Anda di halaman 1dari 70

BAB I

PENDAHULUAN

Pengurangan dampak buruk NAPZA untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS dari dan di
kalangan penyalahguna NAPZA suntikan (injecting drug user - IDU) dapat dilakukan melalui
upaya penanggulangan yang komprehensif. Penanggulangan ini meliputi upaya promotif,
preventif, terapi dan rehabilitatif serta dapat diakses oleh setiap individu pengguna NAPZA,
termasuk mereka yang terinfeksi HIV.

A. Program penanggulangan NAPZA

Program penanggulangan NAPZA haruslah merupakan suatu paket kegiatan yang meliputi:
1. Terapi ketergantungan NAPZA, terutama terapi substitusi NAPZA seperti pemberian
maintenance metadon, buprenorfin, program therapeutic community , dan terapi rawat jalan.
2. Kegiatan penjangkauan untuk mengakses, memotivasi, dan mendukung IDU yang belum
dan tidak sedang menjalani terapi, yang bertujuan untuk mengurangi risiko perilaku seks
yang tidak aman dan perilaku penggunaan NAPZA (yang pada akhirnya dapat menghentikan
penggunaan NAPZA).
3. Program Jarum Suntik. Program ini telah terbukti dapat mengurangi dampak buruk akibat
penggunaan NAPZA suntik dan tidak menimbulkan peningkatan penggunaan NAPZA
maupun dampak lainnya terhadap masyarakat.
4. Program pencegahan dan edukasi NAPZA dan HIV/AIDS perlu ditingkatkan, termasuk
materi mengenai cara komunikas i, informasi, dan edukasi (KIE). Program ini bertujuan untuk
menimbulkan kesadaran dan penyediaan pendidikan yang khusus kepada IDU dan
keluarganya mengenai cara penularan dan pencegahan HIV, pelatihan keterampilan hidup
(life skills), distribusi kondom, konseling dan tes HIV sukarela dan rahasia (voluntary and
confidential counselling and HIV testing – VCT).
5. Pengobatan, perawatan, dan dukungan dengan melibatkan partisipasi masyarakat bagi
IDU yang terinfeksi HIV dan keluarganya. Kegiatan ini termasuk untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan yang terjangkau, terapi anti-retroviral dan pengobatan infeksi
oportunistik, perawatan di rumah, intervensi pencegahan penularan HIV yang efektif,
mendapatkan pelayanan sosial dan masalah hukum, dukungan psiko -sosial dan pelayanan
konseling.

1
B. Prinsip-prinsip advokasi untuk mencegah penularan HIV dari dan di kalangan IDU

1. Harus dapat menghindari terjadinya peningkatan dampak buruk berupa peningkatan


prevalensi HIV/AIDS .
2. Tujuan jangka panjang dan pendek harus seimbang.
3. Dapat mengemukakan bukti berdasarkan hasil penelitian tentang efektifitas pencegahan
HIV/AIDS dikalangan IDU.
4. Sasaran advokasi harus spesifik dan metodenya disesuaikan dengan lingkup sosial, budaya,
dan politik masyarakat .
5. Ditujukan pada berbagai sektor dan tokoh-tokoh yang ada di masyarakat.
6. Harus dilaksanakan sesegera dan seluas mungkin dengan tetap memperhatikan konteks
sosial, politik, dan kemampuan pendanaan.
7. IDU dan ODHA dapat dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program.
8. Kegiatan advokasi ini tidak hanya berkonsentrasi pada pencegahan HIV pada kelompok IDU
saja namun juga pada perawatan, pengobatan dan dukungan, .
9. Mampu mengangkat isu baru dan memberikan respon terhadap institusi, media, dan yang
lainnya dalam menanggapi HIV di kalangan IDU

2
BAB II

PENDEKATAN EFEKTIF UNTUK MENCEGAH HIV/AIDS


PADA PENGGUNA NAPZA SUNTIK

Epidemi penyalahgunaan NAPZA suntikan dan infeksi HIV yang berkaitan dengan penggunaan
jarum suntik secara bersama telah menimbulkan dampak yang serius terhadap kesehatan serta
kesejahteraan sosial dan ekonomi di banyak negara. Pada tahun 2002, epidemi ganda ini telah
terjadi di Amerika Utara dan Selatan, Eropa Timur, Tengah, dan Barat, Asia Selatan dan
Tenggara, dan sedang mulai berkembang di Timur Tengah dan Afrika. Jumlah negara yang
melaporkan adanya infeksi HIV di kalangan IDU meningkat dari 54 negara pada 1992 menjadi
120 negara pada 2001.

A. CONTOH KASUS

1. Kasus di Indonesia

Depkes RI bekerja sama dengan, WHO, UNAIDS dan ASA/FHI/USAID pada tahun 2002
memperkirakan terdapat 159.000 kasus pengguna NAPZA suntik di Indonesia. Dari jumlah tersebut
sebanyak 42.750 kasus (33.46 %) diperkirakan positif mengidap HIV/AIDS. Dua penelitian
dilakukan baru -baru ini juga menunjukkan angka infeksi HIV dikalangan IDU telah mencapai 15
%. Dalam skala yang lebih luas ini bisa berarti jika 10 % saja dari satu juta pengguna NAPZA
terinfeksi HIV maka akan terdapat paling sedikit 100.000 kasus. Sedangkan pihak lain
memperkirakan sebanyak 500.000 – 2 juta pengguna NAPZA di Indones ia. Sebagian besar
diantaranya menggunakannya dengan cara menyuntik dan sebagian diantaranya melakukan
penyuntikan secara bergantian.

Pada tahun 2000, 187 narapidana di lembaga pemasyarakatan Krobokan Bali menjalani tes HIV,
hasilnya 35 dari 62 (56%) Na rapidana yang mempunyai riwayat memakai NAPZA dengan
menyuntik ternyata mengidap HIV positif. Sebuah pusat rehabilitasi di Bali pada tahun 2000 juga
telah memeriksa tes HIV pada 14 orang pasien, 8 orang diantaranya HIV positif.

Data terakhir dari Puskesmas Kelurahan Kampung Bali-Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat
sampai bulan Juli 2002, telah melakukan konseling tes sukarela (VCT) HIV pada 60 pengguna
NAPZA suntik, 56 diantaranya atau 93% dengan hasil HIV positif.

2. Kasus di Negara Lain

Ledakan epidemi HIV di kalangan IDU telah terjadi di wilayah yang luas dalam kurun waktu 20
tahun ini, dimulai di New York (USA) pada 1979, diikuti oleh kota -kota besar serupa seperti
Edinburg (UK), Bangkok (Thailand), Ho Chi Minh (Vietnam), Santos (Brazil), Odessa (Ukraina),
Svetlogorsk (Belarus), Moskow dan Irkutsk (Federasi Rusia) dan Narva (Estonia).

3
Ledakan juga terjadi melintasi seluruh provinsi seperti Manipur di India dan Yunnan di Cina,
serta melintasi negara seperti Myanmar. Di beberapa daerah, pre valensi HIV di kalangan IDU
telah melonjak dari di bawah 5% menjadi lebih dari 40% dalam kurun waktu kurang dari 12
bulan. Di Manipur, prevalensi meningkat dari di bawah 10% menjadi lebih dari 60% dalam
waktu 6 bulan. Di Eropa Timur, di mana epidemi baru mulai muncul pada sekitar 1996, telah
terdapat 80-90% infeksi HIV baru di kalangan IDU pada tahun 2002. Epidemi HIV dengan
pertumbuhan tercepat yang pernah tercatat terjadi di kalangan IDU di Rusia.

Penularan HIV dari dan di kalangan IDU terjadi melalui beberapa cara antara lain :
o penggunaan jarum suntik bersama,
o pencampuran NAPZA sebelum digunakan dan adanya ritual tertentu yang berhubungan
dengan penyuntikan NAPZA;
o perilaku heteroseksual dan homoseksual yang berisiko tinggi,
o ibu yang terinfeksi HIV kepada bayi yang dikandungnya;
o luka tertusuk jarum suntik dan transfusi darah.

Epidemi HIV di kalangan IDU dapat mengakibatkan epidemi yang luas di negara yang memiliki
jumlah IDU yang banyak, yang dapat mengarah pada epidemi berikutnya pada kelompok sub-
populasi lain di mana perilaku yang berisiko terhadap HIV biasa terjadi. Selain itu, hal tersebut
juga dapat memicu perluasan epidemi di negara -negara di mana sebagian besar penularan HIV
terjadi melalui salah satu jalur kegiatan seks. Sebagai contoh, di Manipur, sebesar 45% dari
pasangan seksual tetap IDU yang mengidap HIV terinfeksi HIV selama kurun waktu 6 tahun.
Dalam kurun waktu 1996 – 2001 kebanyakan bayi yang mengidap HIV di Ukraina dan Federasi
Rusia dilahirkan oleh ibu yang juga IDU atau menjadi pasangan seks IDU.

Namun demikian, meskipun terjadi ledakan epidemi di kalangan IDU di banyak tempat, infeksi
dapat dicegah, diperlambat dan bahkan diturunkan. Misalnya prevalensi HIV di beberapa kota di
Australia, London, dan Dhaka (Bangladesh) telah tetap berada di bawah 5 %. Sedangkan
epidemi HIV di kalangan IDU di Nepal, New York, Edinburgh, dan Brazil dapat diperlambat
hingga beberapa tahun. Penurunan ini terjadi karena adanya kegiatan khusus melalui pendekatan
pengurangan dampak buruk NAPZA untuk menghadapi HIV/AIDS di kalangan IDU.

Pada tahun 2002 masyarakat internasional telah mencapai sebuah konsensus mengenai komposisi
dari pendekatan -pengurangan dampak buruk NAPZA ini. Dalam makalah yang berjudul
“Preventing the transmission of HIV among drug abusers: A position paper of the United
Nations System” (2000), badan-badan PBB bersama dengan WHO, dan badan-badan internasional
lainnya, sepakat bahwa kegiatan-kegiatan berikut ini sudah sangat diperlukan pelaksanaannya untuk
mencegah penularan HIV/AIDS di kalangan IDU, antara lain:

• Terapi ketergantungan NAPZA, terutama terapi substitusi NAPZA seperti terapi maintenance
metadon, program therapeutic community , dan program abstinensia bagi pasien rawat jalan,
dapat membantu IDU mengurangi jumlah penggunaan NAPZA secara signifikan.
• Kegiatan-kegiatan penjangkauan menjangkau, memotivasi, dan mendukung IDU yang tidak
sedang dalam terapi untuk mengurangi perilaku penggunaan NAPZA berisiko dan perilaku
seksual berisiko, juga mengurangi timbulnya HIV. Upaya penjangkauan juga ditujukan untuk
mengembalikan IDU ke dalam proses terapi untuk mempertahankan kondisi abstinen.

4
• Program pertukaran jarum suntik (perjasun) menunjukkan pengurangan dalam perilaku
penyuntikan yang berisiko dan penularan HIV. Progam ini juga berfungsi sebagai sarana
pertemuan antara IDU dengan pengelola program termasuk terapi ketergantungan NAPZA.
Program ini akan lebih bermanfaat lagi bila dilaksanakan secara terpadu dengan program KIE,
program penanggulangan AIDS, konseling, dan rujukan.

Berdasarkan kebijakan-kebijakan yang dinyatakan dalam UN Drug Control Convention and


Declaration on the Guiding Principles of Drug Demand Reduction, UN Human Rights documents
on UN Health Promotion Policy documents, prinsip -prinsip dan pendekatan strategis berikut ini
dapat digunakan untuk menanggulangi HIV/AIDS di kalangan IDU:

a) Perlindungan terhadap hak asasi manusia adalah penting bagi keberhasilan pencegahan
HIV/AIDS. Masyarakat menjadi lebih rentan terhadap infeksi bila masalah ekonomi, kesehatan
sos ial, dan hak-hak budaya mereka tidak dihargai. Hal ini termasuk bila hak-hak sipil tidak
dihargai, maka respon terhadap epidemi yang efektif akan sulit dilaksanakan.
b) Pencegahan HIV pada kelompok IDU harus dimulai sedini mungkin, sebab begitu HIV
masuk ke dalam suatu komunitas IDU, maka akan terjadi penyebaran yang sangat cepat.
c) Intervensi sebaiknya dilaksanakan berdasarkan hasil penjajakan kebutuhan (need
assessment ), besarnya masalah penyalahgunaan NAPZA serta kecenderungan dan pola
infeksi HIV.
d) Cakupa n menyeluruh dan komprehensif pada populasi yang dituju merupakan hal yang
penting . Agar langkah-langkah pencegahan menjadi lebih efektif dalam mengurangi epidemi
yang sedang berlangsung, perlu menjangkau sebanyak mungkin individu dari populasi yang
berisiko.
e) Program pengurangan permintaan (demand reduction) NAPZA dan program pencegahan
HIV harus terintegrasi dalam suatu kebijakan kesehatan dan kesejahteraan sosial melalui
program promotif-preventif. Lingkungan yang mendukung gaya hidup sehat, termasuk
penanggulangan kemiskinan serta kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan lapangan
pekerjaan dapat mendukung intervensi yang spesifik dengan melibatkan kegiatan-kegiatan
multi-disipliner dan menyediakan pelatihan dan dukungan yang memadai .
f) Permasalahan penyalahgunaan NAPZA tidak dapat hanya ditanggulangi semata-mata
dengan upaya penegakan hukum saja. Pendekatan dengan cara menghukum dapat membuat
orang-orang yang membutuhkan perawatan menyembunyikan diri. Program pencegahan HIV
dan terapi ketergantungan NAPZA dalam institusi penegakan hukum seperti lembaga
pemasyarakatan atau penjara, merupakan komponen yang sangat penting dalam mencegah
penularan HIV.
g) Upaya untuk menghentikan penularan HIV memerlukan 3 strategi sebagai berikut:
• Mencegah penyalahgunaan NAPZA,
• Memfasilitasi agar IDU bersedia menjalani terapi ketergantungan NAPZA
• Membentuk kelompok-kelompok penjangkauan dengan mengikutsertakan IDU dalam
strategi pencegahan HIV yang akan melindungi mereka dan teman-temannya serta
keluarganya dari bahaya HIV serta mendorong mereka agar bersedia menjalani terapi
ketergantungan NAPZA dan perawatan medis.
h) Fasilitas sarana pelayanan terapi perlu disiapkan dengan berbagai jenis dan metode
terapi yang sesuai dengan kebutuhan IDU. Sarana ini dapat menyediakan berbagai terapi
alternatif, misalnya terapi substitusi NAPZA.

5
i) Meningkatkan partisipasi aktif kelompok sasaran (IDU) terhadap permasalahan HIV dalam
seluruh upaya pengembangan dan pelaksanaan program.
j) Program pengobatan harus menyediakan pemeriksaan terhadap HIV/AIDS dan penyakit
menular lainnya serta memberikan konseling untuk membantu IDU agar dapat mengubah
perilaku berisiko atau mencegah risiko terinfeksi
k) Program pencegahan penularan HIV juga harus berfokus pada perilaku seksual berisiko di
kalangan IDU atau pengguna NAPZA lainnya.
l) Kegiatan penjangkauan dan pendidikan kelompok sebaya di luar fasilitas pelayanan kesehatan
diperlukan untuk menjangkau kelompok yang tidak terjangkau oleh fasilitas pelayanan
kesehatan tersebut. Oleh karena itu perlu adanya sumberdaya yang memadai untuk dapat
menjangkau klien yang banyak dimasyarakat .
m) Program kegiatan intervensi dalam pencegahan HIV di kalangan IDU meliputi:
• Menyelenggarakan KIE
• Penjangkauan pengguna NAPZA
• Pendampingan termasuk :
- Pendidikan tentang dampak buruk
- Cara penyuntikan yang aman
- Pendidikan sebaya
• Konseling tes HIV secara sukarela dan rahasia (VCT)
• Terapi ketergantungan NAPZA
• Pelayanan kesehatan dasar dan rujukan
• Pertukaran jarum suntik
• Penjualan dan distribusi jarum suntik
• Terapi substitusi dengan menggunakan metadone, buprenorphin
n) Dukungan dan perawatan yang melibatkan partisipasi masyarakat harus disediakan bagi IDU
yang terinfeksi HIV dan keluarganya, termasuk kemudahan untuk mendapatkan pelayanan
medik yang terjangkau secara ekonomi dan perawatan di rumah, intervensi pencegahan HIV
yang efektif, pelayanan sosial dan hukum, dukungan psiko-sosial dan pelayanan konseling.

B. PRINSIP-PRINSIP PENGURANGAN DAMPAK BURUK

Prinsip-prinsip pelaksanaan program pengurangan dampak buruk NAPZA dalam mencegah in feksi
HIV di kalangan IDU adalah :

1. Penggunaan materi KIE ditujukan untuk menumbuhkan kesadaran akan risiko HIV di kalangan
IDU, pendidikan kesehatan serta motivasi di kalangan IDU dan masyarakat sekitarnya.
2. Penjangkauan IDU dapat dilakukan melalui pendid ikan dengan cara tatap muka mengenai
risiko -risiko HIV dan langkah-langkah pencegahannya, serta pendistribusian materi KIE dan
upaya pencegahan.
3. Penyediaan alat suntik yang steril dan zat suci hama seperti cairan pemutih termasuk penyediaan
kondom, merupakan sarana utama dalam pencegahan HIV dari dan di kalangan IDU.
4. Penyediaan terapi substitusi NAPZA dapat membantu IDU dalam mengurangi atau
menghentikan penyuntikan NAPZA.
5. Kebijakan yang mendukung, perundang-undangan, dan advokasi yang terarah dapat
memberikan kontribusi dalam mengurangi diskriminasi, sehingga IDU dengan mudah
mendapatkan pelayanan pencegahan HIV.

6
Pada tahun 2001, Majelis Umum PBB mempertimbangkan isu-isu HIV/AIDS dan pada UN
General Assembly Special Session on HIV/AIDS (UNGASS) Decleration of Commitment yang
ditandatangani oleh perwakilan dari 189 negara, menyatakan bahwa:

(Paragraf 23). Mengakui bahwa strategi-strategi pencegahan, perawatan, dan terapi yang
efektif akan membutuhkan perubahan perilaku dan meningkatkan ketersediaan akses pelayanan
yang tidak membeda-bedakan, antara lain untuk vaksin, kondom, mikrobisida, pelicin,
peralatan suntik yang steril, obat-obatan termasuk terapi anti-retroviral, diagnosis dan
teknologi yang terkait, begitu pula penelitian dan pengembangan yang terus meningkat;

(Paragraf 52). Hingga tahun 2005, memastikan: program pencegahan yang beragam yang
mempertimbangkan keadaan lingkungan setempat, etika, dan nilai-nilai budaya yang terdapat
ditiap negara, termasuk komunikasi, informasi, dan edukasi, dalam bahasa yang paling mudah
dimengerti oleh kebanyakan masyarakat dan sesuai dengan budayanya. Program ini ditujukan
untuk:
o mengurangi perilaku berisiko dan mendorong perilaku seksual yang bertanggung jawab,
termasuk tidak berhubungan seks sama sekali atau setia pada satu pasangan;
o perluasan akses penyediaan bahan-bahan penting lainnya, termasuk kondom bagi laki-
laki dan wanita dan peralatan suntik yang steril;
o upaya-upaya pengurangan dampak buruk yang berkaitan dengan penggunaan NAPZA;
o perluasan akses ke fasilitas pelayanan konseling dan tes HIV sukarela dan rahasia;
o penyediaan darah untuk transfusi yang aman;
o terapi dini dan efektif untuk infeksi yang ditularkan secara seksual.

Pada tahun 2002, Komite Narkotika (Committee on Narcotic Drugs) mengeluarkan suatu
resolusi mengenai HIV/AIDS dan penggunaan NAPZA yang mendukung Negara-negara
Anggota Komisi untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan dibawah ini:

• Meningkatkan upaya-upaya untuk mengurangi permintaan akan NAPZA dan memastikan


bahwa paket program penanggulangan secara komprehensif yang terdiri dari langkah-
langkah promotif, preventif, terapi, dan rehabilitatif dapat diakses oleh seluruh individu
yang menggunakan dan menyalahgunakan NAPZA, termasuk mereka yang terinfeksi
HIV/AIDS.
• Mengimplementasikan langkah-langkah yang dapat mengurangi atau menghilangkan
kebiasaan berbagi peralatan suntik yang tidak steril.

Hingga tahun 2002, UNAIDS telah menempatkan enam makalah mengenai penggunaan NAPZA
suntikan dalam Best Practice Collection. Makalah-makalah tersebut mengacu pada hal-hal di
bawah ini, sebagai upaya terbaik dalam menanggulangi HIV/AIDS di kalangan IDU:

• Memastikan bahwa kebijakan dan strategi nasional mengenai NAPZA dan HIV/AIDS
harus sejalan, selaras dan tidak timbul permasalahan hukum untuk keberhasilan program
pencegahan HIV di kalangan IDU.
• Program penjangkauan dan program jarum suntik merupakan metode yang efektif dalam
mempertahankan prevalensi HIV yang rendah di kalangan IDU.

7
• Program jarum suntik sebagai salah satu cara yang efektif dan murah untuk mengontrol
epidemi HIV di kalangan IDU.
• Pendidikan kelompok sebaya di kalangan IDU dalam pencegahan HIV mencakup
pendidikan penjangkauan dan program kelompok sebaya dalam fasilitas terapi
ketergantungan. Penjajakan cepat (rapid assesment) sebagai suatu metode untuk
mendapatkan pemahaman yang cepat mengenai HIV/AIDS dan situasi penggunaan
NAPZA di mana intervensi yang efektif dapat dikembangkan.
• Inisiatif regional untuk membantu negara -negara mengadopsi panduan-panduan resmi
untuk memfasilitasi kegiatan pencegahan. Panduan tersebut bertujuan agar para politisi
dan media menjadi lebih peka terhadap masalah ini, dan dapat menginformasikan fasilitas
pelayanan kesehatan dan sosial kepada IDU, mendorong penelitian, dan melibatkan
masyarakat dalam upaya penanggulangan.

C. FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT PROGRAM

Meskipun telah mendapatkan dukungan dari badan-badan internasional dan berbagai


kesepakatan internasional, namun kegiatan-kegiatan efektif yang berhubungan dengan
HIV/AIDS dan penggunaan NAPZA suntikan baru dilaksanakan di 55 negara di dunia. Jumlah
ini kurang dari setengah jumlah negara -negara yang mempunyai kasus HIV di kalangan IDU.
Bahkan di negara-negara yang telah melaksanakan satu atau lebih program-program efektif ini,
kegiatan -kegiatan seperti itu seringkali dilakukan dalam ruang lingkup yang sangat kecil atau
berupa proyek percontohan saja.

Di sejumlah negara, telah terjadi penolakan yang kuat terhadap pengenalan dan pengelolaan
program-program efektif ini. Penolakan ini terjadi dalam beberapa b entuk, antara lain:

• Kekuatiran yang tidak terbukti, bahwa kegiatan pencegahan yang efektif akan meningkatkan
jumlah pengguna NAPZA.
• Kekuatiran bahwa program metadon maintenance dan program efektif lainnya bukan
merupakan bentuk terapi ketergantungan NAPZA yang tepat, karena dalam program ini
penghentian penggunaan NAPZA (abstinensia) bukan merupakan tujuan utama.
• Kritikan bahwa langkah-langkah yang efektif ini terlalu toleran dan seharusnya diganti
dengan cara memberi hukuman pada para pengguna NAPZA .
• Penjelasan berbagai media masa yang membandingkan program yang terlalu “berbaik hati”
terhadap para pengguna NAPZA yang tidak bisa diperbaiki lagi, sementara pasien “yang
tidak berdosa” tidak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai.
• Penolakan dari pihak kepolisian terhadap program jarum suntik yang dianggap bertentangan
dengan upaya-upaya penegakan hukum yang melarang pemasokan NAPZA atau melarang
ketersediaan peralatan suntik.
• Penolakan dari pemerintahan daerah dan masyarakat sekitar terhadap pendirian tempat-
tempat untuk pelaksanaan program harm reduction ini dengan alasan bahwa fasilitas-fasilitas
pelayanan yang melayani para IDU, dapat mengurangi kenyamanan lingkungan.
• Persepsi dari petugas kesehatan sendiri yang beranggapan bahwa pengobatan medis bagi
IDU hanya akan menyia -nyiakan sumber daya yang sudah terbatas dan para pengguna
NAPZA dianggap sebagai “sampah masyarakat”.

8
• Kekuatiran bahwa penekanan pada program pencegahan HIV yang efektif bagi IDU
merusak program utama pencegahan NAPZA maupun program terapi ketergantungan
NAPZA di negara tersebut.
• Kritikan, seringkali berdasarkan pada keterbatasan dan kurangnya pengetahuan tentang
program ini, misalnya pernyataan bahwa program harm reduction ini bertentangan dengan
budaya atau ajaran agama yang berlaku.

Beberapa jenis penolakan yang mungkin terjadi:

• Kurang atau terlambatnya pengakuan para politisi maupun birokrat bahwa masalah IDU ini
merupakan masalah yang serius. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan
pengalaman tentang masalah yang terkait dengan adiksi NAPZA (khususnya di beberapa
negara berkembang dan negara transisi).
• Kurangnya pengetahuan di kalangan pembuat kebijakan mengenai seberapa cepat infeksi
HIV dapat menyebar di kalangan IDU dan program pengurangan dampak buruk NAPZA .
• Keyakinan umum di beberapa negara pada mekanisme penegakan hukum dan pendekatan
yang semata -mata mengarah pada penghentian total dari penggunaan NAPZA (abstinent
only approach) dapat “memecahkan” masalah ketergantungan NAPZA (termasuk infeksi
HIV yang berkaitan dengan penggunaan NAPZA).
• Kritikan terhadap pengurangan dampak buruk NAPZA dari pusat-pusat terapi dan lembaga
penelitian yang menganggap bahwa sistim penegakan hukum dan terapi ketergantungan
NAPZA sebaiknya mengarah pada penghentian tota l (abstinensia).
• Kurangnya pengalaman atau pelatihan mengenai pengurangan dampak buruk NAPZA di
antara para petugas kesehatan dan petugas LSM.
• Kurangnya kesadaran masyarakat akan efektifitas pendekatan pengurangan dampak buruk
NAPZA ini dan manfaatnya dalam mengurangi epidemi HIV di kalangan IDU.
• Kurangnya pengalaman atau pelatihan mengenai advokasi dan cara pendekatan dikalangan
para petugas kesehatan, LSM, pembuat kebijakan, maupun mereka yang sedang berupaya
untuk memulai, mengelola, atau mempromosikan pendekatan pengurangan dampak buruk ini
untuk pencegahan HIV/AIDS di kalangan IDU.

D. TERMINOLOGI

Istilah “harm reduction” telah digunakan secara luas pada tahun 80-an untuk program-program
dan kebijakan-kebijakan yang mencoba merespon secara efektif ancaman serius epidemi HIV
dari dan di kalangan IDU tersebut. Namun demikian, tidak ada persetujuan internasional
mengenai definisi harm reduction ini. Definisi yang biasa dipakai mengacu pada upaya -upaya
untuk mengurangi dampak kesehatan, ekonomi dan sos ial yang merugikan sebagai akibat dari
penggunaan NAPZA . Dalam definisi ini, program jarum suntik seringkali dihubungkan sebagai
kegiatan -kegiatan harm reduction.

Istilah lain harm reduction adalah langkah-langkah apa saja yang dapat membantu mengurangi
risiko penggunaan NAPZA (sehingga memungkinkan dimasukkannya kegiatan-kegiatan
pengurangan pemasokan (supply reduction ) dan pengurangan permintaan (demand reduction).

9
Beberapa penggunaan lain istilah ini juga merujuk pada upaya-upaya untuk mengadakan
perubahan terhadap kebijakan mengenai NAPZA (termasuk hukum yang berkenaan dengan
penggunaan NAPZA) sebagai langkah penting dalam mengurangi risiko penyalahgunaan
NAPZA terhadap individu atau pun masyarakat.

Karena kelemahan definisi ini dan untuk alasan-alasan politis yang berkaitan dengan pandangan
beberapa organisasi maupun individu, masih terdapat perdebatan yang seru mengenai
penggunaan istilah “harm reduction”. Dalam beberapa konteks, istilah “harm reduction” ini tak
dapat diterima secara politis karena dapat diintepretasikan sebagai legalisasi obat-obatan,
sehingga istilah dan kegiatan apapun yang digambarkan dalam istilah ini selalu ditolak. Oleh
karena itu, pelaksana advokasi harus berhati-hati dalam mempertimbangkan istilah yang akan
digunakan.

Di beberapa negara, istilah ‘risk reduction’ lebih banyak digunakan untuk merujuk berbagai
kegiatan termasuk yang telah dijelaskan di awal bab ini. Sebagian orang yang bergerak dalam
penanggulangan HIV di kalangan IDU lebih suka menggunakan istilah “harm reduction” dari
pada “risk reduction”, sebagian yang lain lebih menyukai kebalikannya, dan sebagian yang lain
menyatakan tidak ada bedanya.

Pemberian istilah pada sejumlah kegiatan adalah untuk menunjukkan bahwa kegiatan-kegiatan
ini memiliki tujuan-tujuan yang berbeda (terutama dalam jangka pendek) dan memiliki cara -cara
yang berbeda pula dengan pendekatan lain. Hal yang paling penting dari perdebatan ini, adalah
kegiatan -kegiatan yang telah disebutkan sebelumnya ini hendaknya dapat dipromosikan,
dilaksanakan, dipertahankan, dan dikembangkan: seperti yang dapat dilihat pada perjanjian
internasional mengenai kebutuhan untuk kegiatan -kegiatan ini.

Istilah lain yang digunakan dalam buku panduan ini merupakan perbedaan antara kebijakan dan
strategi yang dikenal sebagai “supply reduction” (misalnya mencegah NAPZA masuk ke suatu
negara dan menangkap penjual NAPZA) yang semata -mata merupakan suatu pendekatan pada
penegakan hukum. Supply reduction mengacu pada berbagai tindakan yang digunakan oleh
berbagai negara untuk mengontrol atau menghapus ketersediaan NAPZA dijalur ilegal.

Badan-badan internasional menyetujui bahwa ini merupakan respon yang tepat apabila tindakan
yang lain seperti demand reduction dan pengurangan dampak buruk NAPZA (harm reduction)
untuk mencegah HIV/AIDS dari dan di kalangan IDU juga dilaksanakan – meskipun ada
perbedaan pendapat tentang jenis sumber daya yang harus disediakan untuk ke tiga area ini.

Apabila upaya-upaya supply reduction mengabaikan semua pendekatan yang lain, maka upaya-
upaya ini disebut sebagai “pendekatan penegakan hukum semata (law enforcement only
approach)” dan ini dinyatakan PBB sebagai upaya yang tidak efektif untuk mengatasi
HIV/AIDS di kalangan IDU dan permasalahan lain yang berkaitan dengan penggunaan NAPZA.

Demikian pula halnya, perbedaan antara penerapan kegiatan-kegiatan demand reduction


(mendidik masyarakat tentang masalah penggunaan NAPZA, melatih para remaja agar mampu
menolak tawaran untuk tidak menggunakan NAPZA, dan mengajak para pengguna NAPZA aktif
untuk mau mengontrol, mengurangi atau menghentikan penggunaan NAPZA) dengan

10
pendekatan yang hanya mengarah pada berhenti total dari penggunaan NAPZA (abstinence only
approach).

Demand reduction , terutama penyediaan berbagai layanan terapi ketergantungan NAPZA


termasuk terapi substitusi NAPZA, merupakan bagian penting dari suatu pengurangan dampak
buruk NAPZA. Meskipun demikian, masih ada beberapa pandangan pemerintah, organisasi dan
individu yang mempercayai bahwa hanya satu tujuan yang bisa diterima dalam terapi
ketergantungan NAPZA yaitu bahwa pengguna berhenti (abstinensia) menggunakan NAPZA
selamanya. Istilah ini dikenal sebagai abstinence only approach dan populer terutama di
kalangan institusi terapi ketergantungan NAPZA pada tahun 60-an.

Dengan munculnya epidemi HIV di kalangan IDU, banyak penelitian mengenai keefektifan
metode terapi ketergantungan NAPZA, dan pemahaman yang lebih luas mengenai adiksi dan
cara orang menggunakan dan berhenti dari NAPZA, telah disepakati bahwa dibutuhkan
bermacam-macam metode terapi. Metode terapi substitusi NAPZA, dapat menjadikan para
pengguna berhenti total (total abstinent) sebagai tujuan jangka panjang. Upaya untuk
mengurangi atau memberhentikan penyuntikan, meningkatkan keterampilan sosial, mengurangi
perilaku kriminal dan lain-lain sebagai tujuan jangka pendek juga dapat diterapkan.

Program demand reduction merupakan bagian penting dari pengurangan dampak buruk NAPZA
dalam mengatasi HIV di kalangan IDU, namun tidak begitu halnya dengan abstinent only
approach (yang tidak menyertakan terapi substitusi NAPZA dan tujuan terapi jangka pendek
lainnya) hal ini dianggap tidak efektif dalam mengatasi HIV/AIDS di kalangan IDU.

Beberapa istilah lain, yang dapat menyebabkan kekuatiran pada beberapa pembaca, adalah istilah
yang diambil dari bidang militer. Istilah-istilah yang pada mulanya digunakan dalam konteks
kemiliteran saat ini digunakan sebagai referensi dalam berbagai kegiatan, misalnya istilah
”strategi”, “kampanye”, “taktik”, “target”, sekarang digunakan dalam peristilahan politik, bisnis,
dan advokasi. Beberapa pelaksana advokasi lebih memilih untuk menghindari istilah militer.

Pemilihan istilah militer dalam buku panduan ini merefleksikan pengalaman dan pandangan dari
banyak ahli pada cara-cara di mana upaya -upaya advokasi yang berhasil telah terjadi perubahan
yang besar dalam waktu yang singkat. Untuk advokasi yang cepat dan efektif dalam konteks
perluasan pandemi HIV/AIDS yang sangat cepat, metode dan ide militer para pemikir politik
yang militeris tik dapat menjadi sangat berguna.

Namun demikian, dalam jangka panjang, metode ini perlu diimbangi dan barangkali malah
diganti dengan metode yang lebih membangun peningkatan demokrasi, perbaikan hak asasi
manusia, perbaikan kekuasaan, dan sebagainya. Para pelaksana advokasi perlu secara seksama
mempertimbangkan gabungan yang tepat dari pendekatan jangka pendek dan jangka panjang
berdasarkan konteks sosial dan politik di mana mereka bekerja. Buku panduan ini lebih
memfokuskan pada metode yang telah terbukti menghasilkan hasil yang cepat dan dramatis.

11
BAB III

TINJAUAN DAN PRINSIP-PRINSIP ADVOKASI

A. APAKAH YANG DIMAKSUD DENGAN ADVOKASI

Banyak naskah dan buku panduan telah dihasilkan untuk membantu upaya-upaya advokasi pada
program dan kebijakan HIV/AIDS. Masing-masing menggunakan definisi, prinsip, dan langkah-
langkahnya sendiri untuk mengarah pada advokasi yang efektif. Buku panduan ini merupakan
ringkasan dari beberapa pendekatan yang diambil dari berbagai sumber. Semuanya difokuskan
untuk memberikan pengalaman kepada orang-orang yang telah melaksanakan advokasi baik
yang berhasil maupun tidak, khususnya yang berhubungan dengan HIV/AIDS di kalangan IDU.

Dapat dicatat bahwa tidak ada padanan yang tepat untuk istilah “advokasi” dalam beberapa
bahasa.
Definisi advokasi yang paling sederhana adalah :

1. upaya yang terorganisir untuk mempengaruhi pengambilan keputusan.


2. tindakan yang diarahkan pada pengubahan kebijakan, posisi atau program-program dari
semua jenis institusi.
3. upaya mempengaruhi kebijakan publik melalui berbagai bentuk komunikasi persuasif.

Kebijakan dapat didefinisikan sebagai cara masyarakat dan institusi mengatasi berbagai isu baik
yang tertulis (misalnya undang-undang) ataupun tidak tertulis (misalnya etika, norma sosial).
Kebijakan dapat bersifat formal (seperti Strategi Nasional Penanggulangan AIDS) atau informal
(fakta bahwa beberapa tempat kerja tidak mau memperkerjakan ODHA).

Kebijakan publik cenderung formal dan tertulis termasuk pernyataan -pernyataan, kebijakan, atau
tindakan-tindakan yang dipaksakan oleh pihak-pihak berwenang untuk membimbing atau
mengawasi institusi, masyarakat, dan perilaku individu. Namun demikian, definisi di atas terlalu
umum atau juga sempit bagi yang melaksanakan advokasi untuk pendekatan penanganan
HIV/AIDS yang efektif di kalangan IDU, untuk itu opini dan perilaku dari berbagai kelompok
sasaran perlu dipengaruhi.

KELOMPOK SASARAN ADVOKASI ANTARA LAIN:

• Pembuat kebijakan di beberapa Departemen termasuk Kesehatan, Kehakiman dan HAM


termasuk didalamnya Lembaga Pemasyarakatan, Departemen Pertahanan dan Keamanan,
Departemen Sosial, Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan.
• Politisi, Birokrat, termasuk para menteri yang bertanggungjawab untuk Departemen di atas,
dan berbagai wakil rakyat di DPR yang menangani masalah penggunaan NAPZA dan/atau
HIV/AIDS;

12
• Kepolisian dan Badan Narkotika Nasional, TNI (yang sering kali beranggapan bahwa
pendekatan penegakan hukum merupakan satu-satunya cara yang dapat memecahkan
permasalahan penggunaan NAPZA dan HIV);
• Masyarakat sekitar dan anggota keluarga di lokasi program pencegahan atau terapi (termasuk
perumahan dan perkantoran);
• Pimpinan informal masyarakat seperti tokoh-tokoh masyarakat baik tingkat lokal atau
tingkat nasional;
• Para dokter dan petugas kesehatan lainnya khususnya yang tidak memiliki pengalaman
bekerja dengan pengguna NAPZA;
• Para guru, dosen dan komite sekolah
• Orang-orang yang terlibat dalam kegiatan pencegahan dan terapi ketergantungan NAPZA;
• Para pimpinan berbagai agama;
• Kalangan pers dan media massa;
• LSM lokal, nasional, dan internasional yang bergerak dalam bidang kesehatan, penegakan
hukum, HIV/AIDS, NAPZA, hak asasi manusia dan sebagainya.

Kelompok-kelompok yang paling penting untuk diadvokasi tergantung dari masalah sosial yang
dihadapi, tetapi advokasi yang sukses perlu memperoleh dukungan dari semua kelompok sasaran
advokasi. Dengan kata lain advokasi bukanlah merupakan pekerjaan seorang individu saja.

B. DEFINISI ADVOKASI

Advokasi adalah upaya-upaya terpadu yang dilakukan oleh sekelompok individu atau organisasi
untuk:

ð Meyakinkan seluruh individu, kelompok atau organisasi yang berpengaruh melalui berbagai
kegiatan persuasif untuk secepatnya dapat menerapkan pengurangan dampak buruk NAPZA
dalam mencegah penyebaran HIV/AIDS dari dan di kalangan IDU, dan
ð Memulai, mempertahankan atau meningkatkan kegiatan-kegiatan tertentu sampai pada suatu
tingkatan dimana kegiatan ini akan lebih efektif mencegah infeksi HIV di kalangan IDU dan
membantu dalam pengobatan, dukungan, dan perawatan kepada IDU dengan HIV/AIDS.

C. PRINSIP-PRINSIP ADVOKASI

1. Kegiatan advokasi harus menghindari terjadinya kesalah pahaman peningkatan


dampak buruk

Pengurangan dampak buruk NAPZA untuk mencegah HIV/AIDS di kalangan IDU harus
dilaksanakan secara terus menerus. Sebagai contoh, dalam kegiatan penjangkauan, polisi hanya
dapat memantau kegiatan tersebut. Jika polisi mau menangkap klien yang berada dalam kegiatan
tersebut atau meminta daftar nama dan alamat IDU, maka hal ini akan mengurangi kepercayaan
para pengguna NAPZA terhadap kegiatan tersebut, bahkan akan terjadi peningkatan dampak
buruk.

13
Risiko yang timbul pada seseorang dapat juga terjadi selama proses advokasi. Sebagai contoh,
dalam upaya untuk mendapatkan perhatian media mengenai hal-hal yang berkaitan dengan HIV
dan penyalahgunaan NAPZA, seorang pengguna NAPZA mungkin dapat dibujuk untuk tampil
dan dipublikasikan di Televisi. Hal ini dapat menimbulkan masalah yang serius dan perlu
dicegah. Kecuali jika penyalahguna NAPZA tadi telah diberitahu sebelumnya dan memahami
secara jelas konsekuensi yang mungkin terjadi atas publikasi tersebut.

2. Dapat menyeimbangkan tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang

Banyak orang berpendapat bahwa penanggulangan penyalahgunaan NAPZA harus dilakukan


secara lengkap dan tuntas. Ini berarti bahwa seluruh penyalah guna NAPZA harus berhenti total.
Untuk mencapai tujuan ini dibutuhkan beberapa tahun atau dekade. Sedangkan beberapa pihak
berpendapat bahwa tujuan tersebut tak akan pernah tercapai. Untuk mencapai tujuan tersebut
diperlukan penanggulangan masalah sosial lainnya seperti mengatasi pengangguran,
kemiskinan, masalah seksual, diskriminasi rasial dan jender.

Akan tetapi, untuk mencegah penularan HIV dari dan di kalangan IDU, berbagai program dan
kebijaka n harus segera dimulai. Kegiatan ini harus dapat menerima kenyataan bahwa IDU ada
dalam masyarakat. Pada situasi seperti ini, penekanan usaha-usaha advokasi harus difokuskan
pada tujuan jangka pendek seperti mencegah penularan HIV di kalangan IDU.

3. Tujuan harus dikaitkan dengan kegiatan yang dapat dibuktikan dengan penelitian

Perlu dipastikan bahwa semua kegiatan advokasi yang dilaksanakan dapat dibuktikan berhasil
melalui penelitian. Oleh karena itu pelaksana advokasi harus mengerti dasar-dasar pene litian
dan mengikuti terus menerus perkembangan dan temuan-temuan baru dalam pencegahan
HIV/AIDS terutama di kalangan IDU.

4. Spesifik dan terarah, yang harus disesuaikan dengan masalah sosial, budaya, dan
politik

Dalam banyak hal, advokasi disesuaikan dengan situasi masyarakat. Para pelaksana advokasi
hendaknya mengetahui sistem politik, sejarah, kebudayaan, dan masyarakat dan menyesuaikan
kegiatan dengan masalah yang ada.

5. Harus ditujukan pada berbagai sektor dan tokoh masyarakat dengan menggunakan
teknik yang berbeda pada saat yang bersamaan.

Keberhasilan advokasi tergantung juga pada penggunaan berbagai strategi yang saling
melengkapi. Untuk mendapatkan hasil advokasi yang maksimal dengan lingkungan yang
mendukung dalam penanggulangan HIV/ AIDS di kalangan IDU, advokasi dilakukan pada
berbagai individu dan kelompok yang berpengaruh pada waktu yang bersamaan.

Advokasi hendaknya juga dilihat sebagai proses yang melibatkan kegiatan-kegiatan di setiap
tingkat masyarakat mulai dari desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, nasional, regional dan

14
international. Meskipun berbagai kegiatan ditekankan pada tingkatan masyarakat tertentu,
keberhasilan advokasi tetap memerlukan kegiatan dengan jangkauan penuh pada setiap tingkatan
secara berkesinamb ungan.

6. Harus dilaksanakan secepat mungkin dan dalam tingkatan yang seluas mungkin dalam
lingkup sosial, politik, dan pendanaan

Karena HIV dapat menyebar dengan cepat di kalangan IDU, faktor waktu sangat penting dalam
upaya-upaya advokasi. Pengurangan dampak buruk NAPZA hanya dapat mencegah,
menstabilkan, atau mengurangi epidemi apabila dilaksanakan dalam skala yang besar. Besarnya
program tersebut tergantung pada banyak faktor seperti jumlah penyalahguna NAPZA suntik,
dan perilaku menyuntik dan seksual berisiko di kalangan IDU. Misalnya program percontohan
harus dilihat sebagai sarana untuk mencapai tujuan akhir. Percontohan ini dapat menunjukkan
keefektifan kegiatan dalam lingkup lokal (melalui evaluasi). Hasil program percontohan ini
sebaiknya dis ebarluaskan kepada individu-individu dan kelompok-kelompok yang berpengaruh.
Hal ini mengarah pada perubahan kebijakan dan pengenalan kegiatan pada skala yang efektif.

7. Memastikan IDU dan ODHA dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
pada semua kegiatan dan program-program yang dilaksanakan

Sesuai dengan prinsip yang pertama, IDU dan ODHA tidak perlu dilibatkan bila mengarah pada
hal yang merugikan mereka seperi diidentifikasi polisi, penahanan, terapi ketergantungan
NAPZA yang diwa jibkan atau kekerasan. Apabila keterlibatan IDU dan ODHA membahayakan
bila mengikuti pertemuan atau bekerja untuk advokasi dan perencanaan program, penjangkauan
dapat mengupayakan cara lain, misalnya melalui wawancara untuk mendapatkan pandangan
mereka. Di tempat dimana IDU dan ODHA dapat terlibat dalam diskusi dengan pihak yang
berwenang tanpa membahayakan diri mereka, sangat penting bagi mereka untuk berperan dalam
merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan advokasi dan program-program.

Keterlibatan IDU dan ODHA seperti ini akan meningkatkan percepatan program-program yang
efektif, dan menghasilkan program yang lebih berkualitas untuk memenuhi kebutuhan mereka.

8. Kegiatan advokasi tidak hanya terfokus pada pencegahan HIV di kalangan IDU tetapi
juga pada isu-isu mengenai pengobatan, perawatan, dan dukungan

Pendekatan pencegahan dan perawatan HIV/AIDS dalam beberapa cara saling berkaitan.
Pelayanan pengobatan yang berkualitas tinggi dan komprehensif akan menciptakan kelompok
yang mau menerima pesan-pesan pencegahan. Pencegahan yang efektif pada akhirnya akan
mengurangi permintaan untuk pelayanan pengobatan. Pendekatan komprehensif seperti itu akan
membantu membangun kepercayaan dan mengurangi stigmatisasi terhadap IDU.

9. Mampu mengangkat isu-isu baru tentang HIV dan memberikan respon terhadap cara-
cara yang dilakukan oleh institusi, media, dan yang lainnya dalam menanggapi
masalah HIV di kalangan IDU

15
Proses advokasi tidak hanya dianggap sebatas pada pencapaian tujuan yang ditentukan oleh para
pelaksana advokasi, tetapi hal ini juga merupakan reaksi terhadap peristiwa-peristiwa yang
sedang terjadi. Pada setiap tingkat pelaksanaan advokasi, beberapa peristiwa penting dapat
terjadi. Sebagai contoh, seorang politisi mungkin menemukan bahwa anaknya menggunakan
NAPZA, atau sebuah survei surat kabar mungkin menemukan banyak masyarakat yang prihatin
dengan penyalahgunaan NAPZA di kalangan remaja. Para pelaksana advokasi perlu
memperhatikan peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi dan mencari kesempatan seperti ini,
menjadikan sebagai sumber-sumber yang ada untuk memanfaatkan kesempatan tersebut, seperti
menghubungi juru bicara surat kabar tersebut kapan saja.

Dalam bab sebelumnya, penolakan sering terjadi dalam upaya untuk mencegah HIV/AIDS di
kalangan IDU. Meskipun sebagian dari penolakan ini akan diketahui dan menjadi subyek
kegiatan kelompok advokasi, kelompok lain yang menolak akan terus bermunculan. Oleh karena
itu para pelaksana advokasi harus siap dengan bukti-bukti dan melibatkan kelompok yang
berpengaruh seperti media, politisi, dan kelompok penting lainnya untuk mengatasi setiap
penolakan secepatnya.

16
BAB IV

PROSES ADVOKASI

Proses advokasi berhubungan erat dengan proses pembuatan kebijakan, sehingga kegiatan
advokasi perlu disesuaikan dengan masalah politik, sosial, dan budaya setempat. Proses advokasi
biasanya dimulai dengan menentukan permasalahan, kemudian memberikan solusi terhadap
masalah tersebut dan membangun dukungan untuk tindakan yang dilakukan. Proses ini dapat
dipertimbangkan dalam berbagai cara, akan tetapi perlu memikirkan advokasi sebagai suatu
rangkaian tahapan, yang dilaksanakan untuk beberapa aspek yang berbeda dari isu pada setiap
tingkatan masyarakat secara simultan.

A. TAHAPAN ADVOKASI

Pengorganisasian dan penggalangan dana: Bentuk kelompok advokasi atau


kemitraan serta pendanaan diperlukan untuk keberhasilan suatu advokasi.

• Analisis : Kelompok atau koalisi advokasi dimulai dengan menganalisis masalah,


kelompok yang terlibat, kebijakan-kebijakan yang ada, kelompok yang
melaksanakan dan tidak melaksanakan kebijakan tersebut, dan semua jalur yang
dapat digunakan untuk mendekati orang-orang yang berpengaruh dan pembuat
kebijakan. Semakin kita dapat menganalisis, maka semakin persuasif advokasi
akan dilaksanakan.
• Strategi: Pada tahap ini penyelesaian masalah dapat dirumuskan yang
mengandalkan analisis untuk mengarahkan, merencanakan, dan memusatkan pada
tujuan yang spesifik dan menempatkan upaya advokasi untuk mencapai maksud
dan tujuan.
• Aksi dan Reaksi: Dukungan perlu dibangun untuk perubahan kebijakan, tindakan
praktis dan sebagainya. Apabila ada penolakan perlu dilaksanakan pengulangan
secara terus menerus. Hal ini akan membantu untuk menciptakan perhatian dan
keprihatinan sehingga permasalahan, pemecahan, dan kemauan politik akan
menjadi satu kesatuan.
• Evaluasi: Karena advokasi sering memberikan hasil yang tidak lengkap,
kelompok advokasi perlu mengevaluasi kegiatan yang telah, belum dan akan
dilaksanakan secara teratur dan objektif. Penilaian indikator proses mungkin
lebih penting dan lebih sulit dari pada penilaian indikator dampak. Evaluasi harus
digunakan sebagai langkah pertama dalam menganalisis ulang, yang mengarah
pada setiap tahapan advokasi dan evaluasi yang sedang berlangsung.

17
Secara ringkas tahap advokasi dapat digambarkan dalam bagan di bawah ini.

Proses advokasi dapat dijabarkan dalam diagram berikut ini:

Pengorganisasian
kelompok advokasi

Analisis

Penggalangan
Evaluasi dana Strategi

Aksi dan
Reaksi

B. STUDI KASUS PROSES ADVOKASI

1. Studi kasus – Indonesia

Pada akhir tahun 90-an, di Indonesia penyalahgunaan NAPZA suntik meningkat dengan tajam
dan HIV telah menyebar di kalangan IDU. Upaya yang telah dilakukan hanya sedikit
berpengaruh untuk mencegah epidemi HIV di kalangan IDU. Pemerintah dan LSM tidak begitu
mengetahui konsep pengurangan dampak buruk NAPZA di kalangan IDU. Sehingga muncul
kekuatiran di antara pemerhati program HIV/AIDS (terutama di kalangan donor, LSM, dan para
dokter yang bekerja untuk terapi ketergantungan NAPZA) bahwa para pejabat dan masyarakat
Indonesia akan menolak pelaksanaan program pengurangan dampak buruk.

Pada 1999, koalisi beberapa donor dan LSM memutuskan untuk membentuk sebuah kelompok
advokasi untuk mendesak penerimaan program tersebut di Indonesia. Pada awal 2000, para
donor ini mendukung suatu pelatihan mengenai me tode Rapid Assessment and Response (RAR)
yang dikeluarkan oleh World Health Organization, yang melibatkan pelatih dari Indonesia dan
pelatih internasional. Pelatihan ini menuntun pelaksanaan penjajakan cepat pada IDU yang
berhubungan dengan penyebaran HIV di delapan kota besar. Penjajakan cepat ini dirancang

18
untuk mendapatkan informasi bagi pelaksanaan kegiatan advokasi dan mendapatkan data untuk
membantu perencanaan intervensi yang efektif.

Kegiatan advokasi yang pertama dilakukan adalah mempresentasikan hasil sementara penjajakan
cepat ini di hadapan pejabat pemerintahan dan LSM di masing-masing provinsi di mana
penjajakan ini dilaksanakan. Tim penjajakan cepat mendapatkan pelatihan lanjutan dari pelatih
Indonesia dan internasional untuk mempresentasika n hasil penjajakan ini kepada kelompok yang
lebih luas termasuk para politisi dan media. Hasil akhir penjajakan ini dipresentasikan dalam
seminar tingkat provinsi dan nasional, sehingga menyebabkan meningkatnya kepedulian pada
isu-isu yang berkaitan dengan HIV di kalangan IDU.

Dari proses-proses ini, kelompok advokasi yang lebih khusus dibentuk untuk tingkat nasional di
Jakarta dan tingkat provinsi di Denpasar-Bali. Kelompok ini mengidentifikasi pelaksana kunci
advokasi, pendukung dan kelompok penentang potensial advokasi, dan mengembangkan tujuan
advokasi. Tim inti menggunakan hasil penjajakan cepat ini untuk mempengaruhi individu dan
kelompok yang berwenang bahwa HIV di kalangan IDU adalah masalah yang serius yang
sedang tumbuh di Indonesia dan mendorong pelaksanaan program pengurangan dampak buruk
NAPZA. Hasil penjajakan ini didukung oleh hasil studi lain yang menunjukkan adanya
kecenderungan infeksi HIV di kalangan IDU dan narapidana yang sudah mengkuatirkan. Karena
upaya-upaya advokasi ini, studi di atas mendapatkan perhatian yang luas dari media. Para donor
anggota tim advokasi yang dibentuk pertama kali mendanai lokakarya untuk memusatkan
perhatian masyarakat dan politisi pada isu ini, dan tokoh politik kunci seringkali dihubungi untuk
membangun dukungan terhadap perubahan kebijakan pemerintah, dan pengenalan atau
perluasan program-program percontohan penjangkauan, jarum suntik, dan metadon.

Pada tahun 2001, sebuah studi tur diselenggarakan di Sydney, Australia, bagi pejabat senior dari
peme rintahan dan LSM untuk mendapatkan pelatihan mengenai advokasi terhadap pengurangan
dampak buruk NAPZA dan mengunjungi beberapa lembaga yang berhubungan dengan HIV dan
NAPZA, perwakilan Departemen Kesehatan, Hakim Pengadilan Tinggi, para politisi, dan polisi
senior. Setelah studi tur tersebut, para peserta sepakat membentuk Harm Reduction Steering
Committe – HRSC (sebagian besar terdiri dari perwakilan pemerintah) dan Jaringan Harm
Reduction Indonesia (Indonesian Harm Reduction Network - IHRN, diketuai ole h sebuah LSM
di Bali).

Pada pertengahan tahun 2002, ada beberapa kegiatan advokasi untuk harm reduction yang sangat
penting di Indonesia:

• HRSC melakukan pertemuan secara reguler dan membangun hubungan antara staf sektor
kesehatan dan polisi dan tokoh masyarakat. Sedangkan dukungan kesekretariatan diberikan
oleh donor untuk pertemuan dan kegiatan steering committee.
• IHRN menerima dana untuk melakukan capacity building dan kegiatan jejaringan. Ada enam
program yang dimulai dilaksanakan di empat kota untuk pendidikan pencegahan HIV
melalui kegiatan penjangkauan dan material pencegahan kepada IDU.
• Program percontohan untuk pertukaran jarum suntik disiapkan untuk tiga tempat di Jakarta
dan dua di Denpasar, Bali. Sementara itu Pemerintah Indonesia setuju untuk

19
mempertimbangkan program pertukaran jarum suntik sebagai kebijakan nasional berdasarkan
hasil evaluasi terhadap program percontohan tersebut.
• Dua proyek percontohan program metadon yang sudah disetujui pemerintah pusat dan
provinsi dipersiapkan.
• Kampanye advokasi untuk harm reduction dimulai dengan memilih target sasaran dan
melaksanakan pertemuan nasional untuk mengangkat profil pengurangan dampak buruk
NAPZA dan mengembangkan kegiatan advokasi yang spesifik yang ditujukan kepada target
sasaran. Target pertama dalam kampanye ini melibatkan polisi, staf penegak hukum
(termasuk hakim, pengacara dan petugas penjara), tokoh agama, dan media massa.

2. Studi Kasus – Negara-negara Eropa Tengah dan Timur

International Harm Reduction Development (IHRD), program dari Open Society Institute (OSI)
yang berkedudukan di New York, merupakan salah satu penyandang dana untuk program
metadon dan perjasun di Eropa Timur dan Tengah serta Asia Tengah sejak pertengahan tahun
90-an. Sayangnya, lebih dari 150 program kecil yang telah dilaksanakan tidak direplikasi oleh
pemerintah negara -negara di daerah ini. Pada bulan Juni 2001, IHRD mendirikan Inisiatif
Kebijakan regional yang mempromosikan filosofi harm reduction, nilai-nilai kesehatan
masyarakat, penghormatan terhadap hak a sasi manusia, dan pelaksana advokasi untuk mengubah
kebijakan di daerah ini. Inisiatif Kebijakan ini merupakan bagian integral dari tiga strategi IHRD
yaitu dukungan layanan langsung; pelatihan dan capacity building; kebijakan publik dan
advokasi. Kegiatan ini sangat terkait dengan ketiga komponen di atas.

Inisiatif Kebijakan membantu pihak-pihak yang terlibat dalam harm reduction dan membuat
ikatan yang baru dan kuat dengan aktifis HAM dan masyarakat. Melalui upaya ini, Inisiatif
mengangkat harm reduction sebagai hal yang tidak kontroversial dan tidak marjinal lagi.

Ada beberapa contoh dukungan pemerintah terhadap harm reduction di wilayah ini:
• Di Polandia, pemerintah pusat memberi dana kepada pekerja penjangkauan yang
menjalankan program pertukaran jarum suntik.
• Di Bulgaria, program harm reduction dimasukkan ke dalam Program AIDS Nasional
• Di Kyrgyzstan dan Polandia, program metadon telah dilaksanakan.

Kegiatan Inisiatif Kebijakan yang dilakukan meliputi:


• dukungan untuk pembentukan kelompok mandiri bagi pengguna NAPZA dan ODHA;
• dukungan terhadap keterlibatan individu yang berpengaruh dalam kegiatan internasional
yang didedikasikan bagi kebijakan NAPZA yang progresif,
• studi tur bagi polisi dan pejabat penegakan hukum, pelatihan untuk polisi; dukungan
untuk jaringan harm reduction;
• advokasi program metadon;
• penelitian hukum dan hambatannya terhadap program harm reduction;
• publikasi dan distribusi materi harm reduction:
• kerjasama aktif dengan program lain seperti OSI, LSM nasional, badan PBB, pe merintah,
dan lain -lain.

20
3. Studi Kasus: Kegagalan Advokasi di Negara X

Pelaksanaan advokasi tidak selalu berhasil, terutama dalam jangka pendek. Studi kasus ini akan
menjelaskan sebuah negara yang kita sebut sebagai negara X. Di negara X, merupakan suatu
kenyataan bahwa HIV menyebar dengan pesat di kalangan IDU. Beberapa LSM internasional
menghimbau Departemen Kesehatan agar LSM tersebut diberi ijin melakukan pelatihan
mengenai pendekatan efektif untuk mengatasi masalah ini dan mempersiapkan program
pe rcontohan. Selama lebih dari satu tahun, pelatihan bagi para professional kesehatan secara
ekstensif dilaksanakan. Kemudian advokasi kepada pejabat lokal dilakukan secara berhasil dan
banyak program percontohan didirikan. Departemen Kesehatan menyetujui langkah-langkah
efektif tersebut menjadi bagian dari Strategi Penanggulangan AIDS.

Ternyata, setelah empat tahun pelaksanaan program, infeksi HIV baru di kalangan IDU masih
tinggi. Hal ini disebabkan karena sedikitnya sumber daya yang tersedia berasal dari pemerintah
untuk program tersebut. Sehingga dukungan publik terhadap program ini menjadi semakin
sedikit. Ironisnya, pernyataan publik yang diterima oleh Departemen Kesehatan berubah menjadi
kritikan. Karena reaksi negatif ini, organisasi keagamaan yang sangat berpengaruh mendukung
kritikan terhadap program ini. Sedangkan media yang sebelumnya mendukung berbalik
melancarkan kritikan. Program pelatihan dan percontohan yang telah dilaksanakan terancam.
Menurut bukti yang ada program tersebut sebenarnya akan berdampak apabila pemerintah
menyediakan dana yang memadai untuk pelaksanaan program dalam skala yang luas. Namun,
pemerintah lebih memilih mengalokasikan anggaran pada program lain dan mengabaikan
pencegahan HIV di kalangan IDU. Sehingga pejabat senior pemerintah jarang membicarakan
hubungan NAPZA suntik dengan HIV/AIDS.

Ada lima faktor yang penting untuk dibahas :


o Pertama, tidak ada dewan koalisi yang dibentuk untuk melakukan advokasi mengenai
program ini. Di samping itu tidak dilakukan kampanye advokasi. Sebenarnya LSM
internasional menyadari sejak awal bahwa advokasi sangat dibutuhkan. Akan tetapi
karena program pelatihan dan percontohan sangat menyita waktu sehingga waktu untuk
melaksanakan advokasi sangat terbatas. Mitra kerja potensial lainnya tidak yakin
pengurangan dampak buruk NAPZA ini akan berhasil dilaksanakan di negara ini. Hal ini
diyakini karena sebelumnya negara X telah menolak ide ini dan baru diterima setelah
beberapa tahun kemudian terbukti efektf. Sehingga mitra kerja koalisi kemudian tertarik
untuk ikut serta dalam kegiatan ini. Pada saat itu, kemunduran telah terjadi dan mitra-
mitra kerja potensial khawatir keterlibatan mereka dalam program tersebut dapat
mengancam program penanggulangan HIV/AIDS yang lain.
o Kedua, ternyata hanya sedikit organisasi pemerintah maupun LSM yang pernah bekerja
sama secara lintas program dan sektor dalam mengatasi masalah HIV dan ketergantungan
NAPZA seperti penegak hukum, kepolisian, pengadilan, kesejahteraan sosial, dan lain-
lain. Organisasi-organisasi yang seharusnya dapat menjadi mitra kerja potensial
seringkali tak mempunyai akses ke komputer, internet atau mesin faks. Sedangkan

21
jaringan komunikasi yang dapat digunakan untuk membantu perkembangan kerjasama
hanya sedikit.
o Ketiga, polisi jarang terlibat dalam pelatihan dan proses awal advokasi kecuali pada
tingkat lokal di mana program percontohan dilaksanakan. Pentingnya polisi untuk
kelanjutan jangka panjang dapat dimengerti, namun sumber daya untuk melatih dan
mendidik mereka tidak tersedia. Para professional kesehatan dan Departemen Kesehatan
di Negara X berada pada tingkat kepentingan politis yang lebih rendah dari pada pejabat
kepolisian dan Departemennya. Untuk itu, sangat penting melibatkan polisi dalam usaha
advokasi dan pendidikan sejak awal karena setiap saat mereka dapat menutup program-
program yang dimulai oleh petugas kesehatan dan LSM.
o Keempat, organisasi keagamaan yang disebutkan di atas tidak dilibatkan dalam diskusi
mengenai HIV di kalangan IDU. Ternyata berdasarkan penjajakan awal yang dilakukan
dalam proyek pelatihan menunjukkann bahwa organisasi keagamaan mempunyai
pengaruh yang sedikit dalam masyarakat. Namun, dalam kurun waktu hanya lima tahun
selama program ini berjalan, pengaruh organisasi tersebut semakin kuat terhadap
masyarakat, terutama dikaitkan dengan partai politik. Ketika organisasi keagamaan
tersebut mengkritik pendekatan efektif, maka para politisi dan pembuat kebijakan akan
mendengarkan kritikan-kritikan tersebut. Akibat hasil penjajakan awal dan regular
lainnya serta sistem monitoring yang lemah, tak ada pendekatan yang diambil hingga
sebelum organisasi tersebut menyebarluaskan kritikan. Meskipun beberapa upaya
advokasi telah dilaksanakan, publikasi kritikan tersebut dijadikan alat pertahanan
organisasi tersebut untuk tak mengubah pendiriannya.
o Kelima, adanya faktor lain berupa kegagalan untuk mencapai pihak tertinggi dalam
pemerintahan. Telah terbukti di banyak negara bahwa kemauan politik kepala negara
akan mempunyai dampak yang sangat besar dalam merespon epidemi HIV. Tanpa
pernyataan yang jelas dari kepala negara, polisi dan organisasi keagamaan percaya bahwa
mereka boleh mengkritik pendekatan untuk mengurangi dampak buruk penyalahgunaan Comment: kedengerannya lebih
kontekstual.
NAPZA. Setelah munculnya kritikan ini, Kepala Negara X tidak secara terbuka
menyetujui pelaksanaan program tersebut. Sebenarnya ada pemahaman akan kebutuhan
untuk mendapatkan persetujuan dari tingkat tertinggi namun tidak ada cara yang efektif
yang ditemukan untuk menjangkau kelompok ini.

Secara ringkas, untuk melakukan advokasi yang berhasil perlu dijangkau seluruh individu dan
kelompok dalam masyarakat yang mempunyai pengaruh dalam kebijakan HIV/AIDS dan
NAPZA dan perlu dimonitor dan disikapi adanya perubahan politik dari kelompok yang
berpengaruh.

22
BAB V

PEMBENTUKAN KELOMPOK DAN PENDANAAN ADVOKASI

A. KELOMPOK KOORDINASI ADVOKASI

Langkah pertama dalam advokasi adalah membentuk kelompok koordinasi advokasi. Kelompok
ini bisa terdiri dari dua, tiga, sepuluh orang atau lebih. Biasanya, koordinasi akan lebih mudah
dilakukan apabila kelompok cukup kecil.
Peran kelompok ini adalah:
o merencanakan dan mengawasi seluruh tugas -tugas advokasi,
o melaksanakan kegiatan-kegiatan advokasi secara khusus,
o bertindak sebagai juru bicara untuk media dan pihak-pihak lain yang ingin berhubungan
dengan kelompok ini.

Peran dan kegiatan kelompok koordinasi advokasi ini berbeda-beda sesuai dengan situasi di
mana kelompok ini beroperasi dan posisinya dalam kelompok tersebut. Misalnya, pada studi
kasus dari Indonesia dalam bab sebelumnya, sebuah kelompok advokasi dibentuk terdiri dari
LSM-LSM dan penyandang dana program HIV/AIDS.

Tujuan umum kelompok ini adalah melakukan advokasi agar kelompok IDU mendapat perhatian
yang lebih besar dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Selain itu kelompok ini
memberikan edukasi bagi pembuat kebijakan terhadap pengurangan dampak buruk NAPZA
untuk menanggulangi HIV/AIDS di kalangan IDU. Kelompok nasional ini mempunyai banyak
tugas salah satu di antaranya adalah advokasi. Sedangkan kelompok advokasi di tingkat provinsi
(di Jakarta dan Denpasar) dibentuk secara khusus guna melakukan advokasi untuk pengurangan
dampak buruk NAPZA untuk menghadapi HIV/AIDS di kalangan IDU. Kelompok ini
mempunyai tujuan khusus yang lebih terfokus terkait dengan situasi di masing-masing provinsi.
Disamping itu kelompok ini juga berupaya mempengaruhi pejabat-pejabat yang terkait untuk
melaksanakan program-program yang efektif dan memastikan sektor pemerintahan dan LSM
bekerja sama memfasilitasi pelaksanaan program ini.

Kelompok advokasi yang dibentuk di tingkat kabupaten atau kota dibentuk untuk mendapatkan
dukungan untuk kegiatan yang sangat spesifik. Tujuan kelompok ini adalah untuk mendapatkan
dukungan masyarakat untuk melaksanaan program ini secara terbuka, memastikan pekerja
penjangkauan tidak ditangkap polisi, dan sebagainya.

23
Untuk membantu para pembaca mengikuti langkah-langkah advokasi, sebuah contoh diberikan
di bawah ini:

Contoh dari Kota Z

Kota Z yang berpenduduk 100.000 orang mempunyai banyak IDU. Kota ini miskin dan hanya
sedikit IDU yang memiliki pekerjaan tetap. Banyak IDU mempunyai pekerjaan serabutan dan
melakukan tindakan kriminal. Fasilitas kesehatan yang tersedia adalah rumah sakit, puskesmas,
beberapa LSM yang bekerja di bidang HIV/AIDS dan NAPZA. Satu LSM mempromosikan
kesadaran masyarakat umum terhadap HIV/AIDS kepada semua penduduk kota. Sedangkan satu
LSM lain menyediakan terapi ketergantungan NAPZA dalam bentuk therapeutic community,
jajaran kepolisian, politisi lokal, tokoh masyarakat, dan beberapa bisnis kecil. Sebenarnya
penyalahgunaan NAPZA suntik merupakan hal yang baru. Sepuluh tahun sebelumnya hampir
tidak ada orang yang menyalahgunakan NAPZA suntik. Sekarang IDU sudah ada di banyak kota
dan biasanya berkumpul di berbagai tempat seperti di gudang-gudang kosong, di kolong
jembatan, dan di rumah-rumah para IDU itu sendiri. Para politisi dan masyarakat mendesak
polisi agar berhasil menghapuskan permasalahan NAPZA ini. Polisi merespon dengan cara
menangkap para penyalahguna NAPZA atau memaksa IDU pergi dari kota tersebut. Para
dokter dan petugas kesehatan di rumah sakit dan puskesmas yang terdapat di wilayah tersebut
beserta para pekerja LSM percaya bahwa HIV di kalangan IDU bukan hanya masalah
penyalahguna NAPZA dapat berhenti dari penyalahgunaan NAPZA atau pindah dari wilayah
tersebut.

B. KEANGGOTAAN

Keanggotaan kelompok koordinasi advokasi tergantung pada masalah sosial budaya di suatu
negara, dan kegiatan-kegiatan spesifik yang akan dilaksanakan. Sebaiknya kelompok ini dimulai
dengan kelompok kecil saja, dan apabila kemudian berkembang perlu mencari orang-orang
dengan keahlian khusus yang diperlukan untuk pelaksanaan advokasi. Keahlian-keahlian yang
diperlukan biasanya akan teridentifikasi selama penjajakan dan fase analisis.

Keanggotaan kelompok koordinasi advokasi di banyak negara adalah sebagai berikut:


• dokter, petugas kesehatan, pekerja sosial, pengacara;
• para IDU dan ODHA;
• praktisi pengurangan dampak buruk/risiko NAPZA atau staf kesehatan lain seperti perawat
atau staf LSM yang bekerja dengan kelompok-kelompok marginal;
• Wakil dari media

Sebagai tambahan, anggota lain bisa dicari dari anggota kepolisian, badan narkotika narkotika, ,
kalangan bisnis, kelompok keagamaan, kelompok perempuan, keluarga IDU, atau mantan
penyalahguna NAPZA, organisasi internasional, dan atau sektor masyarakat lainnya.

Tingkat kualitas setiap anggota tidak perlu sama karena setiap anggota dengan latar belakang
yang berbeda dapat berpartisipasi aktif. Namun demikian, paling tidak anggota tersebut:
• Mampu mema hami dan menginterpretasikan literatur ilmiah

24
• Memiliki pengalaman yang berkaitan dengan penyalahgunaan NAPZA dan/atau infeksi HIV
baik pribadi, teman, atau anggota keluarga
• Memahami pembuatan kebijakan dalam masalah sosial budaya setempat.
• Mampu mengumpulkan dan mempertanggung-jawabkan dana.
• Mampu dan siap bertindak sebagai jurubicara untuk media

Kepemimpinan merupakan suatu hal yang penting untuk dipertimbangkan dalam kelompok
koordinasi advokasi. Mungkin yang menjadi pelaksana advokasi adalah orang-orang yang
tertarik pada isu mengenai HIV/AIDS dan penyalahgunaan NAPZA suntikan namun kurang
memiliki kualifikasi formal seperti gelar atau jabatan. Sehingga dapat menimbulkan kesulitan
kelompok ini untuk akses ke media, politisi, pembuat kebijakan, dan pihak lainnya.

Bila memungkinkan salah satu anggota dari kelompok koordinasi advokasi adalah seorang tokoh
masyarakat yang mengetahui banyak tentang kesehatan masyarakat, pemimpin partai politik,
mantan kepala kepolisian, atau selebritis. Di salah satu negara di Asia, walaupun terdapat
tbanyak antangan politik tapi sebuah LSM mampu memulai program rumah singgah (drop-in
center) bagi IDU. Hal ini karena salah seorang anggota kelompok yang mendirikan rumah
singgah tersebut adalah putri Menteri Kesehatan dan cucu Perdana Menteri negara tersebut.
Sehingga melalui hubungannya dengan para politisi, seorang putri Presiden juga dapat menjadi
seorang pelaksana advokasi untuk pendekatan-pendekatan efektif untuk mencegah HIV/AIDS di
kalangan IDU.

Kadang-kadang perlu memb erikan edukasi kepada anggota kelompok koordinasi advokasi yang
potensial mengenai pendekatan-pengurangan dampak buruk NAPZA ini. Karena banyak orang
hanya memiliki sedikit atau sama sekali tidak memiliki pengetahuan dalam bidang ini.

Contoh Kota Z

Di sebuah wilayah di kota Z, terdapat dua orang yang sedang membaca jurnal internasional
mengenai penyebaran HIV yang cepat di kalangan IDU yaitu Dr A, seorang dokter perempuan
yang bekerja di puskesmas dan Pak E, seorang direktur sebuah LSM yang melaksanakan
program peningkatan kesadaran umum terhadap HIV di wilayah tersebut. Mengetahui hal
tersebut Dr A dan Pak E memutuskan untuk membentuk suatu kelompok advokasi untuk
meningkatkan fokus wilayah tersebut pada kegiatan pencegahan HIV, pengobatan, perawatan,
dan dukungan di kalangan IDU.

Setelah menghubungi beberapa rekan mereka yang bekerja di beberapa kantor di sekitar
wilayah tersebut, mereka mengadakan pertemuan untuk membahas isu HIV di kalangan IDU.
Pada pertemuan tersebut, Dr A mempresentasikan bebera pa temuan penelitian internasional
mengenai cara -cara HIV menyebar di kalangan IDU, kebutuhan terhadap penanggulangan, dan
pendekatan efektif untuk menanggulangi HIV/AIDS di kalangan IDU. Pak E menjelaskan bahwa
kelompok koordinasi advokasi dibutuhkan untuk mengatasi masalah ini karena terdapat banyak
hambatan untuk memperkenalkan pengurangan dampak buruk NAPZA.

25
Beberapa anggota kelompok berpendapat bahwa penempatan fokus pada HIV di kalangan IDU
adalah hal yang keliru karena masih ada banyak masalah lain di wilayah tersebut. Dr A dan
Pak E mendesak anggota lainnya agar kelompok koordinasi advokasi dibentuk. Akhirnya, dua
anggota yaitu seorang ibu yang mempunyai anak penyalahguna NAPZA dan seorang jurnalis
suratkabar kota setempat memilih untuk bergabung d engan kelompok advokasi tersebut.

Awalnya, kelompok kecil ini bekerja hanya untuk memberikan informasi kepada orang-orang
dan organisasi-organisasi yang peduli di wilayah tersebut mengenai adanya kelompok ini dan
kebutuhan untuk bekerja pada masalah HIV kalangan IDU. Dengan cara ini, setelah beberapa
waktu, sebuah koalisi mulai terbentu. Kelompok advokasi tersebut meminta Dr A untuk menjadi
juru bicara untuk memimpin pertemuan-pertemuan kelompok tersebut.

C. PENETAPAN TUJUAN

Langkah pertama dari kelomp ok di atas adalah menentukan visi atau tujuan umum. Para anggota
kelompok perlu membaca dokumen-dokumen mengenai pengurangan dampak buruk NAPZA
untuk menghadapi HIV/AIDS di kalangan IDU dan laporan atau penelitian mengenai HIV/AIDS
di kalangan IDU.

Dalam menetapkan tujuan umum, kelompok ini perlu menjajaki apakah:

• Tujuan tersebut mudah dimengerti, pendek dan sederhana


• Tujuan tersebut akan menarik dukungan banyak orang yang peduli sehingga mau melakukan
aksi
• Tujuan tersebut akan membantu membangun aliansidengan sektor-sektor lain, LSM -LSM,
dan orang-orang yang berpengaruh untuk membentuk sebuah koalisi
• Kelompok koordinasi advokasi akan mampu menggalang dana atau sumber-sumber lain
untuk mendukung kegiatan kelompok ini dalam mencapai tujuannya

Contoh dari Kota Z

Kelompok advokasi di atas mengadopsi tujuan berikut ini:

o meningkatkan manfaat pengurangan dampak buruk pada penyalahgunaan NAPZA suntik


di Kota Z
o mencegah penularan HIV di kalangan IDU
o meningkatkan kualitas ODHA dan OHIDA.

Untuk menentukan hal-hal yang spesifik dari pendekatan efektif mana yang paling diperlukan di
Kota Z, kelompok tersebut telah memutuskan untuk mencari informasi lebih lanjut mengenai
NAPZA dan HIV di wilayah tersebut melalui penjajakan.

26
D. PEMBENTUKAN KOALISI

Koalisi dan jejaringan kerja adalah dasar dari kegiatan advokasi. Makin kuat koalisi, akan
semakin besar kemungkinan advokasi tersebut berhasil. Pembentukan dan pemeliharaan koalisi
memerlukan waktu dan tenaga karena perlu menciptakan hubungan kepercayaan yang baik
dengan orang lain.

Mengumpulkan anggota kelompok advokasi merupakan langkah dalam pembentukan koalisi.


Pada saat kelompok memulai untuk bertemu dan melakukan analisis terhadap tujuan umum dan
tujuan khusus, kelompok sasaran dan cara-cara melakukan kegiatan, kelompok tersebut perlu
mendiskusikannya dengan orang yang lebih banyak. Setiap interaksi dengan orang atau
organisasi baru merupakan langkah maju dalam pembangunan koalisi dan analisis. Jika
seseorang atau sebuah organisasi setuju untuk membantu kelompok advokasi, orang tersebut
telah menjadi bagian dari koalisi yang bekerja untuk advokasi. Jika ia tidak tertarik atau
menentang kegiatan kelompok ini, ia menjadi bagian dari kelompok sasaran advokasi.

Beberapa saran untuk pembentukan koalisi:


• Perlu melibatkan kelompok dari berbagai jenis sebagai anggota koalisi – seperti LSM, sektor
pemerintahan, organisasi internasional, para profesional, BNN, dan bila memungkinkan
ODHA dan IDU, keluarga ODHA dan IDU – untuk meningkatkan dampak koalisi pada
pembuatan kebijakan.
• Perlu menentukan tujuan khusus yang relatif mudah dilaksanakan pada awal program.
Keberhasilan yang dicapai pada tahap awal ini akan menciptakan kepercayaan dan
mempererat kebersamaan koalisi.
• Perlu melakukan komunikasi yang erat dengan anggota koalisi secara pribadi untuk
mengenal anggota-anggota lain dan pandangannya (yang mungkin sangat berbeda satu sama
lain).
• Berusaha sedapat mungkin untuk membentuk konsensus terhadap keputusan koalisi untuk
menimbulkan rasa memiliki terhadap tujuan, tujuan khusus, dan kegiatan.
• Membangun hubungan dan jaringan layanan untuk berbagi informasi secara reguler,
pelatihan bersama, dan kegiatan advokasi. Dirikan sebuah sarana (seperti newsletter atau
pertemuan-pertemuan reguler) agar para anggota koalisi tetap terus mendapatkan informasi
mengenai kegiatan-kegiatan dan hasil-hasilnya, dan memberikan umpan balik yang positif
kepada para anggota koalisi.
• Laksanakan hubungan komunikasi formal dan informal di antara anggota koalisi seperti
laporan, pertemuan, makan atau minum bersama.
• Libatkan anggota koalisi yang mempunyai pengaruh kuat dalam semua keputusan, apablia
mereka tidak dilibatkan, mereka mungkin menimbulkan masalah dan perselisihan di antara
anggota koalisi.
• Upayakan agar pertemuan koalisi berlangsung singkat dan tetap.
• Manfaatkan koalisi untuk berbagi informasi dan menemukan badan penyandang dana yang
potensial, sumberdaya yang tersedia, sumber informasi dan pendidikan, penelitian yang
relevan, dan kemungkinan untuk berpartisipasi dalam pelatihan.
• Perlu pengakuan dan penghargaan peran para pembuat kebijakan dan mitra koalisi.

27
Beberapa metode tertentu perlu digunakan apabila melibatkan ODHA, IDU dan atau mantan
IDU dalam koalisi. Pertama, harus diingat bahwa prinsip dari advokasi ini adalah untuk
menghindari peningkatan bahaya bagi IDU dan ODHA. Artinya ODHA, IDU, dan atau mantan
IDU harus mengerti risiko yang dapat timbul akibat berbicara di muka umum atau bahkan dalam
pertemuan anggota koalisi mengenai penyalahgunaan NAPZA atau status HIV. Beberapa saran
untuk melibatkan ODHA, IDU dan atau mantan IDU adalah:

• Informasikan sebelumnya kepada para anggota koalisi yang lain mengenai kebutuhan akan
“suara” dari kelompok terpapa masalah, baik dalam koalisi maupun dalam pembuatan
rencana dan program advokasi. Perlu menimbulkan suatu pendekatan simpatik dari anggota
koalisi yang lain untuk menarik respon-respon yang mendukung dari para ODHA, IDU, dan
atau mantan IDU.

• Identifikasi para ODHA, IDU, dan atau mantan IDU yang diplomatis, fasih berbicara, dan
pragmatis, untu k bertindak sebagai juru bicara dan membantu kelompok advokasi
mengidentifikasi dan mencalonkan para juru bicara

• Tawarkan pelatihan, dukungan, dan nasehat bagi ODHA, IDU, dan atau mantan IDU.
Sebagai contoh, bagi IDU duduk dalam pertemuan yang memakan waktu lama merupakan
hal yang sulit, namun pertemuan tersebut mungkin mempunyai dampak yang besar untuk
layanan bagi ODHA dan IDU.
• Pastikan petugas kepolisian, BNN atau badan keamanan masyarakat yang mungkin hadir
dalam pertemuan memperkenalkan diri. Pastikan juga para ODHA, IDU, dan atau mantan
IDU mengetahui ada petugas semacam itu menghadiri pertemuan.

E. MEMBUAT JARINGAN UNTUK KEGIATAN ADVOKASI

Di luar pembentukan koalisi atau sebagai bagian dari pembangunan koalisi yang lebih besar
terdapat tugas membuat jaringan individu dan organisasi yang tertarik pada pendekatan efektif
untuk HIV/AIDS dan penyalahgunaan NAPZA suntikan. Kadang-kadang kelompok koordinasi
advokasi dan koalisi berkembang menjadi jaringan melakukan kegiatan advokasi.

Jaringan seperti terapi ketergantungan NAPZA atau jaringan pengurangan dampak buruk
NAPZA biasanya mempunyai fokus yang lebih luas daripada advokasi untuk pendekatan-
pendekatan efektif. Namun advokasi tetap merupakan bagian inti dari tugas koalisi. Jaringan
memungkinkan organisasi, kelompok advokasi, dan individu yang tertarik untuk bertukar
pendapat, pengalaman, dan informasi antar kota dan negara. Jaringan seperti FORUM dari kilink
terapi ketergantungan NAPZA di Asia Selatan dan jaringan pengurangan dampak buruk (harm
reduction) regional telah memainkan peranan penting dalam memulai program pencegahan HIV
yang efektif di kalangan IDU dan membantu berbagai program untuk bisa belajar satu sama lain.

Jaringan regional, khususnya, sangat berguna saat memulai pelaksanaan advokasi karena
jaringan ini menyediakan hubungan dengan kelompok-kelompok lain di wilayah tersebut yang
telah beroperasi sebelumnya. Hal ini memberikan kesempatan kepada para pendatang baru dalam
advokasi untuk belajar dari kelompok lain yang lebih berpengalaman. Pada saat kelompok

28
advokasi memulai kegiatannya dan mendapatkan pengalaman, jaringan juga berguna sebagai
media untuk berbagi cerita mengenai keberhasilan dan kegagalan.

STUDI KASUS: PEMBANGUNAN KOALISI DI ARGENTINA

Ornop Intercambios di Buenos Aires mendirikan program pencegahan HIV di kalangan IDU
pada tahun 1998 melalui pembangunan dukungan masyarakat dengan penyalahguna NAPZA,
penduduk sekitar, dan organisasi-organisasi lokal yang dilakukan dengan sangat hati-hati. Ornop
ini mempunyai kebiasaan bekerja dengan jaringan sosial lain, terutama yang bergerak di
pencegahan HIV di kalangan gay, lesbian, penjaja seks, ODHA, dan penyalahguna NAPZA.
Dalam membangun dukungan untuk pertukaran jarum suntik, ornop ini berhubungan dengan
organisasi sosial seperti Gerakan Buruh Menganggur yang mencoba merespon kebutuhan-
kebutuhan orang yang menganggur di wilayah lokal (dan banyak IDU yang menganggur).
Dukungan dari berbagai organisasi dan gerakan masyarakat ini memudahkan ornop ini dalam
menghadapi perlawanan dari pemerintah pusat terhadap harm reduction.

Program di atas sebenarnya telah dimulai di Pusat Penelitian Lanjutan mengenai Penyalahgunaan
NAPZA dan AIDS, Universitas Nasional Rosario, Argentina pada tahun 1994. Program ini
menyebarkan alat-alat untuk penyucihamaan peralatan suntik dan melakukan lokakarya
mengenai pengurangan dampak buruk NAPZA untuk HIV/AIDS di kalangan IDU di rumah sakit
jiwa di kota tersebut. Pada tahun 1998, sebuah program terapi substitusi percontohan dimulai di
Rosario. Melalui advokasi yang terus menerus program ini mendapatkan dukungan resmi dari
gubernur wilayah tersebut.

Upaya-upaya ini diperkuat setelah Konferensi Internasional mengenai Pengurangan Bahaya yang
Berhubungan dengan NAPZA ke-9 dilaksanakan di Sao Paulo (Brazil) pada tahun 1998.
Konferensi ini merupakan faktor yang penting dalam menarik perhatian pemerintah, masyarakat,
dan media dan mempromosikan penelitian di Amerika Latin mengenai isu-isu yang berhubungan
dengan HIV/AIDS dan penyalahgunaan NAPZA suntikan. Konferensi ini diikuti dengan
pertemuan-pertemuan AIDS dan NAPZA di Buenos Aires dan Konferensi Harm Reduction
Argentina yang pertama di Rosario, yang mengumumkan dan mendiskusikan hasil-hasil
konferensi internasional yang kemudian menimbulkan perhatian media lebih lanjut.

Konferensi dan hubungan antara masyarakat sipil, ornop, dan universitas ini sangat penting di
Argentina dengan peran kunci dari Jaringan Harm Reduction Amerika Latin (RELARD) yang
memberikan peluang bagi organisasi-organisasi nasional untuk belajar dari program di negara
lain di wilayah mereka. Pada tahun 1999, Asosiasi Harm Reduction Argentina (ARDA) dibentuk
dan. Pada tahun 2000 dibentuk pula Jaringan Harm Reduction Argentina (REDARD) dan
Organisasi Penyalahguna NAPZA Argentina (RADDUD). Sebagai hasil dari gerakan dan upaya
advokasi oleh koalisi yang terus berkembang tersebut, Badan Pengawasan NAPZA Nasional
SEDRONAR mengeluarkan sebuah resolusi pada bulan Agustus 2000, yang merekomendasikan
agar pendekatan efektif dilaksanakan di seluru h Argentina. Kementrian Kesehatan mendanai
beberapa program dan kampanye komunikasi yang menyangkut pendekatan ini. Dukungan
badan internasional seperti UNAIDS untuk pendekatan-pendekatan ini juga sangat penting dalam
argumentasi-argumentasi koalisi dengan para pejabat pemerintah.

29
F. PENGGALIAN DANA UNTUK KEGIATAN ADVOKASI

Penggalian dana adalah langkah yang penting dan sering dilupakan dalam proses advokasi.
Meskipun ada kemungkinan beberapa kegiatan advokasi hanya memerlukan biaya sedikit,
kenyataannya banyak orang yang perlu dibayar. Advokasi akan berjalan lebih cepat dan efektif
apabila ditunjang dari segi pendanaan.

Sebagai contoh, walaupun semua anggota koordinasi advokasi tidak perlu dibayar untuk
melakukan advokasi pendekatan efektif untuk masalah HIV/AIDS di kalangan IDU, mereka
perlu menyesuaikan pelaksanaan advokasi ini dengan pekerjaan mereka lainnya. Untuk beberapa
kasus tertentu hal ini memungkinkan. Namun, sekalipun di negara yang pelaksanaan
advokasinya berhasil, setidaknya ada pembayaran kepada paling tidak satu anggota dari
kelompok tersebut.

Selain itu, banyak kegiatan memerlukan dokumen-dokumen untuk para politisi dan media,
menghadiri pertemuan-pertemuan masyarakat, melakukan hubungan komunikasi per telepon,
atau menggunakan internet untuk mencari informasi yang relevan yang memerlukan
pembiayaan. Penelitian, penjajakan cepat, konferensi dan program percontohan memerlukan
biaya yang lebih besar. Jika tidak diperoleh dana untuk kegiatan-kegiatan tersebut, para anggota
akan mengeluarkan uangnya sendiri atau organisasi akan menggunakan dana yang dialokasikan
untuk kegiatan lain menjadi dana untuk kegiatan di atas.

Hingga akhir tahun 1990-an, dana untuk kegiatan advokasi untuk pendekatan efektif pada
HIV/AIDS di kalangan IDU seringkali sulit diperoleh. Namun masalah ini telah teratasi dengan
semakin banyaknya bukti bahwa advokasi dapat mempercepat proses pelaksanaan pendekatan
efektif. Selain itu advokasi dapat menjadi penting untuk keberlangsungan kegiatan-kegiatan yang
dilaksanakan. Akan tetapi untuk mendapatkan dana untuk advokasi berskala besar masih sangat
jarang seperti di Indonesia yang dijabarkan dalam bab sebelumnya. Buku panduan ini diharapkan
akan bermanfaat untuk mendapat perhatian dari para penyandang dana bahwa advokasi adalah
investasi yang bermanfaat.

Penggalian dana untuk kegiatan-kegiatan advokasi sama dengan penggalian dana untuk program-
program pencegahan dan kegiatan-kegiatan lainnya. Keuntungan dari penggalian dana untuk
advokasi adalah meskipun dana yang didapat hanya sedikit, namun bermanfaat besar karena
biaya advokasi relatif sedikit. Sehingga proposal untuk dana yang tidak besar dapat dikirim ke
sejumlah penyandang dana yang potensial selama proses advokasi. Di negara -negara
berkembang dan transisi, sumber dana yang potensial yang tidak terlalu besar seperti ini adalah
kedutaan negara berkembang. Para duta besar seringkali mau menyediakan dana yang tak terlalu
besar misalnya sebesar US$ 2000.

Perbedaan lain antara penggalian dana untuk advokasi dan program jenis lain adalah sumber
pendanaan yang berbeda. Kelompok advokasi hendaknya memastikan bahwa dana bisa diperoleh
dari lebih dari satu donatur. Hal ini diperlukan karena kelompok perlu memastikan bahwa
kelompok ini mampu melakukan advokasi pada berbagai isu yang berhubungan dengan
HIV/AIDS dan penyalahgunaan NAPZA. Beberapa penyandang dana dengan alasan politik atau

30
alasan lain mungkin tidak ingin kelompok ini memusatkan perhatian pada isu tertentu seperti
pertukaran jarum suntik sehingga perlu untuk memperoleh dana dari berbagai sumber lain.

Demikian juga dengan penggalian dana untuk program-program lain, sangat penting mengetahui
penyandang dana mana tertarik pada program HIV/AIDS atau penyalahgunaan NAPZA. Tim
penasihat hendaknya menyusun pola permohonan dukungan dana sehingga kelompok dapat
merespon pendanaan yang tersedia dengan cepat. Pola ini sebaiknya menggunakan argumentasi
advokasi yang serupa dengan yang digunakan untuk para profesional kesehatan, meskipun
argumentasi HAM dan ekonomi mungkin juga bermanfaat. Jika mungkin, kelompok advokasi
sebaiknya mengembangkan hubungan dengan tokoh kunci dari organisasi penyandang dana
sehingga argumentasi ini dapat disampaikan secara personal dan informal, disertai dengan
permohonan pendanaan.

Sebagai tambahan, penggalian dana bisa dilakukan dengan mencantumkan daftar kegiatan-
kegiatan yang dapat dilakukan:
• Menyelenggarakan acara pengumpulan dana seperti pesta, malam pertunjukan film, konser
dan sebagainya
• Minta iuran keanggotaan dari para anggota koalisi
• Cari sumbangan dari orang -orang kaya
• Cari donasi dari perusahaan
• Jual barang -barang seperti T-shirt dan lain-lain
• Lelang atau adakan undian untuk barang-barang atau jasa yang disumbangkan
• Jual ruang iklan pada surat kabar

Perlu diperiksa isu-isu legal mengenai pengumpulan, pengeluaran, dan pelaporan penggunaan
dana. Hal ini berbeda anata satu negara dengan negara lain.

Contoh Kota Z

Kelompok koordinasi advokasi di kota Z memperoleh dana US$ 1000 untuk melaksanakan
penumpulan dana. Para anggota kelompok tersebut menyumbangkan waktunya dalam
menghadiri pertemuan-pertemuan kelompok itu dan memulai kegiatan-kegiatan dalam dua bab
berikutnya.

Kemudian kelompok tersebut mulai mengadakan pembicaraan dengan penyandang dana utama
program-program HIV/AIDS mengenai apakah kemungkinan mendapatkan dana untuk
pelaksanaan proyek advokasi di wilayah tersebut.

31
BAB VI

ANALISIS
A. PENILAIAN MASALAH

Langkah berikutnya adalah menentukan parameter masalah yang akan dihadapi dan menentukan
tujuan umum dan tujuan khusus advokasi. Penilaian masalah atau penjajakan mungkin dapat
dilaksanakan oleh para anggota kelompok koordinasi advokasi, tergantung pada pengalaman,
keahlian, dan pengetahuan yang dimiliki mengenai situasi HIV/AIDS dan penyalahgunaan
NAPZA di negara tersebut. Alternatif lain, dengan cara penjajakan dan respon cepat yang
dikeluarkan WHO atau cara penelitian lain bisa digunakan.

Pelaksananaan penilaian madalah atau penjajakan meliputi tugas-tugas berikut ini:

? Mengumpulkan data dan infornasi tertulis mengenai:


• Karakteristik IDU (jumlah, usia, jenis kelamin, pendapatan, pendidikan, latar belakang
etnis, prevalensi HIV dan hepatitis, dan lain-lain);
• Penelitian-penelitian mengenai perilaku berisiko HIV di kalangan IDU, kondisi
kehidupan IDU;
• Laporan organisasi-organisasi pemberi layanan (jumlah dan tipe klien terutama yang
IDU, informasi mengenai layanan yang tersedia, dan sebagainya)

? Mengidentifikasi tokoh kunci (penyalahguna NAPZA atau IDU, para profesional kesehatan
dan kesejahteraan sosial, polisi, ODHA, dan sebagainya) untuk mendapatkan informasi di
atas dan mendapatkan informasi penanganan IDU oleh berbagai instansi kepolisian,
kesehatan dan kesejahteraan sosial.

? Menjajaki faktor -faktor situasional yang mungkin membantu atau menghambat


pembentukan dan perluasan program-program yang efektif. Faktor-faktor ini termasuk:
• Masalah hukum dan penegakan hukum. Hukum apa yang relevan untuk memulai atau
memperluas program-program yang efektif? Apa pandangan kepolisian, BNN,
pengacara, dan hakim terhadap IDU dan HIV/AIDS?
• Masalah sosial dan budaya. Apa pandangan pemerintah, organisasi non-pemerintah
atau LSM, tokoh agama, masyarakat, dan para keluarga IDU terhadap program
pengurangan dampak buruk ini?
• Masalah kesehatan dan kesejahteraan sosial . Apa pandangan para dokter, perawat,
dan pekerja sosial?
• Kemungkinan sumber dana
Dari proses ini, gambaran situasi HIV/AIDS dan penyalahgunaan NAPZA suntik di negara
tersebut akan muncul. Informasi ini harus dibuat sebagai laporan dalam berbagai format.

Satu versi hendaknya berisi ringkasan dari semua informasi yang dikumpulkan, di bawah
tema seperti:
• “prevalensi HIV dan hepatitis”,

32
• “perilaku berisiko HIV”,
• “kondisi-kondisi hidup/penghidupan”,
• dan sebagainya.
Laporan ini hendaknya diberikan kepada seluruh anggota kelompok koord inasi advokasi,
anggota koalisi serta kepada mereka yang tertarik pada laporan yang lengkap.

Versi kedua hendaknya dibuat dengan penekanan pada butir-butir yang paling penting yang
berhubungan dengan faktor-faktor situasional yang membantu atau menghambat program..
Faktor-faktor ini hendaknya disusun berdasarkan urutan prioritas.
Laporan ini hendaknya digunakan untuk proses pembuatan tujuan -tujuan khusus di bawah ini.

Contoh dari Kota Z

Kelompok advokasi meminta para peneliti dari sebuah universitas untuk bekerja dengan staf
dari beberapa ornop/LSM melakukan penilaiaian masalah dengan cara penjajakan cepat
HIV/AIDS dan situasi IDU di wilayah tersebut. Karena kelompok ini tidak mempunyai dana
untuk melakukan penjajakan ini, pro ses pelaksanaan memakan waktu berbulan-bulan karena
universitas dan staf ornop/LSM menyesuaikan kegiatan penjajakan dengan kegiatan-kegiatan
mereka yang lain. Kegiatan ini dapat selesai lebih cepat apabila pendanaan memadai.

Penjajakan yang dilakukan di wilayah tersebut telah menemukan adanya kurang lebih 1000
IDU:
• 60% dari mereka adalah laki-laki.
• 80% berbagi jarum suntik dengan teman-teman mereka secara rutin
• 20% telah berbagi peralatan suntik dengan orang asing pada minggu sebelumnya.
• kurang dari 10% IDU secara teratur menggunakan kondom saat berhubungan seks.
• Para IDU dapat membeli jarum suntik dari dua apotik di daerah itu
• Terapi ketergantungan NAPZA (tanpa substitusi NAPZA) tersedia di sebuah LSM dan
rumah sakit.
• Biaya terapi ketergantungan NAPZA di LSM sama besarnya dengan tiga bulan gaji
(untuk enam bulan dalam therapeutic community), tapi gratis di rumah sakit (untuk 12
hari detoksifikasi).
• Empat tempat tidur tersedia di rumah sakit sedangkan di LSM tersedia 20 tempat tidur.
• Sebagian besa r IDU yang diwawancarai mengatakan bahwa mereka ingin berhenti
menggunakan NAPZA, telah mendengar mengenai AIDS, tidak merasa takut terhadap
AIDS, dan jarang membeli jarum suntik baru karena mereka lebih suka menggunakan
uangnya untuk membeli NAPZA.
• Kebanyakan IDU takut membeli peralatan suntik di apotik (karena polisi berjaga di
sekitar apotik tersebut dan menangkap mereka saat mereka keluar dari apotik),
• Mereka jarang atau tidak pernah pergi ke rumah sakit atau puskesmas karena para
dokter atau perawat d apat mengetahui bahwa mereka penyalahguna NAPZA.
• Para IDU memahami bahwa masyarakat menginginkan mereka berhenti menggunakan
NAPZA atau keluar dari wilayah tersebut namun mereka merasa tidak mampu
menghentikan penyalahgunaan NAPZA dan wilayah tersebut adalah rumah mereka
karena mereka tidak mempunyai tempat lain untuk tinggal.

33
Butir-butir di atas bermanfaat untuk membuat rumusan-rumusan masalah dan isu berdasarkan
penjajakan yang dilakukan. Perumusan masalah dapat menjelaskan parameter umum dari suatu
masalah dengan sederhana.

Beberapa contoh dari Kota Z:

• Para IDU seringkali berbagi jarum suntik. Hal ini mengarah pada peningkatan penularan
HIV di kalangan IDU.
• Para IDU jarang menggunakan kondom saat berhubungan seks. Hal ini mengarah pada
peningkatan penularan HIV di kalangan IDU dan dari IDU ke pasangan seks mereka.
• Terapi ketergantungan NAPZA tidak dapat diakses oleh sebagian besar IDU sehingga para
IDU mendapatkan kesulitan dalam mengurangi atau menghentikan penyuntikan dan
penyalahgunaan NAPZA.
• Para IDU tidak kuatir bahwa mereka bisa terkena HIV sehingga kecil kemungkinan mereka
mengurangi perilaku berisiko menularkan atau ditulari HIV.
• Para politisi, masyarakat, dan polisi mengetahui sedikit informasi mengenai
penyalahgunaan NAPZA, IDU, dan penyebaran HIV di kalangan IDU, sehingga kecil
kemungkinannya bahwa kelompok -kelompok ini akan memastikan penerapan pendekatan-
pengurangan dampak buruk NAPZA.

Pernyataan isu berfokus pada penyebab-penyebab masalah dan mengarah pada pencarian
penyelesaian masalah.

Sebuah contoh dari Kota Z:


? Para IDU sering berbagi jarum suntik karena mereka:
• Takut ditangkap dan takut membeli peralatan suntik baru dari apotik
• Tidak cukup mendapat pendidikan mengenai HIV/AIDS serta penyebaran dan
pencegahannya
• Tidak dapat mengakses terapi ketergantungan NAPZA
• Tidak dapat mengakses layanan -layanan yang sesuai yang mungkin dapat merespon
kebutuhan kesehatan dan kebutuhan lainnya, karena layanan-layanan ini tidak tersedia
di wilayah tersebut.

Pernyataan-pernyataan ini akan diperlukan untuk menyusun tujuan khusus kelompok advokasi
tersebut.

34
B. TUJUAN KHUSUS YANG BERSIFAT SMART

Seringkali terjadi kesalahpahaman perbedaan antara tujuan umum (goal), tujuan khusus
(objectives), dan kegiatan (activities).

Tujuan Umum adalah gambaran umum mengenai peristiwa yang diinginkan suatu kelompok
pada akhir sebuah pelaksanaan advokasi. Keinginan ini mungkin sulit dicapai namun akan
membantu semua pihak yang bekerja pada proyek yang sedang dilaksanakan untuk tetap terfokus
dan bekerja bersama -sama dengan tujuan yang menyeluruh.

Tujuan Khusus adalah hal-hal spesifik yang diharapkan dari suatu pelaksanaan advokasi.
Tujuan khusus merupakan hasil kegiatan kelompok advokasi dan bersifat SMART sebagaimana
akan dijelaskan di bawah ini. Hal utama mengena i tujuan khusus adalah kelompok koordinasi
advokasi harus mampu mengukur apakah kelompok tersebut mampu mencapai tujuan khusus.
Tanpa sifat-sifat SMART, tujuan khusus (objective ) hanya merupakan tujuan umum (goal).

Kegiatan adalah pekerjaan yang dilakuka n untuk mencapai setiap tujuan khusus. Kegiatan
dirancang secara spesifik untuk membantu anggota kelompok menuju pencapaian tujuan khusus.

Tujuan khusus yang bersifat SMART dibuat dengan mempertimbangkan langkah-langkah yang
diperlukan, yaitu:

Specific (spesifik): Tujuan harus menyebutkan secara jelas apa yang ingin dicapai oleh program
Measurable (dapat diukur): Tujuan harus dapat diukur dengan mudah tanpa harus memakai
sumber daya yang besar untuk penelitian dan evaluasi
Achievable (dapat dicapai): Tujuan harus dapat dicapai dengan sumber-sumber (keuangan,
sumber daya manusia, dan lainnya) yang tersedia
Relevant (relevan): Tujuan harus berguna untuk keseluruhan proses pencapaian tujuan.
Time -constrained (mempunyai batasan waktu): Tujuan harus memiliki batas waktu pencapaiana,
kalau tidak, akan sulit diukur.

Beberapa tujuan khusus yang muncul dari penjajakan yang dilakukan di Kota Z:
Dalam 12 bulan, para IDU harus didorong untuk mengurangi perilaku berisiko terhadap HIV,
melalui upaya:.

• Meningkatkan edukasi: para IDU perlu dihubungi oleh seseorang yang dipercayai dan
diberi informasi mengenai penyebaran dan pencegahan HIV. Dokter dan petugas kesehatan
perlu mengetahui mengenai penyalahgunaan NAPZA dan HIV/AIDS, dan kelompok-
kelompok lain di wilayah tersebut (seperti polisi, politisi, dan tokoh masyarakat) perlu
banyak mempelajari kebutuhan pengurangan dampak buruk NAPZA di wilayah tersebut.
• Meningkatkan akses bagi para IDU untuk mendapatkan peralatan suntik baru dengan
cara meningkatkan akses IDU ke apotik atau memulai program jarum suntik steril.
• Meningkatkan akses bagi para IDU ke terapi ketergantungan NAPZA yang terjangkau
secara ekonomi (baik detoksifikasi maupun therapeutic community) dan meningkatkan
pilihan-pilihan terapi (termasuk terapi substitusi NAPZA).

35
• Meningkatkan akses bagi para IDU, terutama mereka yang mengidap HIV, ke layanan
kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas.

(Catatan: semua tujuan khusus ini dapat diukur karena penjajakan telah dilaksanakan
sebelumnya, sehingga penjajakan yang kedua setelah 12 bulan akan dapat mengukur apakah
perubahan-perubahan yang dicari oleh tujuan khusus ini telah terjadi).

Dalam menetapkan tujuan khusus, kelompok advokasi harus menilaia hal-hal berikut:

• Tujuan khusus mudah dimengerti


• Adanya perbaikan atau perubahan situasi yang akan dicapai dengan pelaksanaan tujuan
tersebut
• Tujuan khusus tersebut dapat dicapai, walaupun mendapat tantangan
• Tujuan khusus ini didukung oleh sejumlah orang sehingga dapat dicapai
• Pendanaan dapat dikumpulkan untuk mendukung kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk
mencapai tujuan khusus tersebut
• Pembuat keputusan yang berhubungan dengan tujuan khusus ini dapat diidentifikasi dengan
jelas
• Aliansi dibentuk untuk membantu mencapai tujuan khusus tersebut.

Untuk advokasi, tujuan khusus yang bersifat SMART dapat menimbulkan kesulitan. Hal ini
disebabkan karena kesulitan dalam menentukan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
tujuan khusus dan melakukan pengukuran capaian dengan tidak mengabaikan sejumlah
informasi penting mengenai proses advokasi. Namun demikian, sistim SMART harus digunakan
paling tidak untuk menuntun pengembangan tujuan khusus advokasi.

Pencapaian tujuan memang sulit dicapai. Tanpa adanya gerakan sosial dan kemauan politik, para
pelaksana advokasi di beberapa negara dapat merasakan bahwa kegiatan advokasi yang
dilakukan kurang memungkinkan untuk berhasil. Namun pengalaman para pelaksana advokasi
pada isu lain seperti perawatan dan pengobatan bagi ODHA menunjukkan bahwa advokasi
berhasil dilakukan pada berbagai masalah.

Kelompok koordinasi advokasi harus secara seksama mempertimbangkan isu mengenai tujuan
khusus yang dapat dicapai:

• Apakah isu ini sangat sensitif sehingga para pembuat keputusan tidak dapat didekati secara
langsung?
• Apakah sudah ada orang atau koalisi yang telah mencoba melakukan advokasi isu ini?
Pelajaran apa yang dapat diambil dari pengalaman mereka?
• Apakah informasi yang tersedia cukup untuk mempengaruhi para pembuat kebijakan? Jika
tidak, tujuan khusus mungkin harus diganti untuk memasukkan pengumpulan informasi lebih
lanjut).

Kelompok koordinasi advokasi harus membuat draft prioritas tujuan khusus.

36
BAB VII

STRATEGI

Kelompok koordinasi advokasi pada tahap ini sudah harus memiliki gambaran yang jelas
mengenai masalah-masalah yang akan dihadapi dan draft tujuan khusus untuk advokasi.
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana agar tujuan-tujuan ini dapat dicapai.

A. MEMAHAMI PROSES PEMBUATAN KEPUTUSAN

Pertama-tama, adalah penting untuk memahami bagaimana proses pembuatan keputusan di


berbagai sektor untuk dapat dipengaruhi oleh kegiatan -kegiatan advokasi. Mungkin terdapat
peraturan dan prosedur formal cara -cara pembuatan dan perubahan peraturan, instruksi
pemerintah, dan perundang-undangan. Pelaksana advokasi perlu memahami hal ini apabila
pendekatan formal tersebut terjadi selama proses advokasi. Terutama pada awal proses advokasi,
biasanya perlu dicari jalur-jalur informal dimana isu-isu mulai diangkat dan keputusan awal
diambil.

Ada 5 tahap pembuatan keputusan, yang perlu untuk diikuti, baik untuk proses formal maupun
informal. Tahap-tahap tersebut adalah:

Tahap 1: Mengidentifikasi permasalahan atau isu-isu dalam suatu organisasi baik


pemerintahan, LSM dan lain -lain. Pada tahap ini, isu ditempatkan pada agenda
organisasi tersebut.

Tahap 2: Memperkenalkan ide atau proposal untuk memecahkan masalah yang telah
teridentifikasi. Permasalahan dan usulan solusinya diberikan kepada para pembuat
kebijakan.

Tahap 3: Pertimbangan. Usulan di atas didiskusikan dan mungkin diubah oleh para pembuat
kebijakan.

Tahap 4: Keputusan diambil. Biasanya keputusan diambil untuk menyetujui atau menolak
proposal (baik yang asli maupun yang telah dirubah). Namun kadang-kadang
keputusan yang diambil adalah mengupayakan untuk mendapatkan informasi lebih
lanjut, atau menyetujui sebagian, atau menyetujui dengan syarat-syarat tertentu.

Tahap 5: Maju ke tahap berikutnya. Bila proposal ditolak, proposal tersebut bisa dikerjakan
kembali dan prosesnya dimulai lagi. Jika informasi lebih lanjut diperlukan atau ada
syarat-syarat yang perlu dipenuhi, informasi dan syarat-syarat ini perlu dipenuhi dan
proposal bisa kembali pada tahap 4. Jika proposal disetujui, bisa dilanjutikan ke
tingkat pembuatan keputusan selanjutnya atau langsung dilaksanakan.

Contoh dari Kota Z

37
Di Kota Z, kepolisian bertanggungjawab kepada DPRD . Biro administrasi kota terdiri dari
wakil masyarakat yang bekerja untuk DPRD. Sedangkan kepala kepolisian harus memberikan
jawaban kepada kepala biro administrasi kota (juga kepada kepala kepolisian nasional).

Tahap 1: Kelompok koordinasi advokasi telah mengidentifikasi suatu masalah mengenai


kepolisian yaitu hadirnya polisi di dekat apotik merupakan alasan utama mengapa IDU tidak
membeli peralatan suntik baru. Kelompok ini telah menginformasikan kepada kepala kepolisian
kota tapi kepala polisi mengatakan bahwa ia hanya mengikuti perintah biro administrasi kota.

Tahap 2: Kelompok koordinasi membuat suatu proposal kepada DPRD untuk meminta polisi
menghentikan kegiatan menunggu di dekat apotik selama 6 bulan pelaksanaan program
percontohan untuk meningkatkan akses IDU pada peralatan suntik.

Tahap 3: DPRD mempertimbangkan proposal tersebut, mendengarkan argumen pihak


kepolisian, pihak administrasi kota, dan Dr. A yang mewakili kelompok advokasi.

Tahap 4: DPRD memutuskan agar polisi tetap melakukan kegiatan sebelumnya, namun
menyetujui pencarian metode yang memungkinkan proyek percontohan dilaksanakan.

Tahap 5: DPRD meminta biro administrasi kota untuk mengadakan pertemuan antara Dr. A dan
rekan-rekannya dengan kepolisian untuk membahas agar proyek percontohan tetap berjalan
tanpa menimbulkan permasalahan bagi kepolisian. Biro diminta untuk menyerahkan laporan
termasuk rekomendasi untuk pertemuan dengan DPRD berikutnya (di mana pada saat itu proses
dimulai lagi dari Tahap 2).

Bahkan dalam situasi yang sangat formal seperti contoh di atas, banyak faktor mempengaruhi
suatu keputusan, misalnya:
• Jika polisi telah mengetahui proposal tadi dan setuju bahwa hal tersebut memang perlu,
mereka akan mendukung proposal tadi sejak pertemuan yang pertama.
• Jika administrasi kota menolak mentah -mentah untuk mendukung proposal tersebut,
DPRD bisa memutuskan untuk mengadopsi meskipun ditentang oleh kepolisian.
• Jika kebanyakan anggota DPRD orang-orang yang bersimpati kepada polisi dan tidak
tertarik pada masalah-masalah kesehatan, DPRD mungkin tidak akan mengadakan
diskusi terhadap proposal tersebut tapi langsung menolaknya.
• Jika kepala kepolisian kota mempunyai seorang teman dengan anak seorang IDU yang
positif HIV, kepala polisi tersebut mungkin akan lebih simpatik.

Sejumlah besar unsur dan faktor yang tidak tetap dapat mempengaruhi pengambilan keputusan.
Selain itu advokasi yang diperlukan untuk mencapai tujuan mungkin melibatkan banyak proses
pembuatan keputusan yang terbeda -beda. Untuk ini, kelompok advokasi perlu mencoba
memecahkan proses yang rumit tersebut menjadi bagian yang lebih sederhana.

38
B. PEMETAAN PROSES KEBIJAKAN

1. Pendengar primer dan sekunder

Perlu adanya pemanfaatan peta -peta kebijakan untuk menentukan individu atau kelompok yang
paling berpengaruh terhadap suatu keputusan. Berdasarkan proses tersebut diatas dapat dibagi
jenis pendengar dalam advokasi yaitu:

• Pendengar primer termasuk para pembuat kebijakan dengan kewenangan untuk secara
langsung mempengaruhi pencapaian tujuan.
• Pendengar sekunder adalah para individu dan kelompok yang dapat mempengaruhi
pembuat keputusan (pendengar primer ). Kelompok ini bisa terdiri dari mitra kerja yang
mendukung tujuan advokasi, kelompok yang netral yang tak mendukung atau pun
menentang, dan kelompok yang menentang advokasi. Pendengar sekunder dapat merupakan
bagian atau perluasan dari pendengar primer.

Kunci untuk advokasi adalah menentukan individu atau kelompok mana yang kira -kira akan
memiliki pengaruh paling besar pada setiap keputusan dan mencoba untuk membujuk mereka
untuk mendukung tujuan-tujuan advokasi.

Contoh dari Kota Z

Kelompok koordinasi advokasi telah mengkaji tujuan sebagai berikut ini:

Meningkatkan akses bagi IDU untuk mendapatkan terapi ketergantungan NAPZA yang dapat
dijangkau (baik detoksifikasi atau therapeutic community) dan meningkatkan rangkaian
layanan terapi (termasuk terapi substitusi)

Dalam diskusi dengan koalisi yang lebih luas, kelompok tersebut telah memutuskan hal yang
akan dicapai adalah dengan pemenuhan tiga sub-tujuan dibawah ini:
• Peningkatan pendanaan oleh Dinas Kesehatan kota bagi dua layanan terapi ketergantungan
NAPZA untuk memungkinkan penanganan IDU lebih banyak dan mengurangi biaya yang
dibebankan kepada klien (dari therapeutic community)
• Pengenalan program terapi substitusi percontohan, berlokasi di puskesmas.
• Edukasi yang diberikan melalui penjangkauan kepada IDU mengenai peningkatan dalam
pilihan terapi ketergantungan NAPZA dan pengurangan biaya yang dibebankan kepada
klien , mendorong IDU untuk mencari layanan terapi: hal ini memerlukan adanya suatu
program penjangkauan untuk IDU.

39
Kelompok tersebut sekarang melaksanakan latihan pemetaan kebijakan untuk dua sub-tujuan
yang pertama (lihat Contoh Peta Kebijakan 1)

Peta Kebijakan 1: Contoh dari Kota Z: Siapakah para pendengar advokasi

Sub-tujuan 1: Meningkatkan pendanaan bagi dua layanan terapi ketergantungan NAPZA yang
sedang berlangsung

Pendengar Primer: Pendengar Sekunder: Yang berpengaruh


Sasaran
DPRD Kota Staf anggota DPRD kota: karena anggota DPRD kota sering kali
meminta pendapat dari para staf mereka.
Media: anggota DPRD kota ingin mengetahui sikap media terhadap
peningkatan pendanaan: apakah reaksi media akan menguntungkan
atau tidak?
Tokoh masyarakat: anggota DPRD kota adalah orang yang
berinteraksi dengan keluarga, pelayan toko, para atasan/majikan, para
pekerja di seluruh wilayah itu: bagaimana reaksi orang-orang tersebut
terhadap keputusan; apakah keputusan ini akan memperbesar atau
memperkecil kemungkinan masyarakat untuk memilih anggota dewan
kota pada pemilihan berikutnya?
Pemimpin agama: apakah pemimpin agama berkeberatan atau
menyetujui terapi ketergantungan NAPZA?
Penyandang dana internasional untuk program HIV/AIDS atau
NAPZA: ka rena Kota Z adalah kota yang miskin, apakah para
penyandang dana akan membayar peningkatan pendanaan selama tiga
tahun pertama (sehingga anggota DPRD kota tidak harus
mengeluarkan dana dari proyek lain)

Kepala Dinas Staf Dinas Kesehatan Kota (seperti di atas)


Kesehatan Kota Para peneliti dari Fakultas Kesehatan Masyarakat di universitas
terdekat: para profesional sebaya sangat berpengaruh.
Departemen Kesehatan: Dinas Kesehatan Kota biasanya tidak akan
membuat keputusan yang menentang kebijakan Departemen Kesehatan
Pusat
Keluarga dan teman-teman IDU

40
Sub-Tujuan 2: Pengenalan program percontohan terapi substitusi, berbasis di puskesmas.

Kepala Pukesmas Staf, pasien dan masyarakat sekitar puskesmas


Para kolega profesional: puskesmas lain, Dinas Kesehatan Kota,
Menteri Kesehatan
Anggota DPRD Kota dan Media

Kepala Kepolisian Kota Kepala Kepolisian Nasional


Anggota DPRD Kota
Anggota Kepolisian untuk masalah NAPZA
Media

Menteri Kesehatan Presiden


Kepala Kepolisian dan Anggota DPR/MPR lain.
Para “Pa kar” nasional dan internasional di bidang HIV/AIDS dan
penyalahgunaan NAPZA
Para Pemimpin Agama dan Media
Para Penyandang Dana internasional untuk program-program
HIV/AIDS dan NAPZA

Kepala Kepolisian Presiden


Nasional Para “Pakar” Kepolisian di bidang tindak kejahatan NAPZA
Para Kolega kepolisian internasional dan Media

DPRD Kota Staf dari anggota dewan kota dan Media


Para tokoh masyarakat
Para pemimpin agama
Para penyandang dana internasional untuk program-program
HIV/AIDS dan NAPZA

Kepala Dinas Kesehatan Staf Dinas Kesehatan Kota


Kota Para Peneliti pada Fakultas Kesehatan Masyarakat di Universitas
terdekat
Departemen Kesehatan Pusat

IDU IDU lain.


Keluarga dan teman-teman IDU
Para dokter/petugas kesehatan lain dan media

Tabel di atas menunjukan bahwa keputusan bisa dibuat oleh kelompok kecil namun pendapat
kelompok yang lebih luas yang terdiri dari para profesional, pemimpin agama dan tokoh
masyarakat dapat mempengaruhi kelompok pembuat keputusan. Tabel tersebut juga
menunjukkan bahwa adanya perubahan seperti peningkatan pendanaan untuk layanan yang ada

41
dapat menyederhanakan dan mempercepat pelaksanaan kegiatan lain seperti pelaksanaan
program terapi substitusi.

Namun demikian, kelompok advokasi di Kota Z menyadari bahwa kedua kebutuhan ini perlu
dilaksanakan (bersama dengan edukasi yang dilakukan melalui kegiatan penjangkauan dan
tujuan lain dalam bab sebelumnya) untuk secara efektif menghadapi HIV/AIDS di kalangan IDU
di kota tersebut.

Hal lain yang perlu dicatat adalah kelompok yang berpengaruh yang perlu digunakan seperti
media. Media bukan pendengar primer untuk ke dua sub-tujuan di atas, namun kemungkinan
besar dapat mempengaruhi pendengar primer. Sama halnya di beberapa negara lain, para
pejabat pemerintah seperti polisi dan militer memiliki pengaruh yang besar sehingga perlu
dimasukkan dalam kelompok pendengar sekunder.

IDU dimasukkan sebagai pendengar primer untuk program substitusi karena sangat vital bagi
keberhasilan program. Jika IDU menolak untuk ikut program ini, maka program ini tidak akan
menghasilkan dampak terhadap pencegahan HIV, pengurangan kriminalitas, dan sebagainya.
Dengan menunjukkan kebutuhan terhadap layanan semacam ini, IDU telah membantu
pengenalan kegiatan efektif tersebut. Selain itu ODHA merupakan kelompok yang sangat
penting untuk pembuatan keputusan mengenai topik -topik ini. Apabila ODHA memiliki juru
bicara yang tampil di media dan dalam komite untuk para politisi yang berpengaruh, IDU dapat
memiliki dampak kuat mengenai layanan yang akan dimulai atau diperluas untuk menghadapi
HIV/AIDS. IDU juga penting dalam pembahasan peningkatan layanan terapi. Namun IDU
cenderung tidak mempunyai pengaruh selama diskusi yang berhubungan dengan keuangan.
Karena perluasan layanan terapi ketergantungan NAPZA umumnya dianggap sebagai isu yang
berhubungan dengan NAPZA dari pada isu yang berhubungan dengan AIDS.

Melalui pertemuan dengan IDU, ODHA dan keluarga, kelompok advokasi dapat berhasil
menarik tiga anggota lagi, dua di antaranya adalah ODHA dan IDU. Anggota baru ini
mengerjakan berbagai publikasi dan tertarik untuk berbicara pada konferensi dan pertemuan
komite.

2. Penelitian pendengar kebijakan

Saat pendengar primer dan sekunder telah diidentifikasi untuk tujuan tertentu, perlu untuk
mendapatkan informasi sebanyak mungkin mengenai kelompok dan individu tersebut. Apakah
opini mereka saat ini mengenai HIV/AIDS dan penyalahgunaan NAPZA suntik? Apa
kepentingan mereka terhadap isu-isu ini? Apa yang memotivasi mereka? Bagaimana mereka
biasanya mempelajari isu -isu baru (melalui hubungan personal, dengan membaca koran, dan
lain-lain)?

Informasi ini bisa didapatkan dengan beberapa cara:

• Pejabat dan selebritis menyatakan opininya melalui media, pidato atau dokumen-
dokumen lain. Dengan membaca semua itu secara teliti, ada kemungkinan untuk
mendapatkan kutipan langsung mengenai pandangan mereka tentang NAPZA dan HIV/AIDS

42
atau topik-topik yang sejenis. Ketelitian perlu diperhatikan saat menggunakan teknik ini
karena banyak politisi berpikir bahwa mereka perlu dilihat “keras terhadap NA PZA”. Untuk
itu, kita perlu mengenal orang-orang yang dekat dengan para politisi yang dapat memberikan
gambaran yang lebih aktual mengenai pandangan politisi tersebut.
• Kebijakan-kebijakan resmi yang tertuang dalam perundang-undangan, peraturan, instruksi
pemerintah, rencana, strategi, protokol, dan sebagainya. Untuk pendengar primer dan
sekunder, seluruh dokumen yang berkaitan dengan HIV/AIDS dan penyalahgunaan NAPZA
suntik perlu dikumpulkan dan dikaji.
• Survei mengenai penyalahgunaan NAPZA, sikap terhadap penyalahgunaan NAPZA,
penyalahguna NAPZA, dan ODHA yang telah dilaksanakan sangat bermanfaat untuk
mengukur opini masyarakat.
• Analisis media dapat membantu memprediksi pandangan media dan masyarakat mengenai
beberapa topik. Analisis ini bisa sangat sederhana seperti menghitung jumlah artikel
mengenai NAPZA dalam surat kabar selama periode tertentu dan mencatat tema-tema umum
artikel tersebut misalnya penyalahguna NAPZA adalah penjahat, penyalahguna NAPZA
seharusnya dibuang dari keluarganya, penyalahguna NAPZA adalah orang-orang yang tidak
waras, beberapa penyalahguna NAPZA telah berhenti menggunakan NAPZA, beberapa
penyalahguna NAPZA memainkan peran yang bermanfaat dalam masyarakat. Perlu
melakukan penilaian mengenai jurnalis yang menulis artikel-artikel tersebut apakah telah
bersikap sensasional atau seimbang. Perlu mencatat nama -nama jurnalis yang tertarik akan
keseimbangan dan kedalaman informasi.
• Diskusi kelompok terarah atau Focus Group Discusssion (FGD) dapat digunakan untuk
mendapatkan pemahaman mengenai cara berpikir pendengar mengenai topik-topik yang
spesifik. FGD ini dapat melibatkan anggota masyarakat umum atau pendengar tertentu
seperti dokter, pengacara, polisi dan sebagainya.

Analisis informasi di atas harus berfokus pada organisasi atau individual apakah telah
mendukung tujuan advokasi atau menentang tujuan advokasi. Sebab sangat berat menyelidiki
dan memprediksi beberapa pendengar sekunder khusus. Kelompok tersebut perlu terus dijajaki
dan pesan-pesan terus dikembangkan dan diteruskan ke para pendengar yang lain.

Tahap selanjutnya adalah memetakan apa yang diketahui, dirasakan, dan diyakini oleh para
pendengar mengenai isu-isu tersebut yang bisa berhubungan dengan tujuan khusus. Informasi
isu-isu yang tidak berhubungan dengan tujuan khusus kadang-kadang berguna untuk menyusun
pesan-pesan persuasif. Jika tujuan advokasi dapat dikaitkan dengan isu yang sangat diperhatikan
oleh pendengar, kemungkinan besar pendengar akan memperhatikannya.

43
Contoh dari Kota Z

Kelompok koordinasi advokasi melanjutkan latihan pemetaan kebijakan untuk sub-tujuan yang
kedua (lihat Contoh Peta Kebijakan 2 untuk contoh-contoh yang dipilih dari proses pemetaan
ini).

Peta Kebijakan 2: Contoh dari Kota Z: Apa yang diketahui dan dipikirkan oleh para
pendengar?

Sub-tujuan2: Pengenalan program percontohan terapi substitusi, berbasis di puskesmas

Pendengar Pengetahuan Keyakinan dan sikap Isu-isu yang diperhatikan


pendengar pendengar mengenai oleh pendengar
mengenai sub- sub-tujuan
tujuan
Kepala Tahu sedikit • Dapat mengerti • Kesehatan seluruh
puskesmas bahwa kegiatan ini penduduk wilayah
adalah penting. tersebut.
• Kuatir mengenai • Tidak dikritik media
dampak program dan Departemen
kepada klien Kesehatan.
puskesmas (non- • Tidak dipecat.
IDU) yang lain. • Praktek yang dilakukan
secara profesional dan
baik.

Staf Beberapa staf • Bermacam-macam • Setiap anggota staf


puskesmas puskesmas sikap dari yang memperhatikan satu
menghadiri sangat mendukung bidang kesehatan
kelompok sampai yang tak khusus.
advokasi, telah mendukung. • Tidak dipecat.
membaca banyak Kebanyakan • Praktek yang dilakukan
informasi mendukung secara profesional dan
mengenai terapi program. baik .
substitusi; staf
lainnya hanya
mengetahui
sedikit

Penduduk Hampir tak tahu • Belum menentukan Kenyamanan wilayah itu


sekitar apa-apa. sikap. sebagai tempat untuk tinggal
Puskesmas • Kemungkinan akan dan bekerja.
menentang, percaya
bahwa substitusi
malah akan
mendatangkan IDU
ke wilayah tersebut

44
Para peneliti Telah membaca • Mendukung. • Keingintahuan akan
dari penelitian • Buktinya sudah hal-hal ilmiah
universitas internasional jelas, keberadaan • Kenaikan jabatan
program di wilayah akademis
tersebut akan • Publikasi
membantu
mengurangi
penularan HIV di
kalangan IDU

DPRD kota Hampir tak tahu • Belum menentukan • Kesejahteraan


apa-apa. sikap. masyarakat secara
• Kemungkinan keseluruhan di seluruh
reaksi yang muncul kota.
akan beragam. • Pemilihan/penunjukan
• Merasa kembali.
bertanggung jawab • Praktek yang dilakukan
untuk secara profesional dan
menghentikan baik.
AIDS di wilayah
itu, namun kuatir
para pemilih
mereka akan
menentang
program itu.

Kepala Dinas Telah mendengar • Sangat mendukung • Kesehatan masyarakat


Kesehatan Kota namun tahu program tersebut, secara keseluruhan di
sedikit mengenai percaya bahwa seluruh kota.
penelitian atau program ini akan • Tidak dipecat.
bagaimana terapi menyelamatkan • Praktek yang dilakukan
substitusi bekerja banyak jiwa. secara profesional dan
baik
Media Hampir tak tahu • Kemungkinan • Ide-ide baru, peristiwa
apa-apa. tertarik akan isunya baru dll.
dan ingin • Konflik, terutama pada
memberikan ide baru.
ulasan. • Pemberian informasi.
• Ulasannya • Penjualan koran,
sepertinya berpusat periklanan.
pada kontroversi
dan konflik.

45
Para Hampir tak tahu • Kemungkinan akan • Menyuarakan
pemimpin apa-apa. menentang. perlawanan terhadap
agama (kota) penyalahgunaan
NAPZA secara
konsisten dan
menolong
penyalahguna NAPZA.
• Menyatakan bahwa
penyalahgunaan
NAPZA adalah dosa

Kepala Hampir tak tahu • Kemungkinan akan • Pencegahan kejahatan


Kepolisian apa-apa. menentang. • Menahan penjahat.
Kota • Percaya bahwa • Menjaga amanat rakyat.
satu-satunya jalan • Praktek yang dilakukan
untuk menangani secara profesional dan
IDU adalah dengan baik
menghukum
mereka.

IDU Telah mendengar • Sangat mendukung, • Bertahan hidup.


mengenai terapi yakin bahwa • Persahabatan.
substitusi, tapi program itu akan
umumnya menolong mereka
pengetahuan berhenti
yang dimiliki menyuntikan
tidak banyak NAPZA

Pendengar Pengetahuan • Keyakinan dan • Isu-isu yang


pendengar sikap pendengar diperhatikan oleh
mengenai sub- mengenai sub- pendengar
tujuan tujuan

Teman-teman Kebanyakan • Kebanyakan dari • Kesejahteraan IDU


dan memiliki mereka yang tahu • Bila mungkin, bebas
Keluarga IDU pengetahuan mengenai terapi dari penyalahgunaan
yang sedikit. substitusi sangat NAPZA
mendukung.
• Beberapa (terutama
para orang tua)
menentangnya dan
berpikir bahwa
uang yang tersedia
seharusnya
digunakan untuk
program yang
menghentikan
anak -anak muda
menggunakan

46
segala macam
NAPZA.

Para Telah • Sangat mendukung, • Pengurangan


penyandang melaksanakan mau mendanai kemiskinan
dana penelitian program • Pencegahan HIV/AIDS
internasional internasional, percontohan secara global
mempunyai apabila dukungan
tingkat masyarakat yang
pengetahuan memadai dapat
yang tinggi. diperlihatkan

Para ‘pakar’ Kebanyakaan • Beberapa sangat • Reputasi profesional


tingkat nasional memiliki tingkat mendukung, telah sebagai “pakar”
pengetahuan menyaksikan • Hubungan dengan
yang tinggi. program substitusi institusi-institusi dan
di negara lain dan orang-orang yang
akan membantu berpengaruh.
dimulainya • Kemampuan untuk
program di Kota Z. mempengaruhi
kebijakan nasional.
• Beberapa sangat
menentang dan
yakin bahwa
program ini “salah”
karena tidak
menolong IDU
berhenti
menggunakan
NAPZA dengan
segera.

Menteri Telah mendengar • Peduli akan AIDS, • Kesejahteraan


Kesehatan namun tahu terutama di Kota Z, masyarakat secara
sedikit mengenai tapi tidak yakin keseluruhan di seluruh
penelitian atau kalau substitusi wilayah di negara
bagaimana terapi adalah kebijakan tersebut.
substitusi bekerja nasional yang • Pemilihan/penunjukan
terbaik. kembali.

Staf Menteri Beberapa telah • Mendukung suatu • Bidang perawatan


Kesehatan membaca ujicoba di Kota Z. kesehatan yang spesifik
penelitian Dari hasilnya, di seluruh wilayah di
internasional kebijakan nasional negara tersebut.
dapat disusun • Praktek yang dilakukan
secara profesional dan
baik.

47
Kepolisian Tak diketahui. • Dibutuhkan • Menjaga amanat rakyat.
Nasional Dibutuhkan penelitian. • Pemilihan/penunjukan
penelitian. kembali.

Presiden. Hampir tak tahu • Kemungkinan akan • Dipilih berdasarkan


apa-apa. menentang. program partai yang
memasukkan upaya-
upaya “Bersikap keras
terhadap NAPZA”;
secara tetap
menjanjikan
membersihkan
masyarakat dari
NAPZA.

Dari proses ini, dapat dilihat adanya berbagai pengetahuan, sikap, dan keyakinan di antara
para pendengar di Kota Z dan di tingkat nasional. Hal ini merupakan kasus yang sering
dijumpai ketika melaksanakan advokasi untuk pendekatan-pengurangan dampak buruk NAPZA
(Harm reduction) karena isu yang diangkat melalui berbagai kegiatan sangat kompleks,
kontroversial (terutama secara politis), dan kelihatan aneh dibanding dengan kegiatan lainnya
yang berhubungan dengan penyalahgunaan NAPZA seperti kegiatan pengurangan pemasokan
(Supply reduction) dan permintaan (Deman reduction).

Setelah melengkapi peta kebijakan untuk tujuan dan sub-tujuan kelompok advokasi mempunyai
gambaran tentang individu dan kelompok yang dapat membuat atau mempengaruhi keputusan-
keputusan yang berkaitan dengan tujuan. Kelompok advokasi juga mempunyai beberapa ide
mengenai hal yang diketehui dan dirasakan pendengar mengenai isu-isu yang berhubungan
dengan tujuan tersebut. Serangkaian kegiatan dapat direncanakan untuk menyampaikan pesan-
pesan advokasi kepada para pendengar ini.

48
BAB VIII

AKSI DAN REAKSI

A. PERENCANAAN KEGIATAN (ACTION PLANNING)

Kegiatan advokasi perlu direncanakan. Kelompok advokasi yang terkoordinir dengan baik perlu
mengembangkan rencana aksi yang menjelaskan situasi, tujuan khusus advokasi, sasaran
advokasi yang diharapkan, kegiatan-kegiatan pokok, jadual kegiatan, dan indikator untuk
mengevaluasi kegiatan tersebut. Seiring dengan berkembangnya kelompok yang mempunyia
pemahaman sama maka seluruh mitra kerja perlu didorong agar dapat berpartisipasi secara aktif
untuk mencapai tujuan. Rencana aksi sebaiknya dikembangkan dengan memprioritaskan sasaran
yang strategis dan berdampak maksimal dengan upaya yang minimal. Kegiatan-kegiatan yang
telah direncanakan sebaiknya dilaksanakan secara berkesinambungan dan tepat waktu.

Berdasarkan tujuan-tujuan khusus dan kebijakan yang dijelaskan pada bab sebelumnya, rencana
aksi sebaiknya mencantumkan setiap kegiatan yang diperlukan, untuk menghadapi pendengar
dan tanggapan terhadap pesan -pesan yang disampaikan.

Contoh dari Kota Z

Kelompok koordinasi advokasi sangat senang telah menyelesaikan tujuan-tujuan khusus dan peta
kebijakannya. Kelompok ini telah memiliki gambaran yang jelas mengenai kelompok yang akan
dilibatkan dalam diskusi dan beberapa kebutuhan yang diperlukan.

Untuk sub-tujuan mengenai pelaksanaan program substitusi di puskesmas wilayah tersebut, ada
dua kategori kegiatan utama yang diperlukan:

• Edukasi: Sasaran perlu diberi edukasi mengenai ;


Ø pendekatan -pengurangan dampak buru k NAPZA tentang HIV di kalangan IDU,
Ø keefektifan terapi substitusi untuk pencegahan HIV dan efek-efek lainnya,
Ø keuntungan terapi bagi IDU dan masyarakat,
Ø dan kebutuhan untuk memulai program substitusi percontohan di puskesmas wilayah
itu.
• Persuasi: Bagi kelompok yang belum sepaham dengan kegiatan tersebut perlu dilakukan
pendekatan secara persuasif dengan berbagai argumentasi. Cara lain dapat dilakukan dengan
mengajak berkunjung pada negara yang telah berhasil melaksanakan untuk studi banding,
berdiskusi dengan pakar internasional atau melakukan dialog terbuka tentang risiko dan
keuntungan program terapi substitusi.

49
Perlu ada berbagai pesan yang berbeda untuk kelompok pendengar yang berbeda. Sebagai
contoh:
Ø Penduduk di sekitar puskesmas kemungkinan adalah pendengar yang paling
memperhatikan mengenai cara puskesmas menangani isu-isu keamanan seperti
memastikan obat substitusi tidak dicuri atau diberikan kepada bukan penyalahguna
NAPZA dan apakah program baru akan membuat para pengguna NAPZA suntik
“nongkrong” di sekitar puskesmas.
Ø Presiden kemungkinan lebih memperhatikan dampak-dampak ekonomi sebuah
epidemi HIV di negaranya.
Ø Kepala Kepolisian Kota kemungkinan paling tertarik mengenai apakah dengan
dimulainya program substitusi akan mengurangi kejahatan.

Beberapa kiat umum lain mengenai perencanaan dan aksi mencakup:


• Sampaikan pesan-pesan dengan konsisten melalui berbagai media dan sumber bagi setiap
tujuan khusus advokasi dan setiap pendengar. Perlu diingat bahwa pesan tidak selalu segera
didengar, diserap atau dimengerti. Jadi pengulangan adalah hal yang sangat penting.
Konsistensi pemberian pesan perlu dilakukan untuk menghindarkan kebingungan pendengar,
sedangkan variasi membantu memastikan pendengar tidak bosan.
• Rencanakan kegiatan yang melibatkan para juru bicara yang kredibel dari organisasi mitra.
• Delegasikan tanggungjawab secara jelas kepada anggota untuk melaksanakan dan memonitor
kegiatan .
• Adakan pelatihan dan praktek advokasi.
• Identifikasi, verifikasi fakta dan data kunci untuk mendukung tujuan advokasi.
• Presentasikan informasi dengan singkat, dramatis, dan gaya yang mengesankan.
Bila ada kontroversi cobalah untuk mengubah kontroversi tersebut menjadi yang
menguntungkan.
• Tentukan aksi yang dikehendaki dengan jelas sesuai dengan kebijakan yang disepakati.
• Tekankan urgensi dan prioritas aksi yang direkomendasikan
• Rencanakan dan adakan peliputan media untuk memberitahu kepada masyarakat mengenai
kejadian yang relevan, dan sajikan data baru.
• Monitor dan respon dengan cepat dan fleksibel pandangan dan gerak-gerik yang tidak
sepaham.
• Kembangkan perangkat advokasi yang spesifik untuk mempengaruhi pendengar tertentu
• Bekerjalah dengan semua tingkatan, dari lokal hingga nasional dan internasional, melalui
jaringan yang sesuai.
• Buat catatan keberhasilan d an kegagalan dalam advokasi.

50
Contoh dari Kota Z

Kelompok koordinasi advokasi sekarang sedang melaksanakan berbagai kegiatan sesuai


dengan rencana aksi yang disepakati oleh mitra koalisi kelompok ini (lihat Contoh Kutipan
Rencana Aksi).

Contoh Rencana Aksi: Contoh dari Kota Z (Kutipan)

Tujuan khusus A: Dalam 12 bulan, meningkatkan akses bagi IDU untuk mendapatkan
peralatan suntik baru dengan cara meningkatkan akses IDU ke persediaan apotik dan memulai
program jarum suntik steril.

Kegiatan Para Siapa yang Diselesai Status


pendengar bertanggung kan dalam
jawab? waktu?
1. Melatih Apoteker Dr A: dibantu 4 minggu • Asosiasi apotek telah
apoteker oleh asosiasi setuju untuk menjadi
mengenai apotek tuan rumah pertemuan.
kebutuhan untuk • Undangan disebar
peningkatan akses kepada para apoteker.
pada peralatan • Materi pelatihan
suntik. disiapkan.

2. Bertemu Kepala Dr. A ditambah 4 minggu • Telah membuat


dengan Kepala Kepolisian seorang anggota perjanjian dengan
Kepolisian Kota Kota dan 5 kelompok yang Badan Narkotika Kota
untuk untuk meminta bantuan
staf senior lain
membicarakan untuk mengatur
mengenai operasi pertemuan dengan
yang dilakukan kepala kepolisian.
polisi di dekat
apotek-apotek dan
tempat-tempat
pelaksanaan
program jarum
suntik steril yang
diusulkan.

3. Menyiapkan Para anggota Jurnalis anggota 6 minggu • Telah menerima data


leaflet “politisi”, DPRD kota kelompok penelitian internasional
dengan beserta staf advokasi dalam bahasa Inggris.
argumentasi- mereka • Telah menterjemahkan
argumentasi nya dalam bahasa lokal.
Para politisi
untuk program Akan mulai menulis
jarum suntik Nasional
minggu depan.
steril.

51
4. Melobby DPRD Para anggota Seluruh anggota 12 minggu Belum dimulai. Menunggu
kota mengenai DPRD Kota kelompok penyelesaian pembuatan
program jarum (12 orang) advokasi bekerja leaflet “politisi”.
suntik steril dan para staf berpasangan,
dengan secara mereka (20 (setiap pasangan
personal bertemu
orang) akan menjumpai
dengan setiap
orang anggota
paling sedikit 3
dewan dan orang anggota
memberikan dewan kota
informasi dan/atau staf
mengenai mereka)
program tersebut.

Tujuan B: Dalam 12 bulan, Meningkatkan akses bagi para IDU ke terapi ketergantungan
NAPZA yang terjangkau secara ekonomi (baik detoksifikasi maupun therapeutic community) dan
meningkatkan pilihan-pilihan terapi (termasuk terapi substitusi NAPZA).

Kegiatan Para Siapa yang Diselesaikan Status


pendengar bertanggung dalam
jawab? waktu?
1. Menyelidiki Seluruh Mahasiswa hukum Telah selesai • Metadon dan
status legal dari pendengar di yang membantu buprenorfin telah
NAPZA substitusi kota tersebut kelompok Advokasi didaftar secara
untuk program resmi dan
Menteri
yang diusulkan di mungkin
Kesehatan
Puskesmas digunakan.
dan
Kepolisian • Hambatan-
hambatan hukum
Nasional dan biaya-biaya
dicantumkan
dalam laporan.

2. Menulis surat Dewan Kota Dr. A 1 minggu • Seluruh data saat


resmi yang ini telah
meminta ditemukan.
penyetujuan untuk • Kepala
memulai terapi puskesmas telah
substitusi di menyetujui untuk
puskesmas mengupayakan
penyetujuan
setelah surat
ditulis.

52
3. Mengupayakan DPRD Kota Kepala puskesmas 5 minggu • 3 anggota DPRD
persetujuan untuk kota setuju
program substitusi mendukung
proposal dan 4
orang menentang.
• Mengadakan
pertemuan
dengan 4 orang
tersebut di
tambah dengan 5
orang anggota
dewan lainnya
untuk melobby
program ini
sebelum
pemilihan dalam
waktu 6 minggu.

4. Memberikan Seluruh Jurnalis 2 minggu • Telah


penerangan secara pendengar di Anggota kelompok mengidentikasi 2
ringkas kepada kota tersebut advokasi orang jurnalis
media mengenai kunci (seorang
program substitusi dari suratkabar,
ini. seorang dari TV).
• Telah
menghasilkan 2
halaman
ringkasan
mengenai bukti
penelitian untuk
terapi subtitusi
dan proposal
puskesmas.
• Akan melakukan
wawancara
eksklusif dengan
kepala
puskesmas .

Contoh di atas merupakan seleksi kegiatan yang dilakukan oleh kelompok advokasi dan mitra
koalisinya. Karena beban pekerjaan yang meningkat, sedang diupayakan dana dari penyandang
dana internasional untuk koordinator advokasi yang bekerja paruh-waktu dan untuk biaya
beberapa kegiatan advokasi terutama buklet untuk masyarakat umum dan lokakarya-lokakarya
pelatihan bagi polisi. Dr. A tidak lagi dapat menangani seluruh tugas koordinasi advokasi
karena pekerjaannya di puskesmas. Kelompok advokasi juga bekerja dengan kelompok-
kelompok ODHA di Kota Z untuk menyiapkan lokakarya peningkatan kesadaran media
mengenai stigma dan diskriminasi di kalangan ODHA.

53
IDU dan ODHA anggota kelompok advokasi saat ini cukup percaya diri untuk berbicara
mengenai pendekatan-pengurangan dampak buruk NAPZA di seminar-seminar dan pertemuan.
Kelompok advokasi meneliti para jurnalis lokal untuk melihat kemungkinan adanya jurnalis
yang dapat menulis cerita yang seimbang dan membantu mencapai tujuan-tujuan kelompok
advokasi tersebut melalui wawancara dengan para IDU dan ODHA. Ini merupakan langkah
yang penting dan penuh risiko namun para IDU dan ODHA anggota kelompok advokasi ini
ingin memberikan edukasi kepada masyarakat dan kelompok berpengaruh lainnya mengenai
kenyataan hidup dengan HIV dan hidup sebagai IDU, jadi mereka antusias untuk melakukan
wawancara.

B. PESAN-PESAN DAN MEDIA

Setelah menentukan sasaran pendengar untuk advokasi, langkah selanjutnya adalah


mengembangkan pesan-pesan untuk kegiatan advokasi tersebut. Pesan-pesan tertentu perlu
dibedakan dan dikembangkan untuk pendengar yang berbeda. Bila memungkinkan, pesan
advokasi harus sederhana, pendek dan persuasif mengenai setiap tujuan khusus advokasi: apa
yang seharusnya dilakukan, mengapa, dan bagaimana? Tujuan dari pesan tersebut adalah untuk
menghasilkan aksi sehingga pesannya harus secara jelas menentukan aksi apa yang harus diambil
dan oleh siapa.

Suatu contoh pesan:

Epidemi HIV/AIDS di kalangan IDU telah terjadi saat ini.


Metadon (atau burprenorfin) efektif dalam mengurangi penyebaran HIV di kalangan
penyalahguna NAPZA.
Metadon (atau burprenorfin) perlu secara resmi didaftar di Departemen Kesehatan agar
program-program tersebut dapat dimulai.

Kadang-kadang pesan dapat dipadatkan menjadi slogan seperti:

“Metadon berhasilguna: bagi masyarakat, bagi penyalahguna NAPZA, dan bagi pencegahan
HIV/AIDS.
Daftarkan metadon secara resmi sekarang”

Media adalah sarana untuk menyampaikan sebuah pesan, media bisa juga termasuk sumber
pesan. Sebagai contoh, seorang politisi yang berpengaruh memberikan pendidikan sebaya kepada
politisi lainnya merupakan medium dan sekaligus sumber; begitu juga halnya dengan seorang
wartawan yang menulis sebuah berita mengenai keuntungan pendekatan-pendekatan efektif atau
seorang dokter atau peneliti terke muka yang sedang berbicara dalam suatu pertemuan. Kadang-
kadang, media dan sumber terpisah misalnya ketika seorang wartawan menulis tentang pidato
seorang politisi atau tentang hasil penelitian, atau ketika para pelaksana advokasi
mengembangkan makalah advokasi khusus bagi para pendengar, yang mengandung kutipan-
kutipan dari berbagai sumber.

54
Bahasa sangatlah penting, termasuk kata -kata yang digunakan dalam pesan, untuk sasaran
advokasi. Mungkin ada beberapa kalimat atau ungkapan yang seharusnya digunakan dalam
advokasi akan tetapi mungkin tidak dapat dimengerti oleh sasaran.
Pesan yang baik seharusnya mengandung kalimat atau ungkapan yang memiliki konotasi positif
atau arti tertentu, seperti “keluarga”, “anak-anak”, “masyarakat”, “keamanan nasional”, dan
“keuntungan ekonomi”. Para pelaksana advokasi sebaiknya menghindari “jargon” dan bahasa
teknis (kecuali bagi beberapa pendengar tertentu).

Beberapa elemen penting lain dari pesan dan media termasuk :

• Argumentasi dan data yang digunakan untuk membujuk pendengar untuk bertindak atas
pesan tersebut. Argumentasi dan data ini hendaknya sesuai dengan sasaran. (lihat lampiran
B). Jika menggunakan grafik atau diagram, sebaiknya menggunakan yang sederhana dan
mudah dimengerti.
• Kredibilitas sumber: kepada siapa pendengar akan percaya?
• Format : apakah lebih baik menggunakan makalah diskusi, catatan-catatan singkat tentang
kebijakan, siaran radio, film dokumenter, TV? Ini akan tergantung pada pesan apa yang
dirancang untuk pendengar yang mana dan pada akses kelompok advokasi untuk
mendapatkan dana dan sumber-sumber lain.
• Waktu dan tempat: apakah ada peristiwa (seperti konferensi AIDS) atau tanggal tertentu
(seperti Hari AIDS Sedunia atau Hari Anti Narkotika) di mana kemungkinan pesan dapat
lebih menarik perhatian?

C. REAKSI DAN KESINAMBUNGAN

Setelah kegiatan advokasi, kelompok advokasi akan menghadapi reaksi dari beberapa individu
dan organisasi dalam masyarakat.

Sebagai contoh, beberapa surat kabar secara terus menerus mencari berita – berita sensasional.
Dari pada menulis “pilihan terapi ketergantungan NAPZA tengah diperluas untuk
mencegah sebuah epidemi HIV”, mereka mungkin akan menulis “ Departemen Kesehatan
bersikap lunak kepada penyalahguna NAPZA” .

Stasiun radio yang terkenal mungkin menggambarkan suatu penekanan pada pelayanan
kesehatan terhadap IDU sebagai “suatu aib: bagaimana dengan orang -orang tua di dalam
masyarakat kita yang tak berkecukupan untuk makan?”

Tokoh-tokoh agama atau politik mungkin menyerang perubahan-perubahan yang mereka lihat
sebagai penghancuran “nilai-nilai tradisional”. (Lampiran B mengandung beberapa
argumentasi reaktif ini serta saran argumentasi balasannya).

Masing-masing kejadian akan berdampak pada kegiatan-kegiatan advokasi. Kejadian semacam


itu hendaknya dimonitor secara seksama untuk analisis dan evaluasi yang berkelanjutan.

Mengapa tokoh agama telah berbicara? Sudah cukupkah kegiatan advokasi dilakukan pada
organisasi-organisasi keagamaan?

55
Apakah stasiun radio mewakili suatu bagian yang luas dari masyarakat, apakah pandangan-
pandangan ini hanya sebuah cara untuk meningkatkan popularitas dari siaran radio tersebut?

Kelompok advokasi harus mempertimbangkan apakah perlu merespon tantangan semacam ini,
bagaimana, dan kapan. Jika hubungan dengan media secara umum berjalan baik, seringkali
bermanfaat untuk segera merespon melalui press release dan/atau konferensi media. Jika seorang
politisi telah membuat pernyataan yang bertentangan, barangkali politisi lain yang mendukung
dapat didorong untuk membuat pernyataan publik yang mendukung – meskipun dalam beberapa
kasus mungkin akan berguna untuk meminta para pendukung mengunjungi politisi yang
menentang tersebut dan mendiskusikan isu-isunya jauh dari media untuk mencoba membujuk
politisi yang menentang tersebut menjadi seorang pendukung. Harus diingat bahwa kebanyakan
tantangan terhadap pengurangan dampak buruk NAPZA muncul dalam suatu lingkungan yang
tidak mendapatkan informasi yang lengkap atau terdapat kesalahpahaman. Kadang-kadang,
dengan menemui seorang oposisi dan menjelaskan seluruh alasan untuk tujuan-tujuan advokasi,
tantangan dapat diubah menjadi dukungan atau paling tidak menjadi netral.

Kejadian yang sedang berlangsung juga hendaknya dimonitor secara terus menerus. Sifat dasar
dari kehidupan modern adalah keadaan-keadaaan–politik, sosial, dan bahkan hukum–dapat
berubah dengan sangat cepat.

Kelompok advokasi harus tetap memperhatikan berbagai laporan yang dipublikasikan, komite-
komite yang sedang mengadakan pertemuan, konferensi-konferensi medis dan hukum, para
politisi yang akan menjalankan misi pencarian fakta di negara-negara lain, semuanya merupakan
peluang bagi advokasi. Barangkali politisi yang akan menjalankan misi tersebut dapat dibujuk
untuk mengunjungi program-program HIV yang efektif di kalangan IDU di negara lain.
Konferensi medis atau hukum dapat diminta untuk menekankan masalah-masalah HIV spesifik
di kalangan IDU dan bagaimana cara yang terbaik untuk mengatasi masalah ini. Kelompok
advokasi dapat melakukan presentasi atau paparan untuk memberikan laporan-laporan kepada
komite. Advokasi yang berhasil perlu menggunakan peluang-peluang yang ada dan perlu
berpikir secara komprehensif.

Kelompok advokasi sebaiknya juga menciptakan peluangnya sendiri dan mengantisipasi


perubahan-perubahan yang kemungkinan akan terjadi. Sebuah contoh misalnya pemanfaatan
resolusi-resolusi dan deklarasi-deklarasi PBB, di mana suatu pemerintah telah menandatangani
sebuah deklarasi yang menyatakan akan menjalankan pengurangan dampak buruk NAPZA.
Kelompok advokasi dapat menyampaikan laporan mengenai aksi-aksi yang telah dijanjikan,
yang telah dilakukan dan yang belum dilakukan. Pelaksanaan kegiatan tersebut mungkin berisiko
dan biasanya harus dilakukan dengan koalisi yang kuat, misalnya yang terdiri dari LSM-LSM
yang bergerak dalam bidang HIV/AIDS.

Antisipasi digambarkan secara jelas misalnya dalam kasus parlemen yang terpilih di mana partai
yang memerintah berubah dari waktu ke waktu. Jika seluruh kegiatan advokasi telah
dilaksanakan kepada partai yang berkuasa namun tidak ada satupun kegiatan advokasi
dilaksanakan pada parlemen oposisi, maka masalah-masalah yang besar dapat terjadi ketika ada
perubahan pemerintahan. Kelompok advokasi harus mengantisipasi masalah ini dengan
memastikan bahwa pesan-pesan telah disampaikan kepada seluruh politisi.

56
Proses-proses ini harus disusun dalam pertemuan tahunan atau pertemuan yang lebih sering di
mana kelompok advokasi menganalisis keberhasilan atau kegagalannya selama ini dan
menentukan tujuan khusus baru, sub-tujuan khusus dan kegiatan-kegiatan untuk 12 bulan
mendatang. Hal ini seringkali dilaksanakan bersama-sama dengan seluruh anggota koalisi dan
pendukungnya. Analisis pada kegiatan ini harus sangat teliti. Keberhasilan harus dihargai namun
kegagalan juga harus dianalisis untuk melihat pelajaran apa yang bisa diambil oleh kelompok ini.
Setelah analisis ini (atau kapan saja selama proses advokasi) saran dapat dicari dari kelompok-
kelompok advokasi di tempat lain mengenai cara -cara mengatasi masalah tertentu atau
argumentasi yang bisa terbukti efektif saat argumentasi sebelumnya telah gagal. Evaluasi (lihat
bab berikutnya) harus membantu proses ini.

D. RISIKO DAN ETIKA

Para pelaksana advokasi perlu memastikan bahwa mereka berperilaku etis dan mengikuti prinsip
pertama yang dijabarkan dalam Bab II: kegiatan advokasi harus menghindari terjadinya
peningkatan risiko. Etika sangat penting karena pelaksana advokasi yang berhasil makin
dianggap sebagai seorang ahli.

Wartawan mungkin akan menulis segala hal yang dikatakan oleh pelaksana advokasi tersebut.
Para politisi mungkin akan mendengarkan pelaksana advokasi tersebut saat yang lain tidak
mampu menyampaikan pesannya. Proses ini memberi para pelaksana advokasi kekuatan yang
besar, yang harus digunakan secara bertanggung jawab.
Sebagai contoh, para pelaksana advokasi bisa mengetahui nama-nama ODHA dan IDU di
kotanya, tetapi mereka harus berhati-hati untuk menjaga agar status orang-orang ini tetap rahasia
kecuali dengan jelas telah diijinkan oleh individu tersebut untuk membuka status mereka.

Para pelaksana advokasi perlu memenuhi standar praktek yang etis dan legal dalam komunitas
mereka dan menolak berpartisipasi dalam kegiatan yang tidak etis atau bisa membahayakan
anggota masyarakat. Mereka sebaiknya menyadari bahwa tindakan mereka mempengaruhi
kehidupan orang lain, dan waspada terhadap konflik kepentingan dan sesegera mungkin
menjernihkan hal tersebut.

Cara yang terbaik untuk memastikan sikap yang etis adalah transparansi dalam pelaksanaan
kegiatan dan memastikan adanya dasar atau bukti yang kuat untuk semua kegiatan. Transparansi
berarti bahwa para mitra koalisi dan yang lainnya terus mendapatkan informasi mengenai
kegiatan advokasi, bahwa setiap pemilihan (di mana kelompok advokasi menjadi atau bagian
dari sebuah organisasi yang demokratis) adalah adil dan mengikuti peraturan tertulis mengenai
pemilihan, bahwa setiap dana yang diterima dilaporkan dengan cara yang tepat dan sebagainya.
Pekerjaan yang berdasarkan bukti berarti bahwa kelompok advokasi harus secara terus menerus
mencari informasi yang terkini mengenai pengurangan dampak buruk NAPZA untuk HIV/AIDS
di kalangan IDU dan selalu menggunakan bukti ini sebagai dasar semua tujuan khusus, pesan,
dan argumentasi yang dikembangkan. Sebuah pembahasan mengenai etika advokasi dapat
ditemukan dalam Chapman ( lihat Publikasi dan Situs Internet ).

57
Kelompok advokasi juga perlu bersikap sensitif terhadap kebutuhan akan program yang efektif.
Kadang-kadang, sebuah program distribusi kondom dalam sebuah lembaga pemasyarakatan atau
sebuah program penjangkauan percontohan hanya akan diperbolehkan oleh sebuah pemerintahan
selama masyarakat luas tidak tahu akan program ini. Jika kelompok advokasi mengeluarkan
pernyataan kepada pers mengenai program tersebut, ini akan menyebabkan penutupan program
dan terjadi kemunduran advokasi. (Lebih jauh mengenai kegiatan-kegiatan advokasi yang
spesifik dapat ditemukan dalam Lampiran A).

58
BAB IX

EVALUASI KEGIATAN ADVOKASI


Evaluasi dapat membantu kelompok advokasi untuk menentukan apakah kegiatan telah berhasil
dilaksanakan dan apakah ada perubahan yang harus dibuat pada tujuan khusus, strategi, kegiatan,
dan pesan.

Evaluasi juga akan bisa mengukur efek advokasi (sebagai sebuah kegiatan penelitian atau untuk
mempengaruhi penyandang dana untuk menyediakan dana bagi kegiatan advokasi selanjutnya).
Namun, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Chapman (lihat Publikasi dan Situs Internet),
“realitas yang kacau balau dari proses advokasi mendapatkan tandingannya dalam upaya
menggambarkan, menilai, dan mengevaluasi”, sebuah tugas yang dia samakan dengan mengurai
jaring laba -laba sambil mengenakan sarung tinju.

Evaluasi dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu evaluasi proses dan evaluasi dampak.
Evaluasi proses bertujuan memonitor pelaksanaan proses evaluasi sedangkan evaluasi dampak
bertujuan untuk menilai dampak dan hasil dari kegiatan advokasi.
Evaluasi proses menggambarkan dan memonitor cara di mana kegiatan dilaksanakan. Ini
diperlukan untuk mengkaji strategi dan metode mana yang paling berhasil (dan seharusnya
diperluas) serta strategi dan metode mana yang paling tidak berhasil (dan seharusnya dikurangi
atau disesuaikan).
Evaluasi dampak mempunyai dua tujuan utama:
• pertama adalah menilai dampak program dan mengetahui dengan pasti sejauh mana
tujuan khusus telah dicapai.
• kedua, evaluasi ini mencoba menunjukkan bahwa perubahan apa pun yang diamati pada
populasi sasaran dapat dihubungkan dengan proses advokasi.

Chapman merekomendasikan bahwa evaluasi dampak advokasi dilaksanakan dengan mencoba


menemukan perubahan persepsi dari individu kunci sepanjang waktu (seperti petugas kepolisian
senior, pejabat Departemen Kesehatan, tokoh-tokoh masyarakat, para editor, para repoter);
menganalisis laporan dan ulasan media untuk memetakan perubahan pada diskusi publik
mengenai isu yang relevan; dan dengan secara kritis memikirkan laporan proses advokasi yang
ditulis oleh para pelaksana advokasi itu sendiri. Sebuah alat untuk menjajaki perubahan dalam
lingkungan kebijakan telah dirancang oleh Proyek POLICY: alat ini tidak khusus untuk
pendekatan efektif dalam menghadapi HIV/AIDS di kalangan IDU namun alat ini mungkin bisa
memberikan panduan untuk mereka yang tertarik pada evaluasi dampak (lihat Proyek POLICY:
Menjajaki Kenya dalam Publikasi dan Situs Internet ).

Metode lain untuk melaksanakan evaluasi dampak ialah mengulangi penilaian yang telah
digambarkan dalam Bab IV. Jika penilaian dilaksanakan pada interval yang teratur, perubahan
dapat digambarkan dalam perilaku berisiko IDU dan dalam banyak proses yang mempengaruhi
perilaku ini. Masalah utama dengan evaluasi semacam ini adalah menunjukkan dengan jelas

59
perubahan apa yang telah dihasilkan (atau lebih tepat lagi seberapa besar perubahan ini telah
dihasilkan) oleh kegiatan advokasi.

Untuk sebagian besar kelompok advokasi, lebih penting menggunakan evaluasi untuk memeriksa
kemajuan dan arah dari kegiatan advokasi. Advokasi ini harus dilaksanakan pada basis yang
teratur. Jenis evaluasi semacam ini dapat dilaksanakan secara informal pada pertemuan
kelompok advokasi atau secara lebih formal dengan menggunakan kuisener terstruktur dan/atau
FGD (lihat Sharam untuk beberapa contoh dalam Publikasi dan Situs Internet).

Sebagai contoh, pada waktu yang telah ditentukan (mungkin setiap enam bulan), kelompok ini
dapat menyediakan waktu beberapa jam untuk memikirkan mengenai tujuan dan strategi
kelompok ini. Beberapa hal yang perlu didiskusikan:
• Apakah tujuan masih sesuai? Apakah ada yang berlebihan? Apakah tujuan baru (atau sub-
tujuan) diperlukan?
• Apakah kegiatan yang sedang dilaksanakan terlihat akan mencapai tujuannya? Apakah
prioritas kegiatan harus diubah? Apakah ada kegiatan yang harus dihentikan (sehubungan
dengan ketidak efektifan atau karena kegiatan ini terlalu menghabiskan banyak waktu dan
sumberdaya?) Apakah kegiatan baru perlu ditambahkan?
• Dapatkah kelompok advokasi yang sedang berjalan ini mencapai semua kegiatan yang telah
didaftar? Apakah diperlukan anggota baru? Apakah diperlukan keahlian baru?
• Apakah cukup sumberdaya untuk melaksanakan semua kegiatan? Apakah cukup tersedia
dana untuk saat ini dan untuk sisa periode advokasi? Apakah diperlukan penggalian dana
lagi?
• Apakah ada perubahan pada sasaran advokasi? Apakah kelompok advokasi telah mengetahui
lebih banyak mengenai sasaran advokasi? Dapatkah peta kebijakan diperbaharui dengan
sasaran advokasi baru dan pengetahuan baru mengenai sasaran, sikap dan keyakinan mereka?
Apakah ada sasaran advokasi baru untuk diantisipasi?
• Apakah pesan yang diberikan menjangkau kelompok sasaran advokasi? Pesan mana yang
paling diterima oleh sasaran ? Media dan metode apa yang paling berhasil untuk sasaran
yang mana?
• Apakah data disajikan secara meyakinkan? Apakah data ini mudah dimengerti? Apakah ada
cara yang bisa digunakan untuk memperbaiki penyajian data?
• Bagaimana keadaan koalisi advokasi? Apakah anggota koalisi merasa dilibatkan dalam
proses advokasi? Apakah mereka merasa (paling tidak sebagian dari anggota koalisi)
bertanggung jawab untuk keberhasilan dan kegagalan advokasi? Apakah ada cara untuk
meningkatkan partisipasi anggota advokasi dalam kegiatan advokasi?
• Peluang-peluang apa yang ada untuk advokasi yang belum didiskusikan? Apakah kelompok
advokasi memberikan respon secara cepat dan sesuai pada peluang dan pada tantangan?
• Apakah ada kegiatan advokasi lain yang dilaksanakan (yang tidak berhubungan dengan
HIV/AIDS dan IDU) yang bisa dijadikan sumber pembelajaran oleh kelompok advokasi?
Apakah kegiatan advokasi ini telah mencapai keberhasilan? Apa yang bisa dipelajari dari
keberhasilan atau kegagalan mereka?

60
BAB X

DAFTAR SINGKATAN DAN DAFTAR KATA-KATA

A. DAFTAR SINGKATAN

IMS : Infeksi Menular Seksual


KIE : Komunikasi Informasi Edukasi
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
ODHA : Orang hidup dengan HIV/AIDS
Ornop : Organisasi non-pemerintah
IDU : Penyalahguna NAPZA suntikan (Injecting Drug User – IDU)
PS : Pekerja Seks
UNAIDS : United Nations Program on HIV/AIDS
UNGASS : UN General Assembly Special Session on HIV/AIDS
VCT : Voluntary testing and counseling (Konseling dan tes HIV sukarela)
WHO : World Health Organisation

B. DAFTAR KATA-KATA

Perlu dicatat bahwa penjelasan yang diberikan di bawah ini semata-mata untuk meningkatkan
pemahaman dan pemanfaatan penyalahgunaan terminologi dalam panduan ini. Penjelasan ini
bukan definisi resmi WHO.

Abstinensia ( bebas dari penyalahgunaan NAPZA)


Menahan diri dari penyalahgunaan NAPZA, baik karena hal-hal prinsip atau alasan-alasan lain.

AIDS
AIDS adalah singkatan dari: Acquired – tidak diturunkan; Immuno – berhubungan dengan sistem
kekebalan tubuh yang memberikan proteksi terhadap agen pembawa penyakit; Deficiency –
kekurangan respon kekebalan terhadap agen penyakit; Syndrome – sejumlah tanda dan gejala
yang menunjukkan suatu kondisi penyakit tertentu.

Buprenorfin
Obat yang digunakan sebagai pengganti untuk membantu penyalahguna opiat (misalnya, heroin)
untuk menstabilkan mereka dan mengalihkan penyuntikan atau metode yang berbahaya lainnya
menjadi cara yang biasa atau cara oral. Di Indonesia obat ini diberikan di bawah pengawasan
dokter atau psikiater yang telah mendapat pelatihan dan memiliki sertifikat. Pemberiaan
buprenorfin merupakan bagian dari suatu intervensi yang juga melibatkan konseling, perawatan
kesehatan dasar, perawatan HIV dan layanan-layanan lainnya. Penyuntikan burprenorfin juga
merupakan obat pilihan utama di antara para IDU di India, Pakistan, Bangladesh, dan Nepal.

61
Konseling
Merupakan proses komunikasi interpersonal di mana seseorang yang memiliki masalah atau
suatu kebutuhan dibantu untuk memahami situasinya dalam upaya untuk menentukan dan
menggunakan solusi yang dapat dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan atau mengatasi
masalah tersebut.

Budaya
Secara luas didefinisikan sebagai kebiasaan dan tingkah-laku dari sekelompok orang. Perbedaan
dalam budaya dikarenakan adanya perbedaan dalam ras, etnik, bahasa dan kebangsaan, juga
perbedaan dalam nilai-nilai bersama, norma-norma, tradisi, dan kebiasaan. Anak-anak jalanan
mungkin dapat dikatakan memiliki lebih dari satu budaya, misalnya budaya orangtua mereka dan
beberapa budaya remaja (diwakili oleh kelompok dengan siapa mereka bergaul, keyakinan-
keyakinan, dan kegiatan -kegiatan)

Ketergantungan NAPZA
Para pemakai yang tergantung pada NAPZA seringkali memiliki kontrol yang lemah dalam
memakainya dan terus menggunakannya meskipun terdapat masalah yang bermakna berkaitan
dengan NAPZA ini. Penyalahguna yang mengalami ketergantungan dapat menjadi toleran
terhadap zat tertentu dan dapat mengalami gejala putus zat (“sakau”) jika mereka tidak
menggunakan zat itu untuk waktu yang lama.

Detoksifikasi
Perawatan yang diberikan kepada seseorang yang mengalami ketergantungan selama periode
pengurangan atau penghentian obat yang menimbulkan ketergantungan tadi dengan tujuan untuk
menghentikan zat dengan aman dan efektif. Seorang penyalahguna NAPZA akan mengalami
masa transisi yang sulit ketika ia menghentikan suatu zat atau mengurangi jumlah zat yang
digunakan setelah pemakaian yang lama atau berlebihan.

Dosis
Jumlah suatu zat yang dikonsumsi seseorang dalam periode tertentu

Obat (drug)
Dalam pengobatan, istilah ini mengacu pada setiap zat yang berpotensi untuk mencegah atau
menyembuhkan penyakit atau potensi untuk meningkatkan kesehatan fisik dan mental. Dalam
farmakologi, istilah obat mengacu pada setiap bahan kimia yang merubah proses biokimia atau
fisiologi dari jaringan tubuh atau organisme. Dalam bahasa umum, istilah ini seringkali mengacu
pada obat-obatan terlarang (Narkotika, Psikotropika dan Zat adiktif lainnya), yang sering
digunakan untuk alasan non -medis (misalnya alasan rekreasional).

Jender
Ide dan pengharapan (norma) bersama yang luas mengenai perempuan dan laki-laki. Ini
termasuk karakter-karakter feminin dan maskulin yang khas, kemampuan, dan pengharapan-
pengharapan mengenai bagaimana perempuan dan laki-laki seharusnya bersikap dalam berbagai
situasi.

62
Penyalahgunaan zat berbahaya
Pola penyalahgunaan zat yang menyebabkan kerusakan pada kesehatan fisik dan mental
termasuk cedera akibat kecelakaan dan penganiayaaan, terinfeksi virus yang menular melalui
darah (seperti HIV, hepatitis B dan C) dan kondisi medis seperti abses/peradangan dan
overdosis. Penyuntikan NAPZA berbahaya terutama karena adanya risiko akan hepatitis, HIV
dan infeksi lain dari jarum yang terkontaminasi. Penyalahgunaan NAPZA yang dihisap asapnya
dapat mengakibatkan kelainan sistem pernapasan dan luka ba kar. Beberapa zat seperti bahan
bakar yang mengandung timah, benzena dan pasta koka dapat mengakibatkan rusaknya
kesehatan walaupun digunakan dalam jumlah yang sedikit.

HIV
Human Immuno-deficiency Virus menyerang sistem kekebalan dan secara pelahan-lahan
menghancurkannya. Tubuh tak dapat mempertahankan diri melawan infeksi dan mengakibatkan
suatu kondisi yang dikenal sebagai AIDS.

IDU (Injecting Drug User)


Seseorang yang menggunakan NAPZA dengan cara menyuntik. Dalam materi -materi ini, definisi
yang luas dari IDU digunakan untuk mencakup orang-orang yang telah melakukan penyuntikan
secara eksperimental atau melanjutkan penyuntikannya sekali-kali dan juga termasuk
penyalahguna NAPZA yang telah mengalami ketergantungan hebat yang dapat menyuntik
beberapa ka li dalam satu hari. Penasun (Pengguna NAPZA suntik) mungkin menyuntikkan obat-
obatan yang legal ataupun tidak, obat stimulansia (seperti amfetamin dan kokain), obat depresan
(seperti heroin dan benzodiazepines) atau obat-obatan lain seperti steroid. Mereka mungkin
menyuntik secara intramuskuler (melalui otot) atau secara intravena (melalui vena/pembuluh
darah).

Intoksikasi
Keadaan di bawah pengaruh satu atau lebih zat. Terdapat perubahan pada kewaspadaan,
keterjagaan, pemikiran, persepsi, pengambilan keputusan, kontrol emosi atau tingkah laku
seseorang. Manifestasi khusus dari perubahan tersebut tergantung pada sifat dasar zat yang
dikonsumsinya.

Intervensi
Dalam materi ini, sebuah intervensi didefinisikan sebagai sebuah aksi atau kegiatan yang
membantu dalam pencegahan, modifikasi, atau terapi/perawatan masalah yang berkaitan dengan
penyalahgunaan NAPZA dan masalah kesehatan lain.

Keterampilan Hidup (Life skills)


Kemampuan yang memungkinkan individu-individu mengatasi tuntutan dan tantangan
kehidupan sehari-hari. Ini termasuk pengambilan keputusan, pemecahan masalah, pemikiran
kreatif, komunikasi yang efektif, hubungan interpersonal, kesadaran akan diri sendiri,
meningkatkan harga diri, empati, menguasai emosi dan mengatasi stress.

Metadone
Obat yang dig unakan sebagai pengganti (substitusi) untuk membantu penyalahguna opiat
(misalnya, heroin) untuk menstabilkan penyalahgunaan NAPZA mereka dan mengalihkan

63
penyuntikan atau metode penyalahgunaan NAPZA yang berbahaya lainnya menjadi ke cara oral.
Obat ini diberikan di bawah pengawasan dan sebagai bagian dari suatu intervensi yang
melibatkan konseling, perawatan kesehatan dasar, perawatan HIV dan layanan lainnya.

Program Jarum Suntik Steril


Sebuah intervensi di mana jarum suntik dan peralatan suntik lain (sepe rti kapas beralkohol untuk
membersihkan lokasi penyuntikan, dan air yang digunakan untuk mencampur bubuk heroin)
diberikan kepada IDU melalui penjangkauan, klinik atau pos-pos khusus, unit-unit bergerak
seperti mobil van dan bis, dan atau mesin penjualan. Kebanyakan program jarum suntik steril
termasuk layanan untuk mengumpulkan jarum suntik bekas. Dalam beberapa program, IDU
harus memberikan atau didorong untuk memberikan jarum suntik bekas sebelum mereka bisa
mendapatkan jarum suntik baru: program ini dis ebut program pertukaran jarum suntik (perjasun).

Overdosis
Penyalahgunaan NAPZA, baik secara sengaja maupun tidak sengaja dalam jumlah yang lebih
banyak dari yang biasa digunakan oleh seseorang. Ini mengakibatkan dampak fisik atau mental
yang merugikan secara akut, dan mungkin mengandung konsekuensi jangka pendek atau jangka
panjang. Overdosis bisa mengarah pada kematian. Jumlah NAPZA yang dapat mengakibatkan
kematian berbeda-beda pada setiap individu.

Pendidikan sebaya
Para IDU, para mantan penyalahguna NAPZA atau orang-orang yang dekat dengan komunitas
yang menggunakan NAPZA dilatih untuk melaksanakan kegiatan edukasi informal atau
mengadakan kegiatan edukasi mengenai berbagai topik yang berkaitan dengan kesehatan para
IDU (dalam kelompok kecil atau individual).

Kelompok sebaya
Orang-orang yang sama dengan ‘dirinya sendiri’. Kelompok sebaya untuk seorang IDU biasanya
adalah para IDU lain dengan usia yang hampir sama dan tinggal di lingkungan yang sama.
Masing-masing kelompok sebaya memiliki peraturan sendiri yang tidak tertulis mengenai cara
NAPZA digunakan dan mengenai perilaku yang diterima dan tidak diterima. Perilaku yang biasa
dan diterima disebut sebagai “norma”.

Program
Kegiatan spesifik atau bertahap yang direncanakan, dan dimulai dengan menentukan tujuan yang
menguntungkan IDU dengan suatu cara tertentu.

Kekambuhan (Relapse )
Kembali menggunakan NAPZA atau minum minuman beralkohol lain setelah suatu periode
abstinensia di luar periode detoksifikasi. Seringkali disertai dengan kembali ke tingkat
penyalahgunaan NAPZA dan ketergantungan yang telah ada sebelumnya

64
Pekerja seks
Seseorang yang melayani seks dengan uang, NAPZA atau komoditas lain. Pekerja seks bisa laki-
laki atau perempuan atau transjender/waria.

Anak jalanan
Anak jalanan bisa berarti benar-benar hidup di jalanan , ditinggal oleh keluarga mereka atau
mereka tidak lagi mempunyai keluarga yang masih hidup; terpisah dari keluarga mereka dan
pindah dari teman ke teman atau hidup di tempat perlindungan, seperti gedung -gedung yang
telah ditinggalkan, hostel-hostel, dan tempat lain; masih berhubungan dengan keluarga mereka
namun menghabiskan sebagian besar waktu di jalanan karena masalah kemiskinan, kepadatan,
atau kekerasan fisik atau seksual di rumah.

Zat
Produk yang mempengaruhi sistem saraf pusat (psikoaktif) seperti proses pikir, perasaan, emosi
serta sikap dan perilaku. Suatu zat dapat berupa obat seperti morfin, benzodiazepin atau produk
industrial seperti lem. Beberapa zat adalah legal, seperti obat-obatan yang telah diakui dan rokok,
dan yang lainnya ilegal, seperti heroin dan kokain.

Putus zat
Masalah -masalah yang dialami oleh seseorang pada penghentian atau pengurangan jumlah
penyalahgunaan suatu jenis NAPZA setelah suatu periode penyalahgunaan yang panjang atau
berlebihan, seperti depresi, gemetaran, berkeringat, kejang, rasa sakit dan lain -lain. Zat-zat yang
berbeda mempunyai manifestasi spesifik.

65
BAB XI

PUBLIKASI DAN SITUS INTERNET

AFAO/NAPWA (Australian Federation of AIDS Organizations/ National Association of People


Living with HIV/AIDS in Australia) Advocacy Guide to the Asia-Pacific Ministerial Statement
on HIV/AIDS Sydney 2002. Web site:
http://www.ahrn.net/AdvocacyGuideMinisterial.pdf

AIDSCAP Policy and advocacy in HIV/AIDS Prevention Behaviour Change Communications


(BCC) Handbook. Tidak ada tanggal. Web site:
http://www.fhi.org/en/aids/aidscap/aidspubs/handbooks/bccpol.pdf

AIDSCAP Making prevention work: Global lessons learned from the AIDS Control and
Prevention (AIDSCAP) Project 1991 -1997. Chapter 4: Policy development and HIV/AIDS
prevention: creating a supportive environment for behaviour change. 1998 Web site:
http://www.fhi.org/en/aids/aidscap/aidspubs/special/lessons/chap4.html

Ball A and Crofts N. HIV risk reduction in injecting drug users. In: Lamptey PR and Gayle H
(Eds) HIV/AIDS Prevention and Care in Resource-Constrained Settings. Arlington, Virginia:
Family Health International 2002

Ball A. Policies and interventions to stem HIV-1 epidemics associated with injecting drug use. In
GV Stimson, DC Des Jarlais and A Ball (Eds) Drug Injecting and HIV Infection: Global
Dimensions and Local Responses UCL Press. London 1998

Burrows D and Alexander G. Walking on two legs: a developmental and emergency response to
HIV/AIDS among young drug users in the CEE/CIS/Baltics and Central Asia Region: A review
paper UNICEF. Geneva 2000

Burrows D, Dorabjee J and Wodak A. Advocacy for harm reduction: objectives, strategies and
activities. In: Proceedings of Global Research Network on HIV/AIDS and Drug Use Durban
Meeting July 2000. National Institute on Drug Abuse. Washington, DC 2001. Juga diterbitkan
dalam bahasa Spanyol sebagai: Burrows D, Dorabjee J and Wodak A. Herramientas para abogar
por los derechos de los usuarios de drogas en relacion con la epidemia de VIH/SIDA. Ensayos y
Experiencas No. 39 July/August 2001

Burrows D. Starting and Managing Needle and Syringe Programmes: A guide for Central and
Eastern Europe and the newly independent states of the former Soviet Union Open Society
Institute, International Harm Reduction Development (OSI/IHRD) NY 2000. Dari OSI/IHRD
400 West 59th St, New York NY 10019 USA. Dalam bahasa Inggris, Rusia, dan Slovakia.
Web site:http://www.soros.org/harm-reduction/

66
Canadian HIV/AIDS Legal Network. Berbagai macam publikasi termasuk mengenai HIV/AIDS
dan IDU, stigma dan diskriminasi, hukum kriminal, penjara, pekerja seks komersil, gay dan
lesbian, isu-isu yang berhubungan dengan pekerjaan untuk para petugas kesehatan. Web site:
http://www.aidslaw.ca/Maincontent/infosheets.htm

Chapman S. Advocacy in public health: roles and challenges International Journal of


Epidemiology 2001: 30: 1226-1232. Web site:
http://www.health.usyd.edu.au/tobacco/worddocs/IJE.pdf

Commission on Narcotic Drugs Resolution on HIV/AIDS and Drug Abuse 45th Session, 11-15
March 2002. Vienna. Web site (termasuk saluran ke Statement and pidato-pidato yang
berhubungan): http://ahrn.net/drugcontrol.html

Costigan G, Crofts N and Reid G. Manual for reducing drug-related harm in Asia. The Centre
for Harm Reduction, Macfarlane Burnet Centre for Medical Research and Asian Harm
Reduction Network, Melbourne/ Chiang Mai 1999. Dalam bahasa Inggris, Vietnam, Thailand,
dan Mandarin (dengan edisi-edisi baru dalam bahasa-bahasa di Asia lainnya segera). Tersedia
dari Asian Harm Reduction Network, PO Box 235 Phrasingha Post Office, Chiang Mai, Thailand
50200. Web site: http://www.ahrn.net/

Derricot J, Preston A and Hunt N. The Safer Injecting Briefing. HIT Liverpool 1999. Hanya
dalam bahasa Inggris. Tersedia langsung dari HIT Cavern Walks, Mathew Street, Liverpool L2
6RE juga dalam Web sitehttp://www.drugtext.org/books/needle/

Global Network of People Living with HIV/AIDS. Jaringan orang yang hidup dengan
HIV/AIDS dan sumber-sumber yang berhubungan dengan keterlibatan ODHA dalam advokasi
dan program-program. Web site:http://www.gnpplus.net/

International AIDS Economics Network. Focuses on the economics of HIV/AIDS prevention


and treatment, providing data, tools, and analysis for researchers and policymakers. Web site:
http://www.iaen.org/

ICASO (International Council of AIDS Service Organizations) Advocacy Guide to the


Declaration of Commitment on HIV/AIDS Toronto 2001. Juga tersedia dalam bahasa Perancis
dan Spanyol. Web site:http://www.icaso.org/ungass/advocacyeng.pdf

ICASO (International Council of AIDS Service Organizations) An Advocate’s Guide to the


International Guidelines on HIV/AIDS and Human Rights Toronto 1999. Juga tersedia dalam
bahasa Perancis dan Spanyol. Web site:http://www.icaso.org/docs/AdvocatesGuide -English.pdf

International HIV/AIDS Alliance Advocacy in Action: A toolkit to support NGOs and CBOs
responding to HIV/AIDS Brighton 2001 Web site (19 dokumen yang terpisah):
http://www.aidsmap.com/web/pb4/eng/4782D096-C740-41A5-AF06-D67C14B46DB8.htm

67
Johns Hopkins Centre for Communications Programs “A” frame for Advocacy. Kumpulan yang
terdiri dari sembilan halaman web yang memberikan gamba ran singkat langkah -langkah dalam
advokasi untuk kesehatan masyarakat. Tidak ada tanggal. Diakses pada tanggal 7 May 2002.
Indeks dan pengenalan: http://www.jhuccp.org/pr/advocacy/index.stm

KIT Health UNAIDS Catalogue for Local Responses to HIV/AIDS Amsterdam. Web site:
www.kit.nl/health/html/aids_.asp

London School of Hygiene and Tropical Medicine HIV Tools Research Group: costing
guidelines, cost effectiveness studies and mathematical simulation models. Web site:
http://www.hivtools.lshtm.ac.uk/

Pact Survival is the First Freedom: Applying Democracy and Governance Approaches to
HIV/AIDS work Washington, DC 2001 Web site:
http://www.pactworld.org/Aidscorps/tool_kit.htm

POLICY Project Assessing the HIV/AIDS Policy Environment in Kenya Washington DC 2000.
Web site: http://www.policyproject.com/byTopic.cfm?topic=HIV

Choose Assessing the HIV/AIDS Policy Environment in Kenya POLICY Project HIV/AIDS
Toolkit: Building Political Commitment for Effective HIV/AIDS Policies and Programs
Washington DC 2000. Web site:
http://www.policyproject.com/byTopic.cfm?topic=HIV

Choose HIV/AIDS Toolkit: Building Political Commitment POLICY Project Networking for
Policy Change: an advocacy training manual Washington DC 1999. Web site:
http://www.policyproject.com/pubs/AdvocacyManual.cfm

Preston A. Methadone Briefing HIT Liverpool 1997. Tersedia langsung dari HIT Cavern Walks,
Mathew Street, Liverpool L2 6RE. Web site:
http://www.drugtext.org/books/methadone/ default.htm

Sharma RR. An Introduction to Advocacy: Training Guide . Support for Analysis and Research in
Africa, USAID Africa Bureau Office of Sustainable Development. Washington DC 1997. Juga
dalam bahasa Spanyol dan Perancis. Web site:http://sara.aed.org/sara_pubs_list_sara_5.htm

Stimson G, Fitch C and Rhodes T (Eds). Rapid Assessment and Response Guide on Injecting
Drug Use.World Health Organization/UNAIDS Geneva 1997. From WHO/ UNAIDS, 20 avenue
Appia, CH-1211 Geneva 27, Switzerland. Tersedia dalam bahasa Inggris dan Rusia. Web site:
http://www.who.int/home/

United Nations preventing the transmission of HIV among drug abusers: A position paper of the
UnitedNations System. Annex to the Report of 8th Session of Administrative Committee on Co-
ordination Subcommittee on Drug Control 28-29 September 2000 Web site:
http://www.unaids.org/publications/documents/specific/injecting/Hraids.doc

68
United Nations ACC Guidance Note for United Nations System Activ ities to Counter the World
DrugProblem Administrative Committee on Co-ordination. Geneva 2001. Web site:
http://www.ahrn.net/Final-Guidance-Note -layed-out2.pdf

United Nations General Assembly Special Session on HIV/AIDS Declaration of Commitment


(dalam bahasa Inggris, Perancis, Rusia, and Spanyol). Web site:
http://www.unaids.org/UNGASS/index.html

UNAIDS/UNDCP Drug use and HIV Vulnerability: Policies in Seven Asian Countries UNAIDS
APICT. Bangkok 2001. Web site:
http://unaids.org/publications/documents/health/access/Drug.pdf

UNAIDS Drug use and HIV/AIDS UNAIDS Statement presented at the UN General Assembly
Special Session on Drugs June 1998 Geneva. Juga dalam bahasa Spanyol, Perancis, dan Rusia.
Web site:
http ://www.unaids.org/publications/documents/specific/injecting/una99e1.pdf

UNAIDS Best Practice Collection: Injecting Drug Users (5 papers covering cost-effectiveness,
Asia region, China, Nepal, and Southern Cone of Latin America) Geneva Web site:
http://www.unaids.org/bestpractice/digest/table.html#inj

UNAIDS/ODCCP Drug Abuse and HIV/AIDS: Lessons Learned Case studies Booklet: Central
andEastern Europe and the Central Asian States 2001 Web site:
http://www.unaids.org/publications/documents/specific/injecting/JC673-DrugAbuse-E.pdf

UNAIDS Best Practice Collection Six best practice studies on HIV/AIDS and injecting drug use
in China, Bangladesh, Nepal, Belarus, Southern Cone countries (Latin America), Asia. Web site:
http://www.unaids.org/bestpractice/digest/table.html#inj

UNDP HIV/AIDS: Implications for Poverty Reduction Background Paper prepared for UNDP for
UN General Assembly Special Session on HIV/AIDS 25-27 June 2001. Web site:
http://www.undp.org/dpa/frontpagearchive/2001/june/22june01/hiv-aids.pdf

UNFPA Advocacy Series Collection. Web site: http://www.unfpa.org/publications/advocacy.htm


Includes: Preventing Infection, Promoting Reproductive Health UNFPA Response to HIV/AIDS

WHO (World Health Organization) The Ottawa Charter on Health Promotion Geneva. 1986
Web site: http://www.who.int/hpr/archive/docs/ottawa.html

WHO (World Health Organization)/ UNAIDS The Rapid Assessment and Response Guide on
Injecting Drug Use (RAR-IDU) Eds Stimson, G. V., Fitch, C. and Rhodes, T. Geneva. 1997
(Juga dalam bahasa Portugis, Spanyol, Rusia). Web site:
http://www.who.int/substance_abuse/pubs_prevention_assessment.htm

69
WHO (World Health Organization) Working with Street Children: Introduction A training
Package on Substance Use, Sexual and Reproductive Health, including HIV/AIDS and STIs.
Geneva WHO/MSD/MSP/00.14

WHO (World Health Organization) Evidence for Action on HIV Prevention among IDUs 12
papers. Dalam persiapan

JARINGAN-JARINGAN HARM REDUCTION

International Harm Reduction Association


Jaringan global, termasuk hubungan ke jaringan-jaringan harm reduction regional dan
International Conference on the Reduction of Drug Related Harm http://www.ihra.net/

Asian Harm Reduction Network http://www.ahrn.net/

Canadian Harm Reduction Network http://www.canadianharmreduction.com/

Central and Eastern European Harm Reduction Network (dalam bahasa Inggris dan Rusia)
http://www.voxpopuli.lt/ceehrn.org/

Harm Reduction Coalition (USA) http://www.harmreduction.org/

Latin American Harm Reduction Network (Spanyol dan Portugis) http://www.relard.net/

Oceania Harm Reduction Coalition (Australasia/ Pacific) http://www.chr.asn.au/

70

Anda mungkin juga menyukai