Anda di halaman 1dari 41

TANTANGAN UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS

PELAYANAN PUBLIK DI ERA OTONOMI DAERAH


(Rinaldo Piris)

A. Pendahuluan
Bergulirnya nuansa kebebasan yang meluas di masyarakat, serta
perubahan faktual dalam bidang pemerintahan saat ini yang tercermin dari
Undang-Undang Nomor. Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah mengalami perubahan dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, menuntut adanya
wacana yang lebih luas menyangkut peningkatan kualitas pelayanan
publik. Hal ini seiring dengan semakin membaiknya pengertian
masyarakat terhadap hak-haknya sebagai warga Negara yang mempunyai
akses langsung terhadap pemerintah. Kesemuanya ini akan memberikan
dampak yang sangat besar terhadap perubahan iklim kerja pemerintah
daerah, khususnya sebagai abdi Negara dan pelayan masyarakat.
Terkait dengan hal dimaksud, layanan publik yang profesional perlu
diwujudkan, mengingat sistim pelayanan publik dewasa ini cenderung
menunjukkan banyak kemunduran. Kenyataan menunjukkan bahwa
banyak para “birokrat” atau administrator masih menunjukkan sosok
pribadi “majikan besar” dalam pelayanan publik, bukannya citra “pelayan
yang profesional” mengakibatkan timbulnya berbagai keluhan dari
masyarakat terhadap kualitas pelayanan yang diberikan.
Pegawai pelayanan publik, yang seharusnya bertindak sebagai
penyedia jasa (service provider) dan fasilitator ternyata belum nampak di
mata masyarakat sebagai penguna jasa layanan. Kebutuhan masyarakat
akan jasa layanan publik yang berkualitas dan profesional sering
diabaikan mengakibatkan munculnya berbagai keluhan dari masyarakat
terhadap kinerja pegawai pelayanan publik. Beberapa keluhan masyarakat
yang dapat kita temu kenali dalam praktek pelayanan publik antara lain :
1. Layanan yang diberikan terkesan birokratis, tidak transparan, terlalu
panjang dan terkesan berbelit-belit. Disisi lain pengambilan keputusan
layanan terkadang juga sangat birokratis, terutama karena mekanisme

1
yang terlalu hirarkis dengan peran sentral berada di pimpinan tertinggi
pada kantor tertentu.
2. Layanan belum efisien, karena panjangnya proses pemberian layanan.
Hal ini dapat di lihat dari beberapa jenis layanan yang harus melalui
banyak meja atau loket sehingga mengakibatkan panjangnya proses
layanan. Kondisi ini juga mencerminkan kurang efektifnya pelayanan,
mengingat di beberapa tempat pelayanan sering tidak dicantumkan
persyaratan layanan yang harus dipenuhi, jadwal penyelesaian
layanan, jumlah biaya/tarif yang harus dikeluarkan oleh masyarakat
untuk mendapatkan jasa layanan tersebut. Hasil akhirnya masyarakat
sering dibingungkan dengan prosedur, proses, dan hasil layanan
tersebut, yang kadangkala membutuhkan waktu, tenaga, bahkan
pengorbanan biaya yang cukup besar.
3. Dalam pemberian layanan tertentu, sering terjadi penyalahgunaan
wewenang oleh aparatur pemberi jasa layanan. Kondisi ini dipicu oleh
ketidakjelasan persyaratan dan belum tersedianya Standar Operasi
Prosedur (SOP) tertulis yang memuat tentang janji layanan, waktu
layanan, dan biaya yang harus dibayarkan oleh masyarakat. Bahkan
kalaupun di beberapa instansi sudah menyusun SOP, informasi
tersebut belum dikomunikasikan secara efektif kepada masyarakat
sebagai pengguna jasa layanan.
4. Layanan yang diberikan kurang di dukung oleh aparat yang kompoten
dan profesional. Keluhan tidak profesionalnya pelayanan publik yang
muncul dari masyarakat seperti perilaku yang masa bodoh, lamban,
kaku dan terkesan tidak bersahabat dalam memberikan jasa layanan
kepada masyarakat menimbulkan adanya konflik antara aparat
pemberi layanan dengan masyarakat sebagai pengguna jasa layanan.
bahkan terkadang berkelanjutan dengan perang mulut dan adu fisik
yang tidak dapat dihindarkan karena salah satu pihak merasa
dirugikan.
5. Dalam beberapa jenis layanan, masih ditemukan adanya praktek
koropsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kondisi ini pada umumnya
terjadi karena adanya beberapa situasi yang saling mempengaruhi
antara satu dengan lainnya. Di satu sisi kondisi aparat pemberi
layanan dengan tingkat pendapatan yang relatif rendah sering
terperangkap dalam mental dan
perilaku korup. Di sisi lain masyarakat sebagai pengguna jasa layanan
sering menempuh jalan pintas untuk mendahulukan kepentingan
pribadi dibanding kepentingan orang lain yang lebih berhak untuk
mendapatkan pelayanan tersebut. Mereka berupaya mengambil
keuntungan dari jasa layanan tersebut dan bersedia membayar dalam
jumlah yang besar demi kepentingan dirinya tanpa melihat kepada
kepentingan orang lain, pada akhirnya berdampak buruk bagi kinerja
pelayanan publik.
6. Kurang tanggapnya aparat pemberi layanan dalam menangani
keluhan- keluhan masyarakat atas jasa layanan yang diberikan, pada
akhirnya tidak ada tindak lanjut untuk memperbaiki kinerja pelayanan
publik yang ada. Padahal seharusnya berbagai kritikan yang bersifat
membangun dari masyarakat dapat dijadikan sebagai bahan masukan
untuk memperbaiki kinerja pelayanan publik tersebut.
7. Upaya perbaikan layanan dan kebijakan baru di bidang pelayanan
publik kurang begitu mendapat perhatian dan tidak tersosialisasi
dengan baik mengakibatkan pelayanan prima kepada masyarakat,
terutama stakeholder tidak terlaksana dengan baik.
Beberapa hasil studi juga telah menunjukan bahwa kinerja organisasi
publik di Indonesia tidak banyak mengalami perbaikan, bahkan cenderung
semakin buruk, sehingga memunculkan krisis kepercayaan masyarakat
(Agus Dwiyanto, et al., 2002). Lebih lanjut lagi berdasarkan hasil penelitian
Ratminto dan Winarsih (2005) di Provinsi Daerah Istimewa Jogjakarta dan
Jawa Tengah dikemukakan bahwa kesadaran akan otonomi daerah belum
berhasil mewujudkan sistem administrasi yang diletakkan atas dasar
kesetaraan posisi tawar antara pemerintah sebagai penyedia jasa layanan
publik dengan masyarakat sebagai pengguna layanan publik, dimana
masih terdapat kecenderungan bahwa masyarakat sebagai pengguna
layanan publik dalam posisi yang kurang diuntungkan dengan adanya
otonomi daerah. Menyikapi hal ini, Pemerintah Daerah semakin di tantang
untuk meningkatkan efisiensi dan profesionalismenya, baik secara
organisasional maupun individual. Tantangan ini tidak sekedar sebagai
tuntutan internal organisasi, tetapi lebih dari itu sebagai akibat dari adanya
perubahan
lingkungan eksternal yang menuntut adanya peningkatan kualitas
pelayanan secara prima kepada masyarakat.
Bertolak dari sinilah, penulisan ini diangkat ke permukaan sebagai
suatu wacana bagi kita semua untuk meninjau kembali kualitas pelayanan
publik yang diterapkan di era globalisasi dan otonomisasi dewasa ini
sehingga dapat melahirkan suatu konsep baru yang dapat memberikan
nuansa baru bagi peningkatan kualitas pelayanan publik di Indonesia.

B. Pelayanan Publik
Pelayanan publik adalah segala bentuk pelayanan yang diberikan
oleh Pemerintah Pusat/ Daerah, BUMN/BUMD, dalam rangka pemenuhan
kebutuhan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku (Keputusan Menpan nomor 81 tahun 1993)
Hakikat dari pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima
kepada masyarakat yang merupakan perwujudan dari kewajiban aparatur
negara sebagai abdi masyarakat (Keputusan Menpan Nomor 63 Tahun
2004).
Lebih tegas lagi Sedaryanti (2004) mengemukakan bahwa pada
hakekatnya pelayanan publik adalah :
1. Meningkatkan mutu dan produktifitas pelaksanaan tugas dan fungsi
instansi pemerintah di bidang pelayanan umum.
2. Mendorong upaya mengefektifkansistem dan tatalaksana pelayanan,
sehingga pelayanan umum dapat diselenggarakan secara lebih
berdaya guna dan berhasil guna.
3. Mendorong tumbuhnya kreativitas, prakarsa, dan peran serta
masyarakat dalam pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan
masyarakat luas. Dalam menyelenggarakan pelayanan publik tersebut,
Sedaryanti (2004) mengemukakan bahwa pelayanan publik hendaknya
dapat dilaksanakan dalam suatu rangkaian kegiatan yang bersifat
sederhana, terbuka, tepat,
lengkap, wajar, dan terjangkau.
Hal tersebut di atas juga ditegaskan dalam Keputusan Menpan
nomor 81 tahun 1993 bahwa penyelenggaraan layanan publik harus
mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
1. Hak dan kewajiban bagi pemberi layanan maupun penerima layanan
umum harus jelas dan diketahui secara pasti oleh pemberi layanan dan
penerima layanan.
2. Peraturan setiap bentuk pelayanan umum harus disesuaikan dengan
kondisi kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk membayar
berdasarkan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku, dengan
tetap berpegang pada efisiensi dan efektivitas.
3. Mutu proses dan hasil layanan umum harus diupayakan agar memberi
keamanan, kelancaran, dan kepastian hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan.
4. Apabila pelayanan umum yang diselenggarakan oleh instansi
pemerintah terpaksa harus mahal, maka instansi pemerintah yang
bersangkutan berkewajiban memberikan peluang kepada masyarakat
untuk ikut menyelenggarakannya sesuai dengan peraturan dan
perundang- undangan yang berlaku.
Lebih lanjut lagi dalam dalam Keputusan Menpan Nomor 63 Tahun
2004, dikemukakan bahwa dalam menyelenggarakan kegiatan pelayanan
publik, ada beberapa azas pelayanan publik yang perlu diperhatikan oleh
aparat pelayanan publik yaitu : (1) Transparansi, (2) Akuntabilitas, (3)
Kondisional, (4) Partisipatif, (5) Kesamaan hak, dan (6) Keseimbangan
antara hak dan kewajiban (Keputusan Menpan Nomor 63 Tahun 2004).
Terkait dengan peningkatan kualitas pelayanan publik, dalam
keputusan Menpan momor 81 tahun 1993 juga dikemukakan sendi-sendi
pelayanan yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat sebagai berikut :
1. Kesederhanaan, yakni prosedur atau tata cara pelayanan
diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat dan tepat, tidak berbelit-
belit serta mudah untuk dipahami dan dilaksanakan.
2. Kejelasan dan kepastian, yakni menyangkut : (a) prosedur/tata cara
pelayanan umum (b) persyaratan pelayanan umum, baik teknis maupun
administratif, (c) Pengetahuan petugas, (d) unit kerja atau pejabat yang
bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan. Disamping itu harus
dirumuskan secara jelas rincian tarif/biaya pelayanan umum dan tata
cara pembayarannya, jadwal waktu penyelesaian pekerjaan, hak dan
kewajiban dari pemberi layanan maupun penerima jasa layanan
berdasarkan bukti- bukti penerimaan/kelengkapan sebagai alat untuk
memastikan bahwa proses pelayanan telah dilalui secara baik dan
benar.
3. Keamanan, yakni proses dan hasil layanan benar-benar memberikan
rasa aman, nyaman dan kepastian hukum kepada masyarakat
sebagai
pemakai jasa layanan, dan kemampuan dari petugas pelayanan untuk
memberikan pelayanan yang maksimal bagi masyarakat.
4. Keterbukaan, yakni prosedur/tata cara, persyaratan, unit kerja atau
pejabat yang bertanggungjawab terhadap pelayanan umum, waktu
penyelesaian, akurasi sistem, Fasilitas dan peralatan yang berkaitan
dengan proses pelayanan umum wajib diinformasikan secara terbuka
untuk diketahui dan dipahami oleh masyarakat sebagai pemakai jasa
layanan, baik secara tertulis maupun lisan, diminta maupun tidak
diminta.
5. Efisien, yakni persyaratan pelayanan umum hendaknya dibatasi pada
hal- hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran
pelayanan, dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara
persyaratan dan produk pelayanan umum yang diberikan. Disamping itu
perlu dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan dalam
proses pelayanan. Jadi pada prinsipnya pelayanan yang diberikan
kepada masyarakat harus akurat dan tepat sasaran.
6. Ekonomis, yakni biaya/tarif pelayanan umum hendaknya ditetapkan
secara wajar dengan memperhatikan nilai barang/jasa layanan yang
diberikan, kemampuan masyarakat untuk membayar secara umum,
manfaat yang diterima oleh masyarakat sebagai pemakai jasa layanan,
serta ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku.
7. Keadilan yang merata, yakni cakupan atau jangkauan pelayanan harus
diusahakan seluas mungkin dengan distribusi layanan secara merata
dan diberlakukan secara adil serta tidak pilih kasih, dan kemampuan
serta kesediaan petugas untuk memberikan layanan terbaik kepada
masyarakat.
8. Ketepatan waktu, yakni pemberian pelayanan kepada masyarakat
yang berkaitan dengan informasi waktu layanan, kecepatan pelayanan,
realisasi waktu pelayanan, dan kepastian jadwal pelayanan.
Jelasnya dapat dikatakan pelayanan publik ini sangat berkaitan erat
dengan bagaimana aparat pelayanan publik dapat memberikan jasa
layanan yang berkualitas kepada masyarakat, baik dari segi proses,
tatalaksana pelayanan, maupun hasil akhirnya.
C. Kualitas Pelayanan
Kualitas pelayanan merupakan suatu kondisi dinamis yang
berhubungan dengan produk, jasa manusia, proses, dan lingkungan yang
memenuhi atau melebihi harapan. Mengingat kualitas pelayanan ini pada
umumnya berfokus pada masyarakat, maka produk layanan biasanya
didesain, diproduksi dan diserahkan kepada masyarakat dengan kualitas
terbaik yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan dari masyarakat
sebagai pemakai jasa layanan tersebut.
Menurut Brady dan Cronin (2001) kualitas pelayanan merupakan
perbandingan antara pelayanan yang diterima dengan harapan atas
pelayanan yang ingin diterima. Kotler (1997) menyatakan bahwa kualitas
harus dimulai dari kebutuhan konsumen dan berakhir pada persepsi
konsumen. Dengan demikian kualitas pelayanan yang baik tidak dapat
dilihat dari pihak penyedia layanan melainkan berdasarkan pada persepsi
konsumen atau masyarakat sebagai pemakai jasa layanan.
Sebagian besar penelitian yang dilakukan oleh para ahli berusaha
untuk menemukan definisi pengukuran kualitas. Parasuraman et al.,
(1985; 1988) mendefinisikan kualitas pelayanan sebagai pertimbangan
global atau sikap yang berhubungan dengan keunggulan (superiority) dari
suatu pelayanan (jasa). Menurut mereka, kualitas pelayanan adalah sama
dengan sikap individu secara umum terhadap kinerja organisasi. Mereka
juga menambahkan bahwa kualitas pelayanan adalah tingkat dan arah
perbedaan antara persepsi dan harapan konsumen atau masyarakat.
Selisih antara persepsi dan harapan inilah yang mendasari munculnya
konsep gap (perception-expectation gap) yang sebagai dasar skala
service quality (SERVQUAL). Dalam penelitian mereka ditemukan bahwa
kualitas pelayanan didasarkan pada lima dimensi kualitas yaitu tangible,
reliability, responsiveness, assurance, dan emphaty.
1. Kendalan (Reliability), meliputi kemampuan organisasi untuk
memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat waktu, akurat dan
memuaskan.
2. Daya Tanggap (Responsiveness), meliputi kemampuan pegawai atau
staf untuk membantu masyarakat dan memberikan pelayanan dengan
tanggap.
3. Jaminan (Assurance), meliputi kemampuan, kesopanan dan sifat yang
dapat dipercaya yang dimiliki oleh staf, bebas dari bahaya, resiko atau
keragu-raguan.
4. Empati (Emphaty) meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan
komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan masyarakat.
5. Bukti Fisik (Tangibility)) meliputi fasilitas fisik, perelengkapan, pegawai,
dan sarana komunikasi.
Sedangkan pendapat lain dari Higgins dan Ferguson (1991)
menjelaskan tentang dimensi kualitas pelayanan terdiri dari reliability,
responsiveness, competence, accessibility, courtesy, communication,
credibility, security, understanding or knowing the costumer, dan tangibles.
Menurut kedua ahli ini, kualitas pelayanan tidak hanya dinilai dari apa
yang masyarakat terima atau rasakan pada akhir proses pelayanan,
melainkan juga dinilai dari infrastruktur proses pelayanan.
Dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan aparatur pemerintah
kepada masyarakat luas, Vincent (1997) mengemukakan bahwa ada
sepuluh atribut yang dapat digunakan untuk mengevaluasi sekaligus untuk
perbaikan kualitas layanan, yaitu :

1. Ketepatan waktu layanan, hal-hal yang perlu diperhatikan disini yaitu


waktu tunggu dan waktu proses. Lamanya masyarakat menunggu
dalam antrian yang panjang untuk mendapat pelayanan dari si pemberi
layanan sering menimbulkan adanya keresahan, keluhan, serta rasa
tidak suka atas layanan yang diberikan. Hal ini akan berdampak buruk
bagi citra baik si pemberi layanan.
2. Akurasi layanan, berkaitan dengan reliabilitas (bukti nyata) dari
pelayanan yang diberikan (apa yang dijanjikan kepada pemakai jasa
layanan selalu ditepati) serta bebas dari kesalahan-kesalahan.
3. Kesopanan dan keramahan dalam memberikan layanan, hal ini
terutama bagi karyawan yang berinteraksi secara langsung dengan
masyarakat, seperti operator telepon, petugas keamanan, staf
administrasi, petugas penerima tamu dan sebagainya. Perlu dipahami
bahwa kualitas layanan ini juga sangat ditentukan oleh orang-orang
yang berada di garis terdepan dalam melayani masyarakat.
4. Tanggung jawab, berkaitan dengan bagaimana karyawan cakap dan
trampil serta bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakatnya, hal yang terpenting disini yaitu mereka harus tanggap
terhadap berbagai keluhan masyarakat dan menanganinya secara
baik.
5. Kelengkapan, meliputi ketersediaan sarana pendukung serta layanan
komplementer (pelengkap) lainnya.
6. Kemudahan dalam mendapatkan layanan, berkaitan dengan
banyaknya petugas yang melayani, seperti kasir, staf administrasi,
banyaknya fasilitas pendukung (misal computer) untuk memperlancar
pemrosesan data.
7. Variasi model layanan, berkaitan dengan inovasi untuk memberikan
pola- pola baru dalam layanan, dan bentuk-bentuk layanan yang
terbaik bagi masyarakat.
8. Layanan pribadi, berkaitan dengan fleksibilitas dan penangan
permintaan khusus dari masyarakat.
9. Kenyamanan dalam memperoleh layanan, berkaitan dengan lokasi,
ruangan tempat layanan, kemudahan menjangkau, tempat parkir
kendaraan, ketersediaan informasi, petunjuk-petunjuk dan bentuk-
bentuk informasi layanan lainnya.
10. Atribut pendukung layanan lainnya, seperti tata ruang, kebersihan
lingkungan, ruang tunggu, fasilitas musik, Air Condition (AC), dan lain-
lain yang mampu memberikan rasa aman dan nyaman bagi
masyarakat sebagai pemakai jasa layanan.
Mengingat kualitas pelayanan ini sangat berkaitan erat dengan
produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang pada akhirnya
bermuara pada masyarakat sebagai pemakai jasa layanan, hendaknya
birokrasi publik lebih profesional, efektif, sederhana, terbuka, tepat waktu,
responsif dan adaptif terhadap keluhan dan harapan untuk peningkatan
kualitas jasa layanan sehingga citra baik dari pelayanan publik dapat
tetap terjaga di mata masyarakat.
D. Pelayanan prima

Pelayanan prima merupakan terjemahan dari “service excellent”,


yang berarti pelayanan yang sangat baik atau pelayanan yang terbaik.
Pelayanan prima juga dikatakan sebagai pelayanan yang sangat baik atau
pelayanan
terbaik, sesuai dengan standar yang berlaku atau dimiliki oleh instansi
yang memberi pelayanan sehingga mampu memuaskan pihak yang
dilayani (LAN-RI, 2004).
Bekaitan dengan konsep pelayanan prima di atas, dapat dikatakan
bahwa pelayanan prima sebenarnya merupakan kepedulian kepada
pelanggan dengan memberikan layanan terbaik untuk memfasilitasi
kemudahan pemenuhan kebutuhan dan mewujudkan kepuasan
masyarakat sebagai pengguna jasa layanan sehingga mereka tetap loyal
terhadap lembaga/instansi pemberi jasa.
Mengingat pentingnya pelayanan prima kepada masyarakat dalam
era otonomisasi saat ini dan adanya tuntutan masyarakat terhadap
peningkatan kualitas layanan, maka mau tidak mau, suka atau pun tidak
suka aparat pelayanan publik sudah harus membenahi dirinya, baik dari
segi produk jasanya, sumber daya manusianya, prosesnya maupun
lingkungangan yang turut mempengaruhi pemberian jasa layanan kepada
masyarakat.
Terkait dengan pelayanan prima kepada masyarakat, perlu ada
standar pelayanan publik yang dijadikan sebagai ukuran untuk penilaian
kinerja petugas pelayanan umum, sekaligus bahan acuan bagi
masyarakat untuk menilai tentang seberapa baik dan adil jasa layanan
tersebut diberikan kepadanya.
Seperti yang ditegaskan juga juga dalam keputusan Menpan nomor
63 tahun 2004 yang mengemukakan bahwa standar pelayanan tersebut
mencakup :
1. Prosedur pelayanan , yakni ada prosedur baku yang dapat dijadikan
pedoman bagi pemberi jasa layanan dan pengguna jasa layanan,
termasuk pengaduan.
2. Waktu penyelesaian, yakni sejak permohonan sampai dengan
penyelesaian, termasuk pengaduan.
3. Biaya Pelayanan, yakni harus ditetapkan biaya/tarif pelayanan,
termasuk rinciannya.
4. Produk pelayanan, yakni hasil pelayanan yang akan diterima
pelanggan (masyarakat) harus sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan.
5. Sarana dan prasarana, yakni sarana dan prasarana pendukung yang
memadai untuk menunjang proses pemberian layanan.
6. Kompetensi petugas pemberi layanan, yakni ditetapkan berdasarkan
pengetahuan, keahlian, ketrampilan, sikap, dan perilaku yang
dibutuhkan.
Manfaat dari ditetapkannya standar pelayanan sebagaimana
disebutkan di atas adalah :
1. Mengetahui hubungan kerja antar unit-unit dalam organisasi
2. Menghilangkan keraguan pegawai dalam pengambilan keputusan
3. Menjelaskan sarana dan prasarana yang harus dimiliki petugas
pemberi jasa layanan.
4. Menjelaskan kompetensi yang harus dimiliki oleh petugas pemberi jasa
layanan.
5. Sebagai pedoman atau acuan dalam mengevaluasi kinerja apatur
pemberi jasa layanan.
Untuk mengembangkan pelayanan prima sesuai standar pelayanan
yang disebutkan di atas, ada prinsip-prinsip dasar yang dapat dijadikan
sebagai pedoman dalam pelaksanaannya, yaitu :
1. Pelayanan selalu berorientasi pada konsumen
2. Ada perbaikan terhadap kualitas pelayanan secara berkesinambungan
3. Manajemen berdasarkan fakta.
4. Melibatkan dan memberdayakan sistem atau unsur organisasi secara
menyeluruh.
5. Mengembangan potensi dan daya pikir manusia.
6. Mengembangkan perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada
peningkatan mutu pelayanan.
7. Mengembangkan budaya organisasi berdasarkan standar etika dan
moral yang tinggi.
Prinsip-prinsip pelayanan prima di atas juga dapat dikembangkan
berdasarkan prinsip 3A sebagai berikut :
1. Pemberi layanan harus dapat menyajikan Attitude (sikap) yang benar
2. Pemberi layanan harus dapat memberikan Attention (perhatian) yang
tidak terbagi atau fokus pada pengguna jasa layanan.
3. Pengguna jasa selalu mencari dan menunggu Action dari pemberi
jasa layanan.
Pelayanan prima yang dikembangkan berdasarkan konsep sikap
(attitude) meliputi tiga prinsip :
a. Melayani pelanggan (masyarakat) dengan penampilan yang sopan dan
serasi.
b. Melayani pelanggan dengan berpikiran positif, sehat dan logis.
c. Melayani pelanggan dengan sikap menghargai
Pelayanan prima berdasarkan konsep sikap di atas dapat juga
dikembangkan dengan menggunakan konsep “pelayanan sepenuh hati”,
yaitu pelayanan yang berasal dari diri sendiri yang mencerminkan emosi,
watak, keyakinan, nilai, sudut pandang, dan perasaan. Nilai yang
terkandung dalam konsep pelayanan sepenuh hati ini sangat berkaitan
erat dengan apa yang disebut 4P, yaitu :
a. Passionate (gairah), yakni semangat yang besar terhadap pekerjaan,
diri sendiri dan orang lain.
b. Progressive (progresif), yakni penciptaan cara baru atau pola kerja
baru yang menarik untuk meningkatkan layanan dan gaya pribadi.
c. Proactive (proaktif), yakni untuk mencapai kualitas pelayanan prima
diperlukan inisiatif yang tepat.
d. Positive (positif), yakni menciptakan sikap positif dalam membangun
komunikasi dan interaksi dengan pelanggan.
Pelayanan prima yang dikembangkan berdasarkan konsep perhatian
(attention) meliputi tiga prinsip, yaitu :
a. Mendengarkan dan memahami secara sungguh-sungguh kebutuhan
para pelanggan (masyarakat).
b. Mengamati dan menghargai perilaku para pelanggan.
c. Mencurahkan perhatian penting kepada para pelanggan
Pelayanan prima yang dikembangkan berdasarkan konsep tindakan
(action) meliputi lima prinsip sebagai berikut :
a. Mencatat setiap pesanan para pelanggan.
b. Mencatat kebutuhan para pelanggan.
c. Menegaskan kembali kebutuhan para pelanggan.
d. Mewujudkan kebutuhan pelanggan
e. Menyatakan terima kasih dengan harapan pelanggan mau kembali
membeli produk jasa yang ditawarkan.
Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat
sebagai pengguna jasa layanan, ada strategi sederhana yang dapat
diterapkan untuk mewujudkan hal tersebut berdasarkan pada kata service
sebagai berikut :
1. Self esteem (memberi nilai pada diri sendiri)
2. Exceed expectations (melampaui harapan konsumen)
3. Recover (merebut kembali)
4. Vision (visi)
5. Improve (melakukan peningkatan perbaikan)
6. Care (memberi perhatian)
7. Empower (pemberdayaan)
Penerapan strategi di atas sangat berkaitan erat dengan tugas
aparat pemberi layanan sebagai abdi negara dan abdi masyarakat dalam
memberikan pelayanan prima, yakni pelayanan sesuai dengan harapan
masyarakat dan kalau perlu melebihi apa yang masyarakat harapkan.
Memberi nilai kepada diri sendiri berarti bahwa pelayan publik harus
membekali diri dengan ketrampilan, keahlian, dan pengalaman yang
dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan serta mampu
menyampaikan produk jasa dengan kualitas yang tinggi kepada masyarakat
sehingga citra baiknya selalu terjaga di mata masyarakat. Citra positif ini
dapat dibangun dengan memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut :
1. Memberikan kesan awal yang menyenangkan bagi masyarakat sebagai
pengguna jasa layanan.
2. Menghindari kesalahan sekecil apapun dalam pelayanan.
3. Jangan membuat masyarakat menunggu terlalu lama untuk dilayani
4. Usahakan bersifat ramah dan santun dalam memberikan pelayanan.
5. Menaruh perhatian penuh (fokus) pada kebutuhan masyarakat yang
dilayani, dan selalu kontak mata pada saat berbicara.
6. Tersenyum dan menapilkan wajah ceriah pada saat melayani masyarakat.
7. Berbicara dengan jelas dan mudah dipahami oleh masyarakat yang
membutuhkan pelayanan.
8. Dengarkan keluhan masyarakat dengan penuh perhatian.
9. Tanggapi pembicaraan masyarakat dengan serius
10. Bertindak dengan tenang dan rilex
11. Gunakan waktu seakurat mungkin
12. Berusaha untuk mengerti terlebih dahulu baru dimengerti
13. Hindari beban pikiran di depan masyarakat yang dilayani.
14. Bangun hubungan baik dengan pelanggan
Lebih lanjut lagi dapat dikatakan bahwa dalam rangka memuaskan
masyarakat terhadap jasa layanan yang diberikan, aparat pelayanan publik
dituntut bukan hanya mampu memenuhi harapan konsumen semata tetapi
lebih dari itu mampu meningkatkan kinerja pelayanannya melebihi apa yang
masyarakat harapkan. Hal ini berarti bahwa membangun pelayanan prima
harus dimulai dari mewujudkan atau meningkatkan profesionalisme aparat
pelayanan publik untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik,
mendekati atau melebihi standar pelayanan yang ada.
Bila saat ini pelayanan publik masih dianggap belum bisa memenuhi
harapan masyarakat, disebabkan karena adanya keluhan-keluhan
masyarakat terhadap jasa layanan publik itu sendiri, contohnya :
1. Masyarakat mengeluh karena pengurusan ijin usaha yang berbelit-belit,
birokrasi yang panjang, dan pengeluaran biaya yang tinggi.
2. Masyarakat (pasien) mengeluh karena prosedur administrasi yang
lamban, terbatasnya tenaga medis dan peralatan, serta penangan
kesehatan yang lambat pada unit gawat darurat dan pasien rawat inap
mengakibatkan pasien cenderung merasa tidak aman dan nyaman dalam
menggunakan jasa pelayanan kesehatan.
3. Masyarakat (pelanggan) mengeluh karena lambatnya penanganan
gangguan listrik dan lambatnya perbaikan, sementara di sisi lain mereka
dintuntut untuk membayar rekening listrik tepat waktu. Kalaupun
pembayaran tidak tepat waktu aliran listrik diputuskan, bahkan terkadang
tanpa pemberitahuan kepada masyarakat.
4. Masyarakat sebagai pengguna jasa transportasi (darat, laut, dan udara)
merasa kecewa karena sulitnya memperoleh tiket kapal, pesawat, dan
kereta api sehingga mengeluarkan biaya yang tinggi melalui peran calo.
5. Masyarakat pengguna jasa perusahaan air minum daerah mengeluh
karena pipa airnya bocor/rusak, debit airnya rendah, air yang kotor dan
tidak dapat digunakan ketika musim hujan dan sebagainya.
6. Masyarakat mengeluh karena jasa pelayanan dari aparat hukum yang
terkesan berbelit-belit, pilih kasih, dan membutuhkan pengorbanan biaya
yang cukup tinggi untuk memperoleh keadilan dalam bidang hukum.
7. Masyarakat pengguna jasa asuransi mengeluh karena penanganan klaim
jasa asuransi yang sulit dan membutuhkan waktu yang lama.
8. Nasabah bank yang mengeluh karena layanan teller (front ofice) yang
lamban, tidak ramah dan murah senyum, ATM yang tidak berfungsi dan
persediaan uangnya terbatas (tidak dikontrol baik).
9. Masyarakat (para pensiunan) yang kecewa karena pengurusan
administrasi yang lambat mengakibatkan mereka harus menunggu dalam
jangka waktu yang panjang untuk memperoleh jatah pensiunnya.
Disini aparat pelayanan publik seharusnya menyadari bahwa
munculnya keluhan di atas disebabkan karena adanya perbedaan antara
kinerja pelayanan dan dan harapan masyarakat atau kesenjangan antara
kinerja aktual dengan harapan masyarakat terhadap jasa layanan yang
diberikan, dimana hal tersebut dapat dijelaskan dalam bentuk skhema berikut
ini :
Kualitas Jasa
Kumunikasi Dari mulut ke mulut Kebutuhan Pribadi Pengalaman masa lalu

Jasa yang diharapkan


Kesenjangan 5
Jasa yang dialami

Masyarakat
Penyampaian jasa (sebelum dan
Pemberi Jasa sesudah kontak) Kumunikasi Eksternal ke masyarakat

Kesenjangan 4

Kesenjangan 3

Translasi persepsi Menjadi spesifikasi kualitas jasa

Kesenjangan 1
Kesenjangan 2
Persepsi Pemberi Jasa tentang harapan

Dari konsep kesenjangan yang telah dikemukakan, dapatlah dijelaskan


bahwa :

1. Kesenjangan pertama, terjadi karena pihak pemberi jasa tidak memahami


dan merasakan secara tepat apa yang dikehendaki atau menjadi bahan
pertimbangan konsumen dalam menggunakan jasa layanan. Hal ini
disebabkan karena kurangnya riset konsumen (masyarakat/pelangan),
kurangnya interaksi antara pemberi jasa layanan dengan pemakai jasa
layanan (masyarakat) serta terlalu banyak level of management antara
manajemen puncak dan pelaksana yang berhubungan langsung dengan
masyarakat sebagai pemakai jasa layanan.
2. Kesenjangan kedua, terjadi karena adanya perbedaan persepsi pemberi
jasa layanan dan penetapan spesifikasi standar pelayanan untuk
memenuhi keinginan masyarakat. Hal ini disebabkan karena kurangnya
komitmen pelayanan, kurang tepatnya studi kelayakan, dan tidak tepatnya
standarisasi pelaksanaan tugas pelayanan serta standar opersional
prosedur
3. Kesenjangan ketiga, terjadi karena pemberi jasa layanan tidak mampu
menyampaikan jasa pelayanan sebagaimana mestinya seperti yang telah
ditetapkan dalam standar pelayanan publik. Hal ini disebabkan karena
kurangnya pendidikan dan pelatihan bagi pelaksana atau karena beban
kerja yang terlalu berat dan tidak didukung oleh peralatan kerja yang
memadai.
4. Kesenjangan keempat, terjadi karena pelayanan yang diberikan oleh
pemberi jasa layanan kepada pemakai jasa layanan (masyarakat) tidak
sesuai dengan apa yang dijanjikan. Hal ini terjadi karena kurang adanya
komunikasi dan komitmen yang dibangun oleh pemberi jasa layanan
tersebut untuk memenuhi harapan-harapan dan keinginan masyarakat
seperti yang dijanjikan.
5. Kesenjangan kelima, terjadi karena apa yang diharapkan oleh masyarakat
tidak sesuai dengan kenyataan yang ia alami setelah menggunakan jasa
layanan. Hal ini disebabkan oleh satu atau gabungan dari beberapa
kesenjangan yang telah dikemukakan.
Berdasarkan pada konsep kesenjangan di atas, dapatlah dikatakan
bahwa dalam rangka memberikan kepuasan maksimal kepada pelanggan
atau merebut kembali hati masyarakat untuk menggunakan jasa layanan
publik, aparat pelayanan publik seharusnya dapat meminimalisir atau
menutupi kesenjangan yang ada sehingga tidak terjadi perbedaan yang
menyolok antara kinerja (hasil) dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat
sebagai pemakai jasa layanan. Dalam artian kinerja harus sesuai atau lebih
dari harapan, dengan asumsi bahwa kalau kinerja di bawah harapan,
masyarakat akan kecewa atau merasa tidak puas terhadap jasa layanan,
kalau kinerja sesuai harapan,
masyarakat akan merasa puas, dan kalau kinerja melebihi harapan,
masyarakat sangat puas terhadap jasa layanan yang diberikan. Yang
pastinya masyarakat sangat berkeinginan bahwa pelayanan tersebut
diharapkan makin lama akan semakin baik (better), makin lama makin cepat
(faster), makin lama makin diperbaharui (newer), makin lama makin murah
(cheaper), dan makin lama makin sederhana (more simple).
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, tentunya aparat pelayanan
publik dalam melaksanakan tugas pelayanannya harus memiliki visi yang
jelas menyangkut pelayanan prima tersebut, misalnya : “Menjadi terdepan
dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat”. Visi tersebut
merupakan pandangan ke depan ke arah mana suatu instansi publik harus di
bawa atau di arahkan agar dapat menjalankan tugas pokok dan fungsinya
secara konsisten dan tetap eksis, antisipatif, inovatif serta produktif.
Sejalan dengan visi di atas, instansi publik juga perlu melakukan
peningkatan atau perbaikan mutu pelayanan dengan memperhatikan
beberapa dimensi penting dalam pelayanan prima berikut ini :
1. Dimensi waktu dalam pelayanan
2. Dimensi biaya dalam pelayanan
3. Dimensi kualitas dalam pelayanan
4. Dimensi moral dalam pelayanan
Tuntutan untuk melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas
pelayanan kepada masyarakat dalam era globalisasi sudah tidak dapat
ditunda lagi mengingat dalam era tersebut persaingan di segala bidang sudah
semakin ketat. Oleh karenanya perbaikan terhadap sistem dan prosedur
pelayanan berdasarkan dimensi penting dalam pelayanan prima di atas perlu
di kedepankan. Hal ini memerlukan perhatian dan kepedulian dari kalangan
birokrasi/aparat pelayanan publik sehingga masyarakat dapat menikmati
pelayanan dengan baik, yang pada gilirannya instansi publik akan mendapat
pengakuan dari masyarakat atas jasa pelayanan yang diberikan.
Terkait dengan konsep pelayanan prima yang telah dikemukan,
dapat dikatakan bahwa dalam pelayanan prima, ada dua elemen penting
yang perlu diperhatikan oleh aparat pelayanan publik, yaitu : (1)
pelayanan dan 2) kualitas. Dari aspek pelayanan, pemberi jasa
hendaknya memiliki pribadi yang prima, yaitu : tampil ramah, sopan dan
penuh hormat, tampil percaya
diri, tampil rapih, tampil ceria, tampil senang memaafkan, tenang dalam
pergaulan, senang belajar dari orang lain, senang pada kewajaran, dan
senang untuk menyenangkan orang lain. Dari aspek kualitas, pemberi
jasa dalam melaksanakan tugasnya hendaknya dapat berpedoman pada
prinsip kesederhanaan, kejelasan dan kepastian, keamanan,
keterbukaan, efisiensi, ekonomis, keadilan yang merata, dan ketepatan
waktu.
Akhirnya dapat dikatakan bahwa pemerintah pada hakekatnya
adalah pelayan masyarakat. Mereka dituntut untuk dapat memberikan
pelayanan yang maksimal kepada masyarakat bukan melayani dirinya
sendiri serta menciptakan kondisi yang memungkinkan bagi setiap
anggota masyarakat untuk mengembangkan kemampuan dan
kreatifitasnya guna mencapai tujuan bersama. Ini berarti bahwa birokrasi
publik harus dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional,
efekltif, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsif dan
adaptif, sekaligus dapat membangun kualitas manusia atau
memberdayakan kapasitas masyarakat untuk mengembangkan
kemampuan dan kreativitasnya guna mengatur dan menentukan masa
depannya sendiri.

E. Strategi Pelayanan Prima Pola Satu Atap


Memasuki era globalisasi yang sarat dengan tantangan dan
persaingan saat ini, mau tidak mau, suka ataupun tidak suka, aparatur
pemerintah semakin dituntut untuk meningkatkan kinerja pelayanannya
sehingga mampu memberikan produk jasa layanan yang berkualitas
kepada masyarakat, baik nasional maupun internasional. Dalam
menangani berbagai perubahan pada era ini, ada 5 (lima) aspek penting
yang perlu diperhatikan oleh instansi publik, yang dikenal dengan istilah
“5F”, yaitu :
1. Focus, yakni membuat suatu kegiatan/usaha menjadi lebih fokus
dengan sasaran yang jelas.
2. Fast Moving, yakni dengan gerak yang lebih cepat.
3. Flexible, yakni setiap gerakan hendaknya diarahkan lebih lincah dan
dinamis.
4. Friendly, yakni lebih ramah dan bersahabat.
5. Free, yakni harus lebih bebas dari pengaruh birokrasi
Apabila aparat pelayanan publik tidak mampu menyesuaikan diri
dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam era tersebut, ia akan
tersingkir dalam persaingan dan tidak lagi mendapat simpati atau
kepercayaan dari masyarakat. Hal ini berarti bahwa model pelayanan
publik yang terkesan kaku, tidak bersahabat, lambat, tidak dinamis, dan
tidak fokus kepada masyarakat sebagai pemakai jasa layanan
seharusnya diganti dengan model baru yang dapat mengakomodir
kebutuhan masyarakat dan dapat beradaptasi dengan tuntutan
perubahan saat ini.
Salah satu model pelayanan yang dapat diterapkan untuk
mengakomodir kebutuhan masyarakat yang sudah semakin kompleks
saat ini adalah model pelayanan prima pola satu atap atau sering disebut
pola pelayanan yang diselenggarakan pada satu tempat oleh beberapa
instansi daerah yang bersangkutan sesuai dengan kewenangan masing-
masing. Model ini sebenarnya bukan merupakan hal baru, namun telah
berhasil diterapkan pada layanan pembayaran pajak kendaraan bermotor
yang melibatkan beberapa instansi daerah seperti Dipenda, Kepolisian,
dan Jasa raharja.
Tujuan dari diselenggarakannya pelayanan terpadu satu atap ini
adalah : (a) Meningkatkan kualitas layanan publik, dan (b) Memberikan
akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk memperoleh pelayanan
publik.
Sasaran yang akan dicapai dalam penyelenggaraan pelayanan
terpadu satu atap adalah terwujudnya pelayanan publik yang cepat,
murah, mudah, transparan, pasti, dan terjangkau serta meningkatnya
hak-hak masyarakat terhadap pelayanan publik.
Penerapan pelayanan terpadu satu atap ini pada dasarnya untuk
meningkatkan efisiensi dan efektifitas melalui peminimalan jarak geografis
antar fungsi terkait. Melalui penerapan Pelayanan terpadu satu atap ini,
waktu yang digunakan dalam proses pelayanan akan dapat diperpendek
dan masyarakat sebagai pengguna jasa layanan juga akan semakin
mudah memperoleh jasa layanan. Yang perlu diperhatikan dalam
penerapan pola layanan terpadu satu atap ini adalah apa yang disebut
dengan istilah “KISS”, yaitu : Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi, dan
Sinergik antara beberapa instansi terkait yang melaksanakan pelayanan
publik.
Keberhasilan dalam penerapan pelayanan terpadu satu atap dalam
pembayaran pajak kendaraan bermotor ini dapat juga diterapkan pada
bidang pelayanan dokumen, seperti : Layanan KTP, Kartu Keluarga, Akta
Pernikahan, Akta Kelahiran, dan perijinan yang dulunya dilakukan pada
tempat yang terpisah disatu atapkan pada satu tempat.
Permasalahan yang akan muncul di sini adalah bagaimana
mengintegrasikan berbagai bentuk layanan yang berbeda proses
penangannya. Solusinya adalah perlu dilakukan evaluasi terlebih dahulu
terhadap fungsi-fungsi pelayanan yang hendak di satuatapkan. Cara
sederhana yang dapat dilakukan dalam penyelenggaraan layanan satu
atap pada bidang yang berbeda adalah hanya sebatas pelayanan pada
lini pertama, yaitu tempat penerimaan berkas permohonan. Langkah
selanjutnya untuk penyelesaian tetap ditangani oleh masing-masing
instansi teknis atau yang berwenang.
Untuk mendukung hal ini, perlu ditempatkan personal yang memiliki
kompetensi untuk melaksanakan tugas pelayanan tersebut. Dikatakan
demikian karena kompetensi dari personel tersebut dibutuhkan untuk
melaksanakan tugas pelayanan secara efektif dan efisien, yang pada
akhirnya menciptakan peningkatan kinerja atau produktivitas aparat
pelayanan publik. Lebih jelasnya dapat digambarkan dalam bentuk
skhema berikut ini :
Dari gambar di atas, dapat dijelaskan bahwa aparatur pelayanan
publik dapat melaksanakan tugasnya secara efektif dan efisien apabila
ditunjang dengan kompetensi inti yang dimiliki, yaitu kemampuan,
pengalaman, ketrampilan, keahlian, dan pengetahuan serta sikap yang
terpuji, pribadi yang unggul, berkualitas, bewawasan luas, dan
sebagainya. Lebih lanjut lagi dapat dikatakan bahwa dalam rangka
menunjang tugas-tugas dari aparatur pelayanan publik tersebut, perlu
disediakan sarana dan prasarana penunjang kelancaran pelaksanaan
tugas pelayanan kepada masyarakat luas. Untuk itu perlu dilakukan
analisis terhadap kebutuhan sarana dan prasarana pendukung tugas
pelayanan dengan
mempertimbangkan ketersediaan sumber dana yang dimiliki.
Mengingat bahwa tujuan dari pelayanan prima pola layanan satu
atap adalah untuk meningkatkan kualitas layanan publik, sekaligus
memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk memperoleh
jasa layanan publik, maka ada dua dimensi penting yang perlu dicermati,
yaitu : (1) Dimensi pemberi layanan, dan (2) masyarakat
sebagai pengguna layanan. Berdasarkan dimensi
pemberi layanan, perlu diperhatikan tingkat
pencapaian kinerja yang meliputi layanan yang adil, kesiapan petugas dan
mekanisme kerja, harga terjangkau, prosedur sederhana dan waktu
penyelesaian yang dapat dipastikan. Sedangkan dari dimensi masyarakat
pengguna jasa publik, harus dimiliki pemahaman dan reaktif terhadap
penyimpangan yang muncul dalam praktek pelayanan publik. Dengan
adanya keterlibatan masyarakat, terutama stakeholder dalam mengawasi
dan menyampaikan aspirasi serta keluhan-keluhan terhadap praktek
pelayanan publik, akan ada umpan balik (feedback) bagi perbaikan
kualitas layanan publik sesuai standar pelayanan yang telah ditetapkan.
Dalam rangka peningkatan pelayanan prima pola satu atap,
khususnya pelayanan perijinan dan akta catatan sipil, bank dunia juga
telah menerapkan one roof permit system (pelayanan satu atap) dengan
menerapkan konsep penyederhanaan perijinan dengan akronim “ACSD”
yang diikuti dengan komputerisasi sebagai berikut :

21
1. Abolish, yakni menghapus jenis-jenis perijinan yang dinilai tidak perlu
lagi sesuai visi dan misi daerah.
2. Combaine, yakni menggabung beberapa jenis pelayanan perijinan
yang mengatur hal yang sama.
3. Simplicity, Yakni menyederhanakan baik persyaratan maupun
prosedur setelah dilaksanakan pengkajian yang memadai.
4. Desentralize, yakni melimpahkan kewenangan perijinan kepada
pejabat atau lembaga yang lebih dekat kepada masyarakat, dan
ditunjang oleh sistem komputerisasi yang mendukung transparansi,
efisiensi dan akuntabilitas layanan.
Konsep penyederhanaan pelayanan tersebut di atas seharusnya
juga dapat diterapkan dalam pola pelayanan terpadu satu atap dengan
memperhatikan standar mutu pelayanan sebagai berikut :

MUTU LAYANAN

Mutu merupakan kondisi dinamis yang berhubungan dengan :


Produk Jasa Manusia Proses, dan Memenuhi atau melebihi harapan masyarakat sebagai pengguna jasa layanan

lingkungan
 Yang
 Sesuai Dengan

Standar Pelayanan

Prosedur Pelayanan
Waktu Penyelesaian
Biaya Pelayanan
Produk Pelayanan
Sarana dan Prasarana
Kompetensi Petugas Pemberi Pelayanan

Dalam penerapan mutu pelayanan prima berdasarkan konsep


mutu di atas, aparat pelayanan publik diharapkan dapat menempatkan
masyarakat (pelanggan) sebagai seorang raja karena dari merekalah
keuntungan mengalir. Tanpa masyarakat pemberi jasa pelayanan tidak
dapat berbuat apa-apa, dan karena merekalah jasa layanan itu ada.
Oleh karena itu seharusnya instansi pelayanan publik perlu memahami
beberapa hal penting yang terkait dengan mutu pelayanan itu sendiri
yaitu :
1. Dahulukan kepentingan masyarakat (pelanggan) di atas kepentingan
pribadi atau person tertentu.
2. Lakukan pelayanan dengan sepenuh hati bukannya setengah hati.
3. Budayakan pelayanan prima
4. Kembangkan sikap pelayanan prima
5. Berikan sentuhan pribadi dalam pelayanan
6. Kembangkan pelayanan prima sesuai dengan pribadi prima.
Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa sebaik apa pun model dan
praktek pelayanan publik yang diterapkan tanpa ditunjang oleh sumber
daya manusia yang handal, sarana dan prasarana yang memadai serta
keinginan yang kuat untuk memuaskan masyarakat sebagai pengguna
jasa layanan, maka model pelayanan yang digunakan akan menjadi
mubasir dan tidak akan pernah sampai pada tujuan yang diharapkan.

E. Penutup
Upaya peningkatan kualitas pelayanan publik di era otonomi daerah
saat ini belum berjalan sebagaimana mestinya karena otonomi daerah
belum mewujudkan sistem administrasi yang diletakkan atas dasar
kesetaraan posisi tawar antara pemerintah sebagai penyedia jasa
layanan publik dengan masyarakat sebagai pengguna layanan publik,
bahkan ada kecendrungan bahwa masyarakat sebagai pengguna jasa
layanan publik masih berada pada posisi tawar yang kurang
menguntungkan. Di sisi lain sistem pelayanan publik saat ini masih
cenderung menunjukkan banyak kemunduran karena realita
menunjukkan bahwa para “birokrat” atau administrator masih
menunjukkan sosok pribadi “majikan besar” dalam pelayanan publik,
bukannya citra “pelayan yang profesional” mengakibatkan munculnya
persepsi negatif terhadap kinerja aparat pelayanan publik.
Menyikapi hal tersebut birokrasi publik saat ini, terutama aparatur
pemerintah daerah semakin dituntut untuk mengubah posisi dan perannya
(revitalisasi) dalam memberikan pelayanan kepada publik, dari yang suka
mengatur dan memerintah berubah menjadi suka melayani, dari yang
suka menggunakan pendekatan kekuasaan berubah menjadi suka
menolong
ke arah yang fleksibel, kolaboratis dan dialogis, dan dari cara-cara yang
bersifat sloganis berubah ke cara-cara kerja yang realistik dan pragmatis.
Peningkatan dalam kualitas pelayanan publik harus berjalan seirama
dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) pelayanan,
mengingat sumber daya manusia (aparatur pelayanan) memiliki peran
strategis sebagai pendorong dari reformasi birokrasi menuju pemerintahan
yang baik (good governance). Kompetensi (pendidikan, pengalaman,
ketrampilan, dan keahlian) serta moralitas yang tinggi merupakan salah
satu kunci sukses peningkatan kualitas pelayanan publik. Oleh karena itu
dalam merekrut dan menempatkan aparatur pelayanan publik harus
didasarkan pada prinsip “the right man on the right place” atau “the right
man on the rigt job”, dalam artian menempatkan orang yang tepat pada
tempat atau jabatan yang tepat sesuai dengan kompetensi yang dimiliki.
Dengan demikian diperlukan adanya perencanaan yang konsisten bagi
pengembangan dan peningkatan kompetensi SDM pelayanan melalui
diklat-diklat teknis dan fungsional, disamping itu perlu juga diperhatikan
tingkat kesejahteraan pegawai melalui sistem insentif (reward) mengingat
hal tersebut memiliki kaitan strategis dengan pelayanan berkualitas.
Selain kompetensi yang harus dimiliki oleh birokrat pelayanan publik,
juga diperlukan adanya sikap mental dan perilaku yang baik, ramah dalam
melayani, jujur, cekatan, dan bertanggungjawab. Terkait dengan hal
tersebut, ada beberapa kriteria yang dibutuhkan bagi SDM aparatur
pelayanan guna mendukung peningkatan kualitas pelayanan publik, antara
lain : (1) komitmen,
(2) integritas, (3) tanggung jawab, (4) kecakapan dan keramahan,
(5) mengerti kebutuhan pelanggan (masyarakat), (6) daya tanggap dan
empati, dan (7) memiliki etika dan moralitas yang tinggi.
Peningkatan kualitas pelayanan publik dapat berjalan dan
memberikan kemanfaatan kepada pengguna jasa layanan (masyarakat)
apabila aparat pelayanan publik secara sungguh-sungguh memperhatikan
dimensi perbaikan kualitas pelayanan publik yang antara lain meliputi : (1)
ketepatan waktu pelayanan, (2) akurasi pelayanan, (3) kesopanan dan
keramahan dalam memberikan pelayanan, (4) tanggung jawab, (5)
kelengkapan,
(6) kemudahan mendapatkan pelayanan, (7) variasi model pelayanan, dan
(8) keamanan dan kenyamanan dalam memperoleh pelayanan.
Dalam rangka meningkatkan kualitas layanan publik, dan
memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk
memperoleh pelayanan publik serta mewujudkan pelayanan publik yang
cepat, murah, mudah, transparan, pasti, dan terjangkau serta
meningkatnya hak-hak masyarakat terhadap pelayanan publik, diperlukan
adanya salah satu model pelayanan yang dapat mengakomodir hal
tersebut. Model pelayanan tersebut adalah model pelayanan terpadu satu
atap. Melalui penerapan pelayanan terpadu satu atap ini efisiensi dan
efektifitas pelayanan akan meningkat melalui peminimalan jarak geografis
antar fungsi terkait. Melalui model pelayanan ini juga waktu yang
digunakan dalam proses pelayanan akan dapat diperpendek dan
masyarakat sebagai pengguna jasa layanan juga akan semakin mudah
memperoleh jasa layanan.
Mengingat masih banyaknya hambatan yang ditemui dalam upaya
peningkatan kualitas pelayanan publik di lihat dari aspek SDM pelayanan
publik seperti : (1) etos kerja aparat pelayanan publik yang cenderung
mempertahankan status qou dan tidak mau menerima adanya perubahan
(resistance to change), (2) adanya budaya tidak menyukai resiko (risk
aversion), (3) rutinitas tugas dan penekanan yang berlebihan pada
pertanggungjawaban formal sehingga mengakibatkan adanya prosedur
yang kaku/lamban, (4) belum adanya sistem insentif dan disinsentif bagi
petugas pelayanan yang berkinerja tinggi, dan (5) minimnya SDM
pelayanan publik yang memiliki kompetensi dalam bidangnya, maka
dibutuhkan adanya kebijakan dan strategi peningkatan kualitas
pelayanan publik dengan jalan :
(1) Perencanaan kebutuhan SDM pelayanan, (2) Identifikasi Kebutuhan
Pengembangan SDM, (3) Perencanaan sistem penggajian yang sesuai
dengan prestasi kerja, yaitu pemberian sistem insentif (reward) bagi SDM
pelayanan yang berprestasi serta ganjaran atau hukuman (punishment)
yang tegas bagi SDM pelayanan yang menyalahgunakan kewenangan
serta melakukan perbuatan yang melanggar hukum, (4) Pengembangan
standar mutu pelayanan berdasarkan Indeks Kepuasan Masyarakat, (5)
Perencanaan kebutuhan sarana dan prasarana pendukung pelayanan,
(6) Pengembangan sistem informasi dan teknologi dalam bidang tugas
pelayanan.
DAFTAR PUSTAKA

Brady, Michel K. Brady and J. Joseph Cromim Jr. 2001. Some New Thought
on Conceptualizing Perceived Serivice Quality: A Hierarchical
Approach. Journal of Marketing, Volume. 65, No. 3 (July).
Dwiyanto, A., 2002. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Pusat Studi
Kependudukan dan Kebijakan.
Higgins, L.F. and Ferguson, F., 1991. Practical Approachs for Evaluating the
Quality Dimensions of Professional Accounting Service. Journal of
Professional Service Marketing. Vol 7 (1).
Kotler, P., 1997. Marketing Management: Analysis, Planning, Implementation,
and Control. Prentice Hall International, Inc.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
63/KEP/M.PAN/7/2004 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan
Pelayanan Publik.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993
tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum.
Parasuraman, A., V.A. Ziathaml and L.L. Berry., 1985. Aconceptual Model of
Service Ouality and It’s Implications for Future Research. Journal of
Marketing, Vol. 49 Fall, pp. 41-50.
Parasuraman, A., V.A. Ziathaml and L.L. Berry., 1988. SERVQUAL: A
Multiple Item Scale for Measuring Consumer Perceptions of Service
Quality. Journal of Retailing, 64 (1) pp 34-54.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2004 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Terpadu Satu Pintu.
Priyono Agung, 2006. Pelayanan Satu Atap Sebagai Strategi Pleyanan Prima
di Era Otonomi Daerah. Jurna Spirit Puiblik, Volume 2, Nomor 2 Hal. 67-74.
Ratminto dan Atik Septi Winarsih, 2005. Manajemen Pelayanan:
Pengembangan Model Konseptual, Penerapan Citizen’s Chapter dan Standar
Pelayanan
Minimal. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Sedaryanti, 2004. Good Governance: Membangun Sistem Manajemen
Kinerja Guna Meningkatkan Produktivitas. Bandung: Mandar Maju.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintah Daerah.
Vincent, Gasperz, 2001. Total Quality Management (untuk Prartisi Bisnis dan
Industri). Bogor: Vincristo Pubication.

Anda mungkin juga menyukai