Anda di halaman 1dari 14

HUKUM PERDATA

BAB 1

PENGERTIAN HUKUM PERDATA SECARA UMUM

A. Istilah dan Pengertian Hukum Perdata

Istilah “Perdata” berasal dari bahasa sangsekerta yang berarti warga (burger),
pribadi (privat), sipil (civiel). Hukum perdata berarti peraturan mengenai warga,
pribadi, dan sipil.
Hukum Perdata adalah segala peraturan hukum yang mengatur hubungan
hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain dengan
menitik beratkan kepada kepentingan individu tentang hak dan kewajiban.

o Hukum adalah suatu sistem yang dibuat manusia untuk membatasi tingkah
laku manusia agar terkontrol. Hukum berupa aturan yang bersifat mengikat,
memiliki sanksi, dan bertujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan
hukum manusia tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda
terhadap pihak yang merugikannya.
o Subjek hukum berupa orang dan badan hukum
o Hubungan hukum adalah hubungan antara dua atau lebih subjek hukum.
Dalam hubungan hukum ini, hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan
dengan hak dan kewajiban pihak yang lain.

B. Sejarah Hukum Perdata di Indonesia

Berawal dari hukum Romawi yakni Corpus Juris Civilis yang dikeluarkan dari
tahun 529 hingga 534 atas perintah Kaisar Justianus, di mana kerajaan Romawi
mempunyai peradaban yang sangat tinggi pada masanya. Tak heran jika mereka telah
memiliki hukum dan peraturan yang mengatur warganya. Pada masa jayanya, Eropa
Barat, Eropa Tenggara, Afrika bagian utara, seluruh wilayah Miditerania, dan
sebagian besar Timur Tengah termasuk ke dalam wilayah kekuasaan kerajaan
Romawi. Dengan adanya penjajahan Romawi tersebut, maka hukum Romawi itupun
dikenal oleh mereka.
Prancis adalah salah satu negara Eropa Barat yang pernah dikuasai Romawi
dan menggunakan hukum Romawi. Ketika kerajaan Romawi runtuh, Prancis
membentuk negara sendiri. Pada tahun 1804 hukum di negara Prancis yang
merupakan hukum Romawi tersebut dikodifikasikan dengan nama Code Civil des
Francais. Kemudian tahun 1807, kodifikasi ini diundangkan lagi dengan nama Code
Napoleon berupa dua kodifikasi, yakni Code Civil dan Code Du Commerce. Sewaktu
Prancis menduduki Belanda (1806-1813), Code Napoleon ini juga diberlakukan di
Belanda.
Setelah Belanda merdeka, Belanda membentuk dua kodifikasi hukum yang
baru yang berasal dari Code Napoleon pada tahun 1838 yakni Code Civil
dikembangkan menjadi BW/ Burgerlijk Wetboek dan Code Du Commerce
dikembangkan menjadi WVK/ Wetboek Van Koophandel. Indonesia pernah dijajah
oleh Belanda selama 3,5 abad sebelum kemudian dijajah oleh Jepang selama 3,5
tahun. Jepang tidak membawa hukum baru bagi Indonesia, sehingga setelah
Proklamasi Kemerdekaan yang mendadak pemerintah Indonesia pada saat itu belum
membuat peraturan hukum yang baru. Oleh sebab itu, Indonesia masih menggunakan
hukum zaman Hindia Belanda yang kemudian dikodifikasikan sesuai dengan UUD
1945 pasal 2 aturan peralihan: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih
langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang.”

C. Pengertian Hukum Perdata dalam Arti Luas dan dalam Arti Sempit

Hukum Perdata dalam arti luas adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(BW/ Burgerlijk Wetboek) + Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (WVK/ Wetboek
Van Koophandel) + undang-undang tambahan lainnya (Undang-Undang Pokok
Agraria, Undang-Undang Perkawinan, dan lain-lain).
Hukum Perdata dalam arti sempit adalah Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (BW/ Burgerlijk Wetboek) saja.

 Berlaku asas Specialist Derogat Legi Generali, artinya hukum yang khusus
mengesampingkan hukum yang umum.
 KUH Perdata adalah hukum yang umum, sedang yang lain adalah hukum yang
khusus.
 Jika ada hal-hal yang tidak diatur dalam hukum yang khusus, maka boleh
merujuk kepada hukum yang umum.

D. Pengertian Hukum Perdata Materil dan Hukum Perdata Formal

Hukum Perdata dilihat dari fungsinya ada dua macam:

1. Hukum Perdata materil yaitu segala peraturan hukum yang mengatur hak-hak
dan kewajiban perdata setiap subjek hukum.
2. Hukum Perdata formal yaitu segala peraturan hukum yang mengatur
bagaimana cara mempertahankan hukum perdata materil (bagaimana tata cara
seseorang menuntut haknya apabila diinginkan oleh orang lain).
Hukum Perdata formal disebut juga Hukum Acara Perdata.
E. Sistem Hukum Perdata di Indonesia

Sistem Hukum Perdata di Indonesia sebelum merdeka bersifat


pluralisme/beraneka ragam. Keanekaragaman tersebut berlangsung sejak zaman
penjajahan Belanda. Hal ini disebabkan karena adanya pasal 163 IS (Indische
Staatsregeling) dan pasal 131 IS.

- Pada pasal 163 IS disebutkan bahwa golongan penduduk di Indonesia dibagi


3, yaitu:

 Golongan Eropa: Bangsa Belanda, bukan Bangsa Belanda tapi berasal


dari Eropa, Bangsa Jepang, orang dari negara lain yang hukum
keluarganya sama dengan hukum keluarga Belanda, yakni: Amerika,
Australia, dan Afrika Selatan. Juga keturunan dari mereka yang
tersebut di atas.
 Golongan Timur Asing: Tionghoa (Cina) dan Non Tionghoa (Arab,
India, Pakistan, Mesir dan lain-lain)
 Bumi Putera: orang asli Indonesia, orang yang semulanya golongan
lain tapi kemudian menyesuaikan hidupnya dengan orang Indonesia.

- Pasal 131 IS mengatur mengenai hukum yang berlaku bagi golongan


penduduk tersebut.

 Untuk golongan Eropa berlaku Hukum Perdata Eropa (BW) dan


KUHD Eropa
 Untuk golongan Timur Asing Tionghoa berlaku seluruh Hukum
Perdata Eropa dan KUHD Eropa dengan pengecualian:

a. Tentang Pencatatan Sipil


b. Cara-cara perkawinan ditambah dengan pengangkatan anak

Untuk golongan Timur Asing Non Tionghoa berlaku Hukum Perdata


Eropa dan KUHD Eropa dengan pengecualian:

a. Mengenai Hukum Kekeluargaan


b. Mengenai Hukum Waris tanpa Wasiat

 Untuk golongan Bumi Putera berlaku hukum adatnya masing-masing,


kecuali yang mengadakan penundukkan diri secara suka rela
berdasarkan S. 1917 No 12, yaitu:

a. Tunduk pada seluruh Hukum Perdata Eropa


b. Tunduk poada sebagian Hukum Perdata Eropa
c. Tunduk pada perbuatan tertentu
d. Tunduk secara diam-diam

C. Sistematika Hukum Perdata

Sistematika Hukum Perdata ada 2, yaitu:

1. Menurut Ilmu Hukum


a. Hukum tentang orang (Personen Recht)
b. Hukum tentang keluarga (Familie Recht)
c. Hukum tentang harta kekayaan (Vermogen Recht)
d. Hukum waris (Erfrecht)
2. Menurut KUH Perdata
a. Buku I tentang orang (Van Personen)
b. Buku II tentang benda (Van Zaken)
c. Buku III tentang perikatan (Van Verbintenissen)
d. Buku IV tentang pembuktian dan daluarsa (Van Bewijs en Verjaring)
BAB 2

HUKUM PERORANGAN

A. Pengertian Subjek Hukum

Subjek Hukum adalah pendukung hak dan kewajiban.


Subjek Hukum ada dua, yakni manusia/orang dan badan hukum.

B. Manusia Sebagai Subjek Hukum

Kapan mulai dan berakhirnya seseorang sebagai Subjek Hukum?


Seseorang sebagai Subjek Hukum dimulai ketika lahir dan berakhir ketika mati. Hal
tersebut jelas disebutkan dalam pasal 2 KUH Perdata.

Pasal 2 KUH Perdata menyatakan:


“Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah
dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu
dilahirkannya, dianggaplah ia tak pernah ada.”

Mengenai, kepentingan si anak menghendakinya. Misalnya dalam hal warisan.


Supaya dapat bertindak sebagai pewaris, seseorang harus telah ada pada saat warisan
jatuh meluang.

Jo. Pasal 836 KUH Perdata menyatakan:


“Dengan mengingat akan ketentuan dalam pasal 2 Kitab ini, supaya dapat
bertindak sebagai waris, seseorang harus telah ada, pada saat warisan jatuh meluang.”

Jo. Pasal 899 KUH Perdata menyatakan:

“Dengan mengindahkan akan ketentuan dalam pasal 2 Kitab undang-undang


ini, untuk dapat menikmati sesuatu dari suatu surat wasiat, seseorang harus telah ada,
tatkala si yang mewariskan meninggal dunia. Ketentuan ini tak berlaku bagi mereka
yang menerima hak untuk menikmati sesuatu dari lembaga-lembaga.”

Note:

“ ...dianggap sebagai telah dilahirkan....” Kata-kata seperti ini dalam kitab undang-
undang dinamakan anggapan hukum atau Rechts Fictie.

KETIDAKCAKAPAN

Semua orang adalah subjek hukum, tapi tidak semua orang adalah cakap
hukum. Mereka dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum harus diwakili atau
dibantu oleh subjek hukum lain yang cakap hukum. Orang yang cakap hukum adalah
orang yang mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya di muka hukum.

Perbuatan Hukum adalah segala perbuatan manusia yang secara sengaja dilakukan
oleh seseorang untuk menimbulkan hak dan kewajiban.

Ada 3 kriteria orang yang tidak cakap hukum:


1. Orang-orang yang belum dewasa/ masih di bawah umur, yakni mereka yang
belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
2. Orang-orang yang berada di bawah pengampuan
a. Orang gila
b. Pemboros
c. Lemah daya
d. Mata gelap
e. Pikun
3. Orang-orang yang ditetapkan oleh undang-undang, misalnya orang yang pailit.

C. Badan Hukum Sebagai Subjek Hukum

Badan Hukum adalah kumpulan dari orang-orang yang masing-masing adalah


subjek hukum yang bersama-sama mendirikan suatu badan atau perhimpunan untuk
tujuan tertentu.

Badan Hukum dikatagorikan sebagai subjek hukum sama dengan manusia


karena:

- Badan hukum mempunyai kekayaan


- Sebagai pendukung hak dan kewajiban
- Dapat menggugat dan digugat di muka pengadilan
- Ikut serta dalam lalu lintas hukum
- Melakukan jual beli
- Mempunyai tujuan dan kepentingan

Suatu badan atau perkumpulan dapat berstatus badan hukum harus memenuhi
syarat-syarat materil dan formal.

Syarat-syarat materilnya adalah sebagai berikut:

1. Harus adanya kekayaan yang terpisah


2. Mempunyai tujuan tertentu
3. Mempunyai kepentingan sendiri
4. Adanya organisasi yang teratur
Syarat-syarat formalnya adalah memenuhi syarat-syarat permohonan untuk
mendapatkan status sebagai badan hukum yang diatur dalam KUHD. Adalah sebagai
berikut:

1. Membuat akta pendirian ke kantor notaris.


2. Pengesahan oleh Menteri Kehakiman
3. Akta pendirian oleh Notaris dikirimkan ke Kepala Direktorat Perdata Departemen
Kehakiman untuk memperoleh surat keputusan pengesahan dari Menteri
Kehakiman.
4. Pendaftaran di Pengadilan Negeri
5. Pendiri membawa akta pendirian dan surat keputusan pengesahan dari Menteri
Kehakiman ke Kantor Panitera Pengadilan Negeri setempat untuk mendaftarkan
akta pendirian dalam buku register pendirian badan hukum.
6. Pengumuman dalam Berita Negara Republik Indonesia.
7. Pendiri membawa akta pendirian, surat keputusan pengesahan dari Menteri
Kehakiman dan surat tanda pendaftaran dari Panitera Pengadilan Negeri ke
percetakan negara agar diumumkan dalam BNRI.
8. Sejak diumumkan dalam BNRI, suatu badan hukum telah resmi memperoleh
status badan hukum.

Pasal 1653 KUH Perdata:

“Selainnya perseroan yang sejati oleh undang-undang diakui pula perhimpunan-


perhimpunan orang sebagai perkumpulan.”

Menurut 1653 KUH Perdata tersebut, badan hukum dibedakan menjadi:

1. Badan hukum yang diadakan oleh kekuasaan umum (pemerintah): propinsi,


kabupaten, bank-bank pemerintah, dll.
2. Badan hukum yang diakui oleh kekuasaan umum (pemerintah): perseroan, gereja,
dll.
3. Badan hukum yang diperbolehkan berdiri untuk maksuk tertertu yang tidak
bertentangan dengan undang-undang: PT

Badan hukum berdasarkan sifatnya:

1. Badan Hukum Publik: propinsi, kabupaten


2. Badan Hukum Keperdataan: yayasan, firma

D. Nama dan Kewarganegaraan

a. Nama
Pentingnya nama adalah sebagai berikut:
1. Membedakan orang yang satu dengan yang lain
2. Untuk mengetahui apa hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang
3. Tanda diri atau identifikasi seseorang sebagai subjek hukum
4. Untuk mengetahui seseorang itu keturunan siapa
5. Urusan pembagian harta warisan
6. Urusan kekeluargaan

Mengenai nama ini diatur dalam UU No. 4 tahun 1961:


- Warga negara Indonesia yang tunduk kepada suatu Peraturan Catatan Sipil
(orang-orang yang sudah mempunyai catatan sipil) dan sudah dewasa dapat
merubah atau menambahkan nama keluarganya hanya dengan izin Menteri
Kehakiman
- Yang dimaksud dengan dewasa ialah berumur genap 21 tahun atau sudah/
pernah menikah
- Bagi anak yang belum dewasa dan berada di bawah perwalian, permohonan
perubahan atau penambahan nama keluarganya diajukan oleh walinya
- Dengan perubahan nama seseorang tidak mengakibatkan ia pindah ke
golongan lain dan tidak terjadi hubungan keluarga meskipun nama keluarga
itu menjadi sama (tidak mempengaruhi kedudukan hukum dan hubungan
keluarga yang berkepentingan)
- Menteri Kehakiman harus menolak perubahan atau penambahan nama
keluarga yang dikehendaki, jika nama itu dianggap melanggar adat suatu
daerah atau dianggap sebagai suatu gelar atau yang dianggapnya penting
- Jika di samping nama keluarga juga diajukan permohonan perubahan atau
penambahan nama kecil atau jika tidak dibeda-bedakan antara nama keluarga
dan nama kecil maka Menteri Kehakiman harus memberikan izin
- Untuk dapat mengajukan permohonan perubahan atau penambahan nama
keluarga, orang yang berkepentingan harus melampirkan bukti-bukti tentang
hal-hal sebagai berikut pada surat permohonan atau penambahan nama
keluarga
a. Mengumumkan maksud untuk merubah atau menambah nama keluarganya
itu dalam Berita Negara Republik Indonesia (BNRI) dengan
pemberitahuan bahwa dalam waktu 4 bulan setelah hari keluarnya
pengumuman itu setiap orang dapat mengemukakan keberatan terhadap
perubahan atau penamabahan nama keluarga itu.
b. Mempunyai surat keterangan dari Kepala Daerah (Gubernur) dan Kepala
Kepolisian tempat tinggalnya tentang keberatan tidaknya pejabat-pejabat
itu terhadap perubahan atau penambahan nama keluarganya itu.
c. Membayar bea materai yang diwajibkan menurut Peraturan Bea Materai.
d. Mempunyai petikan akta kelahiran atau petikan akta perkawinan
- Surat izin perubahan atau penambahan nama keluarga diberikan kepada yang
berkepentingan dan tembusannya kepada:
a. Kepala Daerah dan Kepala Kepolisian yang bersangkutan
b. Kantor Catatan Sipil di mana kelahiran orang yang berkepentingan
didaftarakan dengan kewajiban pegawai Catatan Sipil yang bersangkutan
untuk mendaftarkan perubahan atau penambahan nama itu dalam daftar
catatan kelahiran, daftar pengambilan nama dan mencatat pada pinggiran
akta kelahiran pemohon dan akta-akta kelahiran anak-anaknya yang turut
dalam perubahan atau penambahan nama itu.
c. Seketariat Negara untuk diumumkan dalam BNRI.
- Warga negara Indonesia yang sudah dewasa dan tidak tunduk kepada suatu
Peraturan Catatan Sipil (orang-orang yang belum mempunyai catatan sipil)
bila menghendaki boleh mempergunakan undang-undang ini, maka ia tidak
harus melampirkan bukti mempunyai petikan akta kelahiran atau petikan akta
perkawinan (karena memang tidak punya) dan ia juga tidak harus melakukan
tembusan surat izin perubahan atau penambahan nama keluarga kepada
Kantor Catatan Sipil. Diperlukan keterangan dari Kepala Daerah bahwa ia
sudah dewasa

b. Kewarganegaraan

Pentingnya kewarganegaraan adalah sebagai berikut:


1. Mempengaruhi kewenangan berhak seseorang.

Mengenai kewarganegaraan diatur dalam UU No. 62 tahun 1958:


- Undang-undang kewarganegaraan pada pokoknya mengatur tentang cara
memperoleh kewarganegaraan dan sebab-sebab kehilangan kewarganegaraan.
- Menurut undang-undang ini Kewarganegaraan Republik Indonesia diperoleh
karena:
a. Kelahiran
Kewarganegaraan Republik Indonesia diperoleh karena kelahiran
berdasarkan keturunan dan berdasarkan kelahiran di dalam wilayah
Republik Indonesia untuk mencegah adanya orang tanpa
kewarganegaraan.
Dalam hal kewarganegaraan, undang-undang ini menganggap selalu ada
hubungan hukum kekeluargaan antara anak dan ibu. Hubungan hukum
kekeluargaan antara anak dan ayah hanya ada apabila anak itu lahir dari
perkawinan yang sah atau apabila anak itu diakui secara sah oleh ayahnya.
Apabila ada hubungan hukum kekeluargaan antara anak dan ayah maka
ayah itulah yang menentukan kewarganegaraan si anak, kecuali jika ayah
itu tidak dapat menentukan kewarganegaraan anaknya karena ia tidak
mempunyai kewarganegaraan atau karena kewarganegaraannya tidak
diketahui, dalam hal ini ibunya yang menentukan.
Apabila tidak ada hubungan hukum kekeluargaan antara anak dan ayah
maka yang menentukan kewarganegaraan anak ialah ibu.
b. Pengangkatan

E. Domisili/ Tempat Tinggal

1. Pengertian Domisili

Pasal 17 KUH Perdata:


“Setiap orang dianggap mempunyai tempat tinggalnya, di mana ia
menempatkan pusat kediamannya.”

Dengan demikian, tempat tinggal adalah tempat di mana seseorang


menempatkan pusat kediamannya.

2. Macam-macam Domisil

a. Tempat tinggal yuridis adalah tempat tinggal seseorang yang selalu


berhubungan dengan hal melakukan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya,
yakni tempat tinggal yang tercatat di Kartu Tanda Penduduk (KTP).
b. Tempat tinggal sesungguhnya adalah tempat kediaman seseorang sekarang
atau biasanya.
Contoh: Pasal 20 KUH Perdata
“mereka yang ditugaskan pada jawatan-jawatan umum, dianggap mempunyai
tempat tinggal mereka, di mana mereka menunaikan jawatan-jawatan itu.”
c. Tempat tinggal ikutan adalah tempat kediaman karena mengikuti pihak lain
yang mempunyai hubungan dengannya.
Contoh: Pasal 21, 22, 23 KUH Perdata
o Seorang perempuan bersuami yang tidak berpisahan meja dan ranjang
o Anak-anak belum dewasa mengikuti tempat tinggal ke dua orang tua
mereka atau salah satu keduanya atau tempat tinggal wali mereka
o Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan, mengikuti tempat
tinggal pengampu mereka
o Para pekerja buruh jika mereka ikut diam dalam rumah kediaman si
majikan
o Rumah kematian seseorang yang telah meninggal dunia, dianggap
terletak di mana si meninggal mempunyai tempat tinggalnya terakhir
d. Tempat tinggal pilihan adalah tempat tinggal khusus yang terpaksa dipilih
karena ditentukan oleh undang-undang atau dipilih secara sukarela dengan
akta.
Contoh: Pasal 24 KUH Perdata
“Dalam suatu sengketa perdata di muka pengadilan, ke dua belah pihak yang
berpekara atau salah satu dari mereka, berhak bebas, dengan akta memilih
tempat tinggal lain dari tempat tinggal mereka sebenarnya.....”
3. Arti Penting Domisili

Domisili itu penting untuk seseorang dalam hal sebagai berikut:


a. Untuk menentukan atau menunjukkan suatu tempat di mana berbagai
perbuatan hukum harus dilakukan, misalnya mengajukan gugatan, pengadilan
mana yang berwenang mengadili.
b. Menentukan status hukum dalam peristiwa hukum
c. Untuk mengetahui dengan siapakah seseorang itu melakukan hubungan
hukum serta apa yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing.
d. Untuk membatasi kewenangan berhak seseorang
e. Menentukan hukum waris yang harus diterapkan

Ada 5 peristiwa hukum


- Kelahiran
- Perkawinan
- Perceraian
- Kematian
- Pergantian nama

F. Pengampuan

Orang yang berada di bawah pengampuan:

Diatur dalam pasal 433 KUH Perdata

1. Orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata
gelap walau kadang-kadang ia cakap mempergunakan pikirannya.
2. Orang dewasa yang boros

Orang yang berhak meminta pengampuan:

1. Untuk orang dewasa yang dungu, sakit otak atau mata gelap berhak diminta
pengampuan oleh keluarga sedarahnya.
2. Untuk orang dewasa yang boros hanya boleh diminta pengampuan oleh para
keluarga sedarahnya dalam garis lurus dan oleh para keluarga semendanya dalam
garis menyimpang sampai derajat ke empat.
3. Seorang suami atau istri boleh meminta pengampuan istri atau suaminya.
4. Barang siapa karena kelemahan kekuatan akalnya, merasa tak cakap mengurus
kepentingan-kepentingan diri sendiri dengan baik diperbolehkan meminta
pengampuan bagi dirinya sendiri.
5. Jika tidak ada pihak yang meminta pengampuan terhadap mereka yang dungu,
sakit otak atau mata gelap maka Jawatan Kejaksaan wajib menuntutnya
(Kejaksaan meminta kepada pengadilan untuk menjadi pengampunya).
Ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam KUH Perdata terkait pengampuan:

1. Segala permintaan akan pengampuan harus dimajukan kepada Pengadilan Negeri


daerah hukumnya.
2. Peristiwa-peristiwa yang memperlihatkan adanya keadaan dungu, sakit otak, mata
gelap, atau keborosan tadi harus dengan jelas disebutkan dalam surat permintaan
dan harus disertai dengan bukti-bukti dan penyebutan saksi-saksinya.
3. Keluarga sedarah dan semenda yang meminta pengampuan harus mendengarkan
apa yang dikatakan oleh Pengadilan Negeri.
4. Pengadilan melakukan pemanggilan terhadap pihak-pihak yang tersebut di atas.
Pengadilan harus mendengar seorang yang pengampuannya diminta. Jika orang
tersebut tidak mampu memindahkan dirinya maka pemeriksaan dilangsungkan di
rumahnya oleh hakim disertai oleh Panitera dengan dihadiri oleh Jawatan
Kejaksaan. Jika rumahnya itu jauh, terletak dalam jarak sepuluh pal dari
kedudukan pengadilan maka pemeriksaan boleh dilimpahkan kepada pemerintah
setempat yang tak usah dihadiri oleh Jawatan Kejaksaan. Pemerintah setempat
harus membuat sebuah berita acara dan suatu turunan otentik dari berita acara itu
yang dikirimkan kepada Pengadilan Negeri.
5. Pemeriksaan tak akan dilakukan melainkan setelah diberitahukan kepada si yang
pengampuannya diminta, baik isi surat permintaan, maupun laporan yang memuat
pendapat-pendapat para keluarga sedarah.
6. Setelah mengadakan pemeriksaan tersebut jika ada alasan untu itu, pengadilan
mengangkat seorang pengurus sementara, guna mengurus pribadi dan harta
kekayaan si yang pengampuannya diminta.
7. Putusan atas suatu permintaan pengampuan harus diucapkan dalam sidang
terbuka.
8. Segala tindak-tindak perdata yang setelah itu dilakukan oleh si yang diampu
adalah demi hukum batal.
9. Seseorang yang ditaruh di bawah pengampuan karena boros tetap berhak
membuat surat-surat wasiat.
10. Apabila keputusan untuk pengampuan telah memperoleh kekuatan mutlak maka
diangkatlah oleh Pengadilan seorang pengampu. Pengangkatan tersebut harus
segera diberitahukan kepada Balai Harta Peninggalan di mana BHP menjadi
pengampu pengawas.
11. Berakhirlah segala usaha pengurus sementara, ia berwajib untuk melaporkan
perhitungan tanggung jawab atas pengurusannya kepada pengampu. Jika
seandainya pengurus sementara itulah yang menjadi pengampu maka perhitungan
tanggung jawab dilakukan kepada pengampu pengawas.
12. Suami atau istri harus diangkat menjadi pengampu bagi istri atau suaminya
kecuali ada alasan-alasan penting menghendaki pengangkatan seseoang lain
menjadi pengampu.
13. Setiap orang yang ditaruh di bawah pengampuan mempunyai kedudukan yang
sama dengan seseorang yang belum dewasa.
14. Seseorang yang karena keborosannya ditaruh di bawah pengampuan hendak
mengikat dirinya dalam perkawinan maka ketentuan pasal 38 dan 151 berlaku
terhadapnya, yakni mendapatkan izin dari wali dan wali pengawas atau
mendapatkan izin dari hakim bila mana wali dan wali pengawas atau salah satu
keduanya tidak memberikan izin.
15. Jika si terampu mempunyai anak-anak yang belum dewasa, sedangkan istri atau
suaminya telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua menurut pasal
49 UUP yakni sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya dan ia
berkelakuan buruk sekali maka si pengampu adalah demi hukum menjadi wali
atas anak-anak tersebut sampai pengampuannya dihentikan.
16. Pendapatan seseorang yang ditaruh di bawah pengampuan karena keadaan dungu,
sakit otak atau mata gelap harus diperuntukkan guna meringankan nasipnya dan
mengikhtiarkan sembuhnya.
17. Terhadap mereka yang buruk kelakuannya dan berbahaya bagi keamanan dirinya
sendiri atau orang lain harus dilakukan tindakan-tindakan misalnya Kepala Daerah
memerintahkan penahanan sementara.
18. Setelah lampau delapan tahun, boleh pengampu menuntut pembebasannya.
Tuntutan tersebut harus dikabulkan.
19. Pengampuan tak boleh menikmati kembali hak-haknya sebelum putusan tentang
pembebasannya memperoleh kekuatan mutlak. Pembebasan dari pengampuan
harus diumumkan di Berita Negara atas ancaman segala biaya rugi dan bunga jika
ada.
20. Setiap anak yang belum dewasa yang berada dalam keadaan dungu, sakit otak
atau mata gelap tak boleh ditaruh di bawah pengampuan, melainkan tetaplah ia di
bawah pengawasan bapaknya, ibunya, atau walinya.

Anda mungkin juga menyukai