Anda di halaman 1dari 82

TUGAS INDIVIDU

“Asuhan Keperawatan dengan Infeksi Oportunistik (HIV/AIDS)”

DOSEN PEMBIMBING

H. Syafril, S.Kep, Ns, M.Kes

OLEH

Nama : Reski Nurul Afifah


Nim : A.18.10.052
Kelas : B

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
PANRITA HUSADA BULUKUMBA
T.A 2020/2021
KATA PENGANTAR
 
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas

rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul

“Asuhan Keperawatan dengan Infeksi Oportunistik (HIV/AIDS)”

tepat pada waktunya. Dalam penulisan makalah ini penulis merasa masih

banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun

materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki. Untuk itu kritik dan

saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan

pembuatan makalah ini.

Dalam penyusunan makalah ini penulis menyampaikan ucapan

terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan

makalah ini, khususnya kepada:

1.Pak H. Syafril, S.Kep, Ns, M.Kes selaku dosen pembimbing kami.

2.Orangtua dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu,

yang telah memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini.

Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca, Sekian penulis

sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu, semoga

Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita, Amin.

Bulukumba, April 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL

KATA PENGANTAR .........................................................................................i

DAFTAR ISI…....................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang....................................................................................1

B. Rumusan Masalah................................................................................3

C. Tujuan Penulisan..................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN

A. Defenisi ...............................................................................................5

B. Jenis-jenis Infeksi Oportunistik ..........................................................6

C. Kondisi yang Rentan Mengalami Infeksi Oportunistik ......................8

D. Akibat dari Infeksi Oportunistik .........................................................9

E. Manifestasi Klinik AIDS ....................................................................9

F. Epidemiologi Infeksi Oportunistik pada Penderita HIV ....................10

G. Patogenesis Infeksi Oportunistik pada Penderita HIV........................11

H. Infeksi Oportunistik yang Sering Terjadi Pada Penderita AIDS .......15

I. Penatalaksanaan ..................................................................................16

J. Pencegahan .........................................................................................19

K. Pemeriksaan Diagnostik .....................................................................20

ii
L. Pencegahan dan Penatalaksanaan Spesifik Infeksi Oportunistik yang

Tersering pada Penderita HIV di Indonesia .......................................22

BAB III ASKEP DENGAN INFEKSI OPORTUNISTIK (HIV/AIDS)

A. Pengakajian .........................................................................................40

B. Diagnosa Keperawatan ........................................................................44

C. Intervensi dan Luaran Keperawatan ....................................................48

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan..........................................................................................76

B. Saran....................................................................................................77

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyebaran infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)

semakin meningkat dan menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia.

World Health Organization (WHO) memperkirakan sebanyak 36,9 juta

orang di dunia terinfeksi virus ini pada tahun 2014 dengan 2 juta infeksi

baru setiap tahunnya. Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

melaporkan jumlah kumulatif infeksi HIV di Indonesia dari tahun 1987

hingga September 2014 mencapai 150.296 kasus, dengan 22.869 kasus

baru pada tahun 2014. Bali menempati urutan kelima dengan 9.637 kasus

kumulatif, yang sebagian terdata dari Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah

sebanyak 2.965 kasus mulai tahun 2004 hingga 2014 dengan 304 kasus

baru pada tahun 2014.

Perjalanan alami infeksi HIV yang tidak diterapi

menyebabkan penurunan imunitas pejamu berkelanjutan hingga

menimbulkan infeksi oportunistik (IO) yang menandakan terjadinya

acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). Data Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia melaporkan jumlah kumulatif penderita

AIDS di Indonesia dari tahun 1987 hingga September 2014 mencapai

55.799, atau sekitar 36,7% dari keseluruhan kasus HIV. Infeksi

oportunistik dideskripsikan sebagai infeksi yang mengalami peningkatan

1
frekuensi dan keparahan pada individu dengan HIV/AIDS. Infeksi ini

disebabkan oleh patogen yang tidak bersifat invasif pada orang sehat,

namun dapat menyerang tubuh apabila sistem imunitas menurun.

Jenis patogen penyebab IO bervariasi pada masing-masing

wilayah. Penelitian di India mendapatkan bahwa secara umum kandidiasis

orofaringeal, tuberkulosis (TB) dan diare oleh kriptosporidia merupakan

IO yang tersering. Hal yang serupa juga didapatkan di Indonesia. Laporan

Surveilans AIDS Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 1987

sampai dengan 2009 mendapatkan bahwa IO yang terbanyak adalah TB,

diare kronis dan kandidiasis orofaringeal. Penelitian di Rumah Sakit

Umum Daerah Wangaya Denpasar Bali pada tahun 2014 yang

mendapatkan IO tersering adalah TB, Toksoplasmosis, kandidiasis oral,

IO multipel dan pneumonia.

Infeksi oportunistik merupakan penyebab utama morbiditas

dan mortalitas pasien dengan HIV/AIDS. Sistem imun yang sangat rendah

dapat menyebabkan IO berakhir dengan kematian kecuali mendapat terapi

adekuat. Penatalaksanaan terhadap IO yang paling bermakna adalah terapi

antiretroviral (antiretroviral therapy/ART) di samping terapi antimikrobial

spesifik untuk IO. Angka kejadian IO menurun drastis sejak

diperkenalkannya ART pada tahun 1996 dan diimplementasikannya

profilaksis IO pada pertengahan tahun 1990, sehingga meningkatkan

harapan dan kualitas hidup penderita HIV. Pemberian ART di sisi lain

juga berpotensi menimbulkan immune reconstitution inflammatory

2
syndrome (IRIS) atau sindrom pulih imun yang berkaitan dengan beban

penyakit yang lebih berat sehingga perlu dipertimbangkan dalam

menentukan dimulainya rejimen ART.

Berdasarkan data tersebut, mengetahui strategi dalam

pencegahan dan penatalaksanaan IO merupakan hal yang penting dalam

menangani kasus HIV/AIDS. Tinjauan pustaka ini akan membahas

mengenai pathogenesis, pencegahan dan penatalaksanaan IO yang sering

dijumpai di negara berkembang, khususnya di Indonesia, serta

pertimbangan pemberian ART pada IO. Diharapkan tinjauan pustaka ini

dapat menambah wawasan serta mengoptimalkan penanganan pasien

dengan HIV/AIDS.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah yang

kami dapat yaitu:

1. Apa pengertian dari Infeksi Oportunistik (IO) dan HIV/AIDS?

2. Bagaimana Jenis-jenis dari Infeksi Oportunistik (IO)?

3. Bagaimana asuhan keperawatan (intervensi) dengan Infeksi

Oportunistik (IO) pada penyakit HIV/AIDS?

3
C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian Infeksi Oportunistik (IO) dan

HIV/AIDS.

2. Untuk mengetahui jenis-jenis dari Infeksi Oportunistik (IO).

3. Untuk mengetahui asuhan keperawatan (intervensi) dengan Infeksi

Oportunistik (IO) pada HIV/AIDS.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi

Infeksi Oportunistik adalah infeksi yang disebabkan oleh

organisme yang biasanya tidak menyebabkan penyakit pada orang

dengan sistem kekebalan tubuh yang normal, tetapi dapat menyerang

orang dengan sistem kekebalan tubuh yang buruk. HIV ( Human

immunodeficiency Virus ) adalah virus pada manusia yang menyerang

system kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka waktu yang relatif

lama dapat menyebabkan AIDS, sedangkan AIDS sendiri adalah suatu

sindroma penyakit yang muncul secara kompleks dalam waktu relatif

lama karena penurunan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh

infeksi HIV.

Infeksi oportunistik adalah infeksi oleh patogen yang biasanya

tidak bersifat invasif namun dapat menyerang tubuh saat kekebalan tubuh

menurun, seperti pada orang yang terinfeksi HIV/AIDS. Infeksi ini dapat

ditimbulkan oleh patogen yang berasal dari luar tubuh (seperti bakteri,

jamur, virus atau protozoa), maupun oleh mikrobiota sudah ada dalam

tubuh manusia namun dalam keadaan normal terkendali oleh sistem imun

(seperti flora normal usus). Penurunan sistem imun berperan sebagai

“oportuniti” atau kesempatan bagi patogen tersebut untuk menimbulkan

manifestasi penyakit.

5
B. Jenis-jenis Infeksi Oportunistik

Berikut ini adalah beberapa jenis infeksi oportunistik yang umum terjadi:

1. Candidiasis

Candidiasis merupakan infeksi yang disebabkan oleh

jamur Candida yang bisa muncul di bagian tubuh mana pun. Orang

dengan infeksi HIV sering mengalami candidiasis, terutama di mulut

dan vagina.

2. Pneumonia

Pneumonia adalah infeksi oportunistik yang paling serius

bagi penderita HIV. Infeksi pneumonia yang biasa terjadi pada

penderita HIV adalah Pneumocystis pneumonia (PCP) yang dapat

diobati dengan antibiotik.

3. Kanker serviks invasif

Kanker ini dimulai di dalam leher rahim (serviks), yang

kemudian menyebar ke bagian tubuh lainnya. Kemunculan kanker ini

bisa dideteksi secara dini dan segera ditangani bila dilakukan

pemeriksaan skrining secara rutin, yaitu dengan Pap smear.

4. Cryptosporidiosis

Cryptosporidiosis adalah infeksi pada saluran cerna yang

disebabkan oleh parasit Criptosporidium. Penyakit ini mengakibatkan

diare dengan feses yang cair. Pada penderita HIV, penyakit ini bisa

bertahan lebih lama dan menyebabkan gejala yang lebih parah.

6
5. Herpes simpleks

Infeksi virus ini dapat menyebabkan munculnya gelembung

kecil dan luka yang khas di sekitar mulut dan alat kelamin. Herpes

simpleks bisa menular lewat hubungan seksual, bisa juga menular dari

ibu ke bayinya melalui proses persalinan. Selain di mulut dan kelamin,

infeksi ini juga dapat menyerang saluran napas. Orang yang daya tahan

tubuhnya lemah lebih mudah terkena herpes simpleks, dan gejala yang

dialaminya juga akan lebih berat.

6. Toksoplasmosis

Toksoplasmosis adalah infeksi yang disebabkan oleh

parasit Toxoplasma gondii. Pada orang sehat, infeksi ini umumnya tidak

berbahaya. Namun, pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang

lemah, toksoplasmosis dapat menyerang otak dan menyebabkan

gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, kejang, hingga koma.

7. Tuberkulosis

Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh bakteri Mycobacterium

tuberculosis. Penyakit ini dapat menyebar melalui percikan ludah ketika

penderitanya batuk, bersin, atau bicara. Penderita HIV sangat mudah

terkena penyakit TB. Bila tidak diobati, penyakit ini dapat

menyebabkan kematian.

7
C. Kondisi yang Rentan Mengalami Infeksi Oportunistik

Ketika kuman penyebab penyakit masuk ke dalam tubuh

orang yang sehat, sel-sel darah putih yang disebut limfosit akan merespons

untuk melawannya, sehingga infeksi tidak terjadi. Kalaupun terjadi

infeksi, umumnya dapat sembuh dengan mudah. Sedangkan pada

penderita AIDS, di mana jumlah sel darah putih yang disebut sel CD4

tidak cukup untuk melawan kuman penyakit, infeksi dapat terjadi dengan

mudah. Bahkan bakteri atau jamur yang biasanya tidak berbahaya dan

hidup normal di dalam maupun di permukaan tubuh bisa menimbulkan

infeksi.

Bukan hanya penyakit HIV yang bisa menyebabkan infeksi

oportunistik. Semua kondisi yang membuat sistem kekebalan tubuh

menjadi lemah dapat menjadi “pintu” bagi infeksi oportunistik untuk

masuk.

Berikut adalah beberapa kondisi yang rentan terkena infeksi oportunistik:

1. Luka bakar yang parah

2. Menjalani kemoterapi

3. Diabetes

4. Malnutrisi

5. Leukemia

6. Multiple myeloma

8
D. Akibat dari Infeksi Oportunistik

1. Kekurangan gizi

2. Infeksi kambuh

3. Agen penekan sistem imun untuk resipien transplantasi organ

4. Kemoterapi untuk Kanker

5. AIDS atau infeksi HIV

6. Kecenderungan geneticka

7. Kerusakan kulit

8. Perawatan antibiotik

9. Prosedur medikal

E. Manifestasi Klinik AIDS

Pasien AIDS secara khas punya riwayat gejala dan tanda penyakit.

Pada infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) primer akut yang

lamanya 1-2 minggu pasien akan merasakan sakit seperti flu. Dan disaat

fase supresi imun simptomatik (3 tahun) pasien akan mengalami demam,

keringat di malam hari, penurunan berat badan, diare, neuropati, keletihan

ruam kulit, limpanodenopathy, pertambahan kognitif, dan lesi oral.

Disaat fase infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) menjadi

AIDS (bervasiasi 1-5 tahun dari pertama penentuan kondisi AIDS) akan

terdapat gejala infeksi oppurtunistik, yang paling umum adalah

Pneumocyctic Carinii (PCC), Pneumonia Interstisial yang disebabkan

9
suatu protozoa, infeksi lain termasuk meningitis, kandidiasis,

cytomegalovirus, mikrobakterial, atipikal.

1. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV).

Akut gejala tidak khas dan mirip tanda dan gejala penyakit

biasa seperti demam, berkeringat, lesu, mengantuk, nyeri sendi, sakit

kepala, diare, sakit leher, radang kelenjar getah bening, dan bercak

merah di tubuh.

2. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) tanpa gejala

Diketahui oleh pemeriksa kadar Human Immunodeficiensy

Virus (HIV) dalam darah akan diperoleh hasil positif.

3. Radang kelenjar getah bening menyeluruh dan menetap, dengan gejala

pembengkakan kelenjar getah bening diseluruh tubuh selama lebih dari

3 bulan.

F. Epidemiologi Infeksi Oportunistik pada Penderita HIV

Infeksi oportunistik merupakan alasan utama rawat inap dan

penyebab kematian pasien dengan HIV/AIDS sehingga harus selalu

diperhatikan dalam evaluasi pasien dengan HIV/AIDS. Sejak

ditemukannya kemoprofilaksis dan kombinasi ART yang efektif, angka

kematian akibat IO menurun drastis walaupun tetap masih menjadi

penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada penderita HIV. The Joint

United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) melaporkan

sebanyak 1,2 juta kematian akibat penyakit terkait AIDS sepanjang tahun

2014 dengan penyebab terbanyak (1 dari 5 kematian) diakibatkan oleh

10
tuberkulosis. Angka ini telah menurun sebesar 42% dibandingkan

puncaknya pada tahun 2004.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melaporkan

jumlah kumulatif penderita AIDS (infeksi HIV dengan IO) di Indonesia

dari tahun 1987 hingga September 2014 mencapai 55.799, atau sekitar

36,7% dari keseluruhan kasus HIV. Case Fatality Rate AIDS di Indonesia

juga mengalami penurunan bertahap mulai 13,86% pada tahun 2004

hingga mencapai 0,46% pada tahun 2014.

Beberapa penelitian di India mendapatkan bahwa secara

umum kandidiasis orofaringeal, TB dan diare oleh kriptosporidia

merupakan IO yang tersering. Hal yang serupa juga didapatkan di

Indonesia. Laporan Surveilans AIDS Departemen Kesehatan Republik

Indonesia tahun 1987 sampai dengan 2009 mendapatkan bahwa IO yang

terbanyak adalah TB, diare kronis dan kandidiasis orofaringeal. Data

mengenai profil IO di Bali masih sedikit, terdapat satu penelitian di

Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Denpasar Bali pada tahun 2014

yang mendapatkan IO tersering adalah TB, Toksoplasmosis, kandidiasis

oral, IO multipel dan pneumonia.

G. Patogenesis Infeksi Oportunistik pada Penderita HIV

Target utama HIV adalah sel yang mengekspresikan molekul

reseptor membran CD4+, terutama sel limfosit T. Infeksi HIV

menimbulkan disfungsi imun melalui penurunan sel T CD4+

(imunodefisiensi) dan aktivasi imun (imunosupresi) yang meliputi respon

11
imun spesifik HIV dan aktivasi imun terhadap sel sekitar (bystander).

Limfosit T CD4+ berperan penting dalam pengaturan respon imun terhadap

patogen dengan menjalankan berbagai fungsi, antara lain aktivasi sel pada

sistem imun bawaan (limfosit B, sel T sitotoksik dan sel nonimun), serta

berperan dalam supresi reaksi imun. Rendahnya jumlah limfosit T CD4+

akan menurunkan sistem imun melawan patogen sehingga penderita

menjadi rentan terhadap IO.

Sel T CD4+ naїve dapat berdiferensiasi menjadi T helper

(Th)1, Th2, Th17, sel T regulatori (Treg) dan Th folikuler (Thf) dengan

profil sitokin dan fungsi yang berbeda-beda. Sel Th1 terlibat dalam

eliminasi patogen intraseluler, autoimunitas spesifik organ, serta

menghasilkan sitokin interferon (IFN)-γ yang meningkatkan aktivitas

fagositik makrofag dan sel mikroglial. Sel Th2 berfungsi pada respon

imun terhadap parasit ekstraseluler, seperti cacing, serta berperan penting

dalam menginduksi berbagai penyakit alergi. Sel Th17 merupakan

mediator penting dalam pertahanan pejamu melawan patogen ekstraseluler

seperti bakteri dan jamur, serta mempertahankan integritas sawar epitel

usus. Hilangnya sel ini akan mengganggu integritas mukosa usus,

meningkatkan permeabilitas terhadap produk mikroba serta berperan

dalam aktivasi imun kronis.

Sel Treg berperan penting dalam mempertahankan toleransi

imunologis terhadap antigen dan menurunkan respon imun setelah patogen

tereliminasi. Treg dalam keadaan normal berperan dalam menekan respon

12
imun sel T, namun pada infeksi HIV terjadi perubahan distribusi

diferensiasi sel T CD4+ berupa peningkatan jumlah Treg serta penurunan

diferensiasi sel T lainnya. Sel Thf berinteraksi dengan sel B spesifik

antigen pada jaringan limfoid sekunder dan meningkatkan afinitas

antibodi, maturasi serta diferensiasi sel B menjadi sel memori dan sel

plasma. Infeksi HIV menyebabkan ekspansi Thf dan meningkatkan

antibodi autoreaktif sehingga menghasilkan kerusakan berat termasuk

hancurnya sel CD4.

Menurunnya jumlah limfosit T CD4+ tidak hanya terjadi

akibat penghancuran langsung oleh HIV, namun juga melibatkan

hubungan yang lebih kompleks antara sistem imun pejamu dan efek dari

replikasi aktif HIV. Berkurangnya jumlah limfosit T CD4+ setelah infeksi

HIV terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu terganggunya produksi

limfosit T de novo oleh timus, efek bystander dari pembentukan sinsitium,

perubahan permeabilitas membran, disfungsi mitokondria, penghancuran

oleh sel T sitotoksik spesifik HIV atau melalui kadar respon imun yang

berlebihan.

Mekanisme utama berkurangnya sel T CD4+ adalah akibat

apoptosis, tidak hanya pada sel yang terinfeksi HIV namun juga pada sel

bystander melalui kematian sel yang diinduksi aktivasi dan pembentukan

sinsitia. Sinsitia terbentuk oleh fusi sel yang terinfeksi HIV dengan target

yang tidak terinfeksi dan selanjutnya akan mengalami apoptosis yang

diperantarai p53. Destruksi jaringan sel retikuler fibroblastik, deposisi

13
kolagen dan berkurangnya interleukin 7 sebagai faktor pertahanan hidup

sel T selanjutnya juga berperan dalam berkurangnya limfosit T CD4+

naїve.

Virus mentargetkan populasi CD4+ yang telah terdiferensiasi

terminal dan membiarkan prekursor populasi CD4+ yang dapat

memproduksi sel T baru secara kontinu sehingga virus selalu memiliki

cadangan target baru untuk melangsungkan replikasinya. Kerusakan CD4+

terdiferensiasi dengan segera diikuti oleh peningkatan proliferasi CD4+

baru yang secara parsial dapat menggantikan CD4+ yang mati, namun

proses regenerasi ini tidak stabil dan makin berkurang seiring waktu

hingga akhirnya tidak mampu mengimbangi hilangnya CD4+ dan

timbullah manifestasi imunodefisiensi.

Jumlah limfosit T CD4+ pada orang normal adalah 500-1600

sel/µL darah. Jumlah ini secara bertahap akan berkurang seiring dengan

perkembangan infeksi HIV dan menyebabkan penderita menjadi rentan

terhadap IO. Jumlah limfosit T CD4+ merupakan indikator terbaik dalam

menentukan kerentanan terhadap IO sehingga menjadi panduan dalam

pemberian kemoprofilaksis. Penderita dengan jumlah limfosit T CD4+

yang telah mencapai 200 sel/µL hampir seluruhnya telah terinfeksi IO dan

bermanifestasi sebagai AIDS. Periode rata-rata mulai dari infeksi HIV

hingga mencapai AIDS adalah 8-10 tahun dengan penurunan limfosit T

CD4+ sekitar 50-100 sel/µL pertahunnya. Jumlah limfosit T CD4+ yang

telah turun di bawah 50 sel/µL merupakan kondisi yang mengancam jiwa

14
dan pasien umumnya akan mengalami kematian.

H. Infeksi Oportunistik yang Sering Terjadi Pada Penderita AIDS

1. Tuberkulosis, yaitu penyakit yang juga menyerang organ

paru-paru, dan disebabkan oleh infeksi kuman

mycobacterium tuberuculosis.

2. Pneumonia (Pneumocystis carinii), yaitu jenis pneumonia yang

disebabkan oleh infeksi jamur Pneumocystis jiroveci (dahulu

disebut jamur Pneumocystis carinii). Infeksi oportunistik ini

menjadi penyebab kematian utama pada orang dengan HIV.

3. Infeksi jamur berulang di kulit, mulut dan tenggorokan

(Candidiasis)

4. Infeksi gastrointestinal (Cryptosporidiosis), yaitu penyakit diare

yang kerap menjadi kronis. Penyakit ini dicirikan oleh kram

perut dan diare yang parah.

5. Diare kronis dengan penurunan berat badan

6. Infeksi neurologik (Cryptococcal), atau meningitis sub-akut

7. Keganasan : Sarkoma Kaposi, NHL,

8. Demam tanpa sebab yang jelas

9. Kelainan neurologis

10. IMS : Herpes Simplex (infeksi yang dicirikan oleh luka pada

mulut atau bagian kelamin), Condiloma Acuminata.

15
I. Penatalaksanaan

1. Terapi Antiretroviral pada Penderita HIV dengan Infeksi

Oportunistik

Sebelum ditemukannya kombinasi ART yang efektif, IO

merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada penderita

HIV yang mengakibatkan hingga 2 juta kematian setiap tahunnya.

Diperkenalkannya ART kombinasi yang efektif pada tahun 1996

mendorong revolusi dalam pengobatan orang dengan HIV dan AIDS

(ODHA) di seluruh dunia. Angka harapan hidup 5 tahun meningkat

mulai dari 7% pada masa pre-ART, menjadi 18% pada masa ART

awal, hingga mencapai 65% pada masa ART kombinasi yang efektif.

Terapi antiretroviral belum mampu menyembuhkan HIV secara

menyeluruh, namun secara dramatis dapat menurunkan angka

kematian dan kesakitan, meningkatkan kualitas hidup ODHA serta

meningkatkan harapan masyarakat, sehingga pada saat ini HIV dan

AIDS telah diterima sebagai penyakit yang dapat dikendalikan dan

tidak lagi dianggap sebagai penyakit yang menakutkan.

Data berbagai penelitian mendapatkan bahwa ART

menurunkan insiden IO secara drastis, membantu resolusi dan

perbaikan IO, termasuk IO yang profilaksis dan terapi spesifiknya

belum tersedia. Terapi antiretroviral tidak dapat menggantikan

16
kebutuhan terhadap profilaksis antimikrobial pada pasien dengan

imunosupresi yang berat, namun telah menjadi landasan strategi untuk

menurunkan berbagai infeksi dan proses terkait HIV.

Hubungan antara IO dan HIV bersifat dua arah atau timbal

balik. Infeksi HIV menyebabkan imunosupresi yang memberikan

kesempatan bagi patogen oportunistik untuk menyebabkan penyakit,

sebaliknya IO juga dapat mengubah perjalanan alami HIV melalui

peningkatan viral load sehingga mempercepat perkembangan serta

meningkatkan transmisi HIV. Pemberian ART dapat menurunkan

risiko IO, dan sebaliknya pemberian kemoprofilaksis dan vaksinasi

spesifik IO dapat membantu menurunkan kecepatan perkembangan

HIV dan meningkatkan angka harapan hidup.

2. Saat Pemberian Terapi Antiretroviral pada Infeksi Oportunistik

Belum ada panduan spesifik mengenai pemberian ART pada

IO karena keterbatasan data. Terdapat 2 keadaan utama yang perlu

diperhatikan yaitu inisiasi ART pada keadaan IO akut dan pemberian

ART saat timbul IO pada pasien yang sedang mendapat ART.

Penatalaksanaan pada setiap keadaan bervariasi tergantung dari derajat

perkembangan virologis dan imunologis sebelum pemberian ART dan

keuntungan yang didapat dari pemberian ART, durasi infeksi HIV

sebelum dan sejak inisiasi ART serta interaksi obat yang berpotensi

terjadi antara rejimen ART dan terapi IO.

Kelebihan inisiasi ART pada keadaan IO akut meliputi

17
perbaikan fungsi imun yang dapat mempercepat kesembuhan IO,

terutama bila terapi yang efektif untuk IO tersebut masih terbatas atau

belum tersedia. Kelebihan lainnya adalah mengurangi risiko terjadinya

IO berikutnya. Pendapat yang menentang inisiasi ART segera begitu

terdiagnosis IO meliputi jumlah dan toksisitas obat yang bertambah,

sulitnya membedakan toksisitas disebabkan oleh ART atau akibat

terapi IO, interaksi obat yang dapat terjadi serta kemungkinan terjadi

IRIS.

Terapi antiretroviral harus dimulai sesegera mungkin pada

kasus IO kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, CMV, PML dan

sarkoma Kaposi; sedangkan kasus TB, kompleks Mycobacterium

avium, PCP dan meningitis kriptokokal harus menunggu respon terapi

IO setidaknya 2 minggu sebelum inisiasi ART.

Belum ada data penelitian yang menyatakan bahwa inisiasi

ART akan dapat meningkatkan hasil akhir pada pasien yang telah

diterapi spesifik untuk IO, sebaliknya ART yang dimulai pada

keadaan IO akut juga tidak didapatkan memperburuk prognosis IO

tersebut. Timbulnya IO dalam waktu 12 minggu setelah inisiasi ART,

harus segera mendapat terapi untuk IO dengan tetap melanjutkan ART

dan mempertimbangkan modifikasi rejimen ART apabila respon

kenaikan jumlah sel T CD4+ tidak optimal.

Inisiasi ART bagaimanapun wajib diberikan pada infeksi

HIV stadium klinis 3 dan 4 atau tanpa memandang stadium klinis jika

18
jumlah CD4 ≤ 350 sel/mm3. Inisiasi ART dilakukan tanpa melihat

stadium klinis WHO dan jumlah CD4 pada koinfeksi TB, koinfeksi

Hepatitis B, ibu hamil dan menyusui yang terinfeksi HIV, orang

terinfeksi HIV yang pasangannya HIV negatif, kelompok populasi

kunci (laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki (LSL),

pekerja seks, pengguna narkoba suntik (penasun) dan waria), serta

penderita HIV pada populasi umum yang tinggal di daerah epidemi

HIV meluas.

J. Pencegahan

1. Melakukan kebiasaan hidup yang sehat, termasuk melakukan seks

yang aman. Gunakan kondom secara konsisten dan benar untuk

mencegah paparan infeksi menular seksual.

2. Mencuci dan memasak makanan dengan baik, hindari daging dan

telur mentah atau kurang matang. Hindari juga susu yang tidak

dipasteurisasi dan gunakan alat masak yang benar-benar bersih,

seperti pisau dan talenan.

3. Gunakan sarung tangan untuk mengambil kotoran hewan peliharaan,

dan jauhkan kucing dari dalam ruangan agar tidak membawa kuman

yang dapat membahayakan Anda.

4. Gunakan handuk dan peralatan olahraga secara personal tanpa

bergantian dengan orang lain.

5. Cobalah untuk tidak menelan atau meminum air yang berasal dari

kolam, danau, atau sungai secara langsung.

19
6. Lakukan vaksin untuk penyakit HIV dan lainnya untuk menjaga

sistem kekebalan tubuh Anda.

7. Jika Anda seorang wanita, lakukan pemeriksaan panggul dan tes pap

smear untuk menghindari adanya kanker atau infeksi yang lainnya.

8. Dengan mengetahui tentang infeksi oportunistik dan bahayanya,

Anda disarankan selalu menjaga kesehatan tubuh Anda. Segera

konsultasikan ke dokter jika Anda kerap mengalami gejala infeksi

oportunistik seperti demam, sakit kepala, menggigil, nyeri sendi,

kehilangan nafsu makan dan penurunan berat badan secara drastis,

adanya pembengkakan, dan pembesaran kelenjar getah bening.

9. Mematuhi pengobatan dan terapi perawatan HIV sesuai yang

diresepkan.

K. Pemeriksaan Diagnostik

20
Gambar 1. Alur pemeriksaan laboratorium infeksi HIV dewasa.

Gambar 2. Skematik strategi pemeriksaan antibodi HIV.

Tabel 1. Interpretasi hasil pemeriksaan.

21
L. Pencegahan dan Penatalaksanaan Spesifik Infeksi Oportunistik yang

Tersering pada Penderita HIV di Indonesia

1. Tuberkulosis

Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik tersering (40%)

pada infeksi HIV dan menjadi penyebab kematian paling tinggi pada

ODHA. Infeksi TB dan HIV saling berhubungan, HIV menyebabkan

progresivitas infeksi TB menjadi TB aktif, sebaliknya infeksi TB

membantu replikasi dan penyebaran HIV serta berperan dalam

aktivasi infeksi HIV yang laten. Sebagian besar orang yang terinfeksi

kuman TB tidak menjadi sakit TB karena mempunyai sistem imun

yang baik, dan dikenal sebagai infeksi TB laten. Infeksi TB laten

tersebut tidak infeksius dan asimtomatis, namun dengan mudah dapat

berkembang menjadi TB aktif pada orang dengan sistem imun yang

menurun, seperti pada ODHA.

Pasien TB dengan HIV positif atau ODHA dengan TB

disebut sebagai pasien ko-infeksi TB-HIV. Berdasarkan perkiraan

WHO, jumlah pasien ko-infeksi TB- HIV di dunia adalah sebanyak 14

juta orang, dengan 3 juta pasien terdapat di Asia Tenggara. Epidemi

HIV sangatlah berpengaruh pada meningkatnya kasus TB sehingga

pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa upaya

pengendalian HIV.

22
Sebagian besar infeksi TB menyerang jaringan paru, namun

dapat juga menyerang organ lain yang disebut TB ekstraparu. Gejala

klinis TB paru adalah batuk berdahak 2-3 minggu atau lebih yang

dapat disertai darah, sesak nafas, badan lemas, berat badan menurun,

malaise, keringat malam dan demam meriang lebih satu bulan. Gejala

klinis TB paru pada ODHA sering kali tidak spesifik, yang sering

ditemukan adalah demam dan penurunan berat badan yang signifikan

(> 10%). Gambaran radiologis dada dapat dijumpai infiltrat

fibronoduler pada lobus paru atas dengan atau tanpa kavitasi (Gambar

1).

Infeksi TB dapat terjadi pada jumlah CD4+ berapapun,

namun pasien dengan jumlah CD4+ <200cells/μl memiliki risiko yang

lebih tinggi sehingga direkomendasikan pemberian ART dan obat anti

TB (OAT). Penanganan ko- infeksi TB-HIV selalu mendahulukan

terapi TB sebelum inisiasi ART dengan pertimbangan menghindari

interaksi OAT dengan ARV, toksisitas obat, kepatuhan minum obat

dan juga mencegah terjadinya IRIS.

23
Gambar 1. Radiografi dada pada pasien ko-infeksi TB-HIV. Gambar

kiri menunjukkan adanya infiltrat dengan kavitasi pada lobus kanan

atas. Gambar kanan menunjukkan adanya infiltrat bilateral tanpa

kavitasi.

a. Pencegahan Koinfeksi TB-HIV

Pencegahan paparan terhadap infeksi TB di fasilitas

pelayanan kesehatan dapat dilakukan dengan menempatkan pasien

TB atau yang dicurigai TB secara terpisah dari pasien lain terutama

pasien HIV. Pusat pelayanan kesehatan, pelayanan paru rumah

sakit, lembaga permasyarakatan, penampungan tuna wisma atau

populasi imigran tertentu dapat menjadikan pasien berisiko tinggi

terpapar M. tuberculosis. Pasien dapat dikonseling mengenai risiko

aktivitas tersebut dan manfaat penggunaan masker untuk mencegah

penularan.

Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan memberikan

terapi pada infeksi TB laten. Pasien HIV yang pertama kali

diidentifikasi, harus dites akan adanya infeksi M. tuberculosis,

salah satunya dengan tes kulit tuberkulin (tuberculin skin test/TST).

Semua pasien HIV, tanpa mempertimbangkan umur, dengan hasil

tes positif untuk infeksi M. tuberculosis namun tanpa adanya bukti

TB aktif dan tanpa riwayat terapi untuk TB aktif atau laten harus

24
diterapi sebagai infeksi TB laten. Terapi pilihan untuk TB laten

adalah isoniazid 300 mg/hari peroral (PO) selama 9 bulan, dengan

efektivitas dan tolerabilitas yang baik serta toksisitas yang jarang.

Rejimen alternatif dapat menggunakan rifampin 600 mg/hari

PO atau rifabutin selama 4 bulan. Kombinasi rifampin ditambah

pirazinamid selama 2 bulan telah terbukti bermanfaat, namun

didapatkan hepatotoksisitas berat dan kematian pada beberapa

pasien HIV yang mendapatkan rejimen ini, sehingga rejimen ini

tidak dipergunakan.

Pencegahan relaps atau rekurensi dengan terapi pemeliharaan

jangka panjang tidak diperlukan karena TB jarang kambuh setelah

menyelesaikan rejimen terapi secara lengkap, dengan catatan

organisme penyebab sensitif terhadap agen kemoterapi yang

digunakan.

b. Penatalaksanaan Koinfeksi TB-HIV

Prinsip penatalaksanaan pasien koinfeksi TB-HIV adalah

pemberian pengobatan TB dengan segera. Pengobatan TB pada

pasien yang belum pernah mendapat ART adalah memulai OAT

terlebih dahulu, selanjutnya baru ART. Inisiasi ART dapat dimulai

setelah pengobatan TB ditoleransi dengan baik, dengan

rekomendasi paling cepat 2 minggu dan paling lambat 8 minggu

setelah OAT dimulai, tanpa menghentikan OAT. Inisiasi ART

dalam 2-4 minggu setelah OAT dapat menekan perkembangan

25
infeksi HIV, namun memiliki insiden efek simpang dan terjadinya

reaksi paradoksikal IRIS yang lebih tinggi. Inisiasi ART dalam 4-8

minggu setelah OAT memiliki kelebihan dapat membedakan obat

spesifik penyebab efek simpang, menurunkan risiko IRIS dan

meningkatkan kepatuhan pasien. Inisiasi ART harus dimulai dalam

2 minggu setelah mulai pengobatan TB pada pasien dengan CD4 <

50 sel/μL.

Pengobatan TB pada pasien yang sedang dalam pengobatan

ART dapat dimulai minimal di rumah sakit yang petugasnya telah

dilatih TB-HIV, untuk memantau adanya interaksi obat ataupun

terjadinya IRIS. Pemberian ART tetap dilanjutkan.

Pemberian OAT pada TB-HIV pada dasarnya sama dengan

pengobatan TB tanpa HIV/AIDS yaitu kombinasi beberapa jenis

obat dengan dosis dan waktu yang tepat. Rejimen OAT diberikan

selama 6 bulan, terdiri dari isoniazid (INH) 300 mg PO, rifampin

(RIF) 450 mg atau rifabutin PO, pyrazinamide (PZA) 3x500 mg

PO dan ethambutol (EMB) 3x250 mg PO setiap hari selama 2

bulan fase inisial, dilanjutkan dengan INH 600 mg PO dan RIF 450

mg PO 3 kali seminggu selama 4 bulan fase lanjutan. Rejimen

ART yang direkomendasikan pada koinfeksi TB-HIV adalah

rejimen dengan efavirenz 600 mg PO sebagai pilihan Non-

Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI). Nevirapin

tidak dipilih sebagai NNRTI karena rifampisin dalam OAT dapat

26
menurunkan kadar nevirapin dalam darah. Terapi antiretroviral

yang dapat digunakan adalah zidovudin atau tenofovir + lamivudin

+ efavirenz. Setelah OAT selesai, efavirenz dapat diganti dengan

nevirapin.

2. Diare Kriptosporidial

Diare merupakan salah satu masalah yang sering dijumpai

pada ODHA, yaitu didapatkan pada 30-60% kasus di negara maju dan

mencapai 90% di negara berkembang. Parasit protozoa

Kriptosporidium menjadi patogen utama dari diare kronis pada

kelompok tersebut, dengan penyebab terbanyak adalah

Cryptosporidium parvum (71.4%). Kriptosporidiosis termasuk dalam

penyakit terkait AIDS sesuai panduan CDC yang umumnya terjadi

saat jumlah sel T CD4+<200cells/μL. Gambaran klinis

kriptosporidiosis adalah diare kronis (>1 bulan) dengan kotoran yang

cair, dehidrasi, nyeri perut dan penurunan berat badan.

a. Pencegahan Diare Kriptosporidial

Kriptosporidiosis ditularkan dari tertelannya ookista melalui

penyebaran fekal- oral dari manusia ke manusia atau hewan ke

manusia (Gambar 2). Penyebaran ini terjadi melalui kontak

langsung atau melalui air yang terkontaminasi. Anak- anak di pusat

penitipan merupakan salah satu reservoir, begitu pula dengan

kucing dan anjing yang masih kecil. Didapatkan pula wabah

kriptosporidiosis terkait air minum publik dan kolam renang, yang

27
diperkirakan karena parasit sangat resisten terhadap klorinasi.

Kontak seksual, terutama kontak yang melibatkan hubungan rektal,

juga merupakan cara penyebaran organisme ini.

Pasien HIV dapat mengurangi kemungkinan terkena

kriptosporidia dengan menghindari paparan terhadap sumber

penularan tersebut. Pasien harus waspada bahwa banyak dari

sumber air yang dapat terkontaminasi sehingga direkomendasikan

untuk merebus air sebelum diminum.

Gambar 2. Transmisi Cryptosporidium parvum terjadi

terutama melalui air yang terkontaminasi (air minum maupun air

di pusat rekreasi), dan secara jarang dapat melalui makanan.

Ookista bersifat infeksius begitu diekskresikan sehingga transmisi

fekal-oral langsung dapat terjadi. (Dikutip dari kepustakaan

nomor 33).

b. Penatalaksanaan Diare Kriptosporidial

28
Tidak ada obat yang diketahui efektif untuk mencegah

penyakit atau rekurensi. Gejala kriptosporidiosis didapatkan

menghilang seiring dengan membaiknya status imun setelah

pemberian ART sehingga ART perlu terus dilanjutkan untuk

mencegah relaps. Beberapa data menyatakan bahwa rifabutin atau

klaritromisin saat digunakan untuk mencegah penyakit M. Avium

juga akan mengurangi insiden kriptosporidiosis, namun data

tersebut belum cukup meyakinkan untuk merekomendasikan obat

untuk tujuan ini.

Pasien dengan diare yang sangat berat perlu ditambahkan

agen anti-kriptosporidia untuk memastikan ART dapat diabsorpsi

dengan cukup. Dapat digunakan paromomisin 4x500 mg/hari PO

atau 2x1 g/hari PO selama 12 minggu, dipadukan dengan

azitromisin 500 mg/hari PO maupun digunakan sendiri. Alternatif

terapi lain yang dapat dipakai adalah nitazoksanid 2x500 mg/hari

PO selama 3 hari hingga 12 minggu. Terapi suportif yang penting

dilakukan meliputi hidrasi, koreksi elektrolit, antimotilitas dan

suplementasi nutrisi.

3. Kandidiasis Mukokutaneus

Spesies Kandida merupakan komensal yang sangat umum,

dan didapatkan pada 75% populasi dari rongga mulut maupun saluran

genitalia. Kandidiasis orofaringeal merupakan IO tersering pada

penderita HIV, mencapai 80-90% kasus pada masa pre-ART.

29
Sebagian besar kasus disebabkan oleh Candida albicans dan paling

sering didapatkan pada jumlah sel T CD4+ <200 cells/µL. Hasil

penelitian di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

mendapatkan bahwa IO yang tersering adalah kandidiasis orofaringeal

(80,8%), demikian juga di RSUP dr. Kariadi Semarang yang

mendapatkan kandidiasis orofaringeal pada 79% kasus.

Kandidiasis orofaringeal bermanifestasi sebagai plak atau

patch berwarna putih seperti krim yang dapat dikerok dengan

punggung skalpel dan menampakkan jaringan mukosa berwarna

merah cerah di bawahnya. Manifestasi ini disebut sebagai

pseudomembran dan paling sering didapatkan pada palatum durum,

mukosa gusi atau bukal serta permukaan dorsal lidah (Gambar 3).

Gambar 3. Kandidiasis orofaringeal pada penderita HIV.

Tampak pseudomembran pada palatum durum (kiri) serta mukosa

gusi dan bukal (kanan). (Dikutip dari kepustakaan nomor 36).

a. Pencegahan Kandidiasis Mukokutaneus

Kandida sangat banyak terdapat di lingkungan. Semua

manusia dikolonisasi oleh organisme ini sehingga pencegahan

30
paparan Kandida bukan merupakan langkah yang akan berhasil

untuk mengurangi insiden penyakit Kandida. Kandida yang

resisten flukonazol sering ditemukan pada tempat pelayanan

kesehatan, sehingga perlu penggunaan barrier pencegahan

untuk mengurangi superinfeksi pada pasien.

Kemoprofilaksis primer dengan flukonazol efektif untuk

menurunkan frekuensi kandidiasis namun pemberian jangka

panjang berbiaya mahal, terkait dengan toksisitas dan interaksi

obat serta menyebabkan terbentuknya ragi yang resisten

azol.Tambahan pula, Kandida hampir tidak pernah

menyebabkan penyakit invasif. Kandidiasis mukosal dapat

diterapi dengan segera pada sebagian besar kasus, sehingga

sebagian besar klinisi tidak merekomendasikan profilaksis

primer untuk kandidiasis.

Terapi pemeliharaan jangka panjang setelah kandidiasis

akut membaik juga tidak direkomendasikan oleh sebagian

besar ahli dengan alasan yang sama. Profilaksis sekunder

dengan flukonazol atau itrakonazol dapat dipertimbangkan

pada pasien yang sering mengalami relaps atau dengan

penyakit sangat berat.

b. Penatalaksanaan Kandidiasis Mukokutaneus

Rekomendasi terapi untuk kandidiasis oral berupa suspensi

nistatin kumur 4x4-6 ml PO, flukonazol kapsul 4x100-400

31
mg/hari PO atau itrakonazol 4x200 mg/hari PO yang diberikan

selama 7-14 hari, sedangkan untuk kandidiasis esofagus dapat

diberikan flukonazol 4x200 mg/hari PO atau intravena (IV),

itrakonazol 4x200 mg/hari PO maupun amfoterisin B 0,6-1

mg/kg/hari IV selama 14-21 hari. Golongan azol merupakan

pilihan utama untuk kandidiasis oral dan esofageal karena

efektif dan risiko relaps yang rendah.

Strategi yang paling penting untuk penanganan pasien HIV

dengan kandidiasis adalah pemberian ART yang dimulai segera

setelah didapatkan gejala kandidiasis. Kandidiasis jarang

dilaporkan menyebabkan IRIS.

4. Ensefalitis Toksoplasmik

Komplikasi kelainan neurologi pada pasien HIV didapatkan

lebih dari 40%, dengan angka kematian yang sangat tinggi. Penelitian

di RS Saiful Anwar Malang tahun 2013-2014 mendapatkan penyebab

kelainan neurologi tertinggi pada HIV adalah toksoplasma serebri

(39,1%), yang sesuai dengan hasil penelitian di RSUP Nasional dr.

Cipto Mangunkusumo Jakarta (toksoplasmosis pada 31% kasus).

Toksoplasmosis serebri adalah penyakit yang disebabkan

oleh infeksi protozoa Toxoplasma gondii varian gondii atau gatii di

dalam sistem saraf manusia. Organisme ini merupakan parasit

intraselluler yang menyebabkan infeksi asimptomatik pada 80%

manusia sehat, tetapi menjadi berbahaya pada penderita HIV/AIDS.

32
Ensefalitis merupakan manifestasi utama toksoplasmosis dan paling

sering berasal dari reaktivasi infeksi laten. Toksoplasmosis merupakan

penyebab infeksi SSP yang sering pada pasien HIV/AIDS dan

biasanya didapatkan pada jumlah CD4+ <200 sel/µL. Gejala klinisnya

meliputi demam, nyeri kepala dan defisit neurologis fokal.

a. Pencegahan Ensefalitis Toksoplasmik

Toxoplasma gondii ditularkan ke manusia melalui

tertelannya daging yang tidak dimasak dengan matang atau dengan

tertelannya ookista pada kotoran kucing secara tidak sengaja

(Gambar 4). Sebagian besar penyakit pada manusia muncul akibat

reaktivasi infeksi laten, walaupun beberapa kasus terjadi akibat

infeksi akut yang didapat saat dewasa. Pasien HIV dapat mengubah

perilaku mereka untuk mengurangi risiko paparan Toksoplasma

dengan memakan daging yang benar-benar matang dan

menghindari kontak dengan kotoran kucing yang berisiko infeksi.

Pasien yang terinfeksi HIV harus dites antibodi IgG terhadap

Toksoplasma untuk mendeteksi adanya infeksi laten. Individu yang

seropositif merupakan kandidat kemoprofilaksis saat jumlah

limfosit T CD4+ turun <100 sel/µL dengan pilihan terapi berupa

kotrimoksazol (TMP-SMX) sediaan forte (960 mg) sekali sehari

PO. Alternatif terapi dapat digunakan dapson 50 mg/hari PO +

pirimetamin 50 mg/hari PO, atau atovakuon 1500 mg/hari PO,

dengan/tanpa pirimetamin 25 mg/hari PO.

33
Berdasarkan pandangan praktis, keputusan mengenai

profilaksis Toksoplasma sangat dipengaruhi oleh profilaksis PCP,

yang tercetus pada jumlah sel T CD4+ yang lebih tinggi (<200

sel/µL). Profilaksis terhadap toksoplasmosis dapat dihentikan

dengan aman bila pasien telah menunjukkan respon terhadap ART

dengan jumlah CD4+ yang meningkat >200 sel/µL paling sedikit

selama 3 bulan. Profilaksis harus diberikan kembali bila jumlah

limfosit T CD4+ selanjutnya turun di bawah 100 sel/µL.

Gambar 4. Transmisi Toxoplasma gondii terjadi terutama

melalui kucing yang merupakan pejamu definitif parasit ini.

Ookista diekskresikan melalui kotoran kucing dan menjadi

infeksius, kemudian menginfeksi pejamu intermediet melalui tanah,

air dan makanan. (Dikutip dari kepustakaan nomor 38)

34
Profilaksis sekunder atau terapi pemeliharaan jangka panjang

untuk toksoplasmosis menggunakan TMP-SMX 960 mg/hari PO

atau pirimetamin 25-50 mg/hari PO + klindamisin 3-4 x 300-

450mg/hari PO + asam folinat dan harus dilanjutkan seumur hidup

selama CD4+ <200 sel/µL. Terapi dapat dihentikan bila pasien telah

menerima paling sedikit 6 minggu terapi antitoksoplasma, lesi

bersifat stabil serta jumlah limfosit T CD4+ meningkat >200/mm3

selama paling sedikit ≥6 bulan. Profilaksis harus diberikan kembali

bila jumlah limfosit T CD4+ turun di bawah 200 sel/µL.

Pemberian ART menurunkan insiden ensefalitis

toksoplasmik dan harus segera dimulai begitu pasien stabil secara

klinis (biasanya sekitar 2 minggu setelah mendapat terapi

toksoplasma untuk menurunkan risiko IRIS).

b. Penatalaksanaan Ensefalitis Toksoplasmik

Panduan CDC untuk terapi ensefalitis toksoplasmik adalah

kombinasi pirimetamin (dosis pertama 200 mg PO dilanjutkan

3x25 mg/hari) + sulfadiazin 4x1500 mg PO + leukovorin 3x10-20

mg/hari PO selama 6 minggu. Pilihan pengobatan yang tersedia di

Indonesia adalah kombinasi pirimetamin dan klindamisin 3-4 x

300-450 mg/hari PO disertai suplemen asam folinat 10-20 mg/hari

yang diberikan selama 6 minggu.

5. Pneumonia Pneumocystis

Pneumocystis jirovecii pneumonia (PCP) disebabkan oleh

35
jamur Pneumocystis jirovecii yang banyak ditemukan di lingkungan

(Gambar 5a).Taksonomi organisme ini telah berubah, yang awalnya

dikenal dengan sebutan Pneumocystis carinii saat ini hanya ditujukan

untuk pneumosistis yang menginfeksi binatang pengerat. Spesies yang

menginfeksi manusia diberi nama Pneumocystis jirovecii, walaupun

untuk singkatannya masih digunakan istilah PCP seperti sebelumnya.

5a 5b

Gambar 5. 5a. Jamur Pneumocystis yang didapatkan pada paru pasien

dengan AIDS. 5b. Radiografi dada pada penderita HIV dengan

Pneumonia Pneumocystis menunjukkan karakteristik berupa opasitas

granuler simetris bilateral. (Dikutip dari kepustakaan nomor 40 dan

41)

Infeksi awal P. jirovecii umumnya terjadi pada masa kanak-

kanak awal dan PCP terjadi akibat reaktivasi fokus infeksi laten atau

akibat paparan baru melalui udara.Gambaran klinis PCP terkait HIV

berupa demam, batuk tidak berdahak dan dispnea. Radiografi dada

merupakan landasan diagnostik dan menunjukkan opasitas bilateral,

simetris, interstitial atau granuler (Gambar 5b).

36
Insiden PCP telah menurun signifikan sejak digunakannya

profilaksis dan ART secara luas. Sebelumnya, PCP didapatkan pada

70-80% pasien dengan AIDS dengan angka mortalitas 20-40%

walaupun telah mendapat pengobatan. Hampir 90% kasus terjadi pada

jumlah sel T CD4+ <200 sel/µL atau <14%. Faktor lain yang terkait

dengan peningkatan risiko PCP meliputi episode PCP sebelumnya,

kandidiasis oral, pneumonia bakteri rekuren, penurunan berat badan

serta viral load plasma yang tinggi.

a. Pencegahan Pneumonia Pneumocystis

Infeksi P. jiroveci terutama menyebar dari manusia ke

manusia, walaupun mungkin terdapat sumber di lingkungan.

Pencegahan paparan dapat diupayakan dengan mengisolasi pasien

HIV yang rentan dari individu yang menderita PCP walaupun

keefektifannya belum diketahui.

Kemoterapi telah terbukti mencegah PCP dan

memperpanjang kelangsungan hidup pada pasien HIV. Pasien

dengan jumlah sel T CD4+ <200 sel/mm3 atau <14%, serta pasien

dengan riwayat PCP dan kandidiasis orofaringeal harus diberi

kemoprofilaksis PCP.

Kotrimoksazol forte (960 mg) PO satu tablet perhari

merupakan agen profilaksis pilihan. Agen ini lebih efektif

dibandingkan agen lainnya, dapat ditoleransi dengan baik dan

memiliki aktivitas profilaksis tambahan terhadap toksoplasma dan

37
beberapa bakteri termasuk Salmonella spp. dan Streptococcus

pneumoniae. Pasien yang tidak dapat mentoleransi TMP-SMX dan

bila toksisitas tidak mengancam jiwa, seringkali dapat dengan

sukses melalui desensitisasi bertahap dengan rejimen oral.

Dapson 2x50 mg/hari PO atau dapson 50 mg/hari +

pirimetamin 50 mg/minggu PO merupakan alternatif TMP-SMX

yang memiliki keberhasilan tinggi. Pentamidin aerosol 300

mg/bulan dan atovakuon 1.500 mg/hari PO juga dapat menjadi

alternatif, namun pentamidin memerlukan fasilitas khusus dan

menginduksi batuk, sedangkan atovakuon mahal dan absorpsinya

tergantung makanan.

Profilaksis terhadap PCP dapat dihentikan dengan aman bila

pasien telah menunjukkan respon terhadap ART dengan jumlah

CD4+yang meningkat >200 sel/µL paling sedikit selama 3 bulan.

Profilaksis harus diberikan kembali bila jumlah limfosit T CD4+

selanjutnya turun di bawah kadar tersebut.

Profilaksis sekunder harus dilanjutkan seumur hidup pada

pasien HIV yang bertahan hidup setelah episode PCP, kecuali bila

pasien memulai ART dan jumlah limfosit T CD4+ meningkat >200

sel/mm3 selama ≥3 bulan.15 Profilaksis PCP harus diberikan

kembali bila jumlah limfosit T CD4+ turun di bawah 200 sel/mm3

akibat kegagalan ART maupun ketidakpatuhan.

b. Penatalaksanaan Pneumonia Pneumocystis

38
Terapi pilihan untuk PCP adalah TMP-SMX (TMP 15-20

mg/kg/hari + SMZ 75- 100 mg/kg/hari) IV dibagi dalam 3-4 dosis

selama 21 hari. Terapi alternatif dapat digunakan klindamisin 3-4 x

600-900 mg IV atau 4x300-450 mg PO + primakuin 15-30 mg/hari

PO selama 21 hari bila pasien alergi terhadap sulfa. Pasien dengan

PCP berat dianjurkan pemberian kortikosteroid berupa prednison

2x40 mg PO selama 5 hari pertama, selanjutnya 40 mg/hari pada

hari 6-10, kemudian 20 mg/hari dari hari 11-21. Metilprednisolon

IV diberikan dengan dosis 75% dosis prednison.

Inisiasi ART segera lebih dipilih pada pasien dengan PCP

walaupun waktu inisiasi yang optimal masih belum bisa ditentukan.

Penderita HIV yang akan memulai ART dengan CD4+ <200 sel/µL,

dianjurkan untuk diberikan TMP-SMX 2 minggu sebelum ART.

Hal tersebut berguna untuk tes kepatuhan dalam minum obat dan

menyingkirkan efek samping yang tumpang tindih antara TMP-

SMX dengan ART, mengingat bahwa banyak obat ART

mempunyai efek samping serupa dengan efek samping TMP-SMX.

Kejadian efek simpang TMP-SMX cukup tinggi, berupa

ruam kulit (termasuk sindroma Stevens-Johnson), demam,

leukopenia, trombositopenia, azotemia, hepatitis, hiperkalemia,

mual dan muntah, pruritus dan anemia. Terapi suportif dan

simptomatis terhadap efek tersebut perlu diusahakan sebelum

menghentikan TMP-SMX.

39
BAB III

ASKEP DENGAN INFEKSI OPORTUNISTIK

(HIV/AIDS)

A. Pengkajian

1. Biodata Klien

Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku dan kebangsaan,

pendidikan, pekerjaan, alamat, nomor regester, tanggal Masuk Rumah

Sakit , diagnosa medis.

2. Riwayat Penyakit

Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat

kelainan imun. Umur kronologis pasien juga mempengaruhi

imunokompetens. Respon imun sangat tertekan pada orang yang sangat

muda karena belum berkembangnya kelenjar timus. Pada lansia, atropi

kelenjar timus dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Banyak

penyakit kronik yang berhubungan dengan melemahnya fungsi imun.

Diabetes meilitus, anemia aplastik, kanker adalah beberapa penyakit

yang kronis, keberadaan penyakit seperti ini harus dianggap sebagai

factor penunjang saat mengkaji status imunokompetens pasien.

40
Berikut bentuk kelainan hospes dan penyakit serta terapi yang

berhubungan dengan kelainan hospes :

a. Kerusakan respon imun seluler (Limfosit T )

Terapi radiasi, defisiensi nutrisi, penuaan, aplasia timik,

limfoma, kortikosteroid, globulin anti limfosit, disfungsi timik

congenital.

b. Kerusakan imunitas humoral (Antibodi)

Limfositik leukemia kronis, mieloma, hipogamaglobulemia

congenital, protein liosing enteropati (peradangan usus).

3. Pemeriksaan Fisik (Objektif) dan Keluhan (Subyektif)

a. Aktifitas / Istirahat

1) Gejala :Mudah lelah,intoleran activity,progresi malaise,perubahan

pola tidur.

2) Tanda : Kelemahan otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi

aktifitas ( Perubahan TD, frekuensi Jantun dan pernafasan ).

b. Sirkulasi

1) Gejala : Penyembuhan yang lambat (anemia), perdarahan lama

pada cedera.

2) Tanda : Perubahan TD postural,menurunnya volume nadi

perifer, pucat / sianosis, perpanjangan pengisian kapiler.

c. Integritas dan Ego

41
1) Gejala : Stress berhubungan dengan kehilangan,mengkuatirkan

penampilan, mengingkari doagnosa, putus asa,dan sebagainya.

2) Tanda : Mengingkari,cemas,depresi,takut,menarik diri, marah.

d. Eliminasi

1) Gejala : Diare intermitten, terus menerus, sering dengan atau

tanpa kram abdominal, nyeri panggul, rasa terbakar saat miksi.

2) Tanda : Feces encer dengan atau tanpa mucus atau darah, diare

pekat dan sering, nyeri tekan abdominal, lesi atau abses rectal,

perianal, perubahan jumlah, warna dan karakteristik urine.

e. Makanan / Cairan

1) Gejala : Anoreksia, mual muntah, disfagia

2) Tanda : Turgor kulit buruk, lesi rongga mulut, kesehatan gigi

dan gusi yang buruk, edema

f. Hygiene

1) Gejala : Tidak dapat menyelesaikan AKS

2) Tanda : Penampilan tidak rapi, kurang perawatan diri.

g. Neurosensoro

1) Gejala : Pusing, sakit kepala, perubahan status mental,kerusakan

status indera,kelemahan otot,tremor,perubahan penglihatan.

2) Tanda : Perubahan status mental, ide paranoid, ansietas, refleks

tidak normal,tremor,kejang,hemiparesis,kejang.

h. Nyeri / Kenyamanan

42
1) Gejala : Nyeri umum / local, rasa terbakar, sakit

kepala,nyeri dada pleuritis.

2) Tanda : Bengkak sendi, nyeri kelenjar,nyeri tekan,penurunan

rentan gerak,pincang.

i. Pernafasan

1) Gejala : ISK sering atau menetap, napas pendek progresif,

batuk, sesak pada dada.

2) Tanda : Takipnea, distress pernapasan, perubahan bunyi napas,

adanya sputum.

j. Keamanan

1) Gejala : Riwayat jatuh, terbakar,pingsan,luka,transfuse

darah,penyakit defisiensi imun, demam berulang,berkeringat

malam.

2) Tanda : Perubahan integritas kulit,luka perianal / abses,

timbulnya nodul, pelebaran kelenjar limfe, menurunya kekuatan

umum, tekanan umum.

k. Seksualitas

1) Gejala : Riwayat berprilaku seks dengan resiko tinggi,

menurunnya libido, penggunaan pil pencegah kehamilan.

2) Tanda : Kehamilan,herpes genetalia.

l. Interaksi Sosial

1) Gejala : Masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis, isolasi,

kesepian, adanya trauma AIDS.

43
2) Tanda : Perubahan interaksi.

B. Diagnosa Keperawatan

1. Defisit Nutrisi

a. Gejala dan Tanda Mayor dan Minor :

1) Data Subjektif :

a) Kram/nyeri abdomen

b) Nafsu makan menurun

2) Data Objektif :

a) Berat badan menurun minimal 10% di bawah

rentang ideal.

b) Otot pengunyah lemah

c) Otot menelan lemah

d) Membran mukosa pucat

e) Sariawan

f) Rambut rontok berlebihan

g) Diare

b. Kondisi Klinis Terkait : Infeksi, AIDS

2. Gangguan Pertukaran Gas

a. Gejala dan Tanda Mayor dan Minor :

1.) Data Subjektif :

a) Dispnea

b) Pusing

44
c) Penglihatan kabur

2.) Data Objektif :

a) PCO2 meningkat/menurun

b) PO2 menurun

c) Takikardia

d) Bunyi napas tambahan

f) Sianosis

g) Pola napas abnormal

h) Warna kulit abnormal

b. Kondisi Klinis Terkait : PPOK, Pneumonia, Tuberkulosis Paru,

Infeksi saluran napas.

3. Gangguan Integritas Kulit/Jaringan

a. Gejala dan Tanda Mayor dan Minor :

1.) Data Subjektif :

2.) Data Objektif :

a) Kerusakan jaringan dan lapisan kulit

b) Nyeri

c) Kemerahan

b. Kondisi Klinis Terkait : Imunodefisiensi (mis.AIDS).

45
4. Risiko Infeksi

Kondisi klinis terkait : AIDS

5. Hipertermia

a. Gejala dan Tanda Mayor dan Minor :

1.) Data Subjektif :

2.) Data Objektif :

a) Suhu tubuh diatas nilai normal

b) Kulit merah

c) Kejang

d) Takikardia

e) Takipnea

f) Kulit terasa hangat

b. Kondisi Klinis Terkait : Proses infeksi.

6. Keletihan

a. Gejala dan Tanda Mayor dan Minor :

1.) Data Subjektif :

a) Merasa energi tidak pulih walaupun telah tidur

b) Merasa kurang tenaga

c) Mengeluh lelah

d) Merasa bersalah akibat tidak mampu menjalankan

tanggung jawab.

46
2.) Data Objektif :

a) Tidak mampu mempertahankan aktivitas rutin

b) Tampak lesu

c) Kebutuhan istirahat meningkat.

b. Kondisi Klinis Terkait : AIDS.

7. Isolasi Sosial, dll.

a. Gejala dan Tanda Mayor dan Minor :

1.) Data Subjektif :

a) Merasa ingin sendirian

b) Merasa tidak aman di tempat umum

c) Merasa berbeda dengan orang lain

d) Merasa tidak mempunyai tujuan yang jelas.

2.) Data Objektif :

a) Menarik diri

b) Tidak berminat/menolak berinteraksi dengan orang

lain atau lingkungan

c) Afek datar

d) Afek sedih

e) Tidak ada kontak mata

f) Tidak bergairah/lesu.

b. Kondisi Klinis Terkait : AIDS, Tuberkulosis.

47
C. Intervensi dan Luaran Keperawatan

No Dx Keperawatan Tujuan/luaran Intervensi


1. Defisit Nutrisi. Setelah dilakukan 1. Manajemen nutrisi

Definisi: Asupan intervensi selama ... Definisi

nutrisi tidak (waktunya,contoh 1x Mengidentifikasi dan mengelola asupan nutrisi

cukup untuk 24 jam atau 8 jam), yang seimbang

memenuhi maka Status Nutrisi Tindakan

kebutuhan Membaik, dengan Observasi

metabolisme. kriteria hasil : - Identifikasi status nutrisi

- Porsi makanan - Identifikasi alergi dan intoleransi makanan

yang dihabiskan - Identifikasi makanan yang disukai

meningkat (5) - Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis

- Kekuatan otot nutrien

pengunyah - Identifikasi perlunya penggunaan selang

meningkat (5) nasogastrik

- Kekuatan oto - Monitor asupan makanan

menelan - Monitor berat badan

meningkat (5) - Monitor hasil pemeriksaan laboratorium

- Nyeri abdomen Terapeutik

Menurun (5) - Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika

- Sariawan perlu

menurun (5) - Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis.

48
- Diare menurun piramida makanan)

(5) - Sajikan makanan secara menarik dan suhu

- Berat badan yang sesuai

membaik (5) - Berikan makanan tinggi serat untuk

- Frekuensi mencegah konstipasi

makan membaik - Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi

(5) protein

- Nafsu makan - Berikan suplemen makanan, jika perlu

membaik (5) - Hentikan pemberian makanan melalui

selang nasogastrik jika asupan oral dapat

ditoleransi

Edukasi

- Ajarkan posisi duduk, jika mampu

- Ajarkan diet yang diprogramkan

Kolaborasi

- Kolaborasi pemberian medikasi sebelum

makan (mis. Pereda nyeri, antiemetik, jika

perlu

- Kolaborasi dengan ahli gizi untuk

menentukan jumlah kalori dan jenis nutrien

yang di butuhkan, jika perlu.

2. Promosi berat badan

Definisi

49
Memfasilitasi peningkatan berat badan

Tindakan

Observasi

- Identifikasi kemungkinan penyebab BB

kurang

- Monitor adanya mual dan muntah

- Monitor jumlah kalori yang dikomsumsi

sehari-hari

- Monitor berat badan

- Monitor albumin, limfosit, dan elektrolit

serum

Terapeutik

- Berikan perawatan mulut sebelum

pemberian makan, jika perlu

- Sediakan makanan yang tepat sesuai

kondisi pasien (mis. makanan dengan

tekstur halus, makanan yang diblender,

makanan cair yang diberikan melalui NGT

atau gastrotomi, total parenteral nutrition

sesuai indikasi)

- Hidangkan makanan secara menarik

- Berikan suplemen, jika perlu

- Berikan pujian pada pasien / keluarga untuk

50
peningkatan yang dicapai

Edukasi

- Jelaskan jenis makanan yang bergizi tinggi,

namun tetap terjangkau

- Jelaskan peningkatan asupan kalori yang

dibutuhkan.

3. Manajemen Diare

Definisi :

Mengidentifikasi dan mengelola diare dan

dampaknya

Tindakan

Observasi:

- Identifikasi penyebab diare

- Identifikasi riwayat pemberian makanan

- Monitor warna, volume, frekuensi, dan

konsistensi tinja.

- Monitor tanda dan gejala hypovolemia

- Monitor jumlah pengeluaran diare

Terapeutik :

- Berikan asupan cairan oral

- Pasang jalur intravena

- Berikan cairan intravena

- Ambil sampel darah untuk pemeriksaan

51
darah lengkap dan elektrolit

- Ambil sampel feses untuk kultur, jika

perlu

Edukasi:

- Anjurkan makanan porsi kecil dan

sering secara bertahap

- Anjurkan menghindari makanan

pembentuk gas, pedas dan mengandung

laktosa.

Kolaborasi:

- Kolaborasi pemberian obat antimotilitas

- Kolaborasi pemberian obat

antispasmodic/spasmotilik

- Kolaborasi pemberian obat pengeras

feses.
2. Gangguan Setelah dilakukan 1. Pemantauan Respirasi

Pertukaran Gas. intervensi selama ... Definisi :

Definisi: (waktunya,contoh 1x Mengumpulkan dan menganalisis data

Kelebihan atau 24 jam atau 8 jam), untuk memastikan kepatenan jalan napas

kekurangan maka pertukaran gas dan keefektifan pertukaran gas.

oksigenasi meningkat, dengan Tindakan :

dan/atau kriteria hasil : a. Observasi :

eleminasi - Dispnea 1.) Monitor frekuensi, irama, kedalaman

karbondioksida menurun (5) dan upaya napas.

52
pada membran - Bunyi napas 2.) Monitor pola napas (seperti

alveolus-kapiler. tambahan bradipnea, takipnea, hiperventilasi,

menurun (5) kussmaul, cheyne-stokes, biot

- Takikardia ataksik).

menurun (5) 3.) Monitor kemampuan batuk efektif

- Pusing menurun 4.) Monitor adanya produksi sputum

(5) 5.) Monitor adanya sumbatan jalan

- Penglihatan napas

kabur menurun 6.) Palpasi kesimetrisan ekspansi paru

(5) 7.) Auskultasi bunyi napas

- Gelisah 8.) Monitor saturasi oksigen

menurun (5) 9.) Monitor nilai AGD

- Napas cuping 10.) Monitor hasil x-ray toraks

hidung menurun b. Terapeutik :

(5) 1.) Atur interval pemantauan respirasi

- PCO2 membaik sesuai kondisi pasien.

(5) 2.) Dokumentasikan hasil pemantauan.

- PO2 membaik c. Edukasi :

(5) 1.) Jelaskan tujuan dan prosedur

- Sianosis pemantauan

membaik (5) 2.) Informasikan hasil pemantauan, jika

- Pola napas perlu

membaik (5)

53
- Warna kulit 2. Terapi oksigen

membaik (5). Definisi :

Memberikan tambahan oksigen untuk

mencegah dan mengatasi kondisi

kekurangan oksigen jaringan.

Tindakan :

a. Observasi :

1.) Monitor kecepatan aliran oksigen

2.) Monitor posisi alat terapi oksigen

3.) Monitor aliran oksigen secara

periodik dan pastikan fraksi yang

diberikan cukup

4.) Monitor efektivitas terapi oksigen

(mis. Oksimetri, analisa gas darah),

jika perlu

5.) Monitor kemampuan melepaskan

oksigen saat makan

6.) Monitor tanda-tanda hipoventilasi

7.) Monitor tanda dan gejala toksikasi

oksigen dan atelektasis

8.) Monitor tingkat kecemasan akibat

terapi oksigen

9.) Monitor integritas mukosa hidung

54
akibat pemasangan oksigen

b. Terapeutik :

1.) Bersihkan sekret pada mulut, hidung

dan trakea, jika perlu

2.) Pertahankan kepatenan jalan napas

3.) Siapkan dan atur peralatan

pemberian oksigen

4.) Berikan oksigen tambahan, jika

perlu

5.) Tetap berikan oksigen saat pasien

ditransportasi

6.) Gunakan perangkat oksigen yang

sesuai dengan tingkat mobilitas

pasien

c. Edukasi :

1.) Ajarkan pasien dan keluarga cara

menggunakan oksigen di rumah.

d. Kolaborasi :

1.) Kolaborasi penentuan dosis oksigen

2.) Kolaborasi penggunaan oksigen saat

aktivitas dan/atau tidur.

3. Gangguan Setelah dilakukan 1. Perawatan Integritas Kulit

55
Integritas intervensi selama ... Definisi

Kulit/Jaringan. (waktunya,contoh 1x Mengidentifikasi dan merawat kulit untuk

Definisi: 24 jam atau 8 jam), menjaga keutuhan, kelembaban dan mencegah

Kerusakan kulit maka Integritas kulit perkembangan mikroorganisme.

(dermis dan/atau dan jaringan Tindakan

epidermis) dan meningkat, dengan  Observasi

jaringan kriteria hasil : - Identifikasi penyebab gangguan

(membran - Elastisitas integritas kulit

mukosa, tulang, meningkat (5)  terapeutik

kapsul sendi - Kerusakan - Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah


dan/atau jaringan baring
ligamen). menurun (5) - Bersihkan perineal dengan air
- Kerusakan
hangat, terutama selama periode
lapisan kulit
diare
menurun (5)
- Gunakan produk berbahan petrolium
- Nyeri menurun
atau minyak pada kulit kering
(5)
- Gunakan produk berbahan
- Kemerahan
ringan/alami dan hipoalergik pada
menurun (5)
kulit sensitif
- Pigmentasi
- Hindari produk berbahan dasar
abnormal
alkohol pada kulit kering.
menurun (5)

- Suhu kulit
 Edukasi

56
membaik (5) - Anjurkan menggunakan pelembap

- Tekstur - Anjurkan minum air yang cukup

membaik (5). - Anjurkan meningkatkan asupan

nutrisi

- Anjurkan meningkatkan asupan

buah dan sayur

- Anjurkan menghindari terpapar suhu

ekstrem.

- Anjurkan mandi dan menggunakan

sabun secukupnya.

2. Perawatan Luka

Definisi

Mengidentifikasi dan meningkatkan

penyembuhan luka serta mencegah terjadinya

komplikasi.

Tindakan

 Observasi

- Monitor tanda-tanda infeksi

 Terapeutik

- Berikan salep yang sesuai ke

kulit/lesi, jika perlu

- Berikan suplemen vitamin dan

mineral

57
- Berikan terapi TENS, jika perlu

 Edukasi

- Jelaskan tanda dan gejala infeksi

- Anjurkan mengkonsumsi makanan

tinggi kalori dan protein

 Kolaborasi

- Kolaborasi prosedur debridement

- Kolaborasi pemberian antibiotik,

jika perlu.

3. Manajemen Nyeri

Definisi

Mengidentifikasi dan mengelola pengalaman

sensorik atau emosional yang berkaitan dengan

kerusakan jaringan atau fungsional dengan

onset mendadak atau lambat dan berintensitas

ringan hingga berat dan konstan.

Tindakan

 Observasi

- Identifikasi lokasi, karakteristik,

durasi, frekuensi kualitas, intensitas

nyeri.

- Identifikasi skala nyeri

- Identifikasi respons nyeri non verbal

58
- Identifikasi faktor yang

memperberat dan memperingan

nyeri.

- Identifikasi pengetahuan dan

keyakinan tentang nyeri

- Identifikasi pengaruh budaya

terhadap respon nyeri.

- Identifikasi pengaruh nyeri pada

kualitas hidup

- Monitor keberhasilan terapi

komplementer yang sudah diberikan

- Monitor efek samping penggunaan

analgetik

 Terapeutik

- Berikan teknik nonfarmakologis

untuk mengurangi rasa nyeri

- Kontrol lingkungan yang

memperberat rasa nyeri

- Fasilitasi istirahat dan tidur

- Pertimbangkan jenis dan sumber

nyeri dalam pemilihan strategi

meredakan nyeri.

 Edukasi

59
- Jelaskan penyebab, periode, dan

pemicu nyeri

- Jelaskan strategi meredakan nyeri

- Anjurkan memonitor nyeri secara

mandiri

- Anjurkan menggunakan analgetik

secara tepat

- Ajarkan teknik nonfarmakologis

untuk mengurangi rasa nyeri

 Kolaborasi

- Kolaborasi pemberian analgetik, jika

perlu.
4. Resiko Infeksi Setelah dilakukan 1. Pencegahan infeksi

Definisi: Berisiko intervensi selama ... Definisi

mengalami (waktunya,contoh 1x Mengidentifikasi dan menurunkan risiko

peningkatan 24 jam atau 8 jam), terserang organisme patogenik.

terserang maka Tingkat infeksi Tindakan

organisme menurun, dengan Observasi

patogenik. kriteria hasil : - Minitor tanda dan gejala infeksi local dan

- Kebersihan sistemik

badan Terapeutik

meningkat (5) - Batasi jumlah pengunjung

- Demam - Berikan perawatan kulit pada area edema

60
menurun (5) - Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak

- Kemerahan dengan pasien dan lingkungan pasien

menurun (5) - Pertahankan teknik aseptik pada pasien

- Nyeri menurun berisiko tinggi

(5) Edukasi

- Bengkak - Jelaskan tanda dan gejala infeksi

menurun (5) - Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar

- Periode malaise - Ajarkan etika batuk

menurun (5) - Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi

- Kadar sel darah - Anjurkan meningkatkan asupan cairan.

putih membaik

(5)

- Kultur feses

membaik (5)

- Nafsu makan

membaik (5).
5. Hipertermia. Setelah dilakukan 1. MANAJEMEN HIPETERMIA

Definisi: Suhu intervensi selama ... Defenisi

tubuh meningkat (waktunya,contoh 1x Mengindentifikasi dan mengelola peningkatan

di atas rentang 24 jam atau 8 jam), suhu tubuh akibat disfungsi termoregulasi

normal tubuh. maka Termoregulasi Tindakan

membaik, dengan Observasi

kriteria hasil : - Indentifikasi penyebab hipertermia (mis.

- Menggigil Dehidrasi,terpaparlingkungan panas,

61
menurun (5) pengunaan incubator)

- Kulit merah - Monitor suhu tubuh

menurun (5) - Monitor kader elektrolit

- Kejang - Monitor haluaran urine


menurun (5) - Monitor komplikasi akibat hipetermia
- Pucat menurun
Terapeutik
(5)
- Sediakan lingkungan yang dingin
- Takikardia
- Longgarkan atau lepaskan pakaian
menurun (5)
- Basahi dan kipasi permukaan tubuh
- Takipnea
- Berikan cairan oral
menurun (5)
- Ganti linen setiap hari atau lebih sering
- Suhu tubuh
jika mengalami hyperhidrosis ( keringat
membaik (5)
berlebihan )
- Suhu kulit
- Lakukan pendinginan eksternal ( mis.
membaik (5)
Selimut hipotermia atau kompres dingin

pada dahi, leher, dada, abdomen, aksila )

- Hindari pemberian antipiretik atau

aspirin

- Berikan oksigen, jika perlu

Edukasi

- Anjurkan tirah baring

Kolaborasi

- Kolaborasi pemberian cairan dan

62
elektrolit intervena, jika perlu

2. REGULASI TEMPERATUR

Defenisi

Mempertahankan suhu tubuh dalam rentang

normal

Tindakan

Observasi

- Monitor suhu bayi sampai stabil (35, 5o

C-37 , 50C )

- Monitor suhu tubuh anak tiap dua jam,

jika perlu

- Monitor tekanan darah, frekuensi

pernapasan dan nadi

- Monitor warna dan suhu kulit

- Monitor dan catat tanda dan gejala

hipotermia atau hipertermia

Terapeutik

- Pasang alat pemantauan suhu kontinu,

jika perlu

- Tingkatkan asupan cairan dan nutrisi

yang adekuat

- Bedong bayi segera setelah lahir untuk

mencegah kehilangan panas

63
- Masukkan bayi BBLR ke dalam plastik

segera setelah lahir ( mis. Bahan

polyethylene,polyurethane )

- Gunakan topi bayi untuk mencegah

kehilangan panas pada bayi baru lahir

- Tempatkan bayi baru lahir di bawah

radiant warmer

- Pertahankan kelembaban incubator 50%

atau lebih untuk mengurangi kehilangan

panas karena proses evaporasi

- Atur suhu inkubator sesuai kebutuhan

- Hangatkan terlebih dahulu bahan-bahan

yang akan kontak dengan bayi ( mis.

Selimut, kain bendongan, stetoskop )

- Hindari meletakkan bayi di dekat

jendela terbuka atau di area aliran

pendingin ruangan atau kipas angina

- Gunakan matras penghangat, selimut

hangatm, dan penghangat ruangan untuk

menaikkan suhu tubuh, jika perlu

- Gunakan kasur pendingin, water

circulating blankets, ice pack atau gel

pad dan intravascular cooling

64
catheterization untuk menurunkan suhu

tubuh

- Sesuaikan suhu lingkungan dengan

kebutuhan pasien

Edukasi

- Jelaskan cara pencegahan heat

exhaustion dan heat stroke

- Jelaskan cara pencegahan hipotermi

karena terpapar udara dingin

- Demonstrasikan teknik perawatan

metode kanguru ( PMK ) untuk bayi

BBLR

Kolaborasi

- Kolaborasi pembetrian antipiretik, jika

perlu
6. Keletihan. Setelah dilakukan 1. Edukasi Aktivitas/Istirahat

Definisi : intervensi selama ... Definisi :

Penurunan (waktunya,contoh 1x Mengajarkan pengaturan aktivitas dan

kapasitas kerja 24 jam atau 8 jam), istirahat

fisik dan mental maka Tingkat keletihan Tindakan

yang tidak pulih menurun, dengan Observasi:

dengan istirahat. kriteria hasil : - Identifikasi kesiapan dan kemampuan

- Verbalisasi menerima informasi.

kepulihan Terapeutik:

65
energi - Sediakan materi dan media pengaturan

meningkat (5) aktivitas dan istirahat

- Tenaga - Jadwalkan pemberian pendidikan

meningkat (5) kesehatan sesuai kesepakatan

- Kemampuan - Berikan kesempatan kepada pasien dan

melakukan keluarga untuk bertanya.

aktivitas rutin Edukasi :

meningkat (5) - Anjurkan terlibat dalam aktivitas

- Motivasi kelompok, aktivitas bermain atau

meningkat (5) aktivitas lainnya.

- Verbalisasi - Anjurkan menyusun jadwal aktivitas dan

lelah menurun istirahat

(5) - Ajarkan cara mengidentifikasi

- Lesu menurun kebutuhan istirahat (mis. kelelahan)

(5) - Ajarkan cara mengidentifikasi target dan

- Sakit kepala jenis aktivitas sesuai kemampuan.

menurun (5) 2. Manajemen Energi

- Sianosis Definisi :

menurun (5) Mengidentifikasi dan mengelola penggunaan

- Gelisah energi untuk mengatasi atau mencegah

menurun (5) kelelahan dan mengoptimalkan proses

- Frekuensi napas pemulihan.

menurun (5) Tindakan

66
- Perasaan Observasi:

bersalah - Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang

menurun (5) mengakibatkan kelelahan

- Nafsu makan - Monitor kelelahan fisik dan emosional

membaik (5) - Monitor pola dan jam tidur

- Pola napas - Monitor lokasi dan ketidaknyamanan

membaik (5) selama melakukan aktivitas

- Pola istirahat Terapeutik:

membaik (5). - Sediakan lingkungan nyaman dan

rendah stimulus

- Lakukan latihan rentang gerak pasif

dan/atau aktif

- Berikan aktivitas distraksi yang

menenangkan

- Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika

tidak dapat berpindah atau berjalan.

Edukasi:

- Anjurkan tirah baring

- Anjurkan melakukan aktivitas secara

bertahap

- Anjurkan menghubungi perawat jika

tanda dan gejala kelelahan tidak

berkurang

67
- Ajarkan strategi koping untuk

mengurangi kelelahan

Kolaborasi:

- Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara

meningkatkan asupan makanan.


7. Isolasi sosial. Setelah dilakukan 1. PROMOSI SOSIAL

Definisi : intervensi selama ... a. TINDAKAN

Ketidakmampuan (waktunya,contoh 1x 1) OBSERVASI

untuk membina 24 jam atau 8 jam), - Identifikasi kemampuan

hubungan yang maka Keterlibatan melakukan interaksi dengan

erat, hangat, sosial Meningkat, orang lain

terbuka, dan dengan kriteria hasil : - Identifikasi hambatan

interdependen - Minat interaksi melakukan interaksi dengan

dengan orang meningkat (5) orang lain

lain. - Minat terhadap 2) TERAPEUTIK

aktivitas - Motivasi meningkatkan

meningkat (5) keterlibatan dalam suatu

- Verbalisasi hubungan

isolasi menurun - Motivasi kesabaran dalam

(5) mengembangkan suatu

- Perilaku hubungan

menarik diri - Motivasi berpartisipasi dalam

menurun (5) aktivitas baru dan kegiatan

- Verbalisasi kelompok

68
perasaan - Motivasi berinteraksi di luar

berbeda dengan lingkungan (mis. Jalan-jalan,

orang lain ke toko buku)

menurun (5) - Diskusikan kekuatan dan

- Afek keterbatasan dalam

murung/sedih berkomunikasi dengan orang

menurun (5) lain

- Kontak mata - Diskusikan perencanaan

membaik (5). kegiatan di masa depan

- Berikan umpan balik positif

dalam perawatan diri

- Berikan umpan balik positif

pada setiap peningkatan

kemampuan

3) EDUKASI

- Anjurkan berinteraksi dengan

orang lain secara bertahap

- Anjurkan ikut serta kegiatan

sosial dan kemasyarakatan

- Anjurkan berbagi

pengalaman dengan orang

lain

- Anjurkan meningkatkan

69
kejujuran diri dan

menghormati hak orang lain

- Anjurkan penggunaan alat

bantu (mis. Kacamata dan

alat bantu dengar)

- Anjurkan membuat

perencanaan kelompok kecil

untuk kegiatan khusus

- Latih bermain peran untuk

meningkatkan keterampilan

komunikasi

- Latih mengekspresikan

marah dengan tepat

2. TERAPI AKTIVITAS

a. TINDAKAN

1.) OBSRERVASI

- Identifikasi defisit tingkat

aktivitas

- Identifikasi kemampuan

berpartisipasi dalam aktivitas

tertentu

- Identifikasi sumber daya

umtuk aktivitas yang

70
diinginkan

- Identifikasi strategi

meningkatkan partisipasi

dalam aktivitas

- Identifikasi makna aktivitas

rutin (mis. Bekerja) dan

waktu luang

- Monitor respons emosional,

fisik, sosial, dan spiritual

terhadap aktivitas

2.) TERAPEUTIK

- Fasilitasi fokus pada

kemampuan, bukan defisit

ang dialami

- Sepakati komitmen untuk

meningkatkan frekuensi dan

rentang aktivitas

- Fasilitasi memilih aktivitas

dan tetapkan tujuan aktivitas

ang konsisten sesuai

kemampuan fisik, psikologis,

dan sosial

- Koordinasikan pemilihan

71
aktivitas sesuai usia

- Fasilitasi makna aktivitas

yang dipilih

- Fasilitasi transportasi untuk

menghadiri aktivitas, jika

sesuai

- Fasilitasi pasien dan keluarga

dalam menyesuaikan

lingkungan untuk

mengakomodasi aktivitas

yang dipilih

- Fasilitasi aktivitas fisik rutin

(mis. Ambulasi, mobilisasi,

dan perawatan diri), sesuai

kebutuhan

- Fasilitasi aktivitas pengganti

saat mengalami keterbatasan

waktu, energi, atau gerak

- Fasilitasi aktivitas motorik

kasar untuk pasien hiperaktif

- Tingkatkan aktivitas fisik

untuk memelihara berat

badan, jika sesuai

72
- Fasilitasi aktivitasi motorik

untuk merelaksasi otot

- Fasilitasi aktivitas dengan

komponen memori implisit

dan emosional (mis.

Kegiatan keagamaan khusus)

untuk pasien demensia, jika

sesuai

- Libatkan dalam permainan

kelompok yang tidak

kompetitif, terstruktur, dan

aktif

- Tingkatkan keterlibatan

dalam aktivitas rekreasi dan

diversifikasi untuk

menurunkan kecemasan

(mis. Vocal grup, bola voli,

tenis meja, jogging,

berenang, tugas sederhana,

permainan sederhana, tugas

rutin, tugas rumah tangga,

perawatan diri, dan teka-teki

dan kartu)

73
- Libatkan keluarga dalam

aktivitas, jika perlu

- Fasilitasi mengembangkan

motivasi dan penguatan diri

- Fasilitasi pasien dan keluarga

memantau kemajuannya

sendiri untuk mencapai

tujuan

- Jadwalkan aktivitas dalam

rutinitas sehari-hari

- Berikan penguatan positif

atas partisipasi dalam

aktivitas

3.) EDUKASI

- Jelaskan metode aktivitas

fisik sehari-hari, ika perlu

- Ajarkan cara melakukan

aktivitas yang di pilih

- Anjurkan melakukan

aktivitas fisik, sosial,

spiritual, dan kognitif dalam

menjaga fungsi dan

kesehatan

74
- Anjurkan terlibat dalam

aktivitas kelompok atau

terapi, jika sesuai

- Anjurkan keluarga untuk

memberi penguatan positif

atas partisipasi dalam

aktivitas

4) KOLABORASI

- Kolaborasi dengan terapis

okupasi dalam merencanakan

dan memonitor program

aktivitas, jika perlu

- Rujuk pada pusat atau

program aktivitas komunitas,

jika perlu

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

75
Infeksi Oportunistik adalah infeksi yang disebabkan oleh

organisme yang biasanya tidak menyebabkan penyakit pada orang dengan

sistem kekebalan tubuh yang normal, tetapi dapat menyerang orang

dengan sistem kekebalan tubuh yang buruk. HIV ( Human

immunodeficiency Virus ) adalah virus pada manusia yang menyerang

system kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka waktu yang relatif

lama dapat menyebabkan AIDS, sedangkan AIDS sendiri adalah suatu

sindroma penyakit yang muncul secara kompleks dalam waktu relatif

lama karena penurunan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh

infeksi HIV. Infeksi oportunistik yang terjadi sebagai konsekuensi dari

turunnya jumlah sel T CD4+ pada pasien yang terinfeksi HIV merupakan

penyebab utama morbiditas dan mortalitas sehingga perlu dilakukan

tindakan pencegahan dan penatalaksanaan yang tepat.

Lima IO tersering di Indonesia adalah tuberkulosis, diare

kriptosporidial, kandidiasis mukokutaneus, ensefalitis toksoplasmik serta

pneumonia Pneumocystis. Intervensi terhadap IO yang paling bermakna

adalah pemberian ART, di samping terapi antimikrobial spesifik untuk IO.

Angka kejadian IO menurun drastis sejak diperkenalkannya kombinasi

ART yang efektif dan diimplementasikannya profilaksis IO sehingga

meningkatkan harapan dan kualitas hidup penderita HIV. Pemberian ART

di sisi lain juga berpotensi menimbulkan IRIS sehingga perlu

dipertimbangkan dalam menentukan dimulainya rejimen ART, terutama

pada pasien yang juga mendapat terapi spesifik untuk IO.

76
B. Saran

Kami sebagai penulis dapat berharap kepada para pembaca, setelah

membaca makalah ini. Para pembaca apalagi para mahasiswa keperawatan

dapat mengetahui tentang Asuhan Keperawatan dengan Infeksi

Oportunistik (IO), sehingga mampu menjadi bekal ataupun referensi bagi

mahasiswa kelak, dan kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang

membangun dari teman teman sekalian.

DAFTAR PUSTAKA

https://www.alodokter.com/infeksi-oportunistik-menyerang-sistem-kekebalan-
tubuh-yang-lemah (Di akses pada tanggal 24 April 2020).

77
https://id.wikipedia.org/wiki/Infeksi_oportunistik (Di akses pada tanggal 24 April
2020).
https://www.sehatq.com/artikel/beberapa-infeksi-oportunistik-dan-komplikasi-
hiv-yang-berbahaya (Di akses pada tanggal 24 April 2020).
https://www.scribd.com/doc/92251598/Askep-Infeksi-Oportunistik(Di akses pada
tanggal 24 April 2020).
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/50dfe6557b9dd498968e0
2634cbaf235.pdf (Di akses pada tanggal 24 April 2020).
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/download/848/pdf(Di
akses pada tanggal 24 April 2020).
PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Edisi 1 Cetakan III.
Jakarta Selatan: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Edisi 1 Cetakan II.
Jakarta Selatan : DPP PPNI.
PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Edisi 1 Cetakan II. Jakarta
Selatan: DPP PPNI.
Soedarto. (2009). Penyakit Menular di Indonesia (Cacing, Protozoa, Bakteri,
Virus, Jamur). Jakarta: Sagung Seto.

78

Anda mungkin juga menyukai