Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH METODE PENELITIAN SASTRA

Oleh:

Nova Fitri Astuti 1721120103

Yuliani 1721120142

Helin Rahayuda 1721120133

Jeni Hera Enggraini 1721120140

Dosen pengampu :

Dr. Ira Yuniati, M.Pd

PROGAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BENGKULU

2020

1
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat
dan Karunia-Nya sehingga penulisan makalah ini dapat terselesaikan. Shalawat serta
salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, para keluarganya,
dan para sahabat-sahabatnya.

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Metode
Penelitian Sastra. “Tak ada gading yang tak retak” Dan permohonan maaf saya pribadi
apabila di dalam penulisan makalah ini banyak terdapat kesalahan. Saya mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun, agar dapat memperbaiki kekurangan dan
kesalahan dalam penyusunan makalah selanjutnya. Mudah-mudahan makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi penulis.

Curup, 29 april 2020

penulis

2
DAFTAR ISI

COVER............................................................................................................ i
KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang...................................................................................... 4

1.2 Rumusan Masalah................................................................................. 5

1.3 Tujuan Penulisan.................................................................................. 5

BAB II PEMBAHASAN

A.    Pengertian metode, metodologi dan teknik.……………................ 6

B.     macam-macam metode…………………………………………..... 7

C.     pendekatan dan problemetikanya………….…………………….. 8

D.    macam-macam pendekatan dalam sastra…………………………. 12

BAB III PENUTUP

A.   Kesimpulan………………………………………………………. … 22

B.    Saran……………………………………………………………...... . 22

DAFTAR  PUSTAKA…………………………………………………… ... 23

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Suatu mata pelajaran mempunyai karakteristik yang mungkin sangat berbeda dengan
karakteristik mata pelajaran yang lain. Sebagai contoh, Bahasa Indonesia mempunyai
karakteristik yang berbeda dengan mata pelajaran biologi. Oleh karena itu agar dapat
mengajar dengan baik, guru memerlukan informasi tentang karakteristik mata pelajaran
Bahasa Indonesia.
Dalam bahasa Indonesia terdapat suatu karya yang disebut sastra secara sederhana
dapat dikatakan bahwa sastra Indonesia ialah sastra berbahasa Indonesia, definisi yang
singkat dan sederhana itu dapat didebat dengan pendapat yang mengatakan bahwa satra
Indonesia adalah keseluruhan sastra yang berkembang di Indonesia selama ini. Pada
kenyataannya telah berkembang sastra-sastra daerah: Aceh, Batak, Sunda, Jawa, Bali,
Bugis, Toraja, Lombok dan sebagainya. Dalam konteks wilayah pertumbuhan dan
perkembangannya secara nasional, berbagai sastra daerah itu dapat disebut juga sastra
Indonesia dengan pengertian sastra milik bangsa Indonesia. Apabila dihubungkan dengan
usaha mewujudkan kebudayaan nasional, jelaslah bahwa sastra daerah itu merupakan
unsur kebudayaan nasional. Hal ini telah dibahas dalam seminar pengembangan Sastra
Daerah di Jakarta, 13-17 Oktober 1975
Sastra merupakan karya tulis dengan karakteristik yang unik, menjadikan ciri
yang membedakan ia dengan karya tulis yang biasa, yaitu dengan nilai artistic, keindahan
dan bentuk ungkapan yang terdapat dalam bentuk ungkapan yang terdapat di dalam
penggambaran isinya. Sejalan dengan hal ini, Quin dalam Toha (2010:1) mengungkapkan
bahwa karya satra merupakan tulisan yang khas, dengan pemanfaatan kata yang khas
tulisan yang beroprasi dengan cara yang khas dan menuntut pembacaan yang khas pula
Dengan kekhasan dan keunikannya, sastra sebagai karya seni memiliki banyak
manfaat didalam kehidupan, misalnya dapat membuat seseorang mampu memahami
perasaan dan pengalaman orang lain baik pengalaman yang menyenangkan ataupun
menyedihkan, lalu dapat pula memahami hidup dan lingkungan dari sudut pandang lain.
Sehubungan dengan hal ini, Toha (2010:1) berpendapat bahwa seorang manusia menjadi

4
lebih manusia karena karya sastra, yakni lebih dapat mengenal lebih diri sendiri, sesama,
lingkungan dan berbagai permaslahan kehidupan

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu metode, metodologi, teknik dan pendekatan ?


2. Apa perbedaan metode, metodologi, teknik dan pendekatan?
3. Apa saja macam-macam metode?
4. Apa saja pendekatan dan problemetikanya?
5. Apa saja macam-macam pendekatan dalam sastra?

1.3 Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui metode, metodologi, teknik dan pendekatan


2. Untuk mengetahui perbedaan metode, metodologi, teknik dan pendekatan
3. Untuk mengetahui macam-macam metode
4. Untuk mengetahui pendekatan dan problemetikanya
5. Untuk mengetaui macam-macam pendekatan dalam sastra

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Metode, Metodologi, Teknik, dan Pendekatan (Teori, Metode, dan Teknik
Penelitian Sastra)

5
1. Metode, Metodologi, dan Teknik

Metode berasal dari kata methodos, bahasa Latin, methodos berasal dari akar kata
meta dan hodos. Meta berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah, sedangkan hodos
berarti jalan, cara, arah. Secara luas, metode diartikan sebagai cara-cara, strategi untuk
memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab
akibat. Metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah untuk
dipecahkan dan dipahami. Klasifikasi, deskripsi, komparasi, sampling, induksi dan
deduksi, eksplanasi dan interpretasi, kuantitatif dan kualitatif adalah sejumplah metode
yang sudah sangat umum penggunaannya.

Metode sering dikacaukan penggunaannya dengan metodologi. Secara etimologis


metodologi berasal dari methodos dan logos, yaitu filsafat atau ilmu mengenai metode.
Metodologi dengan demikian membahas prosedur intelektual dalam totalitas komunitas
ilmiah. Prosedur yang dimaksukan terjadi sejak peneliti menaruh minat terhadap objek
tertentu, menyusun proposal, membangun konsep dan model, merumuskan hipotesis dan
permasalahan, mengadakan pengujian teori, menganalisis data, dan akhirnya menarik
kesimpulan.

Ada tiga cara yang dapat membedakan antara metode dan teknik, bahkan juga
dengan teori, sebagai berikut:

1. Dengan cara membedakan tingkat abstraksinya. 


2. Dengan cara memperhatikan faktor mana yang lebih luas ruang lingkup pemakaiannya.
3. Dengan cara memperhatikan hubungannya dengan objek.
Atas dasar kekhasan sifat karya sastra, maka sejumlah metode yang perlu dibicarakan
dalam analisis karya sastra, diantaranya : metode intuitif, metode hermeneutika, metode formal,
analisis isi, dialektik, deskriptif analisis, deskriptif komparatif, dan deskrptif induktif.

2.2 Macam-macam Metode


a. Metode Intuitif
Metode intuitif dianggap sebagai kemampuan dasar manusia dalam memahami
unsur-unsur kebudayaan. Sebagai metode filsafat, menurut Anton Bakker (1984: 39-42),
metode intuitif digunakan oleh pendiri neo-Platonisme, yaitu Plotinos (205-270 M).

6
Dasar metodenya ialah filsafat Yunani, khususnya Plato dan Aristoteles. Ciri-ciri khas
metode intuitif adalah kontemplasi, pemahaman terhadap gejala-gejala kultural dengan
mempertimbangkan keseimbangan antara individu dengan alam semesta.

b. Metode Hermeneutika
Secara etimologis hermeneutika berasal dari kata hermeneuein, bahasa Yunani,
yang berarti menafsirkan atau menginterpretasikan. Fungsi utama hermeneutika sebagai
metode untuk memahami agama, maka metode ini dianggap tepat untuk memahami
karya sastra dengan pertimbangan bahwa di antara karya tulis, yang paling dekat dengan
agama adalah karya sastra.

c. Metode Kualitatif
Metode kualitatif ini mempertahankan hakikat nilai-nilai serta memberikan
perhatian terhadap data alamiah. Ciri-ciri terpenting metode kualitatif, sebagai berikut :
1. Memberikan perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai dengan hakikat objek,
yaitu studi kultural. 
2. Lebih mengutamakan proses dibandingkan dengan hasil penelitian sehingga makna
selalu berubah.
3. Tidak ada jarak antara subjek peneliti dengan objek penelitian, subjek peneliti sebagai
instrument utama, sehingga terjadi interaksi langsung diantaranya.
4. Desain dan kerangka penelitian bersifat sementara sebab penelitian bersifat terbuka.
5. Penelitian bersifat alamiah, terjadi dalam konteks sosial budayanya masing-masing.

d. Metode Analisis Isi


Menurut Vredenbreght (1983: 66-68), secara eksplisit metode analisis isi
pertama kali digunakan di Amerika Serikat tahun 1926. Isi dalam metode analisis isi
terdiri atas dua macam, yaitu isi laten dan isi komunikasi. Isi laten adalah isi yang
terkandung dalam dokumen dan naskah. Isi komunikasi adalah pesan yang terkandung
sebagai akibat komunikasi yang terjadi. Objek formal metode analisis ini adalah isi
komunikasi. Analisis isi laten menghasilkan arti, analisis komunikasi menghasilkan
makna.

7
d. Metode Formal
Secara etimologis formal berasal dari kata forma (latin), berarti bentuk, wujud.
Metode formal adalah analisis dengan mempertimbangkan aspek-aspek formal, aspek-
aspek bentuk, yaitu unsur-unsur karya sastra. Tujuan metode formal adalah studi ilmiah
mengenai sastra dengan memperhatikan sifat-sifat teks yang dianggap artistik. Ciri-ciri
metode formal adalah analisis terhadap unsur-unsur karya sastra, kemudian bagaimana
hubungan antara unsur-unsur tersebut dengan totalitasnya. Tugas utama metode formal
adalah menganalisis unsur-unsur, sesuai dengan peralatan yang terkandung dalam karya
sastra.

e. Metode Dialektika
Secara etimologis dialektika berasal dari kata dialectica, bahasa Latin, berarti
cara membahas. Secara historis metode dialektik sudah ada sejak zaman Plato, tetapi
diperkenalkan secara formal oleh Hegel. Menurut Hauser (1985: 333-334), dalam
dialektika unsur yang satu tidak harus lebur ke dalam unsur yang lain, individualitas
justru dipertahankan di samping interdependensinya. Prinsip-prinsip dialektika
dikembangkan oleh Friedrich Hegel atas dasar dialektika spiritual, dan Karl Marx atas
dasar pertentangan kelas.

f. Metode Deskriptif Analisis


Secara etimologis deskripsi dan analisis berarti menguraikan. Namun, analisis yang
berasal dari bahasa Yunani, analyein (‘ana’ = atas, ‘lyein’ = lepas, urai). Metode
deskriptif analitik dilakukan dengan cara mendiskripsikan fakta-fakta yang kemudian
disusul dengan analisis.

2.3 Pendekatan dan Problematikanya


Pendekatan didefinisikan sebagai cara-cara menghampiri objek. Pendekatan
perlu dikemukakan secara agak luas dengan pertimbangan bahwa pendekatan
mengimplikasikan cara-cara memahami hakikat keilmuan tertentu. Pendekatan
merupakan langkah pertama dalam mewujudkan tujuan. Pada dasarnya dalam rangka
melaksanakan suatu penelitian, pendekatan mendahului teori maupun metode artinya

8
pemahaman mengenai pendekatanlah yang seharusnya diselesaikan lebih dulu,
kemudian diikuti dengan penentuan masalah teori, metode, dan tekniknya

a. Pendekatan Biografis
Menurut Wellek dan Warren (1962: 75), model biografis dianggap sebagai
pendekatan yang tertua. Pendekatan biografis merupakan studi yang sistematis
mengenai proses kreativitas. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan aktivitas kreatif
dibedakan tiga macam pengarang, yaitu :
1. Pengarang yang mengarang berdasarkan pengalaman langsung. 
2. Pengarang yang mengarang berdasarkan keterampilan dalam penyusunan
kembali unsur-unsur penceritaan.
3. Pengarang yang mengarang berdasarkan kekuatan imajinasi.

b. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosiologis menganalisis manusia dalam masyarakat, dengan proses
pemahaman mulai dari masyarakat ke individu. Dasar filosofis pendekatan sosiologis
adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan-
hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh :
1. Karya sastra dihasilkan oleh pengarang. 
2. Pengarang itu sendiri adalah angggota masyarakat.
3. Pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat.
4. Hasil karya sastra itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat.
Pendekatan sosiologis, khususnya untuk sastra Indonesia, baik lama maupun
modern menjanjikan lahan penelitian yang tidak akan pernah kering. Setiap hasil karya,
baik dalam skala angkatan maupun individual, memiliki aspek-aspek sosial tertentu
yang dapat dibicarakan melalui model-model pemahaman sosial. Teori sosial modern
oleh kelompok Marxis, seperti Lukacs, Goldmann, Eagleton, Bakhtin, Althusser,
Medvedev, dan Jameson, termasuk Marx sendiri.

c. Pendekatan Psikologis
Rene Wellek dan Austin Warren (1962: 81-82) menunjukkan empat model
pendekatan psikologis, yang dikaitkan dengan pengarang, proses kreatif, karya sastra,
dan pembaca. Pendekatan psikologis kontemporer, sebagaimana dilakukan oleh Mead,

9
Cooley, Lewin, dan Skinner (Schellenberg, 1977), mulai memberikan perhatian pada
interaksi antarindividu, sebagai interaksi simbolis, sehingga disebutkan sebagai analisis
psikologi sosial. Teori yang paling banyak diacu dalam pendekatan psikologis adalah
determinisme psikologi Sigmund Freud (1856-1939). Menurutnya, semua gejala yang
bersifat mental, bersifat tak sadar yang tertutup oleh alam kesadaran (Schellenberg,
1997: 18).
d. Pendekatan Antropologis
Antropologi adalah ilmu pengetahuan mengenai manusia dalam masyarakat.
Pendekatan antropologi sastra lebih banyak berkaitan dengan objek verbal. Lahirnya
pendekatan antropologi karena adanya hubungan ilmu antropologi dengan bahasa,
tradisi lisan. Pokok-pokok bahasan yang ditawarkan dalam pendekatan antropologis
adalah bahasa sebagaimana dimanfaatkan dalam karya sastra, sebagai struktur naratif, di
antaranya:
1. Aspek-aspek naratif karya sastra dari kebudayaan yang berbeda-beda. 
2. Penelitian aspek naratif sejak epik yang paling awal hingga novel yang paling
modern.
3. Bentuk-bentuk arkhais dalam karya sastra, baik dalam konteks karya individual
maupun generasi.
4. Bentuk-bentuk mitos dan sistem religi dalam karya sastra.
5. Pengaruh mitos, sistem religi, dan citra primordial yang lain dalam kebudayaaan
populer.

e. Pendekatan Historis
Pendekatan historis mempertimbangkan historisitas karya sastra yang diteliti,
yang dibedakan dengan sejarah sastra sebagai perkembangan sastra sejak awal hingga
sekarang, sastra sejarah sebagai karya sastra yang mengandung unsur-unsur sejarah,
dan novel sejarah, novel dengan unsur-unsur sejarah. Pendekatan historis pada
umumnya lebih relevan dalam kerangka sejarah sastra tradisional.
Objek sasaran pendekatan historis, di antaranya, sebagai berikut:
1. Perubahan karya sastra dengan bahasanya sebagai akibat proses penerbitan ulang. 
2. Fungsi dan tujuan karya sastra pada saat diterbitkan.
3. Kedudukan pengarang pada saat menulis.

10
4. Karya sastra sebagai wakil tradisi zamannya

f. Pendekatan Mitopoik
Secara etimologis mythopoic berasal dari myth. Mitos dalam pengertian
tradisional memiliki kesejajaran dengan fabel dan legenda. Pendekatan mitopoik
dianggap paling pluralis sebab memasukkan hampir semua unsur kebudayaaan,
seperti: sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi, agama, filsafat, dan kesenian.
Vredenbreght (1983: 5) menyebutnya sebagai pendekatan holistis. Cara penelitian ini
sudah dimulai sejak lama, sebelum lahirnya pendekatan objektif dengan teori
strukturalisme.

g. Pendekatan Ekspresif
Pendekatan ekspresif berkaitan dengan hal, fungsi, dan kedudukan karya
sastra sebagai manifestasi subjek kreator. Pendekatan ekspresif lebih banyak
memanfaatkan data sekunder, data yang sudah diangkat melalui aktivitas pengarang
sebagai subjek pencipta, jadi sebagai data literer. Wilayah studi ekspresif adalah diri
penyair, pikiran, perasaan, dan hasil-hasil ciptaannya. Pendekatan ekspresif juga dapat
dimanfaatkan untuk menggali ciri-ciri individualisme, nasionalisme, komunisme, dan
feminisme dalam karya, baik karya sastra individual maupun karya sastra dalam
kerangka produksi. Pendekatan ekspresif dominan abad ke-19, pada zaman Romantik.

h. Pendekatan Mimesis
Menurut Abrams (1976: 8-9) pendekatan mimesis merupakan pendekatan
estetis yang paling primitif. Akar sejarahnya terdapat dalam pandangan Plato dan
Aristoteles. Menurut Plato, dasar pertimbangannya adalah dunia pengalaman, yaitu
karya sastra itu sendiri tidak bisa mewakili karya sastra sesungguhnya, melainkan
hanya sebagai peniruan. Secara hirearkhis karya seni berada di bawah kenyataan.
Pendekatan mimesis, khususnya dalam kerangka Abrams bertumpu pada karya sastra.

i. Pendekatan Pragmatik
Pendekatan pragmatis memberikan perhatian utama terhadap peranan
pembaca. Subjek pragmatis dan subjek ekspresif, sebagai pembaca dan pengarang

11
berbagi objek yang sama yaitu karya sastra. Secara historis (Abrams, 1976:16)
pendekatan pragmatik telah ada tahun 14 SM, terkandung dalam Ars Poetica
(Horatius). Secara teoretis dimulai dengan lahirnya strukturalisme dinamik.
Pendekatan pragmatis secara keseluruhan berfungsi untuk menopang teori resepsi,
teori sastra yang memungkinkan pemahaman hakikat karya tanpa batas.

j. Pendekatan Objektif
Pendekatan objektif mengindikasikan perkembangan pikiran manusia sebagai
evolusi teori selama lebih kurang 2.500 tahun. Pendekatan objektif merupakan
pendekatan yang terpenting sebab pendekatan apapun yang dilakukan pada dasarnya
bertumpu atas karya sastra itu sendiri. Secara historis pendekatan ini dapat ditelusuri
pada zaman Aristoteles dengan pertimbangan bahwa sebuah tragedy terdiri atas
unsur-unsur kesatuan, keseluruhan, kebulatan, dan keterjalinan. Masuknya
pendekatan objektif ke Indonesia sekitar tahun 1960-an, yaitu dengan
diperkenalkannya teori strukturalisme, memberikan hasil-hasil yang baru sekaligus
maksimal dalam rangka memahami karya sastra.

2.4 Macam-Macam Pendekatan Sastra

a.Strukturalisme

Strukturalisme adalah cara berpikir tentang dunia yang dikaitkan dengan


persepsi dan deskripsi struktur. Adapun asumsi dasar dari kajian ini adalah bahwa
karya sastra merupakan suatu karya yang otonom dapat dipahami sebagai suatu
kesatuan yang bulat dengan unsur pembangunnya yang saling berjalinan satu sama
lain.

Ada tiga bentuk strukturalisme itu; strukturalisme klasik, strukturalisme


genetik dan strukturalisme dinamik. Struktulalisme klasik, adalah strukturalisme yang
paling awal. Ia merupakan strukturalisme paten. Kajian yang hanya mengkaji struktur
semata. Dalam kajian sastra, struktur macam ini, tidak peduli dengan hal lain kecuali
yang berkaitan dengan struktur di dalam karya sastra. Tak ada hal lain yang perlu
diteliti kecuali struktur karya sastra.

12
Penerapan strukturalisme klasik dalam karya sastra dilakukan dengan cara
memadukan fakta sastra dengan tema sehingga makna sastra dapat dipahami dengan
jelas. Akan tetapi perlu dicatat bahwa pemahaman dan pengkajian antar struktur fakta
sastra tersebut harus ditopang oleh pengetahuan yang mendalam tentang pengertian,
peran, fungsi, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan unsur tersebut. Misalnya,
ketika peneliti membahas unsur tokoh dalam novel, maka ia harus tahu apa itu tokoh
dalam novel dan fungsinya tersebut dengan baik dalam struktur bangunan sebuah
novel.

Meski tampak mampu menggambarkan karya sastra secara objektif, namun di


balik itu, ada dua hal yang menjadi kelemahan strukturalisme macam ini: pertama
peneliti melepaskan sastra dari latar belakangnya dan kedua, ia mengasingkan sastra
dari relevansinya dengan budaya. Bahwa sastra tidak serta lahir begitu saja, ia dilatar
belakangi oleh hal-hal yang berada di luar dirinya.

Kemudian, dari kelemahan di atas itu, maka muncullah dua bentuk


strukturalisme lain, yakni strukturalisme genetik dan strukturalisme dinamik. Yang
pertama, strukturalisme genetik, adalah strukturalisme yang tidak hanya melibatkan
struktur sastra melainkan juga kehidupan pengarang dan kondisi sosial masyarakat
yang mendorong karya itu lahir. Arti genetik itu sendriri adalah “asal usul karya
sastra” yang berati diri pengarang dan kenyataan sejarah yang turut mengkondisikan
karya sastra saat ia diciptakan. Tokoh strukturalisme genetik adalah Lucien Goldman.

Menurut Goldman, ada dua macam karya sastra. Pertama, karya sastra
pengarang utama, yakni karya sastra yang strukturnya sebangun dengan struktur
kelompok atau kelas sosial tertentu. Kedua, karya sastra pengarang kelas dua, yakni
karya sastra yang sekedar raproduksi segi permukaan realitas sosial dan kesadaran
kolektif. Nah, karya sastra yang cocok diteliti dengan kajian strukturalisme genetik
adalah karya sastra yang pertama, karena, menurut Goldman, di dalam karya tersebut
terdapat apa yang disebut dengan “problematik hero” yaitu permasalahan-
permasalahan yang berhadapan dengan kondisi sosial yang dari sana pengarang
berusaha mendapatkan/menentukan suatu nilai tertentu yang diimplementasikannya
kedalam karyanya. Mengetahui nilai tersebut berarti menangkap pandangan dunia
sang sastrawan.

13
Adapun penerapan terhadap pendekatan strukturalisme genetik ini, dapat
dilakukan dengan dimulai dari kajian unsur-unsur intrinsik sastra, baik secara parsial
maupun kajian keseluruhan. Kemudian mengkaji latar belakang kehidupan sosial
kelompok pengarang karena ia merupakan bagian dari komunitas masyarakat tertentu.
Di samping itu tidak luput juga untuk mengkaji latar belakang sosial dan sejarah yang
turut mengkondisikan karya sastra saat ia diciptakan oleh pengarang. Dan akhir dari
kegiatan ini, adalah berhasil untuk mengungkap pandangan dunia pengarang tersebut.

Yang kedua, yang lahir dari akibat ketidakpuasan terhadap kajian


strukturalisme klasik adalah strukturalisme dinamik. Maksud “dinamik” di sini
mengacu pada dinamika yang diakibatkan pembacaan kreatif dan pembaca yang
dibekali konsiliasi yang selalu berubah, ia dianggap sebagai homo
significan, makhluk yang membaca dan menciptakan tanda.

Jadi dapat dikatakan bahwa strukturalisme dinamik adalah kajian


strukturalisme dalam rangka semiotik. Artinya, karya sastra dikaitkan dengan sistem
tanda. Tanda mempunyai dua fungsi: otonom, yakni tidak menunjuk di luar dirinya
dan informasional, yakni menyampaikan pikiran, perasaan dan gagasan. Adapun
penerapannya dapat dilakukan dengan pertama-tama menjelaskan struktur karya
sastra yang diteliti. Kemudian menjelaskan kaitan pengarang, realitas, karya sastra
dan pembaca.

b.Semiotik

Secara sederhana semiotik berarti ilmu tentang tanda. Ia mempelajari sistem-


sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi, yang memungkinkan tanda-tanda tersebut
mempunyai arti. Ia memiliki tujuan untuk mengetahui sistem tanda-tanda dengan
menentukan konvensi-konvensi apa saja yang memungkinkan karya sastra
mempunyai makna. Kajian semiotik ini mempunyai asumsi dasar bahwa fenomena
sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda.

Semiotik merupakan perkembangan atau lanjutan dari strukturalisme. Ya.


Strukturalisme tidak dapat dipisahkan dengan semiotik. Alasannya, karya sastra itu
merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan sistem tanda,
maka tanda dan maknanya dan konvensi tanda, maka struktur karya sastra tidak akan
dapat dimengerti maknanya secara optimal.

14
Tanda, dalam semiotik, terdiri dari penanda dan petanda.
Penanda (signifier)adalah bentuk formal yang menandai petanda. Sementara
petanda (signified) adalah sesuatu yang ditandai penanda itu, yakni artinya. Menurut
Pradopo, hubungan antara penanda dan petanda, terjadi dalam tiga bentuk. Yang
pertama dalam bentuk ikon, yakni hubungan yang bersifat alamiah. Contoh gambar
kuda menunjukkan hubungan antara tanda kuda dengan kuda yang sebenarnya
(alami). Yang kedua dalam bentuk indeks, yakni hubungan kausalitas. Contoh asap
menandai adanya api. Yang ketiga simbol, yakni tidak bersifat alamiah atau kausalitas
melainkah hubungannya bersifat abitrer (semau-maunya). Contoh kata “ibu” atau
gamabar “bualan bintang” maknanya tidak bisa tentukan begitu saja, ia ditentukan
oleh sebauh konvensi.

Lalu bagaimana langkah kerja kajian semiotik ini? Caranya adalah dengan
menyendirikan satuan-satuan minimal yang digunakan sistem tanda tersebut dengan
memakai hubungan paradigmatik dan sintagmatik. Kemudian menentukan konvensi-
konvensi yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna.

Dalam kajian semiotik, ada tiga metode yang dikenal. Pertama, konvensi
ketaklangsungan ekspresi, yakni mengenali makna tanda dengan beberapa cara:
menelaah pergantian arti (displacing of meaning) dengan memperhatikan,
memperhatikan penyimpangan arti (distorting of meaning) dan penciptaan
arti (creativy of meaning). Kedua, intertekstual, yakni membandingkan, menjajarkan
dan mengkontraskan karya sastra tersebut dengan teks lain dengan
mencari hypogram atau landasan penciptaan yang menghubungkan karya tersebut
dengan karya sastra lain sebelumnya yang dicerapnya. Untuk lebih jelasnya, nanti,
kajian ini akan dibahas terpisah secara terperinci. Dan ketiga, dengan heruestik  dan
hermeneutik, yakni (heruestik) membaca karya sastra berdasarkan struktur dan
memperjelas artinya, bila perlu menyisipkan kata atau sinonim kata-kata dengan
ditaruh dalam tanda kurung karya tersebut, contohnya dalam puisi. Selanjutnya,
(hermeneutik) yakni menafirkannya dengan berusaha memahami secara keseluruhan
karya tersebut.

c.Intertekstua

Di atas aku sudah mengatakan bahwa aku akan menjelaskan kajian


intertekstual secara terpisah. Nah, di sinilah tempatnya. Intertekstual merupakan

15
kajian teks yang melibatkan teks lain dengan mencari dan menelaah hubungan
tersebut. Suatu teks, dalam kaca mata intertekstual, lahir dari teks-teks lain dan harus
dipandang sesuai tempatnya dalam keluasan tekstual. Pendekatan ini memiliki asumsi
bahwa karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya, termasuk sastra. Karya sastra
merupakan respon pada karya sastra yang terbit sebelumnya. Bahwa suatu teks penuh
dengan makna bukan hanya mempunyai struktur tertentu, suatu karangan yang
menentukan dan mendukung bentuk, tetapi juga karena teks itu berhubungan dengan
teks lain.

Pengertian “teks” tidak hanya yang tertulis saja atau tidak juga yang suara
yang meluncur dari lisan, akan tetapi dalam pengertian umum, ia adalah dunia
semesta ini, adat istiadat, kebudayaan film, drama dan lain-lain. Semua itu adalah teks
juga. Hubungan antar teks, tidak dipandang melulu bahwa teks yang lahir akibat teks
sebelumnya itu senantiasa meneladani teks sebelumnya, tetapi juga yang menyimpang
dan memberontak.

Tokoh pertama dalam dunia filsafat yang memperkenalkan pendekatan ini


adalah Jecques Derrida, kemudian diperdalam oleh Julia Kristeva. Menurut Julia
Kristeva, setiap teks merupakan mozaik dan merupakan penyerapan (transformasi)
teks-teks lain. Maksudnya, setiap teks, mengambil hal-hal yang bagus lalu diolah
kembali dalam sebuah karya baru atau karya baru itu ditulis setelah melihat,
mencerapi, menyerap hal yang menarik baik sadar maupun tidak sadar. Dalam sastra,
yang diserap dapat berupa konvensi sastra atau juga suatu gagasan. Nah, konvensi dan
gagasan yang dicerap itu dapat dikenali apabila kita membandingkan teks yang
menjadi hipogram-nya (yang menjadi landasan penciptaan) dengan teks yang baru itu.
Teks baru yang menyerap itu dan yang mentrasformasikan hiporgam itu, dalam kajian
intertekstual, disebut dengan “teks transformatif”.

d.Resepsi

Suatu karya sastra tidak akan sama pembacaan, pemahaman dan penelitiannya
sepanjang masa dalam seluruh golongan masyarakat tertentu. Karya sastra sejak ia
diterbitkan, selalu akan mendapat tanggapan dari pembacanya. Demikian asumsi dari
para pengkaji sastra lewat pendekatan resepsi. Mereka dalam mengkaji karya sastra,
titik tekan yang dicapat, adalah respon pembaca

16
Ada dua macam hubungan pembaca dengan karya sastra. Yang pertama
disebut “horizon harapan”  (horizon of espextation), istilah ini dicetuskan oleh Hans
Robert Jauss. “horizon harapan ini” dapat ditentukan dengan meneliti norma-norma
umum yang terpancar dari teks yang telah dibaca oleh pembaca. Atau dapat dikenali
dari pengetahuan dan pengalaman pembaca atas semua teks yang telah dibaca
sebelumnya. Bisa juga dari pertentangan antara fiksi dan kenyataan.  Yang kedua
disebut “tempat-tempat terbuka” (balnk, opennes), istilah ini dicetuskan oleh
Wolfgang Iser. Iser memperkenalkan Konsep Efek (wirkung) yakni cara sebuah karya
mengarahkan reaksi pembaca terhadapnya. Menurut Iser, dalam sastra terdapat
kesenjangan antara teks dan pembaca dan disinilah, menurutnya, terjadi kekosongan
atau “tempat terbuka” itu yang kemudian diisi oleh pembaca. Dari kekosongan yang
telah diisi itulah terjadi respon antara pembaca sastra yang berbeda-beda.

Bagaimana cara menerapkan pendekatan ini? Pertama, dapat dilakukan secara


eksperimental. Caranya, menetapkan objek-objek estetik karya sastra kemudian
menetapkan perbedaan dan persamaan objek-objek estetik tersebut yang kemudian
pada akhirnya menentukan relasi antar objek tersebut. Tujuannya adalah untuk
mengungkap reasksi pembaca masa kini. Kedua, lewat kritik sastra. Bisa dilakukan
dengan dua cara. Secara sinkronik, dalam suatu kurun waktu atau secara diakronik,
dalam sepanjang sejarahnya. Perlu dicacat bahwa pengambialan simpel respon
pembaca ini tidak bisa didasarkan pada tanggapan individual, melainkan dari yang
mewakili norma pada masa waktu tertentu. Ketiga, secara intertekstual. Dengan cara
meneliti fenomena resepsi pengarang terhadap yang pernah dibacanya dilibatkan
dalam ciptaannya dengan menelaah terhadap hiporam-nya.

e.Stilistika

Secara bahasa, stilistika berarti pemakaian atau penggunaan bahasa dalam


karya sastra. Sedangkan dalam pengertiannya secara umum, dapat dikatakan, bahwa
ia merupakan bagian dari ilmu linguistik yang memusatkan perhatiannya kepada
variasi penggunaan bahasa. Fokus penelitian stilistika terhadap sastra adalah untuk
menentukan suatu prinsip yang mendasari kesatuan karya sastra dan dapat
menemukan suatu tujuan estetika umum yang menonjol dalam sebuah karya sastra,
yang mungkin juga dapat diarahkan untuk membahas isi.

17
Jika yang dibahas atilistika adalah penggunaan bahas atau yang disebut
dengan gaya bahasa, tetapi, apa itu gaya bahasa? Menurut Enkvist, gaya berarti
pembungkus yang membungkus pemikiran atau pernyataan yang telah ada
sebelumnya. Bisa juga berarti pilihan di antara pernyataan yang mungkin. Atau
sekumpulan ciri pribadi. Atau bisa juga berarti penyimpangan norma atau kaidah.
Atau hubungan antara sekumpulan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih luas
daripada sebuah kalimat.

Ada yang berpendapat bahwa gaya bahasa itu sejatinya datang dari
kepribadian seseorang yang tidak bisa ditiru sehingga menjadikan antara satu orang
pengarang dengan pengarang lainnya pasti berbeda, menunjukkan ciri khas. Ada pula
yang berpendapat ia merupakan ciri sebuah teks yang dapat dicontoh. Ada juga yang
menyatakan bahwa ia merupakan kesan yang dihubungkan oleh sebuah kelompok
tertentu, lahir dari sebuah kultur.

Kajian stilstika di dalam sastra dapat dilakukan dengan menganalisis tentang


sistem linguistik dan membedakan sistem satu dengan sistem lain dengan metode
kontras, mangamati deviasi dan distorsi terhadap pemakaian bahasa yang normal dan
berusaha menemukan estetisnya.

f.Sosiologi Sastra

Sastra menampilkan kehidupan sementara kehudupan itu sendiri, adalah


kenyataan sosial. Sastra dapat menumbuhkan siakap sosial tertentu atau bahkan
mencetuskan peristiwa tertentu. Sastra merupakan institusi sosial yang ditentukan
oleh sastrawan sebagai anggota masyarakat. Dari asumsi ini maka lahirlah kajian
sastra menggunakan pendekatan sosial yang disebut dengan sosiologi sastra..

Apa yang maksud dengan sosiologi sastra? Sosiologi sastra adalah kajian
sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Tujuannya adalah untuk
mendapatkan gambaran lengkap, utuh dan menyeluruh tentang hubungan timbal balik
antara sastrawan, karya sastra dan masyarakat. Yakni: seberapa jauhkah nilai sastra
berkaitan dengan nilai sosial, dan seberapa jauhkah nilai sosial mempengaruhi nilai
sastra.

Sosiologi sastra mempunyai tiga sasaran yang dibahas. Sasaran pertama


adalah bahwa ia mengkaji fungsi sosial dari sebuah karya sastra: apakah karya sastra

18
yang dikajinya ini memposisikan dirinya sebagai Nabi, atau ia menganggap karya
sastranya sebagai penghibur saja, atau mengkompromikan keduanya? Sasaran kedua
adalah konteks sosial dari  sastrawan itu sendiri yang meliputi; apa dan bagaimana
pencaharian pengarang, profesionalisme kepengarangannya dan masyarakat yang
dituju pengarang. Dan sasaran yang ketiga adalah bahwa sejauh mana karya itu
mencerminkan sebuah masyarakat.

Ada beberapa hal yang perlu diketahui oleh peneliti bahwa sastra mungkin
tidak dapat dikatakan cermin masyarakat saat ia ditulis, bahwa sifat “lain dari yang
lain” sastrawan mempengaruhi pemilihan dan penampilan  fakta-fakta sosial dalam
karyanya, bahwa genre sosial biasanya/sering merupakan sikap sosial seluruh
masyarakat kelompok tertentu dan bukan sikap seluruh sosial masyarakat dan bahwa
satra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya, mungkin
saja tidak dapat diterima sebagai cerminan masyarakat.

g.Dekonstruksi

Dekontruksi lahir dilatarbelakangi dari sikap seorang filsuf kontemporer


bernama Jaques Derrida yang menolak logosentrisme. Logosentrisme adalah
keinginan akan suatu pusat atau suatu “kehadiran” akan sabda Tuhan, yang mampu
menjelaskan segalanya. Ia merupakan sebuah usaha yang terus-menerus untuk
menghancurkan dan meniadakan pemusatan (decentering). Cara Derrida menjalankan
misinya itu adalah dengan membangun teori semiotik yang disebut “gramatologi”,
yaitu mempertanyakan kembali tanda dan tulisan dengan menolak konsep tanda
Sassure penanda dan petanda, dengan konsep “jejak” (trace) yang misterius dan tidak
terungkap (imprecitible), deferinsiasi dan tulisan

Dalam aplikasinya, dekonstruksi berusaha untuk membalikkan herarkis


terhadap sistem oposisional yang sudah ada. Kemudian melakukan oposisi-oposisi
yang sudah klasik, pemelesetan besar-besaran terhadap sistem itu secara keseluruhan.
Caranya adalah dengan menentukan oposisi-oposisi tertentu merupakan pemaksaan
ideologi  metafisik dengan satu membawa preoposisi-preoposisi dan peranannya
dalam nilai metafisika. Menunjukkan bagaimana sistem itu dihancurkan dalam teks
yang mengungkap dan bersandar kepadanya. Mempertanyakan oposisi dengan
memakainya dalam argumen sendiri dan menerima kembali dengan suatu pembalikan
yang memberinya status akibat dan akibat yang berbeda. Akan tetapi perlu dicatatat

19
bahwa dekonstruksi bukanlah sebuah teori. Ia anti teori dan yang dapat kita ambil
adalah hanya semangatnya saja.

h.Eksistensialisme

Eksistensialisme adalah gerakan filsafat yang mengusung ide bahwa manusia


menciptakan makna dan hakekat hidup mereka sendiri. Karenanya, filsafat harus
mengacu pada manusia yang konkrit, yaitu manusia sebagai eksistensi. Beberapa
tokoh penting gerakan eksistensialisme, dengan perbedaan-perbedaan pandangannya,
antaralain: Kierkegaard, Nietzsche,Berdyaev, Jaspers, Heidegger, Sartre,
danCamus (meskipun Camus sendiri tidak mau disebut sebagai seorang eksistensialis)

i.Feminisme

Feminisme merupakan gerakan yang menyuarakan ketidakadilan dan


ketidaksetaraan peran antara laki-laki dan perempuan. Teori feminis dimaksudkan
untuk memahami ketidaksetaraan dan difokuskan pada politik gender, hubungan
kekuasaan, dan seksualitas.

j.Fenomenologi

Fenomenologi memanfaatkan pengalaman intuitif atas fenomena, sesuatu yang


hadir dalam refleksi fenomenologis, sebagai titik awal dan usaha untuk mendapatkan
fitur-hakekat dari pengalaman dan hakekat dari apa yang kita alami.  G.W.F.
Hegel danEdmund Husserl adalah dua tokoh penting dalam pengembangan
pendekatan filosofis ini.

k.Formalisme

Formalisme merupakan sebuah cara mengkaji karya sastra yang difokuskan


pada bentuk daripada isi. Teori formalis lebih berkonsentrasi pada pembahasan fitur-
fitur teks, khususnya properti-properti bahasa yang digunakan daripada konteks
penciptaan karya dan konteks penerimaannya.

l.Gynocriticism
Gynocriticism adalah pembelajaran tentang sejarah, gaya, tema, genre, dan
struktur tulisan yang dikarang oleh perempuan, dinamika kejiwaan dari kreatifitas
perempuan, perkembangan karir perempuan secara perorangan atau kelompok, dan
evolusi atau aturan-aturan tradisi kesusastraan perempuan.

20
m.Humanisme Liberal
Humanisme Liberal mencoba menjembatani pembaca dan teks sastra dengan
berpegang pada beberapa prinsip dasar, antara lain; bahwa sastra yang baik
mengandung makna abadi, bahwa makna karya sastra ada di dalam karya itu sendiri,
bahwa manusia dan sifat-sifatnya tetap sama, dan bahwa bentuk dan isi karya sastra
tidak dapat dipisahkan.

n. Kritik Psikoanalisis
Kritik psikoanalisis merupakan bentuk kritik sastra yang menggunakan teknik-
teknik psikoanalisis dalam merancang interpretasi sastra. Secara singkat, psikoanalisis
adalah terapi untuk memahami interaksi antara unsur-unsur kesadaran dan
ketidaksadaran dalam otak manusia.

o.Kritik Sosiologis
Kritik sosiologis dimaksudkan untuk memahami sastra dalam konteks sosial
yang lebih luas. Melalui metode sosiologi, kritik ini menggambarkan konstruksi sosial
dari karya-karya sastra.

p.Marxisme

Marxisme adalah teori sekaligus gerakan politik yang diambil dari


pemikiran Karl Marx dan Friedrich Engels. Tujuan dari Marxisme adalah
menciptakan masyarakat tanpa kelas, yang didasarkan pada kepemilikan alat-alat
produksi, distribusi, dan pertukaran.

q.Materialisme Kultural

Materialisme Kultural adalah sebuah studi tentang bahan sejarah dalam sebuah


kerangka politik. Materialisme Kultural berhubungan dengan dokumen sejarah,
analisisnya, dan penciptaan ulang pandangan tentang suatu periode sejarah tertentu.
Materialisme Kultural juga membahas tekanan hegemonik pada masyarakat dalam
penciptaan karya-karya kanon.

21
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam makalah kali ini kita dapat mengetahui apa itu metode, metodologi,
teknik dan pendekatan serta dapat membedakan antara metode dan metodologi dan
mengetahui macam-macam metode dan pendekatan dalam sastra

3.2 Saran

Demikianlah makalah ini penulis buat, tentunya masih banyak kekurangan dan
kesalahan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifat nya
membangun bagi para pembacanya sebagai kesempurnaan makalah ini. Dan semoga
makalah ini menjadi acuan untuk meningkatkan makalah-makalah selanjutnya dan
bermanfaat bagi para pembaca dan terkhusus untuk saya.

22
DAFTAR PUSTAKA

http://sastra33.blogspot.com/2015/07/metode-metodologi-teknik-dan-pendekatan.html?
m=1

http://ikharizmaputrirahayu.blogspot.com/2012/01/macam-macam-pendekatan-
sastra.html?m=1

23

Anda mungkin juga menyukai