Anda di halaman 1dari 17

Berikut adalah hal-hal yang perlu diperhatikan ketika umat islam akan memulai usaha.

1. Meluruskan Niat
Niat adalah awal dari segala hal. Niat yang baik akan membuatkan hasil yang baik. Niat yang
buruk maka hasilnya pun pasti akan buruk. Untuk itu, dalam islam niat adalah awal dari
segala aktivitas. Termasuk dalam ibadah pun niat adalah yang mengawalinya.
Untuk itu, ketika akan memulai usaha maka luruskanlah dulu niat yang kita miliki juga sesuai
dengan Prinsip-prinsip Ekonomi Islam dan Tujuan Ekonomi Islam.. Niat usaha sebaiknya
karena memang ingin mendapatkan rezeki yang halal dan jauh dari dana yang haram atau
proses yang haram. Niat karena Allah, mencari rezeki yang halal, dan memberikan manfaat
yang banyak adalah hal yang harus dimiliki oleh umat muslim ketika akan memulai sebuah
usaha.
2. Membulatkan Tekad
Kebulatan tekad adalah benar-benar menguatkan diri atas niat yang dimiliki. Niat saja tidak
cukup, maka butuh tekad untuk bisa memulai dan bergerak. Dengan adanya tekad yang kuat
maka segala tantangan dan hambatan apapun akan diterjang. Tekad dalam sebuah usaha tentu
berusaha untuk dapat menghasilkan keuntungan yang halal namun tidak meninggalkan
prinsip-prinsip islam di dalamnya. Untuk itulah, kebulatan tekad sangat dibutuhkan dalam
memulai usaha. Selain itu, tekad juga harus sesuai dengan Transaksi Ekonomi dalam
Islam, Ekonomi Dalam Islam, dan Hukum Ekonomi Syariah Menurut Islam.

3. Mencari Produk atau Usaha yang Jelas Kehalalalannya


Untuk memulai sebuah usaha menurut islam juga dibutuhkan pengetahuan tentang halal
haramnya suatu usaha dan produk atau layanan yang akan dijual. Usaha yang halal tentu
berasal dari jasa atau produk yang hendak di jual apakah sesuai dengan islam atau
tidak.Produk yang halal tentu saja jauh dari makanan yang diharamkan islam seperti babi,
atau hewan haram lainnnya, minuman yang berakohol, narkoba dan juga jasa yang
mendekatkan judi atau usaha yang sangat spekulasi, dan riba.Macam-macam Riba, Hak dan
Kewajiban dalam Islam, Fiqih Muamalah Jual Beli, dan Jual Beli Kredit Dalam Islam juga
perlu diketahui oleh umat islam agar sesuai dengan prinsip kehalalan dan syariah islam.
4. Mencari Partner yang Satu Visi
Dalam memulai usaha hendaknya juga memiliki partner yang dapat sesuai dengan visi atau
tujuan yang kita capai. Usaha terkadang bisa gagal karena partner yang kurang sesuai dengan
kebutuhan usaha. Untuk itu, partner yang memiliki tujuan yang sama adalah hal yang harus
dipersiapkan dan dicari sejak akan memulai sebuah usaha. Diskusi dan membangun
kesepakatan adalah hal penting yang harus dilakukan.Visi ini tentu saja tidak boleh
bertentangan dengan Tujuan Penciptaan Manusia, Proses Penciptaan Manusia , Hakikat
Penciptaan Manusia , Konsep Manusia dalam Islam, dan Hakikat Manusia Menurut
Islam sesuai dengan fungsi agama .

5. Menentukan Strategi yang Tepat


Ketika memulai usaha, tentukan pula strategi yang tepat. Dalam islam tentu saja strategi ini
harus dibuat dengan cara yang fair dan tidak merusak kepentingan orang lain. Kompetisi
yang sehat juga harus dilakukan oleh seorang muslim, bukan justru menjatuhkan dan mencari
jalan jalan yang licik dalam kompetisi suatu usaha.
Adapun larangan-larangan berbisnis dalam Islam tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kesamaran (Jahalah)

Kesamaran atau ketidakjelasan (jahalah) merupakan salah satu bentuk larangan yang harus
dihindari dalam berusaha, terlebih lagi dalam urusan berbisnis. Dalam percakapan umum,
istilah jahalah semakna dengan ungkapan “tidak transparan” atau “membeli kucing dalam
karung”, yang mengisyaratkan tentang perlunya transparansi dalam melakukan segala bentuk
transasksi mu’amalah.

Dalam praktek jual beli misalnya, orang yang terbebas dari unsur jahalah adalah orang yang
melakukan transaksi jual beli dengan transparan dan akuntable, baik menyangkut jenis
barang, jumlah atau ukuran, kehalalan dan keharamannya, masa kadaluarsa dan lain
sebagainya, sehingga dalam praktek bisnis yang dijalankannya tidak ada pihak yang merasa
tertipu dan dirugikan.

Dalam banyak hadis, Rasulullah saw menjelaskan tentang pentingnya persoalan ini, antara
lain dalam hadis berikut:

‫ض َر ِة َو ْال ُمالَ َم َس ِة َو ْال ُمنَابَ>> َذ ِة‬


َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ع َِن ْال ُم َحاقَلَ ِة َو ْال ُمخَا‬
َ ِ‫ض َى هللاُ َع ْنهُ أَنَّهُ قَا َل نَهَى َرسُوْ ُل هللا‬ ِ ‫ع َْن أَن‬
ٍ ِ‫َس ْب ِن َمال‬
ِ ‫ك َر‬

ْ
‫وال ُمزَ ابَنَ ِة – رواه البخارى‬

“Dari Anas bin Malik r.a. ia berkata: Rasulullah saw melarang jual beli muhaqalah (yaitu;
jual beli buah yang masih di atas pohonnya),dan muhadharah (jual beli buah yang belum
matang/masih hijau dan belum jelas kualitasnya), jual beli raba (yaitu; jual beli dengan
tidak mengetahui ukuran, jenis dan kualitas barang), jual beli lempar dan jual beli
muzabanah”.  (HR. Al-Bukhari)

Esensi yang terkandung dalam hadis tersebut terkait dengan berbagai bentuk usaha yang
dijalankan secara tidak transparan dan penuh dengan ketidakpastian. Tentu saja praktek-
praktek bisnis atau berusaha semacam itu tidak hanya terjadi pada kurun waktu tertentu saja,
namun hal tersebut dapat ditemukan di setiap kurun dan generasi. Salah satu jenis praktek
jual beli yang banyak terjadi di tengah masyarakat dewasa ini dan memiliki banyak kesamaan
dengan praktek jual beli terlarang sebagaimana dijelaskan dalam hadis di atas adalah jual beli
dengan sistem ijon.

Jual beli ijon yang dimaksudkan di sini adalah jual-beli buah-buahan (seperti padi dan
lainnya) yang masih hijau atau masih di atas pohonnya. Prakteknya, seorang pembeli
membayar padi atau buah-buahan yang masih di atas pohonnya tersebut secara kontan jauh
sebelum musim panen tiba, tanpa mengetahui secara pasti kuantitas dan kualitas barang yang
akan didapatkannya nanti. Praktek jual beli seperti ini tentu akan membuka peluang
terjadinya kerugian yang bisa menimpa salah satu dari kedua belah pihak yang bertransaksi.
Praktek jual beli semacam ini bisa terjadi karena masing-masing pihak baik penjual maupun
pembeli memiliki strategi dan tujuan tertentu. Bagi pihak penjual (buah yang masih di atas
pohon) mau melepas dengan harga tertentu karena ia memprediksi bahwa volume barang
sesuai dengan harga yang ditetapkan atau bahkan keuntungan yang akan didapatkan jauh
melebihi volume barang yang dijualnya. Sedangkan pihak pembeli rela membeli dengan
harga tertentu, karena ia memprediksi bahwa barang yang akan didapatkan di musim panen
nanti melebihi harga yang telah ditentukan jauh sebelumnya. Maka jika prediksi yang telah
mendorong kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli ternyata tidak sesuai
dengan kenyataan, niscaya akan melahirkan kekecewaan (gelo) dan bahkan penyesalan yang
sangat mendalam atau bahkan terjadi percekcokan di antara kedua belah pihak.

Oleh sebab itu, dalam hadis lain Nabi saw. ditegaskan;

ٍ ‫الس>نَتَ ْي ِن فَقَ>ا َل َم ْن أَ ْس>لَفَ فِى تَ ْم‬


‫>ر‬ َّ ‫الس>نَةَ َو‬ ِ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ْال َم ِد ْينَةَ َوهُ ْم ي ُْس>لِفُوْ نَ فِى الثِّ َم‬
َّ ‫>ار‬ َ ‫ قَ ِد َم النَّبِ ُّي‬:‫س قَا َل‬
ٍ ‫ع َِن ا ْب ِن َعبَّا‬

‫ف فِى َك ْي ٍل َم ْعلُوْ ٍم َو َو ْز ٍن َم ْعلُوْ ٍم إِلَى أَ َج ٍل َم ْعلُوْ ٍم – رواه مسلم‬


ْ ِ‫فَ ْليُ ْسل‬

“Dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata: Nabi saw datang ke Madinah, sementara mereka sudah
biasa melaksanakan akad salam terhadap buah-buahan untuk waktu satu tahun dan dua
tahun. Beliau bersabda: Barangsiapa melakukan akad salam, hendaklah dilakukan dengan
takaran tertentu, timbangan tertentu dalam jangka waktu tertentu”. (HR. Muslim)

Contoh lain dari praktek jual beli yang memiliki unsur kesamaran (jahalah) ini adalah; jual
beli ikan yang masih dalam kolam. Praktek semacam ini juga sarat dengan unsur manipulasi
dan ketidakpastian yang berakibat pada kerugian salah satu pihak. Praktek semacam ini
banyak terjadi di berbagai tempat, dimana seorang menjual ikan yang masih di dalam tambak
atau dalam kolamnya dengan harga tertentu, sesuai dengan perkiraannya terhadap jumlah
ikan yang terdapat dalam kolam atau tambaknya.

Padahal bagi seseorang yang menyaksikan ikan yang masih dalam kolam, ia dapat saja
melihat yang sedikit seolah terlihat banyak, atau ikan yang masih kecil terlihat besar dan
sebagainya. Faktor-faktor semacam ini dapat menyebabkan seseorang membuat keputusan
yang tidak tepat dan berahir dengan kerugian dan penyesalan.

2. Perjudian (Maisir)

Salah satu motivasi seseorang melakukan praktek perjudian adalah untuk mendapatkan
penghasilan sekalipun dengan cara yang diharamkan. Dalam perkembangannya, praktek
perjudian (maisir) tidak lagi sekedar praktek penyimpangan yang berdiri sendiri dan tidak
terkait dengan aspek mu’amalah lainnya. Namun saat ini praktek perjudian (maisir) justru
dapat dijumpai dalam beberapa bentuk mu’amalah seperti jual-beli dan lainnya.

Salah satu contoh praktek jual beli yang mengandung unsur maisir (perjudian) adalah; jual
beli minuman botol (seperti; sprite/coca cola dan lainnya) dengan cara (media) gelang yang
terbuat dari plastik atau rotan, untuk disewakan atau dijual dengan harga tertentu. Lalu
gelang-gelang tersebut dilemparkan ke arah botol-botol minuman yang dijajakan secara
berbaris. Jika gelang tersebut masuk (melingkari) botol, maka minuman tersebut menjadi hak
pembeli, tetapi jika tidak ada yang masuk maka pembeli tidak mendapatkan apa-apa
sekalipun gelang yang dibeli jauh melampui harga minuman yang disediakan. Praktek
semacam ini banyak ditemukan di pasar-pasar tradisional hingga mal-mal besar dengan
teknis yang beraneka ragam.

Sebagaimana perjudian (maisir) pada umumnya, orang yang sudah terlanjur mengeluarkan
uang untuk mendapatkan sesuatu barang, ia akan semakin terobsesi untuk mendapatkan
barang yang menjadi targetnya. Jika ia belum berhasil, ia akan semakin penasaran hingga
barang yang diincar bisa didapatkan, sekalipun ia harus mengeluarkan biaya yang banyak
bahkan melebihi harga barang yang menjadi targetnya. Begitu pula jika dengan kelihaiannya
ia berhasil mendapatkan suatu barang, maka ia akan terobsesi untuk mendapatkan barang
yang lebih banyak dengan biaya yang relatif sedikit.

Keharaman segala bentuk perjudian (maisir) ini banyak dijelaskan dalam ayat al-Qur’an
maupun hadis Nabi SAW., antara lain:

90 :‫ – المائدة‬. َ‫صابُ واألَ ْزالَ ُم ِرجْ سٌ ِم ْن َع َم ِل ال َّش ْيطَا ِن فَاجْ تَنِبُوْ هُ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُوْ ن‬
َ ‫يَآيُّهَاالَّ ِذ ْينَ آ َمنُوْ ا إِنَّ َما ْال َخ ْم ُر َو ْال َم ْي ِس ُر واألَ ْن‬

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras (khamar), berjudi


(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntunga”. (QS. al-Ma’idah: 90)

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم نَهَى ع َْن ْال َخ ْم ِر َو ْال َم ْي ِس ِر َو ْال ُكوبَ ِة َو ْال ُغبَ ْي َرا ِء – رواه أحمد و أبو داود‬ َّ ِ‫ع َْن َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن َع ْم ٍرو أَ َّن نَب‬
َ ِ ‫ي هَّللا‬

“Dari Abdullah bin Amru, bahwasanya Nabi saw melarang (meminum) khamar, perjudian,
menjual barang dengan alat dadu atau sejenisnya (jika gambar atau pilihannya keluar maka
ia yang berhak membeli) dan minuman keras yang terbuat dari biji-bijian (biji
gandum). (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

3. Penindasan (Az-Zhulmu)

Kezaliman merupakan tindakan melampui batas yang sering terjadi dan digunakan oleh
seseorang untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Tindakan dengan melakukan
kezaliman untuk mendapatkan keuntungan ini sering juga disebut dengan “Machiavellian”
yaitu sikap menghalalkan segala cara asal tujuan bisa tercapai (al-ghayah tubalighul
washilah).

Kezaliman (penindasan) merupakan salah satu hal yang sangat dimurkai dan diharamkan
dalam Islam. Bahkan kezaliman kepada orang lain tidak akan diampuni oleh Allah sehingga
orang tersebut meminta maaf kepada orang yang dizaliminya. Kezaliman juga dapat menjadi
faktor penyebab seseorang mengalami kerugian besar (muflis) pada hari kiamat. Karena
semua kebaikan dan pahala yang diperolehnya di dunia habis untuk membayar setiap
kezaliman yang pernah dilakukannya saat ia hidup di dunia. Sebagaimana dijelaskan dalam
hadis Nabi saw;

َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل أَتَ ْدرُونَ َما ْال ُم ْفلِسُ قَالُوا ْال ُم ْفلِسُ فِينَا َم ْن اَل ِدرْ هَ َم لَهُ َواَل َمتَ>ا َع فَق‬
‫>ال إِ َّن‬ َ ِ ‫ع َْن أَبِي هُ َر ْي َرةَ أَ َّن َرسُو َل هَّللا‬

‫ب‬ َ َ‫صيَ ٍام َو َز َكا ٍة َويَأْتِي قَ ْد َشتَ َم هَ َذا َوقَ َذفَ هَ َذا َوأَ َك َل َما َل هَ> َذا َو َس>ف‬
َ ‫ك َد َم هَ> َذا َو‬
َ ‫ض> َر‬ َ ِ‫س ِم ْن أُ َّمتِي يَأْتِي يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة ب‬
ِ ‫صاَل ٍة َو‬ َ ِ‫ْال ُم ْفل‬

ُ َ ‫ت َح َسنَاتُهُ قَب َْل أَ ْن يُ ْق‬


‫ت َعلَ ْي> ِه ثُ َّم‬ ِ >ُ‫ضى َم>>ا َعلَ ْي> ِه أ ِخ> َذ ِم ْن َخطَايَ>>اهُ ْم فَط‬
ْ ‫>ر َح‬ ْ َ‫هَ َذا فَيُ ْعطَى هَ َذا ِم ْن َح َسنَاتِ ِه َوهَ َذا ِم ْن َح َسنَاتِ ِه فَإ ِ ْن فَنِي‬

ِ َّ‫طُ ِر َح فِي الن‬


‫ار – رواه مسلم‬

“Dari Abi Hurairah ra berkata; bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Tahukah kamu
sekalian apakah yang dimaksud orang yang merugi itu? Para sahabat menjawab: orang
yang merugi di kalangan kami adalah orang yang tidak memiliki uang (dirham) dan harta
benda. Lalu Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya orang yang merugi dari umatku adalah
orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa (pahala) shalat, puasa, zakat,
(namun ia juga) datang pada hari kiamat dengan (membawa dosa karena) telah mencaci
orang lain, menuduh orang lain (berzina), memakan harta orang lain (secara bathil),
membunuh orang lain, memukul (menyiksa/menzalimi) orang lain, lalu diambillah
kebaikan-kebaikan (pahala) nya untuk membayar semua kesalahan-kesalahannya itu. Jika
kebaikan (pahala) nya sudah habis sebelum selesai menebus semua kesalahannya, maka
diberikanlah dosa-dosa dari orang-orang yang pernah disakiti/dizaliminya, lalu dibebankan
atasnya kemudian ia dicampakkan ke dalam api neraka.” (HR. Muslim)

Larangan untuk melakukan kezaliman (penindasan) dapat diujumpai dalam banyak ayat al-
Qur’an maupun hadis Nabi saw antara lain:

ْ ُ‫َظلِ ُموْ نَ َوالَ ت‬


279 :‫ – البقرة‬. َ‫ظلَ ُموْ ن‬ ٍ ْ‫فَإ ِ ْن لَ ْم تَ ْف َعلُوْ ا فَأْ َذنُوْ ا بِ َحر‬
ْ ‫ب ِمنَ هللاِ َو َرسُوْ لِ ِه َوإِ ْن تُ ْبتُ ْم فَلَ ُك ْم ُر ُؤوْ سُ أَ ْم َوالِ ُك ْم الَ ت‬

“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa
Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari mengambil riba),
maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (QS. al-
Baqarah: 279)

37 :‫ – القصص‬. َ‫إِنَّهُ الَ يُ ْفلِ ُح الظَّالِ ُموْ ن‬

“Sesungguhnya tidaklah akan mendapat kemenangan (bagi) orang-orang yang


zhalim”.  (QS. al-Qashash: 37)
ُّ ‫ات يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة َواتَّقُوا‬
ُّ ‫الش> َّح فَ>إ ِ َّن‬
‫الش> َّح‬ ٌ ‫الظ ْل َم ظُلُ َم‬
ُّ ‫الظ ْل َم فَإ ِ َّن‬
ُّ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل اتَّقُوا‬
َ ِ ‫ع َْن َجابِ ِر ْب ِن َع ْب ِد هَّللا ِ أَ َّن َرسُو َل هَّللا‬

ِ ‫ك َم ْن َكانَ قَ ْبلَ ُك ْم َح َملَهُ ْم َعلَى أَ ْن َسفَ ُكوا ِد َما َءهُ ْم َوا ْست ََحلُّوا َم َح‬
‫ار َمهُ ْم – رواه مسلم‬ َ َ‫أَ ْهل‬

“Dari Jabir bin Abdillah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: Takutlah (jauhilah)
kamu sekalian akan kezaliman, karena sesungguhnya kezaliman itu adalah kegelapan
(kezaliman) pada hari kiamat, dan jauhilah kamu sekalian sifat bakhil, karena sesungguhnya
kebakhilan itu telah menyebabkan binasanya orang-orang sebelum kamu, (karena
kebakhilan pula) telah menyebabkan mereka mengucurkan darah mereka (saling membunuh)
dan mereka menghalalkan segala sesuatu yang telah diharamkan kepada mereka.” (HR.
Muslim)

‫الظ ْل َم َعلَى نَ ْف ِس>ي‬


ُّ ‫ت‬ُ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فِي َما َر َوى ع َْن هَّللا ِ تَبَا َركَ َوتَ َعالَى أَنَّهُ قَا َل يَ>ا ِعبَ>ا ِدي ِإنِّي َح> َّر ْم‬
َ ‫ع َْن أَبِي َذ ٍّر ع َْن النَّبِ ِّي‬

‫ – رواه مسلم‬.…‫َو َج َع ْلتُهُ بَ ْينَ ُك ْم ُم َح َّر ًما فَاَل تَظَالَ ُموا‬

“Dari Abi Dzar ra., dari Nabi saw. berupa sesuatu yang telah beliau riwayatkan (dapatkan)
dari Allah tabarakata wa ta’ala, bahwasanya Allah berfirman; wahai hamba-hamba-Ku,
sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezaliman atas diri-Ku, dan Aku jadikan kezaliman
itu di antara kamu sekalian (sebagai) sesuatu yang diharamkan, maka janganlah kamu
sekalian saling menzalimi….”  (HR. Muslim)

Adapun contoh-contoh kezaliman yang seringkali terjadi dalam bidang mu’amalah antara
lain; melakukan penipuan, penimbunan barang sehingga menyebabkan kelangkaan barang
dan melonjaknya harga barang di pasaran (ihtikar), pemaksaan, pencurian, perampokan dan
lain sebagainya. Termasuk di antaranya salah satu bentuk bisnis yang banyak digandrungi
oleh sebagian orang, yaitu Multi Level Marketing (MLM), sekalipun tidak semua bentuk
MLM memiliki unsur maisir, kezaliman dan gharar (penipuan atau manipulasi). Namun pada
umumnya MLM sarat dengan money game, dan tidak murni sebagai praktek jual beli yang
syar’i.

4. Mengandung Unsur Riba

Riba merupakan salah satu rintangan sekaligus tantangan yang seringkali menggiurkan
banyak orang untuk meraih keuntungan. Oleh karena itu dalam banyak ayat dan hadis Nabi
saw. persoalan riba ini memperoleh perhatian yang sangat serius dan dijelaskan dengan
sangat rinci. Diharamkannya riba dalam Islam tentu memiliki banyak hikmah baik bagi diri
sendiri maupun orang lain, baik bagi kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak. Beberapa
ayat dan hadis di bawah ini sangat cukup memberikan gambaran kepada kita tentang maksud,
tujuan dan hikmah diharamkannya riba dalam Islam.
ُ‫اَلَّ ِذ ْينَ يَأْ ُكلُوْ نَ ال ِّربَا الَ يَقُوْ ُموْ نَ إِالَّ َك َما يَقُوْ ُم الَّ ِذى يَتَخَ بَّطَهُ ال َّش ْيطَانَ ِمنَ ْال َمسِّ َذلِ>كَ بِ>أَنَّهُ ْم قَ>الُوْ ا إِنَّ َم>ا ْالبَيْ> ُع ِم ْث> ُل ال ِّربَ>ا َوأَ َح> َّل هللا‬

275 :‫ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم الرِّ بَا – البقرة‬

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli
itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba”  (QS.al-Baqarah: 275)

278 :‫يَآيُّهَا الَّ ِذ ْينَ آ َمنُوْ ا اتَّقُوا هللاَ َو َذرُوْ ا َمابَقِ َى ِمنَ ال ِّربَا إِ ْن ُك ْنتُ ْم ُم ْؤ ِمنِ ْينَ – البقرة‬

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan tinggalkankan sisa-
sisa (yang belum dipungut) dari riba, jika kamu orang-orang yang beriman”. (QS. al-
Baqarah: 278)

َ ‫يَآيُّهَا الَّ ِذ ْينَ آ َمنُوْ ا الَ تَأْ ُكلُوْ ا ال ِّربَا أَضْ َعافًا ُم‬
130 :‫ضا َعفَةً َواتَّقُوْ ا هللاَ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُوْ نَ – ال عمران‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta riba secara berlipat
ganda dan takutlah kamu kepada Allah agar kamu memperoleh keberuntungan”. (QS. Ali
Imran: 130)

  ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم آ ِك ُل ال ِّربَا َو ُم ْؤ ِكلَهُ َو َكاتِبَهُ َو َشا ِه َد ْي ِه َوقَا َل هُ ْم َس َوا ٌء – رواه مسلم‬
َ ِ‫ال لَ َعنَ َرسُوْ ُل هللا‬
َ َ‫ع َْن َجابِ ٍر ق‬

“Dari Jabir (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw melaknat orang yang makan
riba, yang memberi riba, yang menuliskannya, dan dua orang saksinya. Beliau bersabda:
Mereka itu sama”. (HR. Muslim)

Bahkan Rasulullah SAW memasukkan persoalan riba ini sebagai salah satu dari tujuh hal
yang membinasakan, sebagaimana sabda beliau:

َ َ‫ول هَّللا ِ َو َم>ا ه َُّن ق‬


‫>ال‬ ِ ‫الس> ْب َع ْال ُموبِقَ>ا‬
َ >‫ت قَ>الُوا يَ>ا َر ُس‬ َّ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل اجْ تَنِبُوا‬ ِ ‫ع َْن أَبِي هُ َر ْي َرةَ َر‬
َ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ ع َْن النَّبِ ِّي‬

‫ت‬ َ ْ‫ف َوقَ ْذفُ ْال ُمح‬


ِ ‫ص>>نَا‬ ِ ْ‫ق َوأَ ْك ُل ال ِّربَا َوأَ ْك ُل َما ِل ْاليَتِ ِيم َوالتَّ َولِّي يَوْ َم ال َّزح‬
ِّ ‫س الَّتِي َح َّر َم هَّللا ُ إِاَّل بِ ْال َح‬
ِ ‫ك بِاهَّلل ِ َوالسِّحْ ُر َوقَ ْت ُل النَّ ْف‬
ُ ْ‫ال ِّشر‬

ِ ‫ت ْالغَافِاَل‬
‫ت – رواه البخاري ومسلم‬ ِ ‫ْال ُم ْؤ ِمنَا‬

“Dari Abi Hurairah ra., dari Nabi saw. bersabda: Jauhilah oleh kamu sekalian tujuh hal
yang membinasakan, (para sahabat bertanya) wahai Rasulullah apakah tujuh hal yang
membinasakan itu ? Rasulullah saw bersabda: menyekutukan Allah, sihir, membunuh nyawa
(seseorang) yang diharamkan kecuali karena kebenaran, memakan riba, memakan harta
anak yatim, lari dari medan perang dan menuduh wanita terhormat lagi beriman melakukan
zina.”  (HR. al-Bukhari dan Muslim)

5. Unsur Membahayakan (adh-Dharar)

Perintah maupun larangan dalam Islam memiliki tujuan yang sangat prinsip dan mendasar
guna menjaga lima kebutuhan mendasar manusia. Kelima kebutuhan pokok manusia
(dlaruriyat) ini lebih dikenal dengan maqhashid al khamsah (lima sasaran hukum Islam),
yaitu: Menjaga nyawa (hifzhun nafs), menjaga akal (hifzhul ‘Aql), menjaga harta (hifzhul
mal), menjaga keturunan (hifzhun Nasl), dan menjaga agama (hifzhud din).

Maka barometer untuk mengukur dan menjadi acuan apakah suatu usaha, bisnis atau segala
usaha yang dijalankan oleh seseorang memiliki unsur yang membahayakan (dharar), tentu
mengacu kepada maqhashid al khamsah (lima sasaran hukum Islam ) di atas.

Adapun ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi saw.yang menjelaskan tentang persoalan ini
antara lain:

‫اض ِم ْن ُك ْم َواَل تَ ْقتُلُ>وا أَ ْنفُ َس> ُك ْم إِ َّن هَّللا َ َك>انَ بِ ُك ْم‬ َ >‫يَا أَيُّهَ>ا الَّ ِذينَ آَ َمنُ>وا اَل تَ>أْ ُكلُوا أَ ْم> َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط> ِل إِاَّل أَ ْن تَ ُك>ونَ تِ َج‬
َ ‫ارةً ع َْن ت‬
ٍ ‫َ>ر‬

29 :‫– النساء‬  ‫َر ِحي ًما‬

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta di antara kamu
sekalian dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama suka di antara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah
adalah maha penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’/4: 29)

195 :‫َوأَ ْنفِقُوا فِي َسبِي ِل هَّللا ِ َواَل تُ ْلقُوا بِأ َ ْي ِدي ُك ْم إِلَى التَّ ْهلُ َك ِة َوأَحْ ِسنُوا ِإ َّن هَّللا َ يُ ِحبُّ ْال ُمحْ ِسنِينَ – البقرة‬

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik.”  (QS. Al-Baqarah/2: 195)
َ َ‫ضى أَ ْن ال‬
ِ َ‫ض َر َر َوال‬
‫ض َرا َر – رواه أحمد وابن ماجة‬ َ ِ‫ت أَ َّن َرسُوْ َل هللا‬
َ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬ َ ‫ع َْن ُعبَا َدةَ ا ْب ِن‬
ِ ‫صا ِم‬

“Dari Ubadah bin shamit r.a.; bahwasanya Rasulullah saw menetapkan tidak boleh
membuat kemudharatan dan tidak boleh pula membalas kemudharatan”. (HR. Ahmad dan
Ibnu Majah)

6. Penipuan atau Kecurangan (al-Gharar)

Menurut bahasa, al-gharar  berarti pertaruhan (al-mukhatharah) dan ketidakjelasan (al-


jahalah). Sedangkan, menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, al-gharar adalah sesuatu
yang tidak jelas hasilnya (majhul al-‘aqibah). Lebih lanjut, beliau menyatakan bahwa semua
praktik jual-beli, seperti menjual burung di udara, unta (binatang) yang kabur, dan buah-
buahan sebelum tampak buahnya, termasuk jual-beli yang diharamkan oleh Allah SWT. Dari
penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan jual-beli gharar adalah
jual-beli yang mengandung ketidakjelasan, pertaruhan atau perjudian.

Di dalam syari’at Islam, jual-beli gharar termasuk salah satu bentuk jual-beli yang terlarang.
Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:

‫صا ِة َوع َْن بَي ِْع ْالغ ََر ِر – رواه مسلم‬


َ ‫صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ع َْن بَي ِْع ْال َح‬
َ ‫ نَهَى َرسُوْ ُل هللا‬:‫ع َْن أَبِى هُ َر ْي َرةَ قَا َل‬

Artinya: “Dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah SAW melarang jual-beli dengan lempar
kerikil dan jual-beli gharar (spekulasi)”. [HR. Muslim]

Sekalipun telah dilarang, tetapi praktik jual-beli gharar masih dapat ditemukan di tengah-


tengah masyarakat. Pertama, seorang penjual menjajakan berbagai bentuk barang dagangan
dengan variasi harga dan menyediakan batu kerikil, atau gelang yang terbuat dari rotan atau
sejenisnya. Kemudian, seorang pembeli melemparkan kerikil atau gelang tersebut ke arah
barang yang diinginkannya. Apabila kerikil yang dilempar mengenai salah satu barang atau
gelang tersebut masuk pada barang yang diinginkannya, maka secara otomatis barang
tersebut menjadi milik pembeli. Sebaliknya, jika kerikil tersebut tidak mengenai atau gelang
yang dilempar tidak masuk pada barang yang diinginkan, maka pembeli tidak mendapatkan
apa-apa, sekalipun harga barang sudah diserahkan kepada penjual. Kedua, menjual tanah atau
pekarangan dengan harga tertentu sejauh batas lemparan pembeli. Apabila lemparannya jauh,
maka pekarangan yang akan didapatkannya pun luas, dan begitu pula sebaliknya. Ketiga,
jual-beli barang yang belum ada atau belum jelas (ma’dum), seperti misalnya jual-beli janin
binatang yang masih dalam rahim induknya (habal al habalah).

Dalam syari’at Islam, larangan jual-beli gharar tentu memiliki banyak hikmah. Di antara


hikmah tersebut adalah agar seseorang tidak memakan harta orang lain secara batil. Di dalam
Islam, memakan harta orang lain secara batil termasuk perbuatan yang dilarang agama. Hal
ini sebagaimana telah dijelaskan dalam firman Allah SWT:

188:‫اس بِاإْل ِ ْث ِم َوأَ ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُمونَ – البقرة‬ ِ ‫َواَل تَأْ ُكلُوا أَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل َوتُ ْدلُوا بِهَا إِلَى ْال ُح َّك ِام لِتَأْ ُكلُوا فَ ِريقًا ِم ْن أَ ْم َو‬
ِ َّ‫ال الن‬

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang batil,  dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” [Q.s. al-Baqarah: 188].

‫اض ِم ْن ُك ْم َواَل تَ ْقتُلُ>وا أَ ْنفُ َس> ُك ْم إِ َّن هَّللا َ َك>انَ بِ ُك ْم‬ َ >‫يَا أَيُّهَ>ا الَّ ِذينَ آَ َمنُ>وا اَل تَ>أْ ُكلُوا أَ ْم> َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط> ِل إِاَّل أَ ْن تَ ُك>ونَ تِ َج‬
َ ‫ارةً ع َْن ت‬
ٍ ‫َ>ر‬

29 :‫َر ِحي ًما – النساء‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di
antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu” [Q.s. an-Nisaa’: 29].

Larangan memakan harta orang lain secara batil juga dikuatkan dengan pengharaman
perbuatan judi. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT:

90:‫صابُ َواأْل َ ْزاَل ُم ِرجْ سٌ ِم ْن َع َم ِل ال َّش ْيطَا ِن فَاجْ تَنِبُوهُ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُونَ – المائدة‬
َ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آَ َمنُوا إِنَّ َما ْالخَ ْم ُر َو ْال َم ْي ِس ُر َواأْل َ ْن‬

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban


untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan
setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” [Q.s. al-
Maa’idah: 90]

7. Penyalahgunaan Hak (at–Ta’assuf )

Dalam istilah fikih, penyalahgunaan hak (ta’assuf fi isti’malil haqq) berarti penggunaan hak
secara berlebihan sehingga dapat menimbulkan pelanggaran hak dan kerugian terhadap
kepentingan orang lain maupun masyarakat umum. Jika difahami secara mendalam, adanya
larangan penyalahgunaan hak (at-ta’assuf) ini tidak lepas dari pembicaraan tentang hakikat
kepemilikan dalam Islam. Dalam perspektif Islam, kepemilikan harta benda tidak bersifat
absolut sebagaimana dianut oleh faham kapitalis, dan juga tidak membenarkan kepemilikan
serba negara seperti dianut oleh faham sosialis.
Islam mengakui hak individu sebagai amanah Allah SWT, dan dalam saat yang sama juga
mengakui bahwa di dalam kepemilikan individu terdapat hak orang lain (fakir miskin).
Terkait dengan masalah kepemilikan, Islam mengatur tentang dua hal sekaligus, yaitu dari
mana sumbernya (halal atau haram) dan untuk apa pendistribusian atau penggunaannya. Oleh
sebab itu, sekalipun harta benda merupakan milik seseorang, namun tidak berarti ia dengan
leluasa menggunakannya tanpa mempertimbangkan aspek kemaslahatan dan kemudharatan
yang mungkin akan dialami oleh masyarakat luas. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda:

َ َ‫ضى أَ ْن ال‬
ِ َ‫ض َر َر َوال‬
‫ض َرا َر – رواه أحمد وابن ماجة‬ َ ِ‫ت أَ َّن َرسُوْ َل هللا‬
َ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬ َ ‫ع َْن عُبا َ َدةَ ا ْب ِن‬
ِ ‫صا ِم‬

“Dari Ubadah bin Shamit, bahwasanya Rasulullah SAW menetapkan tidak boleh berbuat
kemudharatan dan tidak boleh pula membalas kemudharatan” [HR. Ahmad dan Ibnu
Majah].

  Di antara beberapa contoh tindakan yang dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan hak
(ta’assuf) adalah: pertama, penggunaan hak yang dapat mengakibatkan pelanggaran hak
orang lain. Islam tidak membenarkan seseorang melakukan sesuatu yang dianggapnya
sebagai hak asasi dengan mengabaikan dan melanggar hak asasi orang lain. Dalam ungkapan
para ulama disebutkan “haqqul mar’i mahjûbun bihaqqi ghairihi” (hak seseorang dibatasi
oleh hak orang lain. Kedua, penggunaan hak untuk kemaslahatan pribadi tetapi dapat
mengakibatkan madharat yang besar terhadap pihak lain serta tidak sesuai tempatnya atau
bertentangan dengan adat kebiasaan yang berlaku. Ketiga, penggunaan hak secara ceroboh
dan tidak hati-hati.

8. Monopoli dan Konglomerasi (Ihtikar)

Secara bahasa, ihtikar berarti penimbunan dan kezaliman (aniaya). Sedangkan menurut


istilah, para ulama telah mengemukakan beberapa pengertian. Imam Muhammad bin Ali as-
Syaukani mendefinisikan ihtikar sebagai bentuk penimbunan atau penahanan barang
dagangan dari peredarannya. Imam Al-Ghazali menyebut ihtikar adalah penyimpanan barang
dagangan oleh penjual makanan untuk dijual pada saat melonjaknya harga barang tersebut.
Sedangkan, ulama madzhab Maliki menyatakan bahwa ihtikar adalah penyimpanan barang
oleh produsen, baik makanan, pakaian dan segala barang yang dapat merusak pasar.”

Berdasarkan beberapa definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa ihtikar adalah


penimbunan barang dalam jumlah banyak yang menyebabkan kelangkaan dan harganya
melonjak naik, sehingga mengakibatkan harga pasar menjadi rusak serta kebutuhan
konsumen terganggu. Imam as-Syaukani dalam kitab “Nailul Authaar V/338” menjelaskan
bahwa penimbunan (ihtikar) yang diharamkan Islam adalah sebagai berikut: pertama,
menimbun barang kebutuhan manusia dengan tujuan menaikkan harga di pasaran. Kedua,
memborong barang kebutuhan pokok dengan cara memonopoli dan menimbunnya sehingga
terjadi kelangkaan dan memunculkan kemudharatan bagi banyak orang.
Dengan demikian, stok barang yang sengaja disimpan di gudang dalam jumlah terbatas
sebagaimana dilakukan oleh para pemilik toko, mini market dan swalayan pada umumnya,
tentu tidak termasuk kategori penimbunan (ihtikar). Sebab tindakan tersebut hanya dijadikan
sebagai persediaan, sehingga tidak sampai mengakibatkan kelangkaan barang dan merusak
harga pasar. Hal ini sesuai dengan spirit yang terkandung dalam firman Allah SWT dan sabda
Rasulullah sebagai berikut:

َّ ‫َما أَفَا َء هللاُ َعلَى َرسُوْ لِ ِه ِم ْن أَ ْه ِل ْالقُ َرى فَلِلَّه َولِل َّرسُوْ ِل َولِ ِذى ْالقُرْ بَى َو ْاليَتَا َمى َو ْال َم َس>ا ِك ْي ِن َوا ْب ِن‬
َ‫الس>بِي ِْل َكى الَ يَ ُك>>وْ نَ ُدوْ لَ>ةً بَ ْين‬

ِ ‫األَ ْغنِيَا ِء ِم ْن ُك ْم َو َما آتَا ُك ُم ال َّرسُوْ ُل فَ ُخ ُذوْ هُ َو َما نَهَا ُك ْم َع ْنهُ فَا ْنتَهُوْ ا َوااتَّقُوا هللاَ إِ َّن هللاَ َش ِد ْي ُد ْال ِعقَا‬
7 :‫ – الحشر‬.‫ب‬

“Apa saja harta rampasan (fai’) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari
penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan
hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang dibawa Rasul
kepadamu maka terimalah ia. Dan apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah; dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya” [Qs. al-Hasyr:
7].

‫ص>لَّى هللاُ َعلَيْ> ِه َو َس>لَّ َم َم ِن احْ تَ َك> َر‬ َ َ‫ ق‬:‫ِّث أَ َّن َم ْع َمرًا قَا َل‬
َ ِ‫>ال َر ُس>وْ ُل هللا‬ ِ َّ‫ َكانَ َس ِع ْي ُد ابْنُ ْال ُم َسي‬:‫ال‬
ُ ‫ب يُ َحد‬ َ َ‫ع َْن يَحْ َي َوهُ َو ابْنُ َس ِع ْي ٍد ق‬

ِ ‫فَهُ َو خ‬
‫ – رواه مسلم و أحمد و أبو داود‬.…ٌ‫َاطئ‬

“Dari Yahya beliau adalah ibn Sa’id, ia berkata: Bahwa Sa’id ibn Musayyab memberitakan
bahwa Ma’mar berkata: Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang menimbun barang,
maka ia berdosa… [HR. Muslim, Ahmad dan Abu Dawud]

9. Obyek Bisnis Bukan Sesuatu yang Haram

Islam tidak menganut paham serba boleh, sebagaimana yang diyakini oleh kaum sekuler.
Islam tidak pula menganut faham yang serba tidak boleh (haram) sebagaimana keyakinan
segelintir orang. Namun, dalam syari’at Islam diatur regulasi tentang persoalan yang halal
dan haram. Kehalalan sesuatu bisa disebabkan oleh zat barang itu sendiri yang dihukumi
haram, atau karena cara memperolehnya yang dilarang oleh agama. Karena itu, faham
Machiavellian, yang menghalalkan segala cara asal tujuan tercapai, sebagaimana dilakukan
sebagian orang dalam memperoleh keuntungan materi, merupakan faham yang sangat
menyimpang dan dimurkai oleh Allah dan Rasul-Nya.
Oleh sebab itu, salah satu etika bisnis dalam Islam yang harus diperhatikan dan dipraktikkan
oleh setiap muslim adalah menghindari segala sesuatu yang diharamkan sekalipun hal
tersebut menguntungkan secara finansial. Setiap muslim dilarang memperjual-belikan barang
yang diharamkan oleh agama, seperti menjual daging babi, minuman keras, dan narkotika.
Selain itu, setiap muslim juga haram memakan hasil penjualan barang-barang tersebut.
Dalam haditsnya, Rasulullah SAW menjelaskan beberapa contoh barang yang haram untuk
diperjualbelikan:

ِ ‫ح َوهُ> َو بِ َم َّكةَ إِ َّن هللاَ َو َر ُس>وْ لَهُ َح> َّر َم بَيْ> َع ْالخَ ْم‬
‫>ر‬ ِ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َس>لَّ َم يَقُ>وْ ُل عَ>ا َم ْالفَ ْت‬
َ ِ‫ع َْن َجابِ ِر اب ِْن َع ْب ِد هللاِ أَنَّهُ َس ِم َع َرسُو َل هللا‬

ْ ‫الس>فُنُ َويُ> ْدهَنُ بِهَ>>ا ْال ُجلُ>وْ ُد َويَ ْست‬


‫َص>بِ ُح بِهَ>ا‬ ْ ‫َو ْال َم ْيتَ ِة َو ْال ِخ ْن ِزي ِْر َواألَصْ ن َِام فَقِ ْي َل يَا َرسُوْ َل هللاِ أَ َرأَيْتَ ُشحُوْ ُم ْال َم ْيتَ> ِة فَإِنَّهُ ي‬
ُّ ‫ُطلَى بِهَ>>ا‬

‫>ل هللاُ ْاليَهُ>>وْ َد إِ َّن هللاَ َع> َّز َو َج> َّل لَ َّما َح> َّر َم َعلَ ْي ِه ْم‬ َ >ِ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِع ْن> َد َذال‬
َ >َ‫ك قَات‬ َ ِ‫ُول هللا‬ َ َ‫ فَقَا َل الَ هُ َو َح َرا ٌم ثُ َّم ق‬. ُ‫النَّاس‬
َ ‫ال َرس‬

‫ – رواه الجماعة‬.ُ‫ُشحُوْ ُمهَا أَجْ َملُوْ هُ ثُ َّم بَا ُعوْ هُ فَأ َ َكلُوْ ا ثَ ُمنَه‬

“Dari jabir Ibn Abdullah r.a. Ia mendengar Rasulullah SAW bersabda pada waktu tahun
kemenangan, ketika itu beliau di Makkah: Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya
mengharamkan jual-beli khamr, bangkai, babi dan berhala. Kemudian ditanyakan kepada
beliau: Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat anda tentang lemak bangkai, karena ia
dapat digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit, dan dapat digunakan oleh orang-
orang untuk penerangan. Beliau bersabda: Tidak, ia adalah haram. Kemudian beliau
bersabda: Allah melaknat orang-orang Yahudi. Sesungguhnya Allah tatkala mengharamkan
lemaknya, mereka mencairkan lemak itu, kemudian menjualnya dan makan hasil
penjualannya” [HR. al-Jama’ah].

‫الش>حُوْ ُم فَبَا ُعوْ هَ>ا َو أَ َكلُ>وْ أَ ْث َمانِهَ>ا َوإِ َّن هللاَ إِ َذا‬ ْ ‫ لَ َعنَ هللاُ ْاليَهُوْ َد حُ> ِّر َم‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل‬
ُّ ‫ت َعلَ ْي ِه ُم‬ َ ‫س أَ َّن النَّبِ َي‬
ٍ ‫ع َِن ا ْب ِن َعبَّا‬

‫ – رواه أحمد و أبو داود‬.ُ‫َح َّر َم َعلَى قَوْ ٍم أَ ْك َل َشي ٍْئ َح َّر َم َعلَ ْي ِه ْم ثَ َمنَه‬

Artinya:  “Dari Ibnu Abbas Nabi SAW bersabda: Allah melaknat orang-orang Yahudi,
karena telah diharamkan kepada mereka lemak-lemak (bangkai) namun mereka menjualnya
dan memakan hasil penjualannya. Sesungguhnya Allah jika mengharamkan kepada suatu
kaum memakan sesuatu, maka haram pula hasil penjualannya” [HR. Ahmad dan Abu
Dawud].

10. Tidak Boleh Mubazzir

Salah satu persoalan yang sangat dimurkai oleh agama adalah sikap berlebihan dalam
menggunakan sesuatu hingga melampui batas yang diperbolehkan oleh syari’at Islam. Dalam
terminologi agama, persoalan itu disebut tabzir atau mubazzir. Bahkan orang yang
melakukan tindakan mubazzir dianggap sebagai saudaranya setan. Penyerupaan manusia
yang melakukan tindakan mubazzir sebagai saudara setan tentu memiliki makna penghinaan
dan larangan yang sangat keras. Karena itulah, setiap muslim harus menghindari tindakan
tersebut. Allah SWT menjelaskan:

َّ َ‫ ِإ َّن ْال ُمبَ> ِّذ ِر ْينَ َك>انُوْ ا إِ ْخ> َوان‬.‫الس>بِ ْي َل َوالَ تُبَ> ِّذرْ تَبْ> ِذ ْيرًا‬
َّ َ‫الش>يَا ِط ْي ِن َو َك>ان‬
‫الش> ْيطَانُ لِ َربِّ ِه‬ َّ َ‫ت َذا ْالقُ>رْ بَى َحقَّهُ َو ْال ِم ْس> ِك ْينَ َوا ْبن‬
ِ ‫َو َءا‬

27-26 :‫ – اإلسراء‬.‫َكفُوْ رًا‬

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin
dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu)
secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan, dan
syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”.  [Qs. al-Israa’: 26-27].

  Salah satu makna dan tindakan tabzir dalam perilaku bisnis adalah menimbun kekayaan dan
keuntungan secara berlebihan (dengan tidak wajar), sehingga ia hidup dalam bergelimang
harta namun keluarga dekat, tetangga dan orang yang seharusnya mendapatkan santunannya
diabaikan dan hidup dalam kekurangan. Sikap semacam ini, di samping merupakan tindakan
berlebihan (tabzir), juga merupakan tindakan zalim, rakus, pelit, kufur nikmat dan beberapa
bentuk perilaku (akhlak) yang dilarang oleh agama. Wallahu A’lam bis Shawab.
1.Dari Al-Miqdam radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda:

‫ى هَّللا ِ دَا ُو َد – َعلَ ْي ِه ال َّسالَ ُم – َكانَ يَأْ ُك ُل ِم ْن َع َم ِل يَ ِد ِه‬


َّ ِ‫ َوإِ َّن نَب‬، ‫ط َخ ْيرًا ِم ْن أَ ْن يَأْ ُك َل ِم ْن َع َم ِل يَ ِد ِه‬
ُّ َ‫َما أَ َك َل أَ َح ٌد طَ َعا ًما ق‬

“Tidaklah seseorang mengkonsumsi makanan yang lebih baik dari makanan yang dihasilkan
dari jerih payah tangannya sendiri. Dan sesungguhnya nabi Daud ‘alaihissalam dahulu
senantiasa makan dari jerih payahnya sendiri.” (HR. Bukhari, Kitab al-Buyu’, Bab Kasbir
Rojuli wa ‘Amalihi Biyadihi II/730 no.2072).

2.Dan di dalam riwayat lain, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

‫ وما أنفق الرجل على نفسه وأهله وولده وخادمه فهو صدقة‬،‫ما كسب الرجل كسبا ً أطيب من عمل يده‬

“Tidaklah seseorang memperoleh suatu penghasilan yang lebih baik dari jerih payah
tangannya sendiri. Dan tidaklah seseorang menafkahi dirinya, istrinya, anaknya dan
pembantunya melainkan ia dihitung sebagai shodaqoh.” (HR. Ibnu Majah di dalam As-
Sunan, Kitab At-Tijaroot Bab Al-Hatstsu ‘Ala Al-Makasibi, no.2129. al-Kanani
berkata, ‘Sanadnya Hasan’, Lihat Mishbah Az-Zujajah III/5).

3.Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

‫التاجر الصدوق األمين مع النبيين والصديقين والشهداء‬

“Pedagang yang senantiasa jujur lagi amanah akan bersama para nabi, orang-orang yang
selalu jujur dan orang-orang yang mati syahid.” (HR. Tirmidzi, Kitab Al-Buyu’ Bab Ma
Ja-a Fit Tijaroti no. 1130)
HADITS KEEMPAT:
4. Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda:

‫إن أطيب الكسب كسب التجار الذي إذا حدثوا لم يكذبوا و إذا ائتمنوا لم يخونوا و إذا وعدوا لم يخلفوا و إذا اش>>تروا لم ي>>ذموا‬
‫)و إذا باعوا لم يطروا و إذا كان عليهم لم يمطلوا و إذا كان لهم لم يعسروا‬.

“Sesungguhnya sebaik-baik penghasilan ialah penghasilan para pedagang yang mana apabila
berbicara tidak bohong, apabila diberi amanah tidak khianat, apabila berjanji tidak
mengingkarinya, apabila membeli tidak mencela, apabila menjual tidak berlebihan (dalam
menaikkan harga), apabila berhutang tidak menunda-nunda pelunasan dan apabila menagih
hutang tidak memperberat orang yang sedang kesulitan.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi di
dalam Syu’abul Iman, Bab Hifzhu Al-Lisan IV/221).

5. Dari Rafi’ bin Khadij radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Ada seseorang bertanya,
“Penghasilan apakah yang paling baik, Wahai Rasulullah?” Beliau jawab:
‫عمل الرجل بيده وكل بيع مبرور‬

“Penghasilan seseorang dari jerih payah tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur.”
(HR. Ahmad di dalam Al-Musnad no.16628)
6. Dan sejarah kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun menunjukkan bahwa
beliau dan sebagian para sahabatnya adalah para pedagang professional.

Anda mungkin juga menyukai