Thypoid
1920221086
Diajukan Kepada
Pembimbing :
2020
LEMBAR PENGESAHAN
Telah disetujui
Tanggal :
Disusun oleh :
Muhammad Fadzrul Adhwirawan
1920221086
Ambarawa, 2020
Pembimbing,
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas referat ini. Referat yang berjudul “Demam
Tifoid pada Anak” ini merupakan salah satu syarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik
bagian Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Ambarawa.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Tundjungsari R. U., M.Sc., Sp.A
sebagai pembimbing atas bimbingan, kritik, dan saran yang membangun dalam
penyusunan tugas referat ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini masih terdapat banyak
kesalahan dan belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
membangun dari pembimbing serta seluruh pihak.
Penulis
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi
Penyakit demam tifoid merupakan infeksi akut pada usus halus dengan
gejala demam lebih dari satu minggu, mengakibatkan gangguan pencernaan dan
dapat menurunkan tingkat kesadaran. Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi
sistemik yang bersifat akut (Ardiaria, 2019).
II.2 Epidemiologi
Demam tifoid dan paratifoid adalah infeksi enterik yang disebabkan oleh
bakteri Salmonella enterica serovar Typhi (S. Typhi) dan Paratyphi A, B, dan C (S.
Paratyphi A, B, dan C), masing-masing, secara kolektif disebut sebagai Salmonella
tifoid, dan penyebab demam enterik. Manusia adalah satu-satunya reservoir untuk
Salmonella Typhi dengan penularan penyakit yang terjadi melalui rute fecal-oral,
biasanya melalui konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi oleh kotoran
manusia. Diperkirakan 17 juta kasus penyakit demam tifoid dan paratifoid terjadi
secara global pada tahun 2015 terutama di Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Afrika
sub-Sahara, dengan beban dan insiden terbesar yang terjadi di Asia Selatan
(Ardiaria, 2019).
Menurut data WHO, terdapat lebih kurang sebanyak 11 – 20 juta kasus tifoid
dan diantara 128.000 hingga 161.000 orang meninggal dunia setiap tahunnya.
Demam tifoid masih merupakan beban untuk negara berkembang. Angka kejadian
pasti tidak diketahui karena surveilans di negara berkembang belum memadai dan
di negara maju telah menjalankan imunisasi tifoid.
Data tahun 2010, estimasi global jumlah kasus demam tifoid sebesar 13,9-
26,9 juta,3 dengan estimasi kasus di negara berkembang sebesar 20.6 juta kasus, dan
223.000 kematian. Di Indonesia (2009), kasus demam tifoid mencapai 80.850 kasus,
dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 1.25%. (IDAI, 2016)
II.3 Etiologi
Penyakit tifoid disebakan oleh Salmonella typhi yaitu bakteri enterik gram
negatif berbentuk basil dan bersifat patogen pada manusia. Penyakit ini mudah
berpindah dari satu orang ke orang lain yang kurang menjaga kebersihan diri dan
5
lingkungannya yaitu penularan secara langsung jika bakteri ini terdapat pada feses,
urine atau muntahan penderita dapat menularkan kepada orang lain dan secara tidak
langsung melalui makanan atau minuman. S. Typhi berperan dalam proses inflamasi
lokal pada jaringan tempat bakteri berkembang biak dan merangsang sintesis dan
pelepasan zat pirogen dan leukosit pada jaringan yang meradang sehingga terjadi
demam. Jumlah bakteri yang banyak dalam darah (bakteremia) menyebabkan
demam makin tinggi. Penyakit tifoid ini mempunyai hubungan erat dengan
lingkungan terutama pada lingkungan yang penyediaan air minumnya tidak
memenuhi syarat kesehatan dan sanitasi yang buruk pada lingkungan (Ardiaria,
2019).
Genus Salmonella terdiri lebih dari 2600 serovar/serotipe, Berdasarkan
rekomendasi dari WHO, genus Salmonella dibagi menjadi 2 spesies yaitu S. enterica
dan S. bongori. Spesies S.enterica terdiri dari 6 subspesies yang didasarkan pada
perbedaan karakter/reaksi biokimiawi dan sifat-sifat genomiknya. Keenam
subspesies tersebut adalah (Ariyanti & Supar, n.d.) :
a. S. enterica subsp enterica (Subspesies I)
b. S. enterica subsp salamae (Subspesies II)
c. S. enterica subsp arizonae (Subspesies IIIa)
d. S. enterica subsp diarizonae (Subspesies IIIb)
e. S. enterica subsp houtenae (Subspesies IV)
f. S. enterica subsp indica (Subspesies VI)
6
Gambar 1 Ilustrasi Struktur Antigen pada S. Typhi
Gejala penyakit ini berkembang selama satu sampai dua minggu setelah
seorang pasien terinfeksi oleh bakteri tersebut. Gejala umum yang terjadi pada
penyakit tifoid adalah Demam naik secara bertangga pada minggu pertama lalu
8
demam menetap (kontinyu) atau remiten pada minggu kedua. Demam terutama
sore/malam hari, sakit kepala, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau
diare. Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada
semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2
hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septisemia oleh karena
Streptococcus atau Pneumococcus daripada S. typhi. Sakit kepala hebat yang
menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis,di sisi lain S. Typhi
juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi
gejala mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik
atau koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Pada tahap
lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus (Ardiaria, 2019).
Sesuai dengan rekomendasi IDAI pada tahun 2016 tentang uji diagnosis awal
tifoid, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
a. Uji baku emas diagnosis demam tifoid sampai saat ini adalah kultur. Kultur darah
mempunyai sensitivitas terbaik (40–60%) bila dilakukan pada minggu pertama -
awal minggu kedua.
b. Pada anak yang menderita demam ≥6 hari dengan gejala ke arah demam tifoid,
untuk pengobatan pasien segera dapat digunakan pemeriksaan serologis antibodi
terhadap antibodi Salmonella typhi.
c. Pemeriksaan Widal untuk diagnosis demam tifoid tidak direkomendasikan,
karena memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah.
11
II.8 Tatalaksana
Menurut KEMENKES No. 36 tahun 2006, penatalaksanaan penyakit tifoid
mimiliki beberapa tujuan yang diharapkan untuk dicapai :
a. Optimalisasi pengobatan dan mempercepat proses penyembuhan
b. Observasi tehadap perjalanan penyakit
c. Minimaliasi angka komplikasi
d. Sebagai proses isolasi untuk menjamin pencegahan terhadap pencemaran dan atau
kontaminasi.
Farmakoterapi yang digunakan dalam pengobatan penyakit tifoid dibagi
menjadi 2 pengobatan, yaitu pengobatan untuk penyakit tifoid tanpa komplikasi dan
pengobatan untuk kasus tifoid dengan komplikasi atau penyulit. Pengobatan yang
direkomendasikan membutuhkan waktu pemberian selama 7 hari bagi kasus tanpa
komplikasi, sedangkan untuk kasus berat yang tidak memungkinkan untuk
dilakukan pemberian secara per oral (PO) memerlukan waktu selama 14 – 21 hari.
Amoxicillin PO
Anak : 30 mg/KgBB 3 kali per hari
Co – Trimoxazole PO
Anak : 20 mg SMX + 4 mg TMP/ KgBB
2 kali per hari (Maks. 1600 mg SMX +
320 mg TMP per hari)
Sumber : (Médecins Sans Frontières, 2019)
12
Kasus yang Berat
Tanpa resistensi terhadap ciproflxacin Ceftriaxone IV
Atau Anak : 50 – 100 mg /KgBB 1 kali per hari
Dengan resistensi terhadap ciprofloxacin (Maks. 4 gr per hari)
Region yang memiliki data terhadap Chloramfenicol IV
indikasi kerentanan antibiotik diatas Anak : 1 – 13 tahun 25 mg/KgBB setiap 8
jam (maks. 3 gr per hari)
Anak usia >13 tahun hingga dewasa : 1 gr
setiap 8 jam
Amphicilin IV
Anak : 50 mg/KgBB setiap 6 – 8 jam
(Maks. 3 gr per hari)
II.9 Pencegahan
13
Pemberian vaksin tak luput dari efek samping yang dimiliki. Di Indonesia,
laporan tentang adanya efek samping pemberian vaksin tifoid masih belum
terakomodir dengan tepat akibat dari limitasi data dan transparansi konsumen dalam
laporan efek samping vaksin tifoid. Di Amerika serikat, dilakukan studi analisis data
yang menyebutkan bahwa efek samping pemberian vaksin parenteral Vi yang umum
terjadi adalah rasa nyeri pada lokasi injeksi (77%), sensitifitas pada rasa sentuhan
(75%) dan nyeri otot (39%). Pada penelitian postmarketing surveillance yang
dilakukan oleh U.S. Vaccine Adverse Events Reporting System (VAERS) dari tahun
1995 – 2002 menjabarkan sekitar 0.3 kasus berat dari efek samping pemberian vaksin
per 100.000 pasien.
Pemberian vaksin Ty21a secara oral memberikan efek samping yang lebih
minimal. Hanya sekitar 10% dari setiap laporan berupa nyeri abdomen (6,4%),
nausea (5,8%), pusing (4,8%), demam (3,3%), diare (2,9%), mual dan muntah
(1,5%), atau nyeri kulit (1,0%) (Jackson, et al., 2015).
II.10 Komplikasi
Pada kasus berat, komplikasi yang bisa terjadi antara lain anikterik hepatitis,
supresi sumsum tulang, ileus paralitik, miokarditis, psikosis/ ensefalopati,
kolesistitis, osteomyelitis, peritonitis, pnemonia, hemolisis dan syndrome of
inappropriate release of antidiuretic hormone (SIADH) (IDAI, 2016).
II.11 Prognosis
14
kasus yang segera dilakukan penatalaksanaan yang tepat memiiki angka mortalitas
kurang dari 1%. (Brusch, 2019)
15
BAB III
KESIMPULAN
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Salmonella yang mencemari makanan dan
minuman menyebabkan demam tifoid. Diagnosis yang terlambat dan pengobatan
yang salah dapat berakibat fatal pada pada penderita demam tifoid karena
menyebabkan pendarahan saluran cerna yang mengakibatkan kematian
Penyakit tifoid disebakan oleh Salmonella typhi yaitu bakteri enterik gram
negatif berbentuk basil dan bersifat patogen pada manusia. Penyakit ini mudah
berpindah dari satu orang ke orang lain yang kurang menjaga kebersihan diri dan
lingkungannya yaitu penularan secara langsung jika bakteri ini terdapat pada feses,
urine atau muntahan penderita dapat menularkan kepada orang lain dan secara tidak
langsung melalui makanan atau minuman.
Tatalaksana penyakit tifoid dibagi menjadi 2 klasifikasi, yaitu pengobatan
untuk penyakit tifoid tanpa komplikasi dan pengobatan untuk kasus tifoid dengan
komplikasi atau penyulit. Pengobatan yang direkomendasikan membutuhkan waktu
pemberian selama 7 hari bagi kasus tanpa komplikasi, sedangkan untuk kasus berat
yang tidak memungkinkan untuk dilakukan pemberian secara per oral (PO)
memerlukan waktu selama 14 – 21 hari.
16
DAFTAR PUSTAKA
Ardiaria, M., 2019. Epidemiologi, Manifestasi Klinis, dan Penatalaksanaan Demam Tifoid.
Journal of Nutrition and Health, 7(2), pp. 32-38.
Ariyanti, T. & Supar, n.d. Problematik Salmonellosis pada Manusia. Lokakarya Nasional
Penyakit Zoonosis , pp. 161-171.
Hardianto, D., 2019. Telaah Metode Diagnosis Cepat dan Pengobatan Infeksi Salmonella
typhi. BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA, 6(1), pp. 149-158.
Jackson, B. R., Iqbal, S. & Mahon, B., 2015. Updated Recommendations for the Use of
Typhoid Vaccine — Advisory Committee on Immunization Practices, United States, 2015.
Morbidity and Mortality Weekly Report, 64(11), pp. 305-308.
Purba, I. E. et al., 2016. Program Pengendalian Demam Tifoid di Indonesia: Tantangan dan
Peluang. Media Litbangkes, Vol. 26 No. 2, pp. 99-108.
17