Anda di halaman 1dari 15

SUMMARY

Shinta Armisda Putri


1807101030012

Infertilitas

I. Pendahuluan
Salah satu gangguan kesehatan reproduksi yang terjadi ada usia subur adalah
infertilitas. Pengertian klinis mengenai infertilitas yang digunakan WHO adalah sebuah
permasalahan sistem reproduksi yang digambarkan dengan kegagalan untuk memperoleh
kehamilan setelah 12 bulan atau lebih melakukan hubungan seksual minimal 2-3 kali
seminggu secara teratur tanpa menggunakan alat kontrasepsi. Kegagalan pasangan suami
istri (pasutri) dalam memperoleh keturunan, disebabkan oleh masalah pada pria dan atau
wanita. 40 persen kesulitan mempunyai anak terdapat pada wanita, 40 persen pada pria,
dan 30 persen pada keduanya. Infertilitas terutama lebih banyak terjadi di kota-kota besar
karena gaya hidup yang penuh stres, emosional dan kerja keras serta pola makan yang
tidak seimbang. 
Berdasarkan laporan WHO, secara global diperkirakan adanya kasus infertilitas pada
8-10% pasangan, yaitu sekitar 50 juta hingga 80 juta pasangan. Di Amerika sekitar 5 juta
orang mengalami permasalahan infertilitas, sedangkan di Eropa angka kejadiannya
mencapai 14%. Badan Pusat Statistik (BPS) 2011 menyebutkan dari total 237 juta
penduduk Indonesia, terdapat kurang lebih 39,8 juta wanita usia subur, namun 10–15
persen diantaranya infertil.

II. Etiologi dan Faktor Resiko


Faktor resiko terjadinya infertilitas yaitu:
 Konsumsi alkohol,
 Merokok,
 Obesitas,
 Olahraga yang berlebih,
 Stres,
 Suplementasi yang kurang tepat,
 Konsumsi obat-obatan tertentu,
 Faktor pekerjaan
Penyebab infertilitas dapat disebabkan oleh faktor wanita dan faktor pria. Hasil
penelitian membuktikan bahwa suami menyumbang 25-40% dari angka kejadian infertil,
istri 40-55%, keduanya 10%, dan idiopatik 10%.  Berikut etiologi yang dapat
menyebabkan infertilitas:
1) Wanita
a) Gangguan Ovulasi
Gangguan pada ovulasi merupakan penyebab infertilitas yang cukup
sering, yaitu berkisar 30% - 40% dari semua kasus infertilitas pada wanita.
Periode ovulasi normal pada wanita adalah 25 – 35 hari, dengan periode paling
sering yang dialami mayoritas wanita adalah 27 – 31 hari. Gejala utama yang
perlu diamati untuk mendiagnosis faktor ovulasi sebagai penyebab infertilitas
meliputi anovulasi dan oligo-ovulasi. Anovulasi merupakan suatu kondisi tidak
terjadinya ovulasi pada wanita, sedangkan oligo-ovulasi merupakan istilah yang
menggambarkan ketidakteraturan ovulasi. Gangguan Ovulasi yang dibagi ke
dalam 4 kelas (WHO):
 Kelas 1: Kegagalan pada hipotalamus hipopise. Karakteristik dari kelas ini
adalah gonadotropin yang rendah, prolaktin normal, dan rendahnya
estradiol. Kelainan ini terjadi sekitar 10 % dari seluruh kelainan ovulasi.
 Kelas 2: Gangguan fungsi ovarium. Karakteristik dari kelas ini adalah
kelainan pada gonadotropin namun estradiol normal. Anovulasi kelas 2
terjadi sekitar 85 % dari seluruh kasus kelainan ovulasi.
 Kelas 3: Kegagalan ovarium. Karakteristik kelainan ini adalah kadar
gonadotropin yang tinggi dengan kadar estradiol yang rendah. Terjadi
sekitar 4-5 % dari seluruh gangguan ovulasi.
 Kelas 4: Kelompok wanita yang mengalami gangguan ovulasi akibat
disfungsi ovarium, memiliki kadar prolaktin yang tinggi.
b) Faktor Tuba, Paratuba, dan Peritoneal
Faktor tuba dan peritoneal menjadi 30%- 40% penyebab infertilitas pada
wanita.Faktor tuba meliputi kerusakan maupun obstruksi pada tuba fallopi dan
biasanya terkait dengan riwayat PID, operasi tuba dan operasi pelvis. Faktor
peritoneal meliputi adhesi perituba dan periovarium, yang biasanya merupakan
akibat dari PID, operasi, maupun endometriosis.
Klasifikasi kerusakan tuba yaitu:
1) Ringan/ Grade 1
 Oklusi tuba proksimal tanpa adanya fibrosis atau oklusi tuba
distal tanpa ada distensi.
 Mukosa tampak baik.
 Perlekatan ringan (perituba-ovarium)
2) Sedang/Grade 2
 Kerusakan tuba berat unilateral
3) Berat/Grade 3
 Kerusakan tuba berat bilateral
 Fibrosis tuba luas
 Distensi tuba > 1,5 cm
 Mukosa tampak abnormal
 Oklusi tuba bilateral
 Perlekatan berat dan luas
c) Gangguan pada uterus
Kelainan Serviks yang dapat menyebabkan infertilitas adalah:
 Perkembangan serviks yang abnormal sehingga mengakibatkan migrasi
sperma terhambat.
 Tumor serviks seperti polip atau mioma yang dapat menutupi saluran
sperma atau menimbulkan discharge yang mengganggu spermatozoa.
 Infeksi serviks yang menghasilkan asam atau sekresi purulen yang
bersifat toksin terhadap spermatozoa.
Nidasi ovum yang telah dibuahi terjadi di endometrium. Kejadian ini tidak
dapat berlangsung apabila ada patologi di uterus, seperti polip endometrium,
adenomiosis, mioma uterus atau leiomioma, bekas kuretase dan abortus septik.
Kelainan tersebut dapat mengganggu implantasi, pertumbuhan, nutrisi serta
oksigenisasi janin

d) Gangguan Ovarium
Masalah ovarium yang dapat mempengaruhi infertilitas yaitu kista atau
tumor ovarium, penyakit ovarium polikistik, endometriosis, atau riwayat
pembedahan yang mengganggu siklus ovarium.
e) Hormonal
Ketidakseimbangan hormonal dapat memengaruhi infertilitas melalui
sekresi gonadotrophin- releasing hormone (GnRH) oleh hipotalamus, sehingga
akan menginduksi kelenjar hipofisis yang dapat mengontrol kelenjar lainnya di
tubuh. Kelainan hormonal dapat memengaruhi ovulasi, seperti pada
hipertiroidisme, hipotiroidisme, PCOS, dan hiperprolaktinemia. Perubahan
hormonal pada aksis hipothalamus-hipofisis-adrenal dapat dipengaruhi oleh
stress.
f) Obesitas
Banyaknya lemak tubuh menyebabkan meningkatnya produksi estrogen
yang diinterpretasikan tubuh sebagai kontrasepsi, sehingga menurunkan
kesempatan untuk mendapatkan kehamilan.
g) Usia
Seiring bertambahnya usia, laju konsepsi menurun sebagai akibat dari
menurunnya kualitas dan jumlah ovum. Semakin bertambahnya usia, organ-
organ reproduksi juga akan mengalami penurunan fungsi sehingga keadaan
untuk terjadinya kehamilan tidak maksimal.
2) Pria
a) Usia
Umur mempengaruhi kesuburan dimana pada usia tertentu tingkat
kesuburan seorang pria akan mulai menurun secara perlahan-lahan.’ Kesuburan
pria ini diawali saat memasuki usia pubertas ditandai dengan perkembangan
organ reproduksi pria, ratarata umur 12 tahun. Perkembangan organ reproduksi
pria mencapai keadaan stabil umur 20 tahun. Tingkat kesuburan akan
bertambah sesuai dengan pertambahan umur dan akan mencapai puncaknya
pada umur 25 tahun. Setelah usia 25 tahun kesuburan pria mulai menurun
secara perlahan-lahan, dimana keadaan ini disebabkan karena perubahan bentuk
dan faal organ reproduksi.
b) Faktor Pre testikular
Faktor pre testikular yaitu keadaan-keadaan diluar testis dan
mempengaruhi proses spermatogenesis.
 kelainan endokrin. Kurang lebih 2% dari infertilitas pria disebabkan
karena adanya kelainan endokrin antara lain berupa:
 kelainan jaras hipotalamus-hipopise seperti; tidak adanya sekresi
gonadotropin menyebabkan gangguan spermatogenesis
 kelainan tiroid menyebabkan gangguan metabolisme androgen.
 kelainan kelenjar adrenal seperti Congenital adrenal hyperplasi
menyebabkan gangguan spermatogenesis.
 Kelainan kromosom. Misal penderita sindroma klinefelter, terjadi
penambahan kromosom X, testis” tidak berfungsi baik,sehingga
spermatogenesis tidak terjadi.
 Varikokel, yaitu terjadinya pemanjangan dan dilatasi serta kelokan-
kelokan dari pleksus pampiriformis yang mengakibatkan terjadinya
gangguan vaskularisasi testis yang akan mengganggu proses
spermatogenesis.
c) Faktor Post testikular
 Kelainan epididimis den funikulus spermatikus, dapat berupa absennya
duktus deferens, duktus deferens tidak bersambung dengan epididimis,
sumbatan dan lain-lain
 Kelainan duktus eyakulatorius, berupa sumbatan
 Kelainan prostat dan vesikula seminalis, yang sering adalah peradangan,
biasanya mengenai kedua organ ini, tumor prostat dan prostatektomi
 Kelainan penis / uretra. berupa malformasi penis, aplasia, anomali
orifisium uretra (epispadia, hipospadia). anomali preputium (fimosis),
dan lain-lain.
d) Faktor testikular
Atrofi testi primer; gangguan pertumbuhan dan perkembangan,
kriptorkidism, trauma, torsi, peradangan, tumor. Hampir 9% infertilitas pria
disebabkan karena kriptorkismus (testis tidak turun pada skrotum).
e) Faktor Lingkungan
 Suhu, memegang peranan penting pada spermatogenesis. Pada mamalia
spermatazoa hanya dapat diproduksi bila suhu testis 29- 30’C,
sedikitnya. 1,5-2.0 C· dibawah suhu dalam tubuh, kenaikan suhu
beberapa derajat akan menghambat proses spermatogenesis, sebaliknya
suhu rendah akan meningkatkan spermatogenesis pada manusia.
 Tempat/dataran tinggi. Atmosfer dataran tinggi (high altitude) juga
menghambat pembuatan spermatozoa.
 Sinar Rontgen, spermatogonia dan spermatosit sangat peka terhadap
sinar Rontgen, tapi spermatic dan sel sertoli tidak, banyak terpengaruh
bahan kimia dan obat-abatan tertentu dapat menghambat proses
spermatogenesis, misal metronidazol, simetidin dan lain-lain.

III. Klasifikasi
1. Infertilitas Primer
Disebut Infertilitas primer jika seorang wanita yang telah berkeluarga belum
pernah mengalami kehamilan meskipun hubungan seksual dilakukan secara teratur
tanpa perlindungan kontrasepsi untuk selang waktu paling kurang 12 bulan.
2. Infertilitas Sekunder
Disebut infertilitas sekunder jika tidak terdapat kehamilan dalam waktu 1 tahun
atau lebih pada seorang wanita yang telah berkeluarga dengan berusaha berhubungan
seksual secara teratur tanpa perlindungan kontrasepsi, tetapi sebelumnya pernah hamil.
IV. Diagnosis
Pada pasangan suami-istri yang mengalami infertilitas, pelaksanaan diagnosis
dilakukan melalui anamnesis, kemudian pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang.
Anamnesis ditujukan untuk mengidentifikasi faktor risiko dan kebiasaan hidup pasien yang
dapat secara bermakna mempengaruhi fertilitas. Anamnesis meliputi:
 Usia dan pekerjaan
 Keharmonisan hubungan keluarga,
 Lamanya perkawinan,
 Hubungan seksual yang dilakukan
 Pada Wanita ditanyakan bagaimana siklus menstruasinya
 Riwayat medis dan riwayat operasi sebelumnya,
 Riwayat penggunaan obat-obatan (dengan atau tanpa resep) dan alergi,
 Gaya hidup dan riwayat gangguan sistemik,
 Riwayat penggunaan alat kontrasepsi; dan
 Riwayat infeksi sebelumnya, misalnya penyakit menular seksual dan riwayat
infeksi pada organ reproduksi.
1. Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada wanita yaitu:
a) Pemeriksaan ovulasi
 Frekuensi dan keteraturan menstuasi harus ditanyakan kepada seorang
perempuan. Perempuan yang mempunyai siklus dan frekuensi haid yang
teratur setiap bulannya, kemungkinan mengalami ovulasi.
 Perempuan yang memiliki siklus haid teratur dan telah mengalami
infertilitas selama 1 tahun, dianjurkan untuk mengkonfirmasi terjadinya
ovulasi dengan cara mengukur kadar progesteron serum fase luteal madya
(hari ke 21-28).
 Pemeriksaan kadar progesteron serum perlu dilakukan pada perempuan
yang memiliki siklus haid panjang (oligomenorea). Pemeriksaan dilakukan
pada akhir siklus (hari ke 28-35) dan dapat diulang tiap minggu sampai
siklus haid berikutnya terjadi.
 Pengukuran temperatur basal tubuh tidak direkomendasikan untuk
mengkonfirmasi terjadinya ovulasi.
 Perempuan dengan siklus haid yang tidak teratur disarankan untuk
melakukan pemeriksaan darah untuk mengukur kadar hormon gonadotropin
(FSH dan LH).
 Pemeriksaan kadar hormon prolaktin dapat dilakukan untuk melihat apakah
ada gangguan ovulasi, galaktorea, atau tumor hipofisis.
 Pemeriksaan fungsi tiroid pada pasien dengan infertilitas hanya dilakukan
jika pasien memiliki gejala.

b) Pemeriksaan Chlamydia trachomatis


 Sebelum dilakukan pemeriksaan uterus, pemeriksaan untuk Chlamydia
trachomatis sebaiknya dilakukan dengan teknik yang sensitif.
 Jika tes Chlamydia trachomatis positif, perempuan dan pasangan seksualnya
sebaiknya dirujuk untuk mendapatkan pengobatan.
 ntibiotika profilaksis sebaiknya dipertimbangkan sebelum melakukan
periksa dalam jika pemeriksaan awal Chlamydia trachomatis belum
dilakukan.
c) Penilaian kelainan uterus
 Pemeriksaan histeroskopi tidak dianjurkan apabila tidak terdapat indikasi,
karena efektifitas pembedahan sebagai terapi kelainan uterus untuk
meningkatkan angka kehamilan belum dapat ditegakkan.
d) Penilaian kelainan tuba
 Perempuan yang tidak memiliki riwayat penyakit radang panggul (PID),
kehamilan ektopik atau endometriosis, disarankan untuk melakukan
histerosalpingografi (HSG) untuk melihat adanya oklusi tuba. Pemeriksaan
ini tidak invasif dan lebih efisien dibandingkan laparaskopi.
 Pemeriksaan oklusi tuba menggunakan sono-histerosalpingografi dapat
dipertimbangkan karena merupakan alternatif yang efektif.
 indakan laparoskopi kromotubasi untuk menilai patensi tuba, dianjurkan
untuk dilakukan pada perempuan yang diketahui memiliki riwayat penyakit
radang panggul.
2. Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada pria yaitu:
a) Pemeriksaan fisik pada laki-laki penting untuk mengidentifikasi adanya penyakit
tertentu yang berhubungan dengan infertilitas. Penampilan umum harus
diperhatikan, meliputi tanda-tanda kekurangan rambut pada tubuh atau
ginekomastia yang menunjukkan adanya defisiensi androgen. Tinggi badan, berat
badan, IMT, dan tekanan darah harus diketahui.
b) Palpasi skrotum saat pasien berdiri diperlukan untuk menentukan ukuran dan
konsistensi testis. Apabila skrotum tidak terpalpasi pada salah satu sisi,
pemeriksaan inguinal harus dilakukan. Orkidometer dapat digunakan untuk
mengukur volume testis. Ukuran ratarata testis orang dewasa yang dianggap normal
adalah 20 ml.
c) Konsistensi testis dapat dibagi menjadi kenyal, lunak, dan keras. Konsistensi
normal adalah konsistensi yang kenyal. Testis yang lunak dan kecil dapat
mengindikasikan spermatogenesis yang terganggu.
d) Palpasi epididimis diperlukan untuk melihat adanya distensi atau indurasi.
Varikokel sering ditemukan pada sisi sebelah kiri dan berhubungan dengan atrofi
testis kiri. Adanya perbedaan ukuran testis dan sensasi seperti meraba “sekantung
ulat” pada tes valsava merupakan tanda-tanda kemungkinan adanya varikokel.
e) Pemeriksaan kemungkinan kelainan pada penis dan prostat juga harus dilakukan.
Kelainan pada penis seperti mikropenis atau hipospadia dapat mengganggu proses
transportasi sperma mencapai bagian proksimal vagina. Pemeriksaan colok dubur
dapat mengidentifikasi pembesaran prostat dan vesikula seminalis.
f) Analisis Sperma
Satu spermatozoon terdiri atas kepala dan ekor. Kepala lonjong dilihat dari atas dan
pyriform dilihat dari samping, lebih tebal dekat leher dan menggepeng ke ujung
Kepala 4-5 um panjang dan 2,5-;3,5 um lebar.

 Penapisan antibodi antisperma tidak dianjurkan karena tidak ada bukti


pengobatan yang dapat meningkatkan fertilitas.
 Jika pemeriksaan analisis sperma dikatakan abnormal, pemeriksaan ulang
untuk konfirmasi sebaiknya dilakukan.
 Analisis sperma ulang untuk mengkonfirmasi pemeriksaan sperma yang
abnormal, dapat dilakukan 3 bulan pasca pemeriksaan sebelumnya sehingga
proses siklus pembentukan spermatozoa dapat terjadi secara sempurna.
Namun jika ditemukan azoospermia atau oligozoospermia berat
pemeriksaan untuk konfirmasi harus dilakukan secepatnya .
 Pemeriksaan Computer-Aided Sperm Analysis (CASA). Untuk melihat
jumlah, motilitas dan morfologi sperma, pemeriksaan ini tidak dianjurkan
untuk dilakukan karena tidak memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan pemeriksaan secara manual.
 Pemeriksaan fungsi endokrinologi. Dilakukan pada pasien dengan
konsentrasi sperma < 10 juta/ml. Bila secara klinik ditemukan bahwa pasien
menderita kelainan endokrinologi. Pada kelainan ini sebaiknya dilakukan
pemeriksaan hormon testosteron dan FSH serum.
 Penilaian antibodi antisperma merupakan bagaian standar analisis semen.
Menurut kriteria WHO, pemeriksaan ini dilakukan dengan pemeriksaan
imunologi atau dengan cara melihat reaksi antiglobulin. Namun saat ini
pemeriksaan antibodi antisperma tidak direkomendasikan untuk dilakukan
sebagai penapisan awal karena tidak ada terapi khusus yang efektif untuk
mengatasi masalah ini.

V. Infertilitas idiopatik (Unexplained Infertility)


Infertilitas yang tidak dapat dijelaskan (Unexplained Infertility) dapat diartikan
sebagai ketidak mampuan untuk hamil setelah 1 tahun tanpa ditemukannya suatu
abnormalitas menggunakan prosedur pemeriksaan ginekologis rutin. Insidensi infertilitas
ini berkisar dari 10 persen sampai paling tinggi 30 persen di antara populasi infertil dimana
hal ini tergantung dari kriteria diagnostik yang digunakan. Minimal, diagnosis infertilitas
tak teridentifikasi menunjukkan analisis semen yang normal, bukti objektif adanya ovulasi,
rongga uterus yang normal, serta patensi tuba bilateral.
Dalam tatalaksana infertilitas perbandingan antara biaya yang dikeluarkan dan
efektifitas pemeriksaan sangat penting dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan
klinik. National Institute for Health and Clinical Excellence in the UK and the American
Society of Reproductive Medicine merekomendasikan pemeriksaan yang penting sebagai
berikut: analisis semen, penilaian ovulasi dan evaluasi patensi tuba dengan
histerosalpingografi atau laparoskopi. Peran HSG atau laparoskopi terus menjadi
perdebatan, laparoskopi perlu dipertimbangkan pada kecurigaan adanya endometriosis
berat, perlekatan organ pelvis atau kondisi penyakit pada tuba.
1. Histeroskopi
Histeroskopi meruapakan baku emas dalam pemeriksaan yang mengevaluasi kavum
uteri. Meskipun Fayez melaporkan pemeriksaan HSG sama akuratnya dengan
histeroskopi dalam hal diagnosis. Peran histeroskopi dalam pemeriksaan infertilitas
adalah untuk mendeteksi kelaianan kavum uteri yang dapat mengganggu proses
implantasi dan kehamilan serta untuk mengevaluasi manfaat modalitas terapi dalam
memperbaiki endometrium.
2. Laparoskopi
Tindakan laparoskopi diagnostik dapat dilakukan pada pasien infertilitas idiopatik yang
dicurigai mengalami patologi pelvis yang menghambat kehamilan. Tindakan ini
dilakukan untuk mengevaluasi rongga abdomino-pelvis sekaligus memutuskan langkah
penanganan selanjutnya. Tindakan laparoskopi diagnostik pada pasien infertilitas
idiopatik tidak dianjurkan bila tidak dijumpai faktor risiko patologi pelvis yang
berhubungan dengan infertilitas. Kebanyakan pasien akan hamil setelah menjalani
beberapa siklus stimulasi ovarium dan atau siklus FIV.

VI. Tatalaksana
Tatalaksana yang dapat dilakukan untuk membantu meningkatkan fertilitas yaitu
dengan mengobati etiologi dan menghindari faktor resiko yang dapat menyebabkan
infertilitas.
1. Wanita
a) Penanganan gangguan ovulasi berdasarkan WHO, yaitu:
 WHO kelas I : Pada perempuan yang memiliki IMT < 19, tindakan
peningkatan berat badan menjadi normal akan membantu mengembalikan
ovulasi dan kesuburan. Pengobatan yang disarankan untuk kelainan
anovulasi pada kelompok ini adalah kombinasi rekombinan FSH (rFSH)-
rekombinan LH (rLH), hMG atau hCG.
 WHO Kelas II: Pengobatan gangguan ovulasi WHO kelas II (SOPK) dapat
dilakukan dengan cara pemberian obat pemicu ovulasi golongan anti
estrogen (klomifen sitrat), tindakan drilling ovarium, atau penyuntikan
gonadotropin. Pengobatan lain yang dapat digunakan adalah dengan
menggunakan insulin sensitizer seperti metformin.
 WHO Kelas III: Konseling yang baik perlu dilakukan pada pasangan yang
menderita gangguan ovulasi WHO kelas III sampai kemungkinan tindakan
adopsi anak.
 WHO Kelas IV: Pemberian agonis dopamin (bromokriptin atau kabergolin)
dapat membuat pasien hiperprolaktinemia menjadi normoprolaktinemia
sehingga gangguan ovulasi dapat teratasi.
b) Tatalaksana gangguan tuba : Tindakan bedah mikro atau laparoskopi pada kasus
infertilitas tuba derajat ringan dapat dipertimbangkan sebagai pilihan penanganan.
c) Tatalaksana endometriosis
Meskipun terapi medisinalis endometriosis terbukti dapat mengurangi rasa nyeri
namun belum ada data yang menyebutkan bahwa pengobatan dapat meningkatkan
fertilitas. Beberapa penelitian acak melaporkan bahwa penggunaan progestin dan
agonis GnRH tidak dapat meningkatkan fertilitas pasien endometriosis derajat
ringan sampai sedang.
2. Pria
a) Gangguan sperma : Ekstraksi Sperma dari Testis (TESE) dapat menjadi bagian
terapi intracytoplasmic sperm injection (ICSI) pada pasien dengan non-obstruktif
azoospermia (NOA).
b) Azoospermia Obstruktif
 Obstruksi intratestikular
rekanalisasi duktus seminalis tidak mungkin dilakukan sehingga TESE atau
fineneedle aspiration dapat direkomendasikan. Baik TESE maupun fine-
needle aspiration dapat menyebabkan kembalinya sperma pada hamper
seluruh pasien OA.
 Obstruksi epididimis
Pada pasien dengan azoospermia akibat obstruksi epididimis didapat, end-
to-end atau end-to-side microsurgical epididymovasostomy
direkomendasikan, dengan microsurgical intussuception epididymo-
casostomy menjadi teknik yang dipilih. Rekonstruksi mungkin dapat
dilakukan unilateral atau bilateral,
angka patensi dan kehamilan biasanya lebih tinggi dengan rekonstruksi
bilateral.
 Obstruksi vas deferens proksimal
Vaso-vasostomi juga dibutuhkan pada kasus yang jarang seperti obstruksi
vassal proksimal (iatrogenik, Pasca-traumatik, pasca-inflamasi).
Microsurgical vaso-epididystomy dapat diindikasikan jika cairan seminalis
vas proksimal memiliki tampilan tebal atau “toothpaste”.
 Obstruksi vas deferens distal
Biasanya tidak mungkin untuk mengkoreksi defek vas bilateral yang besar
akibat eksisi vas yang tidak disengaja selama operasi hernia atau
orchidopexy. Pada kasus ini, aspirasi sperma vas deferens proksimal atau
TESE/MESA dapat digunakan untuk kriopreservasi ICSI nantinya.
c) Hipogonadisme
Jika kelainan hipogonadism hipogonadotropik berasal dari hipotalamus, terapi
alternatif dari pemberian hCG adalah terapi dengan GnRH pulsatil. Pada pasien
dengan hipogonadism yang terjadi sebelum pubertas dan belum diterapi dengan
gonadotropin atau GnRH, terapi 1-2 tahun diperlukan untuk mencapai produksi
sperma yang optimal. Ketika kehamilan sudah terjadi, pasien dapat kembali untuk
substitusi testosteron.
3. Infertilitas Idiopatik
Pasangan dapat diberi pengertian tentang masa subur, dan disarankan untuk
melakukan hubungan seksual tanpa kontrasepsi. Beberapa alternatif terapi yang dapat
kita lakukan yaitu:
a) Klomifen Sitrat
Klomifen sitrat dapat mengatasi kasus infertilitas idiopatik dengan cara
memperbaiki disfungsi ovulasi ringan dan merangsang pertumbuhan folikel
multipel. Pasien dianjurkan untuk memulai terapi inisial 50 mg sehari mulai
pada hari ke-2-6 siklus haid. Pemantauan folikel dengan USG transvaginal
dilakukan pada hari ke 12 untuk menurunkan kemungkinan terjadinya
kehamilan ganda. Pasangan disarankan untuk melakukan hubungan seksual
terjadwal dari hari ke-12 siklus haid. Pada kejadian di mana dicurigai adanya
respon ovarium yang berlebihan, siklus dibatalkan dan pasangan diminta tidak
melakukan hubungan seksual sampai siklus haid berikutnya.
b) Inseminasi Intrauterin
Inseminasi intrauterin dengan atau tanpa stimulasi merupakan pilihan pada
tatalaksana infertilitas idiopatik. Peningkatan jumlah spermatozoa yang motil
dalam uterus dan menempatkan sperma dalam jarak yang dekat terhadap 1
atau lebih oosit berpotensi meningkatkan kemungkinan terjadinya kehamilan.
Inseminasi dapat dilakukan dengan atau tanpa prosedur stimulasi ovarium.

DAFTAR PUSTAKA

1. Konsensus Penanganan Infertilitas. Himpunan Endokrinologi Reproduksi dan Fertilitas


Indonesia (HIFERI). 2013.
2. Munir, Muhammad. 2019. Review Artikel: Infertilitas. Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.
3. Saraswati, Andini. 2015. Review Artikel: Infertility, Vol 4 (5). Jurnal Majority.
4. Oktarina A, Abadi A, Bachsin R. 2014. Faktor-faktor yang Memengaruhi Infertilitas pada
Wanita di Klinik Fertilitas Endokrinologi Reproduksi, Vol 46 (4). Majalah kesehatan
Masyarakat.
5. Bayuaji, Hartanto. 2018. Tatalaksana Infertilitas yang Rasional dan Efisien untuk
Mempersingkat "Time to Pregnancy", vol 1 (2). Obgynia.
6. Khaidir, Masrizal. 2006. Penilaian Tingkat Fertilitas Dan Penatalaksanaannya Pada Pria,
Vol 1 (1). Jurnal Kesehatan Masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai