Anda di halaman 1dari 8

REZA FADILA

11161120000024

ILMU POLITIK 5A

KAJIAN POLITIK KONTEMPORER

reza.fadila16@mhs.uinjkt.ac.id

Ummah

A. Pengertian Ummah

Tidak semua pembahasan penting tentang Islam, dan upaya-upaya memahami hakikat
Islam, menaruh perhatian secukupnya terhadap konsep Ummah. Barangkali ini disebabkan
karena sangat dekatnya istilah ini dalam kehidupan keseharian. Sehingga istilah tersebut tidak
tampak penting sebagai pengertian ilmiah. Di samping itu di kalangan para ulama klasik
sendiri term ummah selalu berkaitan dengan masalah fiqih khususnya tentang masalah
kesepakatan hukum oleh ummah atau ijma’. Padahal bagi kalangan peneliti dan akademisi
Barat, kata itu dijadikan sebagai objek penelitian ilmiah yang menarik terhadap kajian politik
atau aspek sosial politik Islam. Baru akhir-akhir ini saja kemudian para ulama modern juga
menaruh perhatian terhadap term ummah.1

Ali Syari’ati mengartikan kata ummah dengan “jalan yang lurus”, yakni sekelompok
manusia yang bermaksud menuju “jalan” yang tidak lepas dari arti kata akarnya, amma. Kata
ini ia artikan menuju dan berniat yang mengandung tiga arti, yaitu gerakan, tujuan, dan
ketetapan kesadaran. Oleh karena itu, amma pada dasarnya bermakna kemajuan kamajuan
(taqaddum) maka ia tersusun dari empat arti, yaitu ikhtiar, gerakan, kemajuan, dan tujuan2.
Atas dasar arti ini, ummah bagi Ali Syari’ati adalah masyarakat yang hijrah. Jadi definisi
ummah menurut Ali Syari’ati adalah kumpulan orang yang semua individunya sepakat dalam

1
Dawam Rahardjo, Ensiklopedia Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina,
1996), hal: 482.
2
Ali Syari’ati, Ummah wa al-Umamah, terj. M. Faishol Hasanuddin, (Jakarta: Penerbit
Yapi, 1990), hlm. 36
tujuan yang sama dan masing-masing membantu agar bergerak ke arah tujuan yang
diharapkan atas dasar kepemimpinan yang sama.3

Dari rumusan Syari’ati itu terlihat bahwa istilah ummah mengandung arti dinamis,
bergerak, dan berhijrah menuju tujuan yang jelas di bawah satu kepemimpinan dan petunjuk
arah tujuannya, yaitu akidah. Pemaknaan ummah tersebut agaknya sejalan dengan aktivitas
yang dilakukan Nabi untuk membentuk orang-orang muslim yang majemuk sukunya itu
menjadi satu umat pda hakikatnya juga bergerak dan berhijrah secara dinamis dari tatanan
masyarakat jahiliyah yang berdasarkan ‘ashabiyah ke arah suatu tatanan masyarakat yang
bertauhid yang memperjelas jalan dan tujuan anggotanya. Al-Qur’an menyebut masyarakat
jahiliyah yang berdasarkan‘ashabiyah itu sebagai hamiyyat al-jâhiliyyah yang bertentangan
dengan kemanusiaan.

B. Ummah dalam al-Qur’an

Ummah merupakan salah satu dari banyak tema krusial yang terdapat di dalam al-
Qur’an. Hal tersebut membuatnya tidak dapat dipisahkan dari nash agama. Segala tema yang
terdapat dalam al’Qur’an selalu terdapat basis ketuhanan didalamnya, tidak terkecuali dengan
ummah. Ummah dan konsep-konsep lainya dalam al-Qur’an saling bersinergi, dan bahu-
membahu untuk terus maju dan berkembang.

Ummah disebutkan dalam al-Qur'an 62 kali dalam dua puluh empat surah. 52 bagian itu
berbentuk dengan kata tunggal (al-mufrad). Al-Qur'an menggunakan istilah ini untuk
berbagai makna. Ummah memiliki lebih dari satu makna. Makna umat tidak hanya terbatas
bagi umat manusia. Lebih dari itu terma ummah juga digunakan untuk menyebut suatu
kelomopok tertentu seperti agama, waktu atau tempat. Bahkan istilah tersebut juga digunakan
untuk menyebut sekawanan burung, seperti dalam surah al-An'am (6): 38. Pernyataan ini
menunjukan bahwa terma ummah tidak hanya memiliki satu makna, tetapi lebih luas dari itu.
Makan terma ini memberikan cakrawala baru tentang adanya persaudaraan sebagai umat
manusia di dunia ini. Tentu saja, artikel ini akan mengeksplorasi terma ini sebagai kontra
diskursus kelompok yang menggunakan terma tersebut dalam pandangan yaang sempit dan
eksklusif di alam raya ini.

3
Ibid., hlm. 38.
Menurut Quraish Shihab, ummah berasal dari kata amma–yaummu yang berarti
menuju, menumpu, dan meneladani. Karenanya muncul kata umm berarti ibu dan imam
berarti pemimpin, karena keduanya menjadi teladan, tumpuan pandangan, dan harapan
anggota masyarakat.4 Konsep tradisional tentang ummah tidak selalu berkonotasi religius.
Beberapa penulis tradisional telah serius membedakan antara makna religius dan makna
sosial terma tersebut. Pengertian makna ganda tersebut berdasarkan fakta dimana al-Qur’an
sendiri menggunakannya dengan berbagai kandungan makna yang berbeda. Ummah dapat
bermakna waktu, pola atau metode, atau juga bermakna komunitas. Komunitas tersebut
dimaknai sebagai sebuah komunitas agama secara umum (atau bagian dari sebuah agama)
dimana ia juga menggambarkan beberapa komunitas. Sekarang istilah tersebut dimaknai
dengan komunitas Islam semata. Karena diyakini memiliki kandungan makna religius
daripada makna sosio-historis. Ummah itu sendiri bukanlah bagian dari kebudayaan Islam
partikuler, meski di satu sisi selalu menunjukkan adanya pengaruh kuat budaya Arab. Hal
yang lebih memungkinkan adalah ummah merupakan rumpun kebudayaan masyarakat
Muslim di berbagai tempat yang saling memberikan keharmonisan dan bersifat saling
melengkapi. Kebudayaan Islam trans-kultural ini menyatukan dan melestarikan ummah
tersebut serta menggambarkan kekuasaan dan kualitas-kualitas khusus yang timbul dari
berbagai komponen kebudayaannya yang nyata.

C. Konsep Ummah dalam Sejarah

Dalam sejarahnya terma ummah mengalami banyak eskalasi makna. Dalam periode
klasik contohnya tokoh – tokoh seperti al-Asfahani dan Ibn Taymiyyah mendefinisikan
ummah sebagai istilah bermakna koloni yang memiliki satu kesamaan tujuan.5Alasan yang
melatarbelakanginnya dapat berupa agama, cita – cita, tempat, waktu dan lain sebagainya.
Kemudian pada poin solidaritas agama Ibn Taymiyyah menambahkan kriterianya yaitu
agama Islam. Ibn Taimiyyah mencela solidaritas yang dibangun dengan dasar selain
idealisme, yang dalam istilah Ibn Khaldun disebut ashabiyyah sayyi`ah6
Kemudian pada periode kontemporer, makna ummah menjadi lebih beragam. Ilmuwan
muslim Muhsin al-Araqy berpendapat bahwa ummah memiliki makna ganda. Pertama yaitu
4
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan,
1996), 325.
5
Abu al-Qasim Ibn al-Husain al-Raghib al-Ashfihani, Al-Mufradat fi Gharibi al-Qur’an, Tahqiq: Sofwan
Adnan al-Dawudi, (Beirut: Daru al-Qalam, 1991), hal: 19.
6
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, terj. Franz Rosenthal, (Bollingen Series Princeton
University Press, 1989), hal: 203-206.
makna umum yang berarti sekumpulan manusia dengan tujuan tertentu, 7 Kedua yaitu makna
khusus yang mencaup kelompok manusia dengan keimanan terhadap satu nilai tertentu.
Ditambahkan pula oleh Ali Syariati dalam hal ini yaitu poin kepemimpinan sebagai
struktur8Al-Faruqi sebagaimana pendahulunya menegaskannya sebagai bentuk kesepakatan
dengan mencakup pengetahuan, kehendak, dan tindakan seluruh kaum muslimin. Kata kunci
nya adalah hubungan satu sama lain. Karenanya, muslim diharapkan mampu
mengesampingkan ikatan kesukuan, rasial, dan golongan, serta tidak terbelakang, ekslusif,
dipenuhi prasangka buruk, namun harus terbuka, ilmiah, dan sangat memperhatikan kondisi
masyarakat.9

Dokumen politik yang menggunakan terma ummah dalam rentang sejarah Islam adalah
Piagam Madinah. Eksistensi Piagam Madinah sebagaimana diakui William Montgomery
Watt sebagai otentik. Ia juga menegaskan bahwa dokumen itu merupakan sumber ide yang
mendasari negara Islam pada masa awal pembentukannya. Negara Madinah pimpinan Nabi
itu seperti dikatakan Robert N. Bellah adalah model bagi hubungan antara agama dan Islam.

Dalam piagam Madinah, kata ummah terulang dua kali, yaitu dalam pasal 1 dan pasal
25. Rumusan pengertian ummat oleh Syariati di atas yang sejalan dengan langkah Nabi untuk
mempersatukan umat Islam—sesuai dengan muatan pasal 1 Piagam Madinah, yang isinya
innahum ummatun wâhidah min dûni al-nâs (sesungguhnya mereka adalah umat yang satu,
tidak termasuk golongan lain).

Ketetapan (pasal 1) ini merupakan pernyataan yang mempersatukan orang-orang


mukmin dan muslim yang berasal dari dua golongan besar, Muhajirin dan Anshar, dari
berbagai suku dan golongan sebagai umat yang satu. Dasar yang mengikat mereka adalah
akidah Islam, yang membedakan mereka dari umat lain. Konsep ummah menurut Syari’ati
dan pasal 1 ini bersifat eksklusif, hanya bagi umat Islam. Artinya, segolongan manusia yang
tidak berakidah sama, tidak dapat disebut sebagai umat yang satu. Dengan demikian, konsep
ummah dalam pengertian khusus berlaku di sini.

7
Muhsin al-Araqy, Nazhariyyat al-Hukmi fi al-Islam , (Tt: Majm’ al-Fikri al-Islamiy, 1425 H).
8
Ali Syari’ati, al-Ummah wa al-Imamah, (Teheran: Mu`assah al-Kitab as-Tsaqifah, 1989), hal: 27. Lihat juga:
Abdul Qahir Al-Baghdadi, Al-Farq bain al-Firaq, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 2005), hal: 270.
9
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, terj. Robert M. Z. Lawang, (Jakarta: Gramedia,
1986), hal: 257-258.
Dilihat dari konsep ummah khusus ini, jelas bahwa kedudukan Piagam Madinah
adalah untuk menyatukan suku-suku dalam umat Islam untuk menegakkan hukum Allah. Ini
berarti bahwa bentuk negara yang dibentuk masa Nabi melalui konstitusi Madinah adalah
negara teokrasi, yakniteokrasi Islam.

Ketetapan pada pasal 1 itu tidak berarti menunjukkan bahwa konsep ummah yang
dikehendaki oleh Piagam Madinah adalah umat Islam saja sebab di pasal lain kaum Yahudi
dan sekutunya disebut sebagai anggota umat. Hal ini dibuktikan dalam pasal 25-35. Pasal 25
misalnya yang menyatakan:

“Wa inna Yahûda banî ‘Auf ummatun ma’a al-mu’minîn, lil yahûdi
dînuhum wa lil muslimîn dînuhum, mawâlîhim wa anfusihim illâ man
zhalima wa atsima, fa innahu la yuqi’u illa nafsahu wa ahla baitihi.”

Artinya : “Kaum Yahudi Bani ‘Auf bersama dengan warga yang beriman adalah satu umah.
Kedua belah pihak, kaum Yahudi dan kaum Muslimin, bebas memeluk agama masing-
masing. Demikian pula halnya dengan sekutu dan diri mereka sendiri. Bila di antara mereka
ada yang melakukan aniaya dan dosa dalam hal ini, maka akibatnya akan ditanggung oleh
diri dan warganya”

Dari ketetapan pada pasal 25 (sampai pasal 35) itu dapat dikatakan bahwa organisasi
umat yang dibentuk Nabi bersifat terbuka. Beliau menghimpun semua golongan penduduk
Madinah. Perbedaan keyakinan mereka tidak menjadi alasan untuk tidak bersatu dalam
kehidupan bermasyarakat bernegara. Dalam hal ini berlaku konsep ummah yang bersifat
umum.10
Dari perkataan ummah inilah tercermin paham kebangsaan dan negara yang dalam
konteks teori negara lebih cenderung pada bentuk negara nomokrasi. Walaupun secara
historis istilah state dan nation timbul berabad-abad kemudian, tapi jiwa dan semangatnya
telah tercermin dalam terminologi ummah, suatu istilah yang sangat tepat digunakan
Rasulullah untuk mempersatukan masyarakat Madinah menjadi suatu komunitas dengan
menekankan kerjasama seerat mungkin dari masing-masing warganya demi keamanan dan

Muhammad Latif Fauzi, “Konsep Negara dalam Perspektif Piagam Madinah dan Piagam Jakarta” Al-
10

Mawarid Edisi XIII Tahun 2005, h. 9.


kesejahteraan mereka bersama. Mereka sangat menyadari perlunya hidup bersama di dalam
koeksistensi yang damai

Eksperimen Madinah itu telah menyajikan kepada umat manusia contoh tatanan sosial-
politik yang mengenal pendelegasian wewenang. Artinya wewenang atau kekuasaan tidak
memusat pada satu tangan seperti pada sistem diktatorial, melainkan kepada orang banyak
melalui musyawarah dan kehidupan berkonstitusi (artinya sumber wewenang dan kekuasaan
tidak pada keinginan dan keputusan lisan pribadi, tetapi pada suatu dokumen tertulis yang
prinsip-prinsipnya disepakati bersama. Dalam rangka mewujudkan masyarakat Madinah yang
utuh dan bersatu, diperlukan kerukunan, saling pengertian dan kerjasama di antara tiga
kelompok masyarakat tersebut. Untuk merealisasikan tujuan ini, nabi Muhammad SAW
membuat perjanjian tertulis disebut dengan shahifah yang dapat diterima oleh semua
kelompok sosial yang bercorak majemuk itu.

D. Hubungan Ummah dengan Imamah

Ali Syari’ati memulai konsep imamah dengan terlebih dahulu menerangkan makna
ummah. Ia membandingkan istilah Nation, Qaum, Qabilah dan Sya’b dengan ummah.
Baginya, keempat istilah itu – dengan pengecualian pada istilah qabilah – sama sekali tidak
mengandung arti kemanusiaan yang dinamis
Menurut Ali Syariati secara sosiologis, ia berkeyakinan bahwa ketiadaan Imamah
adalah sumber munculnya problem-problem Ummah, bahkan manusia secara umum. Imam,
menurut Ali Syari’ati adalah hero, idola-insan kamil dan syahid (saksi) yang menuruti
polanya umat manusia menyempurnakan diri. Tanpa pola seperti itu, umat manusia akan
mengalami disorientasi dan alienasi.11 Syari’ati menunjukkan bahwa sepanjang zaman,
masyarakat manusia selalu butuh ,kepada semacam hero atau idola seperti itu untuk
eksistensi dan survive-nya.

Setelah menunjukkan kedudukan Ummah sebagai kelompok manusia yang bergerak


maju bersama-sama menuju satu tujuan kesempurnaan, Syari’ati menunjukkan keharusan
adanya Imamah sebagai pembimbing proses ini. Imam, dalam kerangka ini, bukanlah pelayan
dan administrator kepentingan ummah, melainkan reformer-nya. Ia membimbing dan
membentuk masyarakat menurut ideal manusia, sebagaimana diyakininya, dan bukan
menurut keinginan dan restu orang-orang yang dipimpinnya.
Ali Syari`ati, Al-Ummah wa Al-Imamah, (Teheran: Mu`assasah Al-Kitab Al-Tsaqafiyah, 1989), terj. Afif
11

Muhammad, Ummah dan Imamah (Bandung: Pustaka Hidayah, 1989), h. 17.


Sebagaimana halnya dengan istilah ummah, istilah imamah menampakkan diri dalam
bentuk sikap sempurna, dimana seseorang dipilih sebagai kekuatan penstabilan dan
pendinamisan massa. Penstabilan dalam konsep ini masalahnya adalah menguasai massa
sehingga berada dalam stabilitas dan ketenangan, yang kemudian melindungi mereka dari
ancaman, penyakit dan bahaya. Sedangkan pendinamisan dalam konsep ini masalahnya
berkenaan dengan asas kemajuan dan perubahan ideologis, sosial dan keyakinan serta
menggiring massa dan pemikiran mereka menuju bentuk ideal.

Dengan demikian imamah bukanlah sebuah lembaga yang anggota-anggotanya


menikmati kenyamanan dan kebahagiaan yang mapan, dan bukan pula lembaga yang
melepaskan diri dari kepemimpinan dan tanggung jawab dari persoalan kesejahteraan umat.

E. Kesimpulan

Ummah menjadi menarik dan penting untuk dikaji karena ia menggambarkan


bagaimana pandangan Islam mengenai persoalan politik. Terminologi ummah dalam dalam
sejarah agama islam yang mana tertulis dalam piagam madinah menjadi dokumen politik
penting yang menunjang perkembangan ilmu pengetahuan dan memunculkan teori – teori
baru tentang bagaimana komunitas yang di atur dalam sebuah sistem. Makna ummah tidak
hanya ditujukan kepada manusia semata, tetapi bisa lebih khusus daripada itu. Penyebutan
ummah juga dapat ditujukan kepada sebuah sekumpulan orang, agama, tempat, maupun
segerombolan burung.

Sedangkan mengenai hubungannya dengan imamah, persoalan ummah dipandang


muncul akibat tiadanya seorang imam yang diartikan sebagai seorang reformis yang bertugas
membentuk masyarakat ideal berdasar atas keyakinan dirinya. Seorang imam dihadirkan
untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih maju dalam pemikiran dan keadaan sosial,
serta menjaga stabilitas dari kedinamisan masyarakat tersebut

DAFTAR PUSTAKA

Rahardjo, Dawam. 1996. Ensiklopedia Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep Kunci.
Jakarta: Paramadina.
Shihab, M. Quraish. 1996. Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan
Umat. Bandung: Mizan.
Fauzi, Muhammad Latif. 2005. Konsep Negara dalam Perspektif Piagam Madinah dan
Piagam Jakarta, Al-Mawarid Edisi XIII
Syari’ati, Ali. 1998. Ummah dan Imamah, Teheran: Mu`assasah Al-Kitab Al-Tsaqafioyah,.
al-Araqy, Muhsin. 1425 H. Nazhariyyat al-Hukmi fi al-Islam. Tt: Majm’ al-Fikri al-Islamiy.
Khaldun, Ibn. 1989. The Muqaddimah: An Introduction to History, terj. Franz Rosenthal.
Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, terj. Robert M. Z. Lawang,
Jakarta: Gramedia

Anda mungkin juga menyukai