File PDF
File PDF
TUGAS AKHIR
FERDIANTO
NPM : 1006769032
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1
KEDOKTERAN OKUPASI
JAKARTA
DESEMBER 2013
TUGAS AKHIR
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Spesialis Kedokteran Okupasi dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis-1
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
FERDIANTO
NPM : 1006769032
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1
KEDOKTERAN OKUPASI
JAKARTA
DESEMBER 2013
Universitas Indonesia
Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmatNya, saya dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul Studi Deteksi
Toksisitas Pajanan Toluena pada Saraf Optik Tikus Wistar Jantan. Penulisan
tugas akhir ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
mencapai gelar spesialis okupasi pada Program Pendidikan Dokter Spesialis-1
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari penyusunan proposal sampai
pada penulisan hasil penelitian ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan
tugas akhir ini. Oleh karena itu saya mengucapkan terima kasih kepada:
(1) Dr. dr. Astrid Sulistomo, MPH, SpOk dan dr. H. Ahmad Aulia Jusuf, AHK,
PhD selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga dan
pikiran didalam membimbing saya dalam penyusunan tugas akhir ini.
(2) Dr.Muchtaruddin Mansyur, MS, SpOk, PhD dan dr. Evelina SpPA yang
telah memberikan saya arahan dalam penelitian ini.
(3) Departemen Patologi Anatomi dan Departemen Histologi FKUI sebagai
tempat berlangsungnya penelitian ini.
(4) Bapak Ricki (Laboratorium Hiperkes), Ibu Puspita, Bapak Slamet dan Bapak
Kanto yang telah membantu saya dalam melaksanakan penelitian ini.
(5) Orangtua, dan keluarga saya yang telah memberikan bantuan dukungan baik
moril maupun materil.
(6) Teman-teman yang telah bersama-sama melaksanakan penelitian ini, dokter:
Stevens, Yusita, Helena, Lukas, Albert, Margarita dan Dyah.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga penelitian ini membawa manfaat
bagi pengembangan ilmu toksikologi.
Ferdianto.
iv Universitas Indonesia
Nama : Ferdianto
Toluena adalah bahan kimia yang banyak digunakan sebagai bahan dasar dan
pelarut di bidang industri. Toluena bersifat neurotoksik, dapat menembus sawar
darah-akson sehingga dapat menyebabkan gangguan di sistim saraf pusat serta
saraf tepi termasuk di saraf optik. Pada penelitian sebelumnya pajanan inhalasi
kronis toluena dosis tinggi pada tikus dapat meningkatan kadar malondialdehyde
(MDA). Penelitian eksperimental ini bertujuan untuk mengetahui efek pajanan
toluena terhadap saraf optik, dengan pemeriksaan kadar MDA plasma, MDA
saraf optik dan histopatologi saraf optik.
Tiga puluh tikus wistar jantan dibagi menjadi lima kelompok, yaitu kelompok
kontrol, kelompok pajanan toluena 12.5 ppm, 25 ppm, 50 ppm, dan 100 ppm
selama 4 jam/hari dalam waktu 2 minggu. Kondisi lingkungan dipertahankan
pada suhu berkisar 25oC-32oC dengan kelembaban relatif 30%-70 % Pemeriksaan
kadar MDA plasma dan MDA saraf optik dilakukan dengan metode
Thiobarbituric Acid Reactive Substances (TBARS). Penilaian histopatologis saraf
optik dengan pewarnaan biru toluidin dan mikroskop cahaya.
Dari hasil penelitian ditemukan perbedaan median nilai histopatologi saraf optik
(p<0.001) yang bermakna antar kelompok. Nilai histopatologi saraf optik mulai
menunjukan perbedaan bermakna pada kelompok dengan pajanan toluena 50
ppm. Tidak terdapat perbedaan rerata kadar MDA saraf optik yang bermakna
antar kelompok pajanan toluena (p=0.056). Pajanan toluena menyebabkan
degenerasi akson dan fibrosis pada saraf optik tikus.
Kata kunci : toluena, MDA plasma, MDA saraf optik, nilai histopatologi saraf
optik
vi Universitas Indonesia
Name : Ferdianto
Nerve
Thirty male wistar rats were divided into five groups: control group, 12.5 ppm,
25 ppm, 50 ppm, and 100 ppm toluene exposure groups, exposure was 4
hours/day for a period of 2 weeks. The environment (temperature and humidity)
was kept in 25oC-32oC and 30%-70%. Measurement of plasma MDA and optic
nerve MDA level was conducted by using Thiobarbituric Acid Reactive
Substances (TBARS). The optic nerve histopathologic was assessed by using
toluidine blue staining and light microscopy.
The result showed there were significant differences in the optic nerve
histopathology score (p<0.001) between groups. Optic nerve histopathology
score began to show significant differences in the group with 50 ppm toluene
exposure. No significant differences were found in the mean levels of optic nerve
MDA between groups (p=0.056). Toluene exposure causes degeneration of axons
and fibrosis in the rat optic nerve.
Keywords: toluene, plasma MDA, optic nerve MDA, optic nerve histopathology
score.
HALAMAN JUDUL…………………………………………………… i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS………………………. ii
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………….. iii
KATA PENGANTAR………………………………………………….. iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI………… v
ABSTRAK……………………………………………………………… vi
ABSTRACT…………………………………………………………….. vii
DAFTAR ISI……………………………………………………………. viii
DAFTAR TABEL………………………………………………………. x
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………… xi
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………. xii
DAFTAR SINGKATAN……………………………………………….. xiii
1. PENDAHULUAN………………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang……………………………………………… 1
1.2 Rumusan Masalah………………………………………….. 2
1.3 Hipotesis Penelitian………………………………………… 3
1.4 Tujuan Penelitian…………………………………………… 4
1.5 Manfaat Penelitian………………………………………….. 4
2. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………….. 5
2.1 Toluena……………………………………………………… 5
2.1.1 Struktur kimia dan penggunaannya............................... 5
2.1.2.Nilai Ambang Batas...................................................... 5
2.1.3 Absorbsi, distribusi, dan metabolisme Toluena............. 6
2.1.4 Reactive Oxygen Species (ROS) dan Lipid
peroksidase…………………………………………..... 8
2.1.5 Dampak kesehatan akibat pajanan toluena…………… 9
2.1.6 Proses nekrosis dan apoptosis……………………....... 10
2.2 Saraf Optik…………………………………………............... 13
2.2.1 Defenisi neuropati optik ……………………............... 14
2.2.2 Anatomi saraf optik……………………........................ 14
2.2.3 Neuropati Optik pada manusia……………………....... 15
2.2.4 Gangguan saraf optik akibat pajanan toluena………… 17
2.3 Kerangka Teori…………………………………………....... 21
2.4 Kerangka Konsep…………………………………………... 22
3. METODOLOGI PENELITIAN………………………………… 23
3.1 Desain Penelitian…………………………………………… 23
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian……………………………… 23
3.3 Sampel Penelitian (hewan coba)……………………………. 24
3.4 Estimasi Besar Sampel……………………………………... 25
3.5 Pemajanan Hewan Coba pada Uap Toluena……………….. 26
viii Universitas Indonesia
4. HASIL PENELITIAN……………………………………………. 39
4.1 Karakteristik Berat Badan Tikus …………………………… 39
4.2 Karakteristik Suhu Chamber dan Kelembaban Chamber…… 40
4.3 Karakteristik Kadar MDA Plasma dan Kadar MDA Saraf
Optik ………………………………………………………... 40
4.4 Karakteristik Nilai Perubahan Histopatologi Saraf Optik…... 44
5. PEMBAHASAN………………………………………………….. 46
5.1 Keterbatasan Penelitian……………………………………… 46
5.2 Berat Badan Tikus Wistar, Suhu Chamber, dan Kelembaban
Chamber…………………………………………………….. 46
5.3 Kadar Malondialdehyde (MDA) Plasma dan MDA Saraf
Optik ………………………………………………………... 47
5.4 Nilai Perubahan Histopatologi Saraf Optik…………………. 48
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………... 52
LAMPIRAN
ix Universitas Indonesia
x Universitas Indonesia
xi Universitas Indonesia
BH-3 : B Homology 3
Ca2+ : Calsium
4-HNE : 4-Hydroxynonenal
LC : Lethal Concentration
MDA : Malondialdehyde
μl : Mikroliter
Nmol : Nanomol
SE : Surat Edaran
BAB 1
PENDAHULUAN
Penggunaan toluena di dunia diperkirakan mencapai 5-10 juta ton per tahun. Di
Eropa kebutuhan toluena di bidang industri sebanyak 2,38 juta ton (2007), di
Amerika Utara kebutuhannya sebanyak satu juta ton (2009).1 Produksi Toluena
pada tahun 1994 di USA diperkirakan lebih dari tiga juta ton.
Menurut data Agency for Toxic Substances and Disease Registry (ATSDR) tahun
2011, jumlah pekerja yang terpajan toluena setiap tahunnya berkisar 4 - 5 juta.
Saat ini diberlakukan beragam Nilai Ambang Batas (NAB) yang
direkomendasikan oleh berbagai lembaga dan negara yang berbeda. NAB toluena
menurut The National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH)
Amerika Serikat adalah 100 ppm, sedangkan Occupational Safety and Health
Administration (OSHA) masih menetapkan 200 ppm, dan American Conference
of Governmental Industrial Hygienist (ACGIH) menetapkan 50 ppm (2009). Di
Indonesia, Nilai Ambang Batas (NAB) untuk toluena adalah 50 ppm berdasarkan
Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-0232-2005.2,3,4 Nilai Ambang Batas
merupakan rujukan yang digunakan oleh praktisi industri khususnya bidang
kesehatan kerja untuk melindungi kesehatan pekerja.
Universitas Indonesia
1
Sel saraf optik mengandung banyak lipid (68,9% pada mielin dan 57% pada
aksolema), 12,13 maka perubahan struktur lipid bisa menimbulkan gangguan pada
saraf optik (pada akson dan mielin). Saraf optik rentan terhadap toksisitas toluena
karena merupakan bagian sistem saraf pusat yang berhubungan dengan fungsi
sensorik fotoreseptor.
Indera penglihatan sangat penting bagi mahluk hidup, saraf optik berperan dalam
penglihatan dengan mengirimkan informasi penglihatan dari retina ke otak.
Kerusakan sel saraf optik akibat pajanan toluena merupakan masalah karena
menggangu fungsi penglihatan akibat hambatan atau terputusnya hantaran listrik
saraf.14.
Universitas Indonesia
Penelitian ini sendiri dibatasi untuk mendeteksi toksisitas pajanan toluena (12.5
ppm, 25 ppm, 50 ppm, dan 100 ppm) pada saraf optik dengan melihat kadar
MDA plasma (darah), MDA saraf optik dan nilai perubahan histopatologi saraf
optik (degenerasi akson dan fibrosis)
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Toluena
2.1.1 Struktur Kimia dan Penggunaannya
Toluena dapat digunakan untuk meningkatkan nilai oktan pada bensin dan dapat
digunakan sebagai pendingin pada reaktor nuklir, karena mempunyai kapabilitas
yang bagus dalam menghantarkan panas.16,17.
Universitas Indonesia
5
NAB toluena menurut NIOSH 100 part per million (ppm), OSHA 200
ppm, ACGIH 50 ppm (2009) sedangkan di Indonesia NAB toluena adalah 50
ppm berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-0232-2005. 3,4
Universitas Indonesia
terminal 72 jam. Waktu paruh di jaringan adipose berkisar antara 0,5 – 2,7 hari,
meningkat seiring dengan kenaikan jumlah lemak dalam tubuh. Pada penelitian-
penelitian menggunakan tikus, ditemukan bahwa segera setelah terpajan toluena
secara inhalasi, maka ditemukan kadar toluena yang tinggi di lemak tubuh,
sumsum tulang, spinal nerves, spinal cord, dan substantia putih di otak.
Metabolisme inhalasi toluena didalam tubuh, bila terhirup 25%-40% dari toluena
dikeluarkan kembali melalui ekspirasi. Kira-kira 60%-75% toluena
dimetabolisme di hati menjadi Benzyl Alcohol, kemudian dioksidasi oleh enzim
alcohol dehidrogenase dan cytochrome P450 (CYP) menjadi benzaldeyhide.
Benzadehyde kemudian diubah menjadi benzoic Acid dan benzylmercapturic Acid
oleh aldehyde dehidrogenase-2 (ALDH-2) dan aldehyde dehidrogenase-1
(ALDH-1).19-21 selanjutnya benzoic acid sendiri dimetabolisme menjadi hippuric
acid. hippuric Acid dan benzylmercapturic Acid merupakan hasil metabolisme
toluena route primer yang dikeluarkan dalam urine dan digunakan sebagai
penanda biologis.19,20 Karena benzylmercapturic acid tidak terdeteksi pada
individu yang tidak terpajan oleh toluena, lebih sensitif dari hippuric acid pada
konsentrasi yang rendah sampai dengan 15 ppm, dan tidak dipengaruhi oleh
makanan atau minuman, maka benzylmercapturic acid dipakai menjadi penanda
biologis pajanan toluena.22-24
Pada pajanan toluena, maka perubahan sel yang terdeteksi pertama kali, adalah
perubahan secara biomolekuler, lalu baru diikuti oleh perubahan histopatologi.
Pada tahap biomolekuler, toluena yang bersifat lipofilik dapat mengubah struktur
lipid membran sel, yang berfungsi sebagai pembungkus mitokondria dan
berperan penting dalam kehidupan sel sehingga mengganggu integritas dan
fluiditas membran tersebut.
Mitokondria merupakan penghasil utama energi sel Adenosine Tri Phosfat (ATP)
melalui respirasi mitokondria atau reaksi fosforilasi oksidatif (OXPHOS,
Oxidative phosphorilation) dan juga berfungsi mendapat Ca2+ Sitosol serta
mengisolasi faktor-faktor proapoptotik. Respirasi mitokondria terjadi melalui
serangkaian reaksi oksidasi reduksi dengan menggunakan energi yang berasal
dari degradasi oksidatif senyawa karbon. Mekanisme stress oksidatif yang
diakibatkan pajanan toluena diperankan oleh benzyl alkohol yang menginduksi
sitokrom P450 (CYP) 2E1-dependent microsomal monooxygenase dan
mengaktifkan fagosit. Induksi aktivasi sitokrom P450 menghasilkan Reactive
Oxygen Species (ROS) yang berupa radikal bebas, yaitu suatu molekul yang
memiliki elektron ganjil atau tidak berpasangan di orbit terluar. Penambahan satu
buah elektron pada O2 menghasilkan superoksida (O2-), penambahan elektron dan
dua ion hydrogen membentuk hydrogen peroksida (H2O2), dan bila bergabung
dengan O2- menghasilkan radikal hidroksil (OH). Radikal hidroksil cepat
berinteraksi dengan makromolekul sehingga dapat menyebabkan kerusakan
protein, lipid, dan Deoxy Nucleotida Acid (DNA).
Karena dianggap sebagai metabolit toksik maka secara alami ROS mengalami
dekomposisi oleh enzim antioksidan khusus yaitu superoxide dismutase (SOD) di
mitokondria yang mengandung Mn, MnSOD, dan antioksidan di sitosol terdiri
dari Cu dan Zn, Cu/ZnSOD, glutathion peroksidase (GSH-Px) dan phospolipid
hydroperoxide glutahathione peroxidase.
Dampak kesehatan akibat pajanan toluena berkaitan erat dengan daya racun
toluena itu sendiri yang dipengaruhi oleh:
1. Dosis pajanan
Apabila individu terpajan dalam dosis melebihi Time Weighted Average
(TWA) maka toksisitas toluena terhadap individu semakin besar. 16
2. Lama pajanan
Semakin lama pajanan maka efek toksik toluena semakin besar. Efek
yang timbul pada pajanan akut berbeda dengan pajanan kronik. Kronisitas
pajanan menentukan tingkat kerusakan organ. 16
3. Rute pajanan
Seperti diketahui bahwa toluena dapat masuk ke dalam tubuh melalui tiga
mekanisme, yaitu inhalasi, ingesti, dan kontak langsung oleh kulit. Rute
pajanan yang paling sering terjadi dan paling berbahaya adalah melalui
inhalasi karena uap toluena yang terhirup melalui udara ambient secara
cepat diabsorbsi oleh tubuh sehingga intoksikasi lebih mudah terjadi. Efek
toksik toluena per inhalasi adalah iritasi hidung, tenggorokan, dan saluran
napas. Komplikasi pernapasan yang sering muncul adalah bronkospasme
dan udem pulmoner. Efek pada paru tikus terjadi iritasi paru, lesi
perkembangan paru dan inflamasi sel epitel mukosa. Selain itu susunan
saraf pusat juga merupakan target utama dari pajanan toluena perinhalasi,
dengan gejala antara lain ataksia. Efek neurologis pada tikus dapat terjadi
hilang pendengaran, penurunan berat otak, perubahan konsentrasi
Universitas Indonesia
Pada konsentrasi tinggi, toluena menyebabkan efek berbahaya pada manusia. Uap
toluena lebih berat dari udara dan dapat melalui tanah, namun tingkat
kontaminasi udara yang berbahaya adalah oleh penguapan toluena pada suhu 20o
C. Efek pajanan akut dan kronik dari toluena yang utama adalah pada sistim saraf
pusat, toluena juga mempunyai efek toksik pada saraf optik.
Pada tahap awal, sel yang terkena pajanan zat toluena mengalami injury atau
luka. Injury ini dapat membuat sel kembali menjadi reversible (kembali menjadi
normal) atau irreversible, yang nantinya berlanjut ke arah kematian sel (baik
nekrosis atau apoptosis).
Universitas Indonesia
Pada pemeriksaan histopatologi anatomi cedera pada sel (cell injury), yang dapat
diidentifikasi di bawah mikroskop cahaya adalah pembengkakkan sel, perubahan
lemak khususnya pada sel parenkim (misalnya: liver) yang dimanifestasikan
dengan munculnya vakuola lipid di sitoplasma. Sedangkan pada pembuluh darah
sendiri, dapat terjadi peningkatan protein plasma dan jumlah leukosit, terutama
neutrofil pada keadaan akut. Apabila proses cedera sel berlangsung terus
menerus, dapat mengakibatkan sel-sel tersebut mengalami nekrosis dan
apoptosis.15
Pada sel yang mengalami injury yang berat (dalam hal ini, terkena pajanan
toluena di luar kemampuan sel), maka zat toluena tersebut dapat merusak
membran sel. Membran sel yang rusak menyebabkan ion Calsium (Ca2+) dari
extraselular masuk ke dalam intraselular (sitoplasma), akibatnya di intraselular
(sitoplasma), kadar ion Ca2+ meningkat. Peningkatan kadar ion Ca2+ pada
intraselular menyebabkan permeabilitas membran mitokondria dan retikulum
endoplasma halus meningkat, yang berakibat terjadi kebocoran ion Ca2+ dari
kedua organel sel tersebut ke dalam sitoplasma. Hal tersebut semakin
meningkatkan kadar ion Ca2+ di sitoplasma sel.15
Universitas Indonesia
Apoptosis adalah kematian sel yang terprogram, di mana sel yang terprogam
tersebut mengaktifkan enzim-enzim untuk mendegradasi DNA inti, protein inti,
dan protein sitoplasmik. Pada sel yang mengalami apoptosis, akan terpecah
menjadi fragmen-fragmen yang disebut sebagai badan apoptotik (apoptotic
bodies). Membran plasma pada sel yang mengalami apoptosis tetap intak dan
menjadi target fagositosis oleh makrofag. Pada proses apoptosis, tidak memicu
terjadinya reaksi inflamasi.15
Mekanisme apoptosis terdiri dari dua yaitu melalui jalur intrinsik (disebut juga
jalur mitokondria) dan jalur ekstrinsik (melalui inisiasi reseptor kematian (Death
Receptor)). Pada jalur intrinsik, terjadi pengaktifan protein Bim, Bid, dan Bad
Universitas Indonesia
(ketiga protein ini disebut sebagai Protein BH3). Protein B Homology 3 (BH3)
sendiri merupakan antagonis dari B-cell lymphoma-2 (Bcl-2) dan B-cell
lymphoma-x (Bcl-x) yang merupakan anti apoptotik). Protein BH3 kemudian
mengaktifkan efektor proapoptotik, yaitu Bax dan Bak, yang membentuk
oligomer dan masuk ke dalam membran mitokondria dan membuat channel
(saluran). Pembuatan channel (saluran) di membran mitokondria membuat
membran mitokondria menjadi bocor. Membran mitokondria yang bocor ini
akhirnya akan mengaktifkan Caspase Inisiator, yang kemudian mengaktifkan
Caspase Pelaksana. Caspase Pelaksana mengaktifkan Enzim Endonuklease, yang
nantinya akan mendegradasi DNA inti dan protein inti, dan merusak sitoskeleton.
Akibatnya sel tersebut terpecah menjadi fragmen-fragmen (yang disebut sebagai
badan apoptotik) yang nantinya dimakan oleh makrofag.15
Saraf optik mengirimkan informasi penglihatan dari retina ke otak. Kerusakan sel
saraf optik akibat pajanan toluena merupakan masalah karena menggangu fungsi
penglihatan akibat hambatan atau terputusnya hantaran listrik saraf.14
Universitas Indonesia
Neuropati optik adalah gangguan fungsional atau perubahan patologik pada saraf
optik.28 Kelainan ini dapat mengenai setiap struktur sel saraf optik, baik badan
sel (RGC, retinal ganglion cells), akson, atau keduanya,7 dan dapat terjadi
sebagai akibat kelainan herediter, mekanik (trauma atau kompresi), iskemik, atau
toksik.29
Saraf optik terdiri atas struktur dendrit, badan sel (perikaryon), dan akson.
Dendrit berfungsi membawa impuls ke badan sel, sedangkan akson
menghantarkan impuls menjauhi badan sel. Badan sel terletak di lapisan retina
dalam (ganglion cell layer), sedangkan dendrit bersinaps dengan sel bipolar dan
amakrin di lapisan pleksiform dalam.14
Di bawah mikroskop cahaya, gambaran khas perikaryon adalah badan Nissl, yang
di bawah mikroskop elektron merupakan agregat retikulum endoplasma kasar
(rER, rough endoplasmic reticulum) tempat sintesis protein. Organel sel lain
adalah kompleks Golgi, mitokondria, lisosom, dan pigmen lipofusin. Pada sel
saraf tidak dijumpai sentrosom, yang mendukung fakta bahwa sel saraf tidak
menyelenggarakan mitosis dan tidak bereproduksi. Kematian sel saraf tidak
digantikan oleh sel saraf baru.30
Setiap akson dibungkus oleh suatu membran plasma halus, yang disebut
aksolema. Pada akson dapat dijumpai mitokondria, mikrotubul, neurofilamen,
retikulum endoplasma halus, tanpa badan Nissl. Membungkus aksolema adalah
Universitas Indonesia
selubung lemak yang disebut mielin. Mielin adalah struktur lipid multilaminar,12
yang sangat membantu meningkatkan kecepatan serta efisiensi konduksi.8,14
Selubung mielin dibentuk oleh perpanjangan membran sel oligodendrosit, yang
membungkus akson sehingga membentuk silinder berdiameter beberapa puluh
mikrometer.12 Selubung ini terdiri atas perulangan unit-unit lapis-ganda dobel
(multilaminar), yang dipisahkan oleh lapisan akuos setebal 3-4 nm, berselang-
seling antara sitoplasma dan ruang ekstraselular. Kandungan lipid (% berat
kering) mielin secara bermakna lebih tinggi dibandingkan kebanyakan membran
sel lain (68,9%). Aksolema terdiri atas 57% lipid, sedangkan membran interna
mitokondria tersusun oleh 24% lipid. Membran plasma eritrosit manusia dan hati
tikus rnerniliki komposisi protein:lipid hampir 1 :1.12,14
Perkiraan total fiber count pada saraf optik tikus albino (wistar) adalah 100000-
110000 fiber, dengan jumlah unmyelinated fibers sangat kecil dibanding
myelinated fibers. Dengan diameter akson + 0,2-3 mikro meter dan rata-rata
diameter myelin 0,73 mikro meter. Jumlah akson pada saraf optik tikus albino
berkisar antara 96,200 to 108,100 akson. 31,32
Pada neuropati optik terjadi penurunan daya penglihatan dan defek lapang
pandang yang disertai pembengkakan diskus optikus. Anterior Ischemic Optic
Neuropathy (AION) adalah penyebab utama akut optik neuropati pada penderita
usia lanjut. Mempunyai karakteristik penurunan kemampuan penglihatan yang
disertai dengan pembengkakan diskus optikus yang menjadi pucat dan kadang
terdapat perdarahan pada lapisan neuroretinal dan juga terdapat eksudat.
Kehilangan penglihatan biasanya terjadi secara mendadak dan menetap, mungkin
dapat membaik pada beberapa minggu atau bulan setelah onset.33,34
Anterior iskemik optic neuropati diperkirakan sebagai akibat dari proses iskemik
yang mempengaruhi sirkulasi peredaran pembuluh darah posterior yang
mensuplai darah ke nervus optikus yang keluar dari mata. Hanya sel glial yang
menyusun diskus optikus di daerah tersebut dan hanya di situlah pembengkakan
dapat terjadi. Iskemik posterior juga menghasilkan kondisi serupa, tetapi tanpa
disertai pembengkakan dan disebut posterior iskemik optik neuropati. 33,34
Universitas Indonesia
Penyebab dan kondisi yang berhubungan dengan anterior iskemik optic neuropati
berdasarkan Walsh dan Hoyt’s Clinical Neuro-opthalmology adalah : 35
1. Vascular
a. Giant cell arteritis
b. Post imunisasi
c. Sifilis
d. Radiasi nekrosis
e. SLE
f. Vasculitis alergi
2. Sistemik vaskulopati
a. Hipertensi
b. Diabetes mellitus
c. Migraine
d. atherosclerosis
3. Hematologi
a. Polisitemia vera
b. Defisiensi G-6-PD
c. Penyakit Sickle cell
4. Ocular
a. Post katarak
b. Glaucoma
Gejala Klinis
1. Ketajaman penglihatan yang turun mendadak disertai dengan skotoma
(defek lapang pandang) sesuai dengan gambaran serat saraf retina
2. Bila disertai nyeri atau nyeri tekan kulit kepala maka diagnosis arteritis
sel raksasa (Giant cell arteritis).
3. Serangan-serangan gelap yang berlangsung beberapa detik atau menit
yang kemudian kembali menjadi normal (Amaurosis Fugaks).
4. Lempeng optik yang membengkak dan mengalami perdarahan dengan
retina dan pembuluh darah retina normal. Pada Iskemik Optik Neuropati
arteritis, lempeng dapat terlihat pucat.
Universitas Indonesia
Penatalaksaan
Pada jenis non arteritik pengobatan ditujukan terhadap faktor dasar dan faktor
pencetusnya kadang-kadang ditemukan adanya perdarahan peripapil tapi tidak
pernah dikemukakan adanya eksudat pada retina. Jenis arteritis diberi
kortikosteroid yang mempunyai efek anti-inflamasi dan memodifikasi respon
imunitas tubuh. Methylprednisolone dapat menurunkan inflamasi dengan
mesupresi migrasi dari leukosit PMN dan meningkatkan permeabilitas kapiler.
Diberikan secara intravena dengan dosis 1 gram selama 3 hari dilanjutkan dengan
prednisone 100 mg selama 10 hari.33
Pada orang dewasa, sistem saraf dilindungi oleh sawar darah-otak dan sawar
darah akson. Sawar ini bekerja efektif untuk mencegah transfer senyawa dengan
Universitas Indonesia
berat molekul besar dari sirkulasi ke saraf optik, tetapi tidak melindungi saraf dari
toksin yang merusak sawar atau zat lipofilik seperti toluena.38
Toluena bekerja menekan sistem saraf pusat (SSP). Pada manusia, intoksikasi
ringan (mild exposure, 100-1500 ppm) toluena menyebabkan euforia, pusing,
rasa bingung (confusion), vertigo, halusinasi, tinitus, neuropati perifer, stupor,
dan koma. Pada dosis lebih besar (l0.000-30.000 ppm), dapat terjadi aritmia,
paralisis, koma, dan kematian. Gejala sisa pada SSP dapat berupa neuropsikosis,
atrofi korteks serebri, degenerasi serebelum, neuropati optik dan perifer,
penurunan kemampuan kognitif, kebutaan, ototoksisitas, dan tuli.38-43 Pada tikus,
depresi SSP dan perubahan perilaku terlihat pada dosis inhalasi toluena sebesar
2600-12.000 ppm selama tiga jam dan menunjukkan keterkaitan dosis.
Kehilangan pendengaran diamati pada pajanan 1000 ppm, 14 jam/hari selama dua
minggu.44
Sistem saraf merupakan sistem yang sangat rumit dan berkembang melalui proses
panjang berupa migrasi dan diferensiasi, serta pematangan sinaps. Dengan
demikian, gangguan oleh bahan kimia dalam proses perkembangannya bisa
membawa dampak buruk pada struktur dan fungsi sistem saraf. Perbaikan fungsi
Universitas Indonesia
Scot, holz and McCord (1933), melakukan studi histopatologi inhalasi methyl
alcohol 1000 ppm selama 7 jam/hari selama 6 hari pada monyet menunjukan
degenerasi ganglion sel pada retina, degenerasi dan fibrosis pada saraf optik.46
Fibrosis adalah deposit luas dari kolagen pada jaringan. Pada proses fibrosis
terjadi pembentukan jaringan ikat kolagen yang berlebihan dalam suatu organ
atau jaringan dalam sebuah proses reparatif atau reaktif disertai poliferasi
fibroblast. Salah satu agen fibrogenik yang berperan adalah Transforming growth
factor-beta (TGF- β). TGF- β dihasilkan oleh sebagian besar sel-sel dalam
jaringan granulasi dan menyebabkan migrasi dan proliferasi fibroblast,
peningkatan sintesis kolagen dan fibronektin, dan penurunan degradasi
Extracellular Matrix (ECM). Mekanisme yang menyebabkan aktivasi TGF-β
pada fibrosis tidak diketahui secara pasti, tetapi kematian sel melalui nekrosis
atau apoptosis dan produksi ROS tampaknya menjadi pemicu penting aktivasi,
terlepas dari jaringan tersebut. Pada injury setelah 3-5 hari dapat terbentuk
jaringan granulasi (proliferasi fibroblast, pembuluh darah kapiler pada ECM yang
loggar) kemudian terjadi akumulasi matriks jaringan ikat.15
Penelitian yang dilakukan Schmidt (1986) dan Stone et al. (1987) mengenai
pengaruh ekstasi yang bersifat akut sistemik neurotoksik terhadap penurunan
kadar serotonin otak tikus setelah pemberian secara injeksi subkutaneus,
memperkirakan faktor ekstrapolasi pada tikus 10. Berdasarkan kepustakaan
Krishan K, Anderson ME (2010), Ekstrapolasi antar spesies untuk penilaian
resiko non kanker pada bahan kimia methylene chloride (ME), Trichloroethylene
(TCE), dan Vinyl Chloride (VC) menggunakan Uncertainty Factor (UF) = 10
untuk pajanan oral. Pada pajanan inhalasi digunakan UF = 3 untuk
Universitas Indonesia
Penelitian meta analisis Benignus VA, Boyes WK, Elaina MK, Bushnell PJ
(2007), bertujuan untuk memperkirakan dose-equivalence equation (DEE) antara
tikus dengan manusia. Signal detection (SIGDET) dikumpulkan dari subjek yang
sama dalam sesi pengujian yang sama, Kurva ini diplotkan bersama dengan rata-
rata keseluruhan dan standard errors univariat untuk setiap periode waktu dalam
penelitian ini. Reaction time (RT) disesuaikan melalui persamaan. ini masih
merupakan perkiraan, diperlukan penelitian lebih lanjut dan farmakokinetik
model untuk memberikan ekstapolasi yang lebih tepat antara tikus dengan
manusia.48
Universitas Indonesia
TOLUENA INHALASI
Jalur Nekrosis
ROS ↑ 4-HNE ↑
Intraseluler TBARS ↑
↑ Permeabilitas membran
mitokondria dan retikulum endoplasma
Enzim-enzim aktif
Universitas Indonesia
Inhalasi toluena
Suhu
Usia
Kebutuhan
oksigen, kerusakan struktur lipid
Nutrisi membran sel
Genetik
Stress psikis
BAB 3
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan bagian penelitian yang berjudul studi deteksi toksisitas
pajanan toluena terhadap berbagai organ dan darah tikus wistar jantan. Penelitian
ini telah lulus kaji etik pada bulan Oktober 2011 dan dilakukan bersama dengan
beberapa rekan peserta Progam Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Okupasi
Universitas Indonesia, yang masing-masing meneliti target organ yang berbeda.
Universitas Indonesia
23
Sampel berupa hewan coba tikus dipilih menurut kriteria tertentu, yaitu tikus dari
ras Rattus norweigicus galur Wistar, jenis kelamin jantan, umur tiga bulan (12
minggu), dengan berat antara 200-250 gram, sehat. Kriteria sehat adalah tidak ada
tanda-tanda infeksi, luka, atau cacat secara visual. Kriteria sehat untuk mata
adalah tidak ada defek pada mata, tidak perubahan warna pada kornea dan
konjungtiva. Tikus yang sakit tidak digunakan dalam penelitian. Hewan coba
diperoleh dari diperoleh dari balai penelitian dan pengembangan (balitbang)
kementerian kesehatan di salemba. Seluruh proses yang meliputi pemeliharaan,
pemajanan, perawatan pasca pemajanan hingga dislokasi servikal dilakukan
dengan bantuan teknisi laboratorium hewan coba berpengalaman.
Pada penelitian toksisitas ini menggunakan hewan coba tikus wistar jantan untuk
melakukan evaluasi toksisitas toluena pada saraf optik. Penelitian ini juga melihat
perubahan histopatologi pada saraf optik sehingga tidak mungkin dilakukan pada
manusia karena pertimbangan etis. Hewan coba tikus banyak digunakan dalam
penelitian experimental karena kemiripan anatomi elemen retina, hewan tikus
lebih murah, lebih mudah di beri perlakuan (di manipulasi).
bertujuan agar hewan coba dapat diminimalkan dari stress. Hewan coba juga
mendapat perlakuan yang sama dalam hal perawatan serta pakan, dan dengan
siklus dark-light 12 jam. Air dan pakan diberikan ad libitum dalam bentuk pellet
(yang diperoleh dari bagian Patologi Anatomik FKUI) dengan komposisi beras
putih, kacang tanah, kacang kedelai, udang rebon, tepung tulang, sagu, dedak,
susu krim, dan suplemen vitamin serta zat besi. Pada tahap penyesuaian tersebut
dilakukan pengamatan keadaan umum dengan melihat aktivitas atau geraknya
untuk menilai tikus tersebut sehat atau tidak.
Kriteria Inklusi :
a. Tikus wistar jantan
b. Umur 3 bulan
c. Berat badan 200-250 gram
d. Tidak ada kelainan anatomis (tidak ada cacat)
Universitas Indonesia
Kriteria Eksklusi : Tikus yang cacat anatomis, terdapat defek di mata, perubahan
warna konjungtiva atau kornea, berat badan kurang dari 200 gram selama proses
adaptasi.
Perlakuan hewan coba sesuai dengan : “Guidelines for the care and use of
laboratory animal : Eight Edition.; 2011”. 51
Universitas Indonesia
Sebagai catatan, NAB (Nilai Ambang Batas) Toluena adalah 50 ppm (part
per million / Bagian Dalam Sejuta) pada manusia. Sedangkan untuk nilai
STEL (Short Term Exposure Limit) (untuk pajanan dalam 15 menit) adalah
sebesar 500 ppm.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pemeriksaan konsentrasi MDA plasma dan saraf optik tikus dilakukan segera atau
paling lambat 1x24 jam setelah tikus tersebut mati seketika atau setelah
diterminasi.
Universitas Indonesia
Nilai normal MDA tergantung metode yang digunakan, lebih dari 4 μmol/l
dengan mengukur TBAR dengan metode kolorimetri, kadar normal hingga 2,5
μmol/l dengan metode fluorometri, dan kadar 0,60 - 1μmol/l dengan metode
HPLC (high performance liquid chromatography).
a. Prinsip
b. Prosedur:
Pada mikroskop cahaya dapat dilihat tampilan saraf optik secara umum.
Hal-hal yang diamati adalah:
(a) Degenerasi akson: adanya perubahan bentuk akson, pembengkakan atau
penciutan akson, kekacauan struktur aksoplasma atau hilangnya akson.
(b) Fibrosis : adanya pembentukan jaringan ikat kolagen yang berlebihan
atau poliferasi fibroblast
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Adalah pajanan toluena inhalasi (yang berasal dari toluena cair yang
menguap) yang diberikan selama 4 jam per hari dalam waktu 14 hari.
Kelompok perlakuan pada penelitian ini, adalah kelompok yang diberi
pajanan sebesar 12,5 ppm (1,6 ml), 25 ppm (3,2 ml), 50 ppm (6,4 ml),
dan 100 ppm (12,8 ml). Kadar pajanan toluena dibuat konstan selama
percobaan dengan memberikan toluena cair setiap jamnya untuk
menggantikan uap toluena yang hilang.
Universitas Indonesia
Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan etik FKUI, dan lulus kaji
etik FKUI untuk percobaan dengan hewan coba tikus wistar jantan.
Universitas Indonesia
Data yang terkumpul diolah dan kemudian dianalisa, program yang dipakai
untuk menguji statistik pada penelitian ini adalah SPSS 16.0 for Windows.
Analisis pada penelitian ini meliputi :
Universitas Indonesia
Masing-masing grup terdiri dari 6 ekor tikus, yang dibagi ke 2 chamber, yang setiap chambernya terdiri dari 3 ekor
tikus
Dua chamber Dua chamber Dua chamber Dua chamber Dua chamber
Sebagai kontrol dipajan dipajan dipajan dipajan
(0 ppm) dalam masing- masing- masing- masing-
waktu masing 12,5 masing 25 masing 50 masing 100
4 jam/hari ppm (1,6 ml) ppm (3,2 ml) ppm (6,4 ml) ppm (12,8 ml)
selama 14 hari. dalam waktu dalam waktu dalam waktu dalam waktu
4 jam/hari 4 jam/hari 4 jam/hari 4 jam/hari
selama 14 selama 14 selama 14 selama 14
hari. hari. hari. hari.
Dilakukan Pemeriksaan :
1. Kadar MDA saraf optik dan MDA plasma.
2. Pemeriksaan mikroskop cahaya dengan pewarnaan biru toluidin untuk melihat
perubahan histopatologi saraf optik.
Tikus yang mati saat periode pemajanan maka tikus tersebut segera dilakukan
pemeriksaan secara lengkap (pemeriksaan histopatologi saraf optik, kadar MDA
plasma, dan kadar MDA saraf optik), dan diikut sertakan sebagai sampel
penelitian. Sedangkan tikus yang mati, saat periode pemeliharaan (sebelum
pemajanan) maka dianggap drop out.
Universitas Indonesia
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Pengumpulan data mulai dilakukan sejak bulan Oktober 2011 sampai dengan
Oktober 2013, Sebelum penelitian dilakukan percobaan pendahuluan
(preliminary study) di Laboratorium Patologi Experimental FKUI untuk
optimalisasi perlakuan, terminasi hewan coba dan pengambilan organ dan darah.
Dari tabel 4.1, berat badan tikus distribusi data normal tapi tidak homogen.
Dari gambar 4.1, data berat badan tikus tidak didapatkan nilai outlier maupun
nilai ekstrim, kuartil pertama (Q1) = 235 gram dan Q3 =243 gram
Universitas Indonesia
39
Dari tabel 4.2, data berat badan tikus tidak memiliki perbedaan bermakna antar
kelompok.
Kelembaban
chamber
Median 65 % 52 % 51 % 62 % 57 %
Minimum-
50-71 % 31-67 % 40-65 % 54-70 % 52-61 %
maksimum
Dari tabel 4.3, suhu chamber dan kelembaban chamber masih dalam batas yang
sesuai.
4.3 Karakteristik Kadar MDA Plasma dan Kadar MDA Saraf Optik
Tabel 4.4 Uji Normalitas dan Homogenitas Kadar MDA plasma, Kadar MDA
Saraf Optik.
Universitas Indonesia
Dari tabel 4.4, dapat dilihat kadar MDA plasma mempunyai distribusi yang tidak
normal, sedangkan kadar MDA saraf optik mempunyai distribusi yang normal
dan homogen.
Tabel 4.5 Perbedaan Median Kadar MDA plasma dan Perbedaan Rerata Kadar
MDA Saraf Optik.
Dari tabel 4.5, didapatkan tidak ada perbedaan median kadar MDA plasma yang
bermakna antar kelompok, dan tidak ada perbedaan rerata kadar MDA saraf optik
yang bermakna antar kelompok.
Universitas Indonesia
a b
Fibrosis
c d
Degenerasi
akson
Dari gambar 4.2, gambar a dan b merupakan gambaran saraf optik dengan
pewarnaan biru toluidin pada kelompok kontrol pembesaran 100x (gambar a) dan
400x (b), menunjukan gambaran akson yang masih baik. Gambar c dan d
merupakan kelompok pajanan toluena 100 ppm, pembesaran 100x (gambar c)
dan 400x (d), pada gambar d terlihat daerah yang mengalami degenerasi akson
dan fibrosis lebih luas dibandingkan dengan kontrol, serta batas jaringan saraf
menjadi kurang jelas
Universitas Indonesia
a b
c d
Gambar a merupakan gambaran saraf optik kelompok I (kontrol) dengan pewarnaan biru toluidin
pembesaran 400x dengan gambaran akson yang masih baik, dan luas daerah yang mengalami
degenerasi akson <10% dari lapangan pandang serta luas daerah yang mengalami fibrosis <10%
dari lapangan pandang. Gambar b merupakan gambaran saraf optik kelompok II (pajanan toluena
12.5 ppm) dengan gambaran histologi sama dengan kelompok kontrol. Gambar c merupakan
gambaran kelompok III (25 ppm) dengan daerah yang mengalami degenerasi akson lebih luas dari
kelompok kontrol dan kelompok II (11-20 % dari lapangan pandang), sedangkan luas daerah
fibrosis tidak berbeda. Gambar d merupakan gambaran kelompok IV (50 ppm) terlihat dengan
daerah yang mengalami degenerasi akson lebih luas lagi dari kelompok kontrol, kelompok II, III
(21-30 % dari lapangan pandang), sedangkan luas daerah fibrosis tidak berbeda. Gambar e
merupakan gambaran kelompok V (pajanan toluena 100 ppm) menunjukan perbedaan pada luas
daerah yang mengalami degenerasi akson dan fibrosis (31-40 % dari lapangan pandang).
Universitas Indonesia
Tabel 4.6 Uji Normalitas dan Homogenitas Nilai Perubahan Histopatologi Saraf
Optik.
Dari tabel 4.6, Nilai perubahan histopatologi saraf optik mempunyai distribusi
yang tidak normal.
Tabel 4.7 Perbedaan Median Nilai Perubahan Histopatologi Saraf Optik antar
Kelompok.
Dari tabel 4.7, didapatkan perbedaan median nilai histopatologi saraf optik yang
bermakna antar kelompok.
Tabel 4.8 Perbedaan Nilai Kemaknaan Perubahan Histopatologi Saraf Optik antar
Kelompok.
Kelompok I II III IV V
I x x x x x
II p = 0.161 x x x x
Universitas Indonesia
Dari tabel 4.8, pada uji Mann Whitney, didapatkan perbedaan median nilai
perubahan histopatologi saraf optik antar kelompok I dan IV, antar kelompok I
dan V, antar kelompok II dan IV, antar kelompok II dan V, antar kelompok III
dan IV, antar kelompok III dan V, serta antar kelompok IV dan V.
Universitas Indonesia
BAB 5
PEMBAHASAN
5.2 Berat Badan Tikus Wistar, Suhu Chamber, dan Kelembaban Chamber
Data berat badan sampel tidak didapatkan perbedaan rerata berat badan antar
kelompok, hal ini dibuktikan setelah dilakukan analisis perbandingan rerata
antar kelompok pajanan dengan uji kruskal walis, p=0.204 (tabel 4.2).
Peneliti melakukan kontrol terhadap variabel suhu dan kelembaban chamber
diantaranya dengan mengunakan kipas di dalam chamber, pengunaan alat
pengukur suhu dan alat pengukur kelembaban. Berdasarkan kepustakaan,
46 Universitas Indonesia
Nilai rerata kadar MDA saraf optik tidak menunjukan perbedaan yang
bermakna antar kelompok pajanan, p=0.056 (tabel 4.4). Kadar MDA plasma
dan kadar MDA saraf optik pada penelitian ini tidak menunjukan perbedaan
rerata yang bermakna antar kelompok pajanan, hal ini dapat disebabkan
oleh :
Dari tabel 5.1, didapatkan perkiraan konversi toluena dari tikus ke manusia
antara 0,2 sampai 0,4 kali konsentrasi pada tikus.
Pada penelitian ini tidak dilakukan penilaian terhadap mielin karena untuk
penilaian mielin diperlukan pewarnaan yang optimal, pulasan biru toluidin
kurang optimal dapat disebabkan oleh asumsi pewarnaan jaringan saraf optik
tidak secara supravital, pulasan secara supravital sulit dilakukan karena
keterbatasan perangkat dan terkait pengambilan berbagai organ lainnya
(penelitian ini dilakukan bersama peneliti lain yang masing-masing meneliti
target organ yang berbeda-beda). Pada penelitian ini dilakukan penilaian
perubahan histopatologi (degenerasi akson dan fibrosis) secara
semikuantitatif.
Universitas Indonesia
BAB 6
6.1 Kesimpulan
2. Tidak terdapat perbedaan rerata kadar MDA saraf optik yang bermakna
antar kelompok pajanan toluena yang diteliti (p=0.056).
6.2 Saran
Universitas Indonesia
50
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
35. Miller NR. Anterior ischemic optic neuropathy. In: Walsh and Hoyt's Clinical
Neuro-Ophthalmology. Vol 1. 1982: p212-26
36. LeBel C, Schatz R. Effect of toluene on rat synaptosomal phospholipid
methylation and membrane fluidity. Biochem Pharmacol. 1989; 38: 4005-11
37. Escobar A, Aruffo C. Chronic thinner intoxication: clinico-pathologic report
of a human case, J Neurol Neurosurg Psychiatry 1980; 43: 986-94
38. Hofman P, Hoyng P, vanderWerf F, Vrensen GF, Schlingemann RO. Lack of
blood-brain barrier properties in microvessels of the prelaminar optic nerve
head. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2001; 42: 895-901
39. Martin K. Toxicity, toluene. 30 May 2006 (cited on april 9th 2011). Available
from url: www.emedicine.com/emerg/topicS94.htm
40. Toluene. Drugs and human performance fact sheets. (cited on april 9th 2011).
Available from url : http://www.nhtsa.dot.gov/people/iniury/research/
jobI8Sdrugs/toluene.htm
41. Laseter J. Solvent abuse monitoring in juveniles. 1993 (cited on april 9th
2011). Available from url: http://www.accuchem.com/doalpdf/solvent.pdf
42. Jagger E. The production of official discourse on 'glue-sniffing'. J Soc Policy.
1997; 26: 445-65
43. Katz B. Lesions produced by infections and inflammations of the central
nervous system In: Miller N, Newman N, editors. Walsh & Hoyt's Clinical
neuroopthalmology. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2005. p. 2572-78.
44. Office of Environmental Health Hazard Assesment (EHAA). Toluene,
Determination of acute reference exposure levels for airborne toxicants.
March 1999 (cited on april 9th 2011). Available from:
http://www.oehha.ca.gov/air/acute rels/pdf/ 108883A.pdf
45. Butt MT, Bolon B. Fundamental neuropathology for pathologists and
toxicologists. 2011. Canada.
46. Lanigan RS. Final report on the safety assessment of Methyl alcohol.
International Journal of Toxicology, 20;57-85. 2001. Washington DC, USA
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Toluena cair
dimasukkan ke Udara keluar dari sisi
wadah yang berada atas chamber
dalam chamber
Chamber
Tertutup
Pompa
80 x 40x 40 cm
Penghasil
(berisi 3 tikus)
4 cm
Udara
(Bubbler)
Keterangan gambar :
Universitas Indonesia
3. Tabel untuk perhitungan pajanan toluena 12.5, 25, 50 dan 100 ppm
adalah:
Pajanan Toluena Pajanan Toluena yang Aliran udara yang Jumlah Toluena
yang diharapkan dibutuhkan dalam keluar dari yang ditambahkan
(dalam ppm) masing-masing chamber chamber setiap jamnya
(berdasarkan hasil
pengukuran di Balai
Hiperkes Bulan
Agustus 2011
(dianggap konstan)
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
1. Uji Normalitas berat badan tikus memakai Uji Shapiro-Wilk didapatkan hasil p=0.114.
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
BB .136 30 .167 .944 30 .114
a Lilliefors Significance Correction
2. Uji Homogenitas berat badan tikus memakai Uji Lavene didapatkan hasil p=0.025.
Test of Homogeneity of Variances
BB
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
3.348 4 25 .025
Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
SUHU .311 350 .000 .826 350 .000
a Lilliefors Significance Correction
Dari hasil uji normalitas Kolmogorov-Smirnov didapatkan hasil : p<0.001, maka data suhu
chamber akan ditransformasi, dan kemudian diuji kembali. Hasilnya adalah sebagai berikut :
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
TRAN_SUH .314 350 .000 .821 350 .000
a Lilliefors Significance Correction
Dari uji normalitas Kolmogorov-Smirnov data hasil transformasi, didapatkan hasil p<0.001.
SUHU
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
17.119 4 345 .000
Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
KELEMBAB .083 350 .000 .973 350 .000
a Lilliefors Significance Correction
Dari hasil uji normalitas Kolmogorov-Smirnov didapatkan hasil : p<0.001, maka data
kelembaban chamber akan ditransformasi, dan kemudian diuji kembali. Hasilnya adalah sebagai
berikut :
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
TRAN_LEM .071 350 .000 .960 350 .000
a Lilliefors Significance Correction
Dari uji normalitas Kolmogorov-Smirnov data hasil transformasi, didapatkan hasil p<0.001.
6. Uji Homogenitas kelembaban chamber memakai Uji Lavene didapatkan hasil p<0.001.
Test of Homogeneity of Variances
KELEMBAB
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
10.865 4 345 .000
8. Hasil perhitungan rerata dan standard deviasi suhu chamber setiap kelompok.
Descriptives
9. Hasil perhitungan rerata dan standard deviasi kelembaban chamber setiap kelompok.
Descriptives
BB
Chi-Square 5.934
Df 4
Asymp. Sig. .204
a Kruskal Wallis Test
b Grouping Variable: KELOMPOK
11. Uji normalitas kadar MDA plasma dengan uji Shapiro-wilk didapatkan hasil p<0.001.
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
MDAPLASM .246 29 .000 .752 29 .000
a Lilliefors Significance Correction
Setelah dilakukan transformasi terhadap kadar MDA plasma, dilakukan kembali uji Shapiro-wilk
didapatkan hasil p=0.042.
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
TRAN_DAR .109 29 .200(*) .925 29 .042
* This is a lower bound of the true significance.
a Lilliefors Significance Correction
12. Uji homogenitas kadar MDA plasma dengan uji Lavene didapatkan nilai p=0.081
Test of Homogeneity of Variances
MDAPLASM
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
2.371 4 24 .081
13. Uji normalitas kadar MDA saraf optik dengan uji Shapiro-wilk didapatkan hasil p=0.013.
Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk
Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk
14. Uji homogenitas kadar MDA saraf optik dengan uji Levene didapatkan nilai p=0.306
MDAsarafO
1.279 4 24 .306
15. Uji normalitas nilai perubahan histopatologi saraf optik dengan uji Shapiro-wilk
didapatkan nilai p<0.001
Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk
Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk
Nilaihisto
3.818 4 21 .017
17. Perhitungan median, nilai minimum dan maksimum kadar MDA plasma dan nilai
Perubahan Histopatologi Saraf Optik.
Kelompok Kelompok
Kelompok Kelompok II Kelompok V
III IV
I (Kontrol) (12.5 ppm) (100 ppm)
(25 ppm) (50 ppm)
Kadar MDA plasma
(dalam nmol/l)
Median 0.89 0.70 1.16 2.67 1.78
Minimum – maksimum 0.53 - 5.90 0.48 - 0.98 0.61 - 2.43 0.47 - 5.41 0.88 – 3.92
Nilai perubahan
histopatologi saraf optik
Median 10 10 11 13 28
Minimum – maksimum 9 - 11 10 - 12 10 – 12 13 - 14 25 - 29
18. Perhitungan rerata dan standard deviasi kadar MDA saraf optik
Descriptives
Median .13500
Variance .004
Minimum .015
Maximum .175
Median .09400
Variance .006
Minimum .038
Maximum .234
Range .196
Median .02550
Variance .002
Minimum .009
Maximum .121
Range .112
Median .08150
Variance .009
Minimum .045
Maximum .271
Range .226
Median .09700
Variance .013
Minimum .063
Maximum .362
Range .299
Kelompok Kelompok
Kelompok Kelompok II Kelompok V
III IV
I (Kontrol) (12.5 ppm) (100 ppm)
(25 ppm) (50 ppm)
Kadar MDA Saraf
Optik (nmol/mg
jaringan)
Mean 0.114 0.127 0.046 0.125 0.146
Standar deviasi 0.065 0.080 0.045 0.095 0.115
19. Uji Kruskal Wallis kadar MDA plasma didapatkan nilai p=0.118.
Test Statistics(a,b)
MDAPLASM
Chi-Square 7.365
df 4
Asymp. Sig. .118
a Kruskal Wallis Test
b Grouping Variable: KELOMPOK
20. Uji Anova One Way kadar MDA saraf optik didapatkan nilai p=0.056.
ANOVA
transMDAsoptik
Total 4.655 28
21. Uji Kruskal Wallis nilai perubahan histopatologis saraf optik didapatkan nilai p<0.001.
a,b
Test Statistics
Nilaihisto
Chi-Square 20.837
df 4
b. Grouping Variable:
kelompok
Kelompok I II III IV V
I x x x x x
II p = 0.161 x x x x