Anda di halaman 1dari 45

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan hayati terbesar yang
memiliki lebih dari 30.000 spesies tanaman tingkat tinggi. Hingga saat ini tercatat
7000 spesies tanaman telah diketahui khasiatnya namun kurang dari 300 tanaman
yang digunakan sebagai bahan baku industri farmasi secara reguler. WHO pada
tahun 2008 mencatat bahwa 68% penduduk dunia masih menggantungkan sistem
pengobatan tradisional yang mayoritas melibatkan tumbuhan untuk menyembuhkan
penyakit dan lebih dari 80% penduduk dunia menggunakan obat herbal untuk
mendukung kesehatan mereka. Untuk mendukung hal tersebut maka dilakukan
pengembangan obat tradisional melalui penelitian-penelitian ilmiah terbaru dan
diproduksi secara modern agar bisa dimanfaatkan sebagai obat untuk kepentingan
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Proses saintifikasi tersebut sangat penting
agar penggunaan obat tradisional tidak berdasarkan pengalaman saja tetapi
memiliki bukti ilmiah sehingga bisa digunakan dalam sistem pelayanan kesehatan
formal yang modern. Salah satu metode yang digunakan untuk penemuan obat
tradisional adalah metode ekstraksi. (1)
Hipertensi merupakan penyakit yang sering dijumpai di masyarakat maju,
baik pria ataupun wanita, tua ataupun muda bisa terserang penyakit ini, dan
gejalanya tidak terasa. Penyakit ini disebut sebagai silent diseases dan merupakan
faktor risiko utama dari perkembangan/penyebab penyakit jantung dan stroke; bila
tidak terkontrol akan menyebabkan kerusakan pada organ tubuh lainnya, seperti
otak, ginjal, mata dan kelumpuhan organ-organ gerak (Purwati et al., 2005).
Menurut definisi, hipertensi adalah bila tekanan darah sistolik melebihi 140 mmHg
dan tekanan darah diastolik 90 mmHg (Anonymous, 2009). Bila tekanan darah
antara 120-139 mmHg pada sistolik dan 80-89 mmHg pada diastolik dapat
dikatakan sudah mengalami prehipertensi
Pemilihan obat-obatan antihipertensi saat ini telah banyak mengalami
perubahan, karena perlu mempertimbangkan efikasi, efek samping yang
2

ditimbulkan, pemakaian jangka panjang dan nilai ekonomisnya. Penggunaan herbal


dan bahan alami untuk mengobati dan mengontrol penyakit sudah banyak
dilakukan oleh masyarakat dunia. Bahkan akhir-akhir ini terjadi peningkatan
penelitian terhadap herbal dan bahan alami untuk mengobati berbagai penyakit.
Industri farmasi juga berusaha mencari peluang pemanfaatan bahan alam dan
turunannya sebagai bahan untuk obat. Selain itu, potensi pasar juga perlu
dipertimbangkan dalam upaya menemukan obat baru yang dapat menurunkan
tekanan darah secara signifikan (2).
Buah naga merah merupakan buah dari suku Cactaceae, yang mulai banyak
dikonsumsi di Indonesia. Buah naga merah secara berkala dapat mencegah dan
mengobati osteoporosis, hipertensi, diabetes dan menurunkan kolesterol. Penelitian
mengenai khasiat buah naga merah juga telah banyak dilakukan. Buah naga merah
memiliki khasiat sebagai antihepatotoksik, antioksidan , dan hipokolesterole-mik.
Pemanfaatan buah naga merah hanya terpaku pada daging buahnya, sedangkan
kulitnya belum dimanfaatkan secara optimal (3).

B. PERUMUSAN MASALAH

Indonesia sebagai negara berkembang termasuk negara yang memiliki prevalensi


penyakit hipertensi yang cukup tinggi bahkan cenderung meningkat. Oleh karena itu,
diperlukan upaya-upaya antisipasi dengan tindakan preventif dan kuratif sedini
mungkin misalnya dengan penggunaan obat herbal. Dalam menentukan aktivitas
suatu herbal, diperlukan metode skrining berupa uji in vitro yang mudah dan
sederhana. Salah satu pengujian in vitro penghambatan ACE yang sering digunakan
adalah metode Chusman dan Cheung.

Kulit buah naga merah secara empiris dapat menurunkan tekanan darah. Terapi
melalui mekanisme penghambatan Angiotensin Converting Enzyme (ACE)
bermanfaat untuk menurunkan tekanan darah. Kulit buah naga merah mengandung
senyawa alkaloid, flavonoid dan steroid (4). Menurut data penelitian seyawa alkaloid
flavonoid dan steroid merupakan senyawa yang dapat digunakan sebagai
antihipertensi (5). Sehingga dalam penelitian ini :
3

1. Golongan senyawa kimia apa saja yang terkandung dalam simplisia dan
ekstrak etanol 70% kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus Britton &
Rose) ?
2. Bagaimana karakteristik fitokimia simplisia dan ekstrak kulit buah naga
merah (Hylocereus polyrhizus Britton & Rose) ?
3. Apakah ekstrak etanol 70% dari kulit buah naga merah (Hylocereus
polyrhizus Britton & Rose) memiliki aktivitas penghambatan enzim pengubah
angiotensin ?

C. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan memberikan informasi ilmiah penggunaan kulit buah naga
merah (Hylocereus polyrhizus Britton & Rose) sebagai antihipertensi dan dapat
dikembangkan menjadi obat herbal terstandar serta fitofarmaka di Indonesia.

D. TUJUAN PENELITIAN

1. Mengetahui karakteristik fitokimia simplisia dan ekstrak kulit buah naga merah
(Hylocereus polyrhizus Britton & Rose).
2. Mengetahui aktivitas penghambatan enzim pengubah angiotensin dari ekstrak
etanol 70% kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus Britton & Rose).
4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. TINJAUAN BOTANI

1. Buah Naga Merah

Gambar II.1 Kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus Britton & Rose). (6)

a. Klasifikasi tanaman

Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Cactales
Famili : Cactaceae
Genus : Hylocereus
Spesies : Hylocereus polyrhizus
5

b. Nama umum

Cina : thang loy

Eropa : dragon fruit

c. Uraian tanaman
Tanaman buah naga merupakan jenis tanaman memanjat. di habitat aslinya
tanaman ini memanjat tanaman lainnya untuk menopang dan bersifat epifit.
Tanaman buah naga dapat tumbuh optimal pada suhu 38-40oC.
Batang buah naga berwarna hijau kebiru-biruan atau keunguan.
Batang tersebut berbentuk siku atau segitiga dan mengandung air dalam
bentuk lender dan berlapiskan lilin bila sudah dewasa. Dari batang ini
tumbuh cabang yang bentuk dan warnanya sama dengan batang dan
berfungsi sebagai daun untuk proses asimilasi dan mengandung kambium
yang berfungsi untuk pertumbuhan tanaman. Pada batang dan cabang
tanaman ini tumbuh duri-duri yang keras dan pendek, letak duri pada tepi
siku-siku batang maupun cabang dan terdiri dari 4-5 buah duri di setiap titik
tubuh. cabang berbentuk segi tiga dan berwarna hijau kebiru-biruan atau
ungu.
Bunga buah naga berbentuk corong memanjang berukuran sekitar 30
cm, akan mulai mekar di sore hari dan mekar sempurna pada malam hari.
Setelah mekar warna mahkota bunga bagian dalam putih bersih dan di
dalamnya terdapat benang sari berwarna kuning dan mengeluarkan bau yang
harum.
Buah naga merah berbentuk bulat lonjong mirip buah nanas, namun
memiliki sirip. Kulitnya berwarna merah jambu, dan dihiasi sisiksisik yang
berwarna hijau seperti sisik naga. Buah naga mempunyai daging buah
seperti buah kiwi. Daging buahnya yang berwarna putih, merah, atau merah
tua (keunguan), bertaburan biji hitam kecil-kecil. Rasa buah naga manis,
segar, dan sedikit asam. Ketebalan kulit buah naga mencapai 2-3 cm,
permukaan kulit buah naga terdapat jumbai atau jambul berukuran 1-2 cm.
6

Tanaman buah naga tidak memerlukan perawatan khusus sejak di


tanam hingga menghasilkan buah. Tanaman buah naga hanya memerlukan
media tanah, pasir dan pupuk organik atau pupuk kandang. Dan cocok
ditanam di lahan kritis dengan kondisi air yang memilih. Curah hujan yang
besar justru tidak menguntungkan bagi tamanan ini, karena bisa
mengakibatkan kerusakan dan pembusukan buah naga.

d. Sifat dan khasiat


Kulit berkhasiat sebagai antioksidan, dapat membuang racun dalam tubuh
dan membersihkan pencernaan.

e. Kandungan kimia
Kandungan pandan mengandung alkaoida, flavonoida, steroid, dan zat
warna. (4,7)

B. SIMPLISIA
Simplisia adalah bahan yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami
pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah
dikeringkan. Simplisia terbagi menjadi 3 jenis, yaitu simplisia nabati, simplisia
hewani dan silmplisia pelikan. Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa
tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman. Simplisia yang digunakan
dilakukan karakterisasi simplisia yaitu penetapan kadar bahan organik asing dan
penetapan derajat halus serbuk simplisia.
1) Bahan Organik Asing
Bahan organik asing merupakan bagian tanaman atau seluruh tanaman asal
simplisia, tertera atau jumlahnya dibatasi dalam uraian atau pemerian dalam
monografi yang bersangkutan, atau hewan asing, utuh, atau bagiannya, atau zat
yang dikeluarkan hewan asing. Kecuali dinyatakan lain, yang dimaksud dengan
bahan organik asing pada simplisia nabati adalah bahan organik yang berasal dari
tanaman.
7

2) Derajat halus serbuk simplisia


Derajat halus simplisia merupakan ukuran partikel serbuk simplisia yang
dinyatakan dengan nomor pengayak. Jika derajat halus suatu serbuk dinyatakan
dengan satu nomor, dimaksudkan bahwa semua serbuk dapat melalui pengayak
dengan nomor terendah dan tidak lebih dari 40% melalui pengayak dengan
nomor tertinggi. (8)

C. EKSTRAK
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif
dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang
tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. (9)

D. TEKNOLOGI EKSTRAKSI
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan zat aktif yang dapat larut sehingga terpisah dari
bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Pada proses ekstraksi berlangsung
dua proses secara paralel yaitu pelepasan (release) bahan yang diekstraksi dari sel
(tanaman) yang telah dirusak dan pelepasan bahan yang diekstraksi melalui proses
difusi.
Proses difusi biasanya akan meningkat bila tanaman mengalami perlakuan
dengan air atau pelarut yang mengandung air yang menyebabkan sel tanaman akan
mengembang (sweeling) sehingga terjadi peningkatan permeabilitas atau pecahnya
dinding sel. Cara ekstraksi yang cepat tergantung pada tekstur jaringan dari simplisia
yang bersangkutan, struktur kimia senyawa yang akan diisolasi dan kadar air dalam
simplisia. Disamping itu, ukuran partikel, temperatur, dan tekanan udara berperan
dalam penentuan kualitas ekstrak yang dihasilkan.
Hasil ekstraksi disebut ekstak, yaitu sediaan kering, kental atau cair yang
diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia
hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua
pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukam sedemikian
hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan.
8

Metode Ekstraksi dibagi menjadi beberapa kelompok (10) :


1. Ekstraksi dengan menggunakan pelarut
a) Cara dingin
 Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan perut
dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar.
Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian
konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan
pengadukan yang kontinu. Remaserasi berarti dilakukan pengulangan
penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan
seterusnya.
 Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna
(exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.
Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahapan maserasi antara,
tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus
sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan.
b) Cara panas
 Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan
dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan
proses pada residu pertama sanpai 3-5 kali sehingga dapat termasuk
proses ekstraksi sempurna.
 Soxhletasi
Soxhlet adalah proses ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru
yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi
kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin
balik.
9

 Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu
secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC.
 Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih. Temperatur terukur
96-98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit).
 Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥ 30 menit) dan
temperatur sampai titik didih air.
2. Destilasi uap
Destilasi uap adalah esktraksi senyawa kandungan menguap (minyak atsiri) dari
bahan (segar atau simplisia) dengan uap air berdasarkan peristiwa tekanan parsial
senyawa kandungan menguap dengan fase uap air dari ketel secara kontinu
sampai sempurna dan diakhiri dengan kondensasi fase uap campuran (senyawa
kandungan menguap ikut terdestilasi) menjadi destilat air bersama senyawa
kandungan yang memisah sempurna atau memisah sebagian.
Pada penelitian ini metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi kinetik
tipe pedal. Metode ini dipilih karena dapat menyari kandungan simplisia secara
selektif dan aman tanpa merusak atau menghilangkan senyawa yang mudah
menguap, peralatan yang digunakan lebih sederhana dan lebih ekonomis.

E. METODE PEMISAHAN DAN PEMURNIAN


Kromatografi merupakan salah satu metode pemisahan yang mempunyai keuntungan
dalam pelaksanaannya yang lebih sederhana, penggunaan waktu yang singkat dan
terutama karena mempunyai kepekaan yang tinggi serta kemampuan pemisahan yang
tinggi, dibandingkan metode pemisahan yang lain seperti destilasi, kristalisasi,
pengendapan ekstraksi dan lain-lain.
Kromatografi didefinisikan sebagai prosedur pemisahan zat terlarut oleh suatu
proses migrasi diferensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase atau lebih,
10

salah satu diantaranya bergerak secara berkesinambungan dalam arah tertentu dan
didalamnya zat-zat yang menunjukkan perbedaan motilitas disebabkan adanya
perbedaan adsorbs, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul atau kerapatan
muatan ion. Dengan demikian masing-masing zat dapat diidentifikasi atau ditetapkan
dengan metode analitik.
Secara umum Teknik kromatografi didasarkan pada distribusi zat terlarut antara
dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Fase gerak membawa zat yang terlarut
melalui media, hingga terpisah dari zat terlarut lainnya, yang terelusi lebih awal atau
lebih akhir. Umumnya zat terlarut dibawa melalui media pemisah oleh aliran suatu
pelarut berbentuk cairan atau gas yang disebut eluen. Fase diam dapat bertindak
sebagai penjerap atau dapat bertindak melarutkan zat sehingga terjadi partisi antar
fase diam dan fase gerak. Dalam proses terakhir ini lapisan cairan pada suatu
penyangga yang inert berfungsi sebagai fase diam.

1. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)


Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan metode pemisahan fisikokimia yang
melibatkan dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam berupa serbuk
halus yang ditempatkan pada penyangga berupa pelat kaca, logam atau lapisan
yang cocok sebagai permukaan penjerap atau penyangga untuk lapisan zat cair.
Syarat fase diam yang baik adalah seragam, tidak larut dalam fase gerak dan zat
terlarut. Fase gerak merupakan media pengangkut atau pengembang, berupa
pelarut tunggal atau campuran. Pelarut yang digunakan adalah pelarut bertingkat
mutu analitik dan bila diperlukan sistem pelarut multikomponen berupa suatu
campuran sesederhana mungkin yang terdiri atas maksimum tiga komponen.
Pelarut-pelarut yang biasanya digunakan atau sering dikombinasikan dalam KLT
adalah n-heksan, eter minyak tanah, karbon tetraklorida, eter, kloroform, etil
asetat, asam asetat glasial, aseton, etanol, metanol dan air. Urutan ini berdasarkan
bertambahnya sifat kepolaran dari pelarut tersebut.
Laju migrasi analit ditentukan oleh dua faktor yang didasarkan atas
afinitasnya terhadap fase gerak dan fase diam, yaitu:
11

a. Tertahannya analit pada fase diam. Makin kuat afinitasnya terhadap fase
diam, makin lama tertahannya pada fase diam dan makin lambat lajunya
dibandingkan fase gerak.
b. Terbawanya analit melaju bersama fase gerak. Makin kuat afinitasnya
terhadap fase gerak, makin cepat lajunya fase gerak dan melaju makin gerak
fase gerak.
Metode kromatografi dapat dikelompokkan berdasarkan: fase gerak, transisi,
teknik ganti dan geometri. Berdasarkan atas: adsorpsi (adsorption), partisi
(partition), fase terikat (bounded phase), permukaan ion (ion exchange),
pasangan ion (ion pairing), ekslusi (gel permeation), afinitas (affinity). Teknik
KLT hanya menyediakan investasi yang kecil, waktu yang singkat untuk
menyelesaikan analisis (15-30 menit), serta jumlah yang sangat sedikit (kira-kira
0,1 gram). (25).
2. Kromatografi Kolom
Kromatografi kolom merupakan kromatografi cair yang dilakukan di dalam
kolom dan campuran yang akan disusun terdiri dari pita pada bagian atas kolom
penjerap yang berada dalam tabung kaca, tabung logam atau tabung plastik.
njerap dapat dikemas ke dalam tabung baik cara basah (dibuat suspensi terlebih
dahulu) atau dengan cara kering (langsung dituang ke tabung sedikit demi
sedikit). Pada umumnya, cara basah lebih mudah dan lebih sering digunakan
untuk silika gel, sedangkan cara kering lebih baik untuk alumina.
Kolom kromatografi umum dibuat dengan menuangkan lumpuran atau
suspensi fase diam dalam pelarut yang sesuai ke dalam kolom dan dibiarkan
memampat. Selanjutnya permukaan pelarut diturunkan sampai tepat pada
bagian atas penjerap, dan cuplikan yang dilarutkan dalam pelarut yang sesuai
dituangkan pada bagian atas kolom dan dibiarkan mengalir ke dalam lapisan atas
penjerap atau penyangga. Kemudian fase gerak ditransfer perlahan-lahan dan
dibiarkan mengalir mengembangkan kromatogram. Linarut yang berupa
senyawa campuran akan keluar dari kolom satu persatu sebagai pita dengan
kecepatan tertentu sehingga terjadi komplikasi campuran menjadi fraksi-fraksi.
Hasil Setiap fraksi ditampung dan diuapkan dengan rotavapor, lalu dianalisis
12

dengan KLT. Hasil pemisahan pada KLT diamati secara visual dan disemprot
dengan penampak bercak. Selanjutnya fraksi-fraksi dengan harga Rf
(retardation factor) yang sama digabung. (25)

E. PENAPISAN FITOKIMIA
Untuk mengetahui golongan senyawa kimia atau metabolit sekunder yang
terkandung dalam tanaman atau simplisia dapat dilakukan dengan proses penapisan
fitokimia terhadap tanaman berdasarkan golongannya. Golongan metabolit sekunder
diantaranya alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, kuinon, steroid, triterpenoid, minyak
atsiri dan kumarin.

F. STANDARISASI EKSTRAK
Parameter mutu yang harus dipenuhi oleh suatu ekstrak meliputi parameter mutu non
spesifik dan spesifik.
1) Parameter non spesifik
a) Kadar abu
Kadar abu dilakukan untuk menentukan kualitas dan kemurnian dari ekstrak
yaitu dengan menghitung jumlah mineral yang terdapat dalam ekstrak sebagai
unsur mineral dan zat anorganik. Proses pengabuan pada suhu 450 oC
menyebabkan senyawa organik dalam ekstrak akan terdestruksi dan
menguap. Kadar abu total dilakukan untuk mengetahui kandungan senyawa
mineral, baik makroelemen seperti Ca, K, Mg, dan P; maupun mikroelemen
seperti Fe, Mn, Zn, Cu, B, Mo, dan Cl yang terdapat didalam ekstrak. Kadar
abu tidak larut asam dilakukan untuk mengetahui senyawa-senyawa logam-
logam berat seperti Hg, Pb, silikat yang terdapat di dalam ekstrak, karena
senyawa logam berat tidak larut dalam asam, sedangkan kadar abu larut air
dilakukan untuk mengetahui jumlah makroelemen yang terkandung didalam
simplisia.
b) Penetapan Susut Pengeringan
13

Susut pengeringan adalah kadar bagian yang menguap dari sutu zat. Kecuali
dinyatakan lain, suhu penetapan adalah 105oC.
c) Penetapan Kadar Air
Tujuan dari penetapan kadar air adalah untuk mengetahui batasan maksimal
atau rentang besarnya kandungan air di dalam bahan. Dengan demikian,
penghilangan kadar air hingga jumlah tertentu dapat memperpanjang
stabilitas bahan selama penyimpanan. Persyaratan kadar air simplisian yang
baik adalah kurang dari 10%. Penentuan kadar air pada simplisia dapat
dilakukan dengan metode titrasi Karl Fischer, destilasi dan gravimetri.
Penelitian ini penetapan kadar air dilakukan dengan metode titrasi Karl-
Fischer.

d) Sisa pelarut
Ditujukan untuk menentukan kandungan sisa pelarut (yang memang
ditambahkan) yang secara umum dengan kromatografi gas, untuk ekstrak cair
berarti kandungan pelarutnya, misalnya kadar alkohol. Metode yang dapat
dilakukan untuk menentukan sisa pelarut yaitu dengan cara destilasi dan cara
kromatografi gas-cair.
e) Cemaran logam berat
Kandungan logam berat ditentukan secara spektroskopi serapan atom atau
lainnya yang lebih valid. Logam berat yang berbahaya bagi kesehatan yaitu
Hg, Pb, Cd, dan lain-lain.
f) Cemaran mikroba
Menentukan (identifikasi) adanya mikroba yang patogen secara analisis
mikrobiologis. Ekstrak tidak boleh mengandung mikroba patogen dan non
patogen melebihi batas yang ditetapkan karena berpengaruh pada stabilitas
ekstrak dan berbahaya (toksik) bagi kesehatan.

2) Parameter spesifik
a) Identitas ekstrak
14

Memberikan identitas obyektif dari nama dan spesifik dari senyawa identitas.
b) Organoleptik
Pengenalan awal yang sederhana seobyektif mungkin menggunakan
pancaindera untuk mendeskripsikan bentuk, warna, bau dan rasa.
c) Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu
Ekstrak dilarutkan dengan pelarut untuk ditentukan jumlah solut yang identik
dengan jumlah kandungan secra gravimetri. Dalam hal tertentu dapat diukur
senyawa terlarut dalam pelarut lain misal heksana, diklorometan, metanol.
(10)

G. HIPERTENSI
1. Klasifikasi Hipertensi (11).
Hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan tingginya tekanan darah dan
etiologinya. Seseorang dikatakan hipertensi apabila dengan satu kali pengukuran
didapatkan ≥210/120 mmHg, minimum dua kali pengukuran dengan jarak satu
beberapa minggu didapatkan ≥140/90 mmHg dalam keadaan tenang.
Berdasarkan tingginya tekanan darahnya, The Joint Nation Committe on
prevention, detection, evaluation and treatment of high blood pressure (JNC)
VII 2003 mengelompokkan hipertensi menjadi :
 Normal
Tekanan darah berada pada angka sistol <120 mmHg dan diastol <80mmHg
 Prehipertensi
Tekanan darah berada pada sistol 120-139 mmHg atau diastol 80-89 mmHg
 Hipertensi Kelas 1
Tekanan darah berada pada sistol 140-159 mmHg atau diastol 90-99 mmHg
 Hipertensi Kelas 2
Tekanan darah berada pada sistol ≥160 mmHg atau diastol ≥100 mmHg
Berdasarkan etiologinya hipertensi dikelompokkan menjadi 2, yaitu :
 Hipertensi Primer atau Essensial
Hipertensi primer atau essensial atau idiopatik adalah hipertensi tanpa
kelainan dasar patologi yang jelas. Lebih dari 90% kasus merupakan
15

golongan hipertensi primer. Penyebabnya multifaktor, meliputi faktor


genetik dan lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi kepekaan terhadap
natrium, kepekaan terhadap stress. Reaktivitas pembuluh darah terhadap
vasokontriktor, resistensi insulin, dll. Faktor lingkungan meliputi diet,
kebiasaan merokok, stress, obesitas dll.
 Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder meliputi 5-10%. Hipertensi sekunder terdapat beberapa
penyakit lain atau obat-obatan tertentu yang bertanggung jawab dalam
kenaikan tekanan darah. Penyakit ginjal kronik atau penyakit renovaskular
merupakan penyebab yang paling umum dalam setiap kasus hipertensi
sekunder ini.
2. Terapi Hipertensi
Tujuan terapi hipertensi adalah mengurangi morbiditas dan mortalitas
kardiovaskuler. Penurunan tekanan darah sistolik menjadi perhatian utama
karena umumnya tekanan darah diastolik akan terkontrol bersamaan dengan
tekanan darah sistolik. Berdasarkan JNC VII 2003, tahap terapi hipertensi
dimulai dari :
a. Terapi non farmakologi
Terapi nonfarmakologi dilakukan dengan memodifikasi gaya hidup yang
lebih baik. Modifikasi gaya hidup dapat berupa penurunan berat badan, pola
makan DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension), pengurangan
jumlah konsumsi garam, memperbanyak aktivitas fisik, pengurangan
konsumsi alkohol. Apabila penurunan tekanan darah tidak mencapai target
maka dilanjutkan ke tahap berikutnya.
b. Pemberian obat antihipertensi
Obat-obatan hipertensi terbagi menjadi 2 lini, yaitu :
 Obat antihipertensi lini pertama
Obat antihipertensi lini pertama digunakan untuk pengobatan awal
hipertensi. Obat-obatan yang termasuk kedalam lini pertama adalah :
 Diuretik
16

Mekanisme penurunan tekanan darah dari obat golongan ini adalah


meningkatkan ekskresi natrium dan klorida sehingga menurunkan
volume darah dan cairan ekstraseluler akibatnya terjadi penurunan
curah jantung dan tekanan darah. Obat diuretik yang umum digunakan
sebagai antihipertensi adalah golongan tiazid.
 Β-Bloker reseptor (penghambat adrenoreseptor beta)
Berbagai penurunan tekanan darah akibat pemberian β-blocker dapat
dikaitkan dengan hambatan reseptor β1 antara lain :
 Penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard
sehingga menurunkan curah jantung
 Hambatan sekresi renin di sel-sel jugstaglomeruler ginjal
dengan akibat penurunan produksi angiotensin II
 Efek sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatik,
perubahan pada sensitivitas baroreseptor, perubahan aktivitas
neutron adrenergik perifer dan peningkatan biosintesis
prostasiklin
 Penghambat Angiotensin-Converting-Enzyme (ACE)
Menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II.
Angiotensin II merupakan senyawa vasokontriktor yang poten
menyebabkan peningkatan natrium dan penyerapan kembali
air yang disertai kehilangan kalium. Golongan obat ini
menunjukan efek positif terhadap lipid darah dan mengurangi
resistensi insulin sehingga sangat baik untuk hipertensi
diabetes, dislipidemia dan obesitas. Golongan obat ini yang
umum digunakan adalah kaptopril.
 Bloker reseptor Angiotensin II (ARB)
ARB sangat efektif menurunkan tekanan darah pada pasien
hipertensi dengan kadar renin yang tinggi seperti hipertensi
renovaskuler. ARB menghambat langsung pada reseptor
angiotensin II yang memiliki efek seperti vasokontriksi,
pelepasan aldosteron, rangsangan saraf simpatik.
17

 Bloker kanal kalsium


Mekanisme kerja bloker kanal kalsium adalah menghambat
influks masuk ion kalsium melewati membran sel, dimana ion
kalsium berperan dalam otot jantung dan otot polos vaskuler
dalam peristiwa kontraksi. Bloker kanal kalsium menurunkan
denyut jantung dengan menurunkan kontraksi yang berada di
membran sel yang mengakibatkan menurunnya tekanan darah.

 Obat antihipertensi lini kedua


Obat-obatan yang termasuk kedalam lini kedua adalah penghambat saraf
adrenergik (reserpin); agonis α2 sentral (metildopa) dan vasodilator
(hidralazin)

H. ANGIOTENSIN-CONVERTING-ENZYME
Enzim Pengubah Angiotensin (ACE).
Renin adalah enzim proteolitik yang disintesis oleh sel-sel jukstaglomeruler di ginjal
dan merupakan penentu aktivitas sistem renin angiotensin aldosteron (SRAA).
SRAA berperan dalam pengaturan tekanan darah dan volume cairan tubuh.
Angiotensin adalah suatu α globulin yang disintesis dalam hati dan beredar dalam
darah. Renin berfungsi mengubah angiotensin menjadi angiotensin I (AngI), yang
merupakan hormon yang belum aktif. Selanjutnya AngI akan diubah oleh
angiotensin converting enzyme (ACE) menjadi angiotensin II (AngII) yang memiliki
efek vasokontriksi yang sangat kuat dan merangsang sekresi aldosteron dari korteks
adrenal. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACE-I) bekerja dengan cara
menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga terjadi
vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron. Selain itu, degradasi bradikinin juga
dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah meningkat dan berperan dalam efek
vasodilatasi ACE-Inhibitor. Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan tekanan
darah, sedangkan berkurangnya aldosteron menyebabkan ekskresi air dan natrium
dan retensi kalium. (11)
18

Gambar II.2 Mekanisme kerja Angiotensin Converting Enzyme. (12)

I. UJI AKTIVITAS ACE INHIBITOR


Pengujian aktivitas antihipertensi secara in vitro dilakukan untuk mengetahui
mekanisme kimia Angiotensin-Converting-Enzyme (ACE). Metode uji aktivitas
senyawa penghambatan ACE yang paling sering dilakukan adalah metode yang
diajukan oleh Cushman dan Cheung. Metode tersebut dapat mengukur aktivitas
penghambatan ACE dengan menetapkan kadar asam hipurat, hasil dari pemecahan
Hipuril-Histidil-Leusin oleh ACE.

Gambar II.3 Reaksi ACE Inhibitor. (13)


19

Menurut D.W. Chusman dan H.S. Cheung, ACE memiliki aktivitas optimum
pada pH 8,1-8,3; konsentrasi ion klorida 300 mM, konsentrasi Hipuril-Lhistidil-L-
Leusin 5-10 mM. Jenis buffer yang dapat memberikan aktivitas optimum dari ACE
adalah buffer fosfat dan buffer borat keduanya pada konsentrasi 100 mM. Penetapan
kadar menggunakan spektrofotometer dilakukan pada panjang gelombang 227 nm
yaitu panjang gelombang serapan maksimum dari asam hipurat. (14)

J. METODE PENENTUAN STRUKTUR KIMIA


Identifikasi struktur molekul umumnya menggunakan metode spektrofotometri
dengan alat yang disebut spektrofotometer. Spektrofotometer adalah suatu instrumen
untuk mengukur transmittan atau serapan radiasi elektromagnetik dan molekul atau
atom dari suatu zat kimia pada panjang gelombang tertentu. Spektrofotometer
digunakan untuk mengukur energi secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan,
direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang. Spektrum
biasanya diperoleh dengan melewatkan cahaya yang mempunyai panjang gelombang
tertentu melalui larutan encer suatu senyawa dalam pelarut yang sesuai dan tidak
mengganggu penyerapan, misal air atau etanol. (38)
1. Spektrofotomemtri Ultraviolet-Cahaya Tampak (UV-Vis)
Spektrofotometri ultaviolet-cahaya tampak adalah suatu metode analisis
spektrofotometri serapan dimana molekul zat uji menyerap radiasi
elektromagnetik ultraviolet dekat dan cahaya tampak pada panjang gelombang
tertentu yang hampir monokromatis. Spektrofotometri UV-.Vis dapat digunakan
baik untuk analisa kualitatif maupun analisa kuantitatif. Radiasi ultraviolet
mencakup panjang gelombang 200-380 nm, sedangkan radiasi daerah cahaya
tampak pada panjang gelombang 380-780 nm. Pengukuran di daerah UV
umumnya dilakukan terhadap larutan senyawa yang tidak berwama, sedangkan
didacrah cahaya tampak untuk larutan berwarna.
Molekul yang dapat memberikan absropsi yang bermakna pada daerah
panjang gelombang 200-780 nm adalah molekul-molckul yang mempunyai
gugus kromofor dan gugus auksokrom. Gugus kromofor adalah gugus fungsi
20

yang mempunyai spektrum absropsi karakteristik pada dacrah ultraviolet atau


sinar tampak. Gugus ini mengandung ikatan neje kovalen tidak jenuh (rangkap
dua atau tiga), contohnya ikatan C=C, CC, C-0, N-0, N-N. Gugus auksokrom
adalah gugus yang dapat meningkatkan absropsi yang bermakna pada daerah
ultraviolet, tetapi dapat memberikan pengaruh yang besar pada absropsi molekul
di mana gugus tersebut terikat, contohnya OH, NH2, CH). Informasi mengenai
gugus kromofor dan panjang gelombang maksimum dapat dilihat pada Tabel
I1.2. (38)
Tabel II.2 Kromofor dan perkiraan Panjang gelombang serapan maksimum
No. Kromofor Kelompok
1 Alkena C16H13CH=CH2
2 Alkena CH2=CHCH=CH2
terkonjugasi
3 Alkuna C5H11C≡C-CH3
4 Karbonil CH3COCH3
5 Karboksil CH3COOH
6 Amida CH3CONH2
7 Azo
8 Nitro
9 Nitroso
10 Nitrat
11 Aromatik

K. SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM (17).

L. LANDASAN TEORI

Seseorang dikatakan hipertensi apabila dengaan satu kali pengukuran didapatkan


≥210/120 mmHg, minimum dua kali pengukuran dengan jarak satu sampai beberapa
minggu didapatkan ≥140/90 mmHg dalam keadaan tenang. Kulit buah naga merah
(Hylocereus polyrhizus Britton & Rose) dipercaya dapat digunakan sebagai obat
penurun tekanan darah. Oleh karena itu, kulit bush naga merah (Hylocereus
polyrhizus Britton & Rose) merupakan simplisia yang potensial untuk digunakan
sebagai obat alternatif antihipertensi. Untuk mendukung perkembangan obat herbal
21

di indonesia, obat-obat herbal yang bahan aktifnya berupa simplisia perlu diubah
menjadi ekstrak terstandar.

Berdasarkan hal tersebut, dibuat ekstrak etanol kulit buah naga secara maserasi
kinetikdengan menggunakan pelarut etanol 70%. Maserasi kinetik bertujuan untuk
memperoleh metabolit sekunder yang ada dalam simplisia secara sempurna dan cepat
karena adanya proses pengadukan pada suhu kamar yang mempercepat pecahnya
dinding sel sehingga metabolit sekunder dapat larut dalam pelarut etanol yang
bersifat universal dan dapat menyari hampir semua metabolit sekunder. Selanjutnya
dilakukan penetapan parameter standar ekstrak dan uji aktivitas penghambat
Angiotensin Converting Enzyme ACE secara in vitro terhadap ekstrak.

Kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus Britton & Rose) mengandung
senyawa alkaloid, flavonoid, dan steroid (...). Pengujian aktivitas antihipertensi
dilakukan secara in vitro menggunakan metode Chusman dan Cheung. Aktivitas
penghambat ACE dapat diketahui dengan menghitung persentase penurunan kadar
hipurat yang terbentuk dari hasil reaksi pemecahan HHL (Hipuryl-Histidyl-L-Leucin)
yang berikatan dengan ACE.

M. HIPOTESIS

1. Simplisia dan ekstrak etanol 70% kulit buah naga merah memiliki senyawa
metabolit sekunder alkaloid, flavonoid, dan steroid.
2. Ekstrak etanol 70% kulit buah naga merah memiliki aktivitas penghambatan
enzim pengubah angiotensin.

BAB III

RENCANA PENELITIAN
22

A. PRINSIP PENELITIAN

Penelitian ini terlebih dahulu dilakukan pengumpulan bahan serta determinasi


tanaman buah naga merah (Hylocereus polyrhizus Britton & Rose). Pembuatan
ekstrak Etanol 70% dilakukan dengan cara maserasi kinetik menurut Farmakope
Herbal Indonesia, filtrat ang didapat dipekatkan menjadi ekstrak kental kemudian
ditetapkan karakterisasi fitokimianya. Terhdapa ekstrak etanol kental dilakukan uji
aktivitas antihipertensi secara in-vitro menggunakan Angiotensin-converting Enzyme
(ACE).

B. TEMPAT PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Bahan Alam, Pusat Penelitian


Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jalan Raya Bogor KM
46, Cibinong 16911.

C. BAHAN PENELITIAN
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman buah naga merah
(Hylocereus polyrhizus Britton & Rose) yang diperoleh dari Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat (BALITTRO), Cimanggu-Bogor.

D. TAHAP PENELITIAN
Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:
1. Persiapan bahan uji
a. Pengumpulan dan penyediaan simplisia
b. Determinasi tanaman buah naga (a)
c. Penetapan bahan organik asing (BOA)
d. Penetapan derajat halus serbuk simplisia 4/18
e. Pembuatan ekstrak kental
Pembuatan dilakukan dengan cara maserasi kinetik menggunakan pelarut
etanol 70% pada suhu kamar selama 24 jam, diaduk berkali-kali 6jam
23

pertama dan penyarian dilakukan lagi sampai pelarut kembali jernih.


Pemekatan ekstrak menggunakan rotavapor.

2. Penapisan fitokimia menurut Norman R. Farnsworth


a. Identifikasi golongan alkaloid
b. Identifikasi golongan flavonoid
c. Identifikasi golongan saponin
d. Identifikasi golongan tanin
e. Identifikasi golongan kuinon
f. Identifikasi golongan steroid/triterpenoid
g. Identifikasi golongan minyak atsiri
h. Identifikasi golongan kumarin

3. Uji aktivitas penghambatan enzim pengubah angiotensin (Angiotensin-


Converting-Enzym/ACE)
a. Penyiapan larutan dapar fosfat pH 8,3
b. Penyiapan larutan kontrol
c. Penyiapan larutan uji
d. Penyiapan larutan enzim pengubah angiotensin (ACE)
e. Penyiapan substrat
f. Penentuan panjang gelombang maksimum asam hipurat
g. Penentuan operating time asam hipurat
h. Pembuatan larutan seri pembanding asam hipurat
i. Uji aktivitas penghambat ACE

4. Pemeriksaan parameter mutu ekstrak meliputi :


a. Parameter non spesifik meliputi :
(1). Kadar abu total
(2). Kadar abu tidak larut asam
24

(3). Kadar abu larut air


(4). Susut pengeringan
(5). Penetapan kadar air
(6). Penetapan sisa pelarut
(7). Penetapan cemaran logam
(8). Cemaran mikroba

b. Parameter spesifik meliputi :


(1). Pemeriksaan organoleptik
(2). Penetapan senyawa terlarut dalam air
(3). Penetapan senyawa terlarut dalam etanol

5. Optimasi Fase Gerak dengan Kromatografi Lapis Tipis


Ekstrak etanol 96% dianalisis dengan kromatografi lapis tipis menggunakan fase
diam silika gel GF254 dan fase gerak n-heksan-etil asetat (5:1), diklorometan-
metanol (10:1) dan diklorometan-metanol (5:1). Analisis KLT ini bertujuan untuk
memperoleh fase gerak yang sesuai untuk pemisahan dengan kromatografi kolom
I.
6. Fraksinasi Ekstrak Etanol 96% dengan Kromatografi Kolom I
Sebayak 25 gram ekstrak etanol 96% dilakukan pemisahan lebih lanjut dengan
kromatografi kolom I dengan harapan diperoleh suatu senyawa yang murni. Fase
gerak yang digunakan adalah diklorometan-metanol (10:1; 8:1; 5:1; 2:1; 1:1) serta
methanol. Hasil eluat ditampung dalam botol berukuran 50 mL, kemudian
diuapkan. Langkah-langkah kromatografi kolom adalah sebagai berikut:
1) Gelas kolom yang telah dibersihkan dipasang tegak lurus pada statif, kemudian
dibilas dengan fase gerak yang akan digunakan dan dikeringkan.
2) Dasar kolom diberi kapas dan pasir kuarsa. Penambahan silika gel 60
dilakukan dengan cara mensuspensikan silika gel 60 terlebih dahulu dengan
fase gerak yang sesuai, lalu dimasukan sedikit demi sedikit ke dalam kolom
dan eluen dibiarkan mengalir sampai permukaannya rata. Kolom digetarkan
perlahan agar silika memadat.
25

3) Sebanyak 25 gram ekstrak etanol 96% dihomogenkan dengan cellite 545


sampai sampel terlihat kering dan homogen, kemudian dimasukan ke dalam
kolom.
4) Fase gerak yang digunakan dituang sedikit demi sedikit ke dalam kolom. Eluat
dari tiap fraksi ditampung dalam botol dengan volume 50 mL, lalu diuapkan.

Hasil fraksinasi kromatografi kolom I diperoleh 82 fraksi yang selanjutnya


dilakukan analisis dengan KLT. Fraksi yang mempunyai pola kromatogram dan
Rf yang sama digabung, sehingga diperoleh 6 fraksi yang lebih sederhana. Eluasi
dihentikan sampai tidak ada bercak kromatogram pada pemeriksaan KLT.

7. Analisis Fraksi Hasil Kromatografi Kolom I dan Kromatografi Lapis Tipis

Fraksi hasil kromatografi kolom I dianalisis dengan kromatografi lapis tipis


menggunakan fase diam silika gel GF254 dan fase gerak diklorometan-metanol
(1:1) dan diklorometan-metanol (5:1).analisis KLT bertujuan untuk melihat pola
kromatogram fraksi hasil kromatografi kolom I dan untuk memperoleh fase gerak
yang cocok untuk digunakan pada pemisahan dengan kromatografi kolom II.

8. Uji Aktivitas Penghambatan Angiotensin Converting Enzyme Fraksi Hasil


Kromatografi Kolom I

Semua fraksi yang di peroleh diuji aktivitas penghambatan angiotensin converting


enzyme dengan mengukur absorbansi dengan spektrofotometer UV-Vis pada
panjang gelombang 400 nm.

9. Fraksinasi Fraksi dengan Kromatografi Kolom I

Sebanyak 1 gram fraksi dilakukan pemisahan lebih lanjut dengan kromatografi


kolom II dengan harapan diperoleh suatu senyawa yang murni. Fase gerak yang
digunakan adalah diklorometan-metanol (5:1) serta methanol. Hasil eluat
ditampung dalam vial berukuran 15 mL, kemudian diuapkan. Langkah-langkah
26

fraksinasi dengan kromatografi kolom II sama seperti sebelumnya. Hasil


fraksinasi kromatografi kolom II diperoleh 28 fraksi yang kemudian dilakukan
analisis dengan KLT. Fraksi yang mempunyai pola kromatogram dan Rf yang
sama digabung, sehingga diperoleh 3 fraksi yang lebih sederhana. Eluasi
dihentikan sampai tidak ada bercak kromatogram pada pemeriksaan KLT.

10. Analisis Fraksi Hasil Fraksinasi Kromatografi Kolom II dengan Kromatografi


Lapis Tipis

Fraksi hasil kromatografi kolom II dianalisis dengan kromatografi lapis tipis


menggunakan fase diam silika gel GF254 dan fase gerak diklorometan-metanol
(5:1) dan kloroform-metanol (10:1). Analisis KLT ini bertujuan untuk melihat
pola kromatogram fraksi hasil kromatografi kolom II dan untuk memperoleh fase
gerak yang cocok untuk digunakan pada pemisahan dengan KLT preparatif.

11. Uji Aktivitas Penghambatan Penghambatan Angiotensin Converting Enzyme


Fraksi Hasil Kromatografi Kolom I

Semua fraksi yang di peroleh diuji aktivitas penghambatan angiotensin converting


enzyme dengan mengukur absorbansi dengan spektrofotometer UV-Vis pada
panjang gelombang 400 nm.

12. Pemurnian dengan KLT Preparatif

Fraksi dimurnikan menggunakan KLT Preparatif. KLT preparative dilakukan


pada lempeng KLt dengan menggunakan fase diam silika gel GF254 dan fase
gerak kloroform-metanol (20:1). Pita kromatogram yang terbentuk dilihat
dibawah sinar ultraviolet pada Panjang gelombang 254 nm dan diberi
tanda,kemudian pita tersebut dikerok. Hasil kerok ditampung ke dalam vial yang
kemudian dilarutkan dengan pelarut methanol pro-analysis. Setelah itu dilakukan
penyaringan menggunakan kertas whattman no. 1, filtrat ditampung dalam vial
yang telah ditimbang terlebih dahulu, kemudian diuapkan hingga kering dan
ditimbang. Fraksi yang dimurnikan dengan KLT preparative menghasilkan 3 pita
27

yang dapat dipisahkan dan dipilih pita yang memiliki aktivitas tertinggi untuk
dikarakterisasi senyawanya.

13. Uji Aktivitas Penghambatan Penghambatan Angiotensin Converting Enzyme


Hasil KLT Preparatif

Setiap pita yang diperoleh diuji aktivitas penghambatan angiotensin converting


enzyme dengan mengukur absorbansi dengan spektrofotometer UV-Vis pada
Panjang gelombang 400 nm.

14. Penentuan IC50 Isolat Fraksi dengan Captopril sebagai Kontrol Positif
Isolat Fraksi ditentukan konsentrasi penghambatan 50% (IC50) dengan
menggunakan 5 variasi konsentrasi (25,50, 75, 100, dan 125 bpj) larutan sampel.
Kontrol positif yang digunakan adalah captopril sebagai pembanding dengan
menggunakan 5 variasi konsentrasi (10, 15, 20, 25, dan 30 bpj).
a. Uji aktivitas penghambatan angiotensin converting enzyme
1) Pembuatan larutan stock sampel
Sejumlah sampel ekstrak ditimbang seksama sebanyak 5,0 mg dilarutkan
dalam 5 mL DMSO 1% (1000 bpj).
2) Pembuatan larutan stock captopril
Sejumlah captopril ditimbang seksama sebanyak 1,0 mg dilarutkan dalam
500 1,0 mg dilarutkan dalam 500 µL HCl 2 N dan 500 µL dapar fosfat 0,1
M pH 7,0 (1000 bpj)
3) Pengujian blangko
Blangko dibuat dengan cara melarutkan 25 µL DMSO 1% dengan 475 µL
dapar fosfat 0,1 M pH 7,0 dan 250 µL larutan substrat PNPG 0,5 mM,
diinkubasi selama 5 menit pada suhu 37℃. Kemudian ditambahkan 250
µL larutan dapar fosfat 0,01 M pH 7,0 dan diinkubasi kembali pada suhu
37℃ selama 25 menit. Setelah masa inkubasi selesai, ditambahkan 1000
µL Na2CO3 0,2 M. larutan diukur absorbansinya dengan spektrofotometri
UV-Vis pada Panjang gelombang 400 nm.
4) Pengujian kontrol
28

Kontrol dibuat dengan cara melarutkan 25 µL DMSO 1% dengan 475 µL


dapar fosfat 0,1 M pH 7,0 dan 250 µL larutan substrat PNPG 0,5 mM,
diinkubasi selama 5 menit pada suhu 37℃. Kemudian ditambahkan 250
µL larutan dapar fosfat 0,01 M pH 7,0 dan diinkubasi kembali pada suhu
37℃ selama 25 menit. Setelah masa inkubasi selesai, ditambahkan 1000
µL Na2CO3 0,2 M. larutan diukur absorbansinya dengan spektrofotometri
UV-Vis pada Panjang gelombang 400 nm.
5) Pengujian larutan uji dan larutan control positif
Kontrol dibuat dengan cara melarutkan 25 µL DMSO 1% dengan 475 µL
dapar fosfat 0,1 M pH 7,0 dan 250 µL larutan substrat PNPG 0,5 mM,
diinkubasi selama 5 menit pada suhu 37℃. Kemudian ditambahkan 250
µL larutan dapar fosfat 0,01 M pH 7,0 dan diinkubasi kembali pada suhu
37℃ selama 25 menit. Setelah masa inkubasi selesai, ditambahkan 1000
µL Na2CO3 0,2 M. larutan diukur absorbansinya dengan spektrofotometri
UV-Vis pada Panjang gelombang 400 nm.
b. Cara penetapan
1) Presentasi aktivitas penghambatan (%) dihitung dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut:
c−s
% penghambatan = x 100%
s
Keterangan:
C = Absorbansi aktivitas enzim tanpa sampel (kontrol-blangko)
S = Absorbansi aktivitas enzim dengan sampel (S1-S0)
S1 = Absorbansi larutan dengan enzim
S0 = Absorbansi larutan tanpa enzim
2) IC50 dihitung dengan menggunakan persamaan regresi linier, konsentrasi
sampel sebagai sumbu X dan % penghambatan sebagai sumbu Y. dari
persamaan y= a+bx dapat dihitung nilai IC50 dengan menggunakan rumus
sebagai berikut :
50−a
IC 50=
b
29

15. Karakterisasi Senyawa


a. Spektrofotometri UV-Vis
Isolat yang didapat dari hasil pemurnian diidentifikasi menggunakan
spektrofotometri UV-Vis pada Panjang gelombang 200-800 nm. Analisis ini
dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya gugus kromofor atau ikatan rangkap
terkonjugasi.

b. Spektrofotometri Fourier Transform Infra Red (FTIR)


Isolat yang didapat dari hasil pemurnian digerus dengan KBr hingga halus dan
homogen, kemudian diukur spectranya pada bilangan gelombang tertentu
untuk mengetahui gugus fungsional dalam senyawa tersebut.

c. Kromatografi Gas-Spektrofotometri Massa (KG-SM)


Isolat yang didapat dari hasil pemurnian diujikan dengan membuat larutan
jenuh menggunakan pelarut yang cocok, lalu diambil menggunakan Syringe.
Sampel kemudian diinjeksikan ke dalam alat, dan diukur. Kemudian ditunggu
hingga waktu retensinya selesai sehingga didapatkan bobot molekul dan pola
fragmentasi molekul dari senyawa tersebut.
30

BAB IV
BAHAN, ALAT DAN METODE PENELITIAN

A. BAHAN
1. Bahan penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit buah naga merah
(Hylocereus polyrhizus Britton & Rose) yang diperoleh dari Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat (BALITTRO), Cimanggu-Bogor.

2. Bahan kimia dan pereaksi


Angiotensin Converting Enzyme (ACE) (0,25), Hippuryl-L-Histidyl-L-Leucin
(Sigma), asam hipurat (Sigma), kaptopril (Sigma), aquadest, larutan dapar fosfat
pH 8,3, kalium fosfat monobasa, asam klorida, etanol, ammonium, kloroform,
31

asam klorida pekat, asam klorida encer, pereaksi Dragendroff, pereaksi Meyer,
amil alkohol, pereaksi Stiasny (formaldehid 30%-asam klorida 2:1), natrium
asetat, natrium hidroksida, pereaksi Liebermann-Burchad (asam sulfat pekat dan
asam asetat anhidrat 1;1 tetes), eter, etil asetat, petroleum eter, serbuk
magnesium, larutan besi (III) klorida 1% heksametilentetraamin.

B. ALAT
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengayak nomor 4, pengayak
nomor 18, spektrofotometer ultraviolet-tampak (Shimadzu U-1800), rotavapor
(IKA), inkubator (Memmert), mikropipet (Transferpette), alat senrifuge, pH-meter
(Denver), tanur (Furnace 48000), Karl-Fischer titrator (870 KF Titrino Plus),
desikator, botol timbang, penangas air, tabung reaksi, corong gelas, cawan penguap,
krus tutup, pipet volum, batang pengaduk, tambangan analitik, lumpang dan alu,
gelas ukur, labu tentukur, penjepit kayu, penjepit besi, mesin penghalus blender,
lemari pendingin, dan kertas saring bebas abu.

C. METODE PENELITIAN
1. Determinasi tanaman
Determinasi tanaman dilakukan di Herbarium Bogoriensis Bidang Botani,
Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jalan
Raya Bogor KM 46, Cibinong 16911.
2. Pengumpulan dan penyediaan bahan
Kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus Britton & Rose) yang
diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITTRO)
dikumpulkan, dicuci bersih, ditiriskan, dikeringkan pada suhu ruang digiling
secara mekanik sampai menjadi serbuk simplisia. Serbuk yang diperoleh
disimpan dalam wadah bersih tertutup rapat.
3. Penetapan Bahan Organik Asing (BOA)
Sejumlah 25 gram sampai 500 gram simplisia utuh atau rajangan dan
disebarkan di atas kertas yang bersih, lalu dibagi menjadi empat bagian dan
32

masing-masing kelompok dipilih dan dipisahkan bahan organik asingnya


dengan mata biasa atau dengan kaca pembesar. Bahan organik asing yang
dipisahkan ditimbang sampai ketelitian 0,05 g dan dihitung kadar BOA nya
per 100 gram simplisia yang ditimbang.

4. Penyediaan dan pengukuran derajat halus bahan serbuk simplisia 4/18


Sejumlah 500 gram serbuk simplisia dilewatkan melalui pengayak nomor 4.
Sejumlah serbuk yang lolos pengayak nomor 4 dilewatkan kembali melalui
pengayak nomor 18, lalu ditimbang. Derajat kehalusan yang dinyatakan
dengan 2 nomor, dimaksudkan bahwa semua serbuk dapat melewati
pengayak nomor 4 dan tidak lebih dari 40% yang dapat melewati pengayak
nomor 18. Dihitung presentase serbuk yang dapat melewati masing-masing
ayakan dan dihitung terhadap serbuk yang digunakan. Tetapkan ukuran
serbuk simplisia.

5. Pembuatan ekstrak simplisia dengan pelarut etanol 70%


Sejumlah 500 gram simplisia dimaserasi selama 24 jam dengan menggunakan
pengaduk mekanik. Filtrat kemudian disaring dan dikumpulkan. Ampas
dimaserasi kembali sampai terekstraksi secara sempurna. Setelah itu hasil
ekstrak dikumpulkan menjadi satu kemudian dikentalkan dengan vakum
rotavapor lalu diuapkan hingga diperoleh ekstrak kental. Kemudian dihitung
DER-native dan rendemen ekstrak dengan cara:
bobot simplisia
DER-native =
bobot ekstrak
bobot ekstrak
Rendemen ekstrak = x 100 %
bobot simplisia

6. Penapisan fitokimia (19).

a. Identifikasi golongan alkaloid


33

Sebanyak 2 gram simplisia dan 0,2 gram ekstrak masing-masing


dilembabkan dalam 5 mL ammonium 30%, digerus dalam lumpang,
kemudian ditambahkan 20 mL kloroform dan digerus kembali dengan
kuat, campuran tersebut disaring dengan menggunakan kertas saring.
Filtrat berupa larutan organik (larutan A). sebanyak 10 mL larutan A
diekstraksi dengan 10 mL larutan asam klorida (1:10) dengan
pengocokan dalam tabung reaksi, larutan bagian atasnya diambil (larutan
B). Larutan A diteteskan beberapa tetes pada kertas saring dan kemudian
disemprotkan atau ditetesi dengan pereaksi Dragendorff, jika terbentuk
warna merah atau jingga pada kertas saring, menunjukkan adanya
senyawa alkaloid. Larutan B dibagi dalam 2 tabung reaksi, masing-
masing ditambahkan dengan pereaksi Dragendorff terbentuk endapan
merah bata dan dengan pereaksi Mayer terbentuk endapan putih,
menunjukkan adanya senyawa alkaloid
b. Identifikasi golongan flavonoid
Sebanyak 2 gram simplisia dan 0,2 gram ekstrak kental ditambahkan 100
mL air panas, didihkan selama 5 menit, disaring dengan kertas saring
(larutan X), terhadap 5 mL filtrat ditambahkan pereaksi serbuk atau
lempeng magnesium secukupnya dan 1 mL asam klorida pekat,
ditambahkan 2 mL amil alkohol, dikocok kuat, biarkan hingga memisah,
terbentuk warna merah kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol
menunjukkan adanya senyawa flavonoid.
c. Identifikasi golongan saponin
Sebanyak 10 ml larutan X dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan
dikocok secara vertikal selama 10 detik. Kemudian biarkan selama 10
menit, apabila masih terbentuk busa yang stabil menunjukkan adanya
senyawa golongan saponin dan bila ditambahkan 1 tetes asam klorida 1%
encer busa tetap stabil, menunjukkan adanya senyawa saponin.
d. Identifikasi golongan tanin
Sebanyak 2 gram simplisia dan 0,2 gram ekstrak ditambahkan 100 ml air
panas, didihkan selama 5 menit, disaring dengan kertas saring (larutan
34

X), sebanyak 10 ml larutan X dibagi menjadi dua bagian. Filtrat pertama


ditambahkan laarutan pereaksi besi (III) klorida 1%, terbentuk warna
hijau-biru atau hijau kehitaman menunjukkan adanya senyawa golongan
tanin. Filtrat kedua, ditambahkan pereaksi Stiasny (formaldehid 39%-
asam klorida pekat 2:1), dipanaskan di atas penangan air, terbentuk
endapan berwarna merah muda menunjukkan adanya senyawa tanin
katekuat. Selanjutnya endapan disaring, filtrat dijenuhkan dengan
natrium asetat, ditambahkan beberapa tetes larutan besi (III) klorida 1%
apabila terbentuk warna biru menunjukkan adanya senyawa tanin galat.
e. Identifikasi golongan kuinon
Sebanyak 10 mL larutan X, dimasukkan ke dalam tabung reaksi,
kemudian ditambahkan beberapa tetes larutan natrium hidroksida 1N,
terbentuk warna merah intnsif menunjukkan adanya senyawa golongan
kuinon.
f. Identifikasi golongan steroid/triterpenoid
Sebanyak 1 gram simplisia dan 0,1 gram ekstrak dimaserasi dengan 20
ml eter selama 2 jam (dalam wadah dengan penutup rapat), disaring
dengan kertas saring, 5 ml dari filtrat tersebut diuapkan dalam cawan
penguap hingga diperoleh residua tau sisa, ke dalam residu ditambahkan
2 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat (pereaksi
Liebermann-Burchad), terbentuk warna merah, ungu, hijau, dan akhirnya
menjadi biru menunjukan adanya senyawa golongan steroid/triterpenoid
g. Identifikasi golongan minyak atsiri
Sebanyak 2 gram simplisia dan 0,2 gram ekstrak dimasukkan ke dalam
erlenmeyer, ditambahkan 10 ml pelarut petroleum eter dan pasang
corong (yang diberi kapas dan telah dibasahi dengan air) pada mulut
tabung. Panaskan selama 15 menit diatas penangas air dan dinginkan,
saring dengan kertas saring, filtrat diuapkan pada cawan penguap, residu
dilarutkan dengan pelarut etanol sebanyak 5 ml, saring filtrat kemudian
diuapkan. Residu yang berbau aromatic menunjukkan adanya senyawa
minyak atsiri.
35

h. Identifikasi golongan kumarin


Sebanyak 2 gram simplisia dan 0,2 gram ekstrak dimasukkan ke dalam
erlenmeyer, ditambahkan 20 ml pelarut kloroform dan pasang corong
(yang diberi kapas dan telah dibasahi dengan air) pada mulut tabung.
Panaskan selama 20 menit diatas penangan air dan dinginkan, saring
dengan kertas saring, filtrat diuapkan pada cawan penguap sampai
kering. Residu ditambahkan air panas sebanyak 10 ml dinginkan dan
larutan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, tambahkan 0,5 ml larutan
ammonia 10% dan amati dibawah sinar UV dengan Panjang gelombang
365 n. terjadi fluoresensi warna biru atau hijau menunjukkana danya
seyawa golongan kumarin.

6. Uji aktifitas penghambat Angiotensin Convertingnzyteme(ACE) (14).


a. Penyiapan larutan dapat fosfat mengandung NaCl 300 mM pH 8,3
sejumlah 177,4614 g kalium dihidrogen monofosfat 17,55 g natrium
klorida 48,16 matrium hidroksida dilarutkan dalam aquadest hingga
1000,0 mL. Cek pH
b. Penyiapan larutan control
Sejumlah 25,0 mg kaptopril dilarutkan dalam dapar fosfat pH 8,3 yang
mengandung NaCl 300mM hingga 100,0 mL.
c. Penyiapan larutan uji
Sejumlah 25,0 mg ekstrak kental dilarutkan dalam dapar fosfat pH 8,3
yang mengandung NaCl 300mg hingga 100,0 mL.
d. Penyiapan larutan enzim pengubah angiotensin (ACE) 4 mU/mL.
Sejumlah 0,25 U ACE dlarutkan dalam 1m0 mL, larutan dapar fosfar pH
8,3 kemudian dipipet 80 µL larutan enzim dan diencerkan dengan larutan
dapar fosfat hingga 5 mL, diperoleh larutan enzim dengan konsenterasi 4
mU/mL.
e. Penyiapan Substrat
Sejumlah 21,5 mg Hipuril-L-Histidil-L-Leucin dilarutkan dalam dapar
fosfat pH 8,3 yang mengandung NaCl 300mM hingga 10,0 mL.
36

f. Penetapan panjang gelombang maksimum asam hipurat


Ditimbang seksama 20,0 mg asam hipurat dilarutkan dalam 100,0 mL
aquadest. Pipet 2,0 mL ke dalam labu terukur 100 mL, encerkan dengan
aquadest sampai batas tanda. Buat spectrum serapan pada panjang
gelombang 400-200 mm.
g. Pembuatan larutan seri pembanding asam hipurat
Timbang seksama 20,4 mg asam hipurat, larutkan dalam 100,0mL
aquadest. Dibuat seri larutan dengan konsenterasi 4 bpj, 6bpj, 8bpj, 10
bpj, dan 12 bpj dengan cara dipipet sebanyak 200 µL,300 µL, 400 µL,
500 µL, 600 µL, lalu ditambah sejumlah aquadest hingga 10,0 mL. ukur
serapan pada spektrofotometer ultraviolet-cahaya tampak pada panjang
gelombang 227 nm. Buat kurva baku hubungan antara serapan dengan
konsentrasi larutan.
h. Uji aktifitas penghambat Angiotensin-Converting-Enzyme (ACE)
1. Larutan Blanko
a) Pipet 50,0 µL larutan dapar fofat dan 50 µL larutan substrat ke
dalam tabung reaksi,
b) Lakukan pra-inkubasi pada incubator 37ºC selama 15 menit
c) Tambahkan 50,0 µL larutan ACE
d) Inkubasi selama 30 menit pada suhu 37ºC
e) Tambahkan 200,0 µL HCL 1M
f) Ekstrasi dengan 1,5 mL, etil asetat, sentrifugasi oada RPM 4000
selama 15 menit
g) Pipet 1,0 ml supernatant dan uapkan menggunakan cawan
penguap pada suhu kamar selama 2 jam
h) Setelah kering,larutkan dengan 3,0 mL aquadest.
i) Ukur serapan dengan spektrofotometer ultraviolet-cahaya
tampak pada panjang gelombang 227 nm
2. Larutan control
a) Sari larutan kontrol dibuat dalam enam konsentrasi berbeda. Dari
larutan induk kaptopril masing-masing dibuat seri larutan dengan
37

konsentrasi 10 bpj, 12 bpj, 14 bpj, 16 bpj, 18 bpj, dan 20 bpj


dengan cara dipipet sebanyak 200 µL, 240 µL, 280 µL, 320 µL,
360 µL, dan 400 µL. kemudian diencerkan dengan dapar fosfat
pH 8,3 yang mengandung NaCl 300 mM hingga 50,0 mL.
b) Pipet masing-masing 50,0 µL larutan kaptopril dan 50,0 µL
larutan substrat kedalam tabung reaksi.
c) Lakukan pra-inkubasi pada incubator 37oC selama 15 menit
d) Tambahkan 50,0 µL larutan ACE
e) Inkubasi selama 30 menit pada suhu 37oC
f) Tambahkan 200,0 µL HCl 1 M
g) Ekstraksi dengan 1,5 mL etil asetat, sentrifugasi pada RPM 4000
selama 15 menit
h) Pipet 1,0 mL supernatan dan uapkan menggunakan cawan
penguap pada suhu kamar selama 2 jam
i) Setelah kering, larutkan dengan 3,0 mL aquadest
j) Ukur serapan dengan spektrofotometer ultraviolet-cahaya tampak
pada panjang gelombang 277 nm

3. Larutan uji
a) Seri larutan uji dibuat dalam enam konsentrasi berbeda. Dari
larutan induk masing-masing dibust seri konsentrasi 120 bpj, 140
bpj, 160 bpj, 180 bpj, dan 200 bpj
b) Pipet masing-masing 50,0 µL larutan uji dan 50,0 µL larutan
substrat kedalam tabung reaksi
c) Lakukan pra-inkubasi pada incubator 37oC selama 15 menit
d) Tambahkan 50,0 µL larutan ACE
e) Inkubasi selama 30 menit pada suhu 37oC
f) Tambahkan 200,0 µL HCl 1 M
g) Ekstraksi dengan 1,5 mL etil asetat, sentrifugasi pada RPM 4000
selama 15 menit
38

h) Pipet 1,0 mL supernatan dan uapkan menggunakan cawan pada


suhu kamar selama 2 jam
i) Setelah kering, larutkan dengan 3,0 mL aquadest
j) Ukur serapan dengan spektrofotometer ultraviolet-cahaya tampak
pada panjang gelombang 227 nm
k) Untuk menghitung konsentrasi asam hipurat, serapan yang
diperoleh dikonversikan kedalam kurva baku larutan seri
pembanding asam hipurat. Konsentrasi yang diperoleh digunakan
untuk menghitung persen inhibisi (%)
Hitung persen penghambat dengan rumus
Ck−Cs
% Inhibisi = x 100 %
Ck
Ck = Konsentrasi asam hipurat control negative
Cs = Konsentrasi asam hipurat sampel
Persen inhibisi (%) yang diperoleh dikonversikan kedalam kurva
hubungan konsentrasi dengan % inhibisi. Dengan persamaan
linier yang didapat, dihitung nilai IC50
7. Pemeriksaan parameter ekstrak (10).
a. Parameter non spesifik
1) Pendapatan kadar abu total
Sejumlah lebih kurang 2 gram sampai 3 gram ekstrak yang telah
digerus dan ditimbang dengan seksama, dimasukkan ke dalam krus
porselein yang telah dipijarkan dan ditara, diratakan. Pijarkan
perlahan-lahan hingga arang habis, dinginkan, timbang. Jika dengan
cara ini arang tidak bisa dihilangkan, ditambahkan air panas,
kemudian disaring melalui kertas saring bebas abu. Sisa dipijarkan
dan kertas saring dalam krus yang sama. Filtrat dimasukkan ke dalam
krus, diuapkan, dipijarkan pada suhu 450oC hingga bobot tetap,
ditimbang. Kadar abu ditimbang terhadap bahan.
( Bobot krus+abu )−(Bobot krus kosong)
% Kadar abu total = x 100 %
Bobot ekstrak
39

2) Kadar abu tidak larut dalam asam


Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu total, dididihkan
dengan 25 ml asam sulfat encer LP selama 5 menit, dikumpulkan
bagian yang tidak larut dalam asam, saring melalui krus kaca masir
atau kertas saring bebas abu, dicuci dengan air panas, dipijarkan
hingga bobot tetap, ditimbang. Hitung kadar abu yang tidak larut
dalam asam terhadap bahan yang telah dikeringkan diudara.
Perhitungan:
(W 1−W 0)
% Kadar abu tidak larut asam = x 100 %
Bobot ekstrak
Keterangan: W1 = Bobot krus + abu tidak larut asam (g)
W0 = Bobot krus kosong (g)
3) Kadar abu larut air
Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu total, dididihkan
dengan 25 ml air selama 5 menit, dikumpulkan bagian yang tidak
larut, disaring melalui krus kaca masir atau kertas saring bebas abu,
dicuci dengan air panas dan dipijarkan selama 15 menit pada suhu
tidak lebih dari 450oC, hingga bobot tetap, ditimbang. Perbedaan
bobot sesuai dengan jumlah abu yang tidak larut dalam air. Hitung
kadar abu yang tidak larut dalam air terhadap bahan yang telah
dikeringkan diudara.
Perhitungan:
( W 1−W 0 )−(W 2−W 0)
% Kadar abu larut air = x 100 %
Bobot ekstrak
Keterangan:
W2 = Bobot krus + abu konstan yang dilarutkan dalam air (g)
W1 = Bobot krus + abu total (g)
W0 = Bobot krus kosong (g)
4) Penetapan kadar air (titrasi Karl-Fischer)
Penetapan kadar air dilakukan dengan cara titrasi Karl-Fischer,
menggunakan Karl-Fischer titrator (870KF Titrino Plus), dengan
40

cara : ditimbang seksama ekstrak sebanyak 100 mg dalam glass


weighing kemudian ekstrak dimasukkan ke dalam titration vessel,
biarkan pereaksi Karl-Fischer (Combi titrant 5 dan methanol dried)
bereaksi dengan air yang terkandung dalam ekstra. Hitung kadar air
terhadap bobot ekstrak.
5) Susut pengeringan
Timbang 1 gram sampai 2 gram ekstrak dalam botol timbang dangkal
tertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105oC selama
30 menit dan telah ditara sampai bobot konstan. Ratakan zat dalam
botol timbang dengan menggoyangkan botol, hingga merupakan
lapisan setebal lebih kurang 5 mm sampai 10 mm, masukkan ke oven
dengan suhu 105oC. Buka tutupnya, dikeringkan pada suhu 105oC
hingga bobot tetap. Sebelum setiap pengeringan, biarkan botol dalam
keadaan tertutup mendingin dalam eksikator hingga suhu kamar.
6) Sisa pelarut
Ditetapkan secara kromatografi gas-cair, alat kromatografi gas
dilengkapi dengan detektor ionisasi nyala dan kolom kaca 1,8 m x 4
mm berisi fase diam dialirkan TR-Wax dengan ukuran partikel 100
mesh hingga 120 mesh. Digunakan nitrogen P sebagai gas pembawa.
Sebelum digunakan, kolom dikondisikan semalam pada suhu 235oC,
alirkan zat pembawa dengan laju aliran lambat. Atur aliran gas
pembawa dan (lebih kurang 120oC) sehingga baku internal asetonitril
terulai dalam waktu 5 menit sampai 10 menit.
Larutan uji I : encerkan 1,0 gram ekstrak dengan air dua kali
penyulingan hingga 50 ml.
Larutan baku I : encerkan 1 ml larutan baku dengan air dua kali
penyulingan kedalam labu tentukur 50 ml
Larutan uji II : dipipet 1 ml larutan uji I kedalam labu tentukur
10 ml, encerkan dengan air dua kali penyulingan sampai tanda
Larutan baku II : dipipet 1 ml larutan baku I kedalam labu tentukur
10 ml, encerkan dengan air dua kali penyulingan sampai tanda
41

Masing-masing dilakukan triplo dan disuntikan lebih kurang 0,5 ml


larutan uji II dan larutan baku II dalam kromatograf.
7) Cemaran logam berat
a) Larutan uji
Sejumlah .. gram ekstrak ditambahkan 1,0 ml asam sulfat P lalu
diarangkan di atas pemanas sampai kabut asap hilang dan
dipijarkan di dalam tanur hingga menjadi abu. Kemudian
ditambahkan 5,0 ml asam nitrat 10% dan disaring. Larutan uji
yang diperoleh ditambahkan dengan air demineralisata hingga 10
ml.
b) Larutan baku timbal 10 bpj
Sejumlah 1,0 ml larutan baku timbal (100µg/ml, Pb) diencerkan
dengan air demineralisata hingga 10 ml.
c) Larutan baku cadmium 1 bpj
Sejumlah 1,0 ml larutan baku kadmium (10µg/ml, Cd) diencerkan
dengan air demineralisata hingga 10 ml.
d) Larutan blangko
Sejumlah 5,0 ml larutan asam nitrat 10% lalu ditambahkan air
demineralisata hingga 10 ml.
Larutan uji, baku timbal, baku cadmium dan blangko diukur dengan
menggunakan spektrofotometer serapan atom.
8) Cemaran Mikroba
Sejumlah 1 gram ekstrak dilarutkan dengan dapar fosfat (Ph 7,2)
hingga volume 10 ml. Jika campuran yang diperoleh berupa larutan
atau cairan bening, lanjutkan percobaan dengan cara lempeng, jika
campuran tidak berupa larutan atau cairan bening lanjutkan percobaan
dengan cara tabung. Lalu disiapkan 5 tabung reaksi yang masing-
masing berisi 9 ml pengencer larutan dapar fosfat. Dari hasil
homogenisasi pada penyiapan contoh dipipet 1 ml pengenceran 10-1 ke
dalam tabung pertama, lakukan prosedur yang sama hingga
pengenceran 10-6. Dari setiap pengenceran dipipet 1 ml ke dalam
42

cawan petri yang dibuat triplo. Ke dalam cawan petri dituang 15-20
ml Nutrient Agar cair (45±1oC) untuk angka lempeng total dan 15-20
ml Potato Dextrose Agar cair (45±1 oC) untuk angka kapang kamir,
lalu dihomogenkan. Dibiarkan memadat diudara, kemudian diinkubasi
pada suhu 35-37 oC untuk media Nutrient Agar selama 24-48 jam dan
25-27oC untuk media Potato Dextrose Agar selama 5-7 hari.

b. Parameter spesifik
1) Organoleptik
Diamati konsistensi dan warna dari ekstrak etanol secara visual,
sedangkan untuk bau diperiksa dengan indera penciuman.
2) Penetapan senyawa terlarut dalam etanol
Sejumlah 5 gram ekstrak dimaserasi selama 24 jam dengan 100 ml
etanol 96% menggunakan labu bersumbat kaca sambil dikocok-kocok
selama 6 jam pertama dan didiamkan 18 jam berikutnya. Lalu
dilakukan penyaringan secara cepat untuk menghindari penguapan
etanol. 20,0 ml filtrat diuapkan hingga kering dalam cawan dangkal.
Residu dipanaskan pada suhu 105oC hingga bobot tetap. Kadar
senyawa terlarut dihitung terhadap ekstrak awal.
Perhitungan:
W 1−W 0 100
Kadar sari larut dalam etanol = x x 100 %
B 20
W0 = bobot cawan kosong
W1 = bobot cawan + sari
B = bobot ekstrak
3) Penetapan senyawa terlarut dalam air
Sejumlah 5 gram ekstrak dimaserasi selama 24 jam dengan 100 ml
air-kloroform P, menggunakan labu bersumbat kaca sambil dikocok-
kocok selama 6 jam pertama dan didiamkan 18 jam berikutnya, filtrat
dipipet 20,0 ml kemudian diuapkan hingga kering dalam cawan
43

dangkal. Residu dipanaskan pada suhu 105oC himgga bobot tetap.


Kadar senyawa terlarut dihitung terhadap ekstrak awal.
Perhitungan:
W 1−W 0 100
Kadar sari larut dalam air = = x x 100 %
B 20
W0 = bobot cawan kosong
W1 = bobot cawan + sari
B = bobot ekstrak

DAFTAR PUSTAKA

1. Mukhriani. Ekstraksi, pemisahan senyawa, dan identifikasi senyawa aktif.


Program Studi Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Alauddin. Makassar.
2. Hernani, Christina Winarti dan Tri Marwati. Pengaruh pemberian ekstrak
daun belimbing wuluh terhadap penurunan tekanan darah pada hewan uji.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Bogor.
44

3. Sri Amalia, Sri Wahdaningsih, Eka Kartika Untari. Uji aktivitas antibakteri n-
heksan kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus Britton & Rose)
terhadap bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923. Department of
Pharmacy, Faculty of Medical. Universitas Tanjungpura.
Pontianak.
4. Widyo Budilaksono, Sri Wahdaningsih, Andhi Fahrurroji. Uji aktivitas
antioksidan fraksi n-heksana kulit buah naga merah (Hylocereus lemairei
Britton dan Rose) menggunakan metode DPPH (1,1 -Difenil-2-pikrilhidrazil).
Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran. Universitas Tanjungpura.
Kalimantan.
5. Cut Fatimah, Prayogo Pangestu. Skrining fitokimia dan penentuan efektifitas
antihipertensi ekstrak daun mimba (Azadirachta indica. JUSS). Universitas
Tjut Nyak Dhien Medan. Sumatera Utara.
6. Gambar buah naga. Diambil dari https://waktuku.com/manfaat-buah-naga/
diakses tanggal 22 Agustus 2017.
7. Sella Syazi. Klasifikasi dan morfologi buah naga. Universitas
Muhammadiyah. Semarang.
8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Materia Medika Indonesia jilid I.
Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan; 1997. h. XI-XII.
9. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Farmakope Indonesia V. Jakarta:
Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan; 2014. h. 47.
10. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Parameter Standar Umum
Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan
Makanan; 2000. h. 10-11, 13-26.
11. Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth, editors. Farmakologi dan
Terapi edisi V. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2012. h. 314-358.

12. Gambar mekanisme kerja Angiotensin Converting Enzyme. Diambil dari


https://www.google.co.id/search?
biw=1366&bih=613&tbm=isch&sa=1&q=+Angiotensin+Converting+Enzym
e&oql=psMo1T3h6nK38UM diakses tanggal 03 februari 2012.
45

13. Gambar reaksi Angiotensin Converting Enzyme. Diambil dari


http://islamudinahmad.com/tulisan/artikel-artikel/artikel-1/metode-metode-
uji-aktivitas-penghambat-ace/ diakses pada may 2016.
14. Cushman DW, Cheung HS. Spectrophotometric Assay and Properties of The
Angiotensin Converting Enzyme of Rabbit Lung. Pergamon Press.
1971;20:1637-1648.
15. Gambar spektrofotometer uv-vis. Diambil dari
http://biosmlabindustri.blogspot.com/2013/01/v-behaviorurldefaultvmlo.html
diakses tanggal 10 januari 2013.
16. Underwood AL, Day RA. Analisis Kimia Kualitatif. Edisi IV. Diterjemahkan
oleh Soendroro R. Jakarta: Penerbit Erlangga. 1998. H. 383-403.
17. Rohman A, Gandjar IG. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar; 2007.
18. Gambar spektofotometri serapan atom. Diambil dari
https://www.google.co.id/search?
biw=1034&bih=566&tbm=isch&sa=1&q=komponen+
%E2%80%93+komponen+Atomic+Absorption+Spectrophotometer+&oq=ko
mponen+
%E2%80%93+komponenAtomic+Absorption+Spectropotometer+&gs_1=ps
yab.3...3662.3973.0.4954.3.3.0.0.0.0.166.166.0j1.1.0....0...1.1.64.psy-
ab..2.0.0....0.rmQ1_U-roxg#imgrc=hSVtRgm5uhFayM diakses pada april
2010.
19. Farnworth NR. Biological and Phytochemical Screening of Plants. Journal of
Pharmaceutical Sciences. 1966;55(3):225-276

Anda mungkin juga menyukai