Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
A. Pendahuluan
Bergulirnya nuansa kebebasan yang meluas di masyarakat, serta
perubahan faktual dalam bidang pemerintahan saat ini yang tercermin dari
Undang-Undang Nomor. Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah mengalami perubahan dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, menuntut adanya
wacana yang lebih luas menyangkut peningkatan kualitas pelayanan
publik. Hal ini seiring dengan semakin membaiknya pengertian
masyarakat terhadap hak-haknya sebagai warga Negara yang mempunyai
akses langsung terhadap pemerintah. Kesemuanya ini akan memberikan
dampak yang sangat besar terhadap perubahan iklim kerja pemerintah
daerah, khususnya sebagai abdi Negara dan pelayan masyarakat.
Terkait dengan hal dimaksud, layanan publik yang profesional perlu
diwujudkan, mengingat sistim pelayanan publik dewasa ini cenderung
menunjukkan banyak kemunduran. Kenyataan menunjukkan bahwa
banyak para “birokrat” atau administrator masih menunjukkan sosok
pribadi “majikan besar” dalam pelayanan publik, bukannya citra “pelayan
yang profesional” mengakibatkan timbulnya berbagai keluhan dari
masyarakat terhadap kualitas pelayanan yang diberikan.
Pegawai pelayanan publik, yang seharusnya bertindak sebagai
penyedia jasa (service provider) dan fasilitator ternyata belum nampak di
mata masyarakat sebagai penguna jasa layanan. Kebutuhan masyarakat
akan jasa layanan publik yang berkualitas dan profesional sering
diabaikan mengakibatkan munculnya berbagai keluhan dari masyarakat
terhadap kinerja pegawai pelayanan publik. Beberapa keluhan masyarakat
yang dapat kita temu kenali dalam praktek pelayanan publik antara lain :
1. Layanan yang diberikan terkesan birokratis, tidak transparan, terlalu
panjang dan terkesan berbelit-belit. Disisi lain pengambilan keputusan
layanan terkadang juga sangat birokratis, terutama karena mekanisme
1
yang terlalu hirarkis dengan peran sentral berada di pimpinan tertinggi
pada kantor tertentu.
2. Layanan belum efisien, karena panjangnya proses pemberian layanan.
Hal ini dapat di lihat dari beberapa jenis layanan yang harus melalui
banyak meja atau loket sehingga mengakibatkan panjangnya proses
layanan. Kondisi ini juga mencerminkan kurang efektifnya pelayanan,
mengingat di beberapa tempat pelayanan sering tidak dicantumkan
persyaratan layanan yang harus dipenuhi, jadwal penyelesaian
layanan, jumlah biaya/tarif yang harus dikeluarkan oleh masyarakat
untuk mendapatkan jasa layanan tersebut. Hasil akhirnya masyarakat
sering dibingungkan dengan prosedur, proses, dan hasil layanan
tersebut, yang kadangkala membutuhkan waktu, tenaga, bahkan
pengorbanan biaya yang cukup besar.
3. Dalam pemberian layanan tertentu, sering terjadi penyalahgunaan
wewenang oleh aparatur pemberi jasa layanan. Kondisi ini dipicu oleh
ketidakjelasan persyaratan dan belum tersedianya Standar Operasi
Prosedur (SOP) tertulis yang memuat tentang janji layanan, waktu
layanan, dan biaya yang harus dibayarkan oleh masyarakat. Bahkan
kalaupun di beberapa instansi sudah menyusun SOP, informasi
tersebut belum dikomunikasikan secara efektif kepada masyarakat
sebagai pengguna jasa layanan.
4. Layanan yang diberikan kurang di dukung oleh aparat yang kompoten
dan profesional. Keluhan tidak profesionalnya pelayanan publik yang
muncul dari masyarakat seperti perilaku yang masa bodoh, lamban,
kaku dan terkesan tidak bersahabat dalam memberikan jasa layanan
kepada masyarakat menimbulkan adanya konflik antara aparat
pemberi layanan dengan masyarakat sebagai pengguna jasa layanan.
bahkan terkadang berkelanjutan dengan perang mulut dan adu fisik
yang tidak dapat dihindarkan karena salah satu pihak merasa
dirugikan.
5. Dalam beberapa jenis layanan, masih ditemukan adanya praktek
koropsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kondisi ini pada umumnya
terjadi karena adanya beberapa situasi yang saling mempengaruhi
antara satu dengan lainnya. Di satu sisi kondisi aparat pemberi
layanan dengan tingkat pendapatan yang relatif rendah sering
terperangkap dalam mental dan
perilaku korup. Di sisi lain masyarakat sebagai pengguna jasa layanan
sering menempuh jalan pintas untuk mendahulukan kepentingan
pribadi dibanding kepentingan orang lain yang lebih berhak untuk
mendapatkan pelayanan tersebut. Mereka berupaya mengambil
keuntungan dari jasa layanan tersebut dan bersedia membayar dalam
jumlah yang besar demi kepentingan dirinya tanpa melihat kepada
kepentingan orang lain, pada akhirnya berdampak buruk bagi kinerja
pelayanan publik.
6. Kurang tanggapnya aparat pemberi layanan dalam menangani
keluhan- keluhan masyarakat atas jasa layanan yang diberikan, pada
akhirnya tidak ada tindak lanjut untuk memperbaiki kinerja pelayanan
publik yang ada. Padahal seharusnya berbagai kritikan yang bersifat
membangun dari masyarakat dapat dijadikan sebagai bahan masukan
untuk memperbaiki kinerja pelayanan publik tersebut.
7. Upaya perbaikan layanan dan kebijakan baru di bidang pelayanan
publik kurang begitu mendapat perhatian dan tidak tersosialisasi
dengan baik mengakibatkan pelayanan prima kepada masyarakat,
terutama stakeholder tidak terlaksana dengan baik.
Beberapa hasil studi juga telah menunjukan bahwa kinerja organisasi
publik di Indonesia tidak banyak mengalami perbaikan, bahkan cenderung
semakin buruk, sehingga memunculkan krisis kepercayaan masyarakat
(Agus Dwiyanto, et al., 2002). Lebih lanjut lagi berdasarkan hasil penelitian
Ratminto dan Winarsih (2005) di Provinsi Daerah Istimewa Jogjakarta dan
Jawa Tengah dikemukakan bahwa kesadaran akan otonomi daerah belum
berhasil mewujudkan sistem administrasi yang diletakkan atas dasar
kesetaraan posisi tawar antara pemerintah sebagai penyedia jasa layanan
publik dengan masyarakat sebagai pengguna layanan publik, dimana
masih terdapat kecenderungan bahwa masyarakat sebagai pengguna
layanan publik dalam posisi yang kurang diuntungkan dengan adanya
otonomi daerah. Menyikapi hal ini, Pemerintah Daerah semakin di tantang
untuk meningkatkan efisiensi dan profesionalismenya, baik secara
organisasional maupun individual. Tantangan ini tidak sekedar sebagai
tuntutan internal organisasi, tetapi lebih dari itu sebagai akibat dari adanya
perubahan
lingkungan eksternal yang menuntut adanya peningkatan kualitas
pelayanan secara prima kepada masyarakat.
Bertolak dari sinilah, penulisan ini diangkat ke permukaan sebagai
suatu wacana bagi kita semua untuk meninjau kembali kualitas pelayanan
publik yang diterapkan di era globalisasi dan otonomisasi dewasa ini
sehingga dapat melahirkan suatu konsep baru yang dapat memberikan
nuansa baru bagi peningkatan kualitas pelayanan publik di Indonesia.
B. Pelayanan Publik
Pelayanan publik adalah segala bentuk pelayanan yang diberikan
oleh Pemerintah Pusat/ Daerah, BUMN/BUMD, dalam rangka pemenuhan
kebutuhan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku (Keputusan Menpan nomor 81 tahun 1993)
Hakikat dari pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima
kepada masyarakat yang merupakan perwujudan dari kewajiban aparatur
negara sebagai abdi masyarakat (Keputusan Menpan Nomor 63 Tahun
2004).
Lebih tegas lagi Sedaryanti (2004) mengemukakan bahwa pada
hakekatnya pelayanan publik adalah :
1. Meningkatkan mutu dan produktifitas pelaksanaan tugas dan fungsi
instansi pemerintah di bidang pelayanan umum.
2. Mendorong upaya mengefektifkansistem dan tatalaksana pelayanan,
sehingga pelayanan umum dapat diselenggarakan secara lebih
berdaya guna dan berhasil guna.
3. Mendorong tumbuhnya kreativitas, prakarsa, dan peran serta
masyarakat dalam pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan
masyarakat luas. Dalam menyelenggarakan pelayanan publik tersebut,
Sedaryanti (2004) mengemukakan bahwa pelayanan publik hendaknya
dapat dilaksanakan dalam suatu rangkaian kegiatan yang bersifat
sederhana, terbuka, tepat,
lengkap, wajar, dan terjangkau.
Hal tersebut di atas juga ditegaskan dalam Keputusan Menpan
nomor 81 tahun 1993 bahwa penyelenggaraan layanan publik harus
mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
1. Hak dan kewajiban bagi pemberi layanan maupun penerima layanan
umum harus jelas dan diketahui secara pasti oleh pemberi layanan dan
penerima layanan.
2. Peraturan setiap bentuk pelayanan umum harus disesuaikan dengan
kondisi kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk membayar
berdasarkan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku, dengan
tetap berpegang pada efisiensi dan efektivitas.
3. Mutu proses dan hasil layanan umum harus diupayakan agar memberi
keamanan, kelancaran, dan kepastian hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan.
4. Apabila pelayanan umum yang diselenggarakan oleh instansi
pemerintah terpaksa harus mahal, maka instansi pemerintah yang
bersangkutan berkewajiban memberikan peluang kepada masyarakat
untuk ikut menyelenggarakannya sesuai dengan peraturan dan
perundang- undangan yang berlaku.
Lebih lanjut lagi dalam dalam Keputusan Menpan Nomor 63 Tahun
2004, dikemukakan bahwa dalam menyelenggarakan kegiatan pelayanan
publik, ada beberapa azas pelayanan publik yang perlu diperhatikan oleh
aparat pelayanan publik yaitu : (1) Transparansi, (2) Akuntabilitas, (3)
Kondisional, (4) Partisipatif, (5) Kesamaan hak, dan (6) Keseimbangan
antara hak dan kewajiban (Keputusan Menpan Nomor 63 Tahun 2004).
Terkait dengan peningkatan kualitas pelayanan publik, dalam
keputusan Menpan momor 81 tahun 1993 juga dikemukakan sendi-sendi
pelayanan yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat sebagai berikut :
1. Kesederhanaan, yakni prosedur atau tata cara pelayanan
diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat dan tepat, tidak berbelit-
belit serta mudah untuk dipahami dan dilaksanakan.
2. Kejelasan dan kepastian, yakni menyangkut : (a) prosedur/tata cara
pelayanan umum (b) persyaratan pelayanan umum, baik teknis maupun
administratif, (c) Pengetahuan petugas, (d) unit kerja atau pejabat yang
bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan. Disamping itu harus
dirumuskan secara jelas rincian tarif/biaya pelayanan umum dan tata
cara pembayarannya, jadwal waktu penyelesaian pekerjaan, hak dan
kewajiban dari pemberi layanan maupun penerima jasa layanan
berdasarkan bukti- bukti penerimaan/kelengkapan sebagai alat untuk
memastikan bahwa proses pelayanan telah dilalui secara baik dan
benar.
3. Keamanan, yakni proses dan hasil layanan benar-benar memberikan
rasa aman, nyaman dan kepastian hukum kepada masyarakat
sebagai
pemakai jasa layanan, dan kemampuan dari petugas pelayanan untuk
memberikan pelayanan yang maksimal bagi masyarakat.
4. Keterbukaan, yakni prosedur/tata cara, persyaratan, unit kerja atau
pejabat yang bertanggungjawab terhadap pelayanan umum, waktu
penyelesaian, akurasi sistem, Fasilitas dan peralatan yang berkaitan
dengan proses pelayanan umum wajib diinformasikan secara terbuka
untuk diketahui dan dipahami oleh masyarakat sebagai pemakai jasa
layanan, baik secara tertulis maupun lisan, diminta maupun tidak
diminta.
5. Efisien, yakni persyaratan pelayanan umum hendaknya dibatasi pada
hal- hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran
pelayanan, dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara
persyaratan dan produk pelayanan umum yang diberikan. Disamping itu
perlu dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan dalam
proses pelayanan. Jadi pada prinsipnya pelayanan yang diberikan
kepada masyarakat harus akurat dan tepat sasaran.
6. Ekonomis, yakni biaya/tarif pelayanan umum hendaknya ditetapkan
secara wajar dengan memperhatikan nilai barang/jasa layanan yang
diberikan, kemampuan masyarakat untuk membayar secara umum,
manfaat yang diterima oleh masyarakat sebagai pemakai jasa layanan,
serta ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku.
7. Keadilan yang merata, yakni cakupan atau jangkauan pelayanan harus
diusahakan seluas mungkin dengan distribusi layanan secara merata
dan diberlakukan secara adil serta tidak pilih kasih, dan kemampuan
serta kesediaan petugas untuk memberikan layanan terbaik kepada
masyarakat.
8. Ketepatan waktu, yakni pemberian pelayanan kepada masyarakat
yang berkaitan dengan informasi waktu layanan, kecepatan pelayanan,
realisasi waktu pelayanan, dan kepastian jadwal pelayanan.
Jelasnya dapat dikatakan pelayanan publik ini sangat berkaitan erat
dengan bagaimana aparat pelayanan publik dapat memberikan jasa
layanan yang berkualitas kepada masyarakat, baik dari segi proses,
tatalaksana pelayanan, maupun hasil akhirnya.
C. Kualitas Pelayanan
Kualitas pelayanan merupakan suatu kondisi dinamis yang
berhubungan dengan produk, jasa manusia, proses, dan lingkungan yang
memenuhi atau melebihi harapan. Mengingat kualitas pelayanan ini pada
umumnya berfokus pada masyarakat, maka produk layanan biasanya
didesain, diproduksi dan diserahkan kepada masyarakat dengan kualitas
terbaik yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan dari masyarakat
sebagai pemakai jasa layanan tersebut.
Menurut Brady dan Cronin (2001) kualitas pelayanan merupakan
perbandingan antara pelayanan yang diterima dengan harapan atas
pelayanan yang ingin diterima. Kotler (1997) menyatakan bahwa kualitas
harus dimulai dari kebutuhan konsumen dan berakhir pada persepsi
konsumen. Dengan demikian kualitas pelayanan yang baik tidak dapat
dilihat dari pihak penyedia layanan melainkan berdasarkan pada persepsi
konsumen atau masyarakat sebagai pemakai jasa layanan.
Sebagian besar penelitian yang dilakukan oleh para ahli berusaha
untuk menemukan definisi pengukuran kualitas. Parasuraman et al.,
(1985; 1988) mendefinisikan kualitas pelayanan sebagai pertimbangan
global atau sikap yang berhubungan dengan keunggulan (superiority) dari
suatu pelayanan (jasa). Menurut mereka, kualitas pelayanan adalah sama
dengan sikap individu secara umum terhadap kinerja organisasi. Mereka
juga menambahkan bahwa kualitas pelayanan adalah tingkat dan arah
perbedaan antara persepsi dan harapan konsumen atau masyarakat.
Selisih antara persepsi dan harapan inilah yang mendasari munculnya
konsep gap (perception-expectation gap) yang sebagai dasar skala
service quality (SERVQUAL). Dalam penelitian mereka ditemukan bahwa
kualitas pelayanan didasarkan pada lima dimensi kualitas yaitu tangible,
reliability, responsiveness, assurance, dan emphaty.
1. Kendalan (Reliability), meliputi kemampuan organisasi untuk
memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat waktu, akurat dan
memuaskan.
2. Daya Tanggap (Responsiveness), meliputi kemampuan pegawai atau
staf untuk membantu masyarakat dan memberikan pelayanan dengan
tanggap.
3. Jaminan (Assurance), meliputi kemampuan, kesopanan dan sifat yang
dapat dipercaya yang dimiliki oleh staf, bebas dari bahaya, resiko atau
keragu-raguan.
4. Empati (Emphaty) meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan
komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan masyarakat.
5. Bukti Fisik (Tangibility)) meliputi fasilitas fisik, perelengkapan, pegawai,
dan sarana komunikasi.
Sedangkan pendapat lain dari Higgins dan Ferguson (1991)
menjelaskan tentang dimensi kualitas pelayanan terdiri dari reliability,
responsiveness, competence, accessibility, courtesy, communication,
credibility, security, understanding or knowing the costumer, dan tangibles.
Menurut kedua ahli ini, kualitas pelayanan tidak hanya dinilai dari apa
yang masyarakat terima atau rasakan pada akhir proses pelayanan,
melainkan juga dinilai dari infrastruktur proses pelayanan.
Dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan aparatur pemerintah
kepada masyarakat luas, Vincent (1997) mengemukakan bahwa ada
sepuluh atribut yang dapat digunakan untuk mengevaluasi sekaligus untuk
perbaikan kualitas layanan, yaitu :
Masyarakat
Penyampaian jasa (sebelum dan
Pemberi Jasa sesudah kontak) Kumunikasi Eksternal ke masyarakat
Kesenjangan 4
Kesenjangan 3
Kesenjangan 1
Kesenjangan 2
Persepsi Pemberi Jasa tentang harapan
21
1. Abolish, yakni menghapus jenis-jenis perijinan yang dinilai tidak perlu
lagi sesuai visi dan misi daerah.
2. Combaine, yakni menggabung beberapa jenis pelayanan perijinan
yang mengatur hal yang sama.
3. Simplicity, Yakni menyederhanakan baik persyaratan maupun
prosedur setelah dilaksanakan pengkajian yang memadai.
4. Desentralize, yakni melimpahkan kewenangan perijinan kepada
pejabat atau lembaga yang lebih dekat kepada masyarakat, dan
ditunjang oleh sistem komputerisasi yang mendukung transparansi,
efisiensi dan akuntabilitas layanan.
Konsep penyederhanaan pelayanan tersebut di atas seharusnya
juga dapat diterapkan dalam pola pelayanan terpadu satu atap dengan
memperhatikan standar mutu pelayanan sebagai berikut :
MUTU LAYANAN
Produk Jasa Manusia Proses, dan Memenuhi atau melebihi harapan masyarakat sebagai pengguna jasa layanan
lingkungan
Yang
Sesuai Dengan
Standar Pelayanan
Prosedur Pelayanan
Waktu Penyelesaian
Biaya Pelayanan
Produk Pelayanan
Sarana dan Prasarana
Kompetensi Petugas Pemberi Pelayanan
E. Penutup
Upaya peningkatan kualitas pelayanan publik di era otonomi daerah
saat ini belum berjalan sebagaimana mestinya karena otonomi daerah
belum mewujudkan sistem administrasi yang diletakkan atas dasar
kesetaraan posisi tawar antara pemerintah sebagai penyedia jasa
layanan publik dengan masyarakat sebagai pengguna layanan publik,
bahkan ada kecendrungan bahwa masyarakat sebagai pengguna jasa
layanan publik masih berada pada posisi tawar yang kurang
menguntungkan. Di sisi lain sistem pelayanan publik saat ini masih
cenderung menunjukkan banyak kemunduran karena realita
menunjukkan bahwa para “birokrat” atau administrator masih
menunjukkan sosok pribadi “majikan besar” dalam pelayanan publik,
bukannya citra “pelayan yang profesional” mengakibatkan munculnya
persepsi negatif terhadap kinerja aparat pelayanan publik.
Menyikapi hal tersebut birokrasi publik saat ini, terutama aparatur
pemerintah daerah semakin dituntut untuk mengubah posisi dan perannya
(revitalisasi) dalam memberikan pelayanan kepada publik, dari yang suka
mengatur dan memerintah berubah menjadi suka melayani, dari yang
suka menggunakan pendekatan kekuasaan berubah menjadi suka
menolong
ke arah yang fleksibel, kolaboratis dan dialogis, dan dari cara-cara yang
bersifat sloganis berubah ke cara-cara kerja yang realistik dan pragmatis.
Peningkatan dalam kualitas pelayanan publik harus berjalan seirama
dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) pelayanan,
mengingat sumber daya manusia (aparatur pelayanan) memiliki peran
strategis sebagai pendorong dari reformasi birokrasi menuju pemerintahan
yang baik (good governance). Kompetensi (pendidikan, pengalaman,
ketrampilan, dan keahlian) serta moralitas yang tinggi merupakan salah
satu kunci sukses peningkatan kualitas pelayanan publik. Oleh karena itu
dalam merekrut dan menempatkan aparatur pelayanan publik harus
didasarkan pada prinsip “the right man on the right place” atau “the right
man on the rigt job”, dalam artian menempatkan orang yang tepat pada
tempat atau jabatan yang tepat sesuai dengan kompetensi yang dimiliki.
Dengan demikian diperlukan adanya perencanaan yang konsisten bagi
pengembangan dan peningkatan kompetensi SDM pelayanan melalui
diklat-diklat teknis dan fungsional, disamping itu perlu juga diperhatikan
tingkat kesejahteraan pegawai melalui sistem insentif (reward) mengingat
hal tersebut memiliki kaitan strategis dengan pelayanan berkualitas.
Selain kompetensi yang harus dimiliki oleh birokrat pelayanan publik,
juga diperlukan adanya sikap mental dan perilaku yang baik, ramah dalam
melayani, jujur, cekatan, dan bertanggungjawab. Terkait dengan hal
tersebut, ada beberapa kriteria yang dibutuhkan bagi SDM aparatur
pelayanan guna mendukung peningkatan kualitas pelayanan publik, antara
lain : (1) komitmen,
(2) integritas, (3) tanggung jawab, (4) kecakapan dan keramahan,
(5) mengerti kebutuhan pelanggan (masyarakat), (6) daya tanggap dan
empati, dan (7) memiliki etika dan moralitas yang tinggi.
Peningkatan kualitas pelayanan publik dapat berjalan dan
memberikan kemanfaatan kepada pengguna jasa layanan (masyarakat)
apabila aparat pelayanan publik secara sungguh-sungguh memperhatikan
dimensi perbaikan kualitas pelayanan publik yang antara lain meliputi : (1)
ketepatan waktu pelayanan, (2) akurasi pelayanan, (3) kesopanan dan
keramahan dalam memberikan pelayanan, (4) tanggung jawab, (5)
kelengkapan,
(6) kemudahan mendapatkan pelayanan, (7) variasi model pelayanan, dan
(8) keamanan dan kenyamanan dalam memperoleh pelayanan.
Dalam rangka meningkatkan kualitas layanan publik, dan
memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk
memperoleh pelayanan publik serta mewujudkan pelayanan publik yang
cepat, murah, mudah, transparan, pasti, dan terjangkau serta
meningkatnya hak-hak masyarakat terhadap pelayanan publik, diperlukan
adanya salah satu model pelayanan yang dapat mengakomodir hal
tersebut. Model pelayanan tersebut adalah model pelayanan terpadu satu
atap. Melalui penerapan pelayanan terpadu satu atap ini efisiensi dan
efektifitas pelayanan akan meningkat melalui peminimalan jarak geografis
antar fungsi terkait. Melalui model pelayanan ini juga waktu yang
digunakan dalam proses pelayanan akan dapat diperpendek dan
masyarakat sebagai pengguna jasa layanan juga akan semakin mudah
memperoleh jasa layanan.
Mengingat masih banyaknya hambatan yang ditemui dalam upaya
peningkatan kualitas pelayanan publik di lihat dari aspek SDM pelayanan
publik seperti : (1) etos kerja aparat pelayanan publik yang cenderung
mempertahankan status qou dan tidak mau menerima adanya perubahan
(resistance to change), (2) adanya budaya tidak menyukai resiko (risk
aversion), (3) rutinitas tugas dan penekanan yang berlebihan pada
pertanggungjawaban formal sehingga mengakibatkan adanya prosedur
yang kaku/lamban, (4) belum adanya sistem insentif dan disinsentif bagi
petugas pelayanan yang berkinerja tinggi, dan (5) minimnya SDM
pelayanan publik yang memiliki kompetensi dalam bidangnya, maka
dibutuhkan adanya kebijakan dan strategi peningkatan kualitas
pelayanan publik dengan jalan :
(1) Perencanaan kebutuhan SDM pelayanan, (2) Identifikasi Kebutuhan
Pengembangan SDM, (3) Perencanaan sistem penggajian yang sesuai
dengan prestasi kerja, yaitu pemberian sistem insentif (reward) bagi SDM
pelayanan yang berprestasi serta ganjaran atau hukuman (punishment)
yang tegas bagi SDM pelayanan yang menyalahgunakan kewenangan
serta melakukan perbuatan yang melanggar hukum, (4) Pengembangan
standar mutu pelayanan berdasarkan Indeks Kepuasan Masyarakat, (5)
Perencanaan kebutuhan sarana dan prasarana pendukung pelayanan,
(6) Pengembangan sistem informasi dan teknologi dalam bidang tugas
pelayanan.
DAFTAR PUSTAKA
Brady, Michel K. Brady and J. Joseph Cromim Jr. 2001. Some New Thought
on Conceptualizing Perceived Serivice Quality: A Hierarchical
Approach. Journal of Marketing, Volume. 65, No. 3 (July).
Dwiyanto, A., 2002. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Pusat Studi
Kependudukan dan Kebijakan.
Higgins, L.F. and Ferguson, F., 1991. Practical Approachs for Evaluating the
Quality Dimensions of Professional Accounting Service. Journal of
Professional Service Marketing. Vol 7 (1).
Kotler, P., 1997. Marketing Management: Analysis, Planning, Implementation,
and Control. Prentice Hall International, Inc.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
63/KEP/M.PAN/7/2004 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan
Pelayanan Publik.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993
tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum.
Parasuraman, A., V.A. Ziathaml and L.L. Berry., 1985. Aconceptual Model of
Service Ouality and It’s Implications for Future Research. Journal of
Marketing, Vol. 49 Fall, pp. 41-50.
Parasuraman, A., V.A. Ziathaml and L.L. Berry., 1988. SERVQUAL: A
Multiple Item Scale for Measuring Consumer Perceptions of Service
Quality. Journal of Retailing, 64 (1) pp 34-54.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2004 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Terpadu Satu Pintu.
Priyono Agung, 2006. Pelayanan Satu Atap Sebagai Strategi Pleyanan Prima
di Era Otonomi Daerah. Jurna Spirit Puiblik, Volume 2, Nomor 2 Hal. 67-74.
Ratminto dan Atik Septi Winarsih, 2005. Manajemen Pelayanan:
Pengembangan Model Konseptual, Penerapan Citizen’s Chapter dan Standar
Pelayanan
Minimal. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Sedaryanti, 2004. Good Governance: Membangun Sistem Manajemen
Kinerja Guna Meningkatkan Produktivitas. Bandung: Mandar Maju.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintah Daerah.
Vincent, Gasperz, 2001. Total Quality Management (untuk Prartisi Bisnis dan
Industri). Bogor: Vincristo Pubication.