Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

Thypoid

Disusun oleh : Muhammad Fadzrul Adhiwirawan

1920221086

Diajukan Kepada

Pembimbing :

dr. Tundjungsari Ratna U., M.Sc, Sp. A

KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA

2020
LEMBAR PENGESAHAN

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian


Ilmu Kesehatan Anak RSUD Ambarawa

Telah disetujui
Tanggal :

Disusun oleh :
Muhammad Fadzrul Adhwirawan
1920221086

Fakultas Kedokteran UPN ”Veteran” Jakarta

Ambarawa, 2020
Pembimbing,

dr. Tundjungsari Ratna U., M.Sc, Sp. A

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas referat ini. Referat yang berjudul “Demam
Tifoid pada Anak” ini merupakan salah satu syarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik
bagian Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Ambarawa.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Tundjungsari R. U., M.Sc., Sp.A
sebagai pembimbing atas bimbingan, kritik, dan saran yang membangun dalam
penyusunan tugas referat ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini masih terdapat banyak
kesalahan dan belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
membangun dari pembimbing serta seluruh pihak.

Ambarawa, 25 Februari 2020

Penulis

3
BAB I
PENDAHULUAN

Demam tifoid (selajutnya disebut tifoid) merupakan salah satu penyakit


menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat dengan jumlah kasus
sebanyak 22 juta per tahun di dunia dan menyebabkan 216.000–600.000 kematian.
Studi yang dilakukan di daerah urban di beberapa negara Asia pada anak usia 5–15
tahun menunjukkan bahwa insidensi dengan biakan darah positif mencapai 180–194
per 100.000 anak, di Asia Selatan pada usia 5–15 tahun sebesar 400–500 per
100.000 penduduk, di Asia Tenggara 100–200 per 100.000 penduduk, dan di Asia
Timur Laut kurang dari 100 kasus per 100.000 penduduk (Purba et al., 2016).
Penyebaran tifid di Indonesia harus mendapat perhatian serius dari berbagai
pihak, karena penyakit ini bersifat endemis dan mengancam kesehatan masyarakat.
Permasalahannya semakin kompleks dengan meningkatnya kasus-kasus karier
(carrier) atau relaps dan resistensi terhadap obat-obat yang dipakai, sehingga
menyulitkan upaya pengobatan dan pencegahan. Pada tahun 2008, angka kesakitan
tifoid di Indonesia dilaporkan sebesar 81,7 per 100.000 penduduk, dengan sebaran
menurut kelompok umur 0,0/100.000 penduduk (0–1 tahun), 148,7/100.000
penduduk (2–4 tahun), 180,3/100.000 (5-15 tahun), dan 51,2/100.000 (≥16 tahun).
Angka ini menunjukkan bahwa penderita terbanyak adalah pada kelompok usia 2-
15 tahun (Purba et al., 2016).
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Salmonella yang mencemari makanan dan
minuman menyebabkan demam tifoid. Diagnosis yang terlambat dan pengobatan
yang salah dapat berakibat fatal pada pada penderita demam tifoid karena
menyebabkan pendarahan saluran cerna yang mengakibatkan kematian (Hardianto,
2019). Komplikasi serius dapat terjadi hingga 10%, khususnya pada individu yang
menderita tifoid lebih dari 2 minggu dan tidak mendapat pengobatan yang adekuat.
Case Fatality Rate (CFR) diperkirakan 1–4% dengan rasio 10 kali lebih tinggi pada
anak usia lebih tua (4%) dibandingkan anak usia ≤4 tahun (0,4%). Pada kasus yang
tidak mendapatkan pengobatan, CFR dapat meningkat hingga 20% (Purba et al.,
2016).

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi
Penyakit demam tifoid merupakan infeksi akut pada usus halus dengan
gejala demam lebih dari satu minggu, mengakibatkan gangguan pencernaan dan
dapat menurunkan tingkat kesadaran. Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi
sistemik yang bersifat akut (Ardiaria, 2019).

II.2 Epidemiologi
Demam tifoid dan paratifoid adalah infeksi enterik yang disebabkan oleh
bakteri Salmonella enterica serovar Typhi (S. Typhi) dan Paratyphi A, B, dan C (S.
Paratyphi A, B, dan C), masing-masing, secara kolektif disebut sebagai Salmonella
tifoid, dan penyebab demam enterik. Manusia adalah satu-satunya reservoir untuk
Salmonella Typhi dengan penularan penyakit yang terjadi melalui rute fecal-oral,
biasanya melalui konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi oleh kotoran
manusia. Diperkirakan 17 juta kasus penyakit demam tifoid dan paratifoid terjadi
secara global pada tahun 2015 terutama di Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Afrika
sub-Sahara, dengan beban dan insiden terbesar yang terjadi di Asia Selatan
(Ardiaria, 2019).
Menurut data WHO, terdapat lebih kurang sebanyak 11 – 20 juta kasus tifoid
dan diantara 128.000 hingga 161.000 orang meninggal dunia setiap tahunnya.
Demam tifoid masih merupakan beban untuk negara berkembang. Angka kejadian
pasti tidak diketahui karena surveilans di negara berkembang belum memadai dan
di negara maju telah menjalankan imunisasi tifoid.
Data tahun 2010, estimasi global jumlah kasus demam tifoid sebesar 13,9-
26,9 juta,3 dengan estimasi kasus di negara berkembang sebesar 20.6 juta kasus, dan
223.000 kematian. Di Indonesia (2009), kasus demam tifoid mencapai 80.850 kasus,
dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 1.25%. (IDAI, 2016)

II.3 Etiologi
Penyakit tifoid disebakan oleh Salmonella typhi yaitu bakteri enterik gram
negatif berbentuk basil dan bersifat patogen pada manusia. Penyakit ini mudah
berpindah dari satu orang ke orang lain yang kurang menjaga kebersihan diri dan
5
lingkungannya yaitu penularan secara langsung jika bakteri ini terdapat pada feses,
urine atau muntahan penderita dapat menularkan kepada orang lain dan secara tidak
langsung melalui makanan atau minuman. S. Typhi berperan dalam proses inflamasi
lokal pada jaringan tempat bakteri berkembang biak dan merangsang sintesis dan
pelepasan zat pirogen dan leukosit pada jaringan yang meradang sehingga terjadi
demam. Jumlah bakteri yang banyak dalam darah (bakteremia) menyebabkan
demam makin tinggi. Penyakit tifoid ini mempunyai hubungan erat dengan
lingkungan terutama pada lingkungan yang penyediaan air minumnya tidak
memenuhi syarat kesehatan dan sanitasi yang buruk pada lingkungan (Ardiaria,
2019).
Genus Salmonella terdiri lebih dari 2600 serovar/serotipe, Berdasarkan
rekomendasi dari WHO, genus Salmonella dibagi menjadi 2 spesies yaitu S. enterica
dan S. bongori. Spesies S.enterica terdiri dari 6 subspesies yang didasarkan pada
perbedaan karakter/reaksi biokimiawi dan sifat-sifat genomiknya. Keenam
subspesies tersebut adalah (Ariyanti & Supar, n.d.) :
a. S. enterica subsp enterica (Subspesies I)
b. S. enterica subsp salamae (Subspesies II)
c. S. enterica subsp arizonae (Subspesies IIIa)
d. S. enterica subsp diarizonae (Subspesies IIIb)
e. S. enterica subsp houtenae (Subspesies IV)
f. S. enterica subsp indica (Subspesies VI)

Subspesies I adalah serovar yang dapat menyebabkan penyakit pada


manusia dan hewan-hewan berdarah panas (contoh: serotipe enteritidis,
typhimurium, typhi, paratyphi, sendai, dublin, gallinarum/pullorum dan abortus
suis). Salmonella diklasifikasikan menjadi serovar berdasarkan perbedaan susunan
antigen somatik (O) atau lipopolisakarida dan antigen protein flagella (H).

6
Gambar 1 Ilustrasi Struktur Antigen pada S. Typhi

II.4 Faktor Risiko

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit typoid tersebar yaitu polusi


udara, sanitasi umum, kualitas air temperatur, kepadatan penduduk, kemiskinan dan
lain-lain. beberapa penelitian di seluruh dunia menemukan bahwa laki-laki lebih
sering terkena demam tifoid, karena laki-laki lebih sering bekerja dan makan di luar
rumah yang tidak terjamin kebersihannya. Tetapi berdasarkan dari daya tahan
tubuh, wanita lebih berpeluang untuk terkena dampak yang lebih berat atau
mendapat komplikasi dari demam tifoid. Salah satu teori yang menunjukkan hal
tersebut adalah ketika Salmonella typhi masuk ke dalam sel-sel hati, maka hormon
estrogen pada wanita akan bekerja lebih berat (Ardiaria, 2019).
Basil Salmonella menular ke manusia melalui jalur Fecal oral. Beberapa
kondisi manusia yang mempengaruhi dan berperan dalam penularan penyakit tifoid
antara lain (Kementrian Kesehatan RI, 2006) :
a. Higiene individu yang rendah dalam hal mencuci tangan sebelum dan sesudah
makan
b. Higiene makanan dan minuman yang rendah
c. Sanitasi lingkungan yang kumuh
d. Penyediaan air bersih yang kurang memadai
e. Jamban keluarga yang tidak memenuhi standard
7
f. Pasien atau carier tifoid yang tidak diobati secara sempurna
g. Belum membudaya program edukasi imunisasi yang tepat

II.5 Patogenesis dan Perjalanan Penyakit

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses mulai dari penempelan


bakteri ke lumen usus, bakteri bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, bertahan
hidup di aliran darah dan menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan keluarnya
elektrolit dan air ke lumen intestinal (Ardiaria, 2019).
Bakteri S. typhi bersama makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh
melalui mulut.Pada saat melewati lambung dengan suasana asam banyak bakteri
yang mati.Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus, melekat pada sel
mukosa kemudian menginvasi dan menembus dinding usus tepatnya di ileum dan
jejunum. Sel M, sel epitel yang melapisi Peyer’s patch merupakan tempat bertahan
hidup dan multiplikasi S. typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus
menimbulkan tukak pada mukosa usus. Tukak dapat mengakibatkan perdarahan
dan perforasi usus.Kemudian mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika
bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan Reticulo
Endothelial System (RES) di organ hati dan limpa. Setelah periode proses inkubasi,
S. typhi keluar dari habitatnya melalui duktus torasikus masuk ke sirkulasi sistemik
mencapai hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari
ileum terminal. Ekskresi bakteri di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus
atau dikeluarkan melalui feses. Endotoksin merangsang makrofag di hati, limpa,
kelenjar limfoid intestinal dan mesenterika untuk melepaskan produknya yang
secara lokal menyebabkan nekrosis intestinal ataupun sel hati dan secara sistemik
menyebabkan gejala klinis pada demam tifoid. Penularan Salmonella typhi
sebagian besar jalur fekal oral, yaitu melalui makanan atau minuman yang tercemar
oleh bakteri yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar
bersama dengan feses. Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu
hamil yang berada pada keadaan bakterimia kepada bayinya (Ardiaria, 2019).

II.6 Manifestasi Klinik

Gejala penyakit ini berkembang selama satu sampai dua minggu setelah
seorang pasien terinfeksi oleh bakteri tersebut. Gejala umum yang terjadi pada
penyakit tifoid adalah Demam naik secara bertangga pada minggu pertama lalu

8
demam menetap (kontinyu) atau remiten pada minggu kedua. Demam terutama
sore/malam hari, sakit kepala, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau
diare. Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada
semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2
hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septisemia oleh karena
Streptococcus atau Pneumococcus daripada S. typhi. Sakit kepala hebat yang
menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis,di sisi lain S. Typhi
juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi
gejala mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik
atau koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Pada tahap
lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus (Ardiaria, 2019).

II.7 Diagnosis Typhoid

Sesuai dengan rekomendasi IDAI pada tahun 2016 tentang uji diagnosis awal
tifoid, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
a. Uji baku emas diagnosis demam tifoid sampai saat ini adalah kultur. Kultur darah
mempunyai sensitivitas terbaik (40–60%) bila dilakukan pada minggu pertama -
awal minggu kedua.
b. Pada anak yang menderita demam ≥6 hari dengan gejala ke arah demam tifoid,
untuk pengobatan pasien segera dapat digunakan pemeriksaan serologis antibodi
terhadap antibodi Salmonella typhi.
c. Pemeriksaan Widal untuk diagnosis demam tifoid tidak direkomendasikan,
karena memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah.

Disisi lain, terdapat uji yang direkomendasikan sebagai pemeriksaan penunjang


tifoid, yaitu :
a. Pemeriksaan PCR
Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap S. Typhi hanya membutuhkan
waktu kurang dari 8 jam, dan memiliki sensitivitas yang tinggi sehingga lebih
unggul dibanding pemeriksaan biakan darah biasa yang membutuhkan waktu 5–
7 hari. In-flagelin PCR terhadap S. Typhi memiliki sensitivitas 93,58% dan
spesifisitas 87,9%. Pemeriksaan nestedpolymerase chain reaction (PCR)
menggunakan primer H1-d dapat digunakan untuk mengamplifikasi gen spesifik
S. typhi dari darah pasien dan merupakan pemeriksaan diagnostik cepat yang
9
menjanjikan. Pemeriksaan nested PCR terhadap gen flagelin (fliC) dari S. typhi
dapat dideteksi dari spesimen urin, darah maupun tinja.
b. Pemeriksaan serologis
Pemeriksaan serologis demam tifoid secara garis besar terbagi atas pemeriksaan
antibodi dan pemeriksaan antigen. Pemeriksaan antibodi paling sering dilakukan
saat ini, termasuk didalamnya adalah test Widal, test Hemaglutinin (HA),
Countercurrent immunoelectrophoresis (CIE), dan test cepat/rapid test
(Typhidot, TUBEX). Sedangkan pemeriksaan antigen S. Typhii dapat dilakukan
melalui pemeriksaan protein antigen dan protein Vibaik menggunakan ELISA/
koaglutinasi namun sampai saat ini masih dalam penelitian jumlah kecil.
a) Pemeriksaan serologis test cepat/rapid test
Pemeriksaan serologis test cepat antibodi S. Typhi saat ini merupakan
diagnostik bantu yang paling banyak dilaporkan dan dikembangkan,
mengingat sebagian besar penderita demam tifoid adalah penduduk negara
berkembang dengan sarana laboratoriumnya terbatas. Alat diagnostik seperti
Typhidot dan Tubex mendeteksi antibodi IgM terhadap antigen spesifik
outermembrane protein (OMP) dan O9 lipopolisakarida dari S. Typhi. Telah
banyak penelitian yang membuktikan bahwa pemeriksaan ini memiliki
sensitivitas dan spesifisitas hampir 100% pada pasien demam tifoid dengan
biakan darah positif S. Typhi. Pemeriksaan antibodi IgM terhadap antigen O9
lipopolisakarida S. Typhi (Tubex)R dan IgM terhadap S. Typhi (Typhidot)R
memiliki sensitivitas dan spesifisitas berkisar 70% dan 80%.
b) Pemeriksaan Widal
Pemeriksaan Widal mengukur kadar antibodi terhadap antigen O dan H dari
S. Typhi dan sudah digunakan lebih dari 100 tahun. Pemeriksaan Widal
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah, sehingga penggunaannya
sebagai satu-satunya pemeriksaan penunjang di daerah endemis dapat
mengakibatkan overdiagnosis. Pada umumnya antibodi O meningkat di hari
ke-6-8 dan antibodi H hari ke 10-12 sejak awal penyakit. Interpretasi
pemeriksaan Widal harus dilakukan secara hati-hati karena dipengaruhi
beberapa faktor yaitu stadium penyakit, pemberian antibiotik, teknik
laboratorium, endemisitas dan riwayat imunisasi demam tifoid. Sensitifitas
dan spesifisitas Widal rendah tergantung, kualitas antigen yang digunakan,
bahkan dapat memberikan hasil negatif hingga 30% dari sampel biakan
10
positif demam tifoid. Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 69%,
spesifisitas 83%. Hasil pemeriksaan Widal positif palsu dapat terjadi oleh
karena reaksi silang dengan non-typhoidal Salmonella, infeksi bakteri
enterobacteriaceae lain, infeksi dengue dan malaria, riwayat imunisasi
tifoid atau standardisasi reagen yang kurang baik. Hasil negatif palsu dapat
terjadi karena teknik pemeriksaan tidak benar, penggunaan antibiotik
sebelumnya, atau produksi antibodi tidak adekuat.
c. Pemeriksaan hematologi
Pemeriksaan hematologi untuk demam tifoid tidak spesifik. Leukopeni
sering dijumpai namun bisa terjadi leukositosis pada keadaan adanya
penyulit misalnya perforasi. Trombositopenia dapat terjadi, namun bersifat
reversibel. Anemia pada demam tifoid dapat disebabkan depresi sumsum
tulang dan perdarahan intra intestinal. Pada hitung jenis dapat ditemukan
aneosinofilia dan limfositosis relatif. Pada demam tifoid dapat terjadi
hepatitis tifosa ditandai peningkatan fungsi hati tanpa adanya penyebab
hepatitis yang lain.

11
II.8 Tatalaksana
Menurut KEMENKES No. 36 tahun 2006, penatalaksanaan penyakit tifoid
mimiliki beberapa tujuan yang diharapkan untuk dicapai :
a. Optimalisasi pengobatan dan mempercepat proses penyembuhan
b. Observasi tehadap perjalanan penyakit
c. Minimaliasi angka komplikasi
d. Sebagai proses isolasi untuk menjamin pencegahan terhadap pencemaran dan atau
kontaminasi.
Farmakoterapi yang digunakan dalam pengobatan penyakit tifoid dibagi
menjadi 2 pengobatan, yaitu pengobatan untuk penyakit tifoid tanpa komplikasi dan
pengobatan untuk kasus tifoid dengan komplikasi atau penyulit. Pengobatan yang
direkomendasikan membutuhkan waktu pemberian selama 7 hari bagi kasus tanpa
komplikasi, sedangkan untuk kasus berat yang tidak memungkinkan untuk
dilakukan pemberian secara per oral (PO) memerlukan waktu selama 14 – 21 hari.

Kasus tanpa Komplikasi


Tanpa resistensi terhadap Ciprofloxacin Ciprofloxacin PO
Anak : 15 mg/KgBB 2 kali per hari

Resistensi terhadap Ciprofloxacin Azithromycin PO


Anak : 10 – 20 mg/KgBB 1 kali per hari
Atau
Cefixime PO
Anak : 10 mg/KgBB 2 kali sehari
(Maks. 400 mg per hari)

Region yang memiliki data terhadap Chloramfenicol PO


indikasi kerentanan antibiotik diatas Anak umur 1 – 13 tahun : 25 mg/KgBB
3 kali per hari, Anak umur >13 tahun
hingga dewasa : 1 gr 3 kali per hari

Amoxicillin PO
Anak : 30 mg/KgBB 3 kali per hari

Co – Trimoxazole PO
Anak : 20 mg SMX + 4 mg TMP/ KgBB
2 kali per hari (Maks. 1600 mg SMX +
320 mg TMP per hari)
Sumber : (Médecins Sans Frontières, 2019)

12
Kasus yang Berat
Tanpa resistensi terhadap ciproflxacin Ceftriaxone IV
Atau Anak : 50 – 100 mg /KgBB 1 kali per hari
Dengan resistensi terhadap ciprofloxacin (Maks. 4 gr per hari)
Region yang memiliki data terhadap Chloramfenicol IV
indikasi kerentanan antibiotik diatas Anak : 1 – 13 tahun 25 mg/KgBB setiap 8
jam (maks. 3 gr per hari)
Anak usia >13 tahun hingga dewasa : 1 gr
setiap 8 jam
Amphicilin IV
Anak : 50 mg/KgBB setiap 6 – 8 jam
(Maks. 3 gr per hari)

II.9 Pencegahan

Pencegahan yang dilakukan memerlukan adanya kontribusi lintas sektoral


dari pelaku kesehatan, pemerintah dan masyarakat. Pencegahan yang efektif
dengan program yang disusun dengan cermat di Indonesia adalah vaksinasi. Vaksin
kuman utuh konvensional yang diberikan secara parenteral sudah lama dikenal dan
digunakan di Indonesia. Sejak tahun 1960-an, program imunisasi menggunakan
vaksin tersebut untuk bayi-bayi dihentikan karena efek sampingnya. Sejak saat itu
insidens demam tifuid meningkat. Saat ini terdapat dua vaksin untuk demam tifuid
yang relatif baru dan beredar di Indonesia, yaitu vaksin Ty2la (Vvotiv ®), yang
merupakan vaksin oral yang dilemahkan dalam formulasi kapsul enteric coated
yang memiliki efisiensi 42-53%, dan vaksin parenteral Vi polisakharida kapsul
(TyphimVi®) yang mengandung antigen Vi S. typhi yang dimurnikan dan memiliki
efisiensi 64-80% (Simanjuntak, 1998).
Parenteral Vi polysaccharide dan vaksin oral Ty21a hingga sekarang
merupakan vaksin yang direkomendasikan di berbagai negara. Vaksin Vi
polysaccharide diberikan dalam injeksi dosis tunggal yang dapat diberikan pada
individu dewasa dan anak dengan usia ≥ 2 tahun, sedangkan vaksin oral Ty21
diberikan dalam 4 kali dosis pemberian selama 1 minggu yang dapat diberikan bagi
individu dewasa dan anak usia ≥ 6 tahun.

13
Pemberian vaksin tak luput dari efek samping yang dimiliki. Di Indonesia,
laporan tentang adanya efek samping pemberian vaksin tifoid masih belum
terakomodir dengan tepat akibat dari limitasi data dan transparansi konsumen dalam
laporan efek samping vaksin tifoid. Di Amerika serikat, dilakukan studi analisis data
yang menyebutkan bahwa efek samping pemberian vaksin parenteral Vi yang umum
terjadi adalah rasa nyeri pada lokasi injeksi (77%), sensitifitas pada rasa sentuhan
(75%) dan nyeri otot (39%). Pada penelitian postmarketing surveillance yang
dilakukan oleh U.S. Vaccine Adverse Events Reporting System (VAERS) dari tahun
1995 – 2002 menjabarkan sekitar 0.3 kasus berat dari efek samping pemberian vaksin
per 100.000 pasien.
Pemberian vaksin Ty21a secara oral memberikan efek samping yang lebih
minimal. Hanya sekitar 10% dari setiap laporan berupa nyeri abdomen (6,4%),
nausea (5,8%), pusing (4,8%), demam (3,3%), diare (2,9%), mual dan muntah
(1,5%), atau nyeri kulit (1,0%) (Jackson, et al., 2015).

II.10 Komplikasi
Pada kasus berat, komplikasi yang bisa terjadi antara lain anikterik hepatitis,
supresi sumsum tulang, ileus paralitik, miokarditis, psikosis/ ensefalopati,
kolesistitis, osteomyelitis, peritonitis, pnemonia, hemolisis dan syndrome of
inappropriate release of antidiuretic hormone (SIADH) (IDAI, 2016).

II.11 Prognosis

Prognosis dari demam tifoid sangat bergantung pada kecepatan penegakan


diagnosis dan penatalaksanaan yang adekuat. Secara umum, angka mortalitas akibat
dari kasus yang tidak diberikan penatalaksanaan adalah 15%-30%. Sedangkan pada

14
kasus yang segera dilakukan penatalaksanaan yang tepat memiiki angka mortalitas
kurang dari 1%. (Brusch, 2019)

15
BAB III
KESIMPULAN

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Salmonella yang mencemari makanan dan
minuman menyebabkan demam tifoid. Diagnosis yang terlambat dan pengobatan
yang salah dapat berakibat fatal pada pada penderita demam tifoid karena
menyebabkan pendarahan saluran cerna yang mengakibatkan kematian
Penyakit tifoid disebakan oleh Salmonella typhi yaitu bakteri enterik gram
negatif berbentuk basil dan bersifat patogen pada manusia. Penyakit ini mudah
berpindah dari satu orang ke orang lain yang kurang menjaga kebersihan diri dan
lingkungannya yaitu penularan secara langsung jika bakteri ini terdapat pada feses,
urine atau muntahan penderita dapat menularkan kepada orang lain dan secara tidak
langsung melalui makanan atau minuman.
Tatalaksana penyakit tifoid dibagi menjadi 2 klasifikasi, yaitu pengobatan
untuk penyakit tifoid tanpa komplikasi dan pengobatan untuk kasus tifoid dengan
komplikasi atau penyulit. Pengobatan yang direkomendasikan membutuhkan waktu
pemberian selama 7 hari bagi kasus tanpa komplikasi, sedangkan untuk kasus berat
yang tidak memungkinkan untuk dilakukan pemberian secara per oral (PO)
memerlukan waktu selama 14 – 21 hari.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ardiaria, M., 2019. Epidemiologi, Manifestasi Klinis, dan Penatalaksanaan Demam Tifoid.
Journal of Nutrition and Health, 7(2), pp. 32-38.

Ariyanti, T. & Supar, n.d. Problematik Salmonellosis pada Manusia. Lokakarya Nasional
Penyakit Zoonosis , pp. 161-171.

Brusch, J. L., 2019. Medscape. [Online]


Available at: https://emedicine.medscape.com/article/231135-followup#e5
[Accessed 23rd February 2020].

Hardianto, D., 2019. Telaah Metode Diagnosis Cepat dan Pengobatan Infeksi Salmonella
typhi. BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA, 6(1), pp. 149-158.

IDAI, 2016. Rekomendasi IDAI mengenai Pemeriksaan Penunjang Diagnostik Demam


Tifoid. Jakarta, UKK Infeksi dan Penyakit Tropis IDAI.

Jackson, B. R., Iqbal, S. & Mahon, B., 2015. Updated Recommendations for the Use of
Typhoid Vaccine — Advisory Committee on Immunization Practices, United States, 2015.
Morbidity and Mortality Weekly Report, 64(11), pp. 305-308.

Kementrian Kesehatan RI, 2006. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid Menteri


Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Médecins Sans Frontières, 2019. Médecins Sans Frontières. Clinical guidelines -


Diagnosis and treatment manual. French: Médecins Sans Frontières.

Purba, I. E. et al., 2016. Program Pengendalian Demam Tifoid di Indonesia: Tantangan dan
Peluang. Media Litbangkes, Vol. 26 No. 2, pp. 99-108.

Simanjuntak, C. H., 1998. The Development of Typhoid Vaccine in Indonesia. Med J


Indonesia, 1(1), pp. 114-116.

17

Anda mungkin juga menyukai