Anda di halaman 1dari 49

SKRIPSI

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KURIKULUM 2013 DI


SEKOLAH DASAR NEGERI 1 SULANGAI, DESA SULANGAI,
KECAMATAN PETANG,KABUPATEN BADUNG
BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Dalam era globalisasi, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) sangat menentukan
kemajuan suatu bangsa dan Negara.Kualitas SDM bergantung pada kualitas
pendidikan dan peran pendidik untuk menciptakan masyarakat yang cerdas,
terbuka dan demokratis.Oleh sebab itu, komponen dari sistem pendidikan nasional
harus senantiasa dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang
terjadi, baik pada tingkat lokal, nasional maupun global.Salah satu komponen
penting dari sistem pendidikan nasioal adalah kurikulum.
Kurikulum menurut UU No.20 Tahun 2003 telah menjelaskan mengenai sistem
pendidikan nasioal, didalamnya mencakup rencana dan peraturan mengenai
tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Senada dengan hal itu, Nana Sudjana (2006), juga mengemukakan bahwa
Kurikulum merupakan niat & harapan yang dituangkan kedalam bentuk rencana
maupun program pendidikan yang dilaksanakan oleh para pendidik di sekolah.
Kurikulum sebagai niat dan rencana, sedangkan pelaksanaannya adalah proses
belajar mengajar. Yang terlibat didalam proses tersebut yakni pendidik dan
peserta didik. Hal ini berarti kurikulum merupakan sautu hal yang penting dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan dan serangkaian proses
pembelajaran. Beberapa penjelasan diatas tentang kurikulum, dapat disimpulkan
bahwasanya kurikulum merupakan bagian yang 2
sangat penting dalam dunia pendidikan, terutama dalam hal pengembangan ide
dan rancangan menjadi proses pembelajaran yang lebih relevan untuk
mewujudkan cita-cita pendidikan nasional yang kita impikan selama ini.
Serangkaian persoalan pendidikan yang masih mengganjal dalam sistem
pendidikan di Indonesia adalah belum adanya sistem pembelajaran yang dinilai
tepat untuk menjawab cita-cita pendidikan selama ini, hal ini dibuktikan dengan
sederet pergantian Kurikulum yang dilakukan oleh Pemerintah dari tahun ke
tahun.Kurikulum merupakan bidang yang sulit untuk dipahami, tetapi sangat
terbuka untuk didiskusikan. Perubahan kurikulum dalam pendidikan nasioanl
Indonesia tercatat sejak tahun 1945telah mengalami 10 kali perubahan, yaitu pada
tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, yang disusul
dengan kurikulum terbaru yakni kurikulum 2013.
Perubahan kurikulum bertujuan mengarah pada perbaikan sistem pendidikan dan
meningkatkan kualitas pendidikan. Perubahan perlu dilakukan karena adanya
revitalisai kurikulum.Kurikulum 2013 muncul sebagai kritikan kurikulum
sebelumnya yakni KTSP 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan).Dalam
perjalanannya upaya mengangkat citra dan martabat Bangsa Indonesia di mata
dunia internasional, yang kini berada pada tingkat kurang menggembirakan, maka
perlu adanya revitalisasi pendidikan dalam arti perubahan-perubahan sistem
pendidikan secara fundamental dan kontekstual).
Ahmad Soehandji (2012), Sebagai sumbangan pemikiran, disampaikan beberapa
saran sebagai berikut:
1. Pendidkan di Indonesia harus memilki landasan filosofi yang kokoh, diarahkan
pada pembentukan identitas dan integrasi nasional, seperti wawasan kebangsaan
yang kuat, rasa patriotik yang tangguh, pandangan
3 multikultural yang luas, sikap kewarganeraan yang baik, serta ketaatan
beragama yang konsisiten,
2. Kurikulum harus disusun berdasarkan kajian yang mendalam dan dipilih
muatan yang benar-benar relevan dengan kebutuhan bangsa saat ini, terutama
yang menunjang secara langsung perkembangan ekonomi, penguatan industri dan
perdagangan, penguasaan teknologi, penyiapan tenaga kerja terampiil dengan etos
kerja yang tinggi, penciptaan lapangan kerja, pembentukan ahlak yang mulia,
serta nasionalisme yang kuat,
4. Adanya upaya peningkatan profesionalisme manajemen pendidikan dan
manajemen pembelajaran secara terus menerus, baik pada perencanaan, struktur
organisasi, pengembanngan SDM, maupun evaluasinya,

5. Berbagai inovasi dalam pembelajaran seperti Contextual Teaching and


Learning (CTL), Quantum Teaching and Learning (QTL), Accelerated Learning
((AL), Moving Class, dan PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan
Menyenangkan) dapat diadopsi sepanjang berdasarkan analisis kebutuhan yang
matang, sesuai dengan karakteristik bidang studi dan peserta didik,

6. Penjaminan mutu harus dilakukan secara terus menerus dan komperhensif


untuk seluruh komponen sistem pendidikan yaitu input, proses, output, dan
outcomes, dan

7. Pengalokasian anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD (UU
No.20 Tahun 2003 pasal 49 ayat 1) supaya direalisasikan secara efektif, konsisten,
transparan dan akuntabel.

Berdasarkan peryataan tersebut, ada beberapa hal yang perlu di benahi dari
kurikulum sebelumnya, dimana kurikulum yang baru ini diharapkan memuat
beberapa komponen diatas dan jika disimpulkan, maka yang menjadi harapan
besar adalah lahirnya kurikulum yang berbasis kompetensi. Kurikulum berbasis
kompetensi adalah “outcomes-based curriculum” dan oleh karena itu
pengembangan kurikulum diarahkan pada pencapaian kompetensi yang
dirumuskan dari SKL. Demikian pula penilaian hasil belajar dan hasil kurikulum
diukur dari pencapaian kompetensi. Keberhasilan kurikulum diartikan sebagai
pencapaian kompetensi yang dirancang dalam dokumen kurikulum oleh seluruh
peserta didik.
Pada saat ini Kurikulum 2013 sebagai kurikulum baru merupakan pembahasan
yang menarik untuk diperbincangkan dalam dunia pendidikan di Indonesia, Pada
awal tahun ajaran 2013/2014, pemerintah secara resmi telah menerapkan
kurikulum 2013 untuk di ujicoba di beberapa sekolah yang telah terakreditasi A
dan B, Yaitu pada Sekolah Dasar kelas I,II,III,IV,V dan kelas VI,
Eusabia Floreza.W (2014 : 3), juga mengemukakan bahwa Kurikulum 2013
sebagai kurikulum baru dalam dunia pendidikan menjadi penyempurna kurikulum
sebelumnya, yaitu kurikulum 2006 berbasis KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan).Beberapa yang menjadi landasan penyempurnaan kurikulum ini
diantaranya, landasan yuridis, landasan filososfis, landasan teoritis, dan landasan
empiris.Pertama secara yuridis, kurikulum adalah suatu kebijakan publik yang
didasarkan kepada dasar filosofis bangsa dan keputusan yuridis dibidang
pendidikan.
Landasan yuridis kurikulum 2013 adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945, Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 23 tahun 2006
tentang Standar Kompetensi Lulusan serta Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
nomor 22 tahun 2006 tentang Standar isi. Yang kedua adalah landasan filosofis,
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendikan nasional pengembangan kurikulum
haruslah berakar pada budaya bangsa, kehidupan bangsa masa kini, dan
kehidupan bangsa yang akan datang.Selanjutnya adalah landasan teoritis, dimana
kurikulum yang dikembangkan berdasar pada teori pendidikan dan standar teori
pendidikan yang berbasis kompetensi.
Dan yang terakhir adalah landasan empiris, secara kasat mata beberapa kurikulum
sebelumnya masih terlalu menekankan pada konsep penguasaan teori belaka tanpa
disertai praktik yang memadahi, sehingga peserta didik terkesan begitu konseptual
dalam berperilaku. Kurikulum 2013 hadir untuk menanggulangi hal tersebut
dengan harapan orientasi kurikulum yang tidak membebani peserta didik dengan
konten, namun pada aspek kemampuan esensial yang diperlukan semua warga
Negara untuk berperanserta dalam membangun Negara pada masa yang akan
datang.(http://kangmartho.com : 23/09/2017).
Penyempurnaan ini, dilaksanakan guna menigkatkan sistem pendidikan nasional
agar selalu relevan dan kompetitif.Selain itu, juga diharapkan mampu
memecahkan berbagai persoalan bangsa khususnya dalam bidang pendidikan
sehingga dalam hal ini, sekolah harus mengupayakan keberhasilan implementasi
kurikulum 2013, melalui berbagai program pengambangan yang
dilakukan.Pengembangan fasilitas dan penguatan manajemen sekolah perlu
dilakukan sehingga pelaksanaan kurikulum dapat berjalan dengan
baik.Pemerintah juga perlu melakukan strategi penerapan Kurikulum dengan
Sosialisasi dan pelatihan yang memadahi agar kurikulum 2013 tidak hanya
menjadi program yang sia-sia. Oleh sebab itu, lahirnya kebijakan baru ini,
tentunya harus tetap disikapi dengan positif jangan sampai menjadi beban guru,
siswa, serta satuan pendidikan yang berkecimpung dan menaruh perhatian
terhadap pendidikan.
Sejak tahun 2013, tercatat 13 Kabupaten yang berada di Provinsi Sulawesi-selatan
telah menerapkan kurikulum 2013, hal ini senada dengan ungkapan Kepala Dinas
Pendidikan Sulawesi-selatan (Tribun timur, 15/07/2013), mengungkapkan bahwa
sekitar 13 Kabupaten yang ada di Sulawesi selatan mulai menjalankan kurikulum
2013 mulai tahun ajaran 2013/2014. Lanjut beliau menyampaikan pula bahwa
lahirnya kurikulum ini bertujuan untuk menyempurnakan kurikulum sebelumnya.
“Kurikulum ini sebenarnya penyempurna dari kurikulum KTSP.Kurikulum ini
hadir karena adanya dinamika kebutuhan siswa, Djabbar menyebutkan kurikulum
2013 yakni meningkatkan kualitas wawasan siswa agar bisa menyerap kebutuhan
kedepannya.Selain itu, kurikulum 2013 berupaya untuk meningkatkan sikap
perilaku siswa agar bertindak lebih positif.Kurikulum ini membuat siswa
mengembangkan sikap, keterampilan dan pengetahauannya.Sehingga dalam
pembelajaran, keaktifan siswa akan lebih dominan,”Jelasnya.
Dari 13 Kabupaten yang menerapkan kurikulum 2013 , Kabupaten Pangkep
termasuk salah satunya. Pada saat itu hanya beberapa sekolah yang terpilih untuk
diterapkan karena beberapa pertimbangan, seperti sarana dan parasarana yang
masih kurang lengkap, kualitas guru yang masih kurang memadahi, serta beberapa
pertimbangan lain. Hal ini diperjelas oleh salah seorang guru sekolah dasar yang
kebetulan mengajar di salah satu sekolah paling ujung Kab.Pangkep dan
merupakan daerah perbatasan dengan
kabupaten lain yakni kecamatan Mandalle. “Beberapa kendala yang kami alami
sebagai seorang guru adalah masih terbatasnya sarana dan prasaran penunjang
seperti komputer, alat peraga dalam pembelajaran, seperti pelajaran IPA, serta
pelatihan kompetensi guru yang masih terbatas, menyebabkan kami kesulitan
untuk memahami secara teknis pelaksanaan pembelajran yang berbasis
kurikulum tersebut, Ujarnya (19/09/2017).
Kondisi geografis memang tidak bisa di pungkiri dalam pelaksanaan suatu
kebijakan atau program Pemerintah. Terkadang hal seperti ini yang membuat
pembangunan tidak merata di seluruh pelosok Tanah Air, termasuk dalam
pembangunan sarana pendidikan yang memadahi. Kecamatan Mandalle salah
satunya, mulai dari di terapkannya kurikulum 2013 baru 2 Sekolah Dasar yang
menerapkan kurikulum ini, yakni SDN 33 Boddie dan SDN 20 Mandalle.
Penerapan Kurikulum 2013 pada SDN 33 Boddie sudah berjalan selama ± 3
Tahun. Dalam praobservasi yang dilakukan oleh peneliti, didapatkan beberapa
hasil bahwa, pembelajaran dengan kurikulum 2013 sudah berjalan selama
beberapa tahun terakhir, namun masih terdapat beberapa kendala seperti ukuran
dan tujuan kebijakan Kurikulum 2013 yang tergolong cukup ideal dikarenakan
ada dua komponen yang ingin dicapai sekaligus, yakni lulusan yang berkarakter
dan berkompetensi. Sementara kondisi peserta didik di SDN 33 Boddie belum
mumpuni untuk mencapai dua hal tersebut dalam proses yang bersamaan karena
daya tanggap peserta didik masih tergolong lambat dalam Proses Belajar
Mengajar (PBM), sehingga guru harus mengajar secara perlahan dari tiap materi.
Dari sisi sumberdaya , sarana belajar yang tersedia terdiri dari 6 ruang kelas, 1
ruang perpustakaan dan belum memliki LAB untuk peyimpanan alat-alat peraga
serta praktikum. Di SDN 33 Boddie mempunyai 7 Guru, 2 staff, 1
penjaga sekolah, dan 1 Kepala sekolah, 3 diantaranya yang memegang kelas
masih berstatus sebagai guru honorer dan belum mengikuti banyak pelatihan
kompetensi tenaga pendidik.
Dalam pelaksanaan kurikulum ini, juga terdapat beberapa organisai yang akan
terlibat dalam pengimplementasian kebijakan. Diantaranya SDN 33 Boddie, Dinas
Pendidikan Kab.Pangkep, Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan (UPTD)
Pendidikan Kec.Mandalle, Tim Pengawas tingkat sekolah dasar, serta komite
sekolah. Oleh karena letak geografis SDN 33 Bodiie yang berada cukup jauh dari
daerah perkotaan, menyebabkan seluruh agen pelaksana tersebut tidak bisa
melakukan pengawasan langsung terhadap sekolah ini terutama dari pihak Dinas
Pendidikan kabupaten. Begitupun pada saat sosialisasi kurikulum dan rapat kepala
sekolah di dinas kabupaten, terkadang kepala sekolah dan kepala UPTD
Pendidikan kecamatan mandalle mengalami keterlambatan selama beberapa kali
karena jarak kecamatan mandalle yang cukup jauh dari dinas penddikan
kabupaten pangkep, apalagi dengan info rapat yang datang secara tiba-tiba tanpa
melalui perantara surat atau dengan adanya surat namun hanya dititipkan ke
sekolah lain.
Selain itu, lingkungan sosial, politik, dan ekonomi juga merupakan lingkungan
eksternal yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan ini. Kecamatan mandalle
merupakan lingkungan kemasyarakatan yang mempunyai penduduk yang
berwatak keras serta kurangnya perhatian terhadap pendidikan, dengan penduduk
yang dominan berprofesi sebagai petani dan petambak. Beberapa tahun lalu,
terdapat kasus di salah satu sekolah kecamatan mandalle dimana guru dilaporkan
oleh orang tua siswa kepada pihak kepolisian, dikarenakan orang tua tersebut
tidak terima atas perlakuan guru terhadap anak kandungnya
pada saat guru tersebut mengajarkan pendidikan karakter yang disiplin terhadap
peserta didiknya. Jadi, jika demikian dapat diketahui bahwa pelaksanaan
kurikulum 2013 masih menuai beberapa kendala dalam pelaksanannya, karena
masih terdapat beberapa komponen yang belum siap dan memadahi untuk
melaksanakan kebijakan tersebut.
Berdasarkan pemaparan diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian pada
salah satu sekolah yang terpilih untuk diterapkannya kebijakan tersebut, yakni
SDN 33 Boddie, dengan berfokus pada sisi implementasi kebijakan. Untuk itu
dalam mengukur implementasi kebijakan kurikulum 2013 di SDN 33 BODDIE
Kec. Mandalle, Kab. Pangkep, penulis menggunakan teori Van Meter dan Van
Horn (1975) yang menggunakan enam variabel (ukuran dan tujuan kebijakan,
sumberdaya, karakteristik agen pelaksana, kecenderungan/disposisi para
pelaksana, komunikasi antarorganisasi dan aktivitas pelaksana, dan lingkungan
sosial, ekonomi dan politik) untuk mendeskripsikan implementasi kebijakan
tersebut dengan judul “Implementasi Kebijakan Kurikulum 2013 di Sekolah
Dasar Negeri 33 Boddie Kecamatan Mandalle Kabupaten Pangkep”.
I.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah
sebagai berikut “Bagaimana Pelaksanaan Kurikulum 2013 di Sekolah Dasar
Negeri 33 Boddie Kecamatan Mandalle Kabupaten Pangkep.?
I.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk Mendeskripsikan Implementasi
Kebijakan Kurikulum 2013 di Sekolah Dasar Negeri 33 Boddie Kecamatan
Mandalle Kabupaten Pangkep.
I.4. Manfaat Penelitian
a. Praktis

Secara praktis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangan saran dan
masukan bagi Pemerintah khususnya Dinas Pendidikan Kabupaten Pangkep dan
para stakeholder yang berkecimpung pada dunia pendidikan, termasuk guru dan
kepala sekolah dalam implementasi kebijakan kurikulum 2013 di sekolah,
khususnya untuk sekolah dasar
b. Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran intelektual


kearah pengembangan ilmu pengetahuan sosial khususnya dalam bidang kajian
Pemerintah Dinas Pendidikan dan sebagai bahan referensi bagi siapapun yang
berkeinginan melakukan penelitian lanjutan pada bidang yang sama.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Konsep Kebijakan Publik

II.1.1 Pengertian Kebijakan

Istilah “Kebijakan” dan “Publik” dalam Kebijakan Publik dapat disimak melalui
beberapa defenisi tentang kebijakan publik yang dikumpulkan dari berbagai
macam literatur. Kebijakan publik sebagai studi bagaimana, mengapa dan apa
efek dari tindakan aktif (action) dan pasif (inaction) pemerintah atau kebijakan
publik adalah studi tentang apa yang dilakukan pemerintah,mengapa pemerintah
mengambil tindakan tersebut, dan apa akibat dari tindakan tersebut (Fermana,
2009 : 34). Pendefinisian berguna untuk menyediakan informasi bagi para
perumus dan penganalisis kebijakan publik dikemudian hari manakala mereka
berdiskusi dalam ruang politis (Nawawi, 2009 : 7). Sedangkan menurut Nugroho
(2003) dalam (Nugroho, 2014 : 105), kebijakan publik tidak pernah muncul di
“ruangan khusus”.
Konsep dasar tentang kebijakan publik sebenarnya bermula dari bangsa Yunani
dan Romawi yang mengambil konsep publik dan privat. Bangsa Romawi
mendefinisikan kedua istilah tersebut dalam term res publica dan res priva.
Gagasan publik dan privat pada masa Yunani kuno diekspresikan dalam istilah
konion (yang dapat diartikan publik) dan idion (yang bisa diartikan privat).
Kemudian sejarah studi kebijakan publik sudah dapat dirasakan keberadaannya
sejak abad ke 18 SM pada masa pemerintahan Babilonia yang disebut dengan
Kode Hammurabi. Kode ini mengekspresikan keinginan membentuk ketertiban
publik yang bersatu dan adil pada masa ketika Babilonia mengalami transisi dari
Negara kota kecil menjadi wilayah yang luas (Fermana, 2009: 30-31).
Thomas Dye (1981 ; 10 seperti yang dikutip oleh Agus Subarsosno (2011: 1) yang
berpendapat bahwa:
“Kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak
melakukan (Public policy is whatever government choose to do or not to do).
Harold Laswell dan Abraham (1981) seperti yang dikutip oleh (Dye, 1981) yang
berpendapat bahwa:
“Kebijakan publik hendaknya berisi tujuan, nilai-nilai, dan praktika-praktika
sosial yang ada dalam masyarakat”
Pandangan yang berbeda yang dikemukakn oleh James Andreson (1973 : 3)
terkait policy yang mengatakan bahwa kebijakan publik sebagai kebijakan yang
ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah. Thoha (2008 :106-107), juga
menyimpulkan mengenai Policy yang mengatakan bahwa policy di suatu pihak
dapat berbentuk suatu usaha yang komplek dari masyarakat untuk kepentingan
masyarakat, dilain pihak policy merupakan teknik atau cara untuk mengatasi
konflik dan menimbulkan insentif.
Dalam pandangan David Easton yang dikutip oleh (Dye, 1981), juga
mengemukakan bahwa ketika pemerintah membuat kebijakan public, ketika itu
pula pemerintah mengalokasinilai-nilai kepada masyarakat, karena setiap
kebijakan mengandung nilai di dalamnya. Dan William N. Dunn (1994),
mengatakan bahwa kebijakan publik adalah suatu rangkaian pilihan-pilihan yang
saling berhubungan yang dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah pada
bidang-bidang yang menyangkut tugas pemerintah, seperti pertahanan keamanan,
energy, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan masyarakat, kriminalitas, perkotaan,
dan lain-lain.
Beberapa defenisi kebijakan public juga melengkapi beberapa konsep yang telah
dikemukakn sebelumnya, seperti yang telah diformulasikan oleh beberapa pakar
dan ahli antara lain sebagai berikut:
1. Kebijakan publik menitik-beratkan pada publik dan problem-problemnya
(Dewey, (1972) dalam Nawawi (2009 : 9) Kebijakan Publik membahas soal
bagaimana isu-isu dan persoalan-persoalan publik disusun (constructed) dan
didefiniskan serta bagaimana ke semua itu diletakkan dalm agenda kebijakan dan
agenda politik.
2. Suatu arah tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah
dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan
kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan
atau dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu
sasaran atau suatu maksud tertentu(Carl J.Frederick, Man His Governmen, 1963)
dalam Nawawi (2009 : 9).
3. Serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-
konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan dari pada sebagai suatu
keputusan tersendiri (Richard Rose, 1969) dalam Nawawi (2009 : 9).
4. Hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungan (Robert Estone, 1971)
dalam Nawawi (2009 : 9).
5. Keputusan tetap yang dicirikan dengan konsisitensi dan pengulangan (reputasi)
tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang mematuhi
keputusan tersebut. (Heinsz Elau & Kenneth Prewitt, 1973) dalam Nawawi
(2009 : 9).
Menurut Bridgman dan Glyn Davis (2000) yang juga dikuti dalam Nawawi
(2009 : 7) adalah banyaknya defenisi kebijakan publik menjadikan kita sulit untuk
menentukan secara tepat sebuah defenisi Kebijakan Publik. Oleh karenanya, untuk
memudahkan pemahaman kita terhadap kebijakan publik, kita dapat meninjaunya
dari 5 Karakterisitik Kebijakan Publik yaitu;
1. Memiliki tujuan yang didesain untuk dicapai atau tujuan yang dipahami.

2. Melibatkan keputusan beserta dengan konsekuensinya.

3. Terstruktur dan tersusun menurut aturan tertentu.

4. Pada hakikatnya adalah politis.

5. Bersifat dinamis.

Untuk memahami berbagai defenisi kebijakan publik, ada baiknya jika membahas
beberapa konsep kunci yang termuat dalam kebijakan publik seperti yang
diutarakan oleh Young dan Quinn (2002) dalam Suharto (2005 : 44-45) yaitu:
1. Tindakan pemerintah yang berwenang. Kebijakan publik adalah tindakan yang
dibuat dan diimplementasikan oleh badan pemerintah yang mewakili kewenangan
hukum, politis dan financial untuk melakukannya.
2. Sebuah reaksi terhadap kebutuhan dan masalah dunia nyata. Kebijakan publik
berupaya merespon masalah atau kebutuhan kongkrit yang berkembang di
masyarakat.
3. Seperangkat kegiatan yang berorientasi kepada tujuan. Kebijakan publik
biasanya bukanlah sebuah keputusan tunggal, melainkan terdiri dari beberapa
pilihan tindakan atau strategi yang dibuat untuk mencapai tujuan tertentu demi
kepentingan orang banyak.
4. Sebuah keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kebijakan
publik pada umumnya merupakan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah
sosial. Namun, kebijakan publik bisa juga dirumuskan berdasarkan keyakinan
berdasarkan keyakinan bahwa masalah sosial akan dapat dipecahkan oleh
kerangka kebijakan yang sudah ada dan karenanya tidak memerlukan tindakan
tertentu.

5. Sebuah justifikasi yang dibuat oleh seorang atau beberapa orang aktor.
Kebijakan publik berisi sebuah pernyataan atau justifikasi terhadap langkah-
langkah atau rencana tindakan yang telah dirumuskan. Keputusan yang telah
dirumuskan dalam kebijakan publik bisa dibuat oleh sebuah badan pemerintah,
maupun oleh beberapa perwakilan lembaga pemerintah.

Intinya dari semua pengertian tentang kebijakan publik, apapun bentuknya,


merupakan suatu landasan hukum yang sah bagi Pemerintah untuk mengambil
tindakan. Oleh karena itu, suatu kebijakan publik haruslah dibuat dengan penuh
pertimbangan dan diimplementasikan secara baik agar kebijakan tersebut berdaya
guna dan berhasil guna (Fatih, 2010: 2).

II.1.2 Proses Kebijakan Publik


Proses analisis kebijakan publik adalah serangkaian aktivitas intelektual yang
dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis tersebut
nampak dalam serangkaian kegiatan yang mencangkup penyusunan agenda,
formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian
kebijakan. Sedangkan aktivitas perumusan masalah, forecasting, rekomendasi
kebijakan, monitoring, dan evaluasi kebijakan adalah aktivitas yang lebih bersifat
intelektual (Subarsono, 2005: 8).
Sedangkan Michael Howlet dan M.Ramesh (1975) dalam (Nawawi, 2009: 16)
menyatakan bahwa proses kebijakan public terdiri dari lima tahapan yaitu:
penyusunan agenda (agenda setting), formulasi kebijakan (policy formulation),
pembuatan kebijakan (decision making), implementasi kebijakan (policy
implementation), dan evaluasi kebijakan (policy evaluation).
Siklus hidup atau tahap-tahap dari suatu kebijakan pada dasarnya adalah dimulai
dari perumusan masalah, identifikasi alternaitif solusi, penilaian alternatif, seleksi
alternatif, implementasi kebijakan dan kembali pada perumusan masalah. Di sela-
sela tahap-tahap tersebut terdapat aktivitas evaluasi maupun interpretasi (Wibawa,
2011: 5) sebagai berikut:

Gambar II.1

Siklus Hidup Kebijakan


Perumusan masalah
Evaluasi
Interpretasi
Identifikasi alternatif
Implementasi
Evaluasi
Interpretasi
Pemilihan alternatif
James Anderson (1979) dalam Nawawi (2009 : 15-16) menetapkan proses
kebijakan publik sebagai berikut:
1. Formulasi masalah (problem formulation):
2. Apa masalahnya? Apa yang membuat masalah tersebut menjadi rapat dalam
agenda pemerintah?
3. Formulasi kebijakan (formulation):
4. Bagaimana mengembangkan pilihan-pilihan atau alternatif-alternatif untuk
memecahkan masalah tersebut? Siapa saja yang berpartisipasi dalam formulasi
kebijakan?
5. Penentuan kebijakan (adoption): bagaimana alternatif ditetapkan? Persyaratan
/ kriteria seperti apa yang harus dipenuhi? Siapa yang akan melaksanakan
kebijakan? Bagaimana proses atau strategi untuk melaksanakan kebijakan? Apa
isi dari kebijakan yang telah ditetapkan?
6. Implementing (implementation): Siapa yang terlibat dalam implementasi
kebijakan? Apa yang mereka kerjakan? Apa dampak dari isi kebijakan?
7. Evaluasi (evaluation): Bagaimana tingkat keberhasilan atau dampak kebijakan
diukur? Siapa yang mengevaluasi kebijakan? Apa konsekuensi dari adanya
evaluasi kebijakan? Adakah tuntutan untuk melakukan perubahan atau
pembatalan.

II. 2 Konsep Implementasi Kebijakan Publik


II.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan secara sederhana dapat diartikan sebagai proses
menerjemahkan peraturan kedalam bentuk tindakan. Dalam praktiknya
implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang begitu kompleks bahkan
tidak jarang bermuatan politis karena wujudnya intervensi berbagai kepentingan.
18
Istilah implementasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti
peleksanaan atau penerapan. Studi implementasi merupakan suatu kajian
mengenai studi kebijakan yang mengarah pada proses pelaksanaan dari suatu
kebijakan Dalam praktiknya implementasi kebijakan merupakan suatu proses
yang begitu kompleks bahkan tidak jarang bermuatan politis dengan adanya
intervensi berbagai kepentingan.Untuk melukiskan kerumitan dalam proses
implementasi tersebut dapat dilihat pada pernyataan yang dikemukakan oleh
seorang ahli studi kebijakan Eugene Bardach dalam buku Agustino
(2012:138)yaitu:
"adalah cukup untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang
kelihatannya bagus di atas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dengan kata-
kata dan slogan-slogan yang kedengarannya mengenakan bagi telinga para
pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya. Dan lebih sulit lagi untuk
melaksanakannya dalam bentuk cara yang memuaskan semua orang termasuk
mereka anggap klien."
Dalam pendapat lain Daniel Mazmian dan Paul Sabatier (1983:61) dalam
(Agustino, 2016:128) mendefinisikan Implementasi Kebijakan sebagai:
"Pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undang-
undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-
keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya,
keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi,
menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai
cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya."
Implementasi merupakan salah satu bagian dari tahapan kebijakan publik yang
memiliki peran kedua setelah formulasi kebijakan. Implementasi sering diartikan
sebagai pelaksanaan atau pengaplikasian dari suatu kebijakan publik. Konsep
implementasi banyak disumbangkan oleh para pakar diantaranya yaitu Wahab
dalam (Akib, VOL 1 Nomor 1 2010: 1) dan beberapa penulis menempatkan tahap
implementasi kebijakan pada posisi yang berbeda, namun pada prinsipnya setiap
kebijakan publik selalu ditindak lanjuti dengan implementasi kebijakan. 19
Sedangkan Meter dan Horn dalam (Safawi et al., VOL 3 Nomor 2 2012 : 132)
mendefenisikan Implementasi Kebijakan sebagai tindakan yang dilakukan oleh
publik maupun swasta baik secara individu maupun kelompok yang ditujukan
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan kebijakan. Ripley
dan Franklin dalam (Sidik, VOL 19 Nomor 1 2015 : 29) mendefinisikan bahwa
Implementasi kebijakan publik adalah
“apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas
program,kebijakan,keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran nyata
(tangible output). Inti dari maksud implementasi kebijakan public adalah kegiatan
untuk mendistribusikan keluaran kebijakan (to deliver policy output) yang
dilakukan oleh para implementor kepada kelompok sasaran (target group)
sebagai upaya mewujudkan tujuan kebijakan.”
Sedangkan, Van Meter dan Van Horn, 1975 (Suratman, 2017, hal 25),
mendefinisikan implementasi kebijakan, sebagai:
"Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-
pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada
tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan
kebijaksanaan."
Lebih lanjut Van Meter dan Van Horn, 1975 (Suratman, 2017 : 26 ),
mendefenisikan bahwa implementasi kebijakan publik sebagai tindakan-tindakan
yang dilakukan oleh organisai publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-
tujuanyang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan sebelumnya. Tindakan-
tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan
menjadi tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka
melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil
ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan. Tahap implementasi kebijakan
tidak akan dimulai sebelum tujuan dan sasaran ditetapkan terlebih dahulu yang
dilakukan oleh formulasi kebijakan. Dengan demikian, tahapan implementasi 20
kebijakan terjadi hanya setelah undag-undang di tetapkan dan dana di sediakan
untuk membiayai implementasi tersebut.
Studi Implementasi adalah studi perubahan: bagaimana perubahan terjadi,
bagaimana kemungkinan perubahan bias dimunculkan. Ia juga merupakan studi
tentang mikrostruktur dari kehidupan politik; bagaimana organisasi di luar dan di
dalam sistem politik menjalankan urusan mereka dan berinteraksi satu sama lain;
apa motivasi-motivasi mereka bertindak seperti itu, dan apa motivasi lain yang
mungkin membuat mereka bertindak secara berbeda Jenkis (1978) dalam
(Parsons, 2001: 463).
Grindle dan Quade dalam (Rifandi dan Maryani, VOL 5 Nomor 1 2014: 122),
menyatakan bahwa untuk mengukur kinerja implementasi suatu kebijakan publik
harus memperhatikan variable kebijakan, organisasi, dan lingkungan. Karena
ketiga variable tersebut saling terkait dan mempengaruhi.
Lain halnya dengan Riant Nugroho (2014: 213-214) yang menawarkan sebuah
premis yaitu keberhasilan kebijakan publik di Negara-negara berkembang, 20%
berasal dari perumusan atau perencanaan yang sangat bagus, 60%
berkontribusi dari implementasi yang genius, dan 20% dari seberapa berhasil
dalam control implementasi”.
Implementasi kebijakan tidak serta merta berjalan begitu saja tanpa adanya alat
ukur yang jelas dalam pelaksanaanya, Ripley dan Franklin (1986: 232-233)
merumuskan kriteria pengukuran keberhasilan implementasi melalui tiga aspek
yaitu: (1) tingkat kepatuhan birokrasi terhadap kebijakan; (2) lancarnya pelaksaan
rutinitas fungsi dan tidak adanya kendala; serta (3) terwujudnya kinerja dan
dampak yang diinginkan. 21
Sedangkan menurut Goggin, proses implementasi kebijakan sebagai upaya
transfer informasi atau pesan dari institusi yang lebih tinggi ke institusi yang lebih
rendah diukur keberhasilan kinerjanya berdasarkan variable: (a) dorongan dan
paksaan pada tingkat federal; (b) kapasitas pusat/Negara; dan (c) dorongan dan
paksaan pada tingkat pusat dan daerah (Rifandi dan Maryani, VOL 5 Nomor 1
2014: 122).
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa implementasi
merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaku kebijakan melakukan
suatu kegiatan yang pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai
dengan tujuan dan maksud dari suatu kebijakan yang diimplmentasikan. Hal ini
senada dengan apa yang dikatakan oleh Lester dan Stewar Jr. (Agustino,
2012;139), mereka mengatakan bahwa implementasi sebagai suatu proses dan
suatu hasil (output).
Kebijakan yang diimplementasikan tentu diharapkan berjalan sebagaimana
tujaun yang telah ditetapkan sebelumnya, biasanya hal tersebut nampak dari
proses yang terjadi dengan hasil akhir yang sesuai, Keberhasilan suatu
implementasi kebijakan dapat diukur atau dapat dilihat dari proses pencapaian
tujuan hasil akhir (output).yaitu: tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin
diraih, hal ini tidak jauh berbeda dengan apa yang diutarakan oleh Grindle
(Agustino, 2012:139) sebagai berikut.
“Pengukuran keberhasilan implementasi dapat dilihat dari prosesnya, dengan
mempertanyakan apakah pelaksanaan program sesuai dengan yang telah
ditentukan yaitu melihat pada action program dari individual projects dan yang
kedua apakah tujuan program tersebut tercapai.”
Hal yang terpenting dalam kebijakan salah satunya berada pada proses
pelaksanaanya, apabila suatu program atau kebijakan dilaksanakan dengan baik
maka hasil yang dituju akan baik pula. Hal tersebut diperjelas oleh Odoji 1989 22
(Nawawi, 2009 :131 ), yang mengatakan bahwa pelaksanaan kebijakan adalah
sesuatu yang penting bahkan lebih penting dari pembuatan kebijakan. Kebijakan
hanya sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam
arsip kalau tidak diimplementasikan.
II.2.2. Model Pendekatan Implementasi Kebijakan Publik
Untuk memperkaya pemahaman kita tentang berbagai variable yang terlibat
dalam implementasi, maka akan dikolaborasi beberapa teori model implementasi
dibawah ini.
A.Model Van Meter dan Van Horn
Model pendekatan yang dirumuskan Van Meter dan Van Horn disebut dengan A
Model of the Policy Implementation (1975). Proses implementasi ini merupakan
sebuah abstraksi atau performansi suatu kebijakan yang pada dasarnya secara
sengaja dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan yang tinggi yang
berlangsung dalam hubungan berbagai variabel. Model ini mengandaikan
bahwaimplementasi kebijakan berjalan secara linear dari keputusan politik,
pelaksana dan kinerja kebijakan publik. Model inimenjelaskan bahwa kinerja
kebijakan dipengaruhi oleh beberapavariabel yang salingberkaitan,secara
rincivariable- variable tersebut yaitu:
a) Standar dan sasaran kebijakan / ukuran dan tujuankebijakan

Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkatkeberhasilannya dari ukuran


dan tujuan kebijakan yangbersifat realistis dengan sosio-kultur yang ada di
levelpelaksana kebijakan. Ketikaukurandan sasaran kebijakanterlalu ideal
(utopis), maka akan sulit direalisasikan(Agustino, 2006). Van Meter dan Van
Horn (dalamWidodo, 2007) mengemukakan untuk mengukur kinerjaimplementasi
kebijakan 23
tentunya menegaskan standar dansasaran tertentu yang harus dicapai oleh para
pelaksanakebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya merupakanpenilaian atas
tingkat ketercapaian standar dan sasarantersebut.
b) Sumber daya

Keberhasilan implementasi kebijakan sangattergantung dari kemampuan


memanfaatkan sumber dayayang tersedia. Manusia merupakan sumber daya
yangterpenting dalam menentukan keberhasilan suatuimplementasi kebijakan.
Setiap tahap implementasimenuntut adanya sumber daya manusia yang
berkualitassesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah
ditetapkan secara politik. Selain sumber dayamanusia, sumber daya finansial
dan waktu menjadiperhitungan penting dalam keberhasilan
implementasikebijakan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Derthicks(dalam
Van Mater dan Van Horn, 1975) bahwa:”New townstudy suggest that the limited
supply of federal incentiveswas a major contributor to the failure of the program”
c) Karakteristik organisasi pelaksana

Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputiorganisasi formal dan organisasi


informal yangakan terlibatdalam pengimplementasian kebijakan. Hal ini
pentingkarena kinerja implementasi kebijakan akan sangatdipengaruhi oleh ciri
yang tepat serta cocok dengan paraagen pelaksananya. Halini berkaitan dengan
kontekskebijakan yang akan dilaksanakan pada beberapa kebijakandituntut
pelaksana kebijakan yang ketat dan displin. Padakonteks lain diperlukan agen
pelaksana yang demokratisdan persuasif. Selain itu, cakupan atau luas wilayah
24
menjadipertimbangan penting dalam menentukan agen pelaksanakebijakan.
d) Komunikasi antar organisasi

Agar kebijakan publik bisa dilaksanakan denganefektif, menurut Van Horn


danVan Mater (dalam Widodo2007) apa yang menjadi standar tujuan harus
dipahami olehpara individu(implementors).Yang bertanggung jawab
ataspencapaian standar dan tujuan kebijakan, karena itu standardan tujuan
harus dikomunikasikan kepada para pelaksana.Komunikasi dalam kerangka
penyampaian informasikepada para pelaksana kebijakan tentang apa
menjadistandar dan tujuan harus konsisten dan seragam(consistency and
uniformity)dari berbagai sumberinformasi.
e) Disposisi atau sikap para pelaksana

Menurut pendapat Van Metter dan Van Horn (dalamAgustino 2006): ”sikap
penerimaan atau penolakan dariagen pelaksana kebijakan sangat
mempengaruhikeberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan publik.Hal ini
sangat mungkin terjadi karena kebijakan yangdilaksanakan bukanlah hasil
formulasi warga setempat yangmengenal betul permasalahan dan persoalan
yang merekarasakan. Tetapi kebijakan publik biasanya bersifattop downyang
sangat mungkin para pengambil keputusan tidakmengetahui bahkan tak mampu
menyentuh kebutuhan,keinginan atau permasalahan yang harus diselesaikan”.
25
f) Lingkungan sosial, politik, dan ekonomi

Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilaikinerja implementasi kebijakan


adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong
keberhasilankebijakan publik. Lingkungan sosial, ekonomi dan politikyang tidak
kondusif dapat menjadi sumber masalah dari kegagalan kinerja implementasi
kebijakan. Karena itu,upaya implementasi kebijakan mensyaratkan
kondisilingkungan eksternal yang kondusif.
B.Model Daniel Mazmian dan Paul Sabatier
Model Implementasi Daniel Mazmanian dalam Leo Agustino (2008:144),
“berpendapat bahwa peran penting dari implementasi kebijakan publik adalah
kemampuannya dalam mengidentifikasikan variabel - variabel yang
Mempengaruhi tercapainya tujuan - tujuan formal pada keseluruhan proses
implementasi”.
Lebih lanjut Paul A.Sebastier (1986) dalam Suratman (2017 : 99-100),
memodifikasi model mereka pada tahun (1973), berdasarkan riset di Eropa dan
Amerika, Mereka mengambangkan kerangka implementasi kebijakan,
mengidentifikasi tiga variabel bebas (indevenden variabel) yang mempengaruhi
keberhasilan implementasi, (variabel intervening, dan variabel dependen).
Mazmanian-Sabatier mengklasifikasi proses implementasi kebijakan dalam tiga
variabel, yaitu:
1. Variabel Independen

Mudah tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator


masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek, dan perubahan seperti
apa yang dikehendaki.Variabel mudah atau sulitnya mengendalikan masalah
yang dihadapi, meliputi indikator sebagai berikut: 26
a. kesukaran teknis
b. keragaman perilaku kelompok sasaran
c. persentase kelompok sasaran dibandingkan dengan jumlah penduduk
d. ruang lingkup perubahan perilaku yang diinginkan .
2. Variabel Intervening

Diartikan sebagai kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses


implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan,
dipergunakannya teori kasual, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan
hirarkis antara lembaga pelaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana,
dan perekrutan pejabat pelaksana yang memiliki keterbukaan dengan pihak luar,
variabel diluar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang
berkenaan dengan indikator kondisi sosio-ekonomi dan teknologi, dukungan
publik, sikap dan risorsis konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, serta
komitmen dan kualitas kepeminpinan dari pejabat pelaksana. Berikut beberapa
indikator yang berkaitan dengan hal tersebut, ;
a. Kejelasan dan konsistensi tujuan

b. Keteapatan alokasi sumber daya

c. Keterpaduan hirarki dalam dan diantara lembaga pelaksana

d. Rekruitmen pejabat pelaksana

e. Akses pihak luar secara formal.

3. Variabel Dependen

Yaitu tahapan dalam proses implementasi kebijakan publik dengan lima tahapan,
yang terdiri dari; pertama, pemahaman dari lembaga/badan pelaksana dalam
bentuk disusunnya kebijakan 27
pelaksana. Kedua, kepatuhan objek. Ketiga, hasil nyata. Keempat, penerimaan
atas hasil nyata. Terakhir, kelima, tahapan yang mengarah pada revisi atas
kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan, baik sebagian maupun keseluruhan
kebijakan yang bersifat mendasar. Berikut beebrapa indikator dalam variabel
dependen, yaitu:
a. Kondisi sosial ekonomi dan teknologi

b. Dukungan politik

c. Sikap dan sumber daya yang dimiliki oleh kelompok

d. Dukungan dari pejabat atasan

e. Komitmen dan kemampuan pejabat pelaksana.

Lebih jelasnya variabel - variabel yang dimaksud dapat diklasifikasikan menjadi


tiga kategori besar, yaitu:
1. Mudah atau tidaknya masalah yang akan digarap
2. Kemampuan kebijakan menstruktur proses implementasi secara tepat
3. Variabel - variabel diluar Undang - undang yang mempengaruhi
implementasi.
C.Model George C.Edward III
Model implementasi kebijakan ketiga yang berperspektif top down
dikembangakan oleh George C. Edward III dalam Leo Agustino (2016 : 136-141).
Edward III menamakan model implementasi kebijakan publiknyadengan Direct
and Indirect Impact on Implementation. Dalam pendekatan yang diteoremakan
oleh Edward III, terdapat empat variabel yang sangat menentukan keberhasilan
implementasi suatu kebijakan, yaitu: 28
1. Komunikasi

Variabel pertama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu


kebijakan menurut George C. Edward III adalah komunikasi. Komunikasi
menurutnya lebih lanjut, sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari
implementasi kebijakan publik. Implementasi yang efektif terjadi apabila para
pembuat keputusan sudah mengetahui apa yang akan mereka kerjakan.
Pengetahuan atas apa yang akan mereka kerjakan dapat berjalan bila
komunikasiberjalan dengan baik, sehingga setiap keputusan kebijakan dan
peraturan implementasi harus ditransmisikan (atau dikomunikasikan) kepada
bagian personalia yang tepat. Selain itu, kebijakan yang dikomunikasikan pun
harus tepat, akurat, dan konsisten. Komunikasi (atau pentransmisian informasi)
diperlukan agar para pembuat keputusan di dan para implementor akan semakin
konsisten dalam melaksanakan setiap kebijakan yang akan diterapkan di
masyarakat.
Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai (atau digunakan) dalam mengukur
keberhasilan variabel komunikasi tersebut di atas, yaitu:
a. Transmisi; penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu
implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam penyaluran
komunikasi adalah adanya salah pengertian (miskomunikasi), hal tersebut
disebagiankan karena komunikasi telah melalui beberapa tingkatan birokrasi,
sehingga apa yang diharapkan terdistorsi di tengah jalan.
b. Kejelasan; komunikasi yang diterima oleh para pelaksanan kebijakan (street-
level-bureuacrats) haruslah jelasdan tidak membingungkan (tidak 29
ambigu/mendua). Ketidakjelasan pesan kebijakan tidak selalu menghalangi
implementasi, pada tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibilitas
dalam melaksanakan kebijakan. Tetapi pada tatarn yang lain hal tersebut justru
akan menyelewengkan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan yang telah
ditetapkan.
c. Konsistensi; perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi
haruslah konsisten dan jelas (untuk diterapkan atau dijalankan). Karena jika
perintah yang diberikan sering berubah-ubah, maka dapat menimbulkan
kebingungan bagi pelaksana di lapangan.
2. Sumberdaya

Variabel atau faktor kedua yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu


kebijaka adalah sumberdaya. Sumberdaya merupakan hal penting lainnya,
menurut George C. Edward III, dalam mengimplementasikan kebijakan. Idikator
sumber-sumberdaya terdiri dari beberapa elemen, yaitu:
a. Staf, sumberdaya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf.
Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah satunya
disebagiankan oleh karena staf yang tidak mencukupi, memadai ataupun tidak
kompeten di bidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak
mencukupi, tetapi diperlukan pula kecukupan staf dengan keahlian dan
kemampuan yang diperlukan (kompeten dan kapabel) dalam
mengimplementasikan kebijakan atau melaksanakan tugas yang diinginkan oleh
kebijakan itu sendiri.
b. Informasi; dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua bentuk,
yaitu pertama informasi yang berhubungan dengan cara 30
melaksanakan kebijakan. Implementor harus mengetahui apa yang harus
mereka lakukan di saat mereka diberi perintah untuk melaksanakan tindakan.
Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap
peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan. Implementor harus
mengetahui apakah orang lain yang terlibat di dalam pelaksanaan kebijakan
tersebut patuh terhadap hukum.
c. Wewenang, pada umumnya kewenangan harus bersifa formal agar perintah
dapat dilaksanakan. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para
pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketika
wewenang itu nihil, maka kekuatan para implementor dimana publik tidak
terlegitimasi, sehingga dapat menggagalkan proses implementasi kebijakan.
Tetapi dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal tersebut ada, maka
sering terjadi kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan. Di satu pihak,
efektivitas kewenangan diperlukan dalam pelaksanaan implementasi kebijakan;
tetapi di sisi lain, efektivitas akan menyurut manakala wewenang diselewengkan
oleh para pelaksanan demi kepentingannya sendiri atau demi kepentingan
kelompoknya.
d. Fasilitas; fasilitas fisik juga merupakan faktor penting dalam implementasi
kebijakan. Implementor mungkin memiliki staf yang mencukupi, mengerti apa
yang harus dilakukannya, dan memiliki wewenang untuk melaksanakan
tugasnya, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka
implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil. 31
3. Disposisi

Variabel ketiga yang mempengaruhi tingkat keberhasilan implementasi kebijakan


publik, bagi George C. Edward III adalah disposisi. Disposisi atau sikap dari
pelaksana kebijakan adalah faktor penting ketiga dalam pendekatan mengenai
pelaksanaan suatu kebijakan publik. Jika pelaksanaan suatukebijakan ingin
efektif, maka para pelaksanan kebijakan tidak hanya harus mengetahui apa yang
akan dilakukan tetapi juga harusmemiliki kemampuan untuk melaksanakannya,
sehingga dalam praktiknya tidak menjadi bias. Hal-hal penting yang perlu
dicermati pada variabel disposisi adalah:
a. Pengangkatan birokrat;disposisi atau sikap para pelaksanan akan
menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan
bila personil yang ada tidak melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diinginkan
oleh pejabat-peabat tinggi. Karena itu, pemilihan dan pengangkatan
personilpelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada
kebijakan yang telah ditetaplan; lebih khusus lagi pada kepentingan warga.
b. Insentif, Edward menyatakan bahwa salah satu teknik yang disarankan untuk
mengatasi masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan
memanipulasi insentif. Oleh karena itu, pada umumnya orang bertindak menurut
kepentingan mereka sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para pembuat
kebijakan mempengaruhi tindakan para pelaksanan kebijakan. Dengan cara
menambah keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor
pendorong yang membuat para pelaksana 32
kebijakan melaksanakan perintah dengan baik. Hal inidilakukan sebagai upaya
memenuhi kepentingan pribadi (self interest) atau organisasi.
4. Strktur birokrasi

Variabel keempat menurut George C. Edward III, yang mempengaruhi tingkat


keberhasilan implementasi kebijakan publik adalah struktur birokrasi. Walaupun
sumber-sumber untuk melaksanakan suatu kebijakan tersedia atau para
pelaksanan kebijakan mengetahui apa yang seharusnya dilakukan dan
mempunyai keinginan untuk melaksanakan suatu kebijakan, kemungkinan
kebijakan tersebut tidak dapat terlaksana atau terealisasikan karena terdapatnya
kelemahan dalam struktur birokrasi. Kebijakan yang begitu kompleks menuntut
adanya kerjasama banyak orang, ketika struktur birokrasi tidak kondusif pada
kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan menyebagiankan sumberdaya-
sumberdaya menjadi tidak efektif dan menghambat jalannya kebijakan. Birokrasi
sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang
telah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi dengan baik.
Dua karakteristik menurut Edward III dalam Leo Agustino (2016 : 141) yang
dapat mendongkrak kinerja struktur birokrasi / organisasi ke arah yang lebih baik
adalah:
a. Membuat Standar Operating Procedures (SOPs) yang lebih fleksibel; SOPs
adalah suatu prosedur atau aktivitas terencana rutin yang memungkinkan para
pegawai (atau pelaksana kebijakan seperti aparatur, administratur atau birokrat)
untuk melaksanakan kegiatan-kegiatannya pada setiap harinya (days-todays
politics) sesuai dengan
33
standar yang ditetapkan (atau standar minimum yang dibutuhkan warga).

b. Melaksanakan fragmentasi, tujuannya untuk menyebar tanggungjawab


pelbagai aktivitas, kegiatan, atau program pada beberapa unit kerja yang sesuai
dengan bidangnya masing-masing. Dengan terfragmentasinya struktur birokrasi,
maka implementasi akan lebih efektif karena dilaksanakan oleh organisasi yang
kompeten dan kapabel.

II.2.3. Faktor Penentu Dilaksanakan atauTidaknya Suatu Kebijakan Publik


Dalam perjalananya kebijakan akan senantiasa mengandung resiko yang
berbeda, tergantung dari konsekuensi yang akan timbul dalam proses
pelaksanaannya. Oleh karenanya perlu pertimbangan mendalam sebelum
diimplementasikan, begitupun pada saat terlaksana, kebijakan akan selalu
dipengaruhi oleh beebrapa komponen yang terlibat didalamnya. Berdasarkan hal
tersebut, Leo Agustino (2012 :157) dalam bukunya menyebutkan beberapa faktor
yang mempengaruhi pelaksanaan atau tidaknya suatu kebijakan, yaitu:
a. Faktor penentu pemenuhan kebijakan

 Respeknya angota masyarakat pada otoritas dan keputusan pemerintah


 Adanya kesadaran untuk untuk menerima kebijakan

 Adanya sanksi hukum


 Adanya kepentingan public

 Adanya kepentingan pribadi


 Masalah waktu

b. Faktor penentu penolakan atau penundaan kebijakan


 Adanya kebijakan yang bertentangan dengan sistem nilai yang ada
34
 Tidak adanya kepastian hukum
 Adanya keanggotaan seseorang dalam suatu organisasi
 Adanya konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum.

II.3. Konsep Kurikulum


II.3.1 Pengertian Kurikulum
Kurikulum (curriculum) berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang berarti berlari
dan currere yang artinya tempat berpacu. Dalam bahasa Latin ”curriculum”
semula berarti a running course, or race course, especially a chariot race course
dan terdapat pula dalam bahasa Prancis ”courier” artinya ”to run,berlari”.
Kemudian istilah itu digunakan untuk sejumlah “courses” atau matapelajaran
yang harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar atau ijazah. Dalam bahasa
Arab, kurikulum diartikan dengan manhaj, yakni jalan yang terang yang dilalui
oleh manusia pada bidang kehidupan dan kemudian diterapkan dalam bidang
pendidikan. UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 menjelaskan kurikulum sebagai
sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta carayang digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan
kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya pada setiap satuan
pendidikan, Imam machawi (2014 : 73)
Kurikulum berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat (19)
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Berdasarkan
beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kurikulum adalah
seperangkat pedoman pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan, Meiana
Yurike Dewi (2016 : 26). 35
Rahmat Raharjo (2012) dalam Imam machawi (2014 : 73) Istilah kurikulum
mempunyai pengertian yang cukup beragam mulai dari pengertian yang sempit
hingga yang sangat luas. Pengertian kurikulum secarasempit seperti yang
dikemukakan oleh William B. Ragan yang dikutip oleh Hendyat Soetopo dan
Wasty Soemanto: ”Traditionally, the curriculum has meantthe Subject taugth in
school, or course of study”. Senada dengan definisi ini, Carter V. Good dalam
Imam machawi (2014 : 73) menyatakan: ”Curriculum as a systematic group of
courses or sequences of subjectrequired for graduation or certification in a major
field of sudy, for example, social studiescurriculum, physical education
curriculum...”. Ronald C. Doll mendefinisikan: “Thecurriculum of the school is the
formal and informal content and process by which learnergain
knowledgeunderstanding develop skiils and alter attitude appreciations and
valuesunder the auspice of that school”.
Beberapa Pengertian kurikulum sebagaimana di atas mencakup semua
pengalaman yang diharapkan dikuasai peserta didik di bawah bimbingan para
guru. Pengalaman ini bisa bersifat intrakurikuler, kokurikuler maupun ekstra
kurikuler, baik pengalaman di dalam maupun di luar kelas. Dengan demikian
dapat dipahami bahwa kurikulum mencakup pengertian yang sangat luas meliputi
apayang disebut dengan kurikulum potensial, kurikulum aktual, dan kurikulum
tersembunyi atau hidden currilum. Kurikulum tersembunyi adalah hal atau
kegiatan yang terjadi di sekolah dan ikut mempengaruhi perkembangan peserta
didik, namun tidak diprogramkan dalam kurikulum potensial.Dalam pengertian
lain kurikulum tersembunyi adalah hasil; dari suatu proses pendidikan yang tidak
direncanakan. Artinya, perilaku yang muncul dari luar tujuan yang dideskripsikan
oleh guru. 36
II.3.2 Pengertian Kurikulum 2013
Kemendikbud (2013), kurikulum tahun 2013 adalah rancang bangun
pembelajaran yang didesain untuk mengembangkan potensi peserta didik,
bertujuan untuk mewujudkan generasi bangsa Indonesia yang
bermartabat,beradab, berbudaya, berkarakter, beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
menjadi warga negara yang demokratis,dan bertangung jawab.
Berdasarkan pengertian di atas, Kurikulum 2013 adalah seperangkat rencana
dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu yang mulai aktif diterapkan pada tahun
2013 sampai sekarang.
II.3.3 Tujuan Pengembangan Kurikulum 2013
Seperti yang dikemukakan di berbagai media massa, bahwa melalui
pengembangan kurikulum 2013 kita akan menghasilkan insan Indonesia yang
produktif, kreatif, inovatif, efektif; melalui pengembangan sikap, keterampilan,
dan pengetahuan yang terintelegensi. Dalam kompetensi dan karakter peserta
didik, berupa paduan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dapat di
demonstrasikan peserta didik sebagai wujud pemahaman terhadap konsep yang
di pelajarinya secara kontekstual. Kurikulum 2013 memungkinkan para guru
menilai hasil belajar peserta didik dalam proses pencapaian sasaran belajar,
yang mencerminkan penguasaan dan pemahaman terhadap apa yang dipelajari.
Oleh karena itu, peserta didik perlu mengetahui kriteria penguasaan kompetensi
dan karakter yang akan dijadikan sebagai standar penilaian hasil belajar,
sehingga para peserta didik dapat mempersiapkan dirinya melalui 37
penguasaan terhadap sejumlah kompetensi dan karakter tertentu, sebagai
prasyarat untuk melanjutkan ke tingkat penguasaan kompetensi dan karakter
berikutnya.
Mengacu pada penjelasan UU No. 20 Tahun 2003, bagian umum dikatakan,
bahwa: “strategi pembangunan pendidikan nasional dalam undang-undang ini
meliputi:….., 2. Pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis
kompetensi,…. “ dan pada penjelasan pasal 35, bahwa “Kompetensi lulusan
merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan
dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati.”Maka
diadakan perubahan kurikulum dengan tujuan untuk “Melanjutlkan
Pengembangan kurikulum Berbasis Kompetensi yang telah dirintis pada tahun
2004 dengan mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan
secara terpadu.”
Untuk mengetahui tujuan tersebut menuntut perubahan pada berbagai aspek lain
terutama dalam implementasinya di lapangan pada proses pembelajaran, dari
siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu, sedangkan pada proses penilaian,
dari berfokus pada pengetahuan melalui penilaian output menjadi berbasis
kemampuan melalui penilaian proses, portofolio dan penilaian output secara
untuk dan menyeluruh, sehingga memerlukan penambahan jam pelajaran.
II.3.4 Landasan Pengembangan Kurikulum
Adapun beberapa landasan hukum tentang kurikulum 2013 tingkat Sekolah
Dasar/Madrasah Ibtidayyah adalah sebagai berikut:
1. Undang-undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
38
2. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2006 tentang Standar
isi.

3. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 23 tahun 2006 tentang Standar


Kompetensi Lulusan.

4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.32 Tahun 2013 tentang


Perubahan atas Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan

5. Permendikbud Republik Indonesia No.67 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar


dan Struktur Kurikulum Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidayyah.

6. Permendikbud No.66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian.

7. Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2008 tentang Guru.

8. Permendikbud No.71 Tahun 2013 tentang Buku Teks Pelajaran yang Layak.

9. Permendikbud No.81 A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum.

Permendikbud UU No.81 A pasal 1 yang menyebutkan bahwa, Implementasi


kurikulum pada sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (SD/MI), sekolah menengah
pertama/madrasah tsanawiyah (SMP/MTs), sekolah menengah atas/madrasah
aliyah (SMA/MA), dan sekolah menengah kejuruan/madrasah aliyah kejuruan
(SMK/MAK) dilakukan secara bertahap mulai tahun pelajaran 2013/2014. Dalam
Permendikbud UU No.81 A pasal 2 ayat 1 menyebutkan pula Implementasi
kurikulum pada SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK menggunakan
pedoman implementasi kurikulum yang mencakup: 39
a. Pedoman Penyusunan dan Pengelolaan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan;
b. Pedoman Pengembangan Muatan Lokal;
c. Pedoman Kegiatan Ekstrakurikuler;
d. Pedoman Umum Pembelajaran; dan
e. Pedoman Evaluasi Kurikulum.
10. Permendikbud No.57 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Sekolah
Dasar/Madrasah Ibtidayyah.
Permendikbud UU No.57 tahun 2014 yang lebih khusus membahas tentang
kurikulum 2013 tingkat Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidayyah (SD/MI) juga
memperkuat beberapa peraturan lainnya. Pasal 1 menyebutkan bahwa
Kurikulum pada Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah yang telah dilaksanakan
sejak tahun ajaran 2013/2014 disebut Kurikulum 2013 Sekolah Dasar/Madrasah
Ibtidaiyah.
Pengembangan kurikulum 2013 dilandasi secara filosofis, yuridis dan konseptual,
E. Mulyasa (2016 : 64-65), menjelaskan sebagai berikut:
1. Landasan Filosofis

a. Filosofis Pancasila yang memberikan berbagai prinsip dasar dalam


pengembangan pendidikan.

b. Filosofi pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai luhur, nilai akademik,


kebutuhan peserta didik, dan masyarakat.

2. Landasan yuridis

a. RPJMM 2010-2014 sektor pendidikan, tentang perubahan Metodologi


Pembelajaran dan Penataan Kurikulum.
40
b. PP No.19 Tahun 2005 Tentang Standar Naasional Pendidikan.

c. INPRES Nomor 1 Tahun 2010, tentang Perecepatan Pelaksanaan Prioritas


Pembangunan Nasional, penyempurnaan kurikulum dan metode pembelajaran
aktif berdasarkan niali-nilai budaya bangsa untuk membentuk daya saing dan
karakter bangsa.

3. Landasan Konseptual

a. Relevansi pendidikan (link and match)

b. Kurikulum berbasis kompetensi, dan karakter

c. Pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning)

d. Pembelajaran aktif (student active learning)

e. Penilaian yang valid, utuh dan menyeluruh.

II.3.5 Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum


Kemendikbud 2013 telah menjabarkan bahwa pengembangan kurikulum
didasarkan pada prinsip-prinsip berikut:
1. Kurikulum satuan pendidikan atau jenjang pendidikan bukan merupakan daftar
mata pelajaran. Atas dasar prinsip tersebut maka kurikulum sebagai rencana
adalah rancangan untuk konten pendidikan yang harus dimiliki oleh seluruh
peserta didik setelah menyelesaikan pendidikannya di satu satuan atau jenjang
pendidikan tertentu. Kurikulum sebagai proses adalah totalitas pengalaman
belajar peserta didik di satu satuan atau jenjang pendidikan untuk menguasai
konten pendidikan yang dirancang dalam rencana. Hasil belajar adalah perilaku
peserta didik secara keseluruhan dalam menerapkan perolehannya di
masyarakat.

2. Standar kompetensi lulusan ditetapkan untuk satu satuan pendidikan, jenjang


pendidikan, dan program pendidikan. Sesuai dengan kebijakan
41
Pemerintah mengenai Wajib Belajar 12 Tahun maka Standar Kompetensi
Lulusan yang menjadi dasar pengembangan kurikulum adalah kemampuan yang
harus dimiliki peserta didik setelah mengikuti proses pendidikan selama 12
tahun. Selain itu sesuai dengan fungsi dan tujuan jenjang pendidikan dasar dan
pendidikan menengah serta fungsi dan tujuan dari masing-masing satuan
pendidikan pada setiap jenjang pendidikan maka pengembangan kurikulum
didasarkan pula atas Standar Kompetensi Lulusan pendidikan dasar dan
pendidikan menengah serta Standar Kompetensi satuan pendidikan.

3. Model kurikulum berbasis kompetensi ditandai oleh pengembangan


kompetensi berupa sikap, pengetahuan, keterampilan berpikir, dan keterampilan
psikomotorik yang dikemas dalam berbagai mata pelajaran. Kompetensi yang
termasuk pengetahuan dikemas secara khusus dalam satu mata pelajaran.
Kompetensi yang termasuk sikap dan ketrampilan dikemas dalam setiap mata
pelajaran dan bersifat lintas mata pelajaran dan diorganisasikan dengan
memperhatikan prinsip penguatan (organisasi horizontal) dan keberlanjutan
(organisasi vertikal) sehingga memenuhi prinsip akumulasi dalam pembelajaran.

4. Kurikulum didasarkan pada prinsip bahwa setiap sikap, keterampilan dan


pengetahuan yang dirumuskan dalam kurikulum berbentuk Kemampuan Dasar
dapat dipelajari dan dikuasai setiap peserta didik (mastery learning) sesuai
dengan kaedah kurikulum berbasis kompetensi.

5. Kurikulum dikembangkan dengan memberikan kesempatan kepada peserta


didik untuk mengembangkan perbedaan dalam kemampuan dan minat. Atas
dasar prinsip perbedaan kemampuan individual peserta didik,
42
kurikulum memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memiliki tingkat
penguasaan di atas standar yang telah ditentukan (dalam sikap, keterampilan
dan pengetahuan). Oleh karena itu beragam program dan pengalaman belajar
disediakan sesuai dengan minat dan kemampuan awal peserta didik.

6. Kurikulum berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan


kepentingan peserta didik serta lingkungannya. Kurikulum dikembangkan
berdasarkan prinsip bahwa peserta didik berada pada posisi sentral dan aktif
dalam belajar.

7. Kurikulum harus tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, budaya,


teknologi, dan seni. Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu
pengetahuan, budaya, teknologi, dan seni berkembang secara dinamis. Oleh
karena itu konten kurikulum harus selalu mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan, budaya, teknologi, dan seni; membangun rasa ingin tahu dan
kemampuan bagi peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat
hasil-hasil ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

8. Kurikulum harus relevan dengan kebutuhan kehidupan. Pendidikan tidak boleh


memisahkan peserta didik dari lingkungannya dan pengembangan kurikulum
didasarkan kepada prinsip relevansi pendidikan dengan kebutuhan dan
lingkungan hidup. Artinya, kurikulum memberikan kesempatan kepada peserta
didik untuk mempelajari permasalahan di lingkungan masyarakatnya sebagai
konten kurikulum dan kesempatan untuk mengaplikasikan yang dipelajari di kelas
dalam kehidupan di masyarakat.
43
9. Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan dan
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Pemberdayaan
peserta didik untuk belajar sepanjang hayat dirumuskan dalam sikap,
keterampilan, dan pengetahuan dasar yang dapat digunakan untuk
mengembangkan budaya belajar.

10. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan


kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Kepentingan nasional dikembangkan melalui penentuan struktur
kurikulum, Standar Kemampuan/SK dan Kemampuan Dasar/KD serta silabus.
Kepentingan daerah dikembangkan untuk membangun manusia yang tidak
tercabut dari akar budayanya dan mampu berkontribusi langsung kepada
masyarakat di sekitarnya. Kedua kepentingan ini saling mengisi dan
memberdayakan keragaman dan kebersatuan yang dinyatakan dalam Bhinneka
Tunggal Ika untuk membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia.

11. Penilaian hasil belajar ditujukan untuk mengetahui dan memperbaiki


pencapaian kompetensi. Instrumen penilaian hasil belajar adalah alat untuk
mengetahui kekurangan yang dimiliki setiap peserta didik atau sekelompok
peserta didik. Kekurangan tersebut harus segera diikuti dengan proses perbaikan
terhadap kekurangan dalam aspek hasil belajar yang dimiliki seorang atau
sekelompok peserta didik.

II.3.6. Kesenjangan Kurikulum KTSP 2006


Disamping masih adanya kelemahan dan kekurangan sebagaimana yang telah
diemukakan sebelumnya, perubahan dan pengembangan kurikulum diperlukan
karena adanya beberapa kesenjangan kurikulum yang sedang berlaku 44
sekarang (KTSP). Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi
dan seni yang berlangsung cepat dalam era global dewasa ini, E. Mulyasa
(2016 : 61-62), dapat diidentikasikan beberapa kesenjangan sebagai berikut:
Tabel 2.1 Kesenjangan kurikulum KONSEP IDEAL
KONDISI SAAT INI

A. KOMPETENSI LULUSAN A. KOMPETENSI LULUSAN

1 Belum 1 Berkarakter
sepenuhnya mulia
menekankan
pendidikan
karakter
2 Belum 2 Keterampilan
menghasilkan yang relevan
keterampilan
sesuai
kebutuhan
3 Pengetahuan- 3 Pengetahuan
pengetahuan terkait
lepas
B. MATERI PEMBELAJARAN
B. MATERI PEMBELAJARAN

1 Belum relevan 1 Relevan dengan


dengan materi yang
kompetensi yang dibutuhkan
dibutuhkan
2 Beban belajar 2 Materi esensial
terlalu berat
3 Terlalu luas, 3 Sesuai dengan
kurang tingkat
mendalam perkembangan
anak
C. PROSES PEMBELAJARAN
C. PROSES PEMBELAJARAN

1 Berpusat pada 1 Berpusat pada


guru peserta didik
2 Proses 2 Sifat
pembelajaran pembelajaran
berorientasi pada yang kontekstual
buku teks
3 Buku teks hanya 3 proses
memuat materi pembelajaran
bahasan dengan
kompetesi yang
diharapkan

Anda mungkin juga menyukai