, dan kepuasan. Oleh
karenanya satuan pendidikan harus membantu peserta didik menemukan dan menguatkan
nilai yang bermakna dan signifikan bagi peserta didik untuk memperoleh kebahagiaan
personal dan memberi konstribusi positif terhadap masyarakat.
5) Moral
Piaget dan Kohlberg banyak membahas tentang perkembangan moral anak.
Namun Kohlberg mengabaikan masalah hubungan antara judgement moral dan tindakan
moral. Ia hanya mempelajari prinsip moral seseorang melalui penafsiran respon verbal
terhadap dilema hipotetikal atau dugaan, bukan pada bagaimana sesungguhnya seseorang
bertindak. Moral berkaitan dengan perasaan salah atau benar terhadap kebahagiaan orang
lain atau perasaan terhadap tindakan yang dilakukan diri sendiri. Misalnya menipu orang
lain, membohongi orang lain, atau melukai orang lain baik fisik maupun psikis. Moral
juga sering dikaitkan dengan keyakinan agama seseorang, yaitu keyakinan akan
perbuatan yang berdosa dan berpahala. Jadi moral berkaitan dengan prinsip, nilai, dan
keyakinan seseorang.
Ranah afektif lain yang penting adalah:
a. Kejujuran, peserta didik harus belajar menghargai kejujuran dalam
berinteraksi dengan orang lain.
b. Integritas, peserta didik harus mengikatkan diri pada kode nilai, misalnya
moral dan artistik.
c. Adil, peserta didik harus berpendapat bahwa semua orang mendapat
perlakuan yang sama dalam memperoleh pendidikan.

13
d. Kebebasan, peserta didik harus yakin bahwa negara yang demokratis
memberi kebebasan yang bertanggung jawab secara maksimal kepada
semua orang.

2.4  Proses dan Model Strategi Pembelajaran  Afektif


            2.4.1. Proses Strategi Pembelajaran Afektif
Proses strategi pembelajaran afektif juga disebut dengan istilah proses
pembentukan sikap, ada dua proses yang termasuk kedalam strategi pembelajaran afektif,
yaitu :
1) Pola Pembiasaan
Menurut penelitian Watson seorang psikolog cara belajar sikap yang disebabkan
dengan kebiasaan dapat menjadi dasar penanaman sikap tertentu terhadap suatu objek.
Dalam proses pembelajaran di sekolah, baik secara disadari maupun tidak, guru dapat
menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan misalnya, siswa
yang setiap kali menerima perlakuan yang tidak mengenakan dari guru seperti mengejek
atau menyinggung perasaan anak, maka lama-kelamaan akan timbul perasaan kesal dari
anak tersebut yang pada akhirya dia tidak menyukai guru dan mata pelajarannya.
Belajar membentuk sikap melalui pembiasaan juga dilakukan oleh Skinner
melalu teorinya “operant conditioning” proses pembentukan sikap melalui pembiasaan
yang dilakukan Watson berbeda dengan proses pembiasaan sikap yang dilakukan
Skinner. Skinner menekankan pada proses peneguhan respons anak, dimana setiap kali
anak menunjukan prestasi yang baik diberikan penguatan dengan cara memberikan
hadiah atau prilaku yang menyenangkan.
Dari Watson dan Skinner, menurut kelompok kami dapat diambil kesimpulan bahwa
proses pembentukan sikap dengan pola pembiasaan bukan hanya melalui proses
pembiasaan yang dilakukan secara terus menerus melainkan juga memberikan penguatan
sehingga anak akan berusaha dan bersemangat untuk meningkatkan sikap positifnya.
2) Modeling
Pembelajaran sikap seseorang yang dilakukan melalui proses modeling yaitu
pembentukan sikap melalui proses asimilasi atau proses mencontoh. Proses modeling ini
adalah proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau orang yang
dihormatinya yang dimulai rasa kagum. Salah satu karakteristik anak didik yang sedang

14
berkembang adalah keinginannya untuk melakukan peniruan (imitasi). Hal yang ditiru itu
adalah perilaku-perilaku yang diperagakan atau didemonstrasikan oleh orang yang
menjadi idolanya. Prinsip peniruan ini yang dimaksud dengan modeling.
Proses penanaman sikap anak terhadap suatu objek melalui proses modeling pada
mulanya dilakukan secara mencontoh, namun anak perlu diberi pemahaman mengapa hal
itu dilakukan. Misalnya, guru perlu menjelaskan mengapa kita harus berpakaian bersih
atau mengapa kita harus telaten menjaga dan memelihara tanaman.

            2.4.2 Model Strategi Pembelajaran Afektif.


     Menurut Wina Sanjaya (2006), ada 3 model strategi pembelajaran yaitu :
1. Model Konsiderasi, dikembangkan oleh Mc, Paul yang menekankan bahwa
model ini merupakan strategi pembelajaran yg dapat membentuk kpribadian . Salah satu
implementasinya yakni mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai
sudut pandang untuk menambah wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu
sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
2. Model Pengembangan Kognitif oleh Lawrence KohlBerg, berpendapat bahwa
perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang
berlangsung secara berangsur-angsur .
3. Teknik Mengklarifikasi Nilai dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk
membantu siswa dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam
menghadapi suatu persoalan yang dianggap proses menganalisis nilai yang sudah ada dan
tertanam dalam diri siswa.
            Sedangkan Lickona dalam bukunya Educating for Character (dalam Paul
Suparno, dkk. 2002) menekankan pentingnya diperhatikan tiga unsur dalam menanamkan
nilai, yaitu; pengertian atau pemahaman tentang nilai yang dipelajari, perasaan, dan
tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Ketiga unsur ini saling berkaitan.
Pengajar perlu memperhatikan ketiga unsur ini agar nilai-nilai yang ditanamkan tidak
sekedar sebagai pengetahuan semata, tetapi benar-benar menjadi tindakan-tindakan nyata.
            Pengertian atau pemahaman terhadap suatu nilai adalah kesadaran, rasionalitas,
atau alasan mengapa seseorang harus melakukan hal itu, suatu pengambilan keputusan
berdasarkan nilai-nilai tertentu. Ini sering kali disebut sebagai segi kognitif dari nilai.
Segi kognitif ini perlu diajarkan kepada para siswa/mahasiswa. Mereka dibantu  untuk
mengerti mengapa suatu nilai perlu dilakukan. Sedangkan perasaan lebih pada kesadaran
akan hal-hal yang baik dan tidak baik. Perasaan mencintai kebaikan dan sikap empati

15
terhadap orang lain merupakan ekspresi dari perasaan ini. Perasaan ini sangat
mempengaruhi seseorang untuk berbuat baik.
Oleh sebab itu, perasaan terhadap suatu nilai perlu dikembangkan dengan
memupuk perkembangan hati nurani dan sikap empati. Tindakan, yaitu kemampuan
untuk melakukan keputusan yang dilandasi oleh  perasaan terhadap suatu nilai ke dalam
perilaku-perilaku nyata. Tindakan-tindakan yang dilandasi oleh nilai-nilai yang dijunjung
tinggi ini perlu difasilitasi agar muncul dan berkembang dalam pergaulan sehari-hari.
Lingkungan belajar yang kondusif untuk memunculkan tindakan-tindakan ini sangat
diperlukan dalam pendidikan aspek-aspek afektif. Ketiga unsur yaitu, penalaran,
perasaan, dan tindakan yang dilandasi oleh nilai-nilai tersebut harus ada dan
dikembangkan dalam pendidikan.
            Tantangan dunia pendidikan kedepan adalah mewujudkan proses demokratisasi
belajar. Suatu proses pendemokrasian yang mencerminkan bahwa belajar adalah atas
prakarsa individu. Demokrasi belajar berisi pengakuan  hak seseorang untuk melakukan
tindakan belajar sesuai dengan karakteristiknya. Salah satu prasyarat terwujudnya
masyarakat belajar yang demokratis adalah adanya pengemasan pembelajaran yang
beragam dengan cara menghapuskan penyeragaman kurikulum, strategi pembelajaran,
bahan ajar, dan evaluasi belajar. Lembaga pendidikan merupakan tempat untuk
mengembangkan seluruh potensi siswa/mahasiswa secara maksimal termasuk nilai-nilai
sosial.
Bentuk-bentuk hubungan antara pengajar dan siswa/mahasiswa perlu
diperbaharui. Jika selama ini pengajar lebih otoriter,  sarat komando,  instruktif,  bergaya
birokrat,  perlu diubah peranannya sebagai ibu/bapak, kakak, sahabat, atau mitra. Sering
kali terjadi, dalam beberapa  hal  pengajar  berperan sebagai murid dan siswa/mahasiswa
justru sebagai gurunya. Proses belajar dalam hubungannya di antara siswa/mahasiswa
satu dengan lainnya berubah.
Untuk mengembangkan agar manusia menjadi matang tidak cukup bila ia hanya
dilatih tetapi juga harus dididik. Siswa/mahasiswa harus dididik untuk realis, mengakui
kehidupan yang multi-dimensional, tidak seragam, dan diajak menghayati kebinekaan
yang saling melengkapi demi persaudaraan yang sehat, menghargai hak dan kewajiban
sosial yang saling solider. Pada pelatihan terutama yang dibentuk adalah tingkah laku
lahiriah, sedangkan pada pendidikan yang dibentuk adalah disposisi mental dan
emosional (Sindhunata, 2001). Mendidik bukan berarti sekedar menjadikan siswa/

16
mahasiswa trampil secara praktis terhadap lingkungannya. Mendidik juga berarti
membantu  siswa/mahasiswa untuk menjadi dirinya dan peka terhadap lingkungannya.
Pengaturan lingkungan belajar sangat diperlukan agar siswa/mahasiswa mampu
melakukan kontrol terhadap pemenuhan kebutuhan emosionalnya. Lingkungan belajar
yang demokratis memberi kebebasan kepada siswa/mahasiswa untuk melakukan pilihan-
pilihan tindakan belajar dan akan mendorong mereka untuk terlibat secara
fisik,  emosional dan mental dalam proses belajar,  sehingga akan dapat  memunculkan
kegiatan-kegiatan yang kreatif-produktif. Ini merupakan kaidah yang sangat penting
dalam penataan lingkungan belajar. Setiap siswa/mahasiswa satu persatu dan/atau
bersama-sama perlu diberi kebebasan untuk melakukan  pilihan-pilihan sesuai dengan apa
yang mampu dan mau dilakukannya. Prakarsa siswa/mahasiswa untuk belajar akan  mati
bila kepadanya dihadapkan pada berbagai macam aturan yang tak ada kaitannya dengan
belajar. Sikap dan persepsi yang positif terhadap belajar menjadi modal dasar untuk
memunculkan prakarsa belajar. Ini semua sangat penting untuk mengembangkan
kemampuan mental yang produktif. 

2.5  Keunggulan,Kesulitan dan Cara Mengatasi Kesulitan Dalam


Pelaksanaan Strategi Pembelajaran Afektif

2.5.1. Kelebihan Strategi Pembelajaran Afektif

a. Dalam pelaksanaan pembelajaran afektif akan dapat Membentuk watak serta


peradaban Bangsa yang bermatabat.

b. Mengembangkan potensi peserta didik dalam hal nilai dan sikap.

c. Menjadi sarana pembentukan manusia yang beriman, dan bertaqwa kepada Tuhan
yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

d. Peserta didik akan lebih mengetahui mana yang hal yang baik dan mana yang tidak
baik.

e. Peserta didik akan mengetahui hal yang berguna atau berharga (sikap positif) dan
tidak berharga atau tidak berguna (sikap negatif).

f. Dengan pelaksanaannya strategi pembelajaran afektif akan memperkuat karakter


bangsa indonesia, apalagi apabila diterapkan pada anak sejak dini.

17
g. Dengan pelaksanaan pembelajaran afektif siswa dapat berperilaku sesuai dengan
pandangan yang di anggap baik dan tidak bertentangan dengan norma- norma yang
berlaku.

2.5.2. Kesulitan Dalam Pelaksanaan Strategi Pembeljaran Afektif

            Disamping aspek pembentukan kemampuan intelektual untuk membentuk


kecerdasan peserta didik dan pembentukan keterampilan untuk mengembangkan
kompetensi agar peserta didik memiliki kemampuan motorik, maka pembentukan sikap
peserta didik merupakan aspek yang tidak kalah pentingnya. Dalam proses pendidikan
disekolah proses pembelajaran sikap kadang-kadang terabaikan. Hal ini disebabkanoleh
proses pembelajaran dan pembentukan akhlak memiliki beberapa kesulitan.
            Pertama, Proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku cenderung
diarahkan untuk pembentukan intelektual. Sehingga keberhasilan proses pendidikan dan
pembelajaran ditentukan oleh kriteria kemampuan kognitif. Akibatnya upaya guru
diarahkan kepada bagaimana agar anak dapat mengetahui sejumlah pengetahuan sesuai
dengan standard kurikulum. Hal ini dapat dilihat dari berbagai macam bentuk evaluasi
yang dilakukan baik evaluasi tingkat sekolah, tingkat wilayah maupun tingkat nasional
diarahkan kepada kemampuan anak dalam menguasai materi pelajaran. contohnya
pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan yang seharusnya diarahkan kepada
tingkat pembentukan moral dan sikap, tapi karena keberhasilannya diukur dari
kemampuan intelektual maka evaluasi pun lebih banyak mengukur kemampuan
penguasaan materi pelajaran dalam bentuk kognitif.
            Kedua, sulitnya melakukan kontrol karena banyak faktor yang dapat
mempengaruhi perkembangan sikap seseorang. Pengembangan kemampuan sikap baik
melalui proses pembiasaan maupun modeling bukan hanya ditentukan oleh faktor guru
tetapi juga faktor lain, terutama faktor lingkungan.
            Ketiga, keberhasilan pembentukan sikap tidak dapat dievaluasi dengan segera.
Berbeda dengan pembentukan aspek kognitif dan aspek keterampilan yang hasilnya dapat
diketahui setelah proses pembelajaran berakhir. Sementara keberhasilan pembentukan
sikap dapat dilihat dengan rentan waktu yang cukup panjang karena sikap berhubungan
dengan internalisasi nilai yang memerlukan proses yang lama.
            Keempat, pengaruh kemajuan tekhnologi, khususnya kemajuan tekhnologi
informasi yang menyuguhkan aneka pilihan program acara, berdampak pada
pembentukan karakter anak. Tidak bisa kita pungkiri, program televisi , misalnya yang
banyak menanyangkan program acara produksi luar yang memiliki latarbelakang budaya

18
yang berbeda. Maka secara perlahan tapi pasti budaya asing yang belum tentu cocok
dengan budaya lokal merembes dalam setiap relung kehidupan, menggeser nilai-nilai
lokal sebagai nilai luhur yang mestinya ditumbuhkembangkan, sehingga pada akhirnya
membentuk norma baru yang mungkin tidak sesuai dengan nilai dan norma masyarakat
yang berlaku.

2.5.3. Cara mengatasi Kesulitan dalam Pembelajaran Afektif

Dalam mengatasi kesulitan-kesulitan pembelajaran afektif diatas terdapat


beberapa cara yang dapat diterapkan agar kesulitan-kesulitan tyersebut dapat
diminimalisir dan bahkan diatasi dengan baik. Cara-cara mengatasinya adalah :
Pertama, Pendidikan yang ada selama ini sesuai dengan kurikulum yang
digunakan untuk mengukur kemampuan intelektual anak dari pada kemampuan afektif,
akan tetapi kemampuan dalam bersikap pun tidak kalah penting harus dimiliki anak,
untuk apa memiliki generasi muda yang pintar akan tetapi perilakunya tidak
mencerminkan orang yang memiliki intektual. Pendidikan agama dan kewarganegaraan
sampai saat ini merupakan pendidikan yang wajib diberikan pada anak didik, karena
dengan pendidikan agama dan moral dapat mengontrol perilaku anak agar tidak cepat
terjerumus pada perilaku yang buruk tetapi sangat popular, akibat kemajuan zaman dan
teknologi. Kesadaran yang harus dimiliki diri anak yang sangat baik ditanamkan sejak
dini adalah sesuatu sikap yang sangat tepat dalam memfilter perilaku anak, anak akan
memahami cara berperilaku saat anak mampu membedakan mana sikap yang baik dan
mana sikap yang buruk bagi dirinya.
Kedua, Peran dari guru dan orang tua serta lingkungan sangat menentukan
perilaku yang akan dikeluarkan atau dicontoh oleh siswa. Guru mampu memberikan
pembelajaran yang intelektual dan juga memiliki nilai sikap yang baik, contohya saat
guru mengajarkan bagaimananya caranya bersikap pada pengemis, pemulung, orang tua,
dan lain sebagainya. Guru pun dapat memberikan praktek melalui contoh dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam lingkungan masyarakat orang tua yang harus menjadi
contoh bagi anaknya, tanamkan ilmu agama dan moral dari anak berusia dini, serta
berikan perhatian dan penjelasan yang ringan mengenai akhlaq manusia yang baik, dan
kemukakan beberapa contoh suri tauladan seperti akhlaq Nabi Muhammad SAW. Orang

19
tua juga memberikan contoh praktek bersikap yang baik didepan anak-anaknya, agar anak
bangga dan mencontohnya.
Ketiga, Pembentukan sikap bukan untuk dinilai akan tetapi diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari, apabila pembentukan sikap yang dilakukan guru dan orang tua
serta lingkungan berpengaruh baik pada anak maka kehidupan anak akan terjamin aman
dan jauh dari kekacauan. Sebaliknya bila pembentukan sikap kurang optimal pada anak
maka perilaku anak akan mudah tergantikan dengan perilaku yang datang silih berganti,
membuat perilaku anak sulit terkontrol dan berakibat buruk bagi anak tersebut.
Keempat, Pengaruh kemajuan teknologi dapat diatasi dengan pengawasan yang
baik dari orang tua dan guru, berikan pengertian bahayanya kemajuan teknologi dengan
menggunakan bahasa yang komunikatif tanpa gaya yang memaksa ataupun nada kasar.
Kedekatan orang tua dan anak sangat banyak membantu dalam mengotrol sikap anak
dalam menerima kemajuan teknologi yang ada, berikan anak kebebasan yang
bertanggung jawab, berikan kepercayaan terhadap anak bahwa anak mampu membedakan
mana yang baik dan mana yang buruk bagi dirinya sendiri.

20
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Adapun kesimpulan yang dapat diperoleh dari makali ini adalah :
1. Strategi  pembelajaran afektif adalah strategi yang bukan hanya bertujuan untuk
mencapai pendidikan kognitif saja, akan tetapi juga bertujuan untuk mencapai dimensi
yang lainnya. Yaitu sikap dan keterampilan afektif berhubungan dengan volume yang
sulit diukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam, afeksi juga
dapat muncul dalam kejadian behavioral yang di akibatkan dari proses pembelajaran yang
dilakukan oleh guru. Kemampuan aspek afektif berhubungan dengan minat dan sikap
yang dapat berupa tanggung jawab, kerja sama, disiplin, komitmen, percaya diri, jujur,
menghargai pendapat orang lain dan kemampuan mengendalikan diri. Semua kemampuan
ini harus menjadi bagian dari tujuan pembelajaran di sekolah, yang akan di capai melalui
kegiatan pembelajaran yang tepat.

2. Karakteristik strategi pembelajaran afektif, yaitu :


   a. Sikap, merupakan suatu kecenderungan bertindak secara suka atau tidak suka
terhadap suatu objek. Berdasarkan nilai yang dianggap baik atau tidak baik. Dengan
demikian belajar sikap berarti memperoleh kecenderungan untuk menolak suatu objek.
   b. Minat, menurut buku Bahasa Indonesia (1990:583) minat adalah kecenderungan hati
yang tinggi terhadap sesuatu. Hal penting pada minat adalah intensitasnya, secara umum
minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki intensitas tinggi.
   c. Konsep Diri, menurut Smith konsep diri merupakan evaluasi yang dilakukan individu
terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimilikinya. Konsep diri ini penting untuk

21
menentukan jenjang karir peserta didik, yaitu dengan mengetahui kekuatan dan
kelemahan diri sendiri, dapat dipilih alternatif karir yang tepat bagi peserta didik serta
penting bagi sekolah untuk memberikan motivasi belajar peserta didik dengan tepat.
   d. Nilai, menurut Rokeach manusia belajar menilai suatu objek, aktivitas, dan ide
sehingga objek ini menjadi pengatur penting minat, sikap dan kepuasan. Oleh karena itu
satuan pendidikan harus membantu peserta didik menemukan dan menguatkan nilai yang
bermakna dan signifikan bagi peserta didik untuk memperoleh kebahagiaan personal danj
memberi kontribusi positif terhadap masyarakat.
   e. Moral, Menurut kohlberg  moral berkaitan dengan perasaan salah satu atau benar
terhadap kebahagiaan orang lain atau perasaan terhadap tindakan yang dilakukan diri
sendir. Moral juga sering dikaitkan dengan keyakinan agama seseorang yaitu akan
perbuatan yang berdosa dan berpahala. Jadi moral berkaitan dengan prinsip, nilai, dan
keyakinan seseorang.

3. Model-model Pembelajaran afektif adalah sbb :


 1. Model Konsiderasi, dikembangkan oleh Mc, Paul yang menekankan bahwa
model ini merupakan strategi pembelajaran yg dapat membentuk kpribadian . Salah satu
implementasinya yakni mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai
sudut pandang untuk menambah wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu
sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
2. Model Pengembangan Kognitif oleh Lawrence KohlBerg, berpendapat bahwa
perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang
berlangsung secara berangsur-angsur .
3. Teknik Mengklarifikasi Nilai dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk
membantu siswa dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam
menghadapi suatu persoalan yang dianggap proses menganalisis nilai yang sudah ada dan
tertanam dalam diri siswa.

4. Strategi pembelajaran afektif memiliki keunggulan dan juga kesulitan dalam


pelaksanaaannya . Adapun cara menanggulangi kesulitan pembelajaran afektif yakni :
1. Pendidikan yang ada selama ini sesuai dengan kurikulum yang digunakan
untuk mengukur kemampuan intelektual anak dari pada kemampuan afektif, akan tetapi
kemampuan dalam bersikap pun tidak kalah penting harus dimiliki anak, untuk apa
memiliki generasi muda yang pintar akan tetapi perilakunya tidak mencerminkan orang

22
yang memiliki intektual. Pendidikan agama dan kewarganegaraan sampai saat ini
merupakan pendidikan yang wajib diberikan pada anak didik, karena dengan pendidikan
agama dan moral dapat mengontrol perilaku anak agar tidak cepat terjerumus pada
perilaku yang buruk tetapi sangat popular, akibat kemajuan zaman dan teknologi.
Kesadaran yang harus dimiliki diri anak yang sangat baik ditanamkan sejak dini adalah
sesuatu sikap yang sangat tepat dalam memfilter perilaku anak, anak akan memahami
cara berperilaku saat anak mampu membedakan mana sikap yang baik dan mana sikap
yang buruk bagi dirinya.
2.  Peran dari guru dan orang tua serta lingkungan sangat menentukan perilaku
yang akan dikeluarkan atau dicontoh oleh siswa. Guru mampu memberikan pembelajaran
yang intelektual dan juga memiliki nilai sikap yang baik, contohya saat guru mengajarkan
bagaimananya caranya bersikap pada pengemis, pemulung, orang tua, dan lain
sebagainya. Guru pun dapat memberikan praktek melalui contoh dalam kehidupan sehari-
hari. Dalam lingkungan masyarakat orang tua yang harus menjadi contoh bagi anaknya,
tanamkan ilmu agama dan moral dari anak berusia dini, serta berikan perhatian dan
penjelasan yang ringan mengenai akhlaq manusia yang baik, dan kemukakan beberapa
contoh suri tauladan seperti akhlaq Nabi Muhammad SAW. Orang tua juga memberikan
contoh praktek bersikap yang baik didepan anak-anaknya, agar anak bangga dan
mencontohnya.
3. Pembentukan sikap bukan untuk dinilai akan tetapi diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari, apabila pembentukan sikap yang dilakukan guru dan orang tua
serta lingkungan berpengaruh baik pada anak maka kehidupan anak akan terjamin aman
dan jauh dari kekacauan. Sebaliknya bila pembentukan sikap kurang optimal pada anak
maka perilaku anak akan mudah tergantikan dengan perilaku yang datang silih berganti,
membuat perilaku anak sulit terkontrol dan berakibat buruk bagi anak tersebut.
4. Pengaruh kemajuan teknologi dapat diatasi dengan pengawasan yang baik dari
orang tua dan guru, berikan pengertian bahayanya kemajuan teknologi dengan
menggunakan bahasa yang komunikatif tanpa gaya yang memaksa ataupun nada kasar.
Kedekatan orang tua dan anak sangat banyak membantu dalam mengotrol sikap anak
dalam menerima kemajuan teknologi yang ada, berikan anak kebebasan yang
bertanggung jawab, berikan kepercayaan terhadap anak bahwa anak mampu membedakan
mana yang baik dan mana yang buruk bagi dirinya sendiri.

3.2 Saran

23
Adapun saran dari kami adalah :
1. Setiap strategi pembelajaran pasti memiliki keungulan dan kelemahan, oleh
karena itu kita sebagai calon guru harus mampu memilih dan menggunakan
strategi pembelajaran yang tepat dalam kegiatan pembelajaran.
2. Kita sebagai calon guru diharapkan mampu memberikan pembelajaran afektif
yang dapar menumbuhkan integritas peserta didik kearah yang lebih baik. Agar
peserta didik yang terbentuk tidak hanya memiliki inteligensi yang tinggi  namun
juga berkepribadian yang baik.
DAFTAR PUSTAKA

http://flowerssyahna.blogspot.com/2016/12/makalah-strategi-pembelajaran-afektif.html

http://www.indrianynovitasinaga.blogspot.com/2012/06/strategi-pembelajaran-
afektif.html

24

Anda mungkin juga menyukai