Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

TANGGUNG JAWAB DOKTER PADA PEMBERIAN


INFORMASI DARI DUGAAN KEKERASAN
TERHADAP ANAK

Disusun oleh:
Sandi Kurniawan 03013174
Megawati Yulia 03011185
Mudia Dwi Ningtyas 1665050094
Haura Nida Nurakbar 1665050271
Eriza Luthfiansyah 1761050063
Adinda Putri Antasari 1761050244
Michael Alexasder 1765050004
Ismail 1865050037`

Pembimbing : dr. Abraham Sp.F


Residen pembimbing : dr. Dadan Rusmajaya

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENAIK DAN MEDIKOLEGAL
RSUP DR. KARIADI SEMARANG
PERIODE 10 DESEMBER 2018 – 5 JANUARI 2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmat-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan Referat “Tanggung
Jawab Dokter Pada Pemberian Informasi Dari Dugaan Kekerasan Terhadap Anak”.
Referat ini disusun untuk mengetahui lebih jauh mengenai peranan dokter dalam
memberikan informasi mengenai dugaan kekerasan terhadap anak dan untuk
memenuhi syarat dalam mengikuti perogram Profesi Kedokteran di bagian Forenai
RSUP Dokter Kariadi Semarang.
Dalam penulisan ini, penyusun juga ingin menghaturkan banyak terima kasih
kepada dr. Abraham, Sp.F atas waktunya untuk membimbing penyusun di sela-sela
kesibukannya. Banyak ilmu yang penyusundapat dari arahan beliau yang bisa
membantu dalam kehidupan penyusun. Tidak lupa penyusun haturkan banyak terima
kasih kepada dr. Dadan Rusmajaya selaku Residen Pembimbing, meskipun banyak
kekurangan penyusun dalam menyusun referat ini, tapi beliau dengan sabar bersedia
membimbing penyusun dalam menyusun referat ini
Penyusun sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam referat ini, oleh sebab
itu penyusun mengharapkan pembaca dapat memberi saran dan kritik yang dapat
membangun demi oerbaikan tiinjauan pustaka ini.
Akhirnya, penyusun berharap agar referat ini dapat bermanfaat menambah
wawasan dab pengetahuan tentang kekerasab terhadap anak dan menjadi bekal di
masa mendatang.

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar i

Daftar Isi ii

BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang...........................................................................................................1


1.2 Rumusan masalah.......................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi anak..............................................................................................................2
2.2 Definisi kekerasan anak.............................................................................................2
2.3 Epidemiologi..............................................................................................................3
2.4 Faktor penyebab kekerasan pada anak.......................................................................6
2.5 Bentuk kekerasan pada anak......................................................................................10
2.6 Dampak kekerasan pada anak....................................................................................11
2.7 Upaya Pencegahan Kekerasan pada Anak.................................................................12
2.8 Upaya Pencegahan Kekerasan pada Anak.................................................................13
2.9 Tanggung jawab dokter terhadap pemberian informasi terhadap kekerasan anak.....19
BAB III Kesimpulan..............................................................................................................21

Daftar Pustaka........................................................................................................................

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun), termasuk
anak yang masih dalam kandungan. Definisi kekerasan terhadap anak menurut Centers
for Disease Control and Prevention adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan wali
atau kelalaian oleh orang tua atau pengasuh lainnya yang dihasilkan dapat
membahayakan, atau berpotensi bahaya, atau memberikan ancaman yang berbahaya
kepada anak. Kekerasan pada anak menurut keterangan WHO dibagi menjadi lima jenis,
yaitu kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan emosional, penelantaran anak,
eksploitasi anak.

Data dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Dengan


Badan Pusat Statistik tahun 2017 menunjukan bahwa kekerasan pada anak semakin tahun
terjadi peningkatan dan menjadi perhatian hampir di seluruh negara terutama di negara
berkembang. Berbagai program dan kebijakan terkait perlindungan terhadap anak terus
didorong untuk dilaksanakan di seluruh negara.

Kekerasan dan penelantaran anak mengakibatkan terjadinya gangguan proses pada


tumbuh kembang anak. Keadaan ini jika tidak ditangani secara dini dengan baik, akan
berdampak terhadap penurunan kualitas sumber daya manusia. Kasus kekerasan seksual
terhadap anak itu ibarat fenomena gunung es sehingga pendidikan seksual atau kesehatan
reproduksi bagi anak-anak perlu dilakukan secara dini baik dari pihak orangtua, sekolah,
maupun lembaga perlindungan anak agar anak-anak mendapat informasi yang tepat
terkait dengan pengetahuan akan kesehatan reproduksi yang diharapkan dapat menekan
tingginya angka kekerasan seksual dan jenis kekerasan lainnya pada anak di Indonesia.

1.2 Rumusan masalah


 Bagaimana bentuk-bentuk kekerasan pada anak?
 Bagaimana aspek hukum pelaku pada kekersanan anak?
 Bagaimana tanggung jawab dokter terhadap pemberian intformasi mengenai dugaan
kekerasan pada anak?

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Anak


Dalam hukum nasional Indonesia terdapat berbagai macam definisi mengenai
anak, karena dalam tiap perundang-undangan diatur kriteria tersendiri mengenai
pengertian anak. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa perumusan perundang-
undangan yang mengatur mengenai pengertian anak.
Menurut UU No.35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 23 Tahun
2002 tentang perlindungan anak mendefinisikan anak diartikan sebagai anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan.. Artinya yang dimaksud dengan anak adalah mereka yang belum
dewasa dan yang menjadi dewasa karena peraturan tertentu sedangkan secara mental dan
fisik masih belum dewasa. Adapun menurut WHO untuk batsan usia anak adalah sejak
anak masih dalam kandungan sampai usia kurang dari 19 tahun.

2.2 Definisi Kekerasan pada Anak


Menurut WHO kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman
atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat
yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian,
kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. Kekerasan umumnya
ditujukan kepada kelompok yang dianggap lemah. Anak merupakan salah satu kelompok
yang rentan mendapatkan perilaku kekerasan.
Menurut UU No.35 Tahun 2014 mengatakan bahwa Kekerasan adalah setiap
perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
Awal mulanya istilah tindak kekerasan pada anak atau child abuse dan neglect dikenal
dari dunia kedokteran. Sekitar tahun 1946, Caffey-seorang radiologist melaporkan kasus
cidera yang berupa gejala-gejala klinik seperti patah tulang panjang yang majemuk
(multiple fractures) pada anak-anak atau bayi disertai pendarahan subdural tanpa
mengetahui sebabnya (unrecognized trauma). Dalam dunia kedokteran, istilah ini

2
dikenal dengan istilah Caffey Syndrome. Barker mendefinisikan child abuse merupakan
tindakan melukai beulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang
ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi
dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual.
Berdasarkan uraian tersebut, kekerasan terhadap anak merupakan perilaku yang
dengan sengaja menyakiti secara fisik dan atau psikis dengan tujuan untuk merusak,
melukai, dan merugikan anak.
2.3 Epidemiologi
Angka kekerasan terhadap anak dari tahun ke tahun terus meningkat. Data tahun 2014
menunjukkan bahwa di tingkat global sekitar 1 milyar anak berusia 2-17 tahun mengalami
kekerasan fisik, seksual, emosional atau beberapa jenis kekerasan sekaligus. Sekitar
seperempat orang dewasa melaporkan pernah mengalami kekerasan fisik semasa anak-anak.
Selanjutnya, 1 dari 5 perempuan dewasa dan 1 dari 13 laki-laki dewasa melaporkan
mengalami kekerasan seksual ketika anak-anak.
Prevalensi kekerasan terhadap anak di negara berkembang termasuk Indonesia rasanya
sulit diperoleh berdasarkan angka pelaporan kasus mengingat pelaporan kasus kekerasan di
negara berkembang cenderung underestimate (lebih rendah dari yang sebenarnya). Satu-
satunya sumber yang dapat digunakan untuk menghitung prevalensi adalah survei khusus
tentang kekerasan terhadap anak. Di Indonesia, survei kekerasan terhadap anak pertama kali
dilaksanakan pada 2013 dalam skala nasional, dengan nama Survei Kekerasan terhadap Anak
(SKtA 2013).
Secara umum prevalensi laki-laki yang mengalami kekerasan lebih tinggi dibandingkan
perempuan. 1 dari 2 remaja laki-laki berumur 18-24 tahun mengalami minimal satu jenis
kekerasan seksual, fisik atau emosional sebelum umur 18 tahun. Sementara itu, untuk remaja
perempuan pada kelompok umur yang sama prevalensi kekerasannya jauh lebih rendah yakni
hanya 1 dari 6 remaja perempuan berumur 18-24 yang mengalami kekerasan sebelum
berumur 18 tahun.. Di Indonesia, berdasarkan data Komnas Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI), di tahun 2006 tercatat 788 kasus kekerasan terhadap anak. Data dari Januari hingga
Agustus 2007, menunjukkan telah terjadi 600 kasus kekerasan di seluruh Indonesia. Setiap
bulannya KPAI menangani 17 kasus kekerasan terhadap anak, dengan sebagian besar korban
adalah anak perempuan.3
Pada level nasional angka tindak kekerasan terhadap anak pada tahun 2006 mencapai
3,02 persen. Ini artinya dalam setiap 10.000 anak Indonesia sekitar 302 di antaranya
mempunyai peluang pernah menjadi korban tindak kekerasan. Sementara jumlah anak yang

3
mengalami kekerasan selama tahun 2006 adalah sekitar 2,29 juta jiwa, sebanyak 1,23 juta di
antaranya adalah anak laki-laki, dan 1,06 juta anak perempuan.3
Tindak kekerasan terhadap anak terjadi di seluruh provinsi dengan beragam intensitas.
Rentang angka tindak kekerasan terhadap anak berkisar dari 0,61 persen (Kepulauan Riau)
sampai 12,47 persen (Papua).3
Gambar 3.1 Angka Tindak Kekerasan Terhadap Anak menurut Provinsi
(%)3

Hampir di setiap provinsi angka kekerasan lebih tinggi di wilayah pedesaan

daripada perkotaan. Terdapat tiga provinsi yang memiliki angka kekerasan terhadap anak

lebih tinggi secara nyata di perkotaan daripada pedesaan, yaitu Provinsi Maluku,

Sulawesi Tenggara dan Gorontalo. 3

Gambar 3.2 Angka Tindak Kekerasan Terhadap Anak Menurut Tipe


Wilayah dan Provinsi (%)3

4
Berdasarkan jenis kelamin seperti disajikan pada Gambar 3.3, tampak bahwa angka

tindak kekerasan terhadap anak lebih tinggi pada anak laki-laki daripada anak

perempuan. Pada tingkat nasional angka tindak kekerasan laki-laki terhadap perempuan

mencapai 3,14 persen berbanding 2,88 persen. Kecenderungan ini tampak pada semua

provinsi. Bahkan terlihat mencolok di Provinsi Gorontalo, Jawa Timur dan Sulawesi

Tenggara. Sementara di Papua, Maluku, dan Yogyakarta, angka tindak kekerasan pada

anak relative sama antara laki-laki dengan perempuan. 3

Gambar 3.3 Angka Tindak Kekerasan Terhadap Anak menurut Jenis

Kelamin dan Provinsi (%)3

2.4 Faktor Penyebab Child Abuse


Siti Fatimah seorang pemerhati masalah anak dari Malaysia (dalam Suyanto&Hariyadi,
2002) mengungkap setidaknya ada 6 kondisi yang menjadi faktor penyebab terjadinya
kekerasan atau pelanggaran dalam keluarga yang dilakukan terhadap anak-anak.
• Faktor ekonomi, kemiskinan yang dihadapi sebuah keluarga seringkali membawa
keluarga tersebut pada situasi kekecewaan yang menimbulkan kekerasan.

• Masalah keluarga, mengacu pada situasi keluarga khususnya hubungan dengan


orang tua yang kurang harmonis. Seorang ayah akan sanggup melakukan kekerasan

5
terhadap anak semata-mata sebagai pelampiasan atau upaya pelepasan rasa jengkel
dan marah kepada istri. Sikap orang tua yang tidak menyukai anak-anak, pemarah dan
tidak mampu mengendalikan emosi juga dapat menyebabkan terjadinya kekerasan
pada anak-anak. Bagi orang tua yang memiliki anak yang bermasalah seperti cacat
fisik atau cacat mental, seringkali mereka merasa terbebanu atas kehadiran anak-anak
tersebut dan tidak jarang orang tua menjadi kecewa dan merasa frustasi.

• Faktor perceraian, perceraian dapat menimbulkan problematika kerumahtanggaan


seperti persoalan hak pemeliharaan anak, pemberian kasih sayang, pemberian nafkah
dan sebagainya. Akibat perceraian juga dirasakan anak-anak terutama ketika orang
tua menikah lagi dan anak harus dirawar oleh ibu atau ayah tiri. Dalam banyak kasus
tindakan kekerasan tidak jarang dilakukan oleh ayah atau ibu tiri.

• Kelahiran anak di luar nikah, tidak jarang sebagai akibat adanya kelahiran anak di
luar nikah menimbulkan masalah diantara kedua orang tua anak. belum lagi jika
melibatkan pihak keluarga dari pasangan tersebut. Akibatnya anak akan banyak
menerima perlakukan yang tidak menguntungkah seperti: anak merasa disingkirkanm
harus menerima perlakukan diskriminatif, tersisih atau disisihkan oleh keluarga
bahkan harus menerima perlakuan yang tidak adil dan bentuk kekerasan lainnya.
• Menyangkut permasalahan jiwa atau psikologis, Pada berbagai kajian psikologis
disebut bahwa orang tua yang melakukan kekerasan terhadap anak-anak adalah
mereka yang memiliki masalah psikologis. Mereka senantiasa berada dalam situasi
kecemasan dan tertekan akibat mengalami depresi atau stres. Secara tipologi ciri-ciri
psikologis yang menandai situasi tersebut antara lain: adanya perasaan rendah diri,
harapan terhadap anak yang tidak realistik, harapan yang bertolak belakang dengan
kondisinya dan kurang pengetahuan tentang bagaimana mengasuh anak.
• Pendidikan dan pengetahuan agama. Faktor terjadinya kekerasan atau pelanggaran
terhadap hak-hak anak adalah tidak memiliki pendidikan atau pengetahuan religi yang
memadai.

Pada sebuah model yang disebut ”The abusive Environment Model”, Ismail (dalam
Suyanto & Hariyadi, 2002) menjelaskan bahwa faktor penyebab terjadinya kekerasan
terhadap anak sesungguhnya dapat ditinjau dari 3 aspek yaitu:
Aspek kondisi anak

6
Kekerasan dan pelanggaran terhadap hak-hak anak dapat terjadi karena faktor dari
anak sendiri, seperti:
o Anak yang mengalami kelahiran premature
o Anak yang mengalami sakit sehingga mendatangkan masalah
o Hubungan yang tidak harmonis sehingga mempengaruhi watak
o Adanya proses kehamilan atau kelahiran yang sulit o Kehadiran anak yang
tidak dikehendaki
o Anak yang mengalami cacat mental maupun fisik o Anak yang sulit diatur,
o Anak yang meminta perhatian khsusus.
Aspek orang tua
Kekerasan dan pelanggaran pada anak juga dapat dikarenakan orang tua si anak,
yaitu:
o Pernah-tidaknya orang tua mengalami kekerasan atau penganiyaan sewaktu
kecil
o Menganggur atau karena pendapatan tidak mencukupi
o Pecandu narkotik atau pecandu alkohol
o Pengasingan sosial atau dikucilkan
o Waktu senggang yang terbatas
o Karakter pribadi yang belum matang
o Mengalami gangguan emosi atau kekacauan saraf
o Mengidap penyakit jiwa
o Mengalami gangguan kepribadian
o Berusiaterlalumudasehinggabelummatang,kebanyakanorangtua
kelompok ini tidak memahami kebutuhan anak o Pendidikan yang rendah

Aspek lingkungan sosial


Kondisi-kondisi sosial juga dapat menjadi penyebab kekerasan terhadap anak, yaitu:
o Kondisi kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistis
o Kondisi sosial ekonomi yang rendah
o Adanya nilai di dalam masyarakat bahwa anak adalah miliki orang tuanya
o Status wanita yang rendah
o Sistem keluarga patriakhal
o Nilai masyarakat yang terlalu individualistik
o Dan sebagainya

7
Faktor Lain Kekerasan Terhadap Anak
Terjadinya kekerasan terhadap anak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Faktor Internal
a. Berasal dalam diri anak
Terjadinya kekerasan terhadap anak dapat disebabkan oleh kondisi dan tingkah laku
anak. Kondisi anak tersebut misalnya : Anak menderita gangguan perkembangan,
ketergantungan anak pada lingkungannya, anak mengalami cacat tubuh, retardasi
mental, gangguan tingkah laku, anak yang memiliki perilaku menyimpang dan tipe
kepribadian dari anak itu sendiri.

b. Keluarga / orang tua


Faktor orang tua atau keluarga memegang peranan penting terhadap terjadinya
kekerasan pada anak. Beberapa contoh seperti orang tua yang memiliki pola asuh
membesarkan anaknya dengan kekerasan atau penganiayaan, keluarga yang sering
bertengkar mempunyai tingkat tindakan kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi
dibandingkan dengan keluarga yang tanpa masalah, orangtua tunggal lebih
memungkinkan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak karena faktor stres yang
dialami orang tua tersebut, orang tua atau keluarga belum memiliki kematangan
psikologis sehingga melakukan kekerasan terhadap anak, riwayat orang tua dengan
kekerasan pada masa kecil juga memungkinkan melakukan kekerasan pada anaknya.

2. Faktor Eksternal
a. Lingkungan luar
Kondisi lingkungan juga dapat menjadi penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak,
diantaranya seperti kondisi lingkungan yang buruk, terdapat sejarah penelantaran
anak, dan tingkat kriminalitas yang tinggi dalam lingkungannya.
b. Media massa
Media massa merupakan salah satu alat informasi. Media massa telah menjadi bagian
dari kehidupan manusia sehari – hari dan media ini tentu mempengaruhi penerimaan
konsep, sikap, nilai dan pokok moral. Seperti halnya dalam media cetak menyediakan
berita – berita tentang kejahatan, kekerasan, pembunuhan. Kemudian media
elektronik seperti radio, televisi, video, kaset dan film sangat mempengaruhi
perkembangan kejahatan yang menampilkan adegan kekerasan, menayangkan film

8
action dengan perkelahian, acara berita kriminal, penganiayaan, kekerasan bahkan
pembunuhan dalam lingkup keluarga. Pada hakekatnya media massa memiliki fungsi
yang positif, namun kadang dapat menjadi negatif.
c. Budaya
Budaya yang masih menganut praktek – praktek dengan pemikiran bahwa status anak
yang dipandang rendah sehingga ketika anak tidak dapat memenuhi harapan orangtua
maka anak harus dihukum. Bagi anak laki – laki, adanya nilai dalam masyarakat
bahwa anak laki – laki tidak boleh cengeng atau anak laki – laki harus tahan uji.
Pemahaman itu mempengaruhi dan membuat orangtua ketika memukul, menendang,
atau menindas anak adalah suatu hal yang wajar untuk menjadikan anak sebagai
pribadi yang kuat dan tidak boleh lemah.

2.5 Bentuk-bentuk Kekerasan pada Anak


Terdapat lima bentuk kekerasan pada anak (1999 WHO Consultation on child
abuse prevention) yaitu :

1. Kekerasan Fisik
Kekerasan yang mengakibatkan cidera fisik nyata ataupun potensial terhadap
anak sebagai akibat dari tindakan kekerasan yang dilakukan orang lain. Kekerasan
fisik merupakan kekerasan yang mengakibatkan cedera fisik nyata ataupun potensial
terhadap anak, sebagai akibat dari interaksi atau tidak adanya interaksi, yang
layaknya berada dalam kendali orang tua atau orang dalam posisi hubungan tanggung
jawab, kepercayaan atau kekuasaan. Kekerasan fisik dapat diduga dengan
ditemukannya luka atau cidera pada tubuh anak yang menurut ciri, letak dan sifatnya
bukan akibat suatu kecelakaan. Contoh: menendang, menjambak (menarik rambut),
menggigit, membakar, menampar.

2. Kekerasan Seksual
Kekerasan terhadap anak dalam kegiatan seksual yang tidak dipahaminya,
tidak mampu memberikan persetujuan atau oleh karena perkembangannya belum
siap atau tidak dapat memberi persetujuan, atau yang melanggar hukum atau
pantangan masyarakat, atau merupakan segala tingkah laku seksual yang dilakukan
antara anak dan orang dewasa. Kekerasan seksual yang dimaksud dapat diduga
dengan ditemukannya riwayat dan/atau tanda penetrasi, persetubuhan, pengakuan

9
adanya pelecehab seksual atau bentuk kekerasan seksual lainnya. Contoh, pelacuran
anak-anak, intercourse, pornografi, eksibionisme, oral sex, dan lain-lain.

3. Kekerasan Emosional
Suatu perbuatan terhadap anak yang mengakibatkan atau sangat mungkin akan
mengakibatkan gangguan kesehatan atau perkembangan fisik, mental, spiritual,
moral dan sosial. Contohnya seperti pembatasan gerak, sikap tindak yang
meremehkan anak, mengancam, menakut-nakuti, mendiskriminasi, mengejek atau
menertawakan, atau perlakuan lain yang kasar atau penolakan, mendiskriminasi atau
perlakuan kasar. Contoh: tidak pernah memberikan pujian/ reinforcemen yang
positif, membandingkannya dengan anak yang lain, tidak pernah memberikan
pelukan antara orang tua dan anak.

4. Penelantaran anak
Ketidakpedulian orang tua atau orang yang bertanggung jawab atas anak pada
kebutuhan mereka. Kelalaian di bidang kesehatan seperti penolakan atau penundaan
memperoleh layanan kesehatan, tidak memperoleh kecukupan gizi dan perawatan
medis. Kelalaian di bidang pendidikan meliputi pembiaran mangkir (membolos)
sekolah yang berulang, tidak menyekolahkan pada pendidikan yang wajib diikuti
setiap anak, atau kegagalan memenuhi kebutuhan pendidikan yang khusus. Kelalaian
di bidang fisik meliputi pengusiran dari rumah dan pengawasan yang tidak memadai.
Kelalaian di bidang emosional meliputi kurangnya perhatian, penolakan atau
kegagalan memberikan. perawatan psikologis, kekerasan terhadap pasangan di
hadapan anak dan pembiaran penggunaan rokok, alkohol dan narkoba oleh anak.

5. Eksploitasi anak
Penggunaan anak dalam pekerjaan atau aktivitas lain untuk keuntungan orang
lain, termasuk pekerja anak dan prostitusi. Kegiatan ini merusak atau merugikan
kesehatan fisik dan mental, perkembangan pendidikan, spiritual, moral dan sosial -
emosional anak. Anak korban eksploitasi dapat diduga berdasarkan adanya riwayat
yang dapat dikuatkan dengan penilaikan psiko-sosial anak dan apabila sudah
meninggal dapat diduga dari hasil pemeriksaan luar dan/atau bedah mayat dengan
atau tanpa pemeriksaan penunjang.

10
Menurut Badan Pusat Stastistik dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak menyatakan bahwa jenis kekerasan yang dilaporkan ternyata
kekerasan seksual menempati posisi teratas diikuti kekerasan psikis dan kekerasan
fisik. Selama tahun 2016, Jumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 35
persen dari total jumlah kasus kekerasan terhadap anak, sementara kekerasan fisik dan
kekerasan psikis masing-masing sebanyak 28 persen dan 23 persen dari total kasus.
Jenis kasus kekerasan anak lain yang persentasenya cukup besar adalah kasus
penelantaran yaitu sekitar 7 persen
2.6 Dampak Kekerasan pada Anak
Dampak Kekerasan Terhadap Anak
Kekerasan yang terjadi terhadap anak dapat mengakibatkan dampak sebagai berikut:
1. Dampak Fisik
Dampak dari kekerasan secara fisik dapat mengakibatkan organ-organ tubuh anak
mengalami kerusakan seperti memar, luka-luka, trauma pada korban, kecacatan,
bahkan dapat mengakibatkan korban meninggal.
2. Dampak psikologis
Dampak psikologis dapat berupa rasa takut, rasa tidak aman, gelisah, dendam,
menurunnya semangat belajar, hilangnya konsentrasi, menjadi pendiam, serta
mental anak menjadi lemah, menurunnya rasa percaya diri, bahkan depresi.
Dampak psikologi dapat dibagi menjadi ringan, sedang, dan berat. Dampak
psikologi ringan seperti resistensi terhadap lingkungan. Dampak psikologi sedang
seperti pendiam, menutup diri atau dikenal dengan introvert. Dampak psikologi
yang berat seperti bunuh diri.
3. Dampak seksual
Anak yang mengalami kekerasan seksual seperti perkosaan bisa saja akan
menimbulkan dampak dalam jangka panjang seperti kehamilan yang tidak
diinginkan, infeksi menular seksual termasuk HIV/AIDS, gangguan/kerusakan
organ reproduksi.

2.7 Upaya Pencegahan Kekerasan pada Anak


Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah tindak kekerasan di sekolah:
1. Upaya yang dilakukan oleh sekolah dalam mencegah tindak kekerasan salah
satunya menerapkan pendidikan tanpa kekerasan di sekolah

11
2. Mensosialisasikan tindakan - tindakan yang tergolong sebagai kekerasan terhadap
anak beserta peraturan - peraturannya.
3. Mensosialisasikan pada anak bahaya kekerasan yang mengancam mereka
sehingga anak dapat menghindari bahaya kekerasan.
4. Memberi dorongan kepada siswa untuk melaporkan kekerasan yang di alami. Beri
pemahaman kepada siswa bahwa melaporkan tindak kekerasan di sekolah akan
mencegah akibat yang lebih buruk. Pencantuman nomor telepon guru atau kepala
sekolah, di sudut-sudut sekolah memudahkan siswa untuk melaporkan tindak
kekerasan. Lindungi dan berikan penghargaan siswa-siswa yang melaporkan
tindak kekerasan.
5. Membentuk atau menjalin kerjasama antara kepala sekolah, guru, dan orangtua
siswa. Kerjasama yang lebih dalam berbagai program yang intens antara guru,
kepala sekolah dan orang tua harus ditingkatkan.
6. Menjalin komunikasi yang efektif antara orangtua dan guru. Komunikasi antara
guru atau kepala sekolah tidak hanya sebatas masalah akademik atau keuangan
saja tetapi yang lebih dalam menyangkut aktivitas anak di sekolah. Aktivitas siswa
baik kegiatan intra kurikuler ataupun ekstra kurikuler dapat dijadikan topik dalam
menjalin komunikasi dengan orang tua siswa.
7. Orangtua menerapkan pola asuh yang menekankan dukungan daripada hukuman.
Hukuman tidak selamanya efektif membangun kavrakter siswa. Tidak sedikit
hukuman yang menimbulkan ketakutan, trauma dan dendam pada siswa sehingga
menimbulkan gangguan psikologis bagi siswa. Menyadarkan orang tua dan
pendidik tentang pentingnya pendekatan yang memotivasi siswa untuk berubah
adalah hal yang sangat penting.
8. Penegak hukum harus lebih serius menindak lanjuti laporan - laporan kekerasan
terhadap anak hingga tuntas.

2.8 Penanganan Kekerasan pada Anak


Upaya perlindungan terhadap anak akibat tindak kekerasan harus diberikan secara
utuh, menyeluruh dan komprehensif, tidak memihak kepada suatu golongan atau
kelompok anak. Dengan demikian, didalam penanganan kekerasan terhadap anak, perlu
adanya sinergi antara keluarga, masyarakat dan negara. Selain itu, dalam penanganan
kasus kekerasan seksual terhadap anak seharusnya bersifat holistik dan terintegrasi.
Semua sisi memerlukan pembenahan dan penanganan, baik dari sisi medis, sisi individu,

12
aspek hukum (dalam hal ini masih banyak mengandung kelemahan), maupun dukungan
sosial. Apabila kekerasan seksual terhadap anak tidak ditangani secara serius dapat
menimbulkan dampak sosial yang luas di masyarakat. Penyembuhan trauma psikis akibat
kekerasan seksual haruslah mendapat perhatian besar dari semua pihak yang terlibat.

a. Peran Individu dan Keluarga


Langkah paling sederhana untuk melindungi anak dari kekerasan seksual
bisa dilakukan oleh individu dan keluarga. Orangtua memegang peranan penting
dalam menjaga anak-anak dari ancaman kekerasan seksual. Orangtua harus benar-
benar peka jika melihat sinyal yang tak biasa dari anaknya. Namun, tak semua
korban kekerasan seksual bakal menunjukkan tanda-tanda yang mudah dikenali.
Terutama apabila si pelaku melakukan pendekatan secara persuasif dan
meyakinkan korban apa yang terjadi antara pelaku dan korban merupakan hal
wajar. Kesulitan yang umumnya dihadapi oleh pihak keluarga maupun ahli saat
membantu proses pemulihan anak-anak korban kekerasan seksual dibandingkan
dengan korban yang lebih dewasa adalah kesulitan dalam mengenali perasaan dan
pikiran korban saat peristiwa tersebut terjadi. Anak-anak cenderung sulit
mendeskripsikan secara verbal dengan jelas mengenai proses mental yang terjadi
saat mereka mengalami peristiwa tersebut. Sedangkan untuk membicarakan hal
tersebut berulang-ulang agar mendapatkan data yang lengkap, dikhawatirkan akan
menambah dampak negatif pada anak karena anak akan memutar ulang peristiwa
tersebut dalam benak mereka. Oleh karena itu, yang pertama harus dilakukan
adalah memberikan rasa aman kepada anak untuk bercerita. Biasanya orang tua
yang memang memiliki hubungan yang dekat dengan anak akan lebih mudah
untuk melakukannya.
Menurut beberapa penelitian yang dilansir oleh Protective Service for
Children and Young People Department of Health and Community Service(1993)
keberadaan dan peranan keluarga sangat penting dalam membantu anak
memulihkan diri pasca pengalaman kekerasan seksual mereka. Orang tua (bukan
pelaku kekerasan) sangat membantu proses penyesuaian dan pemulihan pada diri
anak pasca peristiwa kekerasan seksual tersebut. Pasca peristiwa kekerasan
seksual yang sudah terjadi, orang tua membutuhkan kesempatan untuk mengatasi
perasaannya tentang apa yang terjadi dan menyesuaikan diri terhadap perubahan
besar yang terjadi. Selain itu juga, orang tua membutuhkan kembali kepercayaan

13
diri dan perasaaan untuk dapat mengendalikan situasi yang ada. Proses pemulihan
orang tua berkaitan erat dengan resiliensi yang dimiliki oleh orang tua sebagai
individu dan juga resiliensi keluarga tersebut.
b. Peran Masyarakat
Berkaitan dengan peran masyarakat oleh media massa harus dilakukan
dengan bijaksana demi perlindungan anak karena dalam Undang-Undang Nomor
23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ditegaskan Pasal 64, “perlindungan dari
pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi”.
Artinya dalam hal ini seharusnya masyarakat ikut membantu memulihkan kondisi
kejiwaan korban. Masyarakat diharapkan ikut mengayomi dan melindungi korban
dengan tidak mengucilkan korban, tidak memberi penilaian buruk kepada korban.
Perlakuan semacam ini juga dirasa sebagai salah satu perwujudan perlindungan
kepada korban, karena dengan sikap masyarakat yang baik, korban tidak merasa
minder dan takut dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.
c. Peran Negara
Peran negara tentu paling besar dalam penanganan kekerasan seksual
terhadap anak. Sebab, pada hakikatnya negara memiliki kemampuan untuk
membentuk kesiapan individu, keluarga serta masyarakat. Negara dalam hal ini
pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap kemaslahatan
rakyatnya, termasuk dalam hal ini adalah menjamin masa depan bagi anak-anak
kita sebagai generasi penerus. Oleh karena itu, Pemerintah bertanggung jawab
untuk melindungi warga negaranya dari korban kekerasan seksual yang terjadi
pada anak-anak. Tetapi dalam kenyataannya, meskipun sudah ada jaminan
peraturan yang mampu melindungi anak, namun fakta membuktikan bahwa
peraturan tersebut belum dapat melindungi anak dari tindakan kekerasan seksual.
Oleh karena itu, upaya yang harus menjadi prioritas utama (high priority) untuk
melindungi anak dari tindakan kekerasan seksual adalah melalui reformasi hukum.
Spirit untuk melakukan reformasi hukum dilandasi dengan paradigma pendekatan
berpusat pada kepentingan terbaik bagi anak (a child-centred approach) berbasis
pendekatan hak. Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau
menanggulangi kejahatan sudah barang tentu tidak hanya dengan menggunakan
hukum pidana, tetapi dapat juga menggunakan sarana yang non hukum pidana.

14
Penanggulangan secara hukum pidana yaitu penanggulangan setelah
terjadinya kejahatan atau menjelang terjadinya kejahatan, dengan tujuan agar
kejahatan itu tidak terulang kembali. Penanggulangan secara hukum pidana dalam
suatu kebijakan kriminal merupakan penanggulangan kejahatan dengan
memberikan sanksi pidana bagi para pelakunya sehingga menjadi contoh agar
orang lain tidak melakukan kejahatan. Berlakunya sanksi hukum pada pelaku,
maka memberikan perlindungan secara tidak langsung kepada korban perkosaan
anak di bawah umur ataupun perlindungan terhadap calon korban. Ini berarti
memberikan hukuman yang setimpal dengan kesalahannya atau dengan kata lain
para pelaku diminta pertanggungjawabannya. Upaya penanggulangan kejahatan
dengan menggunakan sanksi hukum pidana merupakan cara yang paling tua.
Sampai saat inipun, hukum pidana masih digunakan dan diandalkan sebagai salah
satu sarana politik kriminal. Hukum pidana hampir selalu digunakan dalam
produk legislatif untuk menakuti dan mengamankan bermacam-macam kejahatan
yang mungkin timbul di berbagai bidang.

Terkait kekerasan seksual dengan anak sebagai korbannya, perlu adanya


upaya preventif dan represif dari pemerintah. Upaya preventif perlu dilakukan
dengan dibentuknya lembaga yang berskala nasional untuk menampung anak
yang menjadi korban tindak kekerasan seperti perkosaan. Koordinasi dengan
pihak kepolisian harus dilakukan, agar kepolisian segera meminta bantuan
lembaga ini ketika mendapat laporan terjadinya tindak kekerasan terhadap
perempuan. Lembaga ini perlu didukung setidaknya oleh pekerja sosial, psikolog,
ahli hukum dan dokter. Secara represif diperlukan perlindungan hukum berupa:

1. Pemberian restitusi dan kompensasi bertujuan mengembalikan kerugian yang


dialami oleh korban baik fisik maupun psikis, serta penggantian atas biaya
yang dikeluarkan sebagai akibat viktimisasi tersebut
2. Konseling diberikan kepada anak sebagai korban perkosaan yang mengalami
trauma berupa rehabilitasi yang bertujuan untuk mengembalikan kondisi psikis
korban semula
3. Pelayanan / bantuan medis, diberikan kepada korban yang menderita secara
medis akibat suatu tindak pidana seperti perkosaan, yang mengakibatkan
penderitaan fisik

15
4. Pemberian informasi, Hak korban untuk mendapat informasi mengenai
perkembangan kasus dan juga keputusan hakim.
5. Perlindungan yang diberikan oleh keluarga maupun masyarakat.

d. Perlindungan Anak Menurut UU


Berdasarkan PERMENKES Nomor 68 tahun 2013

a. Pasal 4
Pemberi layanan kesehatan yang memberi pelayanan kesehatan kepada anak
yang diduga menjadi anak korban KtA mempunyai kewajiban:
a. memberikan pertolongan pertama;
b. memberikan konseling awal;
c. menjelaskan kepada orang tua anak tentang keadaan anak dan dugaan
penyebabnya, serta mendiskusikan langkah-langkah ke depan;
d. melakukan rujukan apabila diperlukan;
e. memastikan keselamatan anak;
f. melakukan pencatatan lengkap di dalam rekam medis serta siap untuk
membuat Visum et Repertum apabila diminta secara resmi; dan
g. memberikan informasi kepada kepolisian.

b. Pasal 5
(1) Dalam memberi pelayanan kesehatan kepada anak yang didugasebagai
korban KtA, pemberi layanan kesehatan dapat merujuk kepada pihak lain
dengan menggunakan pendekatan multidisiplin.
(2) Pendekatan multidisiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pelayanan kesehatan, medikolegal, pendampingan psikososial, dan bantuan
hukum
c. Pasal 6
Dalam hal orang yang diduga sebagai pelaku tindak kekerasan berada di
dalam lingkungan tempat tinggal anak, pemberi layanan kesehatan dapat:
a. menitipkan ke tempat yang lebih aman atau rumah aman;
b. meminta pengamanan dari kepolisian demi keselamatan anak; dan/atau
c. melakukan rawat inap di fasilitas pelayanan kesehatan.

16
Pembinaan Dan Pengawasan

a. Pasal 17
(1)  Pemerintah, Pemerintah Daerah bersama dengan organisasi profesi
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan ini sesuai
dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing- masing.
(2)  Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan
untuk:
1. meningkatkan peran pemberi pelayanan kesehatan untuk memberikan
pelayanan kesehatan bagi anak korban KtA secara profesional dan aman;
2. memperkuat jejaring kemitraan dengan lintas sektor dan lintas program
dalam pencegahan dan penanganan kasus korban KtA; dan
3. meningkatkan peran keluarga dan masyarakat untuk mendukung pemerintah
dalam pencegahan dan penanganan kasus korban KtA.

Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan


melalui:

1. Advokasi dan sosialisasi dampak kasus korban KtA terhadap tumbuh kembang
anak;
2. pelatihan dan orientasi bagi tenaga kesehatan;
3. peningkatan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan; dan
4. monitoring dan evaluasi pelaksanaan program.

UU No. 35 Tahun2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun


2002 Tentang Perlindungan Anak

a. Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap


warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan
hak asasi manusia;

b. Bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;

17
c. Bahwa anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita
perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga
wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang
mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia;

d. Bahwa dalam rangka meningkatkan perlindungan terhadap anak perlu


dilakukan penyesuaian terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

e. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,


huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.

Mengingat:

1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28G ayat (2), dan Pasal 28I ayat
(2), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235);

3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana


Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332).

2.9 Tanggung jawab dokter terhadap pemberian informasi terhadap kekerasan anak
Sebagai seorang dokter pasti memiliki peranaan terhadap pemberian informasi
mengenai dugaan kekerasan pada anak maupun kekerasan yang sudah terjadi pada anak.
Karena seorang dokter dapat membuat dokumen berupa visum et repertum yang merupakan
alat bukti berupa surat yang nanti dapat digunakan sebagai instrumen hukum di peradilan
nanti. Untuk dasar seorang dokter untuk memberikan indormasi mengenai adanya dugaan
kekerasan pada anak tercantum di dalam Permenkes RI No.68 Tahun 2013 Tentang
Kewajiban Pemberi Layanan Kesehatan Untuk Memeberikan Informasi Atas Adanya
Dugaan Kekerasan Terhadap Anak.

18
Dimana ini dari Permenkes tersebut mengandung berbagai pembahasan mengenai
kewajiban dari seorang dokter terhadap pemberian informasi jika memang terjadi suatu
kekerasan terhadap anak.
Menurut Permenkes RI No.68 Tahun 2013 Menetapkan kewajiban pemberi layanan
kesehatan untuk memberikan informasi atas adanya dugaan kekerasan pada anak yang
terdiri atas ketentuan umum dan pemberi layanan kesehatan. Menurut bab II pasal 4
mengatakan “Pemberi layanan kesehatan yang memberi pelayanan kesehatan kepada anak
yang menjadi anak korban kekerasan terhadap anak mempunyai kewajiban yaitu,
memberikan pertolongan pertama, memberikan konseling awal dan menjelaskan kepada
orang tua tentang keadaan anak dan dugaan penyebabnya, serta mendiskusikan langkah-
langkah ke depan, melakukan pencatatan lengkap di dalam rekam medis serta siap untuk
membuat visum et repertum apabila diminta secara resmi dan memberikan informasi kepada
kepolisian” pada pasal tersebut menjelaskan bahwa seorang dokter harus mampun
menjelaskan mengenai apa yang terjadi kepada anak tersebut apakah keadaan anak tersebut
terjadi karena suatu kecelakaan atau memang sudah terjadi kekerassan terhadap nak
tersebut. Dan dokter juga wajib memberikan visum et repertum bila diminta secara resmi
oleh pihak kepolisian.
Selain itu pada bab III pasal 7 ayat 1dan 2 mengatakan “ Pemberi layanan kesehatan
yang dalam melakukan pelayanan kesehatan menemukan adanya dugaan kekerasan
terhadap anak wajib memberitahukan kepada orang tua dan/atau pendamping anak tersebut.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai anjuran untuk melaporkan
dugaan kekerasan terhadap anak tersebut kepada kepolisian” menjelaskan mengenai
kewajiban dokter untuk memberikan informasi. Pada ayat 1 menyebutkan bahwa pemberi
layanan kesehatan yang dalam melakukan pelayanan kesehatan menemukan adanya dugaan
kekererasan terhadap anak wajib memberitahu kepada orang tua dan/atau pendamping anak
tersebut. Dimana nanti setelah itu dokter memberikan anjuran kepada orang tua pasien
untuk melaporkan dugaan kekerasan terhadap anak tersebut kepada kepolisian. Dimana
nanti anjuran tersebut paling sedikit berisi dampak yang merugikan terhadap kesehatan
anak, dampak sosial terhadap anak maupun untuk memberikan efek jera terhadap pelaku
agar tidak melakukan tindakan tersebut lagi.
Pada pasal 7 ayat 4 mengatakan “ Dalam hal orang tua atau pendamping anak korban
KtA menolak dilakukannya pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tenaga
kesehatan memberikan informasi kepada kepolisian sesegera mungkin” apabila setelah
diberikan anjuran oleh tenaga kesehatan pihak orang tua atau pendamping menolak untuk

19
melaporkan pelaku, tenaga kesehatan harus memberikan informasi kepada kepolisian
sesegera mungkin. Sedangkan untuk mengenai tempat kejadian dugaan kekerasan terhadap
anak yang tidak diketahui atau terlalu jau dapat ditujukan kepada instansi kepolisian
setempat. Dan untuk pemerian informasi adanya dugaan kekerasan pada anak dapat
dilakukan secara lisan maupun tulisan. Posisi tenaga kesehatan disini adalah sebagai saksi
pelapor dan berhak mendapatkan perlindungan hukum.
Informasi yang diberikan terhadap dugaan kekerasan terhadap anak paling sedikit
beerisi umur, jenis kelamin, nama dan alamat pemberi pelayanan kesehatan dan/atau waktu
pemeriksaan kesehatan.
Sedangkan menurut Kode Etik Kedokteran tahun 2012 Pasal 16: Rahasia Jabatan,
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. Didalam pasal tersebut pada poin ke 2
tercantumkan “Seorang dokter tidak boleh memberikan pernyataaan tentang diagnosis
dan/atau pengobatan yang terkait diagnosis pasien kepada pihak ketiga atau kepada
masyarakat luas tanpa persetujuan pasien.”. Oleh Karena itu dalam pasal tersebut dijelaskan
bahwa sebagai tenaga kesehatan dokter wajib merahasiakan tindak kekerasan bila sang
korban tidak bersedia.
Didalam pasal 16 poin ke 4 menyatakan “Dalam hal terdapat dilema moral atau etis
akan dibuka atau dipertahankannya rahasia pasien, setiap dokter wajib berkonsultasi
dengan mitra bestari dan/atau organisasi profesinya terhadap pilihan keputusan etis yang
akan diambilnya.”. Seorang dokter sebagai tenaga kesehatan dapat berkonsultasi pada mitra
kerja untuk mengambil keputusan yg berhubungan dengan pilihan etik.
Didalam pasal 16 poin ke 6 menyatakan “Seorang dokter dapat membuka rahasia medis
seorang pasien untuk kepentingan pengobatan pasien tersebut, perintah undang-undang,
permintaan pengadilan, untuk melindungi keselamatan dan kehidupan masyarakat setelah
berkonsultasi dengan organisasi profesi, sepengetahuan / ijin pasien dan dalam dugaan
perkara hukum pihak pasien telah secara sukarela menjelaskan sendiri diagnosis /
pengobatan penyakitnya dimedia massa / elektronik / internet.”. Dokter dapat membuka
informasi medis pasien bila diminta oleh pihak berwenang setelah kenentuan-ketentuan
tersebut dijalani.
Menurut UU No.29 Tahun 2004 pada bab menjelaskan bahwa setiap dokter atau
dokter gigi dalam melakssanakan praktik kedokteran wajib menyimpan kerahasiaan yang
menyangkut riwayat penyakit pasien yang tertuang di dalam rekam medis. Rahasia tersebut
dapat dibuka hanya untuk kepentingan paien dalam memenuhi permintssn sparat penegak

20
hukum (hakim majelis), permintaan pasien sendiri atau berdasarkan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku. Sedangkan untuk rumah sakit bertanggung jawab atas penyimpanan
rekam medis sesuai dengan pertaturan yang berlaku.
Hukuman bagi seseorang yang melakukan penganiayaan pada anak diatur dalam UU
No.35 Tahun 2014 mengenai perubahan atas UU No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan
anak. Pasal 80
1. Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan
dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
2. Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
3. Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
4. Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang
Tuanya.

Sedang kan untuk kekerasan seksual dan pencabulan hukuman terhadap pelaku diatur
di dalam UU No. 35 tahun 2014 pasal 81 dan 82. Pada pasal 81 menyebutkan bahwa :

1. Setiap orang yang melangggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
2. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap
Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,
atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
3. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka
pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).

Pasal 82 menyebutkan

21
1. Setiap orang yang melangggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap
Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
3. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang
Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya
ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

22
BAB III

KESIMPULAN

23
DAFTAR PUSTAKA

24

Anda mungkin juga menyukai