Anda di halaman 1dari 2

Di Indonesia ada UU hukum lama yang masih berlaku sampai sekarang, maka harus

tetap diterapkan. Akan tetapi, hukum tersebut jangan sampai kaku dan ha berlaku juga
kepada konstitusi, sehingga harus diterapkan moral reading of the constitution. Dengan
demikian, berkaitan dengan keadaan pada masa sekarang, terdapat dua keadaan yaitu darurat
dan normal, dimana terdapat perbedaan penerapan hukum terhadap dua keadaan tersebut.
Hukum darurat tidak bisa diterapkan dalam keadaan normal dan sebaliknya hukum normal
tidak bisa diterapkan dalam keadaan darurat. Perundang-undangan umumnya dibuat
menggunakan pandangan keadaan normal, sehingga keadaan darurat cenderung tidak
dianggap serius oleh pemerintah. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., M.H bercerita ketika
beliau masih menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (“MK”) pernah menangani
judicial review yang diajukan oleh seorang dokter mantan napi korupsi dalam peristiwa
kerusuhan sosial di Ambon. Dokter tersebut bekerja dengan hati yang baik dengan
memberikan obat kepada pasien, akan tetapi karena keadaan yang darurat membuat ia
kewalahan dan alhasil laporan administrasi anggaran tidak sesuai. Dengan demikian, dokter
tersebut masih diadili karena hakim, jaksa, dan polisi masih menerapkan hukum normal
dalam keadaan darurat. Peristiwa tersebut banyak terjadi dan menciptakan ketidakadilan di
Indonesia, sebab negara ini banyak mengalami ancaman keadaan darurat yang selama sejak
masa orde baru belum pernah diterapkan, seperti saat peristiwa tsunami aceh, likuifasi palu,
dan kebakaran hutan karhutla. 
   
Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden
berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang”. 

Sehingga perpu dapat dibedakan dua macam, yaitu perpu darurat dan biasa. Perpu
darurat diterapkan ketika keadaan mengancam kehidupan bangsa dan negara serta
berbahaya (martial law, etat de siege), sehingga perpu darurat biasanya hanya berlangsung
hanya tiga sampai 6 bulan. Dengan dihadapkannya pada kondisi yang mendesak, maka tidak
ada kesempatan untuk mengajukan kepada parlemen dan hanya berlaku sementara saja.
Sehingga perpu darurat diperbolehkan untuk mengabaikan atau melanggar sistem demokrasi,
prinsip kerakyatan, konstitusi serta hak asasi manusia. Contoh keadaan sekarang yang sedang
terancam akibat virus COVID-19. Keadaan darurat di Indonesia dibedakan menjadi tiga,
yaitu darurat sipil, militer dan perang. Dalam UU No. 23 Tahun 1959 dijelaskan yang
pertama, bahwa keamanan dan ketertiban hukum di seluruh atau sebagian wilayah Indonesia
terancam oleh pemberontakan, kerusuhan atau bencana alam sehingga tidak dapat diatasi oleh
alat-alat perlengkapan secara biasa. Kedua, timbul perang atau bahaya perang atau
dikhawatirkan perkosaan wilayah Indonesia dengan cara apapun. Ketiga, hidup negara berada
dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada
gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup negara. Dengan demikian, parlemen
mempunyai peran penting untuk membatasi keadaan darurat melalui berbagai keterlibatan
agar tidak terjadi penyelewengan kekuasaan. Disamping perpu darurat, terdapat perpu biasa
yang berupa peraturan sementara namun berlaku permanen, sehingga terdapat waktu yang
cukup untuk mengajukan perpu biasa kepada parlemen dan dapat dibatalkan jika tidak sesuai
dengan kebutuhan suatu kondisi. Karena itu, perpu biasa tidak bisa melanggar konstitusi dan
hak asasi manusia. Dengan demikian, suatu keadaan yang terjadi di suatu negara harus dilihat
secara konkrit agar bisa dibedakan apakah keadaan tersebut masuk ke dalam perpu darurat
atau perpu biasa, rincian suatu keadaan bisa melalui compelling needs dan limited time
constraints. 
Dalam kondisi keadaan darurat, pemerintah cenderung kurang bersinergi terhadap keputusan
yang harus segera diterapkan dalam keadaan genting, maka menurut Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie, S.H., M.H terdapat 4 instrumen hukum yg harus diterbitkan, yaitu pertama,
keputusan presiden yg memberlakukan keadaan darurat darurat. Kedua, perpu pertama yang
mengatur kebijakan khusus untuk semua aspek, seperti peraturan tentang rumah ibadah.
Ketiga, perpu kedua yang menggantikan UU keadaan bahaya tahun 1959 dan perpu ini
berlaku untuk seterusnya serta memperbaiki juga mengganti perpu yang sudah ketinggalan
zaman, seperti peraturan yang berisi bahwa MPR sebagai tempat pertanggung jawaban, tapi
DPR dan pengadilan dapat berhenti bekerja. Keempat, Inpres yang menjabarkan langkah-
langkah operasional dari pusat sampai ke daerah agar pejabat hukum dapat apa yang haru
dikerjakan di masing-masing tempat.

Anda mungkin juga menyukai