Anda di halaman 1dari 34

CASE REPORT SESSION

Peritonitis Generalisata e.c Perforasi Gaster

Pembimbing:
dr. Hj. Sumarmi

Disusun oleh:
dr. Sandi Kurniawan

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH 45 KUNINGAN


KABUPATEN KUNINGAN
JAWA BARAT
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Peritonitis merupakan suatu kejadian mengancam nyawa yang umumnya disertai adanya
bacteremia dan sindrom sepsis.1 Peritonitis sendiri didefinisikan sebagai adanya peradangan pada
peritoneum baik lokal atau difus (generalisata) dari lokasinya, akut atau kronik dari natural history,
dan infectious atau aseptik dari patogenesisnya. Peritonitis akut umumnya bersifat infectious dan
berhubungan dengan perforasi holoviskus (disebut sebagai peritonitis sekunder).1,2 Etiologi umum
dari peritonitis sekunder, antara lain appendisitis perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster atau
duodenum), perforasi colon (sigmoid) karena diverticulitis, volvulus, kanker, dan strangulasi. 2
Tingkat mortalitas dari peritonitis yang terasosiasi dengan perforasi ulkus, appendiks,
dan diverticulum dibawah 10% pada pasien tanpa riwayat penyakit penyerta, namun tingkat
mortalitas sampai 40% dilaporkan pada pasien geriatrik, pasien dengan riwayat penyakit
penyerta, dan apabila peritonitis sudah berlangsung lebih dari 48 jam. 1 Oleh karena itu,
sebagai calon dokter umum yang akan berjaga di Unit Gawat Darurat sebuah rumah sakit,
harus dapat mendiagnosis dan memberikan penanganan awal yang tepat pada peritonitis akut
agar resiko terjadinya mortalitas dapat dihindari.
BAB II

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 62 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat / tanggal lahir : Kuningan, 15/10/1957
Agama : Islam
Alamat : Dusun Wage, RT 009/002. Desa Sakertatimur. Kecamatan Darma,
Kuningan
Suku Bangsa : Sunda

I. ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis dengan Tn. S
Lokasi : IGD RSUD 45 Kuningan
Tanggal / waktu : 25 November 2019 pukul 13.00 WIB
Tanggal masuk : 25 November 2019

Keluhan utama :

Pasien mengeluh nyeri ulu hati hebat sejak 6 jam Sebelum masuk rumah sakit
(SMRS).

Keluhan tambahan : - Mual


- Muntah
- Perut terasa penuh
a. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengeluh nyeri ulu hati hebat sejak 6 jam SMRS. Keluhan dirasa
tambah memberat. Nyeri kemudian menjalar dari ulu hati ke seluruh perut. Nyeri
bertambah hebat bila pasien bergerak, duduk, maupun berjalan. Keluhan dirasakan
setelah pasien meminum kopi. Keluhan demam disangkal oleh pasien. BAB pasien
sedikit, flatus (+) terakhir 12 jam SMRS, BAK dalam batas normal.
Pasien sudah dibawa ke klinik sekitar 4 jam SMRS, dari klinik diberikan
sucralfat syr dan ranitidin namun belum ada perubahan. Sebelumnya pasien sering
mengeluh nyeri ulu hati seperti ini dan menghilang dengan meminum obat-obatan
maagh dari warung. Pasien juga memiliki kebiasaan meminum kopi 3-5 gelas sehari
dan sering mengonsumsi jamu-jamu pegal linu. Pasien memiliki riwayat penyakit
maag sejak kurang lebih 5 tahun yang lalu. Pasien sering mengkonsumsi obat maag
yang dijual di apotek secara bebas apabila maagnya kambuh. Awalnya pasien pikir
sakit yang dirasakannya adalah penyakit maagnya, namun sakit bertambah parah
sehingga pasien sadar bahwa ini bukan sakit maag yang biasa dialaminya.

b. Riwayat Penyakit Dahulu


 Keluhan yang sama disangkal
 Riwayat penyakit stroke disangkal
 DM (-), Hipertensi (-), Jantung (-), Asma (-)
 Riwayat trauma disangkal
 Riwayat operasi sebelumnya di bagian abdomen disangkal

c. Riwayat Penyakit Keluarga


 Keluhan yang sama disangkal
 Riwayat penyakit stroke disangkal
 DM (-), Hipertensi (-), Jantung (-), Asma (-)
 Riwayat trauma disangkal
 Riwayat operasi sebelumnya di bagian abdomen disangkal
Kesimpulan riwayat keluarga: Dari keluarga pasien, tidak ada yang mengalami hal
yang sama seperti pasien.

d. Riwayat Kebiasaan: Pasien memiliki kebiasaan merokok sebelumnya, pasien juga


setiap hari mengkonsumsi kopi 2-3 gelas. Pasien suka sekali dengan makanan yang
pedas dan asam. Pasien tidak memiliki riwayat kebiasaan konsumsi narkoba.

e. Riwayat Lingkungan Perumahan


Pasien tinggal bersama dengan istri dan anaknya. Rumah pasien berada di wilayah
padat penduduk, merupakan rumah pribadi, satu lantai, beratap genteng, berlantai
ubin, dan berdinding tembok. Kamar tidur berjumlah 3, kamar mandi berjumlah 1,
terdapat dapur, ruang makan, ruang tamu, serta teras yang berjumlah 1 di depan
rumah.Ventilasi dan pencahayaan kurang baik. Sumber air bersih dari sumur.
Peralatan makan dicuci menggunakan air biasa, tidak selalu direndam di air mendidih.
Sampah dibuang ke tempat sampah dan setiap hari dikumpulkan di tempat sampah
depan rumah.

Kesimpulan keadaan lingkungan: Lingkungan perumahan cukup baik, dan disertai


dengan kawasan padat penduduk.

f. Riwayat Sosial dan Ekonomi


Pasien bekerja sebagai wiraswasta dengan gaji yang tidak menentu Rp 2.500.000
sampain Rp 3.000.000 setiap bulannya. Sedangkan istri pasien adalah ibu rumah
tangga. Menurut istri pasien mengatakan penghasilan tersebut kurang cukup untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kesimpulan sosial ekonomi: Pasien berasal dari keluarga dengan taraf sosial
ekonomi menengah dan penghasilan keluarga cukup.
II. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik pada pasien dilakukan di IGD RSUD 45 Kuningan, 25 November


2019 Pukul 13.00 WIB

A. Status Generalis
Keadaan Umum
Kesan Sakit : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos mentis
Kesan Gizi : Kesan gizi cukup
Keadaan lain : Anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), dyspnoe (-)
Data Antropometri
Berat Badan sekarang : 60 kg
Tingi Badan : 167 cm
BMI : 21,5 kg/m2

Tanda Vital

Tekanan Darah : 120/80 mmHg


Nadi : 110x/ menit, reguler, kuat, isi cukup, equal kanan dan kiri
Nafas : 20x / menit, tipe abdomino-torakal, regular, dalam
Suhu : 36,5°C (diukur dengan thermometer raksa di axilla)

Status Generalis
KEPALA : Normocephali, tidak terdapat deformitas, hematoma (-)
RAMBUT : Rambut hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut, tebal
WAJAH : Wajah simetris, pembengkakan (-), luka (-), jaringan parut (-)
MATA :Alis mata merata, Bulu mata hitam, merata, konjungtiva
anemis (-/-) , sklera ikterik (-/-), RCL (+/+), RCTL (+/+)

Visus : Kesan baik

Ptosis : Tidak terdapat ptosis baik pada mata kanan


maupun mata kiri
Lagofthalmus : Tidak terdapat lagofthalmus baik pada mata kanan
maupun mata kiri
Cekung : Tidak terdapat mata cekung baik pada mata kanan
maupun mata kiri
Exophthalmus : Tidak terdapat exophtalmus baik pada mata kanan
maupun mata kiri
Kornea jernih : Kornea tampak jernih pada mata kanan dan mata
kiri
Lensa jernih : Lensa tampak jernih pada mata kanan dan mata
kiri
Strabismus : Tidak terdapat strabismus baik pada mata kanan
maupun mata kiri
Pupil : Pupil tampak bulat pada mata kanan dan kiri
TELINGA :
Bentuk : normotia
Tuli : Tidak terdapat kesan tuli pada kuping kanan dan
kiri
Nyeri tarik aurikula : tidak terdapat nyeri tekan aurikula pada kuping
kanan dan kiri
Nyeri tekan tragus : tidak terdapat nyeri tekan tragus pada telinga
kanan dan kiri
Liang telinga : Sulit dinilai
Membran timpani : Sulit dinilai
Serumen : Sulit dinilai
Refleks cahaya : Sulit dinilai

HIDUNG :
Bentuk : Simetris
Napas cuping hidung : Tidak terdapat napas cuping hidung
Sekret : Tidak terdapat sekret
Deviasi septum : Tidak terdapat deviasi septum
Mukosa hiperemis : Tidak terdapat mukosa hiperemis
Konka eutrofi : Sulit dinilai
BIBIR : Mukosa berwarna tidak pucat, kering, sianosis (-),
MULUT : Tidak terdapat trismus, oral hygiene baik.
LIDAH : Normoglosia, tidak terdapat atrofi papil,
TENGGOROKAN : Arkus faring simetris, tidak hiperemis, uvula ditengah, tonsil T1-T1
tidak hiperemis, kripta tidak melebar
LEHER : Bentuk tidak tampak kelainan, tidak tampak pembesaran tiroid
maupun KGB, tidak tampak deviasi trakea, tidak teraba pembesaran
tiroid maupun KGB, trakea teraba di tengah
THORAKS : Simetris saat inspirasi dan ekspirasi, deformitas tidak ada, retraksi
tidak ada.
JANTUNG
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS VI linea midklavikularis sinistra.
Perkusi : Batas kiri jantung : ICS VI linea midklavikularis sinistra.
Batas kanan jantung : ICS III – V linea sternalis dextra.
Batas atas jantung : ICS III linea parasternalis sinistra.
Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
PARU
Inspeksi
- Bentuk thoraks simetris pada saat statis dan dinamis, tidak ada pernapasan yang
tertinggal, tipe pernapasan torakal- abdomino.
Palpasi
- Tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan, gerak napas simetris kanan dan kiri,.
Perkusi
- Sonor di kedua lapang paru.
- Batas paru dan hepar di ICS VI linea midklavikularis dextra.
Auskultasi
- Suara napas vesikuler, reguler, tidak terdapat rhonki atau wheezing
ABDOMEN :
Abdomen
 Inspeksi : distensi (-), perut tampak cembung, massa (-), venektasi (-),
sikatrik (-), striae (-)
 Auskultasi : BU (+) menurun, suara tambahan (-), metallic sound (-)
 Palpasi : supel, nyeri tekan (+) pada seluruh kuadran abdomen, defans
muskuler (+) pada seluruh kuadran abdomen, hepar/lien sulit dinilai.
 Perkusi : timpani (+), seluruh lapang abdomen, nyeri saat di palpasi di
seluruh kuadran abdomen

ANOGENITALIA : Anus tidak tampak merah.


KULIT : Sawo matang, turgor normal, kelembaban normal.
KGB :
Preaurikuler : tidak teraba membesar
Postaurikuler : tidak teraba membesar
Submandibula : tidak teraba membesar
Supraclavicula : tidak teraba membesar
Axilla : tidak teraba membesar
Inguinal : tidak teraba membesar
ANGGOTA GERAK :

Ekstremitas : Akral hangat pada keempat ekstremitas, tidak ada edema


CRT < 2 detik, anemis (-), sianosis (-), ikterik (-)

Tangan Kanan Kiri


Tonus otot Normotonus Normotonus
Sendi Aktif Aktif
Refleks fisiologis N N
Refleks patologis - -
Edema - -

Kaki Kanan Kiri


Tonus otot Normotonus Normotonus
Sendi Aktif Aktif
Refleks fisiologis + +
Refleks patologis - -
Edema - -
Tanda rangsang meningeal : (-)
TULANG BELAKANG : Bentuk normal, tidak terdapat deviasi, tidak benjolan, tidak ada
ruam.
NEUROLOGIS
Refleks Fisiologis Kanan Kiri
Biseps N N

Triceps N N

Patella N N

Achiles N N

Refleks Patologis Kanan Kiri


Babinski - -
Chaddock - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaeffer - -

Rangsang meningeal
Kaku kuduk -
Kanan Kiri
Kerniq - -
Laseq - -
Bruzinski I - -
Bruzinski II - -

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Laboratorium Darah
Jenis Pemeriksaan Hasil (25/10/2019)
HEMATOLOGI LENGKAP
Leukosit 4,86 ribu/L
Hemoglobin 10,9 g/dL
Hematokrit 33,3%
Trombosit 403 ribu/L
Eritrosit 4,30 juta/L
MCV 84,0 fL
MCH 28,1 pg
MCHC 33,6 g/dL
Waktu perdarahan 1’45”
Waktu pembekuan 4’00”
FUNGSI GINJAL

Ureum 50
Creatinin 1,65
FUNGSI HATI
SGOT 13
SGPT 7
PEMERIKSAAN ELEKTROLIT
Na 136
K 4,1
Cl 1,21

Foto Rontgen BNO 3 Posisi

EKG

IV. RESUME
Pasien seorang laki - laki usia tahun 62 tahun datang ke IGD RSUD 45 Kuningan
dengan keluhan nyeri perut sejak 6 jam SMRS. Nyeri bertambah hebat bila pasien bergerak,
duduk, maupun berjalan. Keluhan dirasakan setelah pasien meminum kopi. Keluhan demam
disangkal oleh pasien. BAB pasien normal, flatus (+) terakhir 12 jam SMRS, BAK dalam
batas normal.
Pasien sudah dibawa ke klinik sekitar 4 jam SMRS, dari klinik diberikan sucralfat syr
dan ranitidin namun belum ada perubahan. Sebelumnya pasien sering mengeluh nyeri ulu hati
seperti ini dan menghilang dengan meminum obat-obatan maagh dari warung. Pasien juga
memiliki kebiasaan meminum kopi 3-5 gelas sehari dan sering mengonsumsi jamu-jamu
pegal linu. Pasien memiliki riwayat penyakit maag sejak kurang lebih 5 tahun yang lalu.
Pasien sering mengkonsumsi obat maag yang dijual di apotek secara bebas apabila maagnya
kambuh. Awalnya pasien pikir sakit yang dirasakannya adalah penyakit maagnya, namun
sakit bertambah parah sehingga pasien sadar bahwa ini bukan sakit maag yang biasa
dialaminya.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital tekanan darah 120/80 mmHg, nadi
110x/m (takikardi), pernafasan 20 x/m dan suhu 36,5o C. Pada status generalisata didapatkan
abdomen perut tampak cembung, massa (-), venektasi (-), sikatrik (-), striae (-), auskultasi
didapatkan bising usus yanng menurun, palpasi didapatkan nyeri tekan seluruh lapang paru
dan defence muscular, dan perkusi didapatkan timpani (+), seluruh lapang abdomen, nyeri
saat di palpasi di seluruh kuadran abdomen

Pada pemeriksaan foto rontgen abdomen 3 posisi didapatkan gambaran udara bebas
dalam rongga abdomen (pneumoperitoneum)

V. DIAGNOSIS KERJA
- Peritonitis generalisata e.c perforasi gaster
VI. DIAGNOSIS BANDING
- Peritonitis generalisata e.c perforasi appendiks
VII. PENATALAKSANAAN
Non-medikamentosa
1. Komunikasi, informasi, edukasi kepada orang tua pasien mengenai keadaan
pasien.
2. Observasi tanda vital
3. Observasi hasil laboratorium
4. Pro NGT

Medikamentosa
- IVFD RL 500 ml/8 jam
- Antibiotik: Cefotaxime Injeksi : 2 x 1 gram I.V
- Omeprazole Injeksi 20 mg : 1x1 I.V
- Ketorolac Injeksi : 2x1 I.V
- Metronidazole Drip : 3x500 mg

Operatif
- Pro Laparotomy

IX. PROGNOSIS
- Ad Vitam : Dubia Bonam
- Ad Sanationam : Dubia Bonam
- Ad Fungsionam : Dubia Bonam

Follow up
Tanggal S O A P

26/11/19 Pasien mengeluhkan K/U TSS Post - IVFD RL:


nyeri dibagian bekas TD 120/80 laparotomy D5%:Hydromal (1:1:2)
luka operasi, demam HR 110x/m H+1 e.c - Inj. Meropenem 3x1
(-), mual (-), muntah RR 24x/m peritonitis - Inj. Ketorolac 2x1
(-), BAB dan BAK T 36.8oC generalisata - Inj. Omeprazole 1x1
tidak ada keluhan. Saturasi 98% - Metronidazol Drip 3x1
NGT (+), DC(+)
Ka-/- SI -/-, mulut
kering, Typhoid
tounge (+)

SNV +/+ Rh -/- Wh


-/-

BJ1&2 reg M(-) G(-)

Abd supel (+) BU


(+)turgor kembali
cepat, nyeri tekan (+)

Ekstremitas:
hangat(-), CRT <2
detik

27/11/19 Pasien mengeluhkan K/U TSS Post - IVFD RL:


nyeri dibagian bekas TD 120/80 laparotomy D5%:Hydromal (1:1:2)
luka operasi, demam HR 110x/m H+2 e.c - Inj. Meropenem 3x1
(-), mual (-), muntah RR 24x/m peritonitis - Inj. Ketorolac 2x1
(-), BAB dan BAK T 36.8oC generalisata - Inj. Omeprazole 1x1
tidak ada keluhan Saturasi 98% - Metronidazol Drip 3x1
NGT (+), DC(+)
Ka-/- SI -/-, mulut
kering, Typhoid
tounge (+)

SNV +/+ Rh -/- Wh


-/-

BJ1&2 reg M(-) G(-)

Abd supel (+) BU


(+)turgor kembali
cepat, nyeri tekan (+)

Ekstremitas:
hangat(-), CRT <2
detik

28/11/19 Pasien mengeluhkan K/U TSS Post - IVFD RL:


nyeri dibagian bekas TD 120/80 laparotomy D5%:Hydromal (1:1:2)
luka operasi, demam HR 100x/m H+3 e.c - Inj. Meropenem 3x1
(-), mual (-), muntah RR 20x/m peritonitis - Inj. Ketorolac 2x1
(-), BAB dan BAK T 36.8oC generalisata - Inj. Omeprazole 1x1
tidak ada keluhan Saturasi 98% - Metronidazol Drip 3x1
NGT (+), DC(+)
Ka-/- SI -/-, mulut
kering, Typhoid
tounge (+)

SNV +/+ Rh -/- Wh


-/-

BJ1&2 reg M(-) G(-)

Abd supel (+) BU


(+)turgor kembali
cepat, nyeri tekan (+)

Ekstremitas:
hangat(-), CRT <2
detik

29/11/19 Pasien mengeluhkan K/U TSS Post - IVFD RL:


nyeri dibagian bekas TD 120/80 laparotomy D5%:Hydromal (1:1:2)
luka operasi, demam HR 98x/m H+4 e.c - Inj. Meropenem 3x1
(-), mual (-), muntah RR 24x/m peritonitis - Inj. Ketorolac 2x1
o
(-), BAB dan BAK T 36.8 C generalisata - Inj. Omeprazole 1x1
tidak ada keluhan Saturasi 98% - Metronidazol Drip 3x1
NGT (-), DC(+)
Ka-/- SI -/-, mulut
kering, Typhoid
tounge (+)

SNV +/+ Rh -/- Wh


-/-

BJ1&2 reg M(-) G(-)

Abd supel (+) BU


(+)turgor kembali
cepat, nyeri tekan (+)

Ekstremitas:
hangat(-), CRT <2
detik

30/11/19 Pasien mengeluhkan K/U TSS Post - IVFD RL:


nyeri dibagian bekas TD 120/80 laparotomy D5%:Hydromal (1:1:2)
luka operasi, demam HR 100x/m H+5 e.c - Inj. Meropenem 3x1
(-), mual (-), muntah RR 22x/m peritonitis - Inj. Ketorolac 2x1
o
(-), BAB dan BAK T 36.8 C generalisata - Inj. Omeprazole 1x1
tidak ada keluhan Saturasi 98% - Metronidazol Drip 3x1
NGT (-), DC(-)
Rencana Pulang Ka-/- SI -/-, mulut
kering, Typhoid
tounge (+)

SNV +/+ Rh -/- Wh


-/-

BJ1&2 reg M(-) G(-)

Abd supel (+) BU


(+)turgor kembali
cepat, nyeri tekan (+)

Ekstremitas:
hangat(-), CRT <2
detik

1/12/19 Pasien mengeluhkan K/U TSS Post - Aff Infuse


nyeri dibagian bekas TD 120/80 laparotomy - Cefixime 2 x 200 mg
luka operasi, demam HR 110x/m H+6 e.c P.O
(-), mual (-), muntah RR 24x/m peritonitis - Paracetamol 3 x 500
o
(-), BAB dan BAK T 36.8 C generalisata mg tab P.O
Pasien pulang Saturasi 98% - Ranitidine 2 x 150 mg
P.O
Ka-/- SI -/-, mulut
kering, Typhoid
tounge (+)
SNV +/+ Rh -/- Wh
-/-

BJ1&2 reg M(-) G(-)

Abd supel (+) BU


(+)turgor kembali
cepat, nyeri tekan (+)

Ekstremitas:
hangat(-), CRT <2
detik
BAB III
ANALISA KASUS

Pasien yang dibahas dalam laporan kasus ini adalah seorang pria berusia 62 tahun
mengeluhkan adanya nyeri perut hebat yang muncul mendadak di seluruh perutnya sejak 6
jam yang lalu. Akut abdomen merupakan istilah yang umum digunakan untuk kondisi pasien
ini, yaitu adanya nyeri perut mendadak yang tidak diketahui penyebabnya (namun berasal
dari gangguan intra-abdomen) yang hebat yang muncul kurang dari 24 jam dan umumnya
membutuhkan diagnosis dini dan penanganan pembedahan emergency. Akut abdomen
memiliki variasi diagnosis banding yang cukup banyak sehingga membutuhkan evaluasi lebih
lanjut. Evaluasi awal yang memudahkan klinisi untuk mengetahui etiologi dari akut abdomen
adalah lokasi nyeri. Keluhan nyeri beserta seluruh karakteristik nyeri pada pasien ini
sebenarnya sugestif sudah terjadi peritonitis akut (karena nyeri dirasakan di seluruh lapang
abdomen), namun hal penting yang perlu diketahui adalah awalnya nyeri hanya dirasakan di
ulu hati saja (regio epigastrium). Nyeri epigastrik sebelum terjadinya nyeri di seluruh
abdomen disertai adanya riwayat dyspepsia kronis (sejak 5 tahun yang lalu) mengarahkan
kemungkinan diagnosis pada perforasi ulkus peptikum. Appendisitis perforasi sebagai salah
satu diagnosis banding etiologi dari peritonitis harus selalu dipikirkan kemungkinannya
karena merupakan penyebab utama yang paling sering menyebabkan peritonitis (walaupun
nyeri kuadran kanan bawah tidak dikeluhkan oleh pasien).

Pada pemeriksaan fisik ditemukan peningkatan suhu (37,5 celcius) pada tanda-
tanda vital (lainnya dalam batas normal). Pada pemeriksaan abdomen ditemukan adanya perut
datar seperti papan (hampir tidak pergerakan ketika inspirasi-ekspirasi), bising usus (+) tetapi
menurun, tidak supel, nyeri tekan dan nyeri lepas positif pada seluruh lapang abdomen, dan
defense muscular positif.

Pemeriksaan abdomen pada pasien ini jelas menunjukan adanya peritonitis umum.
karena ditemukan trias peritonitis yang sering digunakan secara klinis adalah adanya nyeri
tekan, nyeri lepas, dan defense muscular pada seluruh lapang abdomen. Bising usus yang
menurun merupakan tanda paralisis peristalsis usus (ileus paralitik) yang umum ditemukan
pada pasien peritonitis. Pemeriksaan penunjang berupa ekg tidak ditemukan adanya kelainan.
Pada hasil pemeriksaan rontgen BNO 3 Posisi ditemukan pneumoperitonium yaitu gambaran
udara bebas yang berada di rongga abdomen yang seharusnya tidak boleh ada udara. Hal ini
menunjukan bahwa telah terjadi suatu kebocoran dinding dari salah satu organ yang ada di
abdomen bisa terjadi karena perforasi dari gaster, appendiks maupun organ intestinal yang
lain.

Dari seluruh gejala-tanda klinis, serta pemeriksaan penunjang, ditetapkan diagnosis


kerja untuk pasien ini adalah peritonitis akut generalisata ec suspek perforasi gaster (dengan
diagnosis banding perforasi appendisiks). Pasien direncanakan untuk dilakukan operasi cito
laparatomi. Pasien langsung dipuasakan makan dan minum, diberikan infus RL sebanyak 21
tpm (1500 mL/24 jam), antibiotik (sefalosporin generasi ketiga yaitu cefotsxime dengan dosis
2x1 gram intravena dikombinasikan dengan metronidazole untuk bakteri anaerob yaitu 3x500
mg intravena), analgetik untuk mengurangi nyeri pasien karena pasien sangat kesakitan
(ketorolac 3x30 mg), dan omeprazole 1x20 mg intra vena untuk mengurangi ekskresi asam
lambung (karena pasien dipuasakan).

Operasi laparatomi dilaksanakan dengan insisi midline dan pada saat peritoneum
dibuka, pus keluar sekitar 200 cc. Dilakukan irigasi dengan NaCl, kemudian dieksplorasi,
ditemukan adanya perlengketan. Ditemukan perforasi gaster kurang lebih 2 cm. Operasi
laparatomi berlangsung selama 2 jam 10 menit. Instruks pascaoperasi: pasien dipuasakan
hingga bising usus (+) dan flatus (+), pemberian obat-obatan: IVFD RL : D5% : Hydromal,
Meropenem 3x1 IV, Metronidazole 3x 500 mg IV, Ketorolac 3x30 mg IV, Omeprazole
1x20mg IV.

Pada pascaoperatif laparatomi yang harus diperhatikan adalah adanya tanda-


tanda klinis peritonitis pascaoperatif (defense muscular dan adanya pus yang banyak pada
drain). Pascaoperasi hari pertama, pasien merasa sangat kembung dan masih belum flatus,
oleh karena itu dipasang NGT untuk dekompresi lambung, pasien masih dipuasakan.Tidak
ditemukan adanya tanda defense muscular, drain terpasang dengan volume darah 5cc/24 jam.
Pada hari kedua, keluhan kembung pasien sudah berkurang dan flatus (+), bising usus (+)
namun masih belum normal sehingga pasien masih dipuasakan. Hari berikutnya
(Pascaoperasi hari III) bising usus sudah membaik, NGT dilepas, dan diet lunak dijalankan.
Pada pascaoperasi hari ke IV pasien dipulangkan.
BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

4.1 DEFINISI & KLASIFIKASI


Peritonitis sendiri didefinisikan sebagai adanya peradangan pada peritoneum baik lokal
atau difus (generalisata) dari lokasinya, akut atau kronik dari natural history, dan infectious
atau aseptik dari patogenesisnya.1 Peritonitis umumnya dikategorikan menjadi primary
peritonitis (primer), secondary peritonitis (sekunder) , dan tertiary peritonitis (tersier).1,2,3
Peritonitis primer merupakan peradangan pada peritoneum yang penyebabnya berasal dari
ekstraperitoneal dan umumnya dari hematogenous dissemination.4 Peritonitis sekunder adalah
peritonitis akibat hilangnya integritas dari traktus gastrointestinal yang umumnya disebabkan
perforasi traktus gastrointestinal karena organ intra-abdomen yang terinfeksi. 3,4 Adanya
peritonitis persisten atau rekuren setelah penanganan yang adekuat terhadap peritonitis primer
atau sekunder dinamakan dengan istilah peritonitis tersier.4

Pembahasan mengenai peritonitis seringkali tidak terlepas dari istilah yang disebut
sebagai intra-abdominal infections (IAI) dan abdominal sepsis.4 Intra-abdominal infections
dibagi menjadi dua bagian besar, antara lain uncomplicated IAI yang didefinisikan sebagai
mproses infeksi hanya mengenai organ tunggal (organ viscera) dan complicated IAI yang
adalah proses infeksi yang lebih lanjut, tidak hanya melibatkan organ tunggal tersebut dan
menyebabkan peradangan peritoneum lokal maupun difus,3 sedangkan abdominal sepsis
didefinisikan sebagai manifestasi sistemik (tanda sepsis) akibat dari peradangan peritonitis
yang berat.4

4.2 ANATOMI & FISIOLOGI PERITONEUM


4.2.1 Anatomi Peritoneum
Peritoneum merupakan membran serosa transparan yang terbesar di dalam tubuh
manusia dan terdiri dari 2 lapisan yang berkesinambungan, antara lain peritoneum parietal
yang melapisi bagian internal dari dinding abdominopelvis dan peritoneum visceral yang
melapisi organ-organ abdomen.5,6 Hubungan peritoneum dan organ-organ dalam kavitas intra
abdomen dikelompokkan menjadi, antara lain organ intraperitoneal yang terlapisi seluruhnya
dengan peritoneum, dan retroperitoneal (duodenum, kolon asendens, colon desendens, dan
rectum) yang tidak terlapisi maupun terlapisi hanya sebagian peritonum. Peritoneum visceral
yang membungkus atau menunjang organ-organ bersama-sama dengan jaringan ikat
disekitarnya dalam kavitas peritoneum, dikenal dengan istilah ligamen peritoneum, omentum
atau mesenterium.6 Mesenterium merupakan dua lapis peritoneum yang terjadi akibat
invaginasi peritoneum karena suatu organ dan berfungsi melekatkan organ tersebut dengan
dinding posterior abdomen (mesenterium dari usus halus dan transverse mesokolon).5,6
Ligamen peritoneum terdiri dari dua lapis peritoneum yang menghubungkan organ satu
dengan lainnya atau dengan dinding abdomen (falciform ligament yang menghubungkan liver
dengan dinding abdomen anterior).5 Berbeda dengan ligamen peritoneum dan mesenterium,
greater omentum terdiri dari 4 lapisan peritoneum (karena peritoneum melipat sehingga
terdiri dari 4 lapisan) dengan sejumlah jaringan adiposa dan terdiri dari 3 bagian, antara lain
gastrophrenic ligament, gastrosplenic ligament, dan gastrocolic ligament, sedangkan lesser
omentum terdiri dari hepatogastric dan hepatoduodenal ligament.5,6

Gambar 3. Potongan sagittal dari abdomen yang memperlihatkan peritoneum parietal dan
visceral
Gambar dikutip dari: Standring S. Chapter 64. Peritoneum and Peritoneal Cavity. In: Standring S.
Gray’s Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical Practice. 40 th Edition. Churchill Livingstone El
Sevier. 2008.

Gambar 4. Ligamen peritoneum dan omentum


Gambar dikutip dari: Moore KL, Agur AMR. Chapter 2. Abdomen. In: Moore KL, Agur AMR.
Essential Clinical Anatomy. 3rd Edition. Lippincott & Williams Wilkins. 2007. p. 118-204

Peritoneum parietal dipersarafi dari cabang saraf somatis eferen dan aferen yang
mempersarafi otot-otot dan kulit dari dinding abdomen,6 sedangkan peritoneum visceral
dipersarafi dari cabang saraf visceral aferen yang juga memberikan suplai saraf otonom pada
organ visceral tersebut (Gambar 5).7 Adanya persarafan yang berbeda ini mengakibatkan
perbedaan respon sensasi apabila terjadi kondisi patologis yang menstimulasi peritoneum
visceral atau parietal. Nyeri yang terlokalisir terjadi akibat stimulus mekanik, termal, atau
kimiawi pada reseptor nyeri (nociceptor) di peritoneum parietal.

Sensasi nyeri umumnya terjadi di satu atau dua level dermatom pada setiap lokasi
peritoneum parietal yang terstimulasi. Saraf somatis tersebut selain menghantarkan sensasi
nyeri terlokalisir, juga menghantarkan refleks kontraksi otot apabila terjadi iritasi dari parietal
peritoneum. Refleks inilah yang menyebabkan localized hypercontractility (muscle guarding)
dan perut papan (rigidity of abdominal wall).6 Di sisi lain, iritasi dari peritoneum visceral
tidak memberikan sensasi nyeri dan refleks otot yang serupa seperti pada iritasi peritoneum
parietal. Ketika saraf visceral peritoneum visceral terstimulasi sensasi nyeri akan dialihkan
ke salah satu daerah dari tiga lokasi, antara lain lokasi epigastrium (struktur foregut),
periumbilikal (struktur midgut), dan suprapubik (struktur hindgut).6,7

Gambar 5. Jalur medulla spinalis untuk sensasi visceral


Gambar dikutip dari: Neurobiology of Visceral Pain. International Association for the Study of Pain 2012.
Accessed in: http://www.iasp-pain.org/AM/Template.cfm?
Section=Fact_Sheets5&Template=/CM/ContentDisplay.cfm&ContentID=16194

2.2.2 Mekanisme pertahanan peritoneum

Peritoneum terdiri dari selapis sel-sel mesothelium yang berdiri dibawah membran
basalis, dan sekumpulan jaringan ikat yang dibentuk dari sel adiposa, makrofag, fibroblast,
limfosit, dan jaringan ikat elastik kollagen.4 Total luas permukaan peritoneum sekitar 1,7 m2.
Dalam kondisi normal, peritoneum sifatnya steril dan berisi sekitar 50 mL cairan kekuningan
yang berisikan makrofag, sel mesotelium, dan limfosit. Membran peritoneum memiliki sifat
difusi semipermeabel untuk air dan zat-zat terlarut tertentu sehingga terjadi difusi secara
terus-menerus dari cairan peritoneum dengan cairan interselullar. Tidak seperti cairan dan
zat-zat terlarut lainnya, partikel yang lebih besar dieliminasi lewat orifisum yang dibentuk
oleh sel-sel mesotelium terspesialisasi yang terletak di permukaan subdiafragma dalam
rongga peritoneum menuju sirkulasi limfatik.4 Eliminasi ini difasilitasi oleh pergerakan
diafragman dan tekanan thorako-abdominal. Proses eliminasi ini merupakan salah mekanisme
pertahanan tubuh untuk menjaga peritoneum tetap steril.

Mekanisme pertahanan peritoneum lainnya adalah adanya makrofag pada rongga


peritoneum.4 Pada fase inisial hanya makrofag yang berperan terjadinya inflamasi, namun
adanya rangsangan sitokin akan memanggil neutrophil dalam 2-4 jam dan sel-sel PMN
(Polymorphonuclear) tersebut akan mendominasi dalam 48-72 jam pertama. Sel-sel PMN
akan mengeluarkan sitokin, antara lain interleukin (IL)-1, IL-6, TNF (tumor necrosis factor),
leukotriene, platelet activating factor, C3A, dan C5A yang akan membentuk terjadinya
inflamasi lokal pada daerah tersebut. Reaksi peradangan ini mengakibatkan pembentukan
fibrinogen pada fokus septik dan benang-benang fibrin membentuk sebuah mesh yang secara
temporer menurunkan dan menge-blok reabsorpsi cairan dari rongga peritoneum serta
menjerat bakteri dalam sebuah “perangkap”.4 Mekanisme pertahanan inilah yang
menyebabkan pembentukan sebuah abses. Selain itu, omentum juga bermigrasi pada daerah
peradangan untuk memfasilitasi pembentukan abses lebih lanjut. Daerah yang paling umum
adalah daerah subphrenic.

Kedua mekanisme pertahanan ini (eliminasi mekanik dan pembentukan eksudat)


memiliki efek paradoks.4 Eliminasi mekanik pada mekanisme pertahanan yang pertama
sebenarnya menyebabkan bakteremia, dan apabila masif dapat mengakibatkan shok septik
dan berakhir dengan kematian. Pembentukan eksudat dan reaksi peradangan yang kaya akan
sel fagositik dan opsonin dapat menyebabkan migrasi cairan dan protein pada “rongga
ketiga”, hal ini dapat mengakibatkan terjadinya hipovolemia dan shok karena albumin
berpindah pada rongga abdomen.

4.3 EPIDEMIOLOGI
Data mengenai tingkat insidensi peritonitis sangat terbatas,2 namun yang pasti
diketahui adalah diantara seluruh jenis peritonitis, peritonitis sekunder merupakan peritonitis
yang paling sering ditemukan dalam praktik klinik.2,3 Hampir 80% kasus peritonitis
disebabkan oleh nekrosis dari traktus gastrointestinal. 4 Penyebab umum dari peritonitis
sekunder, antara lain appendicitis perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster atau duodenum),
perforasi kolon karena diverticulitis, volvulus, atau keganasan, dan strangulasi dari usus
halus.2 Terdapat perbedaan etiologi peritonitis sekunder pada negara berkembang
(berpendapatan rendah) dengan negara maju. Pada negara berpendapatan rendah, etiologi
peritonitis sekunder yang paling umum, antara lain appendisitis perforasi, perforasi ulkus
peptikum, dan perforasi tifoid.9 Sedangkan, di negara-negara barat appendisitis perforasi tetap
merupakan penyebab utama peritonitis sekunder, diikuti dengan perforasi kolon akibat
divertikulitis.10 Tingkat insidensi peritonitis pascaoperatif bervariasi antara 1%-20% pada
pasien yang menjalani laparatomi.

Pada era pre-antibiotik peritonitis primer mencakup sekitar 10% dari seluruh akut
abdomen, namun dewasa ini hanya mencakup kurang dari 1-2%. 8 Penurunan yang bermakna
diduga dikarenakan penemuan dari antibiotik. Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP)
ditemukan terutama pada pasien sirosis hepatis Child-Pugh class C (Pasien yang mengalami
SBP, 70% merupakan Child-Pugh class C). 2 Peritonitis tersier ditemukan umumnya pada
pasien immunocompromised.

4.4 ETIOLOGI, PATOFISIOLOGI & MANIFESTASI KLINIS


Sesuai dengan definisinya, peritonitis secara prinsip merupakan peradangan yang
terjadi pada peritoneum akibat adanya kerusakan pada peritoneum. Peritonitis primer dan
sekunder secara prinsip memiliki etiologi yang berbeda dalam patogenesisnya. Pada
peritonitis primer, etiologi terjadinya peritonitis tidak berasal dari traktus gastrointestinal
(infeksi yang nantinya terjadi tidak berhubungan langsung dengan gangguan organ
gastrointestinal),3,8 sedangkan pada sekunder ditemukan adanya kerusakan integritas traktus
(perforasi) tersebut baik akibat strangulasi maupun akibat infeksi.3

Pada peritonitis sekunder terjadi kontaminasi rongga peritoneum yang steril terhadap
mikroorganisme yang berasal dari traktus gastrointestinal. 8 Dalam keadaan fisiologis tidak
ada hubungan langsung antara lumen gastrointestinal dengan rongga peritoneum, namun
apabila terjadi kerusakan integritas dari traktus gastrointestinal hubungan tersebut tercipta.
Kerusakan integritas dari traktus gastrointestinal terjadi pada beberapa kondisi, seperti
appendisitis perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster atau duodenum), perforasi colon
(sigmoid) karena diverticulitis, sampai volvulus, kanker, dan strangulasi (hernia inguinalis,
femoralis, atau obturator).2 Akibat kontaminasi tersebut, flora normal usus seperti Escherichia
coli dan Klebsiella pneumoniae (serta bakteri gram negatif dan anaerobik lainnya) masuk
dalam rongga peritoneum. Infeksi pada peritonitis sekunder secara tipikal bersifat
polimikrobial (gram negatif aerob dan anaerob). Adanya invasi dari bakteri-bakteri tersebut
menyebabkan reaksi peradangan seperti yang mengaktifkan seluruh mekanisme pertahanan
peritoneum (dari eliminasi mekanik sampai pembentukan eksudat). Eliminasi mekanik
menjadi salah satu jalur utama bagi bakteri-bakteri masuk dalam pembuluh darah
(bakteremia) yang pada akhirnya dapat berlanjut menjadi sepsis, sepsis berat, syok sepsis, dan
MODS (Multiple Organ Dysfunction Syndrome). Reaksi peradangan lokal menyebabkan
peningkatan permeabilitas dari pembuluh darah kapiler sehingga terjadi perpindahan cairan
ke “rongga ketiga” yang dapat berlanjut menjadi hipovolemia. Reaksi peradangan tersebut
dapat berlanjut menjadi SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome), dimana dapat
ditemukan dua tanda berikut, antara lain suhu >38° C atau <36° C, nadi >90 kali/menit, laju
nafas >20 kali/menit, or PaCO2 <32 mmHg, WBC >12,000 sel/mm3 or <4000 sel/mm3, or
<10% imatur (neutrofil batang). Proses inflamasi akut dalam rongga abdomen
mengakibatkan terjadinya aktivasi saraf simpatis dan supresi dari peristalsis (ileus). Absorbsi
cairan dalam usus akan terganggu sehingga cairan tidak hanya terdapat pada rongga
peritoneum, tetapi juga dalam lumen usus. Selain itu, ileus paralitik menyebabkan
pertumbuhan mikroorganisme yang tidak terkontrol.

Manifestasi klinis dibagi berdasarkan manifestasi lokal dan sistemik sesuai


patofisiologi terjadinya peritonitis.11 Pada manifestasi lokal ditemukan adanya nyeri perut
hebat, nyeri tekan seluruh lapang abdomen (pada peritonitis umum), rebound tenderness,
adanya muscle guarding atau rigidity (perut papan), dan manifestasi klinis akibat ileus
paralitik (distensi abdomen, penurunan bising usus), sedangkan pada tanda klinis sistemik
dapat ditemukan adanya demam, takikardia, takipnea, dehidrasi, oliguria, disorientasi, dan
syok (manifestasi SIRS).

4.5 DIAGNOSIS
Peritonitis merupakan sebuah diagnosis klinis, berdasarkan pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik.2,4 Gejala utama pada seluruh kasus peritonitis adalah nyeri perut yang
hebat, tajam, dirasakan terus-menerus, dan diperparah dengan adanya pergerakan.4 Mayoritas
pasien cenderung diam terlentang di tempat tidur dengan sedikit menekuk lutut untuk
mengurangi nyeri perut (karena maneuver tersebut mengurangi tekanan pada dinding
abdomen). Adanya anoreksia, mual, dan muntah seringkali pula ditemukan, namun bervariasi
tergantung etiologi dari peritonitis. Anamnesis harus pula mencari kemungkinan sumber
etiologi dari peritonitis sekunder sehingga harus ditanyakan mengenai riwayat penyakit
sekarang (riwayat dyspepsia kronis mengarahkan ke perforasi ulkus peptikum, riwayat
inflammatory bowel disease atau divertikulum mengarahkan perforasi kolon karena
divertikulitis, riwayat demam lebih dari 1 minggu disertai pola demam dan tanda-tanda klinis
khas untuk tifoid mengarahkan ke perforasi tifoid, adanya riwayat hernia daerah inguinal
(inguinalis atau femoralis) harus disuspek kemungkinan adanya strangulasi, sedangkan nyeri
mendadak tanpa disertai adanya riwayat penyakit apapun mengarahkan ke appendisitis
perforasi), riwayat operasi abdomen sebelumnya. 2 Berbeda dengan peritonitis sekunder,
peritonitis primer patut dicurigai pada pasien-pasien dengan tanda klinis asites dan riwayat
penyakit liver kronis (terutama sirosis hepatis).4,8

Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan pasien sakit berat, dengan temuan tanda-
tanda SIRS (tanda sistemik), dan tanda-tanda lokal seperti dijelaskan pada manifestasi klinis.
Pada tanda-tanda lokal dapat dicari point of maximal tenderness (daerah dimana terjadi iritasi
maksimal dari peritoneum) untuk menentukan lokasi proses patologis awal (etiologi dari
peritonitis).2 Pemeriksaan colok dubur umumnya akan menunjukan adanya nyeri pada seluruh
lokasi. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap
dengan hitung jenis (ditemukan leukositosis, dengan shift to the left yaitu peningkatan sel
batang PMN), kimia darah dapat ditemukan kelainan seperti peningkatan ureum dan kreatinin
(tanda syok hipovolemik atau sepsis berat), dan pemeriksaan ABG (arterial blood gas) dapat
menunjukan adanya asidosis metabolik, pemeriksaan urinalisis untuk menyingkirkan
diagnosis dari traktus urinarius. Selain pemeriksaan darah, pemeriksaan radiologis seperti x-
ray dapat berguna (free air under diaphragm yang terlihat pada posisi upright pada perforasi
ulkus peptikum (Gambar 6),12 tetapi jarang pada etiologi lainnya). Pemeriksaan CT-scan
umumnya tidak diperlukan dan hanya akan menunda penanganan pembedahan (apabila
peritonitis dapat ditegakkan berdasarkan klinis).4Apabila diagnosis klinis tidak konklusif
dapat dilaksanakan diagnostic peritoneal lavage (DPL) untuk analisis cairan peritoneum, 4
ditemukannya hasil yang positif (>500 leukosit/mL) mengarahkan diagnosis peritonitis.2,4
Gambar 6. Pneumoperitoneum (free air under diaphragm)
Gambar dikutip dari: Baron MJ, Kasper DL. Chapter 127. Intraabdominal Infections and Abscesses. In: Longo
DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18
edition. The McGraw Hill Companies. 2012. Accessed in: http://ezproxy.library.uph.edu:2076/content.aspx?
aID=9119694&searchStr=peritonitis

4.6 TATALAKSANA
Penanganan pada peritonitis primer mencakup pemberian antibiotik broad spectrum,
seperti sefalosporin generasi ke-3 (cefotaxime intravena 3x 2 gram atau ceftriaxone 1x2
gram), penicillin/β-lactamase inhibitor (piperacillin/tazobactam 4x 3,375 gram pada orang
12
dewasa dengan fungsi ginjal normal). Terapi empiris untuk bakteri anaerob tidak
dibutuhkan pada pasien dengan primary bacterial peritonitis (PBP atau SBP). Pasien
peritonitis primer umumnya mengalami perbaikan gejala dalam 72 jam pemberian antibiotik
yang tepat.

Antibiotik dapat diberikan selama 5 hari – 2 minggu (tergantung perbaikan gejala


dan kultur darah yang negatif). Hal yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan terjadinya
rekurensi pada SBP, sampai 70% pasien mengalami rekurensi dalam 1 tahun. Pemberian
antibiotik profilaksis dapat menurunkan tingkat rekurensi menjadi <20%. Regimen yang
diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal baik, antara lain ciprofloxacin 750 mg/minggu,
norfloxacin 400mg/hari, atau trimethoprim-sulfamethoxazole.12

Pendekatan utama pada pasien peritonitis sekunder, antara lain koreksi etiologi
(source control terutama dengan tindakan pembedahan), pemberian antibiotik sistemik, dan
terapi suportif (resusitasi).2 Tidak seperti penanganan peritonitis primer yang secara prinsip
adalah tindakan non-pembedahan, sine qua non penanganan peritonitis sekunder adalah
tindakan pembedahan dan bersifat life-saving.12 Tindakan pembedahan tidak hanya dapat
“early and definitive source control” dengan mengoreksi etiologi peritonitis sekunder, tetapi
juga dapat mengeliminasi bakteri dan toksinnya dalam rongga abdomen.13 Keterlambatan
dan tidak adekuatnya tindakan pembedahan dapat memperburuk prognosis.

Tindakan preoperatif meliputi, pemberian antibiotik sistemik dan resusitasi cairan


(resusitasi hemodinamik, berikan vasopressor bila dibutuhkan) untuk mencegah terjadinya
syok hipovolemik (dan syok septik) yang memperparah disfungsi organ.2,13 Pemberian
antibiotik mencakup bakteri gram positif dan negatif serta bakteri anaerob (walaupun secara
umum perforasi upper GI tract lebih mengarah ke gram positif dan perforasi pada usus halus
distal dan colon lebih mengarah ke polimikrobial aerob dan anaerob). 2,4 Beberapa pilihan
regimen antibiotik yang direkomendasikan, antara lain gabungan dari golongan penicillin/ β-
lactamase inhibitor (ticarcilin/clavulanate 4x 3,1 gram intravena), atau golongan
fluorokuinolon (levofloksasin 1x 750 mg intravena), atau sefalosporin generasi ketiga
(ceftriaxone 1x2 gram intravena), dengan metronidazole 3x500 mg intravena (pada pasien
yang masuk Intensive Care Unit dapat diberikan imipenem 4x 500 mg intravena atau
meropenem 3x 1gram intravena).12 Pemberian antibiotik dilanjutkan sampai pasien afebris
dengan leukosit normal dan hitung jenis batang < 3%.11 Resusitasi cairan dan monitoring
hemodinamik perlu untuk dilakukan, target resusitasi, antara lain mean arterial pressure >65
mmHg, dan urine output >0,5cc/kgBB/jam (bila dipasang central venous pressure CVP
antara 8-12mmHg).4 Tindakan lainnya, meliputi pemasangan nasogastric tube (NGT) pada
pasien ileus dengan distensi perut dan mual-muntah yang dominan. 13 Pada pasien penurunan
kesadaran dan adanya syok septik perlu dipertimbangkan pemasangan intubasi.

Tujuan utama tindakan pembedahan adalah eliminasi penyebab dari kontaminasi


(koreksi etiologi), mengurangi atau eliminasi inokulum bakteri, dan mencegah sepsis. 4,13
Pendekatan bedah dilakukan dengan insisi midline dengan tujuan agar eksplorasi rongga
abdomen yang adekuat dan komplit tercapai.13 Secara umum, kontrol dan koreksi etiologi
tercapai bila bagian yang mengalami perforasi di reseksi (perforasi apendiks) atau repair
(perforasi ulkus).4,11 Pada perforasi kolon lebih aman dipasangkan stoma usus secara
sementara sebelum dilakukan tindakan anastomosis usus di kemudian hari (beberapa minggu
setelah keadaan umum pasien membaik).11 Pembilasan (peritoneal lavage) menggunakan
cairan normal saline (>3L) hangat dilakukan hingga cairan bilasan jernih dengan tujuan
mengurangi bacterial load dan mengeluarkan pus (mencegah sepsis dan re-akumulasi dari
pus).4,11,13 Tidak direkomendasikan pembilasan dengan menggunakan iodine atau agen kimia
lainnya. Setelah selesai, maka rongga abdomen ditutup kembali. Secara ideal, fascia ditutup
dengan benang non-absorbable dan kutis dibiarkan terbuka dan ditutup dengan kasa basah
selama 48-72 jam. Apabila tidak terdapat infeksi pada luka, penjahitan dapat dilakukan
(delayed primary closure technique). Teknik ini merupakan teknik closed-abdomen, pada
laporan kasus ini tidak akan dibahas secara mendalam mengenai teknik open-abdomen).

4.7 PROGNOSIS
Tingkat mortalitas pada peritonitis umum adalah bervariasi dari dibawah 10%-40%
pada perforasi kolon (Tabel 1).11 Faktor yang mempengaruhi tingkat mortalitias yang tinggi
adalah etiologi penyebab peritonitis dan durasi penyakitnya, adanya kegagalan organ
sebelum penanganan, usia pasien, dan keadaan umum pasien.Tingkat mortalitas dibawah
10% ditemukan pada pasien dengan perforasi ulkus atau appendicitis, pasien usia muda,
kontaminasi bakteri yang minim, dan diagnosis-penanganan dini. Skor indeks fisiologis
yang buruk (APACHE II atau Mannheim Peritonitis Index), riwayat penyakit jantung, dan
tingkat serum albumin preoperatif yang rendah merupakan pasien resiko tinggi yang
membutuhkan penanganan intensif (ICU) untuk menurunkan angka mortalitas yang tinggi.

Tabel 1. Tingkat mortalitas peritonitis umum berdasarkan etiologi

Tabel dikutip dari: Doherty GM. Chapter 22. Peritoneal Cavity. In: Doherty GM, ed. CURRENT Diagnosis &
Treatment: Surgery. 13th ed. New York: McGraw-Hill; 2010. http://www.accessmedicine.com/content.aspx?
aID=5215855. Accessed November 11, 2013.
BAB V

KESIMPULAN

Perforasi gastrointestinal merupakan suatu bentuk penetrasi yang komplek dari dinding
lambung, usus halus, usus besar akibat dari bocornya isi dari usus ke dalam rongga perut. Perforasi
dari usus mengakibatkan secara potensial untuk terjadinya kontaminasi bakteri dalam rongga perut
( keadaan ini dikenal dengan istilah peritonitis).

Perforasi pada saluran cerna sering disebabkan oleh penyakit-penyakit seperti ulkus gaster,
appendicitis, keganasan pada saluran cerna, divertikulitis, sindroma arteri mesenterika superior,
trauma.

Penatalaksaan tergantung penyakit yang mendasarinya. Intervensi bedah hampir selalu


dibutuhkan dalam bentuk laparotomy explorasi dan penutupan perforasi dengan pencucian pada
rongga peritoneum (evacuasi medis). Terapi konservatif di indikasikan pada kasus pasien yang non
toxic dan secara klinis keadaan umumnya stabil dan biasanya diberikan cairan intravena, antibiotik,
aspirasi NGT, dan dipuasakan pasiennya
DAFTAR PUSTAKA

1. Silen W. Chapter 300. Acute Appendicitis and Peritonitis. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper
DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18
edition. The McGraw Hill Companies. 2012. Accessed in:
http://ezproxy.library.uph.edu:2076/content.aspx?aID=9132908
2. Daley BJ, Katz J. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Emedicine Medscape 2013. Accessed in:
http://emedicine.medscape.com/article/180234-overview#showall
3. Sartelli M. A Focus on Intra-Abdominal Infections. W J Emerg Surg 2010;5:9
4. Ordoñez CA, Puyana JC. Management of Peritonitis in the Critically Ill Patient. Surg Clin
North Am 2006; 86(6): 1323–49
5. Moore KL, Agur AMR. Chapter 2. Abdomen. In: Moore KL, Agur AMR. Essential Clinical
Anatomy. 3rd Edition. Lippincott & Williams Wilkins. 2007. p. 118-204
6. Standring S. Chapter 64. Peritoneum and Peritoneal Cavity. In: Standring S. Gray’s Anatomy:
The Anatomical Basis of Clinical Practice. 40 th Edition. Churchill Livingstone El Sevier.
2008.
7. Neurobiology of Visceral Pain. International Association for the Study of Pain 2012.
Accessed in: http://www.iasp-pain.org/AM/Template.cfm?
Section=Fact_Sheets5&Template=/CM/ContentDisplay.cfm&ContentID=16194
8. Johnson CC, Baldessarre J, Levison ME. Peritonitis: Update on Pathophysiology, Clinical
Manifestations, and Management. Clin Inf Dis 1997;24:1035-47
9. Gupta S, Kaushik R. Peritonitis - the Eastern experience. World J Emerg Surg 2006; 1:13.
10. Malangoni M, Inui T. Peritonitis - the Western experience. World J Emerg Surg 2006;
1(1):25.
11. Doherty GM. Chapter 22. Peritoneal Cavity. In: Doherty GM, ed. CURRENT Diagnosis &
Treatment: Surgery. 13th ed. New York: McGraw-Hill; 2010.
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=5215855. Accessed November 11, 2013.
12. Baron MJ, Kasper DL. Chapter 127. Intraabdominal Infections and Abscesses. In: Longo DL,
Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 18 edition. The McGraw Hill Companies. 2012. Accessed in:
http://ezproxy.library.uph.edu:2076/content.aspx?aID=9119694&searchStr=peritonitis
13. Peralta R, Geibel J. Surgical Approach to Peritonitis and Abdominal Sepsis. Emedicine
Medscape 2013. Accessed in: http://emedicine.medscape.com/article/1952823-
overview#showall
14. Siegenthaler W. Acute Abdomen. In: Siegenthaler W. Differential Diagnosis in Internal
Medicine: From Symptom to Diagnosis. Thieme. 2007. p. 257-8
15. Cartwright SL, Knudson MP. Evaluation of Acute Abdominal Pain in Adults. Am Fam
Physician 2008;77(7):971-8

Anda mungkin juga menyukai