Anda di halaman 1dari 7

ESSAY KIMIA FARMASI ANALISIS II

“Analisis Kimia Obat Amoxicillin, Kafein, Albumin dan Insulin


Menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)”

Disusun oleh :
Elen septina ( F1F118023)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS JAMBI
1. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

KCKT paling sering digunakan untuk menetapkan kadar senyawa–senyawa


tertentu seperti asam amino, asam nukleat, dan protein dalam cairan fisiologis,
menentukan kadar senyawa aktif obat, produk hasil samping proses sintesis, atau
produk degradasi dalam sediaan farmasi; memonitor sampel yang berasal dari
lingkungan, memurnikan senyawa dalam suatu campuran, memisahkan polimer dan
menentukan distribusi berat molekulnya dalam suatu campuran, kontrol kualitas; dan
mengikuti jalannya reaksi sintetis.

Untuk pengujian KCKT yang pertama pada obat Amoxicillin. Berdasarkan jurnal
ilmiah unsrat(2015), KCKT dapat digunkan untuk menetapkan kadar amoxicillin
dalam plasma secara in vitro. Dengan beberapa tahapan, yaitu yang pertama
pembuatan larutan induk amoxicillin, Ditimbang sebanyak 25 mg zat aktif
amoxicilin. Dilarutkan ke dalam metanol hingga volume akhir 100 mL. Konsentrasi
250 μg/mL digunakan sebagai larutan induk. Langkah yang kedua adalah penentuan
Panjang gelombang maksimum untuk analisis, Dibuat spektrum serapan ultraviolet
larutan amoxicilin dengan konsentrasi 250, 100, 50,10, 3, dan 1 μg/mL dalam
metanol pada panjang gelombang 200-400 nm mengunakan spektrofotometer
Ultraviolet-Visibel, ditentukan panjang gelombang maksimumnya yang sesuai, yang
ketiga optimasi waktu untuk analisis, Dilihat waktu kestabilan (Operaiting time)
Amoxicilin selama 0 – 10 menit dengan menggunakan spektrofotometri Ultraviolet-
visibel pada panjang gelombang maksimum dan konsentasi terpilih. Kestabilannya
dilihat dari perubahan absorbansi. Pembuatan Dapar Fosfat pH 5 Dilarutkan KH2PO4
sebanyak 7,8 gram dalam 900 mL air, disesuaikan pH 5 dengan penambahan NaOH.
Diencerkan dengan air hingga 1000 mL. Penetapan Fase Gerak Larutan standar
amoxicilin pada konsentrasi 20 μg/mL diinjeksikan sebanyak 20 μL pada komposisi
fase gerak metanol : buffer kalium dihidrogen fosfat pada perbandingan 10:90 dan
40:60 (v/v) (pH 5) dengan perbandingan fase gerak terpilih ditentukan laju alir 1,2 –
2,0 mL/menit dan deteksi pada panjang gelombang terpilih. Catat waktu retensi, luas
puncak, dihitung jumlah plat teoritis, faktor kapasitas dan asimetris. Validasi Metode
Analisis Amoxicilin Pembuatan Kurva Kalibrasi dan Uji Linearitas Larutan Sampel
dengan konsentrasi 3, 6, 9, 12 dan 15 μg/mL Sebanyak 20 μL larutan tersebut
disuntikkan ke alat KCKT pada kondisi terpilih. Setelah itu dibuat kurva kalibrasi
dengan persamaan garis linear (y=a+bx). Dihitung koefisien korelasi (r) dari kurva
tersebut. Uji Akurasi Larutan amoxicilin dengan konsentrasi (3, 6 dan 9 μg/mL).
Analisis dengan prosedur yang sama seperti pada sampel yaitu disuntikkan sebanyak
20 μL ke alat KCKT dengan kondisi fase gerak dan kecepatan alir terpilih. Diulangi
sebanyak tiga kali untuk setiap konsentrasi kemudian hitung persentase akurasi (%
diff) dan perolehan kembali (% recovery). Nilai rata-rata % diff disyaratkan ± 15% .
Uji Presisi Dari hasil akurasi tersebut dilakukan pengukuran intraday dan interday
(selama 2 hari berturut-turut, kemudian hitung persentase simpangan baku relatif %
RSD dari masing-masing konsentrasi dengan nilai lebih kecil sama dengan 15%.
Batas Deteksi dan Batas Kuantitas Batas deteksi (Limit of Detection/LOD) dan batas
kuantitas (Limit Of Quantitation/LOQ). Penetapan Kadar Amoxicilin dalam plasma
Darah Pengambilan sampel darah Darah diperoleh dari pengambilan darah peneliti
sebanyak 12 mL. Darah tersebut diambil menggunakan dispo 12 mL. Darah
kemudian dimasukkan de dalam tabung yang sudah berisi larutan EDTA. Ekstraksi
dan Penetapan Kadar Amoxicilin Dalam Plasma Sebelum penetapan kadar amoxicilin
dalam plasma, dilakukan spaiking sampel yaitu dengan cara pengukur larutan induk
amoxicilin 500 µg/mL ke dalam sistem KCKT. Sebanyak 0,5 mL darah yang diambil
dari sampel pada tabung EDTA di masukkan ke dalam tabung sentrifuge + Pelarut
Organik ( Metanol) sebanyak 0,7 mL divorteks 30 detik, kemudian disentrifugasi
selama 10 menit pada 3000 rpm. Kemudian Alikuot disaring , diambil supernatan
(plasma) lalu supernatan diinjeksi sebanyak 20 μL ke alat KCKT. Dianalisis
kromatogram untuk mengetahui kondisi kromatogram blanko darah. Dilakukan hal
yang sama terhadap darah yang sudah mengandung larutan amoxicilin masing-
masing dengan konsentrasi 250 dan 500 μg/mL. Diekstraksi dan diinjeksi sebanyak
20 μL ke alat KCKT dengan kondisi KCKT yang telah ditentukan sebelumnya,
kemudian dicatat waktu retensi dan luas puncaknya. Hitung kadar Amoxicilin dalam
darah dengan cara mensubtitusikan luas puncak yang telah terpilih ke dalam
persamaan regresi yang diperoleh dari kurva kalibrasi. Kemudian dilanjutkan dengan
tahapan Penetapan Kadar Amoxicilin dalam plasma Darah Pengambilan sampel darah
Darah diperoleh dari pengambilan darah peneliti sebanyak 12 mL. Darah tersebut
diambil menggunakan dispo 12 mL. Darah kemudian dimasukkan de dalam tabung
yang sudah berisi larutan EDTA. Ekstraksi dan Penetapan Kadar Amoxicilin Dalam
Plasma Sebelum penetapan kadar amoxicilin dalam plasma, dilakukan spaiking
sampel yaitu dengan cara pengukur larutan induk amoxicilin 500 µg/mL ke dalam
sistem KCKT. Sebanyak 0,5 mL darah yang diambil dari sampel pada tabung EDTA
di masukkan ke dalam tabung sentrifuge + Pelarut Organik ( Metanol) sebanyak 0,7
mL divorteks 30 detik, kemudian disentrifugasi selama 10 menit pada 3000 rpm.
Kemudian Alikuot disaring , diambil supernatan (plasma) lalu supernatan diinjeksi
sebanyak 20 μL ke alat KCKT. Dianalisis kromatogram untuk mengetahui kondisi
kromatogram blanko darah. Dilakukan hal yang sama terhadap darah yang sudah
mengandung larutan amoxicilin masing-masing dengan konsentrasi 250 dan 500
μg/mL. Diekstraksi dan diinjeksi sebanyak 20 μL ke alat KCKT dengan kondisi
KCKT yang telah ditentukan sebelumnya, kemudian dicatat waktu retensi dan luas
puncaknya. Hitung kadar Amoxicilin dalam darah dengan cara mensubtitusikan luas
puncak yang telah terpilih ke dalam persamaan regresi yang diperoleh dari kurva
kalibrasi. Hasil yang diberikan pada penelitan adalah Kondisi optimasi untuk
penetapan kadar amoxicilin secara KCKT dengan menggunakan kolom C18, kolom
(250 X 4,6 mm, 5 µm) dengan fase gerak Metanol : Buffer kalium dihidrogen fosfat
( 10 : 90), PH 5 dan laju alir 2,0 mL/menit.Sedangkan hasil Validasi menunjukkan
bahwa metode bioanalisis yang dilakukan sudah cukup memenuhi persyaratan untuk
uji kesesuaian sistem, linearitas (r=9,409), akurasi (%diff ≤ 15 kecuali pada
konsentrasi 3 µg/mL) , presisi (% RSD ≤ 15), batas deteksi (2,5 µg/mL) dan batas
kuantitas (8,36). Hanya saja ada beberapa konsentrasi yang belum sesuai yaitu pada
uji akurasi. Namun secara keseluruhan metode yang telah divalidasi bisa digunakan
untuk penetapan kadar amoxicillin. Selain itu KCKT juga dapat digunakan untuk
penetapan kondisi optimum pengujian kadar paracematol.

Selanjutnya adalah analisis pada kafein. Analisis kafein dengan menetapkankadar


bahan aktif apada obat sakit kepala( oleh, Herlina Eka pratiwi di Intitut Pertanian
Bogor). Bahan yang digunakan selama penelitian adalah obat pereda sakit kepala
tablet dengan kandungan zat aktif parasetamol 500 mg dan kafein 30 mg, standar
parasetamol (Europe CW0910509, 99.622%), standar kafein (USA200910077,
100.7%), asetonitril Chrom AR® (Mallinckrodt Chemical, 100%), dan air distilasi.
Peralatan yang digunakan selama penelitian adalah 3 macam KCKT (Waters 1525,
Agilent 1200 series, dan Waters Aliance e2695) digunakan untuk parameter
ketangguhan metode. Selain itu, digunakan perangkat lunak Design Expert 7.0,
injektor Rheodyne 20 μL sample loop, kolom LichroCART RP–18 (125 × 4 mm,
5μm), neraca analitik (Mettler Toledo, MT XS205 DU), membran filter (millipore)
0.45 μm, Ultrasonic (104H), labu takar Iwaki, pipet volumetrik, serta peralatan kaca
lainnya. Metode penelitian ini dilakukan untuk memodifikasi metode pengujian
KCKT pada penetapan kadar parasetamol dan kafein dalamobat sakit kepala. Metode
tersebut digunakan untuk mengamati pengaruh konsentrasi fase gerak dan laju alir
terhadap waktu retensi dan resolusi dari 2 zat aktif, yaitu parasetamol dan kafein.
Untuk melihat pengaruh tersebut digunakan persamaan regresi. Pembuatan fase gerak
dilakukan dengan cara mencampurkan pelarut asetonitril:air (sesuai nisbah yang
diinginkan, yaitu asetonitril 10, 15, dan 20%). Campuran dihomogenkan dan disaring
dengan membrane filter PTFE (millipore) 0.45 μm lalu dihilangkan gelembungnya.
Untuk pembuatan standar, sebanyak 500 mg standar parasetamol dan 30 mg kafein
ditimbang saksama, dilarutkan dalam fase gerak dengan komposisi terpilih hingga 50
mL (A). Labu takar 10 mL disiapkan kemudian dipipet 1.0 mL larutan A dimasukkan
ke dalam labu tersebut dan ditera dengan pelarut. Dipipet 1.0 mL lagi ke dalam labu
takar 10 mL, diperoleh larutan parasetamol 100 ppm dan kafein 6 ppm. Sebanyak 10
buah tablet ditimbang dan ditentukan nilai rerata bobotnya kemudian digerus hingga
halus dan tercampur homogen. Ditimbang setara bobot 1 tablet (digunakan bobot
rerata 10 tablet, kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL dan dilarutkan
dengan fase gerak komposisi terpilih (larutan B). Contoh diberi perlakuan seperti
standar, yakni pengenceran 100 kali. Konsentrasi larutan contoh parasetamol 100
ppm dan kafein 6 ppm. Hasil yang didapapatkan pada penelitian ini adalah Batas
deteksi dan kuantitasi ditentukan dari persamaan regresi linear hasil penentuan
linearitas. Berdasarkan persamaan y=24736x– 13931, diperoleh batas deteksi untuk
parasetamol 0.5633 ppm dan batas kuantitasi 0.5636 ppm, untuk kafein, y= 63136x–
8742.2, maka diperoleh batas deteksi 0.1385 ppm dan batas kuantisasi 0.1386 ppm.
Batas deteksi digunakan untuk mengetahui konsentrasi analit terendah yang bisa
dideteksi dengan masih dapat membedakan antara sinyal analit dan derau. Sementara
batas kuantitasi digunakan untuk mengetahui konsentrasi terendah yang dapat
ditentukan oleh suatu metode dengan tingkat ketepatan dan ketelitian yang
tervalidasi. Kesaksamaan ditentukan dengan menentukan kadar zat aktif parasetamol
dan kafein sebanyak 6 kali ulangan yang dilakukan pada hari dan instrumen yang
sama oleh analis yang sama, kemudian dihitung nilai SBR yang harus ada pada
kisaran ≤2.0%. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai SBR untuk parasetamol
adalah 0.3% dan kafein 0.2% (data dapat dilihat pada Lampiran 6). Nilai tersebut
menunjukan bahwa metode hasil modifikasi memberikan hasil yang cukup tinggi dan
sahih.

Kemudian analisis KCKT pada Albumin, seperti pada jurnal acta veterinaria
Indnesia, pada Sampel plasma dikoleksi dari 10 pasien yang didiagnosa sakit
(dermatitis, anemia, enteritis, dermatomikosis, keratitis, dan miasis) yang secara
klinis terindikasi terjadi hipoalbuminemia dan diterapi enrofloksasin 10 mg/kg bb
secara intramuskuler dari dokter hewan praktisi, klinik dan rumah sakit hewan di
wilayah DI Yogyakarta. Darah diambil dari vena cephalica sebanyak 3 mL dalam
waktu 1 jam setelah injeksi obat, ditampung dalam tabung dengan antikoagulan
heparin, selanjutnya disentrifugasi 2500 G selama 5 menit dan dikoleksi plasmanya.
Plasma diidentifikasi dan disimpan dalam lemari pembeku hingga dianalisis lebih
lanjut. Sebagai pembanding dan untuk uji ikatan albumin-obat (ALB-enrofloksasin)
digunakan plasma dari anjing sehat dan tidak disuntik obat (n=5). Analisis kadar
albumin selanjutnya dilakukan terhadap plasma anjing sehat dan sakit dengan
menggunakan metode bromcresol green, dan kadar enrofloksasin menggunakan
kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). Standar ALB dibuat dari plasma kontrol
(pooled plasma dari anjing sehat) melalui pengenceran plasma anjing sehat
menggunakan larutan saline isotonis bufer fosfat. Larutan bufer terdiri dari 1/15 M
Na2HPO4 dan 1/15 M NaH2PO4 dalam 50 mM NaCl. Konsentrasi larutan ALB
anjing 3,5 ug/mL dibuat sebagai standar. Selanjutnya dibuat pengenceran dengan
konsentrasi 100% (3,5 ug/mL), 75% (2,6 ug/ mL) , 50% (1,7 ug/mL) dan 25% (0,8).
Pengujian ikatan protein dilakukan mengacu metode Ikenoue et al. (2000).
Enrofloksasin (sediaan cair) dilarutkan dalam setiap pengenceran plasma-ALB
hingga mencapai kisaran konsentrasi terapi dalam darah (rerata 1 ug/mL), divortex
dan diinkubasi 37 ºC selama 60 menit. Selanjutnya untuk menentukan kadar obat
bebas dilakukan sentrifugasi plasma 2500 G selama 10 menit. Supernatan diambil
dan dianalisis kadarnya dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Hasil pengukuran
kadar albumin menunjukkan bahwa kondisi patologis (sakit) berpengaruh terhadap
kadar protein plasma termasuk albumin. akan mengalami penurunan kadar albumin
dibandingkan dalam kondisi sehat (P<0,05). Meskipun beberapa hewan sakit
menunjukkan kadar albumin diatas 2,5 g/dL, namun kondisi sakit tidak selalu
menyebabkan kondisi hipoalbuminemia. Hiperalbuminemia dapat disebabkan karena
kondisi dehidrasi, hypoadrenocorticism atau adanya hepatoseluler karsinoma. Ikatan
protein plasma-obat adalah faktor yang harus diperhatikan sehubungan dengan nilai
distribusi obat, karena ikatan ini memengaruhi jumlah fraksi obat bebas yang mampu
melakukan penetrasi ke jaringan atau organ. Kadar albumin sangat lazim menurun
pada kondisi pasien yang buruk, dimana penurunan yang terjadi 40-50%. Kondisi ini
akan memengaruhi tingkat ikatan albumin-obat terutama obat dengan ikatan protein
tinggi, serta merubah sifat farmakokinetik dan farmakodinamik obat, meskipun
kondisi ini masih sangat jarang diperhitungkan .

Yang terakhir analisis Insulin, Obat-obatan yang dapat digunakan untuk penyakit
diabetes melitus antara lain insulin, glibenklamid, repaglinide, metformin,
rosiglitazone, dan acarbose. Pemberian insulin dikhususkan untuk penderita diabetes
tipe 1 dan obat-obatan seperti glibenklamid, repaglinide, metformin, rosiglitazone,
dan acarbose diutamakan untuk penderita diabetes tipe 2. Glibenklamid merupakan
golongan sulfonilurea yang merupakan obat hipoglikemik oral sebagai obat pilihan
(drug of choice) untuk penderita diabetes dewasa baru dengan berat badan normal
dan tidak pernah mengalami ketosidosis sebelumnya. Glibenklamid memiliki efek
hipoglikemik yang poten, dimetabolisme dalam hati, 25% metabolit disekresi melalui
ginjal sebagian besar disekresi melalui empedu dan dikeluarkan bersama tinja.
Glibenklamid efektif dengan pemberian dosis tunggal dan akan keluar dari serum
setelah 36 jam. melakukan penentuan kadar glibenklamid dalam nanoemulsi
menggunakan metode KCKT. Fase diam yang digunakan adalah Gemini 5μ C18
110A 100 × 4.60mm, sedangkan fase gerak yang digunakan adalah asetonitril : air
(70:30, v/v) di adjust pH 3,4 menggunakan asam sulfat. Hasil yang diperoleh
menunjukan waktu retensi glibenklamid adalah 3,2 menit dalam laju alir 1,0 ml/menit
dengan pengamatan pada panjang gelombang 228 nm. Metode yang digunakan
memiliki batas deteksi (LOD) dan batas kuantitasi (LOQ) masing-masing 0,2 μg/ml
dan 0,8 μg/ml. melakukan penelitian analisis simultan sediaan tablet metformin
hidroklorida, pioglitazone hidroksida dan glibenklamid menggunakan KCKT. Fase
diam yang digunakan C18 25cm x 4,6 mm, dengan fase gerak asetonitril : air (60:40,
v/v) yang di adjust pH 3,0 dengan 5% asam ortofosfat. Waktu retensi glibenklamid
adalah 6,48 menit dalam laju alir 1,0 ml/menit, pengamatan dilakukan pada panjang
gelombang 230 nm. Metode yang digunakan memiliki LOD dan LOQ masing-masing
8,2 ng/ml dan 24,84 ng/ml. Penelitian glibenklamid dalam plasma darah manusia
sudah pernah dilakukan oleh Yusuf and Hammami (2009), yaitu melakukan validasi
glibenklamid dalam plasma manusia menggunakan metode KCKT. Fase diam yang
digunakan C18 4,6 nm x 250nm dengan fase gerak ammonium fosfat pH 5,5 dan
asetonitril (1:1, v/v). Glibenklamid dalam plasma didiamkan selama 24 jam dan 48
jam pada suhu kamar sebelum diekstraksi untuk melihat kestabilan glibenklamid
dalam plasma. Setelah didiamkan selama 24 dan 48 jam plasma tersebut diekstraksi
menggunakan larutan campuran diklorometana : heksana 1:1 (v/v) sebanyak 5 mL,
lalu dikeringkan pada suhu kamar dengan mengalirkan nitrogen. Untuk pengamatan
glibenklamid digunakan internal standart yaitu ketokonazol. Pada konsentrasi 0,03
μg/ml diperoleh % recovery 97,9% ± 6,1 dengan % KV 5,9 dalam laju alir 1,0
mL/menit dengan waktu retensi 19 menit, pengamatan pada panjang gelombang 235
nm dan 354 nm. Metode yang digunakan memiliki LOD dan LOQ masing-masing
0,01 μg/ml dan 0,60 μg/ml. Dari hasil penelitian tersebut dikatakan bahwa
glibenklamid tetap stabil dalam plasma selama 24 jam.

Anda mungkin juga menyukai