Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit Kronis merupakan salah satu beban ganda dalam bidang

kesehatan selain penyakit infeksi yang merajalela. Diprediksikan pada

tahun 2020 penyakit tidak menular akan mencapai 73% dari penyebab

kematian dan 60% dari beban penyakit dunia (World Health Organization,

2002).

Ketika seorang anak memiliki kondisi terminal, orang tua harus

menjadi saksi untuk melewati penyakit ini dan kadang-kadang perawatan

sangat menyiksa di pengaturan perinatal atau pediatric. Ketika anak itu

memulai perkembangannya menuju kematian, orang tua harus

menyaksikan tanpa daya ketika kesehatan anak mereka memburuk, di

jalan panjang untuk menuju perpisahan.

Peran dan fungsi keluarga dalam teori system salah satunya adalah

sebagai pemberi perawatan (care giver) pada anggota keluarga yang sakit.

(Smith, Greenberg, & Seltzer, 2007). Lin dan Zebrack (2004) menyatakan

bahwa konsep normalisasi pada keluarga yang memiliki anggota keluarga

dengan penyakit kronis dilakukan dengan mengubah gaya hidup yang

mendukung proses pengobatan. Kegiatan-kegiatan tersebut anatara lain

melakukan pemeriksaan rutin, manjemen perawatan diri, perubahan pola

makan, aktivitas fisik, dan memaksimalkan dukungan emosional

dilakukan untuk memberikan kenyamanan (Lim & Zebrack, 2004).

1
Studi yang dilakukan Knafl dan Gillis (2002) menyebutkan bahwa

meskipun konsep normalisasi keluarga merupakan proses adaptif, namun

beberapa keluarga mengalami kesulitan dalam menjalani rutinitas yang

stabil berhubungan dengan proses pengobatan yang lama, perubahan

aktivitas fisik, serta perubahan peran dan tanggung jawab. Tingkat

kemandirian anggota keluarga yang mengalami sakit kronis juga

mempengaruhi tantangan yang di hadapi keluarga, keluarga dengan anak

SHCN (Special Health Care Needs) melaporkan bahwa mereka tidak

hanya mengalami stress emosional tapi juga beban finansial (Denham &

Looman, 2010). Di Amerika Serikat, 40% keluarga melaporkan

mengalami beban finansial ketika merawat anak mereka dengan SCHN

(Looman, O’Conner-Von Freksi, & Hildwnbran, 2009).

Care giver sering kali adalah seorang wanita (Stuart, 2009) Wanita

sendiri menurut Stuart (2009) menyatakan bahwa ia lebih sering terpapar

stress dengan jangka panjang. Seperti dalam perawatan pasien terminal ini.

Peran wanita yang begitu kompleks baik sebagai care giver bagi anak-

anaknya, pasangannya, maupun orang tuanya membuat seorang wanita

cenderung mengalami ketegangan peran saat di hadapkan pada situasi

yang penuh tekanan. Kasusnya Polgar-Bailey dan Takeuchi (dalam

Yamada, 1997) menyatakan seringkali care giver menghabiskan sumber

daya emosional, fisik dan finansial secara tidak seimbang. Moryz (1980)

mengatakan bahwa tekanan sebagai care giver dapat di sebakan oleh

konflik peran dan kelebihan peran yang di emban. Climo (1999)

2
menambahkan tekanan sebagai care giver juga termasuk tekanan ekonomi

dan keterbatasan dalam kegiatan social dan rekresional. Care giver

informal seringkali terplih karena suatu “keterpaksaan” untuk memikul

tanggung jawab sebagai care giver, yaitu memberikan dukungan fisik,

emosional dan finansial kepada anggota keluarga yang tingkat

ketergantungannya semakin tinggi akibat suatu penyakit (Yamada,1997).

Ada beberapa penyakit / kondisi yang bisa masuk dalam kategori penyakit

terminal, salah satunya penyakit kanker.

Kanker merupakan penyakit akibat pertumbuhan sel-sel abnormal

secara berlebih dan dapat merusak jaringan sel nomal di sekitarnya (Allan,

Albert, & Mulley, 2016). Menurut WHO, pada tahun 2012, kanker

menjadi penyebab kematian utama dengan menyumbang sekitar 8,2 Juta

kematian di seluruh dunia. Menurut data International Agency for

Research on Cancer (IARC), (2012) prevalensi kanker terbagi menjadi

presentase kasus baru dan kematian akibat kanker. Lebih dari 60% kasus

baru dan kematian akibat kanker sebanyak 70% terjadi di Afrika, Asia dan

Amerika tengah. Jenis kanker tertinggi dari prevalensi kasus baru dan

kematian pada laki-laki di dominasi oleh kanker paru sebanyak 34,2% dan

30,0% sedangkan pada wanita adalah kanker payudara sebanyak 43,3%

kasus baru dan 12,9% kematian akibat kanker payudara (Kemenkes RI,

2015).

Prevalensi penyakit kanker pada penduduk semua umur di

Indonesia menurut data Riskesdas (2013) sebesar 1,4% atau di perkirakan

3
sekitar 347.792 orang. Jawa Barat yang berada di urutan ketiga dengan

jumlah 45.473 orang. DKI Jakarta sendiri menduduki posisi kelima dalam

estimasi penderita kanker terbanyak sekitar 19.004 orang (Kemenkes RI,

2015).

Keluarga yang mendapatkan dukungan dari lingkungan sosialnya

mengalami tingkat stress yang lebih rendah dari pada yang tidak

mendapatkan dukungan social. Hal ini menggambarkan bahwa pentingnya

peran perawat sebagi konselor untuk mengarahkan keluarga dalam

menggunakan strategi koping yang positif (Allender, Rector, & Warner,

2010). Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk menggali

pengalaman keluarga dalam merawat klien dengan penyakit kronis di

Rumah Sakit.

Keluarga merupakan unit terkecil yang ada di masyarakat. Menurut

Siswanto (2006), salah satu fungsi keluarga adalah sebagai pemberi

perawatan kesehatan yaitu merupakan unit utama dimana pncegahan dan

pengobatan penyakit di lakukan. Keterlibatan dan dukungan keluarga akan

menunjang proses rehabilitas. Friedman (2013) menyatakan bahwa

dukungan keluarga merupakan proses yang terjadi sepanjang masa

kehidupan. Peran keluarga sebagai care giver bagi proses pengobatan

pasien kanker sangat besar terutama dalam menunjang motivasi pasien

untuk menjalani terapi.

Menurut penelitian Henrikson dan Arestedt (2013), Pasien kanker

yang di berikan dukungan keluarga, maka kualitas hidupnya meningkat.

4
Keluarga juga mempunyai pengaruh dalam berbagai tindakan medis yang

dilakukan seperti pengobatan dan perawatan. Seseorang yang

mendapatkan dukungan keluarga merasa diperhatikan, disayangi, merasa

berharga dan dapat berbagi beban, percaya diri dan menumbuhkan harapan

sehingga mampu menangkal atau mengurangi stress (Grant et al., 2013).

Terkait dengan keluarga interaksi dengan penyedia layanan

kesehatan (Aschenbrenner, Winters, & Belknap, 2012; Libenetal, 2008);

kebutuhan untuk tindak lanjut perawatan yang lebih besar berkabung dan

kesinambungan perawatan di semua tingkat system, termasuk koordinasi

antara pusat-pusat perawatan primer seperti rumah sakit dan rumah

perawatan sumber daya masyarakat/ berkabung (Contro & Sourkes,2012);

gejala dan manajemen nyeri pada anak-anak yang menerima perawatan

(Browning & Solomo,2005; Contro et al, 2002;. Solomon & Browning,

2005); dan dukungan berkabung untuk saudara dan anggota keluarga

(Contro et al., 2002).

Percakapan sekitarnya diagnosis, pengobatan, dan prognosis yang

sekarat atau anak yang sakit parah penting bagi orang tua, dan cara di

mana percakapan ini diadakan akan memiliki konsekuensi. Masalah

interpersonal seperti komunikasi, dukungan emosional yang dirasakan,

dan empati/ sensitivitas penyedia layanan kesehatan atau Health-Care

Providers (Health-Care Providers (HCPs) memainkan peran penting

bagaimana pengalaman baik positif dan negative orang tua dan mengatasi

kematian anak ini adalah salah satu cara yang paling menonjol dari menilai

5
kualitas pemberian perawatan akhir hidup (Aschenbrenner et al, 2012;.

Pullen, Golden, & Cacciatore, 2012). Meskipun bukti yang menunjukan

positif empati kerendahan hati, dan belas kasih terhadap keluarga yang

berduka dan upaya untuk mengajarkan keterampilan ini di dalam

penelitian medis, baik bukti ini maupun pedadogi saat ini telah di

terjemahkan ke dalam peningkatan perawatan psikososial seperti yang di

rasakan oleh orang tua yang berduka (Gallagher, Cass, Black, & Norridge,

2012;.Pullen et al, 2012). Khususnya, beberapa artikel membahas dampak

bahwa satu interaksi dapat memiliki kemampuan jangka panjang dari

orang orang tua dan keluarga untuk mengatasi dan membuat makna dari

kematian seseorang yang mereka cintai (Browning & Solomon, 2005;.

Contro et al. 2002; Emas, 2007; Pullen et al.,2012).

Topik lain yang umum di bahas dalam leteratur adalah persepsi

orang tua bahwa anak mereka yang sakit atau sekarat menderita sakit fisik

dan gejala yang menyusahkan selama perawatannya (Browning &

Solomon, 2005; Contro et al, 2002; Solomon & Browning, 2005). Ini

adalah temuan yang menonjol mengingat kesedihan mendalam dan

ketakutan yang orang tua telah laporkan sebelum dan sesudah kematian

anak mereka jika mereka merasa dia menderita (Hoeldte & Calhoun,2001).

Penyedia layanan kesehatan atau Health-Care Providers (Health-

Care Providers (HCPs) juga mengalami kesulitan yang signifikan karena

keterikatan mendalam mereka sendiri dengan pasien dan keluarga (Contro

& Sourkes,2012). Banyak penelitian menerangkan perlunya peningkatan

6
dukungan emosional, bimbingan, dan pendidikan penyedia. Sebagai

contoh, penyedia melaporkan perlunya pelatihan dalam masalah

kompetensi budaya seputar kesedihan, kematian, dan kematian (Browning

& Solomon, 2005; Contro & Sourkes, 2012; Gold, 2007). Pada catatan

terkait, penyedia juga melaporkan kesenjangan dalam aspek interpersonal /

psikosososial pemberian perawatan kepada keluarga minoritar budaya

(Contro et al., 2002; Contro & Sourkes, 2012), termasuk kurangnya

penyediaan juru bahasa spanyol selama peristiwa penting (misalnya,

selama operasi; Contro & Sourkes, 2002). Tingkat rasa bersalah yang

tinggi, menyalahkan diri sendiri dan orang lain, takut akan ligitasi, risiko

kelelahan, dan tekanan emosional pada professional perawatan juga di

catat dalam penelitian ini (Contro & Sourkes, 2012; Gold, 2007).

Ada kelangkaan penelitian tentang pengalaman hidup orang tua

dari rangkaian perawatan akhir hidup dan berkabung dengan Health-Care

Providers (HCPs) dan penyedia perawatan lainnya. Penelitian ini

bertujuan untuk secara kualitatif mengevaluasi persepsi orang tua tentang

pengalaman mereka dengan Health-Care Providers (HCPs) sebelum dan

sesudah kematian anak mereka di berbagai pengaturan dan lokasi

geografis.

B. Rumusan Masalah

Kejadian penyakit terminal di Indonesia terus meningkat. Hal ini

tentunya akan mempengaruhi pengalaman keluarga sebagai care giver

pada anak dengan penyakit terminal. Berdasarkan fenomena-fenomena

7
latar belakang maka, Bagaimanakah pengalaman keluarga sebagi care

giver pada anak dengan penyakit terminal ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui pengalaman keluarga sebagai care giver pada anak dengan

penyakit terminal.

2. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

a. Mengidentifikasi gambaran karakteristik keluarga yang merawat

pasien terminal (kanker).

b. Mengidentifikasi kemampuan keluarga sebagai care giver di

bidang kesehatan dalam memberikan perawatan pada anggota

keluarga yang sakit.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Secara Praktis

Hasil penelitian ini dapat di gunakan sebagai data tambahan

sehingga dapat memperkaya body of knowlage bagi penelitian

berikutnya yang terkait pengalaman keluarga sebagai care giverpada

anak dengan penyakit terminal, dan sebagai informasi tambahan bagi

perawat rumah sakit dan keluarga sebagai dasar asuhan keperawatan

sehingga akan di daptkan intervensi yang tepat dalam penangannanya.

2. Manfaat Secara Akademis

8
Hasil dari penelitian ini dapat di gunakan sebagai tambahan dan

referensi serta rujukan mata kuliah manejemen dan keperawatan anak.

Anda mungkin juga menyukai