Anda di halaman 1dari 5

Ragatiyas Adri Pradana

11171120000057
Kajian Politik Kontemporer 5/B

Al-Jihad

Pengertian dan Makna Jihad


Secara etimologi, kata Jihad berakar dari kata Juhd yang berarti ”kekuatan” atau
“kemampuan”, dan makna Jihad sendiri yaitu “perjuangan”.1 Sedangkan Hilmy Bakar
berpendapat kata Jihad berasal dari kata jahada-yajhadu-jahdan/juhdan, yang diartikan sebagai
ath-thaqah (kesungguhan), mashaqqah (kekuatan), dan mubalaqah (kelapangan). Secara
terminologis Sulaiman Rajid menjelaskan bahwa jihad artinya peperangan terhadap
kafir yang dipandang musuh, untuk membela agama Allah (li’ilai kalimatillah). Tujuan dari
perang yang menjadi pokok adalah untuk membela, memelihara, dan menjunjung tinggi agama
Allah. Islam mengizinkan berperang dengan menentukan sebab-sebab dan maksud yang dituju
dari peperangan itu, yaitu untuk menolak kezaliman, menghormati tempat-tempat ibadah,
menjamin kemerdekaan bertanah air, menghilangkan fitnah, dan menjamin kebebasan setiap
orang yang memeluk dan menjalankan agama. 2 Pun, ada pula beberapa ulama yang
mendefinisikan Jihad sebagai “pengerahan segala kemampuan dan kekuatan berperang di jalan
Allah dengan mempertaruhkan nyawa, atau dengan memberikan bantuan berupa harta, atau
bahkan dengan sekadar pendapat, ucapan, atau dengan memberikan bekal untuk mereka yang
berperang”.3 Jihad mempunyai ketentuan hukum yang pasti dan sasaran yang jelas, sebab
syari’at jihad itu datang dari Zat Yang Maha Mengetahui. Oleh karena itu, selama yang
memerintah adalah Yang Maha Bijaksana, tentu hikmah dan kemaslahatannya pasti ada dan
benar, serta tak bisa dipungkiri lagi. Bagi setiap muslim yang bear, tentu senantiasa menuntut
hikmah jihad. Merupakan tuntutan ubudiyyah (pengabdian) bahwa seorang hamba akan
senantiasa melaksanakan perintah Rabbnya, baik ia mengetahui hikmahnya atau tidak. 4
Mengetahui hikmah dapat menguatkan niat dan semangta, mempertajam cita-cita, dan
mempermudah pelaksanaan perintah tersebut. Hikmah dan maslahatan yang berkenaan dengan
itu mengharuskan kita kembali kepada apa yang dipertintahkan Allah, yaitu kembali kepada
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Dari kedua sumber itulah diambil hikmah sasaran-sasaran
dan tujuan jihad.

Jenis-jenis Jihad

1
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: al-Munawwir, 1984), h. 234
2
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2014), h. 447
3
Yusuf Al-Qaradhawi, Fikih Jihaad, (Jakarta: Maktabah Wahbah, 2011), h. 39
4
Ali bin Nafayyi, Tujuan dan Sasaran Jihad, (Jakarta: Gema Insani Press, 1993), h. 23
Ali Yasir membagi Jihad menjadi 3 jenis, antara lain5:
1. Jihad Akbar
Jihad akbar merupakan jihad terbesar yakni melawan hawa nafsu, nafsu merupakan
karunia ilahi tetapi banyak manusia yang menyalahgunakan hawa nafsunya. Hawa nafsu
sendiri bisa berupa kebaikan dan keburukan tergantung manusia itu sendiri yang
mengkontrol dirinya sendiri. Al-Qur’an telah menjelaskan hawa nafsu yang tidak
dipersembahkan kepada Allah sebagai berikut:
“Apakah engkau melihat orang yang mengambil keinginan rendahnya sebagai tuhannya, dan Allah
membiarkannya dalam kesesatan dan pengetahuan, dan Ia menyegel pendengarannya dan hatinya, dan Ia
meletakkan penutup, dan pengli- hatannya? Lalu siapakah yang dapat memberi petunjuk kepadanya selain
Allah? Apakah kamu tak memperhatikan? Dan mereka berkata: tak ada apa-apa lagi se- lain hidup kami di
dunia; kami mati dan kami hidup, dan tiada yang membina- sakan kami selain waktu, dan mereka tak
mempunyai pengetahuan tentang itu; mereka hanyalah mengira.” (Al-Jatsiyah 45:23-24)

Berdasarkan ayat tersebut, apabila manusia tidak memberikan nafsunya atas nama Allah
pasti mengikuti keinginan rendahnya, keinginan rendahnya inilah yang disebut hawa nafsu.
Perwujudan dari hawa nafsu inilah yang berupa kerakusan, keegoisan, sombong, suka
bertengkar, kikir, dengki, pendendam dan lain sebagainya. Manusia yang dalam keadaan
seperti itu tujuan hidupnya hanyalah dunia saja. Maka dari itu untuk mencapai surga-Nya
manusia seharusnya bisa menahan hawa nafsunya dari keinginan rendahnya dan segala
keputusan dalam hidupnya diambil atas dasar Allah Swt.
2. Jihad Kabir
Jihad jenis ini adalah Jihad Besar, dengan kata lain melakukan penyebarluasan ajaran al-
Qur’an kepada kaum Kafir. Jihad jenis ini harus dilakukan oleh setiap umat Islam dalam
keadaan apapun, sebagaimana disebutkan dalam wahyu Allah Swt yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad Saw dalam Q.S. al-Alaq, sebagai berikut:
“Bacalah dengan nama Tuhan dikau yang menciptakan, Yang menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, dan Tuhan dikau adalah Yang paling Murah hati, Yang mengajarkan (menulis kepada manusia)
dengan pena, Yang mengajarkan kepada manusia kepada manusia apa yang ia tak tahu.”

Ayat-ayat tersebut di atas mengisyaratkan betapa pentingnya muballigh yang


menyampaikan ajaran Qur’an Suci. Dari wahyu pertama dan kedua tersebut di atas
menunjukkan dengan jelas bahwa untuk menyebar luas kan ajaran Islam (Quran Suci)
diperlukan muballigh yang pandai membaca, menulis dan berilmu serta luhur akhlaknya dan
suci rohaninya. Untuk memelihara dan mengembangkan itu orang harus banyak menjalankan
salat pada waktu malam tanpa mengurangi keasyikan bekerja pada waktu siang hari.
3. Jihad Ashghar
Jihad jenis ini merupakan jenis kecil yang paling rendah nilainya, dalam bidang agama yaitu
Jihad dengan senjata mempertahankan agama. Jihad jenis ini hanya boleh dilakukan jika seorang
Muslim memenuhi pra-syarat sebagai berikut: (1) diserang oleh orang-orang Kafir, (2) dianiaya
oleh orang-orang Kafir, (3) diusir dari kampung halaman tanpa alasan yang benar, kecuali karena
5
S. Ali Yasir, Jihad Masa Kini, (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 2005), h. 18-21
mengucapkan (dengan yakin mengucapkan) tiada Tuhan selain Allah, (4) merajalelanya
penindasan atau fitnah terhadap agama. Sama seperti ibadah salat, zakat, puasa, haji dan
sebagainya baru wajib dikerjakan jika telah lengkap syarat-syaratnya, begitu pula Jihad jenis ini.
Pelaksanaan ibadah yang tidak lengkap syarat-syaratnya, ibadah itu tidak syah. Demikian pula
jihad ash- ghar, jika syarat-syarat yang ditetapkan dalam Al-Qur’an surat Hajj 22:39- 40 dan
surat Al-Baqarah 2:190-193 telah lengkap, maka wajib dikerjakan sebagaimana telah
dicontohkan Nabi Suci dan para sahabatnya.
Secara historis, fase Jihad Rasulullah terbagi menjadi dua fase; fase saat di Madinah dan di
Mekkah. Setiap fase memiliki watak dan bentuk masing-masing. Jihad fase Makkah berfokus
pada cara membentuk pribadi muslim secara utuh dan mengokohkannya untuk menghadapi
gelombang tantangan yang dilancarkan kaum kafir Quraisy.6 Garis-garis besar jihad pada fase
Makkah yaitu: Pertama, menguatkan akidah. Kedua, memantapkan bahwa al-Qur’an adalah
wahyu dari Allah. Ketiga, menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah Nabi terakhir.
Keempat, menanamkan keimanan terhadap hari kebangkitan. Tahap-tahap ini dilakukan oleh
Rasulullah karena perlawanan yang dilakukan kaum kafir Quraisy terutama dalam dimensi
teologis ini. Untuk memantapkan jihad di fase ini, dakwah Islam menentukan cara-cara yang
berfokus pada tiga hal. Pertama, mengarahkan risalah atau misi dakwah untuk menghadapi para
tokoh kekufuran. Kedua, memberikan teladan yang baik, dan ketiga, berusaha menampilkan
eksistensi dakwah di hadapan musuh dengan cara lapang dada untuk memberi maaf dan
menguatkan kesabaran. ketika fase Makkah berakhir, dakwah di Madinah sudah memiliki
pendukung inti yaitu para sahabat yang ikut Bai’at Aqabah II, sehingga jihad pada fase Madinah
tidak lagi hanya mengarah pada kesabaran dalam menanggung beban perjuangan, tetapi sudah di
syari’atkan berupa peperangan fisik. Jihad dengan cara ini sudah pasti memerlukan persiapan
yang sangat besar, terutama yang berkaitan dengan pembentukan kekuatan sosial berupa
masyarakat Islam yang kokoh. Dengan begitu, Islam terlebih dahulu memberikan kesempatan
kepada kaum yang ingin memusuhinya untuk melihat, memperhitungkan dan menentukan sikap
terhadap komunitas baru ini.
Pada fase ini, ada beragam cara jihad yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Kadang-
kadang Rasulullah mengambil jalan diplomasi dengan cara mengirim duta ke berbagai negara.
Terkadang pula Rasulullah mengambil cara perang (qital) yang terdiri dari tiga bentuk: Pertama,
6
Muhammad Chirzin, Jihad dalam al-Qur’an: Telaah Normatif, Historis, Historis, dan Prospektif, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997), h. 71-73
qital ta’diby, yaitu perang untuk memberikan pelajaran kepada musuh-musuh yang melanggar
perjanjian damai. Kedua, qital difa’ay, yaitu perang untuk mempertahankan diri dari serangan
musuh. Ketiga, qital wiqa’aiy, yaitu perang preventif untuk melemahkan kekuatan musuh yang
menyerang sebelum mereka menjadi kuat. Apabila tugas perang ini telah ditunjuk oleh orang-
orang yang sudah ditentukan misalnya tentara maka gugurlah kewajiban bagi yang lainnya.
Wahab Khallaf menjelaskan bahwa perang merupakan strategi pengecualian yang disebabkan
karena menolak permusuhan yang ditujukan kepada kaum muslimin dan menutup fitahy yang
ditimbulkan musuh-musuh Islam ke tengah-tengah mereka. Walaupun perang diizinkan, namun
harus dengan etika dan perang. Oleh karena itu, dalam perang kita dilarang untuk membunuh
wanita atau anak-anak, menghancurkan sarana umum di rumah ibadah, menghancurkan sumber-
sumber ekonomi seperti pertanian, perkebunan atau pertambangan serta dilarang membunuh
orang-orang yang sedang melakukan ibadah. Dalam era ini, jihad harus diartikan dan dimulai
dengan persiapan antara lain personil militer yang tangguh dan peralatan perang yang canggih

Rukun-rukun Jihad
Adapun Ali Imran memaparkan rukun-rukun Jihad sebagai berikut7:
1. Niat yang baik
Niat ikhlas karena Allah semata adalah salah satu syarat diterimanya sauatu amal. Maka
niat dalam jihad harus dimaksudkan hanya untuk meninggikan kalimat Allah saja.
2. Di bawah seorang Imam
Jihad wajib dilaksanakan di bawah kepemimpinan seorang imam (pemimpin) yang
Muslim, di bawah panji dan atas izinnya. Hal ini sebagaimana diharuskannya kaum
Muslimin untuk hidup di bawah imam (pemimpin), baik mereka dalam jumlah sedikit
ataupun banyak. Mereka tidak boleh melaksanakan jihad tanpa imam, tidak di bawah
benderanya, dan tanpa izinnya.
3. I’dad

7
Ali Imron, Ali Imron Sang Pengebom, (Jakarta: Republika, 2007), h. 182-183
I’dad adalah menyiapkan apa saja yang diperlukan dalam jihad, misalnya senjata,
perlengkapan perang, mempersiapkan pasukan, dan melatih mereka dengan mengerahkan
segala kemampuan.
4. Restu orang tua
Orang yang akan berangkat berjihad harus atas restu dan izin kedua orang tuanya atau
salah satu dari keduanya. Kecuali jika musuh menyerang salah satu daerah (desa atau kota)
kaum Muslimin atau imam menyuruh (menunjuk) seseorang untuk berangkat berjihad, makai
zin kepada orang tua menjadi gugur, karena dalam dua keadaan tersebut jihad telah menjadi
fardhu’ain.
5. Patuh kepada Imam
Sebagaimana wajibnya berjihad di bawah imam (pemimpin), maka wajib pula dalam
berjihad patuh kepadanya.

Anda mungkin juga menyukai