Anda di halaman 1dari 34

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA PASIEN

GUILLAIN-BARRE SYNDROME (GBS)


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Kritis
Dosen Pembimbing : Dastono Susantoro, S.Kep, Ners

Disusun oleh :
Wike Rosmalinda P27901117085

TINGKAT 3B/ D3 KEPERAWATAN

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANTEN
JURUSAN KEPERAWATAN TANGERANG
PRODI DIII KEPERAWATAN
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
GUILLAIN-BARRE SYNDROME (GBS)

A. Pengertian
Guillain-Barre Syndrome (GBS) adalah penyakit autoimun neurologis
yang mana penyakit ini timbul dikarenakan sistem kekebalan tubuh
menghasilkan antibodi terhadap saraf, sehingga terjadi kerusakan pada saraf
itu sendiri. Kasus GBS dapat berkembang setelah infeksi (misalnya gangguan
sistem pernapasan atas atau penyakit system pencernaan). Hal ini terjadi
ketika tubuh membuat antibodi untuk melindungi diri melawan invasi bakteri
atau virus. Namun, bakteri dan virus tertentu memiliki penutup protein yang
menyerupai beberapa protein yang normal pada selubung yang membungkus
saraf (selubung mielin) sehingga dapat mengakibatkan sistem kekebalan
tubuh menyerang saraf itu sendiri.

B. Etiologi
Secara pasti penyebab GBS tidak diketahui, namun diduga berkaitan dengan
1. Penyakit akut, trauma, pembedahan, dan imunisasi 1 sampai 4 minggu
sebelum tanda dan gejala GBS (15% dari kasus)
2. Infeksi saluran pernafasan akut, penyakit gastrointestinal (50% dari kasus)
3. Reaksi imunologi (Hickey, dalam Donna 1995).

C. Klasifikasi
GBS diklasifikasikan menjadi dua yaitu demielinasi dan aksonal.
1. Demielinasi
Inflamasi demielinasi polineuropati akut Acute Inflammatory
Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) yaitu peradangan dimielinasi yang
menyebabkan penyakit pada persarafan. AIDP adalah bentuk paling umum
GBS di negara-negara barat dan ditandai oleh demielinasi segmental saraf
perifer.
2. Sub tipe lainnya dari GBS adalah degenerasi aksonal primer
Keadaan ini dikenal sebagai neuropatimotor aksonal akut Acute Motor
Axonal Neuropathy (AMAN). AMAN jarang ditemukan di Amerika Utara
dan Eropa, akuntansi hanya sekitar 5% dari total kasus GBS, dari pada
demielinasi GBS, tetapi AMAN lebih umum ditemukan di Negara Cina
dan Jepang. GBS aksonal hampir jarang menyebabkan defisit sensorik.
Primer aksonal GBS yang menyebabkan defisit sensorik disebut
Acutemotor And Sensory Axonalneuropathy (AMSAN).

D. Patofisiologi dan Pathway


Adapun patofisiologi dapat digambarkan pada bagan berikut :
Akson bemielin mengonduksi implus saraf lebih cepat di banding akson
tidak bermielin. Sepanjang perjalanan serabut bermielin terjadi gangguan
dalam selaput (nodus renvier) tempat kontak langsung antara membran sel
akson dengan cairan ekstraseluler. Membran sangat permeable pada nodus
tersebut sehingga konduksi menjadi baik.
Gerakan ion-ion masuk dan keluar akson dapat terjadi dengan cepat
banyak pada nodus renvier sehingga implus saraf sepanjang serabut bermielin
dapat melompat dari satu nodus ke nodus lain (konduksi saltatori) dengan
cukup kuat. Kehilangan selaput myelin pada GBS pada konduksi saltatori
tidak mungkin terjadi dan transmisi implus saraf batalkan.

E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari Guillain-Barre Syndrome (GBS) yaitu :
1. Gejala diawali dengan parestasia dan kelemahan otot kaki.
2. Berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh dan otot wajah.
3. Terserangnya saraf kranial dengan adanya paralisi pada okular, wajah, otot
orofaring, kesukaran berbicara, mengunyah dan menelan.
4. Disfungsi autonom merupakan komplikasi diantaranya di manifestasikan
oleh gangguan frekuensi jantung dan ritme, perubahan tekanan darah
(hipertensi transien, hipotensi ortostatik), disfungsi gastrointestinal,
kelainan usus dan gangguan vasomotor lainnya yang bervariasi. Selain itu
retensi urin dan hipotensi postural juga kadang tejadi.
5. Terjadinya nyeri berat dan menetap pada punggung dan daerah kaki.
6. Kehilangan sensasi terhadap posisi tubuh.
7. Terjadinya gejala neurologik yaitu kadang-kadang tampak seperti penyakit
flu ringan dan penyakit ini dikenal sebagai polyneuritis infeksi akut,
sekarang nama ini secara umum telah dikenal dan di duga sebagai reaksi
imun yang salah.
8. Terjadinya gejala motorik yaitu biasanya timbul lebih awal dari pada
gangguan sensorik. Biasanya terdapat gangguan sensasi perifer. Otot-otot
proksimal dan distal terganggu dan reflex tendon menghilang. Nyeri bahu
dan punggung biasanya ditemukan. Otot fasial dan otot okuler kadang-
kadang terganggu. Perluasan dan kelemahan otot-otot batang tubuh
menuju thoraks akan mengganggu pernafasan.

Jika tidak diobati, kondisi penderita biasanya mengalami kemunduran


selama beberapa minggu pertama penyakit. Pada kasus yang berjalan cepat
disebut paralisis landry, kematian merupakan akibat dari kegagalan
pernafasan. Setelah periode statik, terjadi penyembuhan sedikit demi sedikit
dan serangan ulang dapat terjadi serta komplikasi-komplikasi yang lain dapat
muncul. Berikut komplikasi yang dapat ditemui pada GBS :
1. Kesulitan bernapas
Komplikasi yang paling berat dari SGB dan Miastenia Gravis adalah
gagal nafas. Melemahnya otot perafasan membuat pasien dengan
gangguan ini beresiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan infeksi
pernapasan berulang.
2. Kontraktur atau cacat sendi
3. Komplikasi plasmaferesis
Pasien dengan SGB atau miastenia gravis yang menerima plasaferesis
beresiko terhadap potensial komplikasi karena prosedur tersebut. Infeksi
mungkin terjadi pada tempat akses vaskular. Hipovolemia dapat
mengakibatkan hipotensi, takikardia, peningkatan diaforesis.
Hipokalemia dan hipokalsemia dapat mengarah pada disritmia jantung.
Pasien dapat mengalami sirkumoral temporer dan paresis ekstremitas
distal, kedutan otot dan mual serta muntah yang berhubungan dengan
pemberian plasma sitrat. Pengamatan dengan cermat dan pengkajian
penting untuk mencegah masalah-masalah ini.
4. Penyimpangan kardiovaskuler
Mungkin terjadi gangguan sistem syaraf otonom pada pasien GBS
mengakibatkan disritmia jantung atau perubahan drastis yang
mengancam kehidupan dalam tanda-vital.
5. Deep vein thrombosis
6. Risiko infeksi
7. Tekanan darah rendah atau tidak stabil
8. Kelumpuhan yang permanen
9. Pneumonia
10. Kerusakan kulit (ulkus)
11. Pengisapan makanan atau cairan ke dalam (aspirasi) paru-paru.

F. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis GBS sangat bergantung pada riwayat penyakit dan
perkembangan gejala-gejala klinik dan tidak ada satu pemeriksaan pun yang
dapat memastikan GBS, pemeriksaan tersebut hanya menyingkirkan dugaan
gangguan. Lumbal fungsi dapat menunjukkan kadar protein normal pada
awalnya dengan kenaikan pada minggu ke-4 sampai ke-6. Cairan spinal
memperlihatkan adanya peningkatan konsentrasi protein dengan menghitung
jumlah sel normal. Pemeriksaan konduksi saraf mencatat transmisi implus
sepanjang serabut saraf. Pengujian elektrofisiologis diperlihatkan dalam
bentuk lambatnya laju konduksi saraf.
1. Cairan Serebrospinal (CSS)
Adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah protein (100-
1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan hitung sel).
Pada kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS normal;
setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih lanjut di
saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi
sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah onset. Derajat penyakit
tidak berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis
umumnya di bawah 10 leukosit mononuclear/mm.
2. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat
demyelinasi saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik distal
(menandai blok konduksi distal) dan prolongasi atau absennya respon
gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal saraf), blok hantar saraf
motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS yang telah
terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal. EMG menunjukkan
berkurangnya rekruitmen motor unit dapat pula dijumpai degenerasi
aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah onset gejala,
sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang dari normal. Derajat
hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas
yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase
penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita
menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode
penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta
berkurangnya KHS dan denervasi EMG.
3. Pemeriksaan darah
Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan
pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase
awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis;
eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah dapat meningkat sedikit atau
normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala.
4. Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat
Dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat
demyelinasi saraf pada kultur jaringan. Abnormalitas fungsi hati terdapat
pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya hepatitis viral yang
akut atau sedang berlangsung umumnya jarang karena virus hepatitis itu
sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupun EBV.
5. Elektrokardiografi (EKG)
Menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus takikardia.
Gelombang T akan mendatar atau inverted pada lead lateral. Peningkatan
voltase QRS kadang dijumpai, namun tidak sering.
6. Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru)
Menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan
(impending).
7. Pemeriksaan patologi anatomi
Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten yakni adanya
infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal.
Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demyelinasi ini akan muncul
bersama dengan demyelinasi segmental dan degenerasi wallerian dalam
berbagai derajat saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari
akar hingga ujung saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi yang
terberat bila terjadi pada ventral root, saraf spinal proksimal, dan saraf
kranial. Infiltrat sel-sel radang (limfosit dan sel mononuclear lainnya) juga
didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan organ lainnya.
Sekitar 25% orang dengan penyakit ini mempunyai antibody baik terhadap
sitomegalovirus atau virus Epstein-Barr. Suatu perubahan respons imun
pada antigen saraf perifer dapat menunjang perkembangan gangguan.

G. Pentalaksanaan Medis
Guillain-Barre Syndrome dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis
dan pasien diatasi di unit perawatan intensif. Pasien yang mngalami masalah
pernapasan yang memerlukan ventilator, kadang-kadang untuk periode yang
lama. Plasmaferesis (perubahan plasma) yang menyebabkan reduksi antbiotik
ke dalam sirkulasi sementara, yang dapat digunakan pada serangan berat dan
dapat membatasi keadaan yan memburuk dan demielinasi. Diperlukan
pemantauan EKG kontinu, untuk kemungkinan perubahan kecepatan atau
ritme jantung. Disritmia jantung dihubungkan dengan keadaan abnormal
autonom yang diobati dengan propanolol untuk mencegah takikardi dan
hipertensi. Atropin dapat diberikan untuk menghindari episode brakikardi
selama terapi fisik.
Dukungan pernafasan dan kardiovaskuler. Jika vaskulatur pernapasan
terkena, maka mungkin dibutuhkan ventilasi mekanik. Mungkin perlu
dilakukan trakeostomi jika pasien tidak dapat disapih dari ventilator dalam
beberapa minggu. Gagal pernafasan harus diantisipasi sampai gangguan
merata, karena tidak jelas sejauh apa paralisis akan terjadi. Jika sistem syaraf
otonom yang terkena, maka akan terjadi perubahan drastis dalam tekanan
darah (hipotensi dan hipertensi) serta frekuensi jantung akan tejadi dan pasien
harus dipantau dengan ketat. Pemantauan jantung akan menungkinkan
disritmia teridentifikasi dan diobati dengan cepat. Gangguan sistem syaraf
otonom dapat dipicu oleh falsafa manufer, batuk, suksioning, dan perubahan
posisi, sehingga aktifitas-aktifitas ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati.
Plasmaferesis dapat digunakan baik untuk GBS maupun miastenia
gravis untuk menyingkirkan antibodi yang membahayakan. Plasma pasien
dipisahkan dari darah lengkap dan bahan-bahan abnormal dibersihkan atau
plasma diganti dengan yang normal atau dengan pengganti koloidal. Banyak
pusat pelayanan kesehatan mulai melakukan penggantian plasma ini jika
didapati keadaan pasien memburuk dan kemungkinan tidak akan dapat pulang
kerumah dalam 2 minggu, mendekati waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan proses peggantian plasma. Jika plasmaferesis dimulai 3
minggu atau lebih lama setelah awitan gejala, tampaknya tindakan ini tidak
efektif. Mungkin digunakan kortikosteroid, meskipun penggunaan ini masih
kontroversial.
Penatalaksanaan nyeri dapat menjadi bagian dari perhatian pada pasien
dengan GBS. Nyeri otot hebat biasanya menghilang sejalan dengan pulihnya
kekuatan otot. Unit stimulasi listrik transkutan dapat berguna pada beberapa
orang. Setelah itu nyeri merupakan hiperestetik. Beberapa obat dapat
memberikan penyembuhan sementara, nyeri biasanya memburuk antara pukul
10 malam dan 4 pagi, mencegah tidur dan narkotik dapat saja digunakan
secara bebas pada malam hari jika pasien tidak mengkompensasi secara
marginal karena narkotik dapat meningkatkan gagal pernafasan. Dalam kasus
ini, pasien biasanya diintubasi dan kemudian diberikan narkotik.
Nutrisi yang adekuat harus dipertahankan. Jika pasien tidak mampu untuk
makan peroral, dapat dipasang NGT. Selang makan, bagaimanapun, dapat
menyebabkan diare dan menyebabkan ketidak seimbangan elektrolit. Jadi
yang dibutuhkan pemantauan dengan cermat oleh dokter dan perawat.
Gangguan tidur dapat menjadi masalah berat, untuk pasien dengan gangguan
ini, terutama karena nyeri tampak pada malam hari tindakan yang
memberikan kenyamanan, analgesik dan kontrol lingkungan yang cermat
dapat membantu meningkatkan tidur dan istirahat. Juga harus selalu
diingatkan pada pasien yang mengalami paralise dan mungkin pada ventilasi
mekanik dapat sangat ketakutan sendiri pada malam hari. Karena ketakutan
tidak mampu mendapat bantuan jika ia mendapat masalah. Harus disediakan
cara atau lampu pemanggil sehingga pasien mengetahui bahwa ia dapat
meminta bantuan. Kemudian, membuat jadwal rutin pemerikasaan pasien
juga dapat membantu mengatasi ketakutan.
Dukungan emosional seperti ketakutan, keputusasaan, dan
ketidakberdayaan semua dapat terlihat pada pasien dan keluarga sepanjang
perjalanan terjadinya gangguan. Penjelasan yang teratur tentang intervensi
dan kemajuan dapat sangat berguna. Pasien harus diperbolehkan untuk dapat
membuat keputusan sebanyak mungkin sepanjang perjalanan pemulihan.
Kadang pasien seperti sangat sulit untuk dirawat karena mereka
membutuhkan banyak waktu perawat. Mereka dapat mengggunakan bel
pemanggil secara berlebihan jika merasa tidak nyaman dan aman. Perawat
harus mempertimbangkan untuk membiarkan keluarga menghabiskan
sebagian waktu lebih banyak bersama pasien. Dengan menyediakan perawat
primer dapat memberikan pasien dan keluarga merasa aman mengetahui
bahwa ada seseorang yang dapat menjadi sumber informasi yang konsisten.
Pertemuan tim dengan pasien dan keluarga harus dilakukan secara rutin untuk
membicarakan kemajuan dan rencana-rencana.
Pengobatan GBS terdiri dari 2 komponen, yaitu pengobatan secara
suportif dan terapi khusus. Pengobatan secara suportif tetap merupakan terapi
yang utama, jika pasien sebelumnya melewati fase akut pada penyakit,
kebanyakannya akan mengalami kesembuhan. Bagaimanapun, neuropati
dapat memburuk dengan cepat dan diperlukan intubasi endotrakeal dan
ventilasi mekanik dalam 24 jam selama onset gejala. Oleh karena itu, semua
pasien GBS harus diterima di Rumah Sakit untuk diobservasi tertutup untuk
kedaruratan system respirasi pasien, disfungsi kranialis, dan ketidakstabilan
system autonom. Disfungsi system saraf autonom dapat bermanifestasi seperti
tekanan darah yang berubah-ubah, disritmia, psudo obstruktif gastrointestinal
dan retensi urin. Profilaksis untuk trombosis vena dalam harus tersedia karena
pasien seringkali tidak dapat bergerak selama beberapa minggu.
Pada depresi otot pernafasan harus dipertimbangkan persiapan intubasi.
Pasien tidak sanggup untuk menunjukkan fungsi minimal paru memerlukan
intubasi. Penilaian ulang frekuensi pernafasan dengan tes fungsi paru untuk
progresi yang cepat sangat diperlukan. Perkiraan tambahan untuk ventilasi
mekanik selanjutnya adalah waktu dari onset GBS sampai masuk RS kurang
dari 7 hari.
1. Ketidaksanggupan untuk mengangkat siku atau kepala dari tampat tidur
2. Tidak sanggup berdiri
3. Peninggian kadar enzim hati
Nyeri dan stress psikologi juga harus diobati. Terapi psikologis
termasuk memijat dengan lembut, latihan pergerakan secara pasif dan sering
merubah posisi dapat meringankan nyeri. Karbamazepin (tegretol) dan
Gabapentin (nerontin) telah digunakan sebagai tambahan untuk
menghilangkan nyeri pada GBS. Pada pasien dengan paralysis memiliki jiwa
yang was-was dan takut. Menenangkan pasien dan diskusi tentang fase
penyakit dan perbaikan dapat membantu mengurangi stress psikologi.
Belum ada drug of choice  yan tepat untuk GBS yang diperlukan adalah
kewaspadaan terhadap kemungkinan memburuknya situasi sebagai akibat
perjalanan klinik yang memberat sehingga mengancam otot-otot pernafasan.
Pasien yang tidak mampu bergerak atau dengan berbagai derajat
disfungsi otot-otot respirasi harus mendapatkan terapi aktif dengan
plasmapharesis atau immunoglobulin secara intravena (IVIg). Plasmapharesis
menggunakan suatu plasma exchange lebih kurang 20 L (200-250 mL/Kg
selama beberapa hari) secara bermakna menurunkan lama dan beratnya
disability  pada pasien SGB, namun beberapa penyelidikan terbaru juga
memperlihatkan keuntungan dari IVIg.
The Dutch Guillain-Barre Study Group  mengemukakan pengobatan
dengan IVIg (400mg/KgBB selama 5 hari) sama atau malahan lebih superior
dibandingkan dengan plasma exchange. Penyelidikan-penyelidikan yang lain
kurang meyakinkan dan mengemukakan kemungkinan terjadinya relapsi pada
pasien dengan pemberian IVIg dibandingkan plasma exchange.
IVIg merupakan pengobatan dini pertama yang lebih praktis yang tidak
diragukan lagi kemanjurannya dengan komplikasi yang rendah dan mudah
digunakan, namun sangat mahal biayanya. Plasma exchange memerlukan
tenaga yang terlatih dan peralatan yang tidak selalu dapat tersedia dengan
biaya yang juga mahal, namun lebih murah dibandingkan dengan IVIg. Tidak
ada studi tentang keuntungan menggabungkan penggunaan IVIg dan plasma
exchange, sehingga hanya salah satu terapi saja yang digunakan.
Kerugian plasmapharesis termasuk komplikasinya jarang ditemukan,
seperti sepsis yang diyakini dapat menyebabkan penipisan immunoglobulin.
Jika plasma beku digunakan sebagai cairan pengganti, beresiko untuk
mendapatkan virus seperti hepatitis dan HIV.
IVIg memiliki efek samping dari terapi. IVIg memperluas volume plasma
juga dapat memicu terjadinya Congestif Heart Failure (CHF) dan Renal
Insuffiensi. Pasien-pasien dapat menjadi demam, myalgia, sakit kepala, mual,
dan muntah, tetapi gejala seperti influenza dapat sembuh dengan sendirinya.
Pasien juga dapat mnegalami meningitis aseptic, nutropenia, dan hipertensi.
Riwayat alergi sebelumnya terhadap penggunaan IVIg merupakan kontra
indikasi pengobatan.
Manfaat kortikosteroid untuk GBS masih controversial. Namun
demikian, apabila keadaan menjadi gawat akibat terjadinya paralysis otot-otot
respirasi maka kortikosteroid dosis tinggi dapat diberikan. Pemberian
kortikosteroid harus diiringi dengan kewaspadaan terhadap efek samping
yang mungkin terjadi. Penggunaan ventilator mekanik menjadi suatu
keharusan apabila diduga telah terjadi paralysis otot-otot respirasi. Diperlukan
rawatan intensif apabila didapati keadaan seperti ini. Apabila terjadi
kelumpuhan otot-otot wajah dan menelan, maka perlu dipasang pipa hidung-
lambung (NGT) untuk dapat memenuhi kebutuhan makanan dan cairan.
Latihan dan fisioterapi sangat diperlukan untuk mempercepat proses
pemulihan.

H. Prognosis
Prognosis akan lebih baik apabila penderita berusia muda, selama sakit
tidak memerlukan pernafasan bantuan, perjalanan penyakit yang lebih lambat,
dan tidak terjadi kelumpuhan total. Sekitar 85% pasien dengan GBS berhasil
sembuh dengan penyembuhan fungsi dalam 6-12 bulan. Penyembuhan
maksimal dalam 18 bulan setelah onset, bagimanapun pada beberapa pasien
memiliki kelemahan yang menetap, arefleksia, dan parestesia. Sekitar 7-15%
pasien memiliki gejala neurologist sisa yang menetap termasuk bilateral
footdrop. Otot tangan instrinsik  kebas, sensori ataxia, dan disestesia. Angka
kematian <5% pada pengobatan yang professional. Penyebab kematian
biasanya berupa sindrom distress pernafasan, sepsis, emboli paru, dan henti
jantung.
Faktor-faktor yang memperberat selama fase akut dari penyakit dapat
memperburuk proses penyembuhan. Faktor-faktor ini yaitu usia> 60 tahun,
berat, memerlukan pernafasan bantuan. Pada umunya, prognosis yang jelek
secara langsung berhubungan dengan beratnya episode akut dan lambatnya
onset pada pengobatan spesifik.

I. Asuhan Keperawatan menurut NIC-NOC


1. Pengkajian
Pengkajian terhadap Guillain-Barre Syndrome meliputi :
a. Keluhan utama
Keluhan utama sering menjadi alasan klien meminta pertolongan
kesehatan berhubungan dengan kelemahan otot baik kelemahan fisik
secara umum maupun lokal seperti melemahnya otot pernapasan.
b. Riwayat penyakit sekarang
Tanyakan dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai
serangan, sembuh atau bertambah buruk. Pada pengkajian klien
Guillain-Barre Syndrome biasanya didapatkan keluhan yang
berhubungan dengan proses dimielinisasi. Keluhan tersebut diantaranya
gejala-gejala neurologis diawali dengan prestasia (kesemutan kebas)
dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ekstremitas atas,
batang tubuh dan otot wajah. Kelemahan dapat diikuti dengan paralisis
lengkap. Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien Guillain-
Barre Syndrome dan merupakan komplikasi yang paling berat dari
Guillain-Barre Syndrome adalah gagal napas. Melemahnya otot
pernapasan membuat klien dengan gangguan ini berisiko lebih tinggi
terhadap hipoventilasi  dan infeksi pernapasan berulang. Disfagia juga
dapat muncul pada penyakit Guillain-Barre Syndrome ini yang lebih
mengarah pada aspirasi. Keluhan kelemahan ekstremitas atas hampir
sama seperti keluhan klien stroke. Keluhan lainnya adalah kelainan dari
fungsi kardiovaskular seperti terjadinya disaritmia jantung yang
diakibatkan oleh gangguan system saraf otonom pada klien dengan
Guillain-Barre Syndrome.
c. Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan
adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi
pernahkah klien mengalami ISPA, insfeksi gastrointestinal dan tindakan
bedah syaraf. Pengkajian pemakain obat-obatan yang sering digunakan
klien seperti pemakaian obat kartikosteroid, antibiotik dan menilai
reaksinya (resistensi pemakaian antibiotik) dapat menambah
komprehensifnya pengkajian. Pengkajian riwayat dahulu dapat
mendukung pengkajian riwayat penyakit sekarang dan merupakan data
dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan
selanjutnya.
d. Pengkajian psikospiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk
menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
perubahan peran klien dalam keluarga  dan masyarakat serta respon
atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien
yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, cemas, ketidakmampuan
untuk melakukan aktivitas secara optimal dan pandangan terhadap
dirinya yang salah (gangguan citra tubuh). Pengkajian mengenai
mekanisme koping yang secara sadar biasa digunakan klien selama
masa stress, seperti kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah
kesehatan saat ini yang telah diketahui dan perubahan perilaku saat
stress.
e. Pemeriksaan Fisik
Klien dengan Guillain-Barre Syndrome biasanya didapatkan suhu tubuh
normal. Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan tanda-tanda
penurunan curah jantung .peningkatan frekuensi napas berhubungan
dengan peningkatan laju metabolism umum dan adanya infeksi pada
system pernapasan serta akumulasi secret akibat insufisiensi
pernapasan. Tekanan darah didapatkan ortostatsik hipotensi atau
tekanan darah meningkat (hipertensi transien) berhubungan dengan
penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis. Pemeriksaan fisik
meliputi :
1) B1 (Breathing)
Hasil inspeksi akan didapatkan klien batuk, peningkatan produksi
sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas meningkat dan
yang paling sering didapatkan pada klien Guillain-Barre Syndrome
adalah menurunnya ferkuensi pernapasan karena melemahnya fungsi
otot-otot pernapasan. Palpasi biasanya taktil premitus seimbang
kanan dan kiri. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronki pada
klien dengan Guillain-Barre Syndrome berhubugan dengan
akumulasi sekret dari infeksi saluran pernapasan.
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada system kardiovaskular pada klien Guillain-Barre
Syndrome menunjukkan bradikardi akibat penurunan perfusi perifer.
Tekanan darah didapatkan hipotensi atau hipertensi akibat penurunan
reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
3) B3 (Brain)
Pengkajian Brain merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan system lainnya. Pemeriksaan Brain meliputi:
a) Pegkajian Tingkat Kesadaran
Klien dengan Guillain-Barre Syndrome biasanya kesadaran klien
composmentis. Apabila klien mengalami penurunan tingkat
kesadaran maka penialaian GCS sangat penting untuk menilai
tingkat keasadarn klien dan bahan evaluasi untuk monitoring
pemberian asuhan.
b) Pengkajian Fungsi Serebral
Pengkajian fungsi sersebral merupakan pengkajian yang
menyangkut status mental yaitu observasi penampilan, tingkah
laku, nilai gaya bicaram ekspresi wajah dan aktivitas motorik
klien. Klien dengan Guillain-Barre Syndrome untuk tahap yang
lebih lanjutnya disertai penurunan kesadaran biasanya status
mental klien mengalami perubahan.
c) Pengkajian Saraf Kranial
Pengkajian saraf cranial meliputi pengkajian saraf kranial I-XII :
(1) Saraf I. Biasanya pada klien Guillain-Barre Syndrome tidak
ada kelainan dari fungsi penciuman.
(2) Saraf II. Tes ketajaman dan penglihatan pada kondisi normal.
(3) Saraf III, IV, dan VI. Penurunan membuka dan menutup
kelopak mata disebut paralisis okuler.
(4) Saraf V. Klien dengan Guillain-Barre Syndrome didapatkan
paralisis pada otot wajah sehingga mengganggu proses
mengunyah.
(5) Saraf VII. Persepsi pengecapan dlam batas normal, wajah
asimetris karena adanya paralisis unilateral.
(6) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduksi adan tuli
persepsi.
(7) Saraf IX dan X. Paralisis otot orofaring, kesulitan berbicara,
mengunyah dan menelan. Kemampuan menelan kurang baik
sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.
(8) Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternkleidomantoideus dan
trapezius. Kemampuan mobilisasi leher baik.
(9) Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi paa satu sisi dan
tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan normal
d) Pengkajian Sistem  Motorik
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi
pada Guillain-Barre Syndrome tahap lanjut mengalami
perubahan. Klien mengalami kelemahan motorik secara umum
sehingga mengganggu mobilitas fisik.
e) Pengkajian Refleks
Pemeriksaan refleks propunda, pengetukan pada tendon,
ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respon normal.
f) Pengkajian Sistem Sensorik
Parestesia (kesemutan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang
dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot
wajah. Klien mengalami penurunan kemampuan penilaian
sensorik raba, nyeri, dan suhu.
4) B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan
berkurangnya volume penegeluaran urine, hal ini berhubungan
dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
5) B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan denganpeningkatan produksi
asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien meningitis menurun
karena anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan
proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral menjadi
berkurang.
6) B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran
menurunkan mobilitas klien secara umum. Dalam pemenuhan
kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.

2. Diagnosis dan Intervensi keperawatan


Berdasarkan data pengkajian, diagnosis utama klien terdiri dari:
a) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan n\keletihan otot-otot
pernafasan, hiperventilasi, kerusakan neurologis
NOC : pola nafas efektif
NIC :
(1) Pantau frekuensi, kedalaman dan kesimetrisan pernafasan.
Perhatikan gerakan dada, penggunaan otot-otot bantu serta retraksi
otot.
(2) Catat peningkatan kerja napas dan observasi warna kulit dan
membran mukosa.
(3) Pantau pola pernafasan bradipnea, apnea.
(4) Tinggikan kepala tempat tidur atau letakkan klien pada posisi
semifowler.
(5) Anjurkan nafas dalam melalui abdomen selama periode distress
pernapasan.
(6) Berikan terapi suplemetasi oksigen (sesuai indikasi).
(7) Berikan obat/ bantu tindakan pembersihan pernafasan melalui
perkusi dada, drainase postural, vibrasi.
b) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan, akibat disfungsi syaraf cranial sekunder
NOC : keseimbangan pemenuhan nutrisi
NIC :
(1) Kaji kemampuan mengunyah, menelan pada keadaan yang teratur.
(2) Catat masukan kalori setiap hari.
(3) Catat makanan yang disukai oleh klien termasuk pilihan diet yang
dikehendaki.
(4) Izinkan untuk makan sesuai waktu yang diinginkan yang
menyenangkan bagi klien
(5) Beri diet tinggi kalori.
(6) Pasang/pertahankan selang NGT.
c) Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dnegan disfungsi sistem
syaraf autonom
NOC : perfusi jaringan efektif
NIC :
(1) Ukur tekanan darah. Observvasi adanya hipotensi postural, berikan
latihan ketika sedang melakukan perubahan posisi klien.
(2) Pantau frekuensi jantung dan iramanya. Dokumentasikan adanya
distrimia.
(3) Pantau suhu tubuh. Berikan suhu lingkungan yang nyaman.
(4) Tinggikan sedikit kaki tempat tidur. Berikan latihan pasif pada
lutut/kaki.
(5) Kolaborasi dengan pemberian cairan IV sesuai indikasi.
(6) Pemberian heparin sesuai indikasi.
(7) Pantau pemeriksaan laboratorium seperti Hb.
d) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
neuromuscular, penurunan kekuatan otot dan penurunan kesadaran
NOC : peningkatan keoptimalan mobilitas
NIC :
(1) Kaji kekuatan motorik/ kemampuan fungsional dengan
menggunakan skala 0-5. Lakukan pengkajian secara teratur sesuai
kebutuhan secara individual.
(2) Sokong ekstremitas dan persendian dengan bantal, trochanter roll,
papan kaki.
(3) Ajarkan dan dukung klien dalam ROM aktif/pasif untuk
mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
(4) Anjurkan untuk melakukan latihan yang terus dikembangkan dan
bergantung pada toleransi secara individual.
(5) Konfirmasikan dengan rujuk ke bagian terapi fisik.
e) Konstipasi berhubungan dengan kehilangan sensai dan reflek sfingter
NOC : konstipasi tidak ada
NIC :
(1) Auskultasi bising usus, catat adanya perubahan bising usus.
(2) Anjurkan klien untuk minum paling sedikit 2000 ml/hari (jika klien
dapat menelan).
(3) Berikan privasi dan posisi fowler dengan jadwal waktu secara
teratur.
(4) Beri obat pencahar feses.
(5) Tingkatkan diet makanan yang berserat.
ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA PASIEN GUILLAIN-BARRE
SYNDROME (GDS) DI RUANG ICU

A. Pengkajian
1. Biodata Pasien
Nama : Tn. B
Umur : 60 Tahun
TTL : Tangerang, 27 Juni 1960
No Medrek : 765463
Agama : Islam
Golongan Darah : AB+
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Pensiun BUMN
Diagnosa Medis : Guillain-Barre Syndrome (GBS)
Tanggal Masuk RS : 26 April 2020
Tanggal Pengkajian : 28 April 2020
Alamat Lengkap : Kp. Rawabuntu RT/RW 04/06 Ds. Budak

2. Biodata Penanggung Jawab


Nama : Ny. A
Umur : 58 Tahun
Agama : Islam
Hubungan dengan Klien : Istri
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat Lengkap : Kp. Rawabuntu RT/RW 04/06 Ds. Budak

3. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Kelemahan otot hampir seluruh tubuh, khususnya pada bagian
ekstremitas bawah dan menjalar ke ekstremitas atas.
b. Riwayat Kesehatan Sekarang (PQRST)
Pasien mengatakan mengeluh nyeri tekan otot seperti terbakar, nyeri
pada bahu, punggung, pinggang dan bokong. Pasien tampak cemas,
pasien terlihat kesulitan bernafas dan nafas pendek, wajah/muka
kemerahan, tekanan darah kadang-kadang tinggi dan terkadang
rendah, klien tampak takut dan bingung, adanya perubahan pola
eliminasi BAB, pasien kesulitan mengunyah dan menelan, pasien
terpasang ventilator mekanik.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit hipertensi,
diabetes mellitus dan kolesterol.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan dalam keluarganya tidak mempunyai riwayat
penyakit serupa dengan pasien dan tidak mempunyai penyakit
keturunan serta penyakit menular.

4. Primary Survey
a. Airway
Look : terdapat sumbatan jalan nafas (sputum)
Listen : ada suara nafas tambahan (ronchi)
Feel : ada hembusan nafas
b. Breathing
Pasien mengalami kesulitan bernafas dan dilakukan pemasangan
ventilator mekanik dengan FVC <15 ml/kg
Inspeksi : pergerakan dada simetris, tidak ada jejas, RR 26
x/menit
Auskultasi : suara nafas ronchi
Perkusi : sonor +/+
Palpasi : tidak ada krepitasi pada bagian dada
c. Circulation
Tekanan darah 102/84 mmHg, nadi 80 x/menit, akral teraba hangat,
CRT < 2 detik.
d. Disability
Kesadaran Composmentis, GCS 15 E4V5M6
e. Exposure
Tidak ada jejas, suhu 36,30C

5. Secondary Suvey
f. Foley Cateter
Pasien terpasang foley cateter
g. Gastric Tube
Pasien terpasang NGT
h. Heart Monitor
Hasil monitor EKG pasien sinus rhytme

6. Re Evaluasi
a. Head to Toe Examination
1) Keadaan kulit : baik
Tugor kulit : baik
Warna kulit : kemerahan
2) Keadaan rambut
Bersih, tekstur baik, warna rambut hitam, terdapat uban, distribusi
rambut merata.
3) Kuku
Warna kuku merah muda, kuku bersih dan pendek.
4) Kepala
Bentuk kepala simetris, tidak ada edema, tidak ada lesi.
5) Wajah
Bentuk wajah simetris, tidak ada edema, tidak lesi, tidak ada
massa, wajah terlihat kemerahan.
6) Mata
Kondisi mata : normal/ simetris
Pupil : hitam, isokor, reflek cahaya (+/+)
Sklera : ikterik (-/-)
Konjungtiva : anemis (-/-)
Alis mata : tipis, distribusi alis merata
7) Leher
Tidak ada pembesaran limfa dan tiroid, tidak ada massa dan lesi.
8) Dada
Inspeksi : simetris, tidak ada lesi dan massa, warna
kulit sama dengan kulit keseluruhan
Auskultasi : bunyi nafas vesikuler
Perkusi : sonor (+/+)
Palpasi : tidak ada nyeri tekan bagian dada, tidak
ada krepitasi
9) Abdomen
Inspeksi : simetris, tidak ada lesi dan massa, tidak
ada luka bekas operasi
Auskultasi : bising usus peristaltik 20 x/menit
Perkusi : timpani
Palpasi : terdapat nyeri tekan, terdapat distensi
abdomen
10) Ekstremitas
Atas : kekuatan otot lemah, derajat kekuatan otot
2, tidak ada lesi
Bawah : kekuatan otot lemah, derajat kekuatan otot
2, tidak ada lesi
b. Finger in Every Orifice
1) Hidung
Pasien bernafas menggunakan cuping huding, tidak ada
pembesaran konka, tidak ada sekret, tidak ada lesi, tidak ada
deformitas, tidak ada massa, septum nassal simetris.
2) Telinga
Telinga simetris, tidak ada serumen (-/-), tidak ada darah (-/-), tidak
ada lesi, fungsi pendengaran baik (+/+).
3) Mulut
Mukosa bibir lembab, tidak ada sianosis, warna bibir merah muda,
lidah tidak kotor, saliva normal, tidak menggunakan gigi palsu dan
tidak ada stomatitis.
4) Anus
Tidak ada lesi.
c. Vital sign
Kesadaran : Samnolen GCS 10 E2M4V4
Tekanan darah : 90/70 mmHg
Frekuensi nadi : 68 x/menit
Frekuensi nafas : 24 x/menit
Suhu : 360C
d. Anamnesis
Keluhan : pasien mengalami kelemahan otot hampir
seluruh tubuh khususnya pada bagian
ekstremitas bawah dan atas
Obat : IVFD NaCl 0,9 %
Injeksi Ceftriaxone 1 gram/12 jam
Injeksi Lapibal 500 mg/8 jam
Injeksi Methyl Prednisolon 1 vial/8 jam
Injeksi Omeprazole 1 gram/12 jam
Paracetamol 3x500 mg
Makanan : diit cair
Penyakit : Guillain-Barre Syndrome (GBS)
Alergi : pasien tidak mempunyai alergi obat dan
makanan

7. Pemeriksaan Fisik
a. Sistem Pernapasan
Inspeksi : jalan nafas menggunakan selang ETT dan
terdapat sputum berwarna putih, pengembangan
ada simetris, pasien tampak sesak, frekuensi nafas
25 x/menit, tidak terdapat darah, pasien
menggunakan nafas cuping hidung, adanya
kedalaman pernafasan.
Auskultasi : suara nafas ronchi
Perkusi : sonor
Palpasi : taktil fremitus (+/+)
b. Sistem Kardiovaskuler
Warna kulit kemerahan, tidak terdapat distensi vena jugularis,
frekuensi nadi 68 x/menit, irama teratur, denyut nadi lemah, tekanan
darah 90/70 mmHg, temperatur kulit hangat, pengisian kapiler <2
detik, tidak ada edema, tidak ada kelainan bunyi jantung.
c. Sistem Pencernaan
Reflek mengunyah dan menelan terganggu, menggunakan alat bantu
NGT, frekuensi makan 3 x/hari, diit cair.
d. Sistem Perkemihan
Pasien terpasang kateter, kateter dalam keadaan bersih, aliran kateter
lancar, tidak ada darah di urine, urine tidak merembes, terpasang
selama perawatan, frekuensi berkemih tidak terkontrol, jumlah urine
2500 cc/24 jam, warna urine kuning jernih.
e. Sistem persarafan
Tingkat kesadaran samnolen GCS 10 E2M4V4.
f. Sistem Endokrin
Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening dan kelenjar tiroid.
g. Sistem Muskuloskeletal
Pasien mengalami kelemahan otot pada bagian ekstremitas atas dan
bawah, kekuatan otot 2
h. Sistem Integumen
Turgor kulit baik, tidak ada lesi, warna kulit sawo matang,
akralhangat, tidak ada massa.

8. Pola Aktivitas Sehari-hari


Jenis Kegiatan Di Rumah Di RS
Pola Nutrisi
1. Makan
Frekuensi 3×/hari 2×/hari
Jenis Nasi, lauk, sayur Diit cair
Porsi Sedang Sedikit
Cara Mandiri NGT
Keluhan - Kesulitan
mengunyah dan
menelan
2. Minum
Frekuensi 5-6×/hari 5×/hari
Jenis Air mineral Air susu- air
mineral
Cara Mandiri NGT
Keluhan - Gangguan menelan
Pola Eliminasi
1. BAB
Frekuensi 2×/hari -
Konsistensi Semi padat -
Warna Kuning kecoklatan -
Bau Khas -
Cara Mandiri -
Keluhan - -
2. BAK
Frekuensi 5-6×/hari Tidak terkontrol
Warna Kuning jernih Kuning jernih
Bau Khas Khas
Cara Mandiri Kateter
Keluhan - -
Pola Isirahat Tidur
1. Malam 7-8 jam Penurunan
2. Siang 2 jam kesadaran
Personal Hygiene
Mandi 2×/hari 2×/hari
Gosok Gigi 2×/hari 2×/hari
Ganti Pakaian 2×/hari 2×/hari
Cara Mandiri Bantuan
Keluhan - -

9. Data Psikologis
a. Data Sosial
Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien mudah bersosialisasi
dengan orang lain.
b. Data Spiritual
Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien rajin shalat 5 waktu dan
berdoa.

10. Data Penunjang


a. Laboratorium
No Jenis Pemeriksaan Nilai Nilai Normal
1. WBC 10,92 (103/UL) 4,0 - 11,0 (103/UL)
2. PLT 293 (103/UL) 150 - 400 (103/UL)
3. HGB 11,0 (g/dL) 12 - 16 (g/dL)
4. Glukosa Sewaktu 111 mg/dL <180 mg/dL
5. Ureum 23mg/dL 10 - 50 mg/dL
6. Kreatinin 0,3 mg/dL <1,4 mg/dL

b. Radiologi
Tidak ada
c. EKG
Sinus rhtyme
d. Terapi
1) IVFD NaCl 0,9 %
2) Injeksi Ceftriaxone 1 gram/12 jam
3) Injeksi Lapibal 500 mg/8 jam
4) Injeksi Methyl Prednisolon 1 vial/8 jam
5) Injeksi Omeprazole 1 gram/12 jam
6) Paracetamol 3x500 mg

B. Analisa Data
No Data Fokus Etiologi Masalah
1. Ds : - Adanya sputum Ketidakefektifan
Do : bersihan jalan nafas
1. Adanya sputum
2. Adanya suara nafas
tambahan
3. Pasien tampak kesulitan
bernafas
4. Tidak ada batuk
2. Ds : - Keletihan otot Ketidakefektifan
Do : pernafasan pola nafas
1. Pasien tampak sesak
2. Adanya perubahan
kedalaman pernafasan
3. Pasien tampak
menggunakan
pernafasan cuping
hidung
4. Frekuensi pernafasan
25×/menit
3. Ds : - Ketidakmampuan Ketidakseimbangan
Do : menelan nutrisi kurang dari
1. Adanya distensi kebutuhan tubuh
abdomen
2. Adanya gangguan
mengunyah
3. Adanya gangguan
menelan
4. Nafsu makan menurun
4. Ds : - paralisis Hambatan mobiltas
Do : fisik
1. Adanya kelemahan otot
bagian ekstremitas atas
dan bawah
2. Kesulitan membolak-
balik posisi
3. Derajat kekuatan otot 2
4. Keterbatasan rentang
gerak
5. Ds : - Kelemahan otot Konstipasi
Do : abdomen
1. Adanya distensi
abdomen
2. Adanya nyeri abdomen
3. Nafsu makan menurun

C. Masalah Keperawatan / Diagnosis Keperawatan Berdasakan Prioritas


1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d adanya sputum
2. Ketidakefektifan pola nafas b.d keletihan otot pernafasan
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
ketidakmampuan menelan
4. Hambatan mobilitas fisik b.d paralisis
5. Konstipasi b.d kelemahan otot abdomen

D. Rencana Keperawatan
Nama : Tn. B
Umur : 60 Tahun
No.RM : 765463
Diagnosa Medis : Guillain-Barre Syndrome (GBS)
No Perencanaan
Diagnosis Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional
.
1. Ketidakefektifan Setelah dilakukan 1. Auskultasi 1. Untuk
bersihan jalan nafas b.d tindakan suara nafas mengetahui
adanya sputum keperawatan selama sebelum dan perubahan suara
7x24 jam sesudah nafas
ketidakseimbangan suctioning
bersihan jalan nafas 2. Berikan 2. Untuk
dapat teratasi, oksigen memberikan
dengan kriterian sebelum cadangan
hasil : melakukan oksigen
1. Suara nafas suctioning
vesikuler 3. Lakukan 3. Untuk
2. Tidak ada suctioning membersihkan
sputum jalan nafas
3. Mampu
bernafas dengan
mudah
2. Ketidakefektifan pola Setelah dilakukan 1. Monitor TTV 1. Untuk
nafas b.d keletihan otot tindakan mengetahui
pernafasan keperawatan selama keadaan umum
7x24 jam 2. Posisikan 2. Untuk
Ketidakefektifan pasien memaksimalkan
pola nafas dapat semifowler ventilasi
teratasi, dengan 3. Berikan 3. Untuk
kriteria hasil : oksigen sesuai mengurangi
1. Sesak hilang indikasi sesak
2. Tidak ada
pernafasan
menggunakan
cuping hidung
3. Tanda-tanda
vital dalam
batas normal
TD : 120/80
mmHg
N : 80-100
x/menit
S : 36,5-37,5oC
RR : 16-20
x/menit
3. Ketidakseimbangan Setelah dilakukan 1. Kali pola 1. Untuk
nutrisi kurang dari tindakan makan mengetahui
kebutuhan tubuh b.d keperawatan selama nutrisi pasien
ketidakmampuan 7x24 jam 2. Monitor 2. Untuk
menelan Ketidakseimbangan jumlah nutrisi mengetahui
nutrisi kurang dari dan nutrisi dan
kebutuhan tubuh kandungan kadungan kalori
dapat teratasi, kalori
dengan kriteria 3. Monitor pucat, 3. Untuk
hasil : kemerahan mengetahui
1. Nafsu makan dan terpenuhinya
meningkat kekeringan nutrisi pasien
2. Menunjukkan jaringan
peningkatan konjungtiva
funsi 4. Monitor intake 4. Untuk
mengunyah dan dan output mengetahui
menelan intake dan
3. Tidak ada output pasien
distensi 5. Kolaborasi 5. Untuk
abdomen dengan ahli mengetahui
gizi jumlah nutrisi
yang adekuat
4. Hambatan mobilitas fisik Setelah dilakukan 1. Monitor TTV 1. Untuk
b.d paralisis tindakan sebelum dan mengetahui
keperawatan selama sesudah keadaan umum
7x24 jam Hambatan latihan pasien
mobilitas fisik dapat 2. Konsultasi 2. Dapat
teratasi, dengan dengan melakukan
kriteria hasil : fisioterapi tindakan yang
1. Adanya dengan tepat
peningkatan rencara
derajat kekuatan ambulasi
otot sesuai
2. Pasien dapat kebutuhan
membolak-balik 3. Latih teknik 3. Untuk
posisi ROM atau meningkatkan
3. Rentang gerak ambulasi derajat kekuatan
pasien otot
meningkat 4. Kolaborasi 4. Untuk
4. Tanda-tanda pemberian mempercepat
vital dalam obat kesembuhan
batas normal
TD : 120/80
mmHg
N : 80-100
x/menit
S : 36,5-37,5oC
RR : 16-20
x/menit
5. Konstipasi b.d Setelah dilakukan 1. Monitor tanda 1. Untuk
kelemahan otot abdomen tindakan dan gejala mengetahui
keperawatan selama konstipasi tanda dan gejala
7x24 jam Konstipasi konstipasi
dapat teratasi, 2. Monitor bising 2. Untuk
dengan kriteria usus mengetahui
hasil : bunyi bising
1. Bebas dari usus
ketidakyamanan 3. Monitor 3. Untuk
dan konstipasi feses : megetahui
2. Nafsu makan frekuensi, frekuensi,
meningkan konsistensi konsistensi dan
3. Tidak ada dan volume volume feses
distensi pasien
abdomen 4. Untuk
4. Tidak ada nyeri 4. Konsultasi mempercepat
abdomen dengan dokter kesembuhan
5. Dapat BAB pemberian
normal obat

Anda mungkin juga menyukai