Lapporan Kasus Peritonitis (Sandi) Set Jadi
Lapporan Kasus Peritonitis (Sandi) Set Jadi
Pembimbing:
dr. Hj. Sumarmi
Disusun oleh:
dr. Sandi Kurniawan
Peritonitis merupakan suatu kejadian mengancam nyawa yang umumnya disertai adanya
bacteremia dan sindrom sepsis.1 Peritonitis sendiri didefinisikan sebagai adanya peradangan pada
peritoneum baik lokal atau difus (generalisata) dari lokasinya, akut atau kronik dari natural history,
dan infectious atau aseptik dari patogenesisnya. Peritonitis akut umumnya bersifat infectious dan
berhubungan dengan perforasi holoviskus (disebut sebagai peritonitis sekunder).1,2 Etiologi umum
dari peritonitis sekunder, antara lain appendisitis perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster atau
duodenum), perforasi colon (sigmoid) karena diverticulitis, volvulus, kanker, dan strangulasi. 2
Tingkat mortalitas dari peritonitis yang terasosiasi dengan perforasi ulkus, appendiks,
dan diverticulum dibawah 10% pada pasien tanpa riwayat penyakit penyerta, namun tingkat
mortalitas sampai 40% dilaporkan pada pasien geriatrik, pasien dengan riwayat penyakit
penyerta, dan apabila peritonitis sudah berlangsung lebih dari 48 jam. 1 Oleh karena itu,
sebagai calon dokter umum yang akan berjaga di Unit Gawat Darurat sebuah rumah sakit,
harus dapat mendiagnosis dan memberikan penanganan awal yang tepat pada peritonitis akut
agar resiko terjadinya mortalitas dapat dihindari.
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 62 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat / tanggal lahir : Kuningan, 15/10/1957
Agama : Islam
Alamat : Dusun Wage, RT 009/002. Desa Sakertatimur. Kecamatan Darma,
Kuningan
Suku Bangsa : Sunda
I. ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis dengan Tn. S
Lokasi : IGD RSUD 45 Kuningan
Tanggal / waktu : 25 November 2019 pukul 13.00 WIB
Tanggal masuk : 25 November 2019
Keluhan utama :
Pasien mengeluh nyeri ulu hati hebat sejak 6 jam Sebelum masuk rumah sakit
(SMRS).
A. Status Generalis
Keadaan Umum
Kesan Sakit : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos mentis
Kesan Gizi : Kesan gizi cukup
Keadaan lain : Anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), dyspnoe (-)
Data Antropometri
Berat Badan sekarang : 60 kg
Tingi Badan : 167 cm
BMI : 21,5 kg/m2
Tanda Vital
Status Generalis
KEPALA : Normocephali, tidak terdapat deformitas, hematoma (-)
RAMBUT : Rambut hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut, tebal
WAJAH : Wajah simetris, pembengkakan (-), luka (-), jaringan parut (-)
MATA :Alis mata merata, Bulu mata hitam, merata, konjungtiva
anemis (-/-) , sklera ikterik (-/-), RCL (+/+), RCTL (+/+)
HIDUNG :
Bentuk : Simetris
Napas cuping hidung : Tidak terdapat napas cuping hidung
Sekret : Tidak terdapat sekret
Deviasi septum : Tidak terdapat deviasi septum
Mukosa hiperemis : Tidak terdapat mukosa hiperemis
Konka eutrofi : Sulit dinilai
BIBIR : Mukosa berwarna tidak pucat, kering, sianosis (-),
MULUT : Tidak terdapat trismus, oral hygiene baik.
LIDAH : Normoglosia, tidak terdapat atrofi papil,
TENGGOROKAN : Arkus faring simetris, tidak hiperemis, uvula ditengah, tonsil T1-T1
tidak hiperemis, kripta tidak melebar
LEHER : Bentuk tidak tampak kelainan, tidak tampak pembesaran tiroid
maupun KGB, tidak tampak deviasi trakea, tidak teraba pembesaran
tiroid maupun KGB, trakea teraba di tengah
THORAKS : Simetris saat inspirasi dan ekspirasi, deformitas tidak ada, retraksi
tidak ada.
JANTUNG
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS VI linea midklavikularis sinistra.
Perkusi : Batas kiri jantung : ICS VI linea midklavikularis sinistra.
Batas kanan jantung : ICS III – V linea sternalis dextra.
Batas atas jantung : ICS III linea parasternalis sinistra.
Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
PARU
Inspeksi
- Bentuk thoraks simetris pada saat statis dan dinamis, tidak ada pernapasan yang
tertinggal, tipe pernapasan torakal- abdomino.
Palpasi
- Tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan, gerak napas simetris kanan dan kiri,.
Perkusi
- Sonor di kedua lapang paru.
- Batas paru dan hepar di ICS VI linea midklavikularis dextra.
Auskultasi
- Suara napas vesikuler, reguler, tidak terdapat rhonki atau wheezing
ABDOMEN :
Abdomen
Inspeksi : distensi (-), perut tampak cembung, massa (-), venektasi (-),
sikatrik (-), striae (-)
Auskultasi : BU (+) menurun, suara tambahan (-), metallic sound (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (+) pada seluruh kuadran abdomen, defans
muskuler (+) pada seluruh kuadran abdomen, hepar/lien sulit dinilai.
Perkusi : timpani (+), seluruh lapang abdomen, nyeri saat di palpasi di
seluruh kuadran abdomen
Triceps N N
Patella N N
Achiles N N
Rangsang meningeal
Kaku kuduk -
Kanan Kiri
Kerniq - -
Laseq - -
Bruzinski I - -
Bruzinski II - -
Ureum 50
Creatinin 1,65
FUNGSI HATI
SGOT 13
SGPT 7
PEMERIKSAAN ELEKTROLIT
Na 136
K 4,1
Cl 1,21
EKG
IV. RESUME
Pasien seorang laki - laki usia tahun 62 tahun datang ke IGD RSUD 45 Kuningan
dengan keluhan nyeri perut sejak 6 jam SMRS. Nyeri bertambah hebat bila pasien bergerak,
duduk, maupun berjalan. Keluhan dirasakan setelah pasien meminum kopi. Keluhan demam
disangkal oleh pasien. BAB pasien normal, flatus (+) terakhir 12 jam SMRS, BAK dalam
batas normal.
Pasien sudah dibawa ke klinik sekitar 4 jam SMRS, dari klinik diberikan sucralfat syr
dan ranitidin namun belum ada perubahan. Sebelumnya pasien sering mengeluh nyeri ulu hati
seperti ini dan menghilang dengan meminum obat-obatan maagh dari warung. Pasien juga
memiliki kebiasaan meminum kopi 3-5 gelas sehari dan sering mengonsumsi jamu-jamu
pegal linu. Pasien memiliki riwayat penyakit maag sejak kurang lebih 5 tahun yang lalu.
Pasien sering mengkonsumsi obat maag yang dijual di apotek secara bebas apabila maagnya
kambuh. Awalnya pasien pikir sakit yang dirasakannya adalah penyakit maagnya, namun
sakit bertambah parah sehingga pasien sadar bahwa ini bukan sakit maag yang biasa
dialaminya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital tekanan darah 120/80 mmHg, nadi
110x/m (takikardi), pernafasan 20 x/m dan suhu 36,5o C. Pada status generalisata didapatkan
abdomen perut tampak cembung, massa (-), venektasi (-), sikatrik (-), striae (-), auskultasi
didapatkan bising usus yanng menurun, palpasi didapatkan nyeri tekan seluruh lapang paru
dan defence muscular, dan perkusi didapatkan timpani (+), seluruh lapang abdomen, nyeri
saat di palpasi di seluruh kuadran abdomen
Pada pemeriksaan foto rontgen abdomen 3 posisi didapatkan gambaran udara bebas
dalam rongga abdomen (pneumoperitoneum)
V. DIAGNOSIS KERJA
- Peritonitis generalisata e.c perforasi gaster
VI. DIAGNOSIS BANDING
- Peritonitis generalisata e.c perforasi appendiks
VII. PENATALAKSANAAN
Non-medikamentosa
1. Komunikasi, informasi, edukasi kepada orang tua pasien mengenai keadaan
pasien.
2. Observasi tanda vital
3. Observasi hasil laboratorium
4. Pro NGT
Medikamentosa
- IVFD RL 500 ml/8 jam
- Antibiotik: Cefotaxime Injeksi : 2 x 1 gram I.V
- Omeprazole Injeksi 20 mg : 1x1 I.V
- Ketorolac Injeksi : 2x1 I.V
- Metronidazole Drip : 3x500 mg
Operatif
- Pro Laparotomy
IX. PROGNOSIS
- Ad Vitam : Dubia Bonam
- Ad Sanationam : Dubia Bonam
- Ad Fungsionam : Dubia Bonam
Follow up
Tanggal S O A P
Ekstremitas:
hangat(-), CRT <2
detik
Ekstremitas:
hangat(-), CRT <2
detik
Ekstremitas:
hangat(-), CRT <2
detik
Ekstremitas:
hangat(-), CRT <2
detik
Ekstremitas:
hangat(-), CRT <2
detik
Ekstremitas:
hangat(-), CRT <2
detik
BAB III
ANALISA KASUS
Pasien yang dibahas dalam laporan kasus ini adalah seorang pria berusia 62 tahun
mengeluhkan adanya nyeri perut hebat yang muncul mendadak di seluruh perutnya sejak 6
jam yang lalu. Akut abdomen merupakan istilah yang umum digunakan untuk kondisi pasien
ini, yaitu adanya nyeri perut mendadak yang tidak diketahui penyebabnya (namun berasal
dari gangguan intra-abdomen) yang hebat yang muncul kurang dari 24 jam dan umumnya
membutuhkan diagnosis dini dan penanganan pembedahan emergency. Akut abdomen
memiliki variasi diagnosis banding yang cukup banyak sehingga membutuhkan evaluasi lebih
lanjut. Evaluasi awal yang memudahkan klinisi untuk mengetahui etiologi dari akut abdomen
adalah lokasi nyeri. Keluhan nyeri beserta seluruh karakteristik nyeri pada pasien ini
sebenarnya sugestif sudah terjadi peritonitis akut (karena nyeri dirasakan di seluruh lapang
abdomen), namun hal penting yang perlu diketahui adalah awalnya nyeri hanya dirasakan di
ulu hati saja (regio epigastrium). Nyeri epigastrik sebelum terjadinya nyeri di seluruh
abdomen disertai adanya riwayat dyspepsia kronis (sejak 5 tahun yang lalu) mengarahkan
kemungkinan diagnosis pada perforasi ulkus peptikum. Appendisitis perforasi sebagai salah
satu diagnosis banding etiologi dari peritonitis harus selalu dipikirkan kemungkinannya
karena merupakan penyebab utama yang paling sering menyebabkan peritonitis (walaupun
nyeri kuadran kanan bawah tidak dikeluhkan oleh pasien).
Pada pemeriksaan fisik ditemukan peningkatan suhu (37,5 celcius) pada tanda-
tanda vital (lainnya dalam batas normal). Pada pemeriksaan abdomen ditemukan adanya perut
datar seperti papan (hampir tidak pergerakan ketika inspirasi-ekspirasi), bising usus (+) tetapi
menurun, tidak supel, nyeri tekan dan nyeri lepas positif pada seluruh lapang abdomen, dan
defense muscular positif.
Pemeriksaan abdomen pada pasien ini jelas menunjukan adanya peritonitis umum.
karena ditemukan trias peritonitis yang sering digunakan secara klinis adalah adanya nyeri
tekan, nyeri lepas, dan defense muscular pada seluruh lapang abdomen. Bising usus yang
menurun merupakan tanda paralisis peristalsis usus (ileus paralitik) yang umum ditemukan
pada pasien peritonitis. Pemeriksaan penunjang berupa ekg tidak ditemukan adanya kelainan.
Pada hasil pemeriksaan rontgen BNO 3 Posisi ditemukan pneumoperitonium yaitu gambaran
udara bebas yang berada di rongga abdomen yang seharusnya tidak boleh ada udara. Hal ini
menunjukan bahwa telah terjadi suatu kebocoran dinding dari salah satu organ yang ada di
abdomen bisa terjadi karena perforasi dari gaster, appendiks maupun organ intestinal yang
lain.
Operasi laparatomi dilaksanakan dengan insisi midline dan pada saat peritoneum
dibuka, pus keluar sekitar 200 cc. Dilakukan irigasi dengan NaCl, kemudian dieksplorasi,
ditemukan adanya perlengketan. Ditemukan perforasi gaster kurang lebih 2 cm. Operasi
laparatomi berlangsung selama 2 jam 10 menit. Instruks pascaoperasi: pasien dipuasakan
hingga bising usus (+) dan flatus (+), pemberian obat-obatan: IVFD RL : D5% : Hydromal,
Meropenem 3x1 IV, Metronidazole 3x 500 mg IV, Ketorolac 3x30 mg IV, Omeprazole
1x20mg IV.
TINJAUAN PUSTAKA
Pembahasan mengenai peritonitis seringkali tidak terlepas dari istilah yang disebut
sebagai intra-abdominal infections (IAI) dan abdominal sepsis.4 Intra-abdominal infections
dibagi menjadi dua bagian besar, antara lain uncomplicated IAI yang didefinisikan sebagai
mproses infeksi hanya mengenai organ tunggal (organ viscera) dan complicated IAI yang
adalah proses infeksi yang lebih lanjut, tidak hanya melibatkan organ tunggal tersebut dan
menyebabkan peradangan peritoneum lokal maupun difus,3 sedangkan abdominal sepsis
didefinisikan sebagai manifestasi sistemik (tanda sepsis) akibat dari peradangan peritonitis
yang berat.4
Gambar 3. Potongan sagittal dari abdomen yang memperlihatkan peritoneum parietal dan
visceral
Gambar dikutip dari: Standring S. Chapter 64. Peritoneum and Peritoneal Cavity. In: Standring S.
Gray’s Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical Practice. 40 th Edition. Churchill Livingstone El
Sevier. 2008.
Peritoneum parietal dipersarafi dari cabang saraf somatis eferen dan aferen yang
mempersarafi otot-otot dan kulit dari dinding abdomen,6 sedangkan peritoneum visceral
dipersarafi dari cabang saraf visceral aferen yang juga memberikan suplai saraf otonom pada
organ visceral tersebut (Gambar 5).7 Adanya persarafan yang berbeda ini mengakibatkan
perbedaan respon sensasi apabila terjadi kondisi patologis yang menstimulasi peritoneum
visceral atau parietal. Nyeri yang terlokalisir terjadi akibat stimulus mekanik, termal, atau
kimiawi pada reseptor nyeri (nociceptor) di peritoneum parietal.
Sensasi nyeri umumnya terjadi di satu atau dua level dermatom pada setiap lokasi
peritoneum parietal yang terstimulasi. Saraf somatis tersebut selain menghantarkan sensasi
nyeri terlokalisir, juga menghantarkan refleks kontraksi otot apabila terjadi iritasi dari parietal
peritoneum. Refleks inilah yang menyebabkan localized hypercontractility (muscle guarding)
dan perut papan (rigidity of abdominal wall).6 Di sisi lain, iritasi dari peritoneum visceral
tidak memberikan sensasi nyeri dan refleks otot yang serupa seperti pada iritasi peritoneum
parietal. Ketika saraf visceral peritoneum visceral terstimulasi sensasi nyeri akan dialihkan
ke salah satu daerah dari tiga lokasi, antara lain lokasi epigastrium (struktur foregut),
periumbilikal (struktur midgut), dan suprapubik (struktur hindgut).6,7
Peritoneum terdiri dari selapis sel-sel mesothelium yang berdiri dibawah membran
basalis, dan sekumpulan jaringan ikat yang dibentuk dari sel adiposa, makrofag, fibroblast,
limfosit, dan jaringan ikat elastik kollagen.4 Total luas permukaan peritoneum sekitar 1,7 m2.
Dalam kondisi normal, peritoneum sifatnya steril dan berisi sekitar 50 mL cairan kekuningan
yang berisikan makrofag, sel mesotelium, dan limfosit. Membran peritoneum memiliki sifat
difusi semipermeabel untuk air dan zat-zat terlarut tertentu sehingga terjadi difusi secara
terus-menerus dari cairan peritoneum dengan cairan interselullar. Tidak seperti cairan dan
zat-zat terlarut lainnya, partikel yang lebih besar dieliminasi lewat orifisum yang dibentuk
oleh sel-sel mesotelium terspesialisasi yang terletak di permukaan subdiafragma dalam
rongga peritoneum menuju sirkulasi limfatik.4 Eliminasi ini difasilitasi oleh pergerakan
diafragman dan tekanan thorako-abdominal. Proses eliminasi ini merupakan salah mekanisme
pertahanan tubuh untuk menjaga peritoneum tetap steril.
4.3 EPIDEMIOLOGI
Data mengenai tingkat insidensi peritonitis sangat terbatas,2 namun yang pasti
diketahui adalah diantara seluruh jenis peritonitis, peritonitis sekunder merupakan peritonitis
yang paling sering ditemukan dalam praktik klinik.2,3 Hampir 80% kasus peritonitis
disebabkan oleh nekrosis dari traktus gastrointestinal. 4 Penyebab umum dari peritonitis
sekunder, antara lain appendicitis perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster atau duodenum),
perforasi kolon karena diverticulitis, volvulus, atau keganasan, dan strangulasi dari usus
halus.2 Terdapat perbedaan etiologi peritonitis sekunder pada negara berkembang
(berpendapatan rendah) dengan negara maju. Pada negara berpendapatan rendah, etiologi
peritonitis sekunder yang paling umum, antara lain appendisitis perforasi, perforasi ulkus
peptikum, dan perforasi tifoid.9 Sedangkan, di negara-negara barat appendisitis perforasi tetap
merupakan penyebab utama peritonitis sekunder, diikuti dengan perforasi kolon akibat
divertikulitis.10 Tingkat insidensi peritonitis pascaoperatif bervariasi antara 1%-20% pada
pasien yang menjalani laparatomi.
Pada era pre-antibiotik peritonitis primer mencakup sekitar 10% dari seluruh akut
abdomen, namun dewasa ini hanya mencakup kurang dari 1-2%. 8 Penurunan yang bermakna
diduga dikarenakan penemuan dari antibiotik. Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP)
ditemukan terutama pada pasien sirosis hepatis Child-Pugh class C (Pasien yang mengalami
SBP, 70% merupakan Child-Pugh class C). 2 Peritonitis tersier ditemukan umumnya pada
pasien immunocompromised.
Pada peritonitis sekunder terjadi kontaminasi rongga peritoneum yang steril terhadap
mikroorganisme yang berasal dari traktus gastrointestinal. 8 Dalam keadaan fisiologis tidak
ada hubungan langsung antara lumen gastrointestinal dengan rongga peritoneum, namun
apabila terjadi kerusakan integritas dari traktus gastrointestinal hubungan tersebut tercipta.
Kerusakan integritas dari traktus gastrointestinal terjadi pada beberapa kondisi, seperti
appendisitis perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster atau duodenum), perforasi colon
(sigmoid) karena diverticulitis, sampai volvulus, kanker, dan strangulasi (hernia inguinalis,
femoralis, atau obturator).2 Akibat kontaminasi tersebut, flora normal usus seperti Escherichia
coli dan Klebsiella pneumoniae (serta bakteri gram negatif dan anaerobik lainnya) masuk
dalam rongga peritoneum. Infeksi pada peritonitis sekunder secara tipikal bersifat
polimikrobial (gram negatif aerob dan anaerob). Adanya invasi dari bakteri-bakteri tersebut
menyebabkan reaksi peradangan seperti yang mengaktifkan seluruh mekanisme pertahanan
peritoneum (dari eliminasi mekanik sampai pembentukan eksudat). Eliminasi mekanik
menjadi salah satu jalur utama bagi bakteri-bakteri masuk dalam pembuluh darah
(bakteremia) yang pada akhirnya dapat berlanjut menjadi sepsis, sepsis berat, syok sepsis, dan
MODS (Multiple Organ Dysfunction Syndrome). Reaksi peradangan lokal menyebabkan
peningkatan permeabilitas dari pembuluh darah kapiler sehingga terjadi perpindahan cairan
ke “rongga ketiga” yang dapat berlanjut menjadi hipovolemia. Reaksi peradangan tersebut
dapat berlanjut menjadi SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome), dimana dapat
ditemukan dua tanda berikut, antara lain suhu >38° C atau <36° C, nadi >90 kali/menit, laju
nafas >20 kali/menit, or PaCO2 <32 mmHg, WBC >12,000 sel/mm3 or <4000 sel/mm3, or
<10% imatur (neutrofil batang). Proses inflamasi akut dalam rongga abdomen
mengakibatkan terjadinya aktivasi saraf simpatis dan supresi dari peristalsis (ileus). Absorbsi
cairan dalam usus akan terganggu sehingga cairan tidak hanya terdapat pada rongga
peritoneum, tetapi juga dalam lumen usus. Selain itu, ileus paralitik menyebabkan
pertumbuhan mikroorganisme yang tidak terkontrol.
4.5 DIAGNOSIS
Peritonitis merupakan sebuah diagnosis klinis, berdasarkan pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik.2,4 Gejala utama pada seluruh kasus peritonitis adalah nyeri perut yang
hebat, tajam, dirasakan terus-menerus, dan diperparah dengan adanya pergerakan.4 Mayoritas
pasien cenderung diam terlentang di tempat tidur dengan sedikit menekuk lutut untuk
mengurangi nyeri perut (karena maneuver tersebut mengurangi tekanan pada dinding
abdomen). Adanya anoreksia, mual, dan muntah seringkali pula ditemukan, namun bervariasi
tergantung etiologi dari peritonitis. Anamnesis harus pula mencari kemungkinan sumber
etiologi dari peritonitis sekunder sehingga harus ditanyakan mengenai riwayat penyakit
sekarang (riwayat dyspepsia kronis mengarahkan ke perforasi ulkus peptikum, riwayat
inflammatory bowel disease atau divertikulum mengarahkan perforasi kolon karena
divertikulitis, riwayat demam lebih dari 1 minggu disertai pola demam dan tanda-tanda klinis
khas untuk tifoid mengarahkan ke perforasi tifoid, adanya riwayat hernia daerah inguinal
(inguinalis atau femoralis) harus disuspek kemungkinan adanya strangulasi, sedangkan nyeri
mendadak tanpa disertai adanya riwayat penyakit apapun mengarahkan ke appendisitis
perforasi), riwayat operasi abdomen sebelumnya. 2 Berbeda dengan peritonitis sekunder,
peritonitis primer patut dicurigai pada pasien-pasien dengan tanda klinis asites dan riwayat
penyakit liver kronis (terutama sirosis hepatis).4,8
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan pasien sakit berat, dengan temuan tanda-
tanda SIRS (tanda sistemik), dan tanda-tanda lokal seperti dijelaskan pada manifestasi klinis.
Pada tanda-tanda lokal dapat dicari point of maximal tenderness (daerah dimana terjadi iritasi
maksimal dari peritoneum) untuk menentukan lokasi proses patologis awal (etiologi dari
peritonitis).2 Pemeriksaan colok dubur umumnya akan menunjukan adanya nyeri pada seluruh
lokasi. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap
dengan hitung jenis (ditemukan leukositosis, dengan shift to the left yaitu peningkatan sel
batang PMN), kimia darah dapat ditemukan kelainan seperti peningkatan ureum dan kreatinin
(tanda syok hipovolemik atau sepsis berat), dan pemeriksaan ABG (arterial blood gas) dapat
menunjukan adanya asidosis metabolik, pemeriksaan urinalisis untuk menyingkirkan
diagnosis dari traktus urinarius. Selain pemeriksaan darah, pemeriksaan radiologis seperti x-
ray dapat berguna (free air under diaphragm yang terlihat pada posisi upright pada perforasi
ulkus peptikum (Gambar 6),12 tetapi jarang pada etiologi lainnya). Pemeriksaan CT-scan
umumnya tidak diperlukan dan hanya akan menunda penanganan pembedahan (apabila
peritonitis dapat ditegakkan berdasarkan klinis).4Apabila diagnosis klinis tidak konklusif
dapat dilaksanakan diagnostic peritoneal lavage (DPL) untuk analisis cairan peritoneum, 4
ditemukannya hasil yang positif (>500 leukosit/mL) mengarahkan diagnosis peritonitis.2,4
Gambar 6. Pneumoperitoneum (free air under diaphragm)
Gambar dikutip dari: Baron MJ, Kasper DL. Chapter 127. Intraabdominal Infections and Abscesses. In: Longo
DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18
edition. The McGraw Hill Companies. 2012. Accessed in: http://ezproxy.library.uph.edu:2076/content.aspx?
aID=9119694&searchStr=peritonitis
4.6 TATALAKSANA
Penanganan pada peritonitis primer mencakup pemberian antibiotik broad spectrum,
seperti sefalosporin generasi ke-3 (cefotaxime intravena 3x 2 gram atau ceftriaxone 1x2
gram), penicillin/β-lactamase inhibitor (piperacillin/tazobactam 4x 3,375 gram pada orang
12
dewasa dengan fungsi ginjal normal). Terapi empiris untuk bakteri anaerob tidak
dibutuhkan pada pasien dengan primary bacterial peritonitis (PBP atau SBP). Pasien
peritonitis primer umumnya mengalami perbaikan gejala dalam 72 jam pemberian antibiotik
yang tepat.
Pendekatan utama pada pasien peritonitis sekunder, antara lain koreksi etiologi
(source control terutama dengan tindakan pembedahan), pemberian antibiotik sistemik, dan
terapi suportif (resusitasi).2 Tidak seperti penanganan peritonitis primer yang secara prinsip
adalah tindakan non-pembedahan, sine qua non penanganan peritonitis sekunder adalah
tindakan pembedahan dan bersifat life-saving.12 Tindakan pembedahan tidak hanya dapat
“early and definitive source control” dengan mengoreksi etiologi peritonitis sekunder, tetapi
juga dapat mengeliminasi bakteri dan toksinnya dalam rongga abdomen.13 Keterlambatan
dan tidak adekuatnya tindakan pembedahan dapat memperburuk prognosis.
4.7 PROGNOSIS
Tingkat mortalitas pada peritonitis umum adalah bervariasi dari dibawah 10%-40%
pada perforasi kolon (Tabel 1).11 Faktor yang mempengaruhi tingkat mortalitias yang tinggi
adalah etiologi penyebab peritonitis dan durasi penyakitnya, adanya kegagalan organ
sebelum penanganan, usia pasien, dan keadaan umum pasien.Tingkat mortalitas dibawah
10% ditemukan pada pasien dengan perforasi ulkus atau appendicitis, pasien usia muda,
kontaminasi bakteri yang minim, dan diagnosis-penanganan dini. Skor indeks fisiologis
yang buruk (APACHE II atau Mannheim Peritonitis Index), riwayat penyakit jantung, dan
tingkat serum albumin preoperatif yang rendah merupakan pasien resiko tinggi yang
membutuhkan penanganan intensif (ICU) untuk menurunkan angka mortalitas yang tinggi.
Tabel dikutip dari: Doherty GM. Chapter 22. Peritoneal Cavity. In: Doherty GM, ed. CURRENT Diagnosis &
Treatment: Surgery. 13th ed. New York: McGraw-Hill; 2010. http://www.accessmedicine.com/content.aspx?
aID=5215855. Accessed November 11, 2013.
BAB V
KESIMPULAN
Perforasi gastrointestinal merupakan suatu bentuk penetrasi yang komplek dari dinding
lambung, usus halus, usus besar akibat dari bocornya isi dari usus ke dalam rongga perut. Perforasi
dari usus mengakibatkan secara potensial untuk terjadinya kontaminasi bakteri dalam rongga perut
( keadaan ini dikenal dengan istilah peritonitis).
Perforasi pada saluran cerna sering disebabkan oleh penyakit-penyakit seperti ulkus gaster,
appendicitis, keganasan pada saluran cerna, divertikulitis, sindroma arteri mesenterika superior,
trauma.
1. Silen W. Chapter 300. Acute Appendicitis and Peritonitis. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper
DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18
edition. The McGraw Hill Companies. 2012. Accessed in:
http://ezproxy.library.uph.edu:2076/content.aspx?aID=9132908
2. Daley BJ, Katz J. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Emedicine Medscape 2013. Accessed in:
http://emedicine.medscape.com/article/180234-overview#showall
3. Sartelli M. A Focus on Intra-Abdominal Infections. W J Emerg Surg 2010;5:9
4. Ordoñez CA, Puyana JC. Management of Peritonitis in the Critically Ill Patient. Surg Clin
North Am 2006; 86(6): 1323–49
5. Moore KL, Agur AMR. Chapter 2. Abdomen. In: Moore KL, Agur AMR. Essential Clinical
Anatomy. 3rd Edition. Lippincott & Williams Wilkins. 2007. p. 118-204
6. Standring S. Chapter 64. Peritoneum and Peritoneal Cavity. In: Standring S. Gray’s Anatomy:
The Anatomical Basis of Clinical Practice. 40 th Edition. Churchill Livingstone El Sevier.
2008.
7. Neurobiology of Visceral Pain. International Association for the Study of Pain 2012.
Accessed in: http://www.iasp-pain.org/AM/Template.cfm?
Section=Fact_Sheets5&Template=/CM/ContentDisplay.cfm&ContentID=16194
8. Johnson CC, Baldessarre J, Levison ME. Peritonitis: Update on Pathophysiology, Clinical
Manifestations, and Management. Clin Inf Dis 1997;24:1035-47
9. Gupta S, Kaushik R. Peritonitis - the Eastern experience. World J Emerg Surg 2006; 1:13.
10. Malangoni M, Inui T. Peritonitis - the Western experience. World J Emerg Surg 2006;
1(1):25.
11. Doherty GM. Chapter 22. Peritoneal Cavity. In: Doherty GM, ed. CURRENT Diagnosis &
Treatment: Surgery. 13th ed. New York: McGraw-Hill; 2010.
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=5215855. Accessed November 11, 2013.
12. Baron MJ, Kasper DL. Chapter 127. Intraabdominal Infections and Abscesses. In: Longo DL,
Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 18 edition. The McGraw Hill Companies. 2012. Accessed in:
http://ezproxy.library.uph.edu:2076/content.aspx?aID=9119694&searchStr=peritonitis
13. Peralta R, Geibel J. Surgical Approach to Peritonitis and Abdominal Sepsis. Emedicine
Medscape 2013. Accessed in: http://emedicine.medscape.com/article/1952823-
overview#showall
14. Siegenthaler W. Acute Abdomen. In: Siegenthaler W. Differential Diagnosis in Internal
Medicine: From Symptom to Diagnosis. Thieme. 2007. p. 257-8
15. Cartwright SL, Knudson MP. Evaluation of Acute Abdominal Pain in Adults. Am Fam
Physician 2008;77(7):971-8