Anda di halaman 1dari 31

BAB I

DEMAM REUMATIK

1.1 Pendahuluan

Demam Rematik (DR) dan Penyakit Jantung Rematik (PJR) adalah


komplikasi nonsupuratif dari faringitis yang disebabkan oleh respon imun tipe
lambat akibat infeksi Streptokokus β hemolitik grup A.1

Demam rematik yang merupakan sekuel dari infeksi streptokokus grup A


ditandai dengan inflamasi sendi (arthritis), jantung (karditis), sistem saraf
pusat (chorea), kulit (eritema marginatum) dan/atau nodul-nodul subkutan.
Demam rematik adalah suatu proses autoimun dan terjadi akibat produksi
autoreaktif antibodi dan reaksi silang sel-T dengan komponen dari
streptokokus grup A dan jaringan inang.2

Penyakit jantung rematik adalah patologi kronis pada katup jantung yang
mengikuti demam rematik akut. Kerusakan katup jantung biasanya terjadi
disebabkan oleh serangan pertama dari demam rematik akut yang parah dan
pada pasien yang berumur muda, serta jika ditemukan serangan berulang dari
demam rematik akut. Katup mitral terlibat dalam 90% dari kasus dengan
mitral inkompeten (mitral regurgitasi) terutama pada pasien muda dan mitral
stenosis pada sekitar 25% dari pasien remaja atau dewasa. Katup aorta juga
dapat terlibat, kerusakan pada katup trikuspid dan pulmonal pada PJR selalu
dikarenakan oleh peningkatan tekanan akibat kerusakan katup mitral ataupun
aorta, bukan oleh inflamasi reumatik langsung pada katup jantung sebelah
kanan.3

1.2 Epidemiologi

Lebih dari 2,4 juta anak umur 5-14 tahun menderita penyakit jantung rematik
di seluruh dunia dan 94% dari anak-anak ini tinggal di negara berkembang.
Ada sekitar 330.000 kasus baru demam rematik tiap tahunnya pada anak umur
5-14 tahun.3

Pada tahun 1994, diestimasi ada sekitar 12 juta individu menderita demam
rematik dan penyakit jantung rematik di seluruh dunia, dan hampir 3 juta
orang menderita penyakit jantung kongestif yang memerlukan rawat inap
berulang. Sekelompok besar pasien dengan penyakit jantung kongestif

1
memerlukan operasi ganti katup dalam 5-10 tahun. Jumlah kematian untuk
PJR pada tahun 2000 adalah 332.000 jiwa di seluruh dunia. Angka kematian
per 100.000 populasi adalah 7,6 di regional WHO Asia Tenggara.1

1.3 Etiologi 3

Setelah ditemukan 120 tahun yang lalu oleh Louis Pasteur pada tahun 1879,
keseluruhan genomik dari strain M1 dari Bakteri Streptokokus β hemolitik
grup A telah disekuensi pada tahun 2001, dan delapan strain lainnya telah
disekuensi sejak itu. Bakteri ini adalah organism gram positif yang tampak
sebagai rantai pada pewarnaan gram. Pada agar darah, bakteri ini tampak
mempunyai karakteristik beta-hemolisis karena adanya hemolisin streptolisin
S. Bakteri ini dapat dibedakan dari streptokokus lainnya dengan Lancefield
grouping berdasarkan spesifisitas serologis dari karbohidrat spesifik pada
dinding selnya.

Bakteri ini mempunyai banyak faktor permukaan dan ekstraseluler yang


menentukan virulensinya (Fig 1). Dengan sekuensi genetik, lebih dari 40 gen
virulensi telah ditemukan. Protein M yang terletak pada permukaan sel adalah
penentu antigenic utama dari bakteri ini. Protein ini membantu pada
perlengketan tapi yang lebih penting adalah membantu menghindari proses
fagositosis yang merupakan pertahanan utama dari inang. Asam lipoteikoik,
protein pelekat fibronektin dan kapsul asam hialuronat membantu dalam
perlekatan pada sel epitel. Protein M, kapsul, streptokinase, DNAase,
hialuronidase, dan SpeB bertanggung jawab dalam kemampuan invasi
jaringan. C5a peptidase membatasi perekrutan fagosit. Inhibitor komplemen
streptokokal menghalangi penghancuran oleh komplemen.

Eksotoksin pirogenik streptokokal bertanggung jawab dalam mengakibatkan


gejala klinis dari sindroma syok toksik streptokokal, dan demam scarlet
dengan berperan sebagai superantigen, yang menstimulasi sekitar 20% dari
populasi sel-T dengan berikatan langsung pada reseptor sel-T tanpa harus
dipresentasikan melalui kompleks MHC II.

2
1.4 Patogenesis

Patogenesis dari demam rematik berhubungan dengan autoimun pada respon


pertahanan humoral dan seluler yang ditujukan pada jaringan tubuh manusia,
yang dicetuskan oleh respon terhadap Streptokokus β hemolitik grup A.
penyakit jantung rematik terjadi pada 30-45% pasien demam rematik.
Keterlibatan jantung meliputi perikardium, myokardium, inflamasi
endokardium, yang berlanjut pada kerusakan permanen dari katup jantung.
Studi immunokimiawi pada katup mitral menunjukkan pada pasien demam
rematik atau penyakit jantung rematik akut dijumpai predominan sel-T CD4+
dan makrofag pada lesi jantung. Dimana molekul perlekatan seperti VCAM-1
memfasilitasi ekstravasasi dari sel-T CD4+ dan CD8+ ke dalam katup jantung
setelah di up-regulasi pada endotelium pembuluh darah pada katup mitral dari
pasien.4

Sebuah studi sebelumnya telah melaporkan adanya sel-T CD4+ klon dari
sepotong fragmen hasil operasi dari pasien dengan PJR yang parah bereaksi
silang dengan peptide immunodominan dan protein jarigan jantung. Hasil ini
menunjukkan adanya T-cell molecular mimicry antara Streptokokus β
hemolitik grup A dan jaringan jantung. 4

Pathogenesis dari penyakit jantung rematik (Fig 2) dihipotesakan mempunyai


dua tahapan dimana tahapan awal antibodi merusak dan membuat inflamasi
pada endotelium dari katup, dan akhirnya membuat katup itu rentan terhadap
inflitrasi dan serangan dari sel-T yang merupakan tahapan kedua dari penyakit
ini. Walaupun reaksi silang dan antibodi polispesifik pada pathogenesis dari
demam rematik masih controversial, studi telah menunjukkan bahwa antibodi
mengenali miosin jantung dan laminin. Antibodi monoklonal dari penyakit

3
demam rematik mengenali epitop pada laminin dan miosin jantung dan
bersifat sitotoksik pada endotelium dengan kehadiran komplemen.2

Vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) di up-regulasi pada endotelium


dari katub jantung, yang kemudian memicu perlekatan sel-T dan inflitrasi ke
dalam katub avaskuler, yang merupakan tahapan kedua dari penyakit ini.
Katub jantung diinfiltrasi oleh sel-T spesifik-protein M yang akan
memproduksi γ-IFN dan berakibat pada terjadinya parut pada jaringan katup.
Jaringan parut pada katup akan berakibat pada deformitas dan malfungsi dari
katup dan kepada pembentukan vaskuler baru pada jaringan parut yang
dimana dengan reinfeksi ulang oleh streptokokus grup A akan memperberat
kerusakan pada katup. Hal ini terjadi karena inflitrasi selular melalui
pembuluh darah baru pada jaringan katup dan juga permukaan endotelium dari
katup. Untuk tujuan ini maka antibiotik profilaksis penting untuk mencegah
infeksi bakteri streptokokus grup A selanjutnya dan eksaserbasi dari penyakit
jantung rematik.2

Pada penyakit jantung rematik kronis, protein lain di katup seperti laminin,
vimentin, kolagen dan lainnya juga akan dipresentasikan ke sistem imun dan
penyebaran epitop akan terjadi. Sistem imun akan terus menerus
menyebabkan respon granulomatosa T-helper 1 pada katup dengan tambahan
jaringan ikat.2

1.5 Manifestasi klinis

Demam rematik akut biasanya mulai lebih kurang 3 minggu setelah infeksi
oleh bakteri Streptokokus β hemolitik grup A (1-5 minggu), yang biasanya
asimptomatik. Gambaran klinis dari demam rematik dijabarkan pada criteria
Jones yang terakhir diperbaharui pada tahun 1992. 3

4
Kriteria mayor: 5

1. Karditis
Karditis pada demam rematik akut adalah pankarditis dengan keterlibatan
perikardium, epikardium, miokardium, dan endokardium. Karditis terjadi
pada 40-60% kasus DR. Insufisiensi valvular adalah defek pada umumnya
dan biasanya pada katup mitral. Bising “Carrey-coombs” pada demam
rematik akut adalah tanda dari valvulitis mitral aktif, yang merupakan
bising diastolic awal yang halus dan bernada tinggi. Keterlibatan aorta
yang terisolasi sangat jarang terjadi, keterlibatan katub trikuspid dan
pulmonal merupakan hal yang hamper tak pernah terjadi. Perikarditis,
efusi perikardial, aritmia (blok jantung derajat 1 dan 3) juga dapat terjadi.
Perikarditis bermanifestasi sebagai nyeri dada, suara gesekan pericardial,
perubahan pada EKG dan cairan perikardial pada ekokardiografi.
Miokarditis bermanifestasi sebagai takikardia yang tidak proporsional,
suara jantung yang lemah, kardiomegali, dan gagal jantung kongestif.
Gagal jantung kongestif merupakan komplikasi yang umum.
2. Poliarthritis
Terjadi pada hampir 75% kasus. Bermanifestasi sebagai sendi yang merah,
bengkak, panas, panas, dan biasanya berpindah-pindah serta tidak pernah
menetap lebih dari seminggu. Sendi yang sering terkena adalah sendi
bahu, lutut, pergelangan kaki, dan pergelangan tangan. Jari tangan, jari
kaki, dan tulang vertebra jarang terserang. Resolusi dari gejala di sendi
biasanya sekitar 6 minggu. Adanya leukositosis polimorfonuklear pada
efusi synovial. Perubahan ini tidak menyebabkan deformitas ataupun
penyakit sendi kronis.
3. Khorea
Ini merupakan manifestasi yang muncul sekitar 3 bulan setelah infeksi
tenggorokan. Biasanya adanya gerakan choreo-athetoid yang berhubungan
dengan emosi yang labil. Pada sekitar 20% pasien, khorea merupakan
gejala satu-satunya dan berlangsung antara minggu sampai bulan dan
jarang berulang. Hal ini lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan
dengan perempuan.
4. Eritema marginatum
Walau unik, ini adalah temuan klinis yang jarang dan ditemukan pada
kurang dari 10% kasus. Bermanifestasi sebagai ruam makula di badan
yang eritematosa yang tidak nyeri, tidak gatal dan cepat menghilang.
Macula ini mempunyai batas luar yang tak rata dan pusat yang pucat.
Gejala ini biasanya terjadi pada pasien karditis kronis.

5
5. Nodul subkutan
Bermanifestasi sebagai nodul padat sebesar kacang yang tidak nyeri pada
permukaan ekstensore dari sendi lutut, siku, dan tulang belakang, dijumpai
kurang dari 3% dari kasus. Biasanya disertai dengan karditis kronis.

Kriteria minor: 5

1. Demam
Biasanya berkisar antara 38,3˚C sampai 38,9˚C
2. Arthralgia
Didiagnosa jika tidak ada arthritis
3. Bukti grup:
Infeksi streptokokus: adanya bukti dari infeksi streptokokal yang
mendahului yang dikonfirmasi dengan kultur tenggorokan yang positif,
adanya riwayat demam scarlet, atau peningkatan antibodi streptokokus
seperti antistreptolysin O (ASO), antideoxyribonuclease-B (anti-DNAase-
B) atau antihyaluronidase (AH)

1.6 Pemeriksaan Penunjang7


Pemeriksaan adanya infeksi kuman Streptokokus Grup A sangat membantu
diagnosis DR yaitu:
 Pada saat sebelum ditemukan infeksi SGA
 Pada saat ditemukan atau menetapnya proses infeksi SGA tersebut

Untuk menetapkan ada atau pernah adanya infeksi kuman SGA ini dapat
dideteksi :

 Dengan hapusan tenggorok pada saat akut. Biasanya kultur SGA


negative pada fase akut itu. Bila positif pun belum pasti membantu
diagnosis sebab kemungkinan akibat kekambuhan dari kuman SGA itu
atau infeksi Streptokokus strain yang lain.
 Tetapi antibody Streptokokus lebih menjelaskan adanya infeksi
Streptokokus dengan adanya kenaikan titer ASTO dan anti DNA-se B.
Terbentuknya anibodi-antibodi ini sangat dipengaruhi oleh umur dan
lingkungan. Titer ASTO positif pada orang dewasa bila besarnya 210
Todd dan 320 Todd pada anak-anak, sedangkan titer pada DNA-se B
positif pada orang dewasa 120 Todd dan anak-anak 240 Todd.
Antibodi ini dapat terdeteksi pada minggu kedua sampai minggu
ketiga setelah fase akut DR atau 4-5 minggu setelah infeksi kuman

6
SGA di tenggorokan. Pada fase akut ditemukan leukositosis, laju
endap darah yang meninggi dan protein C-reactive, yang positif.

Anemia yang ringan sering ditemukan adalah anemia normositer normokrom


karena infeksi kronik Demam Rematik. Dengan kortikosteroid anemia dapat
diperbaiki. Tidak ada pola uang khas dari EKG pada karditis. Adanya bising
sistolik dapat dibantu kelainan EKG berupa interval yPR yang memanjang dan
ST-T yang tidak spesifik.

1.7 Diagnosis10
Diagnosis DR akut didasarkan pada manifestasi klinis, bukan hanya pada
symptom, gejala, atau kelainan hasil laboratorium. Maka digunakan criteria
Jones yang telah direvisi.
Gejala mayor :
 Poliartritis
 Karditis
 Korea Sydernham
 Nodul subkutaneus
 Eritema Marginatum

Gejala minor :
 Klinis : suhu tinggi
 Sakit sendi (artralgia)
 Riwayat pernah menderita DR/PJR
 Lab “reaksi fase akut”

Ditambah bukti-bukti adanya suatu infeksi Streptokokus sebelumnya yaitu


hapusan tenggorok yang positif atau kenaikan titer serologi ASTO dan anti-
DNA se B. terutama pada anak/remaja aloanamnesa dari orang tua sangat
diperlukan.

Bila terdapat adanya infeksi Streptokokus sebelumnya maka diagnosis


DR/PJR didasarkan atas adanya :
1. Dua gejala mayor atau
2. Satu gejala mayor dengan dua gejala minor

7
1.8 Penatalaksanaan7
Pengobatan serangan akut demam rematik ditujukan pada manifestasi klinis
yang didapat pada serangan akut dan Pencegahan primer ditujukan langsung
pada SGA saat serangan akut. Seperti diketahui bahwa penyakit demam
rematik dapat mengakibatkan gejala sisa pada jantung sebagai akibat berat
ringannya karditis pada fase akut. Maka prinsip pencegahan demam rematik
dapat dilakukan dengan dua cara :
1. Pencegahan primer : yaitu upaya pencegahan infeksi Streptokokus beta
hemoliikus grup A sehingga tercegah dari penyakit demam rematik
2. Pencegahan sekunder : yaitu upaya mencegah menetapnya infeksi
Streptokokus beta hemolitikus grup A pada bekas pasien demam rematik.

Untuk pencegahan primer dipergunakan obat penisilin V 2 juta Unit/hari


selama 10 hari atau Eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 10 hari. Program
pencegahan primer ini sangat sulit dilakukan karena banyaknya gejala infeksi
Streptokokus hemolitik grup A (SGA) tidak memperlihatkan gejala yang khas.

8
Sedangkan untuk pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan protocol tetap,
yaitu :

 Untuk pasien <20 tahun, mendapat suntikan Benzatin penisilin G 1,2


juta unit (BB>27 kg) atau 600.000-900.000 unit (BB<27 kg) tiap 4
minggu sampai umur 25 tahun
 Bila umur pasien >20 tahun, harus mendapatkan suntikan Benzatin
penisilin G (long acting) selama 5 tahun
 Bila pasien telah selesai dengan protocol 1 dan 2 dan terjadi
kekambuhan lagi maka akan mendapatkan suntikan Benzatin penisilin
G tiap 4 minggu selama 5 tahun berikutnya. Bila kasus berat tiap 3
minggu.

Untuk pengobatan dari bermacam-macam manifestasi klinis sewaktu pasien


datang berobat maka pada fase akut ini dilakukan pengobatan sebagai berikut :

Manifestasi Klinis Pengobatan


Artralgia Salisilat
Artritis dan/atau karditis tanpa Salisilat 100mg/kgBB/hr 2 minggu
kardiomegali dan diteruskan dengan 75
mg/KgBB/hr selama 4-6 minggu
Karditis dengan kardiomegali atau Prednison 2 mg/kgBB/hr selama 2
gagal jantung minggu dan tapering selama 2 minggu
dengan ditambahkan
salisilat75mg/kgBB/hr selama 6
minggu

9
1.9 Prognosis10,7
DR (DemamRematik) tidak akan kambuh bila infeksi Streptokokus diatasi.
Prognosis sangat baik bila karditis sembuh pada saat permulaan serangan akut
DR. Selama 5 tahun pertama perjalanan penyakit DR dan PJR tidak membaik
jika bising organic katup tidak manghilang. Prognosis memburuk bila gejala
karditisnya lebih berat, dan ternyata DR akut dengan payah jantung akan
sembuh 30% pada 5 tahun pertama dan 40% setelah 10 tahun. Dari data
penyembuhan ini akan bertambah jika pencegahan sekunder dilakukan dengan
baik.

10
BAB II
PENYAKIT JANTUNG KATUP

2.1 Mitral Stenosis (MS) 11


Penyebab tersering adalah demam rematik. Terjadi penebalan fibrosa dan
kalsifikasi dari daun katup, fusi dari komisura (batas dimana kedua daun katup
bertemu), dan penebalan dan pemendekan korda tendinea.
Pada MS, terjadi obstruksi dari aliran darah pada katup mitral yang
menyebabkan adanya gradien tekanan abnormal antara atrium dan ventrikel
kiri dan akhirnya akan meningkatkan tekanan di atrium kiri. Bukaan katup
mitral normal adalah 4-6 cm2. Tekanan atrium kiri yang tinggi diteruskan ke
sirkulasi pulmonal, menyebabkan peningkatan tekanan vena pulmonalis dan
kapiler. Terjadi peningkatan tekanan hidrostatik di pari-paru akan
menyebabkan transudasi cairan ke interstisial paru dan alveoli. Akibatnya
pasien akan mengeluhkan sesak nafas dan gejala lain dari penyakit jantung
kongestif.
Pada pemeriksaan didapati suara S1 yang keras dikarenakan oleh gradien
tekanan yang tinggi menyebabkan daun katup mitral terpisah jauh sewaktu
diastol dan pada permulaan sistol tertutup kuat. Juga ditemukan “opening
snap (OS)” karena peregangan korda tendinea secara tiba-tiba dandaun katup
yang telah stenosis. Setelah OS akan diikuti oleh bising decrescendo yang
berfrekuensi rendah akibat arus turbulensi melalui katup mitral yang sempit
sewaktu diastol.
Bising yang disebabkan oleh lesi katup jantung lain juga kadang terdengar
bersamaan pada MS, seperti mitral regurgitasi (MR) sering terjadi beriringan
dengan MS. Begitu juga dengan gagal jantung kanan yang disebabkan MS
parah dapat mengakibatkan trikuspid regurgitasi akibat dari pembesaran
ventrikel kanan.
Pengobatan pada MS adalah penisilin jangka-panjang untuk mencegah
demam rematik berulang. Percutaneous balloon mitral valvuloplasty dapat
dilakukan dan lebih diminati dibandingkan dengan open mitral
commissurotomy.

2.2 Mitral Regurgitasi (MR) 11


Pada MR, sebagian volume darah sekuncup dari ventrikel kiri ditembakkan
balik ke atrium kiri yang bertekanan lebih rendah sewaktu sistol. Dibagi
menjadi MR akut (yang disebabkan oleh rupturnya korda tendinea secara tiba-
tiba) atau MR kronis (yang disebabkan oleh penyakit jantung valvular). Pada
MR kronis, terjadi pembesaran atrium kiri oleh karena regurgitasi darah balik
ke atrium kiri.

11
Pada pasien dengan MR, biasanya dijumpai gejala edema paru. Dari
auskultasi dijumpai bising pansistolik atau holosistolik pada bagian apeks.
2.3 Aorta Stenosis (AS) 11
Aorta stenosis biasanya terjadi akibat perubahan degenerative kalsifikasi pada
katup aorta, sebelumnya dikenal sebagai senile AS. AS dapat juga terjadi
akibat penyakit jantung rematik kronis. Pada AS, biasanya ditemukan
perubahan yang bersifat rusak karena pemakaian, dapat juga ditemukan yang
disebabakan oleh aterosklerosis. Pada AS reumatik, inflamasi endokardium
mengakibatkan perubahan dan fibrosis dari katup aorta dan akhirnya terjadi
perlengketan komisura.
Pada AS biasanya dapat ditemukan pembesaran ventrikel kiri. Tiga gejala
utama pada AS berat adalah: (1) angina, (2) sinkop oleh karena pergerakan,
dan (3) penyakit jantung kongestif. Pada pemeriksaan fisik dijumpai: (1)
bising ejeksi sistolik akhir yang kasar dan (2) pulsasi arteri karotis yang lemah
(parvus) dan lambat (tardus). Kadang juga dapat terdengar suara jantung S4
karena atrium terpaksa berkontraksi lebih keras untuk memompa ke dalam
ventrikel kiri melalui katup yang kaku.

2.4 Aorta Regurgitasi (AR) 11


Juga dikenal dengan aorta insufisiensi, dapat disebabkan oleh penyakit pada
daun katup aorta ataupun dilatasi dari akar aorta. Pada AR, terjadi regurgitasi
darah dari aorta kembali ke ventrikel kiri pada diastol.
Terbagi menjadi dua: AR akut dan AR kronis. Pada AR dapat dijumpai
“widened pulse pressure”. Hal ini terjadi karena sewaktu terjadi regurgitasi,
sejumlah besar darah yang mengalir balik ke ventrikel menyebabkan tekanan
diastole aorta (sistemik) menurun drastis dan untuk menanggulangi hal
tersebut maka volume darah sekuncup oleh ventrikel kiri berusaha dinaikkan
untuk kompensasi (mengakibatkan tekanan sistolik meningkat).
Pasien dengan AR mempunyai gejala dyspnea on exertion, fatigue,
penurunan toleransi olahraga dan denyut nadi yang kencang akibat tingginya
pulse pressure.

2.5 Trikuspid Stenosis (TS) 11


Jarang terjadi dan biasanya merupakan konsekuensi dari penyakit jantung
rematik. Opening snap dan bising diastolic TS sama seperti yang ditemukan
pada MS. Pada TS, vena leher nampak menonjol akibat kontraksi atrium
melawan katup trikuspid yang sempit. Biasanya dapat ditemukan distensi
abdomen dan hepatomegali.

12
2.6 Trikuspid Regurgitasi (TR) 11
Terjadi karena pembesaran ventrikel kanan akibat overload tekanan ataupun
volume. Pada pasien MS, 20% mempunyai TR (dimana 80% nya merupakan
TR fungsional akibat hipertensi pulmonal dengan pembesaran ventrikel kanan
dan 20% nya terjadi TR “organik" karena keterlibatan reumatik pada katub
trikuspid.

2.7 Pulmonal Stenosis (PS) 11


Jarang terjadi dan biasanya diasosiasikan dengan penyakit congenital dan
sindroma karsinoid.

2.8 Pulmonal Regurgitasi (PR) 11


Biasanya terjadi pada kasus hipertensi pulmonal berat dan terjadi akibat
dilatasi katub cincin karena pembesaran arteri pulmonal. Pada asuskultasi
dapat didengar bising decrescendo yang bernada tinggi pada batas sternum
kiri.

2.6 Pemeriksaan penunjang dan Diagnosa6


Pemeriksaan fisik
Pada stenosis mitral adalah terdengar ‘opening snap’ dan bising diastolic kasar
(diastolic rumble) pada daerah mitral. Tetapi sering pada pemeriksaan rutin
sulit bahkan tidak ditemukan rumble diastole dengan nada rendah, apalagi bila
tidak dilakukan dengan hati-hati. Walaupun demikian pada kasus-kasus ringan
harus dicurigai stenosis mitral ini bila teraba dan terdengar S1 yang mengeras.
S1 mengeras akibat pengisian yang lama membuat tekanan ventrikel kiri
meningkat dan menutup katup sebelum katup kembali ke posisinya. Demikian
pula bila terdengar bunyi P2 yang mengeras sebagai petunjuk hipertensi
pulmonal, harus dicurigai adanya bising diastole di mitral.

Beberapa usaha harus dilakukan untuk mendengar bising diastole antara lain
posisi lateral dekubitus, gerakan-gerakan atau latihan ringan, menahan nafas,
dan menggunakan bell dengan meletakkan pada dinding dada tanpa tekanan
yang keras. Derajat bising diastolic tidak menggambarkan beratnya stenosis
tetapi lamanya bising menggambarkan beratnya stenosis.

Pemeriksaan Foto Thoraks


Gambaran klasik dari foto thoraks adalah pembesaran atrium kiri serta
pembesaran arteri pulmonalis (terdapat hubungan yang bermakna antara
besarnya ukuran pembuluh darah dan resistensi vascular pulmonal). Edema

13
intertisial berupa garis Kerley terdapat pada 30% pasien dengan tekanan
atrium kiri <20 mmHg, 70% pada >20mmHg. Temuan lain dapat berupa garis
Kerley A serta kalsifikasi pada katup mitral.

Elektrokardiography
Pada pasien stenosis mitral sedang sampai berat dapat dijumpai tanda-tanda
pembesaran atrium kiri yaitu durasi p di lead II >0,12 detik dan segmen p
dengan tinggi dan lebar 1mm, pergeseran aksis ke kanan +45 sampai -30, s
persisten di V6 atau resultan r dan s >1 di V1 yang menandakan pembesaran
ventrikel kanan, bahkan adanya p pulmonal yang menandakan hipertensi
pulmonal, dan yang tersering adalah gambaran atrial fibrilasi.

Ekokardiography
Merupakan modalitas pilihan yang paling sensitive dan spesifik untuk
diagnosis stenosis mitral. Dengan ekokardiografi dapat dilakukan evaluasi
struktur katup, pliabilitas dari katup jantung, ukuran dari area katup jantung,
struktur dari apparatus subvalvular. Sedangkan dengan Doppler dapat
ditentukan gradient dari mitral, serta ukuran dari area mitral terutama pada
kalsifikasi.

2.7 Penatalaksanaan6,9
Pada kelompok pasien stenosis mitral yang asimptomatik, tindakan lanjutan
sangat tergantung dengan hasil pemeriksaan eko. Prinsipnya adalah stenosis
mitral adalah kelainan mekanik, maka obat-obatan hanya bersifat suportif atau
simptomatik. Beberapa obat-obatan golongan penisilin, eritromisin, sulfa,
sephalosporin untuk demam rematik atau pencegahan endokarditis sering
dipakai.

Obat-obat inotropik negative seperti β-blocker atau Ca antagonist dapat


member manfaat pada pasien dengan irama sinus yang member keluhan pada
saat frekuensi jantung meningkat seperti pada saat latihan. Pada stenosis mitral
irama sinus digoxin tidak bermanfaat, kecuali terdapat disfungsi ventrikel.
Pada fibrilasi atrium merupakan indikasi pemakaian digitalis yang dapat
dikombinasikan dengan β-bloker atau Ca antagonis yang pada keadaan
tertentu berguna untuk mencegah fibrilasi atrial paroximal.

14
Untuk pencegahan emboli dapat diberikan antikoagulan warfarin yang
sebaiknya dipakai pada stenosis mitral dengan fibrilasi atrium. Sedangkan
valvulotomi mitral perkutan dengan balon dapat dilakukan sesuai dengan
rekomendasi.

Intervensi bedah, reparasi katup, dan ganti katup juga dapat dilakukan.
Dengan konsep komisurotomi yang dialakukan terbuka karena adanya mesin
jantung paru. Dengan cara ini bisa dilakukan pemisahan komisura, atau korda,
otot papilaris, serta pembersihan kalsifikasi. Perlu diingat sebaiknya dilakukan
reparasi karena penggantian katup protesa menimbulkan resiko antikoagulasi,
thrombosis katup, infeksi endokarditis, dan lainnya.

2.8 Prognosis9
 Sebelum pembedahan, pasien simptomatik dengan stenosis mitral
mempunyai prognosis yang buruk dengan kemampuan hidup 5 tahun
karena sekitar 62% jatuh ke gagal jantung NYHA III dan 15% NYHA
IV
 Data dari pasien yang tidak dioperasi tetap bertahan hidup 5 tahun
hanya 44% dengan stenosis mitral yang simptomatik sembuh dengan
Valvotomi
 Beberapa prognosis klinis baik pada pasien yang dioperasi ataupun
dengan penggunaan balon valvuloplasti. Tetapi ini juga bergantung
dari umur, dan beratnya stenosis karena komplikasi dari proses ini.

15
BAB III

GAGAL JANTUNG KONGESTIF

3.1 Definisi

Ketidakmampuan jantung untuk memenuhi tuntutan metabolik tubuh atau


kegagalan jantung untuk memompa darah dengan efisiensi normal. Ketika ini
terjadi, jantung tidak mampu suplai aliran darah yang cukup ke organ lain seperti
otak, hati dan ginjal.

3.2 Etiologi

Banyak penyakit dapat mengganggu efisiensi pemompaan jantung


menyebabkan gagal jantung kongestif. Di Amerika Serikat, penyebab paling
umum gagal jantung kongestif adalah:

    * Penyakit koroner arteri,

    * Tekanan darah tinggi (hipertensi),

    * Penyalahgunaan alkohol berlanjutan, dan

    * Gangguan pada katup jantung.

Antara penyebab lain adalah infeksi virus dari kekakuan dari otot jantung,
gangguan tiroid, gangguan pada irama jantung, dan sebagainya.

Pasien dengan penyakit jantung yang mendasarinya, penggunaan obat


tertentu bisa mengarah pada perkembangan atau memburuknya gagal jantung
kongestif. Hal ini terutama pada obat-obatan yang dapat menyebabkan retensi
natrium atau mempengaruhi kekuatan otot jantung. Contoh dari obat tersebut
adalah obat yang biasa digunakan seperti antiinflamasi (NSAIDs), yang meliputi

16
ibuprofen (Motrin dan lain-lain) dan naproxen (Aleve dan lain-lain) serta steroid
tertentu, beberapa obat diabetes, dan sebagian calcium channel blocker.

3.3 Patofisiologi gagal jantung12


3.3.1Gagal jantung kiri12
Gagal jantung kronis dapat terjadi akibat berbagai gangguan pada jantung.
Etiologinya dapat dibedakan menjadi: (1) gangguan kontraktilitas
ventrikel, (2) peningkatan after-load, atau (3) gangguan pengisisan
ventrikel.
Gagal jantung yang diakibatkan oleh gangguan pada pengosongan
ventrikel (karena gangguan kontraktilitas atau after-laod yang berlebihan)
dinamakan disfungsi sistolik. Namun, gagal jantung yang diakibatkan oleh
gagalnya realaksasi sewaktu diastol atau pengisian ventrikel dinamakan
difungsi diastolik. Hampir dua per tiga pasien gagal jantung menderita
disfungsi sistolik dan hanya satu per tiga nya yang menderita disfungsi
diastolik.

a. Disfungsi sistolik
Pada disfungsi sistolik, kemampuan kapasitas ejeksi ventrikel yang
terpengaruh menurun karena gangguan kontraktilitas miokard ataupun
overload tekanan.
b. Disfungsi diastolik
Pasien-pasien dengan gangguan fungsi diastolik mempunyai gejala
gangguan relaksasi awal diastolik (proses aktif yang memerlukan
energy), peningkatan kekakuan dari dinding ventrikel (sifat pasif),
atapun keduanya.

17
Gangguan Kontraktilitas
1. Infark miokardium
2. Iskemia miokardium Peningkatan Afterload
sementara (overload tekanan)
3. Overload volume
kronis 1. Stenosis aorta
a. Mitral regurgitasi 2. Hipertensi tak
b. Aorta regurgitasi terkontrol
4. Kardiomiopati dilatasi

Disfungsi Sistolik

Gagal Jantung Kiri

Disfungsi Diastolik

Gangguan relaksasi ventrikel Obstruksi pengisian ventrikel kiri


1. Hipertropi ventrikel kiri 1. Stenosis mitral
2. Kardiomiopati hipertropi 2. Kontriksi perikardium
3. Kardiomiopati restriktif ataupun tamponade
4. Iskemia miokardium
sementara

Mekanisme dan contoh dari kondisi yang mengakibatkan gagal jantung kiri

18
3.3.2 Gagal jantung kanan12
Penyebab tersering yang menyebabkan gagal jantung kanan adalah gagal
jantung kiri. Pada situasi ini, afterlaod yang berlebihan melawan ventrikel
kanan dengan peningkatan tekanan pembuluh darah pulmonal yang
berakhir pada disfungsi ventrikel. Gagal jantung kanan terisolasi jarang
terjadi.

Contoh kondisi yang menyebabkan gagal jantung kanan


Yang disebabkan oleh oleh jantung
Gagal jantung kiri
Stenosis katup pulmonal
Infark ventrikel kanan
Penyakit parenkim paru
COPD
Penyakit paru interstisial
ARDS
Infeksi paru kronis atau bronkhiektasis
Penyakit vaskuler paru
Emboli paru
Hipertensi pulmonal primer

3.3 Klasifikasi

Klasifikasi berdasarkan New York Heart Association (NYHA):

Kelas I: pasien tanpa pembatasan kegiatan, mereka tidak menderita gejala dari
aktivitas biasa.

Kelas II: pasien dengan pembatasan kegiatan ringan; mereka merasa nyaman
dengan istirahat.

Kelas III: pasien dengan keterbatasan aktivitas, mereka hanya merasa nyaman
beristirahat.
Kelas IV: pasien yang harus beristirahat lengkap, terbatas pada tempat tidur atau
kursi; setiap aktivitas fisik membawa pada ketidaknyamanan dan gejala-gejala
muncul saat istirahat.

19
Kriteria diagnosis yang sering digunakan adalah kriteria Framingham, dimana
diagnosis dapat dibuat apabila terdapat dua gejala mayor atau satu gejala mayor
ditambah dua gejala minor; yaitu:

Gejala Mayor:

1. Distensi vena jugularis

2. Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND) atau orthopnea

3. Ronkhi basah basal (>10 cm di bawah basis paru)

4. Kardiomegali pada foto thoraks

5. Desah Gallop pada S3

6. Tekanan vena sentral >12 mmHg

20
7. Disfungsi ventrikel kiri pada ekokardiogram

8. Penurunan berat badan >4,5 kg sebagai respon terhadap terapi CHF

9. Edema pulmonal akut

Gejala Minor:

1. Edema pretibial bilateral

2. Batuk pada malam hari

3. Dyspnea on exertion

4. Hepatomegali

5. Efusi pleura

6. Takikardia (>120 kali/menit)

21
22
BAB IV

LAPORAN KASUS

Nama : Mrs. S

Jenis kelamin : wanita

Umur : 23 tahun

Pekerjaan :-

Tanggal masuk : 5 Juli 2010

Alamat : Desa Pasaribu Tobing Jae Sorka Sibolga

Keluhan Utama : Sesak nafas

Anamnesa : Hal ini dialami os sejak 1 bulan terakhir ini dan memberat 3 hari
sebelum masuk rumah sakit. Os mengeluhkan sesak nafas bila sedang melakukan
aktivitas sedang yaitu berjalan ±200 m (menyapu rumah). Os mengaku tidur
menggunakan 2-3 bantal untuk mengurangi sesak nafasnya. Riwayat terbangun
malam hari karena sesak (-). Riwayat kaki bengkak (-), nyeri dada (-), sesak nafas
dengan nafas berbunyi (-). Riwayat jantung berdebar-debar (+), riwayat radang
tenggorokan dan batuk pilek yang sering dan berulang (+), riwayat demam (+),
riwayat nyeri sendi berpindah-pindah dan berulang (+). Os sebelumnya berobat di
RS Brimob dan dirujuk ke Poliklinik Kardiologi RSUP HAM karena kelainan
jantung. Di Poliklinik Kardiologi RSUP HAM os di Echocardiografi dan
dinyatakan mempunyai kelainan katup jantung.

Faktor risiko PJK : -

RPT : tidak jelas

23
RPO : tidak jelas

Pemeriksaan fisik

KU : biasa Kesadaran : CM TD : 110/80 mmHg HR : 80 x/m

RR : 28x/m Suhu : 36,5 C JVP : R+2 cmH2O Sianosis : (-)

Ortopnoe : (+) Dispnoe : (+) Ikterus : (-) edema : (-) Pucat : (-)

Kepala : Conjunctiva palpebra Inferior Pucat (-), Ikterus (-)

Leher : TVJ R+2 cmH2O, pemb KGB (-), struma (-), trakea medial,
pulsasi supraklavikula (-)

Dinding toraks Inspeksi : Simetris fusiformis

Palpasi : SF kanan = kiri

Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru

Auskultasi : SP : Vesikuler

ST : ronchi basah basal

Batas jantung relative Atas : ICR III sinistra

Kanan : Linea sternalis dextra

Kiri : 1 cm medial linea midclavicularis sinistra

Jantung S1 (+) mengeras, S2 (+) normal S3 ( - ) S4 (-) aktivitas : ringan


Regularitasr : reguler

Murmur (+) dan MDM gr 3/6, opening snap (+)

Punctum maksimum : apex Radiasi : -

24
Paru Suara pernafasan : vesikuler

Suara tambahan : ronchi basah basal Wheezing(-)

Abdomen Palpasi hepar/lien : Tidak teraba

Ascites: (-)

Ekstremitas Superior : Sianosis (-)

Clubbing (-)

Inferior : Edema (-)

Pulsasi arteri : Arteri dorsalis pedis ka=ki

Akral : Hangat

Interpretasi rekaman EKG :

SR, QRS rate 100 x/menit, QRS axis normoaxis. P Wave (+). PR Interval 0,20
sec. QRS Duration 0,08 sec. ST change (-). RVH (-),LVH (-), VES (-). RSR’ di
V1-V2

Kesan : SR+RBBB incomplete

Interpretasi foto thoraks (AP/PA) :

CTR 56%, Segmen Aorta (N), segmen pulmonal (N), pinggang jantung mendatar,
Apex downward, kongesti (+), infiltrate (-).

Kesan: kardiomegali + kongesti (+)

25
HASIL EKOKARDIOGRAFI

Kesan : MS Severe + MR Mild +TR Moderate-Severe + PH Mild

Hasil laboratorium :

Darah rutin : Hb: 12.90 g%, eritrosit: 4.91 x 10 6/mm3, leukosit: 3160/mm3, Ht:
39.4%, PLT: 149000/mm3, MCV: 80.20 fl, MCH: 26.30 pg, MCHC: 32.70 g%,
RDW: 13.10 %.

Diagnosa kerja : CHF FC II-III ec MSec RHD

1. fungsional : CHF FC I-II

2. Anatomi : Mitral Valve

3. Etiologi : RHD

Pengobatan :

- Tirah baring
- O2 2-4 l/i (k/p)
- Diet Jantung III
- Furosemide 1 x 40 mg
- Captopril 3 x 6,25mg
- Digoxin 2 x 0,125 mg
- Bisoprolol 1 x 1,25 mg
- Spironolakton 1 x 12,5 mg
- KSR 1 x 600 mg
- Inj Penisilin Procain 1.2 juta U/3 minggu
- Prednison 3 x 5 mg

Rencana Pemeriksaan Lanjutan:

26
 Darah rutin
 LFT
 RFT
 PT, aPTT, TT, INR
 ASTO, CRP, LED
 Ekokardiografi
 EKG serial

27
Followan pasien

S O A P

Therapy

6-7- Sesak Sens: CM CHF FC II-III ec Tirah baring


2010 nafas TD: 110/80 mmHg MS ec RHD
O2 2-4 L/i
HR: 80x/i Diet Jantung III
RR 22x/i

T 36,40C Inj Penicilin Procain 1.2


juta IU/3minggu

Furosemide 1 x 40 mg
PD

Kepala: con. Palp. Inf. Pucat (-), Captopril 3 X 6.25 mg


ikterik (-)
Spironolakton 1 x
Leher: TVJ R+2 cmH20 12,5mg

Thorax: S1( N ) S2( N) Murmur Digoxin 2 x 0,125 mg


(+) tipe MDM gr 3/6 Bisoprolol 1 x 1.25 mg
Pulmo: SP vesikuler ST:ronchi Spironolakton 1 x 12,5
basah basal (+) mg
Abdomen: Asites (-), H/L/R (ttb) KSR 1 x 600 mg
Prednison 3 x 5 mg
Ekstremitas:

Superior: sianosis (-), clubbing (-)

Inferior: oedem pretibial (-/-)

Pulsasi arteri : Arteri dorsalis pedis


ka=ki

akral hangat.

28
tgl S O A P

Therapy

7-7- 2010 Sesak Sens: CM CHF FC II-III ec MS, ec Tirah baring


nafas TD: 110/70 mmHg RHD
O2 2-4 L/i
HR: 96x/i Diet Jantung III
RR 20x/i

T 36,50C Inj Penicilin Procain 1.2 juta


IU/3minggu

Furosemide 1 x 40 mg
PD

Kepala: con. Palp. Inf. Pucat Captopril 3 X 6.25 mg


(-), ikterik (-)
Spironolakton 1 x 12,5mg
Leher: TVJ R+2 cmH20
Digoxin 2 x 0,125 mg
Thorax: S1( N ) S2( N) Bisoprolol 1 x 1.25 mg
Murmur (+) Tipe MDM gr 3/6
Spironolakton 1 x 12,5 mg
Pulmo: SP vesikuler ST:ronchi KSR 1 x 600 mg
basah basal
Prednison 3 x 5 mg
Abdomen: Asites (-), H/L/R
(ttb)

Ekstremitas:

Superior: sianosis (-), clubbing


(-)

Inferior: oedem pretibial (-/-),

Pulsasi arteri : Arteri dorsalis


pedis ka=ki akral hangat.

29
DAFTAR PUSTAKA

1 World Health Organization (WHO). Rheumatic Fever and Rheumatic Heart


Disease: Report of a WHO Expert Consultation Geneva. WHO Technical
report series. Geneva: WHO, 2004; 122.
2 Guilherme L, Kalil J, and Cunningham M. Molecular mimicry in the
autoimmune pathogenesis of rheumatic heart disease. Autoimmunity 2006;
39(1): 31-39.
3 Steer AC, Danchin MH, and Carapetis JR. Group A streptococcal infections
in children. Journal of Paediatrics and Child Health 2007; 43: 203-213.
4 Guilherme L, et al. Rheumatic Heart Disease: Proinflammatory Cytokines
Play a Role in the Progression and Maintenance of Valvular Lesions.
American Journal of Pathology 2004; 165(5): 1583-1591.
5 Sainani GS and Sainani AR. Rheumatic Fever – How Relevant in India
Today? Suppliment to JAPI 2006; 54: 42-47.
6 Indrajaya.T.,Ghanie.A. 2006. Stenosis Mitral. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan FK UI, 1581-1586
7 Leman,S. 2006. Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik. Dalam :
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan FK UI,
1575-1579
8 Lilly, Leonard S. Valvular Heart Disease. In : Pathophysiology of Heart
Disease. Third edition. Boston : Lippincott Williams & Wilkins, 190-200.

9 Dima,C. 2010. Mitral Stenosis. Available from :


http://emedicine.medscape.com/article/155724-overview [ Accesed 5 July
2010]
10 Chin,T. 2010. Rheumatic Heart Disease. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/891897-overview [ Accesed 5 July
2010]
11 Edwards MM, O’Gara PT, and Lilly LS. Valvular Heart Disease. In Lilly,
Leonard S. 4th ed. Pathophysiology of Heart Disease. USA: Lippincott
Williams & Wilkins. 2007; 8: 197-224.
12 Shah, RV and Fifer MA. Heart Failure. In Lilly, Leonard S. 4 th ed.
Pathophysiology of Heart Disease. USA: Lippincott Williams & Wilkins.
2007; 9: 225-251.

30

Anda mungkin juga menyukai