Anda di halaman 1dari 3

Prolog

Problematika pendidikan Indonesia memang tidak dapat dilepaskan dari konstelasi


politik negara, baik yang dijalankan pemerintah maupun lembaga-lembaga partisan
pemerintah di dalam masyarakat. Namun, untuk dapat melihat problematika
tersebut dengan bening dan sejuk, gemuruh caci-maki dan sumpah serapah yang
dialamatkan kepada pemerintah harus segera dikemas lebih elegan dan cerdas.

Saatnya kini, selayaknya kita lebih banyak menelanjangi diri sendiri sebagai satu
komunitas yang lebih berkepentingan terhadap munculnya solusi atas problematika
pendidikan Indonesia. Salah satu terawangan yang mungkin lebih bijak adalah
mengajukan berbagai kasus faktual ‘kedunguan’ kita sendiri dari berbagai segmen
kehidupan kependidikan. Inilah yang kemudian akan saya teropong lebih lanjut
dalam perspektif filsafat ilmu. Tentu saja hal itu tetap dalam acuan Sains Modern
Barat.

Sebut saja namanya X. Dia kini sedang mengikuti program pendidikan pasca
sarjana strata-3 di UNJ, Universitas Negeri Jakarta. Di semester I 2009/2010 ini
mengambil mata kuliah Filsafat Ilmu Lanjutan, dengan dosen mantan Rektor IKIP
Jakarta beberapa waktu yang lalu. Kasusnya sederhana saja. Menurut sumber yang
dapat dipercaya, si X ini ketika ujian lisan dengan dosen di atas, tak mampu
membedakan secara konseptual—apalagi operasional—pengetahuan dari ilmu.
Dalihnya karena memang sejak dulu dia tidak begitu suka Filsafat. Padahal
sekarang ini dia itu dosen di Fakultas Teknik.

Kasus I:

Sekelompok guru bahasa Inggris di Kabupaten Tangerang Provinsi Banten,


beberapa bulan lalu sempat berdiskusi dengan saya. Substansi diskusi seputar
keprihatinan atas pembelajaran bahasa (Indonesia dan Inggris) yang tidak mampu
memberikan kontribusi bagi keterampilan berbahasa peserta didiknya. Beberapa
lontaran gagasan terobosan sempat dimuntahkan, namun selalu saja mereka
berlindung di balik Kurikulum formal, untuk sekadar menutupi kemalasannya
berpikir dan berkontemplasi.

Kasus I:

Sekelompok guru bahasa Inggris di Kabupaten Tangerang Provinsi Banten,


beberapa bulan lalu sempat berdiskusi dengan saya. Substansi diskusi seputar
keprihatinan atas pembelajaran bahasa (Indonesia dan Inggris) yang tidak mampu
memberikan kontribusi bagi keterampilan berbahasa peserta didiknya. Beberapa
lontaran gagasan terobosan sempat dimuntahkan, namun selalu saja mereka
berlindung di balik Kurikulum formal, untuk sekadar menutupi kemalasannya
berpikir dan berkontemplasi.

Kasus III:

Seorang ibu setengah baya di Januari 2009 lalu sedang dirundung malang.
Pertengahan bulan itu dia harus menyelesaikan salah satu tugas akhir agar boleh
meletakkan tiga huruf, S-P-d, di belakang namanya sebagai lulusan program
penyetaraan di UNJ jurusan Bahasa Inggris. Dia mengambil jalur ‘kompre’ alias
hanya dituntut menulis 10 sampai 15 lembar kuarto makalah seputar pembelajaran
bahasa Inggris. Namun, sampai dia menampakkan wajahnya di kediaman saya,
tugas itu belum juga terselesaikan.

Terjadilah diskusi seperti biasanya yang saya lakukan, dengan orang-orang yang
datang mengeluhkan problematikanya sebagai seorang guru. Ibu itu dan mungkin
ibu-ibu guru peserta penyetaraan lainnya diminta atau ditugasi menulis, namun
ternyata bimbingan yang dia dapatkan dari dosen pembimbingnya di Fakultas
Bahasa dan Seni UNJ yang MA., Ph.D. itu tidaklah memadai. Bahkan menurutnya,
lebih banyak cacian yang didapatkannya. Sedih memang, sebagai seorang guru
SLTP yang sudah bekerja lebih dari 20 tahun menerima cacian dari dosen yang
MA, PhD. itu. “Dua puluh tahun lebih saya mengajar, rasanya tak pernah saya
mencaci murid-murid saya seperti itu,” katanya sendu.

Kasus IV:
Seorang M.Pd. dari sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta Selatan, yang
menjadi pimpinan sebuah SLTP Negeri di bilangan Jakarta Timur, meminta
kesediaan seorang konsultan lepas di bidang PEP (Penelitian dan Evaluasi
Pendidikan) mendampinginya membenahi kompetensi guru-gurunya, dan dirinya
sendiri. Dia beralasan, kuliah intensif setiap hari Minggu yang dulu dijalaninya,
hanya mampu mengantarkan dan memberikannya tambahan huruf di belakang
namanya. “Soal ilmu dan wacana saya seputar PEP, minim sekali,” jujur ia
mengakuinya.

***

Perspektif Filsafat Ilmu

Kasus I ini boleh jadi representasi potret buram Kurikulum Post Graduate
Pendidikan Tinggi kita. Di samping itu selektivitas calon mahasiswanya juga
menjadi persoalan tersendiri. Ironisnya mereka itu calon-calon doktor pendidikan
di Indonesia!

Kasus II, saya lebih senang menyebutnya sebagai arogansi intelektual yang salah
kaprah. Seorang sarjana bahasa dalam konteks kasus II ini merasa paling tahu
tentang pembelajaran bahasa. Padahal realitas menunjukkan kemampuan berbahasa
salah seorang gurunya sendiri lebih banyak diperoleh dari lembaga kursus. Analogi
lainnya—mohon maaf bila ada yang tersinggung—adalah kisah sarjana bahasa
Arab yang merasa paling tahu dan paling punya otoritas untuk ‘berkicau’ soal-soal
Islamologi. Saya, sebagai seorang pengguna intens bahasa (Indonesia dan Inggris)
merasakan betul begitu banyak keringat, dan rupiah yang harus direlakan demi
buku-buku yang harus dibaca, agar saya dapat menulis, menulis, dan menulis.
Pembelajaran formal bahasa di sekolah, dan bakat? “Cuma satu persen, keduanya
menopang kemampuan seseorang dalam menulis,” kata Putu Wijaya, ‘sastrawan
teror’ kita satu ketika. Apa mesti seorang Putu Wijaya jadi guru bahasa di sekolah?

Kasus III, merupakan sebuah ironi yang memilukan. Seorang guru bahasa Inggris
yang sudah mengajar lebih dari dua puluh tahun tak mampu menyelesaikan
makalah yang belasan lembar saja. Padahal cuma dalam bahasa Indonesia! Jadi,
selama dua puluh tahun lebih itu apa saja yang sudah dikerjakannya
bagi skill siswanya pada aspek listening, speaking, reading, apalagi writing?

Sang dosen pada kasus III-pun seperti makhluk aneh di dunia pedagogis. Inilah
persoalannya. Tirani intelektual ternyata makin menjadi-jadi di menara gading kita.
Sang ibu guru yang sudah dua puluh tahun lebih mengajar itu mungkin ‘aura
pedagogis”-nya cukup tebal, namun kedunguan intelektualitasnya tak dapat
dimaafkan oleh segenap pendamba pendidikan yang bernas di negeri ini.
Sayangnya dia harus berhadapan dan akhirnya punya pengalaman pahit dengan
dosen yang MA, Ph.D itu namun telanjang dari ‘aura pedagogis.’

Kasus IV, bagi saya merupakan bibit kesadaran baru, betapa lembaga yang
bernama ‘sekolah’ bukanlah sebuah ‘kerajaan kecil’ yang steril dari tuntutan nyata
para stakeholder-nya. Ya, kita-kita ini. Fakta dari kasus IV ini, boleh jadi atmosfer
baru yang patut dikembangkan agar semakin terbuka ruang-ruang publik kebijakan
sekolah bagi ‘orang-orang jalanan’ seperti saya. Sebab kalau tidak, yang namanya
MBS (Manajemen Berbasis Sekolah alias School Base Management), atau pun
KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi alias Competence Base Curriculum) akan
segera menyusul ‘saudara-saudara tua’-nya yang sudah lebih dahulu menemui ajal,
seperti CBSA, PKP, dan sebagainya. Bahkan, jangan-jangan MBS dan KBK
dan the new comer, KTSP sebagai derivatnya bakal ‘meninggal dunia’ dalam
rahim ibunya.**

https://www.academia.edu/35991770/Filsafat_Pendidikan_dan_Aplikasinya_dalam_Problematika_P
endidikan

https://www.kompasiana.com/emhade_margani/54ff129fa333115a4350f836/problematika-
pendidikan-di-indonesia-perspektif-filsafat-ilmu

http://mutiarabelajar.blogspot.com/2016/10/filsafat-pendidikan-masalah-pendidikan.html

https://media.neliti.com/media/publications/273920-mengurai-problematika-pendidikan-indones-
9fb0e626.pdf

Anda mungkin juga menyukai