Anda di halaman 1dari 11

Nama : NAZELA NANDA PUTRI

NIM : 170204049
Kelas : D.3.2

SOAL
A. Silahkan ringkas diskusi kita pagi ini jam 08.00-09.40 dalam bentuk deskripsi word
terkait :
1. Sprain/strain
2. Dislokasi
3. Fraktur
4. Syndrome compartemen

B. Lengkapi dalam deskripsi diskusi tersebut dengan penanganan awal (inisial asesment),
penatalaksanaan kegawatdaruratan pada pasien trauma muskuloskeletal tersebut satu
persatu berdasarkan kasus.

JAWABAN
A. Ringkasan diskusi
1. Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu
tulang. Jika terjadi fraktur, maka jaringan lunak di sekitarnya juga sering
kali terganggu. Fraktur dapat diklasifikasikan menjadi fraktur tertutup dan fraktur
terbuka. Fraktur tertutup memiliki kulit yang masih utuh diatas lokasi
cedera, sedangkan fraktur terbuka dicirikan oleh robeknya kulit diatas
cedera tulang. Kerusakan jaringan dapat sangat luas pada fraktur terbuka,
yang dibagi berdasarkan keparahannya (Black dan Hawks, 2014) :
1. Derajat 1 : Luka kurang dari 1 cm, kontaminasi minimal
2. Derajat 2 : Luka lebih dari 1 cm, kontaminasi sedang
3. Derajat 3 : Luka melebihi 6 hingga 8 cm, ada kerusakan luas pada jaringan
lunak, saraf, tendon, kontaminasi banyak. Fraktur terbuka dengan derajat 3
harus sedera ditangani karena resiko infeksi.

2. Dislokasi merupakan masalah pada tulang berupa bergesernya tulang dari sendi
atau posisi yang semestinya. Dislokasi dapat terjadi pada sendi manapun, tetapi
yang tersering mengalaminya adalah sendi bahu, jari, siku, lutut, dan panggul.
Sendi yang pernah mengalami dislokasi memiliki faktor risiko lebih besar untuk
mengalami dislokasi berulang.

Gejala Dislokasi
1. Kejanggalan bentuk sendi.
2. Pembengkakan, lebam, atau kemerahan pada sendi.
3. Sulit atau tidak dapat menggerakkan sendi.
4. Nyeri saat sendi berusaha digerakkan.
5. Mati rasa atau rasa kesemutan pada daerah sekitar sendi.

3. Sprain Dan Strain

Spain
Bentuk cedera berupa pengukuran atau kerobekan pada ligamen (jaringan yang
menghubungkan tulang dengan tulang) atau kapsul sendi yang memberikan stabilitas
sendi. Gejala sprain yaitu nyeri, bengkak, peradangan, memar, ketidakmampuan
menggerakkan tungkai. Penyebab sprain adalah terpeleset, gerakan yang salah
sehingga sendi terenggang melampaui gerakan normal.

Strain (Kram Otot)

Bentuk cidera berupa penguluran atau kerobekan pada struktur musculo-tendinous


(otot dan tendon). Gejala strain yaitu nyeri, spasme otot, kehilangan kekuatan,
keterbatasan gerak lingkup sendi. Penyebab strain adalah terjadi karena pembebanan
secar tiba-tiba pada otot tertentu.

4. Sindroma kompartemen merupakan suatukondisi dimana terjadi penekanan terhad
ap
syaraf, pembuluh darah dan otot didalamkompatement osteofasial yang tertutup
Penyebab Sindrom Kompartemen Sindrom kompartemen bisa terjadi apabila
terdapat perdarahan atau pembengkakan di dalam suatu kompartemen.
Hal ini bisa menyebabkan peningkatan tekanan di dalam kompartemen yang dapat
menghambat aliran darah. Apabila tidak ditangani, maka kondisi ini dapat
menyebabkan kerusakan permanen, karena sel otot dan sel saraf tidak
mendapatkan nutrisi dan oksigen yang dibutuhkannya.
B. Penatalaksanaan
1. Penatalaksaan fraktur
Prinsip menangani fraktur adalah mengembalikan posisi patahan ke posisi semula
dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah tulang. Cara
pertama penangan adalah proteksi saja tanpa reposisi atau imobilisasi, misalnya
menggunakan mitela. Biasanya dilakukan pada fraktur iga dan fraktur klavikula
pada anak. Cara kedua adalah imobilisasi
luar tanpa reposisi, biasanya dilakukan pada patah tulang tungkai bawah tanpa
dislokasi. Cara ketiga adalah reposisi dengan cara manipulasi yang diikuti dengan
imobilisasi, biasanya dilakukan pada patah tulang radius distal. Cara keempat
adalah reposisi dengan traksi secara terus-menerus selama masa tertentu. Hal ini
dilakukan pada patah tulang yang apabila direposisi akan terdislokasi di dalam gips.
Cara kelima berupa reposisi yang diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar.
Cara keenam berupa reposisi secara non-operatif diikuti dengan pemasangan
fiksator tulang secara operatif. Cara ketujuh berupa reposisi secara operatif diikuti
dengan fiksasi interna yang biasa disebut dengan ORIF (Open Reduction Internal
Fixation). Cara yang terakhir berupa eksisi fragmen patahan tulang dengan
prostesis (Sjamsuhidayat dkk, 2010).Menurut Istianah (2017) penatalaksanaan
medis antara lain :
a. Diagnosis dan penilaian fraktur
Anamnesis pemeriksaan klinis dan radiologi dilakukan dilakukan untuk
mengetahui dan menilai keadaan fraktur. Pada awal pengobatan perlu
diperhatikan lokasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik yang sesuai untuk
pengobatan komplikasi yang
mungkin terjadi selama pengobatan.
b. Reduksi
Tujuan dari reduksi untuk mengembalikan panjang dan kesejajaran garis tulang
yang dapat dicapai dengan reduksi terutup atau reduksi terbuka. Reduksi tertutup
dilakukan dengan traksi manual atau mekanis untuk menarik fraktur kemudian,
kemudian memanipulasi
untuk mengembalikan kesejajaran garis normal. Jika reduksi tertutup gagal atau
kurang memuaskan, maka bisa dilakukan reduksi terbuka.Reduksi terbuka
dilakukan dengan menggunakan alat fiksasi internal untuk mempertahankan
posisi sampai penyembuhan tulang menjadi solid. Alat fiksasi interrnal tersebut
antara lain pen, kawat, skrup, dan
plat. Alat-alat tersebut dimasukkan ke dalam fraktur melalui pembedahan ORIF
(Open Reduction Internal Fixation). Pembedahan terbuka ini akan
mengimobilisasi fraktur hingga bagian tulang yang patah dapat tersambung
kembali.
c. Retensi
Imobilisasi fraktur bertujuan untuk mencegah pergeseran fragmen dan mencegah
pergerakan yang dapat mengancam penyatuan. Pemasangan plat atau traksi
dimaksudkan untuk mempertahankan reduksi ekstremitas yang mengalami
fraktur.
d. Rehabilitasi
Mengembalikan aktivitas fungsional seoptimal mungkin. Setelah pembedahan,
pasien memerlukan bantuan untuk melakukan latihan. Menurut Kneale dan
Davis (2011) latihan rehabilitasi dibagi menjadi tiga kategori yaitu :
1) Gerakan pasif bertujuan untuk membantu pasien mempertahankan rentang
gerak sendi dan mencegah timbulnya pelekatan atau kontraktur jaringan lunak
serta mencegah strain
berlebihan pada otot yang diperbaiki post bedah.
2) Gerakan aktif terbantu dilakukan untuk mempertahankan dan meningkatkan
pergerakan, sering kali dibantu dengan tangan yang sehat, katrol atau tongkat
3) Latihan penguatan adalah latihan aktif yang bertujuan memperkuat otot.
Latihan biasanya dimulai jika kerusakan jaringan lunak telah pulih, 4-6 minggu
setelah pembedahan atau
dilakukan pada pasien yang mengalami gangguan ekstremitas atas.

2. DISLOKASI
Penatalaksanaan keperawatan
a. Penatalaksanaan keperawatan dapat dilakukan dengan RICE.
 R: Rest = Diistirahatkan adalah  pertolongan pertama yang penting untuk
mencegah kerusakan jaringan lebih lanjut.
 I : Ice = Terapi dingin, gunanya mengurangi pendarahan dan meredakan rasa
nyeri.
 C: Compression = Membalut gunanya membantu mengurangi pembengkakan
jaringan dan pendarahan lebih lanjut.
 E: Elevasi = Peninggian daerah cedera gunanya mengurangi oedema
(pembengkakan) dan rasa nyeri.
b. Terapi dingin
Cara pemberian terapi dingin sebagai berikut :
1) Kompres dingin
Teknik : potongan es dimasukkan dalam kantong yang tidak tembus air
lalu kompreskan pada bagian yang cedera. Lamanya : dua puluh – tiga puluh
menit dengan interval kira-kira sepuluh menit.
2) Massage es
Tekniknya dengan menggosok-gosokkan es yang telah dibungkus
dengan lama lima - tujuh menit, dapat diulang dengan tenggang waktu sepuluh
menit.
3) Pencelupan atau perendaman
Tekniknya yaitu memasukkan tubuh atau bagian tubuh kedalam bak air
dingin yang dicampur dengan es. Lamanya sepuluh – dua puluh menit.
4) Semprot dingin
Tekniknya dengan menyemprotkan kloretil atau fluorimethane ke
bagian tubuh yang cedera.
c. Latihan ROM
Tidak dilakukan latihan pada saat terjadi nyeri hebat dan perdarahan, latihan
pelan-pelan dimulai setelah 7-10 hari tergantung jaringan yang sakit.
Penatalaksanaan medis : Farmakologi
d. Analgetik
Analgetik biasanya digunakan untuk klien yang mengalami nyeri. Berikut
contoh obat analgetik :
1) Aspirin:
Kandungan : Asetosal 500mg ; Indikasi : nyeri otot ; Dosis dewasa 1tablet
atau 3tablet perhari, anak > 5tahun setengah sampai 1tablet, maksimum 1 ½
sampai 3tablet perhari.
2) Bimastan :
Kandungan : Asam Mefenamat 250mg perkapsul, 500mg perkaplet ; Indikasi :
nyeri persendian, nyeri otot ; Kontra indikasi : hipersensitif, tungkak lambung,
asma, dan ginjal ; efeksamping : mual muntah, agranulositosis, aeukopenia ;
Dosis: dewasa awal 500mg  lalu 250mg tiap 6jam.
3) Pemberian kodein atau obat analgetik lain (jika cedera berat).
3. Sprain Dan Strain
 Penatalaksanaan sprain adalah :
1. Pembedahan.
Mungkin diperlukan agar sendi dapat berfungsi sepenuhnya; pengurangan-
pengurangan perbaikan terbuka terhadap jaringan yang terkoyak.
2. Kemotherapi.
Dengan analgetik Aspirin (100-300 mg setiap 4 jam) untuk meredakan nyeri
dan peradangan. Kadang diperlukan Narkotik (codeine 30-60 mg peroral
setiap 4 jam) untuk nyeri hebat.
3. Elektromekanis.
1. Penerapan dingin
Dengan kantong es 24oC
2. Pembalutan / wrapping ekstemal.
Dengan pembalutan, cast atau pengendongan (sung).
3. Posisi ditinggikan.
Jika yang sakit adalah bagian ekstremitas.
4. Latihan ROM.
Tidak dilakukan latihan pada saat terjadi nyeri hebat dan perdarahan.
Latihan pelan-pelan dimulai setelah 7-10 hari tergantung jaringan yang
sakit.
5. Penyangga beban.
Menghentikan penyangga beban dengan penggunaan kruk selama 7 hari
atau lebih tergantung jaringan yang sakit.

 Sedangkan penatalaksanaan strain adalah :


1. Kemotherapi. Dengan analgetik seperti Aspirin (300 – 600 mg/hari) atau
Acetaminofen (300 – 600 mg/hari).
2. Elektromekanis.
6. Penerapan dingin.
Dengan kantong es 24OC
7. Pembalutan atau wrapping ekstemal.
Dengan pembalutan atau pengendongan bagian yang sakit.
8. Posisi ditinggikan atau diangkat.
Dengan ditinggikan jika yang sakit adalah ekstremitas.
9. Latihan ROM.
Latihan pelan-pelan dan penggunaan semampunya sesudah 48 jam.
10. Penyangga beban.
Semampunya dilakukan penggunaan secara penuh.

4. Penatalaksanaan Kompartemen Syndrom Abdomen


Tekanan Intra Abdomen dibagi atas:
1. Grade I     :  IAP 12 – 15 mmHg
2. Grade II   :  IAP 16 – 20 mmHg
3. Grade III  :  IAP 21 – 25 mmHg
4. Grade IV :  IAP > 25 mmHg
Studi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa penilaian klinis dan pemeriksaan klinis
adalah tidak akurat dalam memprediksi IAP pasien. Beberapa metode telah
dikembangkan untuk mengukur IAP, yakni dengan cara langsung (misalnya punksi
abdomen saat dialisis peritoneal atau laparoskopi) dan secara tidak langsung (misalnya
pengukuran tekanan intrabuli, tekanan gaster, colon, atau tekanan uterus). Dari beberapa
metode ini, teknik pengukuran tekanan intrabuli telah diterima secara luas di seluruh
dunia oleh karena lebih sederhana dan biaya lebih minimal. Dalam usaha untuk
melakukan standardisasi dari pengukuran IAP, makan hasil pengukuran IAP dinyatakan
dalam mmHg dan diukur saat ekspirasi akhir pada posisi supine setelah menjamin
absennya kontraksi otot abdomen. Nilai normal IAP adalah 5-7 mmHg. (Malbrain, 2006).
Teknik pengukuran intravesika merupakan cara tidak langsung yang cukup tepat
untuk mengukur tekanan intra abdomen. Perubahan tekanan intra peritoneal direfleksikan
pada tekanan intravesika. Validasi metode ini menunjukkan bahwa tekanan intra vesika
identik dengan tekanan intraperitoneal. (Iberti, 1997).
Penanganan harus berdasarkan pada pemeriksaan klinis dengan peningkatan IAP.
IAP kritis yang menimbulkan berbagai disfungsi organ bergantung pada keadaan
premorbid pasien. Pasien gemuk setiap saat meningkat IAP tetapi telah terkompensasi
dengan hal tersebut. Grade I IAH secara umum hanya memerlukan resusitasi volume
dengan pemantauan tekanan berkelanjutan. Beberapa pasien tidak membaik keadaannya.
Pasien dengan grade II harus ditangani berdasarkan gejalanya. Bila oliguria ringan
dengan kompresi jantung dan paru minimal, dapat diresusitasi lebih lanjut dan dilanjutkan
dengan memantau tekanan. Bila pasien mengalami cedera intra-kranial atau kompresi
berat yang lebih, operasi dekompresi harus dipikirkan. Grades III dan IV ditangani
dengan operasi dekompresi. Saat ini sebagian besar penulis menyetujui bahwa tekanan
kritis untuk ACS adalah antara 20 hingga 25 mmHg.
a.    Sistem grade kompartemen abdominal
Tekanan buli-buli Grade (mmHg) Rekomendasi
I      10–15 Pertahankan normovolemia
II    16–25 Resusitasi Hipervolemik
III   26–35 Dekompresi
IV   >35 Dekompresi dan re-eksplorasi
Pilihan terapi medis untuk mengurangi IAP :
1.    Memperbaiki komplians dinding abdomen
-       Sedasi dan analgesik
-       Blokade neuromuskular
-       Hindari ketinggian kepala tempat tidur > 30 degrees
2.    Evakuasi isi intra-lumen
-       Dekompresi nasogaster
-       Dekompresi rektum
-       Agent gastro-/colo-prokinetik
3.    Evakuasi kumpulan cairan abdominal
-       Parasentesis
-       Drainase perkutan
4.    Koreksi keseimbangan cairan positif
-       Hindari resusitasi cairan berlebih
-       Diuretik
-       Koloid / cairan hipertonik
-       Hemodialisis / ultrafiltrasi
5.    Organ Pendukung
-       Pertahankan APP > 60 mmHg dengan vasopressor
-       Optimalkan ventilasi, alveolar recruitment
-       Gunakan tekanan jalan napas transmural (tm)
-       Pplattm = Pplat – IAP
-       Pikirkan untuk menggunakan volumetric preload indices
-       Jika menggunakan PAOP/CVP, gunakan tekanan transmural
-       PAOPtm = PAOP - 0.5 * IAP
-       CVPtm = CVP - 0.5 * IAP
Terdapat manajemen nonoperatif pada IAH/ACS yang terdiri dari lima intervensi
terapi, tiap terapi mengandung beberapa langkah tingkat terapi :
1.    Evakuasi isi intralumen
2.    Evakuasi space-occupying lesion intra-abdomen
3.    Memperbaiki komplians dinding abdomen
4.    Optimalkan kebutuhan cairan
5.    Optimalkan perfusi jaringan regional dan sistemik

b.    Manajemen pembedahan


Laparotomi dekompresi merupakan gold standard dalam penanganan pasien dengan
ACS. Pendekatan dekompresi abdomen sangat beragam. Temporary abdominal closure
(TAC) telah banyak digunakan sebagai mekanisme mengembalikan dampak akibat
peningkatan IAP. Beberapa penulis menganjurkan penggunaan TAC sebagai profilaksis
untuk mengurangi komplikasi post operasi dan mempermudah re-eksplorasi yang telah
direncanakan. Setelah laparotomi dekompresi, dilakukan temporer abdominal closure
yang dilanjutkan dengan permanen abdominal closure pada hari berikutnya.

c.    Temporary abdominal closure


Beberapa metode dari temporary abdominal closure dapat digunakan. Keputusan
pertama yang harus dibuat adalah apakah menutup fascia dengan bahan sintetis atau
membiarkannya terbuka. Fascia tidak boleh ditutup primer, ini berkaitan dengan
tingginya tingkat rekuren dari ACS. Jika fascia ditutup dengan bahan sintetis, berbagai
bahan (absorbable/nonabsorbable; porous/nonporous) bisa digunakan. Berbagai tipe dari
mesh dapat digunakan termasuk polyglycolic acid (Vicryl™), polypropylene (Marlex™),
atau polytetrafluoroethylene (PTFE). Bahan yang dapat diserap lebih dipilih. Penutup
dengan alat burr artificial (Velcro-like), kantung cairan intravena (“Bogotá bag”), kantung
kaset x-ray steril, dan kertas Silastic telah digunakan.
Jika fasia dibiarkan terbuka dan abdomen penuh, kulit bisa tertutup atau dibiarkan
terbuka. Kulit bisa ditutup menggunakan jahitan, penjepit kain, perban lateks Esmarch
atau mesh. Jika mesh dijahit ke kulit, akan ditutup dengan adesif drape yang steril dan
drape (Vi-drape™ or Steri Drape™). Menjahit bahan sintetis ke kulit bukan ke fasia,
mempersiapkan fasia untuk definitive closure berikutnya. Jika penutupan kulit saja
menyebabkan peningkatan IAP, kulit dibiarkan terbuka. Usus ditutupi dengan
nonadhesive, nonporous materi (seperti tas atau perekat usus terlipat menggantungkan
dirinya sendiri sehingga sisi perekat menempel pada dirinya sendiri).
Tepi bahan nonadhesive, nonporous diselipkan di bawah tepi dinding abdomen
anterior untuk mencegah pengeluaran isi dari usus. Selanjutnya, handuk steril
ditempatkan, diikuti oleh tirai perekat (Vidrape ™ atau tirai Steri ™) yang menempel
pada dinding perut dan mencegah lebih lanjut pengeluaran isi, pengeringan dari usus, dan
cairan kerugian dari perut yang terbuka. Aplikasi langsung dari tirai perekat ke usus
meningkatkan risiko enterocutaneous fistula dan tidak disarankan.
Sebuah cairan irigasi urologis tas dijahit ke kulit dan saluran eksternal ditempatkan
untuk mengontrol dan kuantifikasi dari kebocoran cairan atau perdarahan.

d.    Permanent abdominal closure


Penutupan perut permanen dilakukan setelah hipovolemia, hipotermia,
coagulapathy, dan asidosis telah diperbaiki; yang biasanya tiga sampai empat hari setelah
dekompresi abdomen. Beberapa metode penutupan perut telah dideskripsikan. Primer
penutupan fasia dapat dilakukan atau cangkok kulit dapat ditempatkan diikuti oleh
dinding perut tertunda rekonstruksi.
Setelah mobilisasi signifikan cairan, dimungkinkan untuk menutup fasia tanpa
ketegangan yang signifikan. Namun, sebuah "pemisahan bagian" teknik mungkin
diperlukan untuk reapproximate fasia.
Jika mesh ditempatkan sebagai perut sementara penutupan (sebaiknya bahan yang
diserap), jala dapat dibiarkan in situ selama dua minggu kemudian ditutup dengan kulit
ketebalan parsial grafts ke jaringan granulasi yang mendasarinya. Jala biasanya akan
dimasukkan ke dalam jaringan granulasi pada titik waktu ini. Jika fasia tidak ditutup dan
pasien yang tersisa dengan cacat dinding perut, dinding perut rekonstruksi dapat
dilakukan enam hingga dua belas bulan kemudian.
Berbagai metode rekonstruksi telah dijelaskan, termasuk medial bilateral kemajuan
abdominus rektus otot dan fasia dengan atau tanpa sayatan kulit-relaksasi. Expanders
jaringan subkutan diikuti oleh flaps kemajuan myocutaneous bilateral juga telah
digunakan. Garis tengah perut flap cacat mungkin memerlukan rekonstruksi atau
rekonstruksi dengan nonabsorbable mesh.
Pasien yang dirawat di ICU sebaiknya diskrining untuk melihat faktor resiko
terjadinya IAH/ACS dan dengan kegagalan organ yang baru atau progresif. Biladua atau
lebih faktor resiko dijumpai, pengukuran IAP harus dilakukan. Dan bila IAH ditemukan,
pengukuran IAP serial harus dilakukan pada pasien tersebut.
Pengukuran IAP terdiri dari berbagai teknik yaitu penempatan metal intra-abdomen
langsung (sudah lama ditinggalkan), tekanan vena kava inferior (beresiko thrombosis dan
infeksi), tekanan gaster (jarang digunakan tetapi berguna bila terdapat trauma buli-buli
dimana distensi buli merupakan kontraindikasi) dan tekanan buli-buli. Gold standard
pengukuran IAP adalah dengan tekanan buli-buli.
Untuk mengukur tekanan buli-buli, suntikkan 50-100 ml saline steril kedalam Foley kateter
melalui lubang aspirasi; klem silang selang steril dari drainkantong urin letak distal dari
lubang aspirasi; hubungkan ujung selang drainkantong urin ke Foley kateter; lepaskan klem
sesaat agar cairan dari buli keluar dan kemudian klem ulang; Y-connect transduser tekanan
ke kantong drain melalui lubang aspirasi menggunakan jarum G 16; pastikan IAP dari
transduser menggunakan puncak dari tulang simfisis pubis sebagai titik nol dalam
posisitelentang. Manometer tangan yang dihubungkan ke Foley kateter melalui kolom cairan
di selang dapat digunakan untuk menentukan tekanan sebagai ganti transduser.

Anda mungkin juga menyukai