Anda di halaman 1dari 3

Nama : MOH.

FAJAR ISMAIL SP

NIM : 021910091

Prodi : Teknik Sipil II B

1. Muqoshidussyariah dapat diartikan tujuan dari syari'ah. Salah satu wujud kasih sayang Allah adalah
aturan/syariatNya, mengapa? Karena tidak mungkin manusia dibiarkan saja tanpa batas atau aturan.
Layaknya kasih sayang orang tua kepada anaknya yang akan membatasi atau mencegah anakanya untuk
merusak dirinya sendiri. Dapat dibayangkan manusia tanpa syariat akan berkehendak semaunya.
Menghancurkan dirinya sendiri dan sesamanya. Maka Allah menurunkan syariat agar manusia mempunyai
petunjuk dan agar selamat dunia akhirat.
2. Agama adalah tata cara yang mengatur peribadahan manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta tata cara
yang mengatur hubungan manusia dengan manusia yang lain serta manusia dengan lingkungannya, yang
merupakan bagian dari makhluk ciptaan Tuhan. Agama mempunyai tujuan untuk menjadi tatanan kehidupan
(aturan) yang berasal dari Tuhan dimana hal tersebut nantinya mampu membimbing manusia menjadi
seseorang yang berakal dan berusaha mencari kebahagiaan hidup baik itu di dunia ataupun di akhirat sebagai
bekal dalam kehidupan di tahap yang selanjutnya di alam fana. Selain itu, agama juga bertujuan memberikan
pengajaran kepada para penganutnya agar dapat mengatur hidupnya sedemikian rupa guna memperoleh
kebahagiaan untuk dirinya sendiri ataupun untuk masyarakat sekitar. Lebih lanjut lagi, agama dapat menjadi
sebuah pembuka jalan untuk bertemu dengan Sang Pencipta Mansuia yaitu Tuhan Yang Maha Esa ketika
manusia mati kelak.
Perbedaan Syariah dan Fiqih
a. Ruang Lingkup Syariah
Dari segi ruang lingkup, ternyata syariah lebih luas dari ruang lingkup fiqih. Karena syariah mencakup masalah
akidah, akhlaq, ibadah, muamalah, dan segala hal yang terkait dengan ketentuan Allah SWT
kepada hambanya.
Sedangkan ruang lingkup fiqih terbatas masalah teknis hukum yang bersifat amaliyah atau praktis saja, seperti
hukum-hukum tentang najis, hadats, wudhu’, mandi janabah, tayammum, istinja’, shalat, zakat, puasa, jual-
beli, sewa, gadai, kehalalan makanan dan seterusnya.
b. Syariah Bersifat Universal
Syariah adalah ketentuan Allah SWT yang bersifat universal, bukan hanya berlaku buat suatu tempat dan
masa yang terbatas, tetapi menembus ruang dan waktu.
Karena itulah maka salah satu istilah dalam ilmu ushul fiqih disebut dengan dalil syar’u man qablana, bukan
fiqhu man qablana. Apa yang Allah SWT berlakukan buat umat terdahulu disebut sebagai syariah, tetapi tidak
disebut dengan istilah fiqih. Semua ini menunjukkan bahwa syariah lebih universal dibandingkan dengan fiqih.
c. Fiqih Adalah Apa Yang Dipahami
Perbedaan yang juga sangat prinsipil antara fiqih dan syariah, adalah bahwa fiqih itu merupakan apa yang
dipahami oleh mujtahid atas dalil-dalil samawi dan bagaimana hukumnya ketika diterapkan pada realitas
kehidupan, pada suatu zaman dan tempat.
Sedangkan syariah lebih sering dipahami sebagai hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam
kehidupan ini. Pembicaraan tentang syariah belum menyentuh wilayah perbedaan pendapat dan pemahaman
dari para ahli fiqih.
3. Pemberian titik dan baris pada mushaf Alquran ini dilakukan dalam tiga fase. Pertama, pada zaman Khalifah
Muawiyah bin Abi Sufyan. Saat itu, Muawiyah menugaskan Abdul Aswad ad-Dawly untuk meletakkan tanda
baca (i'rab) pada tiap kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan membaca.

Fase kedua, pada masa Abdul Malik bin Marwan (65 H), khalifah kelima Dinasti Umayyah itu menugaskan
salah seorang gubernur pada masa itu, al-Hajjaj bin Yusuf, untuk memberikan titik sebagai pembeda antara
satu huruf dengan lainnya. Misalnya, huruf baa' dengan satu titik di bawah, huruf ta dengan dua titik di atas,
dan tsa dengan tiga titik di atas. Pada masa itu, al-Hajjaj minta bantuan kepada Nashr bin 'Ashim dan Hay
bin Ya'mar.
Pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan ini, wilayah kekuasaan Islam telah makin luas hingga sampai ke
Eropa. Karena kekhawatiran adanya bacaan Alquran bagi umat Islam yang bukan berbahasa Arab,
diperintahkanlah untuk menuliskan Alquran dengan tambahan tanda baca tersebut. Tujuannya agar adanya
keseragaman bacaan Alquran, baik bagi umat Islam yang keturunan Arab maupun non-Arab ('ajami).
Baru kemudian, pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, diberikan tanda baris berupa damah, fathah,
kasrah, dan sukun untuk memperindah dan memudahkan umat Islam dalam membaca Alquran. Pemberian
tanda baris ini mengikuti cara pemberian baris yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad al-Farahidy, seorang
ensiklopedi bahasa Arab terkemuka kala itu. Menurut sebuah riwayat, Khalil bin Ahmad juga yang memberikan
tanda hamzah, tasydid, dan ismam pada kalimat-kalimat yang ada.

Kemudian, pada masa Khalifah al-Makmun, para ulama selanjutnya berijtihad untuk makin mempermudah
orang untuk membaca dan menghafal Alquran, khususnya bagi orang selain Arab, dengan menciptakan tanda-
tanda baca tajwid yang berupa isymam, rum, dan mad.

Sebagaimana mereka juga membuat tanda lingkaran bulat sebagai pemisah ayat dan mencantumkan nomor
ayat, tanda-tanda wakaf (berhenti membaca), ibtida (memulai membaca), menerangkan identitas surah pada
awal setiap surah yang terdiri atas nama, tempat turun, jumlah ayat, dan jumlah 'ain.

4. A. Al-Qur’an
Al-Qur’an ialah Kitab suci umat Islam yang mulia ini berisi kalam Allah yang paripurna yang berisi segala hal
yang menjadi panduan Umat Islam dalam menjalankan kehidupan.Inilah sumber utama hukum Islam. Sumber-
sumber hukum yang lain juga tidak boleh bertentangan dengan apa yang dikandung dalam Al-Qur’an.
Contoh : Hukum tentang riba Q.S. Al-Baqarah ayat 275

B.Hadist/As-Sunnah
Hadist/As-sunnah berasal dari kata “Al-hadits” yang artinya adalah perkataan, percakapan atau pun berbicara.
Dari definisi umum, hadist adalah setiap tulisan yang berasal dari perkataan atau pun percakapan Rasulullah
Muhammad SAW. Termasuk apabila ada perbuatan sahabat yang didiamkan maka itu juga bisa tergolong ke
dalam Sunnah.
Contoh : Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada
keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”. (Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-
Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil
Intisharis Sunnah, hlm. 12-13).

C. Ijma
Ijma ialah memutuskan dan menyepakati sesuatu. Secara istilah, ijma adalah Kesepakatan seluruh ulama
mujtahid yang dilakukan setelah zaman Rasulullah untuk menentukan solusi dari sebuah masalah dalam
perkara agama.
Contoh : terkait bunga bank terdapat fatwa dari Majelis Ulama Indonesia nomor 1 tahun 2004 yang
menekankan bahwa bunga bank sama dengan riba sehingga hukumnya adalah haram.

D. Qiyas
Qiyas ialah sebagai sebuah analogi. Qiyas menurut istilah ushul fiqhi, ialah menyamakan suatu masalah yang
tidak terdapat ketentuan hukumnya dalam nash (Al-Qur’an dan Sunnah), karena adanya
persamaan illat hukumnya (motif hukum) antara kedua masalah itu.
Contoh : pengharaman tentang minuman khamr. Minuman ini merupakan minuman yang mengandung
anggur yang memabukkan. Para ulama menafsirkan pengharaman minuman keras karena memiliki illat yang
sama dengan khamr yaitu dapat memabukkan.

5. Hadist merupakan salah satu pilar utama dalam agama islam setelah Al Quran. Pentingnya hadist dalam islam
membuat Rasulullah serta para sahabat dan orang orang yang mengikuti jalannya menaruh perhatian besar
atasnya. Penulisan hadist adalah satu bukti perhatian besar Rasulullah dan para sahabat akan hadist.

Sejarah penulisan dimulai pada awal masa kenabian, awalnya Rasulullah melarang para sahabatnya menulis
hadist. Namun di akhir hayatnya Rasulullah mengizinkan penulisan hadits.
Pada zaman Sahabat radhiallahu’anhum terdapat beberapa kemajuan pengumpulan dan penulisan hadist, itu
di tandai dengan adanya Suhuf atau lembaran lembaran yang di milki oleh sebagian sahabat.

Setelah Rasulullah wafat, para sahabat Nabi berpencar mendakwah agama yang mulia ini, maka jauhnya jarak
mereka membuat sebagian mereka tidak mengetahui hadist yang ada pada suadaranya,hal ini membuat
mereka saling menulis hadist yang mereka punya, kemudian memberikan kepada sahabat yang lain yang tidak
mengetahui hadist tersebut, seperti,

Tulisan Jabir bin Samuroh kepada Amir bin Saad bin Abi Waqqash, juga tulisan Usaid bin Khudoir kepada
Marwan bin Hakam berisi hadist Nabi dan beberapa keputusan atau pendapat Abu Bakar, Umar, Ustman, dan
tulisan Zaid bin Arqom kepada Anas bin Malik , dsb.

Bahwasanya penulisan hadits itu di bolehkan, bahkan di sunnahkan menulisnya dan sudah terjadi di zaman
Rasulullah.
Bahkan terdapat Ijma dari para ulama akan bolehnya penulisan Hadist Nabi seperti yang di cantumkan oleh Al
Qodi Iyadh dalam kitab Ikmal AlMu’lim, Ibnu Solah dalam kitab Ulumu Al Hadist, Ibnu Atsir dalam kitab Jami’
Al Usul, dan Imam Dzahabi dalam kitab Siyar, Juga Al Iraqi dalam Alfiyah.

Anda mungkin juga menyukai