Anda di halaman 1dari 9

ANALISIS PROFESI POLISI SYARIAH

DI INDONESIA

DISUSUN OLEH :

Aditya Aji Prabhawa 041611333230

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan
kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat


sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis
mampu untuk menyelesaikan pembuatan dengan judul “ANALISIS
PROFESI POLISI SYARIAH DI INDONESIA”.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk
itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah
ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik
lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya


kepada guru Bahasa Indonesia kami yang telah membimbing dalam menulis
makalah ini.

ii
DAFTAR ISI

COVER……………………………………………………………………i

KATA PENGANTAR……………………………………………………ii

DAFTAR ISI……………………………………………………………...iii

BAB I………………………………………………………………….……1

BAB II…………………………………………………………………...…2

BAB III………………………………………………………….…....……5

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………..……6

iii
I. BAB I
II.
III. Definisi Polisi
IV.
Polisi adalah organisasi yang memiliki fungsi sangat luas sekali. Polisi
dan Kepolisian sudah sangat dikenal pada abad ke-6 sebagai aparat negara
dengan kewenangannya yang mencerminkan suatu kekuasaan yang luas menjadi
penjaga tiranianisme, sehingga mempunyai citra simbol penguasa tirani.
Sedemikian rupa citra polisi dan kepolisian pada masa itu maka negara yang
bersangkutan dinamakan “negara polisi” dan dalam sejarah ketatanegaraan
pernah dikenal suatu negara “Politeia”. Pada masa kejayaan ekspansionisme dan
imprealisme dimana kekuasaan pemerintah meminjam tangan polisi dan
kepolisian untuk menjalankan tugas tangan besi melakukan penindasan terhadap
rakyat pribumi untuk kepentingan pemerasan tenaga manusia, keadaan ini
menimbulkan citra buruk
Kepolisian Negara Republik Indonesia atau yang sering di singkat
dengan Polri dalam kaitannya dengan pemerintah adalah salah satu fungsi
pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan pada
masyarakat. Bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang
meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan
tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
masyarakat, serta terciptanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung
tinggi hak azasi manusia hal ini terdapat dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor
2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia
Sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata polisi
adalah : Suatu badan yang bertugas memelihara keamanan, ketentraman, dan
ketertiban umum (menangkap orang yang melanggar hukum), merupakan suatu
anggota badan pemerintah (pegawai Negara yang bertugas menjaga keamanan
dan ketertiban)

1
Identitas polisi sebagai abdi hukum itu memang seharusnya demikian,
Polisi yang memberikan pengabdian, perlindungan, penerang masyarakat serta
berjuang mengamakan dan mempertahankan kemerdekaan dan mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur dengan semangat tri brata serta jiwa yang
besar.

V. BAB II
VI.
VII. Polisi Dalam Perspektif Islam
VIII.
Hukuman bagi pencuri adalah dipotong tangannya apabila telah memenuhi
syarat-syaratnya berdasarkan dalil Al Qur’an, hadits dan ijma. Allah berfirman:

‫ﷲِ َو ﱠ‬
‫ﷲُ َﻋِﺰﯾٌﺰ َﺣِﻜﻲ‬ ‫ﺴَﺒﺎ َﻧَﻜﺎًﻻ ِﻣَﻦ ﱠ‬
َ ‫ﻄُﻌﻮا َأْﯾِﺪَﯾﮭَُﻤﺎ َﺟَﺰاًء ِﺑَﻤﺎ َﻛ‬
َ ‫ﺴﺎِرَﻗﺔُ َﻓﺎْﻗ‬ ُ ‫ﺴﺎِر‬
‫ق َواﻟ ﱠ‬ ‫َواﻟ ﱠ‬.

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan


keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
(QS. Al Maidah: 38).

Kata polisi atau aparat keamanan dalam bahasa Arab disebutSyurtoh/syurthi.


Lafaz ini sudah dikenal sejak zaman nabi Muhammad -shallallahu alaihi
wasallam-. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik di
dalam Shohih Bukhori :

َ ‫ﺸَﺮِط ِﻣَﻦ ا‬
‫ﻷِﻣﯿِﺮ‬ ‫ﺐ اﻟ ﱡ‬ َ ‫ ِﺑَﻤْﻨِﺰَﻟِﺔ‬،‫ﺳﻠﱠَﻢ‬
ِ ‫ﺻﺎِﺣ‬ َ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋَﻠْﯿِﮫ َو‬
َ ‫ي اﻟﻨﱠِﺒﱢﻲ‬
ِ ‫ﺳْﻌٍﺪ َﻛﺎَن َﯾُﻜﻮُن َﺑْﯿَﻦ َﯾَﺪ‬ َ ‫ِإﱠن َﻗْﯿ‬
َ ‫ﺲ ْﺑَﻦ‬

Artinya : “Sesungguhnya Qais bin Sa’ad berada di sisi Nabi SAW seperti kepala
polisi di sisi pemimpin (raja).” (HR Bukhori)

kata syurthoh yang disebutkan di dalam hadits di atas dalam


kamus lisanul Arab ada begitu banyak makna dari kata tersebut, di antaranya

2
adalah kaki tangan penguasa, mereka dinamakan syurthoh, karena mereka
mereka memiliki ciri khusus yang dengannya mereka dapat
diidentifikasi. (Lisanul Arab 7/39)
Adapun secara Istilah makna syurthoh adalah aparat yang diandalkan
oleh khalifah atau gubernur dalam menjaga keamanan dan pemerintahan,
menangkap pelaku kriminal dan tugas-tugas administratif lainnya yang
menjamin keamanan dan ketentraman rakyat. (Tarikhul Islam As Siyasi wad
Dini wa Tsaqofi wal Ijtima’i 1/460)
Di dalam Ma’atsirul Inafah fi Ma’alimil Khilafah juga disebutkan bahwa tugas
polisi adalah membungkam orang bodoh, membuat jera orang sesat, menyelidiki
orang jahat, mengejar pelaku kriminal, mencari tempat persembunyian mereka,
menyelidiki rahasia mereka, melakukan pembuktian terhadap orang-orang yang
mereka tangkap, menerapkan hukum-hukum Allah yang sesuai dengan
pelanggaran yang mereka lakukan. (Maatsirul Inafah fi Ma’alimil Khilafah 3/23)

IX. Polisi Syariah di Indonesia

Polisi Syariah tidak bisa dilepaskan dari sejarah Aceh dan identitas ke-
Islamannya. Dalam profil Polisi Syariah Provinsi Aceh, disebutkan bahwa pada
awalnya, tuntutan tentang pelaksanaan Syariat Islam telah ada sejak negara
Indonesia ini terbentuk. Diawali dari masa Orde Lama, permintaan kepada
pemerintah pusat agar diberikan kewenangan untuk melaksanakan Syariat Islam
pernah dilakukan; namun tidak dipenuhi. Lahirnya DI-TII di Aceh sendiri adalah
manifestasi kekecewaan dari masyarakat Aceh terhadap penolakan tersebut.
Pada akhirnya, pada masa Orde Baru, Aceh diberikan keistimewaan dalam
bidang agama, pendidikan, dan adat istiadat.
Pada perkembangan selanjutnya, pasca perjanjian Helsinki, lahirlah
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 atau Undang-Undang Pemerintahan
Aceh (UUPA). Dalam pasal 244 ayat (1) disebutkan bahwa “Gubernur, Bupati/
Walikota dalam menegakkan ketertiban dan ketentraman umum dapat
membentuk Polisi Pamong Praja”, sedangkan dalam ayat (2) disebutkan bahwa
“Gubernur, Bupati/walikota dalam menegakkan Qanun Syariah dapat
membentuk Polisi Wilayatul Hisbah sebagai bagian dari Polisi Pamong Praja”.

3
Akhirnya, Pemerintah Aceh membuat Peraturan Gubernur Nomor 47 Tahun
2008 tentang Tugas Pokok dan Fungsi Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul
Hisbah Provinsi Aceh. Berdasarkan ketentuan tersebut, cukup jelas bahwa
Wilayatul Hisbah merupakan bagian dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol
PP), sebagai lembaga yang menegakkan Qanun Gubernur, Bupati/ Walikota di
wilayah Pemerintahan Aceh dalam penyelenggaraan ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat, serta pelaksanaan Syariat Islam. Adapun pengertian
dari Wilayatul Hisbah secara etimologis berasal dari bahasa arab yang terdiri
dari dua suku kata yaitu “wilayah” dan “hisbah”. Ramzi Murziqin (2010: 14-7)
menguraikannya dengan panjang lebar bahwa arti wilayah yakni lembaga yang
diberi wewenang dan tanggung jawab oleh negara, untuk melaksanakan tugas
kenegaraan tertentu sesuai dengan bidang tertentu. Dalam politik Islam, istilah
wilayah bermakna wewenang dan kekuasaan, yang dimiliki oleh institusi
pemerintahan untuk menegakkan jihad, keadilan, hudud, melakukan amar
ma’ruf nahi mungkar, serta menolong pihak yang teraniaya.
Adapun tugas Polisi Syariah atau Polisi Wilayatul Hisbah Provinsi Aceh
berdasarkan Qanun Nomor 5 Tahun 2007 Pasal 203 yakni memelihara dan
menyelenggarakan ketenteraman dan ketertiban umum, menegakkan Peraturan
Daerah (Qanun), Peraturan Gubernur, Keputusan Gubernur, melakukan
sosialisasi, pengawasan, pembinaan, penyidikan, dan pelaksanaan hukuman
dalam lingkup peraturan perundangundangan di bidang Syariat Islam.

Qanun-qanun yang terkait dengan ranah kewenangan Polisi Syariah antara lain:

1. Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan Syariat Islam bidang


Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam.
2. Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang minuman Khamar (minuman keras)
dan sejenisnya.
3. Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (perjudian).
4. Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (mesum).
5. Qanun Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat.
6. Qanun Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat.

4
BAB III

Kehadiran Polisi Syariah telah membangun tesis bahwa policing function di


Indonesia merupakan sesuatu yang sulit, kompleks, dan bermasalah, tetapi penting
bagi keberlangsungan hidup demokrasi. Tuntutan demokrasi melalui wajah
desentralisasi dengan wujud implementasi otonomi khusus secara tidak langsung
berbenturan dengan tuntutan human security. Kekuatan nilai lokalitas telah
mengajak kita untuk mendiskusikan kembali konsepsi keamanan yang selama ini
cenderung untuk dipaksakan setara dan sama secara global. Sementara agama dan
adat adalah konsep penegakan hukum yang dipahami dan dijunjung tinggi dalam
masyarakat lokal, meskipun dapat dimanipulasi untuk kepentingan rezim di daerah.
Disisi lain, bentuk community policing yang ada merupakan interaksi substansial
antara karakteristik masyarakat dan bagaimana cara hal itu diawasi. Terdapat
variasi secara “alamiah” (indigenous) sebagai karakteristik masyarakat, yang
berasal dari nilai (agama dan adat). Ada juga variasi dalam keputusan yang dibuat
oleh pemerintah (rezim) yang memengaruhi karakteristik pemolisian dalam kasus
Polisi Syariah. Dari dua hal inilah keamanan ditujukan. Oleh karena itu, penulis
menyebut kasus ini sebagai indigenously policing. Kalaupun dianalisis lebih jauh,
antara paradigma dan aktualisasi dari Polisi Syariah dapat disimpulkan bahwa dua hal
tersebut tidak bersinergi. Dibutuhkan studi yang lebih spesifik kedepannya untuk
menemukan dualisme pemolisian dan kontrol sosial dalam kasus Polisi Syariah, serta isu-
isu politik dan kelas yang terkait dalam penegakan Syariat Islam di Aceh. Sebagai
kesimpulan awal, Aceh adalah sebuah simbiosis dan konsensus antara “negara Islam” dan
“Islam populer ” untuk menjelaskan lembaga Polisi Syariah dalam proses penegakan
hukum Syariah. Singkatnya, keamanan dalam masyarakat Aceh sangat mengakar kuat
dalam sejarah dan politiknya, yang keberadaannya saat ini tergantung pada banyak
toleransi dan pengertian.

5
DAFTAR PUSTAKA

Tafsîr al-Qur`ânil-‘Azhîm, Imam Ibnu Katsîr.


Shahîh al-Jami’ish-Shaghir, Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni, al-Maktab al-
Islami, Cetakan Ketiga, Tahun 1410 H – 1990.
Diriwayatkan oleh ath-Thabrâni dalam al-Kabir (XII/13443). Lihat Shahîh al-Jâmi’
(2494).
Rappler. (2015). Syariat Islam di Aceh: HRW sebut penerapannya langgar HAM
(Online), (http. rappler.com/world/regions/asia-pacific/ indonesia/84749-kontroversi-
syariat-islam- di-aceh)
Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas,
Lembaga Teknis Daerah, dan Lembaga Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Anda mungkin juga menyukai