Anda di halaman 1dari 6

Peserta didik adalah manusia dengan segala fitrahnya.

Mereka mempunyai perasaan dan


pikiran serta keinginan atau aspirasi. Mereka mempunyai kebutuhan dasar yang perlu dipenuhi
(pangan, sandang, papan), kebutuhan akan rasa aman, mendapatkan pengakuan, dan
mengaktualisasi dirinya (mwnjadi dirinya sendiri sesuai dengan potensinya)(Hartinah, 2008). Berikut
akan dijabarkan perkembangan yang sangat erat dengan pembelajaran,yaitu perkembangan kognitif,
emosi, sosial, moral, dan religi.

I. Perkembangan Kognitif
Keat (1985) dalam Hartinah (2008) melihat secara umum perkembangan mental atau
perkembangan kognitif sebagai proses-proses mental yang mencakup pemahaman tentang dunia,
penemuan pengetahuan, pembuatan perbandingan, berpikir, dan mengerti. Ia selanjutnya juga
menjelaskan bahwa proses mental tersebut tidak lain adalah proses pengolahan informasi yang
menjangkau kegiatan kognisi, intelegensia, belajar, pemecahan masalah, dan pembentukan konsep.
Secara lebih luas menjangkau kreativitas, imajinasi, dan ingatan. Senada dengan hal tersebut, Piaget
(1970) dalam (Hartinah, 2008) berpendapat bahwa, periode yang dimulai pada usia 12-18 tahun atau
lebih kurang sama dengan usia SMP/SMA, merupakan period of formal education. Pada usia ini, yang
berkembang pada siswa adalah kemempuan berpikir secara simbolis dan bisa memahami sesuatu
secara bermakna tanpa memerlukan objek yang konkret atau bahkan objek yang visual. Siswa telah
memahami hal-hal yang bersifat imajinatif. Dalam pandangan Piaget, perkembangan mental pada
hakekatnya adalah perkembangan kemampuan penalaran logis (development of ability to reason
logically). Baginya, makna berpikir dalam proses mental tersebut jauh lebih penting dari sekedar
mengerti. Proses perkembangan mental bersifat universal dalam tahapan yang umumnya sama,
tetapi dengan berbagai cara ditemukan adanya perbedaan penampilan kognitif pada tiap kelompok
manusia. Sistem persekolahan dan keadaan social ekonomi mempengaruhi terjadinya perbedaan
pada perkembangan anak, demikian pula dengan budaya, sistem nilai, dan harapan dalam masyrakat
masing-masing. Akan tetapi, dalam beberapa hal pemikiran remaja dinilai masih kurang matang.
David Elkin dalam Yusuf & Sugandhi (2012) memanifestasikan ketidakmatangan pemikiran remaja it
uke dalam enam karakteristik, yaitu:
a. Idealisme dan kekritisan
Remaja suka berpikir ideal dan mengkritik orang lain, orang dewasa atau orang tua sendiri.
b. Argumentativitas
Menjadi argumentatif ketika mereka menyusun fakta atau logika untuk mencari alas an,
misalnya: begadang.
c. Ragu-ragu
Meskipun remaja dapat menyimpan berbagai alternative dalam pikiran mereka pada waktu
yang sama, tetapi karena kurang pengalaman, mereka kekurangan strategi efektif untuk
memilih.
d. Menunjukkan hypocrisy
Remaja seringkali tidak menyadari perbedaan antara mekspresikan sesuatu yang ideal
dengan membuat pengorbanan yang dibutuhkan untuk mewujudkannya.
e. Kesadaran diri
Meskipun remaja sudah dapat berpikir tentang pemikiran mereka sendiri dan orang lain,
akan tetapi mereka sering kali berasumsi bahwa yang dipikirkan orang lain sama dengan
yang mereka pikirkan, yaitu diri mereka sendiri.
f. Kekhususan dan ketangguhan
Elkind menyebutnya dengan personal fable, untuk meunjukkan keyakinan remaja bahwa
mereka special, pengalamannya unik, dan tidak tunduk pada peraturan. Hal ini merupakan
bentuk egosentrisme khusus yang mendasari perilaku self-destructive.
Teori perkembangan remaja juga dijelaskan oleh Vigotsky. Yusuf & Sugandhi (2012)
menerangkan bahwa konsep utama Vigotsky adalah “zone of proximal development ZPD)”, yaitu
daerah tugas-tugas yang sangat sulit untuk diatasi oleh individu secara sendirian, tetapi baru dapat
dicapai apabila mendapat bimbingan atau bantuan dari orang dewasa atau teman sebaya yang lebih
terampil. Menurut Vigotsky, sekolah merupakan salah satu agen budaya yang menentukan
perkembangan berpikir remaja. Fakor lain yang juga mempengaruhi perkembangan kognitif atau
berpikir remaja adalah orang tua, teman sebaya, komunitas, dan orientasi teknologi budaya.
Perbedaan pandangan tentang perkembangan peserta didik menurut Piaget dan Vigotsky
terletak pada pendekatannya. Menurut Piaget, akhir perkembangan kognitif adalah operasi formal.
Sehingga, Piaget juga berpendapat bahwa anak mengonstruksi pengetahuan melalui upaya
mentransformasi, mengorganisasi, dan mereorganisasi pengetahuan sebelumnya. Sedangkan
Vigotsky berpendapat bahwa proses pemerolehan pengetahuan remaja bisa berbeda-beda satu
sama lain, tergantung pada keterampilan yang dipandang paling penting dalam budaya tertentu.
Sehingga Vigotsky juga berpendapat bahwa anak dan remaja mengkonstruksi pengetahuan melalui
interaksi social (Yusuf & Sugandhi, 2012). Implikasi dari kedua pendekatan tersebut terhadap
pendidikan atau pengajaran adalah:
a. Menurut teori Piaget guru perlu mendukung siswa untuk mengeksplorasi lingkungan dan
menemukan pengetahuan.
b. Menurut teori Vigotsky siswa memerlukan banyak kesempatan untuk belajar Bersama guru
dan teman sebaya yang lebih terampil.
Peran guru dalam mengajar baik menurut Piaget maupun Vigotsky adalah sebagai fasilitator dan
pembimbing, buka pengarah belajar siswa (Yusuf & Sugandhi, 2012).
II. Perkembangan Emosi
Perilaku seseorang dan munculnya berbagai kebutuhan disebabkan oleh berbagai dorongan dan
minat. Seberapa banyak dorongan-dorongan dan minat-minat seseorang itu terpenuhi merupakan
dasar dari pengalaman emosionalnya. Perjalanan kehidupan tiap-tiap orang tidak selalu sama.
Kehidupan mereka masing-masing berjalan menurut polanya sendiri-sendiri. Seseorang yang pola
kehidupannya berlangsung mulus, di mana dorongan-dorongan dan keinginan-keinginan atau
minatnya dapat terpenuhi atau dapat berhasil dicapai , mereka cenderung memiliki perkembangan
emosi yang stabil dan dengan demikian dapat menikmati hidupnya. Tetapi sebaliknya, jika dorongan
dan keinginannya tidak berhasil terpenuhi, baik hal itu disebabkan kurangnya kemampuan untuk
memenuhinya atau karena kondisi lingkungan yang kurang menunjang, sangat dimungkinkan
perkembangan emosionalnya mengalami gangguan (Sunarto & Hartono, 2002). Lebih lanjut Crow &
Crow (1958) dalam Sunarto & Hartono (2002), menjelaskan bahwa emosi adalah pengalaman efektif
yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud
suatu tingkah laku yang tampak. Menurt Patty (1992) dalam Hartinah (2008) Emosi merupakan
reaksi individu terhadap suatu perubahan situasi yang tiba-tiba sehingga tidak dapat bertindak
dengan satu tujuan tertentu. Reaksi tersebut berupa terkejut, takut, sedih, marah, gembira. Dan
lain-lain. Sunarto & Hartono (2002) juga menyebutkan bahwa emosi adalah warna efektif yang kuat
dan ditandai oleh perubahan-perubahan fisik. Pada saat terjadi emosi seringkali terjadi perubahan-
perubahan pada fisik seperti diantaranya reaksi elektris pada kulit (meningkat bila terpesona),
peredaran darah dan denyut jantung (bertambah cepat bila marah atau terkejut), dan pupil mata
(membesar bila marah).
II.1 Karakteristik perkembangan emosi
Biehler (1972) dalam Sunarto & Hartono (2002) membagi ciri-ciri emosional remaja menjadi dua
rentang usia, yaitu usia 12-15 tahun dan usia 15-18 tahun.
1. Ciri-ciri emosional remaja 12-15 tahun:
a. Pada usia ini anak cenderung banyak murung dan tidak dapat diterka. Sebagian
kemurungan sebagai akibat dari perubahan-perubahan biologis dalam hubungannya
dengan kematangan seksual dan sebagian karena kebingungannya dalam menghadapi
apakah ia masih sebagai anak-anak atau sebagai orang dewasa.
b. Anak mungkin bertingkah laku kasar untuk menutupi kekurangan dalam hal rasa percaya
diri.
c. Ledakan-ledakan kemarahan mungkin bisa terjadi. Hal ini seringkali terjadi sebagai akibat
dari kombinasi ketegangan psikologis, ketidakstabilan biologis, dan kelelahan karena
bekerja terlalu keras atau pola makan yang tidak tepat atau tidur yang tidak cukup.
d. Seorang remaja cenderung tidak toleran terhadap orang lain dan membenarkan
pendapatnya sendiri yang disebabkan kurangnya rasa percaya diri. Mereka mempunyai
pendapat bahwa jawaban-jawaban absolut dan bahwa mereka mengetahuinya.
e. Siswa-siswa di SMP mulai mengamati orang tua dan guru-guru mereka secara lebih objektif
dan mungkin menjadi marah-marah apabila mereka ditipu dengan gaya guru yang bersikap
serba tahu.
2. Ciri-ciri emosional remaja 15-18 tahun:
a. “Pemberontakan” remaja merupakan pernyataan-pernyataan atau ekspresi dari
perubahan yang universal dari masa kanak-kanak ke dewasa.
b. Karena bertambahnya kebebasan mereka, banyak remaja yang mengalami konflik dengan
orang tua mereka. Mereka mungkin mengharapkan simpati dan nasihat orang tua atau
guru.
c. Anak pada usia ini seringkali melamun, memikirkan masa depan mereka. Banyak di antara
mereka terlalu tinggi menafsir kemampuan mereka sendiri dan merasa berpeluang besar
untuk memasuki pekerjaan dan memegang jabatan tertentu.
II.2 Faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi
Sejumlah penelitian tantang emosi anak menunjukkan bahwa perkembangan emosi mereka
bergantung pada factor kematangan dan factor belajar (Hurlock (1960) dalam Sunarto & Hartono,
(2002). Reaksi emosional yang tidak muncul pada awal kehidupan bukan berarti reaksi tersebut tidak
ada. Reaksi tersebut mungkin akan muncul di kemudian hari seiring dengan berfungsinya system
endoktrin. Kematangan dan belajar terjalin erat satu sama lain dalam mempengaruhi perkembangan
emosi. Perkembangan intelektual menghasilkan kemampuan untuk memahami makna yang
sebelumnya tidak dimengerti, memperhatikan satu rangsangan dalam jangka waktu yang lebih lama,
dan menimbulkan emosi terarah pada satu objek. Demikian pula kemampuan mengingat
mempengaruhi reaksi emosional. Dengan demikian, anak-anak menjadi reaktif terhadap rangsangan
yang tadinya tidak mempengaruhi mereka pada masa yang lebih muda (Sunarto & Hartono, 2002).
Kegiatan belajar juga dinilai menunjang perkembangan emosi. Metode belajar yang menunjang
perkembangan emosi menurut Sunarto & Hartono (2002) adalah:
1. Belajar dengan coba-coba
Anak belajar secara coba-coba untuk mengekspresikan emosi dalam bentuk perilaku yang
memberikan pemuasan terbesar kepadanya, dan menolak perilaku yang memberikan
sedikit pemuasan atau tidak memberikan pemuasan sama sekali. Meskipun cara belajar ini
lebih umum diterapkan pada masa kanak-kanak awal dibandingkan dengan sesudahnya,
tetapi sepanjang perkembangannya tidak pernah ditinggalkan sama sekali.
2. Belajar dengan cara menitu
Dengan cara mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi orang lain, anak-anak bereaksi
dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang-orang yang diamatinya.
3. Belajar dengan mempersamakan diri
Anak menirukan reaksi emosional orang lain yang tergugah oleh rangsangan yang sama
dengan rangsangan yang telah membangkitkan emosi orang yang ditiru. Di sini anak hanya
menirukan orang yang dikagumi dan mempunyai ikatan emosional yang kuat dengannya.
4. Belajar melalui pengkondisian
Dengan metode ini objek situasi yang pada mulanya gagal memancing reaksi emosional,
kemudian dapat berhasil dengan cara asosiasi. Pengkondisian terjdai dengan mudah dan
cepat pada tahun-tahun awal kehidupan karena anak kecil kurang mampu menalar, kurang
pengalaman untuk menilai situasi secara kritis, dan kurang mengenal betapa tidak
rasionalnya reaksi mereka. Setelah melewati masa kanak-kanak, penggunaan metode
pengkondisian semakin terbatas pada perkembangan rasa suka dan tidak suka.
5. Pelatihan atau belajar di bawah bimbingan dan pengawasan (terbatas pada aspek reaksi)
Anak diajarkan cara bereaksi yang dapat diterima jika suatu emosi terangsang. Dengan
pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi terhadap rangsangan yang biasanya
membangkitkan emosi yang menyenangkan, dan dicegah agar tidak bereaksi secara
emosional terhadap rangsangan yang membangkitkan emosi yang tidak menyenangkan.
Berkaitan dengan perkembangan emosi anak, guru tentunya juga memiliki peran yang besar
terhadap hal tersebut. Guru seyogyanya mempunyai kepedulian untuk menciptakan suasana belajar
mengajar yang menyenangkan dan kondusif bagi terciptanya proses belajar siswa secara efektif.
Menurut Yusuf & Sugandhi (2012), hal yang dapat ditempuh oleh guru adalah:
1. Mengembangkan iklim kelas yang bebas dari ketegangan.
2. Memperlakukan siswa sebagai individu yang memiliki harga diri (self-esteem), seperti guru
menghargai pribadi, pendapat, dan karya siswa, dan tidak mencemooh atau melecehkan
pribadi, pendapat, dan hasil karya siswa, sera tidak menganakemaskan atau
menganaktirikan siswa.
3. Memberikan nilai secara adil dan objektif.
4. Menciptakan kondisi kelas yang tertib, bersih, dan sehat.
Referensi

Cahyono, D. 2019. Pengembangan Sikap Relijius Dalam Kegiatan Ekstrakulikuler Pramuka di MAN 1
Trenggalek. Unpublished. Retrieved from http://repo.iain-tulungagung.ac.id/11571/5/BAB%20II.pdf
Hartinah, S. (2008). Perkembangan Peserta Didik. Refika Aditama.
Santrock, J. W. (2011). Educational psychology. Edisi Kelima. New York: McGraw-Hill.
Seifert, K., Sutton, R. (2009). Educational psychology. Edisi Kedua. Switzerland: The Saylor
Foundation.
Sunarto, & Hartono, A. (2002). Perkembangan Peserta Didik. Rineka Cipta.
Yusuf, S., & Sugandhi, N. (2012). Perkembangan Peserta Didik. RajaGrafindo Persada.
Wani, E. 2017. Makalah Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik. Unpublish. Retrieved from
https://www.academia.edu/35497559/PERKEMBANGAN_MORAL_DAN_SPIRITUAL_PESERTA_DIDIK_
A.docx

Anda mungkin juga menyukai