Anda di halaman 1dari 96

UNIVERSITAS INDONESIA

STUDI DETEKSI TOKSISITAS PAJANAN TOLUENA PADA


SARAF OPTIK TIKUS WISTAR JANTAN

TUGAS AKHIR

FERDIANTO
NPM : 1006769032

FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1
KEDOKTERAN OKUPASI
JAKARTA
DESEMBER 2013

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


UNIVERSITAS INDONESIA

STUDI DETEKSI TOKSISITAS PAJANAN TOLUENA PADA


SARAF OPTIK TIKUS WISTAR JANTAN

TUGAS AKHIR
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Spesialis Kedokteran Okupasi dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis-1
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

FERDIANTO
NPM : 1006769032

FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1
KEDOKTERAN OKUPASI
JAKARTA
DESEMBER 2013

Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013
Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmatNya, saya dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul Studi Deteksi
Toksisitas Pajanan Toluena pada Saraf Optik Tikus Wistar Jantan. Penulisan
tugas akhir ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
mencapai gelar spesialis okupasi pada Program Pendidikan Dokter Spesialis-1
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari penyusunan proposal sampai
pada penulisan hasil penelitian ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan
tugas akhir ini. Oleh karena itu saya mengucapkan terima kasih kepada:

(1) Dr. dr. Astrid Sulistomo, MPH, SpOk dan dr. H. Ahmad Aulia Jusuf, AHK,
PhD selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga dan
pikiran didalam membimbing saya dalam penyusunan tugas akhir ini.
(2) Dr.Muchtaruddin Mansyur, MS, SpOk, PhD dan dr. Evelina SpPA yang
telah memberikan saya arahan dalam penelitian ini.
(3) Departemen Patologi Anatomi dan Departemen Histologi FKUI sebagai
tempat berlangsungnya penelitian ini.
(4) Bapak Ricki (Laboratorium Hiperkes), Ibu Puspita, Bapak Slamet dan Bapak
Kanto yang telah membantu saya dalam melaksanakan penelitian ini.
(5) Orangtua, dan keluarga saya yang telah memberikan bantuan dukungan baik
moril maupun materil.
(6) Teman-teman yang telah bersama-sama melaksanakan penelitian ini, dokter:
Stevens, Yusita, Helena, Lukas, Albert, Margarita dan Dyah.

Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga penelitian ini membawa manfaat
bagi pengembangan ilmu toksikologi.

Jakarta, 3 Desember 2013

Ferdianto.

iv Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013
ABSTRAK

Nama : Ferdianto

Program Studi : Program Pendidikan Dokter Spesialis-1

Judul :Studi Deteksi Toksisitas Pajanan Toluena pada Saraf Optik

Tikus Wistar Jantan.

Toluena adalah bahan kimia yang banyak digunakan sebagai bahan dasar dan
pelarut di bidang industri. Toluena bersifat neurotoksik, dapat menembus sawar
darah-akson sehingga dapat menyebabkan gangguan di sistim saraf pusat serta
saraf tepi termasuk di saraf optik. Pada penelitian sebelumnya pajanan inhalasi
kronis toluena dosis tinggi pada tikus dapat meningkatan kadar malondialdehyde
(MDA). Penelitian eksperimental ini bertujuan untuk mengetahui efek pajanan
toluena terhadap saraf optik, dengan pemeriksaan kadar MDA plasma, MDA
saraf optik dan histopatologi saraf optik.

Tiga puluh tikus wistar jantan dibagi menjadi lima kelompok, yaitu kelompok
kontrol, kelompok pajanan toluena 12.5 ppm, 25 ppm, 50 ppm, dan 100 ppm
selama 4 jam/hari dalam waktu 2 minggu. Kondisi lingkungan dipertahankan
pada suhu berkisar 25oC-32oC dengan kelembaban relatif 30%-70 % Pemeriksaan
kadar MDA plasma dan MDA saraf optik dilakukan dengan metode
Thiobarbituric Acid Reactive Substances (TBARS). Penilaian histopatologis saraf
optik dengan pewarnaan biru toluidin dan mikroskop cahaya.

Dari hasil penelitian ditemukan perbedaan median nilai histopatologi saraf optik
(p<0.001) yang bermakna antar kelompok. Nilai histopatologi saraf optik mulai
menunjukan perbedaan bermakna pada kelompok dengan pajanan toluena 50
ppm. Tidak terdapat perbedaan rerata kadar MDA saraf optik yang bermakna
antar kelompok pajanan toluena (p=0.056). Pajanan toluena menyebabkan
degenerasi akson dan fibrosis pada saraf optik tikus.

Kata kunci : toluena, MDA plasma, MDA saraf optik, nilai histopatologi saraf
optik

vi Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


ABSTRACT

Name : Ferdianto

Study Program : Occupational Medicine Specialist Program-1

Title : Toxicity Study of Toluene Exposure in Male Wistar Rat Optic

Nerve

Toluene is a widely used chemical, mostly as basic material and as a solvent in


industry. Toluene is neurotoxic, can penetrate the blood-axons barrier that can
cause disturbances in the central nervous system and peripheral nerves including
the optic nerve. In previous study, chronic inhalation exposure of rats to toluene
in high doses can cause elevated levels of malondialdehyde (MDA). The
objective of this experimental study is to determine the effects of toluene
exposure in the optic nerve, by examining the levels of plasma MDA, optic nerve
MDA and optic nerve histopathology.

Thirty male wistar rats were divided into five groups: control group, 12.5 ppm,
25 ppm, 50 ppm, and 100 ppm toluene exposure groups, exposure was 4
hours/day for a period of 2 weeks. The environment (temperature and humidity)
was kept in 25oC-32oC and 30%-70%. Measurement of plasma MDA and optic
nerve MDA level was conducted by using Thiobarbituric Acid Reactive
Substances (TBARS). The optic nerve histopathologic was assessed by using
toluidine blue staining and light microscopy.

The result showed there were significant differences in the optic nerve
histopathology score (p<0.001) between groups. Optic nerve histopathology
score began to show significant differences in the group with 50 ppm toluene
exposure. No significant differences were found in the mean levels of optic nerve
MDA between groups (p=0.056). Toluene exposure causes degeneration of axons
and fibrosis in the rat optic nerve.

Keywords: toluene, plasma MDA, optic nerve MDA, optic nerve histopathology
score.

vii Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………… i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS………………………. ii
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………….. iii
KATA PENGANTAR………………………………………………….. iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI………… v
ABSTRAK……………………………………………………………… vi
ABSTRACT…………………………………………………………….. vii
DAFTAR ISI……………………………………………………………. viii
DAFTAR TABEL………………………………………………………. x
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………… xi
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………. xii
DAFTAR SINGKATAN……………………………………………….. xiii
1. PENDAHULUAN………………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang……………………………………………… 1
1.2 Rumusan Masalah………………………………………….. 2
1.3 Hipotesis Penelitian………………………………………… 3
1.4 Tujuan Penelitian…………………………………………… 4
1.5 Manfaat Penelitian………………………………………….. 4

2. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………….. 5
2.1 Toluena……………………………………………………… 5
2.1.1 Struktur kimia dan penggunaannya............................... 5
2.1.2.Nilai Ambang Batas...................................................... 5
2.1.3 Absorbsi, distribusi, dan metabolisme Toluena............. 6
2.1.4 Reactive Oxygen Species (ROS) dan Lipid
peroksidase…………………………………………..... 8
2.1.5 Dampak kesehatan akibat pajanan toluena…………… 9
2.1.6 Proses nekrosis dan apoptosis……………………....... 10
2.2 Saraf Optik…………………………………………............... 13
2.2.1 Defenisi neuropati optik ……………………............... 14
2.2.2 Anatomi saraf optik……………………........................ 14
2.2.3 Neuropati Optik pada manusia……………………....... 15
2.2.4 Gangguan saraf optik akibat pajanan toluena………… 17
2.3 Kerangka Teori…………………………………………....... 21
2.4 Kerangka Konsep…………………………………………... 22

3. METODOLOGI PENELITIAN………………………………… 23
3.1 Desain Penelitian…………………………………………… 23
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian……………………………… 23
3.3 Sampel Penelitian (hewan coba)……………………………. 24
3.4 Estimasi Besar Sampel……………………………………... 25
3.5 Pemajanan Hewan Coba pada Uap Toluena……………….. 26
viii Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


3.6 Terminasi dan pengambilan sampel jaringan………………. 28
3.7 Persiapan untuk pewarnaan jaringan Saraf Optik …………. 29
3.8 Pemeriksaan Kadar MDA plasma dan MDA saraf optik...… 30
3.9 Identifikasi Variable Penelitian…………………………….. 32
3.9.1 Penilaian perubahan histopatologi saraf optik yang
dapat dilihat di bawah mikroskop cahaya............................... 32
3.9.2 Definisi Operasional………………………………….. 35
3.10 Etik Penelitian pada hewan coba (Tikus)…………………… 36
3.11 Analisis Statistik……………………………………………. 37
3.12 Alur Penelitian……………………………………………… 38

4. HASIL PENELITIAN……………………………………………. 39
4.1 Karakteristik Berat Badan Tikus …………………………… 39
4.2 Karakteristik Suhu Chamber dan Kelembaban Chamber…… 40
4.3 Karakteristik Kadar MDA Plasma dan Kadar MDA Saraf
Optik ………………………………………………………... 40
4.4 Karakteristik Nilai Perubahan Histopatologi Saraf Optik…... 44

5. PEMBAHASAN………………………………………………….. 46
5.1 Keterbatasan Penelitian……………………………………… 46
5.2 Berat Badan Tikus Wistar, Suhu Chamber, dan Kelembaban
Chamber…………………………………………………….. 46
5.3 Kadar Malondialdehyde (MDA) Plasma dan MDA Saraf
Optik ………………………………………………………... 47
5.4 Nilai Perubahan Histopatologi Saraf Optik…………………. 48

6. KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………... 50


6.1 Kesimpulan…………………………………………………. 50
6.2 Saran………………………………………………………… 50

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………... 52
LAMPIRAN

ix Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Pembagian Kelompok, Pajanan Toluena dan Jumlah Tikus


masing-masing Kelompok……………………………………… 27
Tabel 3.2 Klasifikasi Nilai Histopatologi Degenerasi Akson ……………. 33
Tabel 3.3 Klasifikasi Nilai Histopatologi Fibrosis ……………………….. 34
Tabel 4.1 Uji Normalitas dan Homogenitas Berat Badan Tikus …………. 39
Tabel 4.2 Distribusi Berat Badan Tikus ………………………………….. 40
Tabel 4.3 Distribusi Suhu Chamber dan Kelembaban Chamber…………. 40
Tabel 4.4 Uji Normalitas dan Homogenitas Kadar MDA plasma, Kadar
MDA Saraf Optik………………………………………………. 40
Tabel 4.5 Perbedaan Median Kadar MDA plasma dan Perbedaan Rerata
Kadar MDA Saraf Optik……………………….………………. 41
Tabel 4.6 Uji Normalitas dan Homogenitas Nilai Perubahan Histopatologi
Saraf Optik.……………………………………….……………. 44
Tabel 4.7 Perbedaan Median Nilai Perubahan Histopatologi Saraf Optik
antar Kelompok ………………………………………………... 44
Tabel 4.8 Perbedaan Nilai Kemaknaan Perubahan Histopatologi Saraf
Optik antar Kelompok …………………………………………. 44
Tabel 5.1 Perkiraan Konversi Toluena dari Tikus ke Manusia……………. 49

x Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Struktur Kimia Toluena…………………………………… 5


Gambar 2.2 Kurva Dose-Equivalence Equation (DEE) antara Tikus
dengan Manusia …………………………………………... 20
Gambar 2.3 Kerangka Teori……………………………………………….. 21
Gambar 2.4 Kerangka Konsep…………………………………………….. 22
Gambar 3.1 Alur Penelitian………………………………………………… 38
Gambar 4.1 Boxplot Berat Badan Tikus …………………………………. 39
Gambar 4.2 Gambaran Histopatologi Saraf Optik dengan Mikroskop
Cahaya ……………………………………………………. 42
Gambar 4.3 Gambaran Histopatologi Saraf Optik kelompok I sampai V
dengan Mikroskop Cahaya, Pembesaran 400x, Pewarnaan
Biru Toluidin.……………………………………………… 43

xi Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lampiran Tehnik Percobaan


Lampiran 2. Surat Keterangan Lolos Kaji Etik
Lampiran 3. Lampiran Data Hasil Penelitian
Lampiran 4. Lampiran Uji Statistik Penelitian

xii Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


DAFTAR SINGKATAN

ACGIH : American Conference Governmental Industrial Hygiene

AION : Anterior Ischemic Optic Neuropathy

ALDH-1 : Aldehyde Dehidrogenase-1

ALDH-2 : Aldehyde Dehidrogenase-2

ATSDR : Agency for Toxic Substances and Disease Registry

ATP : Adenosine Triphospate

BCL-2 : B-cell lymphoma-2

Bcl-x : B-cell lymphoma-x

BH-3 : B Homology 3

Balitbang : Balai Penelitian dan Pengembangan

Ca2+ : Calsium

Caspase : Cysteine aspartic acid-specific proteases

CYP : Cytochrome P450

DNA : Deoxy Nucleotide Acid

ECM : Extracellular Matrix

EDTA : Ethylene Diamine Tetra Acid

EPA : Enviromental Protection Agency

ELISA : Enzyme-linked immunosorbent assay

FasL : Fas Ligand

GC-MS : Gas Chromatography-Mass Spectrometry

GLM : Generalized Linier Model

FKUI : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

4-HNE : 4-Hydroxynonenal

HPLC : High Performance Liquid Chromatography

xiii Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


IL-1 : Inter Leukin-1

LC : Lethal Concentration

MDA : Malondialdehyde

MENAKER : Menteri Tenaga Kerja

μl : Mikroliter

NAB : Nilai Ambang Batas

NIOSH : National Institute for Occupational Safety and Health

Nmol : Nanomol

OSHA : Occupational Safety and Health Administration

PEL : Permissible Exposure Limits

ppm : part per million

RGC : Retinal Ganglion Cells

ROS : Reactive Oxigen Spesies

SE : Surat Edaran

SNI : Standar National Indonesia

SOD : Superoxide dismutase

TBA : Thio Barbituric Acid

TBARS : Thiobarbituric acid-recative substance

TGF- β : Transforming growth factor-beta

TLV : Threshold Limit Value

TNF : Tumor Necrosis Factor

TWA : Time Weighted Average

xiv Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Toluena dikenal sebagai methyl benzene ataupun phenylmethane, merupakan


hidrokarbon aromatik. Toluena banyak digunakan di bidang industri sebagai
bahan dasar ataupun sebagai pelarut. Bahan-bahan yang menggunakan toluena
antara lain : pelarut cat, thinner, tinta, lem, produk-produk farmasi, bahan
tambahan produk kosmetik, industri pestisida, crude petroleum, industri plastik,
dan serat sintetik. Di rumah tangga, toluena banyak didapatkan pada disinfektan
dan lem.

Penggunaan toluena di dunia diperkirakan mencapai 5-10 juta ton per tahun. Di
Eropa kebutuhan toluena di bidang industri sebanyak 2,38 juta ton (2007), di
Amerika Utara kebutuhannya sebanyak satu juta ton (2009).1 Produksi Toluena
pada tahun 1994 di USA diperkirakan lebih dari tiga juta ton.

Menurut data Agency for Toxic Substances and Disease Registry (ATSDR) tahun
2011, jumlah pekerja yang terpajan toluena setiap tahunnya berkisar 4 - 5 juta.
Saat ini diberlakukan beragam Nilai Ambang Batas (NAB) yang
direkomendasikan oleh berbagai lembaga dan negara yang berbeda. NAB toluena
menurut The National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH)
Amerika Serikat adalah 100 ppm, sedangkan Occupational Safety and Health
Administration (OSHA) masih menetapkan 200 ppm, dan American Conference
of Governmental Industrial Hygienist (ACGIH) menetapkan 50 ppm (2009). Di
Indonesia, Nilai Ambang Batas (NAB) untuk toluena adalah 50 ppm berdasarkan
Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-0232-2005.2,3,4 Nilai Ambang Batas
merupakan rujukan yang digunakan oleh praktisi industri khususnya bidang
kesehatan kerja untuk melindungi kesehatan pekerja.

Pada tingkat biomolekuler, toluena yang bersifat lipofilik dapat mengubah


struktur lipid membran sel. Gangguan struktur lipid membran sel dapat

Universitas Indonesia
1

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


2

meningkatkan lipid peroksidase. Salah satu pemeriksaan lipid peroksidase adalah


dengan pemeriksaan kadar Malondialdehid (MDA).

Penelitian Kiyokawa M, Mizota A, Takasoh M (2010) mengevaluasi fungsi


penglihatan pasien yang mengalami toksik optik neuropati akibat toluena,
didapatkan Visual Evoked Cortical Potentials (VECP) yang tidak normal pada
pasien yang terpajan toluena dalam jangka waktu lama, diduga toluena
mempunyai efek toksik terhadap saraf optik.5,6 Toluena bersifat neurotoksik,
mudah menguap dan mudah larut dalam lemak (lipofilik), toluena dapat
menembus sawar darah-akson sehingga dapat menyebabkan gangguan di sistim
saraf pusat serta saraf tepi. Kasus neuropati optik akibat pajanan inhalasi kronik
toluena selama tiga tahun dilaporkan oleh Hamilton dan Nixon yang kemudian
diikuti dengan laporan-laporan kasus akibat penyalahgunaan lem (glue-sniffers).7
Pada para penyalahguna toluena ditemukan tanda-tanda neuropati optik yang
bervariasi, seperti penurunan visus sampai kebutaan, gambaran papil optik yang
bervariasi dari normal hingga pucat, defek lapang pandang, dan perubahan Visual
Evoked Potential (VEP).7-11

Sel saraf optik mengandung banyak lipid (68,9% pada mielin dan 57% pada
aksolema), 12,13 maka perubahan struktur lipid bisa menimbulkan gangguan pada
saraf optik (pada akson dan mielin). Saraf optik rentan terhadap toksisitas toluena
karena merupakan bagian sistem saraf pusat yang berhubungan dengan fungsi
sensorik fotoreseptor.

Indera penglihatan sangat penting bagi mahluk hidup, saraf optik berperan dalam
penglihatan dengan mengirimkan informasi penglihatan dari retina ke otak.
Kerusakan sel saraf optik akibat pajanan toluena merupakan masalah karena
menggangu fungsi penglihatan akibat hambatan atau terputusnya hantaran listrik
saraf.14.

1.2. Rumusan Masalah

Penggunaan toluena di bidang industri yang semakin bertambah, menurut


ATSDR jumlah pekerja yang terpajan toluena setiap tahunnya berkisar 4 - 5 juta,
serta terbatasnya penelitian mengenai toluena pada dosis kurang dari NAB,

Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


3

khususnya pengaruhnya terhadap saraf optik merupakan dasar perlu


dilakukannya penelitian ini. Mengingat peneltian seperti ini tidak bisa dilakukan
pada manusia (pertimbangan etis), maka dilakukan studi eksperimen pada tikus.

Penelitian Jovanovic et al, menunjukan toluena dapat menyebabkan penurunan


konduksi saraf dan neuropati pada saraf tepi pekerja yang terpajan pelarut
(solvent) dalam jangka waktu panjang. Penelitian Coskun 0, Oter S, Korkmaz A,
Armuteu F, Kanter M (2005) memberikan pajanan inhalasi toluena 3000 ppm, 8
jam perhari, 6 hari seminggu selama 16 minggu terhadap rat sciatic nerve,
meningkatkan kadar MDA plasma (darah) dan jaringan. Selama ini penelitian
mengenai neurotoksisitas toluena dilakukan pada sistem saraf pusat dan sistem
saraf tepi. Sedangkan penelitian terhadap saraf optik masih terbatas berupa
penemuan klinis dengan pajanan kronis. Penelitian ini menggunakan dosis yang
lebih rendah dengan waktu yang lebih singkat dari penelitian-penelitian
sebelumnya untuk melihat perubahan yang terjadi pada tingkat biomolekuler
(kenaikan kadar MDA) dan perubahan histopatologi.

Penelitian ini sendiri dibatasi untuk mendeteksi toksisitas pajanan toluena (12.5
ppm, 25 ppm, 50 ppm, dan 100 ppm) pada saraf optik dengan melihat kadar
MDA plasma (darah), MDA saraf optik dan nilai perubahan histopatologi saraf
optik (degenerasi akson dan fibrosis)

Pertanyaan penelitian yang timbul, apakah terjadi kenaikan kadar MDA


(Malondialdehid) plasma dan MDA saraf optik setelah pajanan toluena? Apakah
terjadi perubahan pada tingkat histopatologi saraf optik?

1.3. Hipotesis Penelitian

1. Terdapat perbedaan median nilai perubahan histopatologi saraf optik antar


kelompok pajanan toluena yang diteliti (0 ppm, 12.5 ppm, 25 ppm, 50
ppm, dan 100 ppm) pada tikus wistar jantan.

2. Terdapat perbedaan rerata kadar MDA saraf optik antar kelompok


pajanan toluena yang diteliti pada tikus wistar jantan.

Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


4

1.4. Tujuan Penelitian :

1.4.1 Tujuan Umum :

Mengetahui efek pajanan toluena terhadap saraf optik tikus wistar


jantan.

1.4.2 Tujuan Khusus :

1. Diperoleh perbedaan median nilai perubahan histopatologi saraf


optik antar kelompok pajanan toluena yang diteliti (0 ppm, 12.5 ppm,
25 ppm, 50 ppm, dan 100 ppm) pada tikus wistar jantan.
2. Diperoleh perbedaan rerata kadar MDA saraf optik antar kelompok
pajanan toluena yang diteliti pada tikus wistar jantan
3. Diperoleh dosis pajanan toluena terendah dari yang diteliti yang
dapat menyebabkan perubahan nilai histopatologi (degenerasi akson
dan fibrosis) pada saraf optik tikus wistar.

1.5. Manfaat Penelitian :

Untuk memberikan masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan


khususnya mengenai efek toluena terhadap saraf optik sehingga dapat
dilakukan penelitian-penelitian terkait dan berkelanjutan di kemudian
hari.

Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Toluena
2.1.1 Struktur Kimia dan Penggunaannya

Gambar 2.1. Struktur Kimia Toluena


Sumber: United States Department of Health and Human Services. Toxicological profile for
toluene. Agency for Toxic Substances and Disease Registry (ATSDR). September 2000.

Toluena merupakan hidrokarbon aromatik dengan formasi satu atom hydrogen


dari benzena digantikan oleh grup methyl dan mempunyai rumus bangun
C6H5CH3 (gambar 2.1).6 Toluena yang dikenal sebagai methyl benzene ataupun
phenylmethane adalah cairan bening tidak berwarna (pada suhu ruang), tidak
larut dalam air, berbau harum seperti benzena, dan mudah menguap. Toluena
dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia. Jalur masuk toluena ke
tubuh manusia dapat melalui jalur pernafasan, mulut, dan kulit. Toluena biasanya
digunakan sebagai bahan pelarut di industri-industri seperti industri cat, industri
bahan kimia, industri farmasi, dan industri karet.6,16

Toluena dapat digunakan untuk meningkatkan nilai oktan pada bensin dan dapat
digunakan sebagai pendingin pada reaktor nuklir, karena mempunyai kapabilitas
yang bagus dalam menghantarkan panas.16,17.

2.1.2 Nilai Ambang Batas

Nilai Ambang Batas (NAB), yaitu kadar bahan-bahan kimia rata-rata di


lingkungan kerja selama delapan jam perhari atau 40 jam perminggu dimana

Universitas Indonesia
5

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


6

hampir semua tenaga kerja dapat terpajan berulang-ulang, sehari-hari dalam


melakukan pekerjaannya, tanpa mengakibatkan gangguan kesehatan maupun
penyakit akibat kerja (SE-01/MENAKER/1997).18

Tujuan menetapkan Nilai Ambang Batas adalah untuk rekomendasi dalam


melakukan pengendalian lingkungan kerja sebagai upaya untuk mencegah
dampaknya terhadap kesehatan dengan demikian NAB antara lain dapat
digunakan sebagai:
1. Kadar standar untuk perbandingan.
2. Pedoman untuk perencanaan produksi dan perencanaan teknologi
pengendalian bahaya - bahaya di lingkungan kerja.
3. Menetukan substitusi bahan proses produksi yang lebih beracun dengan
bahan yang kurang beracun.

NAB toluena menurut NIOSH 100 part per million (ppm), OSHA 200
ppm, ACGIH 50 ppm (2009) sedangkan di Indonesia NAB toluena adalah 50
ppm berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-0232-2005. 3,4

2.1.3 Absorbsi, Distribusi, dan Metabolisme Toluena

Toluena terutama diabsorbsi melalui saluran pernafasan, kemudian


saluran pencernaan, dan sedikit yang terabsorbsi lewat kulit. Absorbsi melalui
kulit jumlahnya adalah sekitar 1% dari jumlah yang diabsorbsi melalui paru-paru,
ketika sedang terekspose oleh uap toluen. Apabila toluena berbentuk cair, maka
proses absorbsinya lewat kulit lebih besar lagi. Karena sifat toluen yang mudah
dan segera menguap, maka absorbsi melalui jalur kulit lebih sulit. Aktivitas fisik
yang tinggi meningkatkan jumlah toluena yang diabsorbsi melalui saluran
pernafasan.17

Toluena cepat diabsorpsi melalui inhalasi, terdeteksi melalui pembuluh


darah arteri selama 10 detik setelah pajanan inhalasi. Distribusi toluena terjadi
setetelah proses absorbsi, lalu menyebar ke seluruh tubuh. Toluena bersifat
lipofilik, terakumulasi di jaringan adipose dan jaringan yang vaskularisasinya
banyak, konsentrasi tertinggi ditemukan di hati, otak, ginjal, dan darah. Waktu
paruh dalam darah sekitar 4-5 jam ( berkisar 3-6 jam ) dengan waktu paruh

Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


7

terminal 72 jam. Waktu paruh di jaringan adipose berkisar antara 0,5 – 2,7 hari,
meningkat seiring dengan kenaikan jumlah lemak dalam tubuh. Pada penelitian-
penelitian menggunakan tikus, ditemukan bahwa segera setelah terpajan toluena
secara inhalasi, maka ditemukan kadar toluena yang tinggi di lemak tubuh,
sumsum tulang, spinal nerves, spinal cord, dan substantia putih di otak.

Toksisitas toluena berbahaya bagi kesehatan manusia. Rute masuk toluena ke


tubuh manusia dapat melalui jalur pernafasan, mulut, dan kulit. Dari penelitian-
penelitian sebelumnya tentang toluena sudah terbukti bahwa toluena dapat
menimbulkan efek kesehatan yang luas pada tubuh manusia, berupa kematian dan
gangguan efek sistemik (organ pernafasan, jantung, mata, hati, ginjal,
muskuloskeletal, sistim hemato-imunologi, endokrin, kulit, neurologi, reproduksi,
dan penurunan berat badan).6

Metabolisme inhalasi toluena didalam tubuh, bila terhirup 25%-40% dari toluena
dikeluarkan kembali melalui ekspirasi. Kira-kira 60%-75% toluena
dimetabolisme di hati menjadi Benzyl Alcohol, kemudian dioksidasi oleh enzim
alcohol dehidrogenase dan cytochrome P450 (CYP) menjadi benzaldeyhide.
Benzadehyde kemudian diubah menjadi benzoic Acid dan benzylmercapturic Acid
oleh aldehyde dehidrogenase-2 (ALDH-2) dan aldehyde dehidrogenase-1
(ALDH-1).19-21 selanjutnya benzoic acid sendiri dimetabolisme menjadi hippuric
acid. hippuric Acid dan benzylmercapturic Acid merupakan hasil metabolisme
toluena route primer yang dikeluarkan dalam urine dan digunakan sebagai
penanda biologis.19,20 Karena benzylmercapturic acid tidak terdeteksi pada
individu yang tidak terpajan oleh toluena, lebih sensitif dari hippuric acid pada
konsentrasi yang rendah sampai dengan 15 ppm, dan tidak dipengaruhi oleh
makanan atau minuman, maka benzylmercapturic acid dipakai menjadi penanda
biologis pajanan toluena.22-24

Sebagian kecil dimetabolisme dengan menggunakan “Ring hidroksilasi”, dengan


hasil akhir adalah senyawa cresol (terdiri dari dua, yaitu : p-cresol dan o-cresol).
Jalur metabolisme ini merupakan jalur minor dari metabolisme toluena di tubuh.
Kebanyakan dari zat cresol itu, dikeluarkan dalam bentuk yang tidak berubah di
dalam urin.
Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


8

2.1.4 Reactive Oxygen Species (ROS) dan Lipid peroksidase.

Pada pajanan toluena, maka perubahan sel yang terdeteksi pertama kali, adalah
perubahan secara biomolekuler, lalu baru diikuti oleh perubahan histopatologi.
Pada tahap biomolekuler, toluena yang bersifat lipofilik dapat mengubah struktur
lipid membran sel, yang berfungsi sebagai pembungkus mitokondria dan
berperan penting dalam kehidupan sel sehingga mengganggu integritas dan
fluiditas membran tersebut.

Mitokondria merupakan penghasil utama energi sel Adenosine Tri Phosfat (ATP)
melalui respirasi mitokondria atau reaksi fosforilasi oksidatif (OXPHOS,
Oxidative phosphorilation) dan juga berfungsi mendapat Ca2+ Sitosol serta
mengisolasi faktor-faktor proapoptotik. Respirasi mitokondria terjadi melalui
serangkaian reaksi oksidasi reduksi dengan menggunakan energi yang berasal
dari degradasi oksidatif senyawa karbon. Mekanisme stress oksidatif yang
diakibatkan pajanan toluena diperankan oleh benzyl alkohol yang menginduksi
sitokrom P450 (CYP) 2E1-dependent microsomal monooxygenase dan
mengaktifkan fagosit. Induksi aktivasi sitokrom P450 menghasilkan Reactive
Oxygen Species (ROS) yang berupa radikal bebas, yaitu suatu molekul yang
memiliki elektron ganjil atau tidak berpasangan di orbit terluar. Penambahan satu
buah elektron pada O2 menghasilkan superoksida (O2-), penambahan elektron dan
dua ion hydrogen membentuk hydrogen peroksida (H2O2), dan bila bergabung
dengan O2- menghasilkan radikal hidroksil (OH). Radikal hidroksil cepat
berinteraksi dengan makromolekul sehingga dapat menyebabkan kerusakan
protein, lipid, dan Deoxy Nucleotida Acid (DNA).

Peningkatan produksi ROS dapat mengakibatkan reperfusi pada iskemia, kerja


zat xenobiotik, peradangan, penuaan, radiasi ultraviolet atau ionisasi, dan
gangguan pada sistim antoksidan alami yang dapat menyebabkan penumpukan
Reactive Oxygen Species (ROS) dan memicu timbulnya stress oksidatif, yaitu
suatu kondisi yang ditandai oleh akumulasi kerusakan oksidatif non enzimatik
pada molekul sehingga mengakibatkan kerusakan fungsi sel normal. Stress
oksidatif dapat diketahui dengan peningkatan peroksidasi lipid, beberapa penanda
biologis yang dapat digunakan untuk mengetahui adanya peningkatan lipid
Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


9

peroksidase adalah 4-Hydoxynonenal (4-HNE), 8-iso-Prostaglandin F2A,


Malondialdyhide (MDA), dan Thiobarbituratic Acid–Reactive Substance
(TBARS).10,15,25,27

Karena dianggap sebagai metabolit toksik maka secara alami ROS mengalami
dekomposisi oleh enzim antioksidan khusus yaitu superoxide dismutase (SOD) di
mitokondria yang mengandung Mn, MnSOD, dan antioksidan di sitosol terdiri
dari Cu dan Zn, Cu/ZnSOD, glutathion peroksidase (GSH-Px) dan phospolipid
hydroperoxide glutahathione peroxidase.

2.1.5 Dampak Kesehatan akibat Pajanan Toluena

Dampak kesehatan akibat pajanan toluena berkaitan erat dengan daya racun
toluena itu sendiri yang dipengaruhi oleh:
1. Dosis pajanan
Apabila individu terpajan dalam dosis melebihi Time Weighted Average
(TWA) maka toksisitas toluena terhadap individu semakin besar. 16
2. Lama pajanan
Semakin lama pajanan maka efek toksik toluena semakin besar. Efek
yang timbul pada pajanan akut berbeda dengan pajanan kronik. Kronisitas
pajanan menentukan tingkat kerusakan organ. 16
3. Rute pajanan
Seperti diketahui bahwa toluena dapat masuk ke dalam tubuh melalui tiga
mekanisme, yaitu inhalasi, ingesti, dan kontak langsung oleh kulit. Rute
pajanan yang paling sering terjadi dan paling berbahaya adalah melalui
inhalasi karena uap toluena yang terhirup melalui udara ambient secara
cepat diabsorbsi oleh tubuh sehingga intoksikasi lebih mudah terjadi. Efek
toksik toluena per inhalasi adalah iritasi hidung, tenggorokan, dan saluran
napas. Komplikasi pernapasan yang sering muncul adalah bronkospasme
dan udem pulmoner. Efek pada paru tikus terjadi iritasi paru, lesi
perkembangan paru dan inflamasi sel epitel mukosa. Selain itu susunan
saraf pusat juga merupakan target utama dari pajanan toluena perinhalasi,
dengan gejala antara lain ataksia. Efek neurologis pada tikus dapat terjadi
hilang pendengaran, penurunan berat otak, perubahan konsentrasi
Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


10

neurotransmitter, gangguan pola tidur, dan perubahan perilaku.


Sedangkan rute kedua adalah secara ingesti, biasanya didapat dari
makanan atau air yang tercemar oleh toluena, mekanisme ini kurang
toksik bila dibandingkan dengan inhalasi karena absorbsi melalui jalur
ingesti lebih lambat bila dibandingkan dengan jalur inhalasi. Sementara
untuk pajanan melalui kontak kulit langsung dapat merusak stratum
korneum kulit dan terjadi absorbsi, namun sampai saat ini belum ada
temuan efek sistimik yang ditimbulkan melalui jalur ini. Toluena terlarut
dalam lemak, sehingga dapat menyebabkan iritasi dan kerusakan pada
kulit melalui defatting action (penghilangan lemak kulit) timbul luka
bakar akibat bahan kimia setelah pajanan toluena jangka panjang. Uap
toluena juga dapat menyebabkan iritasi mata pada konsentrasi di atas 750
mg/m3 dan lakrimasi pada pajanan 1500 mg/m3. Iritasi konjungtiva berat
dan kerusakan kornea pernah dijumpai pada pekerja yang terkena
percikan toluena. Demikian juga pada tikus dapat terjadi iritasi kulit
ringan sampai berat dan kerusakan konjungtiva. 16
4. Kondisi individu
Faktor individu juga sangat memengaruhi toksisitas suatu zat, pada
individu yang rentan atau dengan penyakit berat maupun gangguan
metabolisme, maka daya toksik suatu zat kimia dapat menimbulkan efek
yang lebih besar dibandingkan dengan individu sehat. 16

Pada konsentrasi tinggi, toluena menyebabkan efek berbahaya pada manusia. Uap
toluena lebih berat dari udara dan dapat melalui tanah, namun tingkat
kontaminasi udara yang berbahaya adalah oleh penguapan toluena pada suhu 20o
C. Efek pajanan akut dan kronik dari toluena yang utama adalah pada sistim saraf
pusat, toluena juga mempunyai efek toksik pada saraf optik.

2.1.6 Proses nekrosis dan apoptosis.

Pada tahap awal, sel yang terkena pajanan zat toluena mengalami injury atau
luka. Injury ini dapat membuat sel kembali menjadi reversible (kembali menjadi
normal) atau irreversible, yang nantinya berlanjut ke arah kematian sel (baik
nekrosis atau apoptosis).
Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


11

Pada pemeriksaan histopatologi anatomi cedera pada sel (cell injury), yang dapat
diidentifikasi di bawah mikroskop cahaya adalah pembengkakkan sel, perubahan
lemak khususnya pada sel parenkim (misalnya: liver) yang dimanifestasikan
dengan munculnya vakuola lipid di sitoplasma. Sedangkan pada pembuluh darah
sendiri, dapat terjadi peningkatan protein plasma dan jumlah leukosit, terutama
neutrofil pada keadaan akut. Apabila proses cedera sel berlangsung terus
menerus, dapat mengakibatkan sel-sel tersebut mengalami nekrosis dan
apoptosis.15

Pada sel yang mengalami injury yang berat (dalam hal ini, terkena pajanan
toluena di luar kemampuan sel), maka zat toluena tersebut dapat merusak
membran sel. Membran sel yang rusak menyebabkan ion Calsium (Ca2+) dari
extraselular masuk ke dalam intraselular (sitoplasma), akibatnya di intraselular
(sitoplasma), kadar ion Ca2+ meningkat. Peningkatan kadar ion Ca2+ pada
intraselular menyebabkan permeabilitas membran mitokondria dan retikulum
endoplasma halus meningkat, yang berakibat terjadi kebocoran ion Ca2+ dari
kedua organel sel tersebut ke dalam sitoplasma. Hal tersebut semakin
meningkatkan kadar ion Ca2+ di sitoplasma sel.15

Peningkatan kadar ion Ca2+ sendiri di sitoplasma menyebabkan pengaktifan


enzim-enzim intraselular, seperti phospholipase, protease, endonuklease, dan
ATPase. enzim phospolipase dan protease yang aktif menyebabkan kerusakan
pada membran sel, karena enzim-enzim ini memetabolisme struktur phopolipid
dan protein yang terdapat di membran sel. Sedangkan enzim endonuklease
menyebabkan kerusakan inti sel. Enzim ATPase menyebabkan penurunan
pembentukan Adenosine Tri Phosfat (ATP). Penurunan ATP sendiri, selain
disebabkan oleh Enzim ATPase, juga disebabkan oleh kegagalan mitokondria
dalam melakukan proses fosforilasi oksidatif, yang akhirnya membuat sel
tersebut mati (nekrosis). Nekrosis adalah kematian sel atau jaringan pada
organism hidup oleh karena kegagalan integritas membran sel. Enzim yang
mencerna sel-sel yang nekrosis, berasal dari lisosom sel itu sendiri dan lisosom
leukosit yang kemudian mengaktifkan reaksi inflamasi.15

Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


12

Pada reaksi inflamasi terjadi : perubahan diameter pembuluh darah yang


bertujuan untuk meningkatkan aliran darah, peningkatan permeabilitas pembuluh
darah yang membuat protein plasma dan leukosit (netrofil) dapat meninggalkan
pembuluh darah menuju tempat di mana sel tersebut mengalami injury atau luka.
Netrofil yang keluar dari pembuluh darah dinamakan sebagai makrofag.
Makrofag-makrofag tersebut kemudian menghasilkan mediator sitokin yang
terdiri dari Tumor Necrosis Factor (TNF) dan Inter Leukin 1 (IL-1). TNF dan IL-
1 ini kemudian menstimulasi pengeluaran mediator-mediator lain yang ada di
pembuluh darah dan membuat reaksi inflamasi semakin berlanjut.15.

Apoptosis adalah kematian sel yang terprogram, di mana sel yang terprogam
tersebut mengaktifkan enzim-enzim untuk mendegradasi DNA inti, protein inti,
dan protein sitoplasmik. Pada sel yang mengalami apoptosis, akan terpecah
menjadi fragmen-fragmen yang disebut sebagai badan apoptotik (apoptotic
bodies). Membran plasma pada sel yang mengalami apoptosis tetap intak dan
menjadi target fagositosis oleh makrofag. Pada proses apoptosis, tidak memicu
terjadinya reaksi inflamasi.15

Perubahan morfologi dan biokimia yang terjadi pada apoptosis adalah :


penyusutan sel, pemadatan kromatin, terbentuknya kuncup sitoplasmik,
cytoplasmic blebs dan badan apoptotik, dan proses fagositosis oleh makrofag.
Pada tingkat biokimia, apoptosis mengaktifkan enzim caspase. Enzim caspase
terdiri dari dua keluarga enzim secara umum, yaitu enzim cysteine protease
(diwakili oleh huruf “c” pada kata “caspase”) dan enzim caspase. Secara umum,
keluarga Enzim Caspase, terbagi menjadi dua group, yaitu Caspase Inisiator
(Initiator) yang terdiri dari Caspase 8 dan Caspase 9 dan Caspase Pelaksana
(Executioner) yang terdiri dari Caspase 3 dan Caspase 6. Caspase pada keadaan
inaktif berbentuk proenzim atau zymogen di mana harus mengalami pembelahan
enzimatik untuk menjadi aktif. Adanya bentuk aktif dari Caspase merupakan
marker bahwa sel tersebut mengalami apoptosis.15

Mekanisme apoptosis terdiri dari dua yaitu melalui jalur intrinsik (disebut juga
jalur mitokondria) dan jalur ekstrinsik (melalui inisiasi reseptor kematian (Death
Receptor)). Pada jalur intrinsik, terjadi pengaktifan protein Bim, Bid, dan Bad
Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


13

(ketiga protein ini disebut sebagai Protein BH3). Protein B Homology 3 (BH3)
sendiri merupakan antagonis dari B-cell lymphoma-2 (Bcl-2) dan B-cell
lymphoma-x (Bcl-x) yang merupakan anti apoptotik). Protein BH3 kemudian
mengaktifkan efektor proapoptotik, yaitu Bax dan Bak, yang membentuk
oligomer dan masuk ke dalam membran mitokondria dan membuat channel
(saluran). Pembuatan channel (saluran) di membran mitokondria membuat
membran mitokondria menjadi bocor. Membran mitokondria yang bocor ini
akhirnya akan mengaktifkan Caspase Inisiator, yang kemudian mengaktifkan
Caspase Pelaksana. Caspase Pelaksana mengaktifkan Enzim Endonuklease, yang
nantinya akan mendegradasi DNA inti dan protein inti, dan merusak sitoskeleton.
Akibatnya sel tersebut terpecah menjadi fragmen-fragmen (yang disebut sebagai
badan apoptotik) yang nantinya dimakan oleh makrofag.15

Pada jalur ekstrinsik, diinisiasi oleh pengikatan reseptor kematian (Death


Receptor) di membran plasma pada berbagai sel. Reseptor kematian (Death
Receptor) merupakan anggota dari keluarga reseptor TNF yang mengandung
bagian sitoplasma yang terlibat pada interaksi protein. Reseptor TNF ini sangat
penting karena perannya dalam mengirim apoptotic signals. Beberapa reseptor
TNF yang tidak berperan dalam hal ini, berperan dalam mengaktifkan reaksi
inflamasi. Reseptor kematian yang paling terkenal adalah Tumor Necrosis Factor
Reseptor type 1 (TNFR1) dan protein yang berhubungan yang disebut Fas
(CD95). Mekanisme apoptosis pada jalur ekstrinsik ini diinduksi oleh
penempelan Fas Ligand (FasL) yang dihasilkan oleh sel T dengan reseptor
kematian Fas dan TNF. Interaksi antara reseptor dan ligand tersebut
mengaktifkan Adapter Proteins. Adapter Protein kemudian menaktifkan Caspase
Initiator, yang selanjutnya mengaktifkan Caspase Pelaksana, yang membuat
proses apoptosis berjalan.15

2.2. Saraf Optik

Saraf optik mengirimkan informasi penglihatan dari retina ke otak. Kerusakan sel
saraf optik akibat pajanan toluena merupakan masalah karena menggangu fungsi
penglihatan akibat hambatan atau terputusnya hantaran listrik saraf.14

Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


14

2.2.1 Defenisi Neuropati Optik

Neuropati optik adalah gangguan fungsional atau perubahan patologik pada saraf
optik.28 Kelainan ini dapat mengenai setiap struktur sel saraf optik, baik badan
sel (RGC, retinal ganglion cells), akson, atau keduanya,7 dan dapat terjadi
sebagai akibat kelainan herediter, mekanik (trauma atau kompresi), iskemik, atau
toksik.29

2.2.2 Anatomi Saraf Optik

Saraf optik terdiri atas struktur dendrit, badan sel (perikaryon), dan akson.
Dendrit berfungsi membawa impuls ke badan sel, sedangkan akson
menghantarkan impuls menjauhi badan sel. Badan sel terletak di lapisan retina
dalam (ganglion cell layer), sedangkan dendrit bersinaps dengan sel bipolar dan
amakrin di lapisan pleksiform dalam.14

Di bawah mikroskop cahaya, gambaran khas perikaryon adalah badan Nissl, yang
di bawah mikroskop elektron merupakan agregat retikulum endoplasma kasar
(rER, rough endoplasmic reticulum) tempat sintesis protein. Organel sel lain
adalah kompleks Golgi, mitokondria, lisosom, dan pigmen lipofusin. Pada sel
saraf tidak dijumpai sentrosom, yang mendukung fakta bahwa sel saraf tidak
menyelenggarakan mitosis dan tidak bereproduksi. Kematian sel saraf tidak
digantikan oleh sel saraf baru.30

Karena berfungsi sebagai pusat reseptor, membran perikaryon atau plasmalema


memiliki berbagai lokasi sinaptik. Sinaps adalah lokasi transfer stimulus dari satu
sel saraf, yang menghasilkan sinyal kimia atau listrik pada dendrit (sinaps
aksodendritik), akson (sinaps aksonik), atau badan sel (sinaps aksosomatik) sel
saraf berikutnya.30

Membran sel secara umum memiliki komposisi protein:lipid berbeda di antara


berbagai sel dan struktur subsel. Komponen utama lipid membran adalah
fosfolipid, kolesterol, dan sfingolipid.

Setiap akson dibungkus oleh suatu membran plasma halus, yang disebut
aksolema. Pada akson dapat dijumpai mitokondria, mikrotubul, neurofilamen,
retikulum endoplasma halus, tanpa badan Nissl. Membungkus aksolema adalah
Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


15

selubung lemak yang disebut mielin. Mielin adalah struktur lipid multilaminar,12
yang sangat membantu meningkatkan kecepatan serta efisiensi konduksi.8,14
Selubung mielin dibentuk oleh perpanjangan membran sel oligodendrosit, yang
membungkus akson sehingga membentuk silinder berdiameter beberapa puluh
mikrometer.12 Selubung ini terdiri atas perulangan unit-unit lapis-ganda dobel
(multilaminar), yang dipisahkan oleh lapisan akuos setebal 3-4 nm, berselang-
seling antara sitoplasma dan ruang ekstraselular. Kandungan lipid (% berat
kering) mielin secara bermakna lebih tinggi dibandingkan kebanyakan membran
sel lain (68,9%). Aksolema terdiri atas 57% lipid, sedangkan membran interna
mitokondria tersusun oleh 24% lipid. Membran plasma eritrosit manusia dan hati
tikus rnerniliki komposisi protein:lipid hampir 1 :1.12,14

Perkiraan total fiber count pada saraf optik tikus albino (wistar) adalah 100000-
110000 fiber, dengan jumlah unmyelinated fibers sangat kecil dibanding
myelinated fibers. Dengan diameter akson + 0,2-3 mikro meter dan rata-rata
diameter myelin 0,73 mikro meter. Jumlah akson pada saraf optik tikus albino
berkisar antara 96,200 to 108,100 akson. 31,32

2.2.3 Neuropati Optik pada Manusia.

Pada neuropati optik terjadi penurunan daya penglihatan dan defek lapang
pandang yang disertai pembengkakan diskus optikus. Anterior Ischemic Optic
Neuropathy (AION) adalah penyebab utama akut optik neuropati pada penderita
usia lanjut. Mempunyai karakteristik penurunan kemampuan penglihatan yang
disertai dengan pembengkakan diskus optikus yang menjadi pucat dan kadang
terdapat perdarahan pada lapisan neuroretinal dan juga terdapat eksudat.
Kehilangan penglihatan biasanya terjadi secara mendadak dan menetap, mungkin
dapat membaik pada beberapa minggu atau bulan setelah onset.33,34

Anterior iskemik optic neuropati diperkirakan sebagai akibat dari proses iskemik
yang mempengaruhi sirkulasi peredaran pembuluh darah posterior yang
mensuplai darah ke nervus optikus yang keluar dari mata. Hanya sel glial yang
menyusun diskus optikus di daerah tersebut dan hanya di situlah pembengkakan
dapat terjadi. Iskemik posterior juga menghasilkan kondisi serupa, tetapi tanpa
disertai pembengkakan dan disebut posterior iskemik optik neuropati. 33,34
Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


16

Penyebab dan kondisi yang berhubungan dengan anterior iskemik optic neuropati
berdasarkan Walsh dan Hoyt’s Clinical Neuro-opthalmology adalah : 35

1. Vascular
a. Giant cell arteritis
b. Post imunisasi
c. Sifilis
d. Radiasi nekrosis
e. SLE
f. Vasculitis alergi
2. Sistemik vaskulopati
a. Hipertensi
b. Diabetes mellitus
c. Migraine
d. atherosclerosis
3. Hematologi
a. Polisitemia vera
b. Defisiensi G-6-PD
c. Penyakit Sickle cell
4. Ocular
a. Post katarak
b. Glaucoma

Gejala Klinis
1. Ketajaman penglihatan yang turun mendadak disertai dengan skotoma
(defek lapang pandang) sesuai dengan gambaran serat saraf retina
2. Bila disertai nyeri atau nyeri tekan kulit kepala maka diagnosis arteritis
sel raksasa (Giant cell arteritis).
3. Serangan-serangan gelap yang berlangsung beberapa detik atau menit
yang kemudian kembali menjadi normal (Amaurosis Fugaks).
4. Lempeng optik yang membengkak dan mengalami perdarahan dengan
retina dan pembuluh darah retina normal. Pada Iskemik Optik Neuropati
arteritis, lempeng dapat terlihat pucat.

Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


17

5. Lempeng pada mata kontralateral memiliki mangkuk optik yang kecil


pada penyakit nonarteritis.
6. Pada arteritis biasanya selalu didahului oleh demam dan rasa sakit kepala
yang sangat, lemah badan, disertai mialgia otot-otot, seperti: otot
bahu,leher serta tungkai atas.
7. Pada pemeriksaan didapatkan edema papil saraf optik yang sekoral/tidak
menyeluruh, pada keadaan lanjut papil menjadi pucat dan edema
berkurang. 33,34

Pemeriksaan penunjang pasien dengan neuropati optik iskemik nonarteritis


termasuk :
1.Hitung darah lengkap untuk menyingkirkan anemia.
2.Pemeriksaan tekanan darah
3.Pemeriksaan gula darah
4.LED dan C reaktif protein untuk memeriksa arteritis sel raksasa.33

Penatalaksaan

Pada jenis non arteritik pengobatan ditujukan terhadap faktor dasar dan faktor
pencetusnya kadang-kadang ditemukan adanya perdarahan peripapil tapi tidak
pernah dikemukakan adanya eksudat pada retina. Jenis arteritis diberi
kortikosteroid yang mempunyai efek anti-inflamasi dan memodifikasi respon
imunitas tubuh. Methylprednisolone dapat menurunkan inflamasi dengan
mesupresi migrasi dari leukosit PMN dan meningkatkan permeabilitas kapiler.
Diberikan secara intravena dengan dosis 1 gram selama 3 hari dilanjutkan dengan
prednisone 100 mg selama 10 hari.33

2.2.4 Gangguan Saraf Optik akibat Pajanan Toluena

Mekanisme toluena dalam menyebabkan neuropati optik belum diketahui, tetapi


neurotoksisitas toluena banyak dikaitkan dengan sifat lipofilik bahan ini.36
Pemeriksaan histopatologi pada jaringan otak manusia dan saraf tepi tikus yang
terpajan toluena memperlihatkan degenerasi 9,10,37 serta demielinasi akson.7,9,11

Pada orang dewasa, sistem saraf dilindungi oleh sawar darah-otak dan sawar
darah akson. Sawar ini bekerja efektif untuk mencegah transfer senyawa dengan
Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


18

berat molekul besar dari sirkulasi ke saraf optik, tetapi tidak melindungi saraf dari
toksin yang merusak sawar atau zat lipofilik seperti toluena.38

Toluena bekerja menekan sistem saraf pusat (SSP). Pada manusia, intoksikasi
ringan (mild exposure, 100-1500 ppm) toluena menyebabkan euforia, pusing,
rasa bingung (confusion), vertigo, halusinasi, tinitus, neuropati perifer, stupor,
dan koma. Pada dosis lebih besar (l0.000-30.000 ppm), dapat terjadi aritmia,
paralisis, koma, dan kematian. Gejala sisa pada SSP dapat berupa neuropsikosis,
atrofi korteks serebri, degenerasi serebelum, neuropati optik dan perifer,
penurunan kemampuan kognitif, kebutaan, ototoksisitas, dan tuli.38-43 Pada tikus,
depresi SSP dan perubahan perilaku terlihat pada dosis inhalasi toluena sebesar
2600-12.000 ppm selama tiga jam dan menunjukkan keterkaitan dosis.
Kehilangan pendengaran diamati pada pajanan 1000 ppm, 14 jam/hari selama dua
minggu.44

Interaksi sel-sel antara oligodendrosit dan akson di dalamnya mempengaruhi sifat


biokimia akson, sehingga demielinasi dapat menghasilkan ketidakstabilan
struktur molekular sitoskeleton akson, sampai degenerasi. Gangguan pada
aksolema juga dapat mengawali demielinasi.13 Degenerasi akson dapat terjadi
karena rusaknya interaksi oligodendrosit-akson atau karena kematian badan sel
yang menutrisi akson.30 Pada pajanan toluena, gambaran demielinasi dan
degenerasi akson telah dibuktikan pada otak dan saraf tepi.7,9,10,11,37 Kerusakan
mielin menimbulkan penurunan kecepatan atau blokade konduksi listrik saraf.
Pada akson dengan mielinasi normal, potensial aksi berjalan dengan kecepatan
dan reliabilitas tinggi ke sel saraf postsinaps, sedangkan pada akson dengan
demielinasi akut, konduksi terhambat, hal ini dapat menggangu proses transmisi
impuls listrik dalam fungsi penglihatan. Toluena telah dibuktikan oleh Jovanovic
et al dapat menurunkan konduksi listrik saraf tepi (saraf radialis dan tibialis) pada
pekerja industri cat.8

Sistem saraf merupakan sistem yang sangat rumit dan berkembang melalui proses
panjang berupa migrasi dan diferensiasi, serta pematangan sinaps. Dengan
demikian, gangguan oleh bahan kimia dalam proses perkembangannya bisa
membawa dampak buruk pada struktur dan fungsi sistem saraf. Perbaikan fungsi
Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


19

terjadi melalui ekspansi cabang akson untuk mengambil-alih "tempat kosong"


akibat neuron yang mati. Akan tetapi, sel yang meluaskan wilayah kerjanya
bersifat tidak stabil dan mudah mengalami kerusakan serta kematian apoptotik.7

Keracunan zat toksik tertentu dapat menyebabkan gangguan penglihatan,


peradangan dan atrofi saraf optik. Atrofi, demielinisasi dan fibrosis pada saraf
optik telah dilaporkan pada keracunan closantel, halogenated salicylanide
(antihelmintik -antiparasit jangka panjang) pada ternak domba.45

Scot, holz and McCord (1933), melakukan studi histopatologi inhalasi methyl
alcohol 1000 ppm selama 7 jam/hari selama 6 hari pada monyet menunjukan
degenerasi ganglion sel pada retina, degenerasi dan fibrosis pada saraf optik.46

Fibrosis adalah deposit luas dari kolagen pada jaringan. Pada proses fibrosis
terjadi pembentukan jaringan ikat kolagen yang berlebihan dalam suatu organ
atau jaringan dalam sebuah proses reparatif atau reaktif disertai poliferasi
fibroblast. Salah satu agen fibrogenik yang berperan adalah Transforming growth
factor-beta (TGF- β). TGF- β dihasilkan oleh sebagian besar sel-sel dalam
jaringan granulasi dan menyebabkan migrasi dan proliferasi fibroblast,
peningkatan sintesis kolagen dan fibronektin, dan penurunan degradasi
Extracellular Matrix (ECM). Mekanisme yang menyebabkan aktivasi TGF-β
pada fibrosis tidak diketahui secara pasti, tetapi kematian sel melalui nekrosis
atau apoptosis dan produksi ROS tampaknya menjadi pemicu penting aktivasi,
terlepas dari jaringan tersebut. Pada injury setelah 3-5 hari dapat terbentuk
jaringan granulasi (proliferasi fibroblast, pembuluh darah kapiler pada ECM yang
loggar) kemudian terjadi akumulasi matriks jaringan ikat.15

Penelitian yang dilakukan Schmidt (1986) dan Stone et al. (1987) mengenai
pengaruh ekstasi yang bersifat akut sistemik neurotoksik terhadap penurunan
kadar serotonin otak tikus setelah pemberian secara injeksi subkutaneus,
memperkirakan faktor ekstrapolasi pada tikus 10. Berdasarkan kepustakaan
Krishan K, Anderson ME (2010), Ekstrapolasi antar spesies untuk penilaian
resiko non kanker pada bahan kimia methylene chloride (ME), Trichloroethylene
(TCE), dan Vinyl Chloride (VC) menggunakan Uncertainty Factor (UF) = 10
untuk pajanan oral. Pada pajanan inhalasi digunakan UF = 3 untuk
Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


20

mempertimbangkan perbedaan farmakokinetik (manusia mempunyai resiko lebih


besar dari tikus ).47

Penelitian meta analisis Benignus VA, Boyes WK, Elaina MK, Bushnell PJ
(2007), bertujuan untuk memperkirakan dose-equivalence equation (DEE) antara
tikus dengan manusia. Signal detection (SIGDET) dikumpulkan dari subjek yang
sama dalam sesi pengujian yang sama, Kurva ini diplotkan bersama dengan rata-
rata keseluruhan dan standard errors univariat untuk setiap periode waktu dalam
penelitian ini. Reaction time (RT) disesuaikan melalui persamaan. ini masih
merupakan perkiraan, diperlukan penelitian lebih lanjut dan farmakokinetik
model untuk memberikan ekstapolasi yang lebih tepat antara tikus dengan
manusia.48

Gambar 2.2 Kurva dose-equivalence equation(DEE) antara tikus dengan manusia


Sumber: Benignus VA, Boyes WK, Elaina MK, Bushnell PJ. Quantitative Comparisons of the
Acute Neurotoxicity of Toluene in Rats and Human. Toxicological Sciences 2007; 100(1), p 146–
155

Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


21

2.3 Kerangka Teori

TOLUENA INHALASI

Efek toksik pada berbagai organ termasuk saraf optik


(reversible/ irreversible)

Jalur Nekrosis

Membran sel terganggu

ROS ↑ 4-HNE ↑

Gangguan struktur lipid membran 8-iso PG F2A ↑

Ion Ca2+ ekstraseluler MDA ↑

Intraseluler TBARS ↑

↑ Permeabilitas membran
mitokondria dan retikulum endoplasma

Ion Ca2+ bocor ke sitoplasma

Enzim-enzim aktif

Phospholipase protease endonuklease ATP-ase

Kerusakan kerusakan ATP


membran sel inti sel menurun

perubahan saraf optik : - degenerasi akson


- fibrosis

Gambar 2.3 Kerangka Teori

Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


22

2.4 Kerangka Konsep

1. Toluena yang bersifat lipofilik dapat mengubah struktur lipid membran


sel. Struktur saraf optik banyak mengandung lipid sehingga potensial
menyebabkan kerusakan pada saraf optik.
2. Pada tingkat biomolekuler, perubahan yang terjadi akibat pajanan toluena
terhadap saraf optik adalah perubahan pada struktur membran sel saraf
optik dan peningkatan lipid peroksidase, dengan penandanya adalah
kenaikan kadar MDA plasma dan MDA saraf optik.
3. Pada tingkat histopatologi, dapat terjadi degenerasi akson dan fibrosis
pada saraf optik.

Alur Kerangka Konsep

Inhalasi toluena
Suhu
Usia
Kebutuhan
oksigen, kerusakan struktur lipid
Nutrisi membran sel
Genetik
Stress psikis

Kenaikan kadar MDA plasma

Kenaikan kadar MDA


saraf optik

Perubahan histopatologi saraf optik diantaranya:


- degenerasi akson saraf optik
- fibrosis
(Jalur Nekrosis)

Kematian sel saraf optik

Gambar 2.4 Kerangka Konsep

Keterangan : Huruf italic tidak diperiksa


Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


23

BAB 3
METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan bagian penelitian yang berjudul studi deteksi toksisitas
pajanan toluena terhadap berbagai organ dan darah tikus wistar jantan. Penelitian
ini telah lulus kaji etik pada bulan Oktober 2011 dan dilakukan bersama dengan
beberapa rekan peserta Progam Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Okupasi
Universitas Indonesia, yang masing-masing meneliti target organ yang berbeda.

3.1. Desain Penelitian

Desain Penelitian adalah true experimental menggunakan 5 kelompok. Satu


kelompok kontrol dan empat kelompok sebagai kelompok intervensi. Pemilihan
anggota kelompok sampel dengan alokasi random. Kelompok intervensi
diberikan pajanan toluena masing-masing 1,6 ml, 3,2 ml, 6,4 ml, 12,8 ml (setara
dengan 12,5 ppm, 25 ppm, 50 ppm, 100 ppm) yang disemprotkan dalam chamber
berukuran 80 cm x 40 cm x 40 cm dengan waktu empat jam per hari selama dua
minggu. Menurut EPA (Enviromental Protection Agency), nilai Lethal
Concentration (LC50) inhalasi toluena pada tikus (konsentrasi yang menyebabkan
kematian pada 50 % hewan coba) adalah 8800 ppm.49

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian


Tempat Pemeliharaan : Laboratorium Patologi Experimental dan
Laboratorium Biologi Hewan Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI).
Pemeriksaan Histopatologi : Laboratorium Histologi dan Laboratorium
Patologi Anatomik FKUI.
Pemeriksaan kadar MDA : Laboratorium Biokimia dan Biologi Molekuler
FKUI.
Waktu Pengumpulan data : Bulan Oktober 2011 sampai dengan
Oktober 2013

Universitas Indonesia
23

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


24

3.3. Sampel Penelitian (hewan coba)

Sampel berupa hewan coba tikus dipilih menurut kriteria tertentu, yaitu tikus dari
ras Rattus norweigicus galur Wistar, jenis kelamin jantan, umur tiga bulan (12
minggu), dengan berat antara 200-250 gram, sehat. Kriteria sehat adalah tidak ada
tanda-tanda infeksi, luka, atau cacat secara visual. Kriteria sehat untuk mata
adalah tidak ada defek pada mata, tidak perubahan warna pada kornea dan
konjungtiva. Tikus yang sakit tidak digunakan dalam penelitian. Hewan coba
diperoleh dari diperoleh dari balai penelitian dan pengembangan (balitbang)
kementerian kesehatan di salemba. Seluruh proses yang meliputi pemeliharaan,
pemajanan, perawatan pasca pemajanan hingga dislokasi servikal dilakukan
dengan bantuan teknisi laboratorium hewan coba berpengalaman.

Pada penelitian toksisitas ini menggunakan hewan coba tikus wistar jantan untuk
melakukan evaluasi toksisitas toluena pada saraf optik. Penelitian ini juga melihat
perubahan histopatologi pada saraf optik sehingga tidak mungkin dilakukan pada
manusia karena pertimbangan etis. Hewan coba tikus banyak digunakan dalam
penelitian experimental karena kemiripan anatomi elemen retina, hewan tikus
lebih murah, lebih mudah di beri perlakuan (di manipulasi).

Semua hewan coba dipelihara dan ditempatkan di ruang tersendiri di


Laboratorium Patologi Experimental dan Laboratorium Biologi Hewan FKUI
sejak sebelum pemajanan hingga saat euthanasia. Suhu dan kelembaban ruang
dibuat ideal sesuai guidelines pemeliharaan tikus di laboratorium. Untuk suhu
berkisar 25oC – 32oC dengan kelembaban relatif 30% - 70 %.50,51 Selama
pemeliharaan, tidak ada tikus yang dikeluarkan dari Laboratorium Patologi
Experimental dan Laboratorium Biologi Hewan FKUI.

Sebelum dilakukan penelitian, terlebih dahulu dilakukan adaptasi selama dua


minggu, hal ini dilakukan untuk membiasakan tikus hidup pada lingkungan yang
baru. Selama pemeliharaan di laboratorium, hewan tersebut juga diperhatikan
makanannya, kebersihan lingkungannya. Ketigapuluh ekor tikus itu sebelum
dilakukan percobaan, ditempatkan di kandang rajut kawat terpisah berukuran 50
x 30 x 25 cm3 (masing-masing kandang berisi 3 ekor tikus), sehingga terdapat
aliran udara bersih serta bebas, dan tikus bisa bergerak leluasa. Hal-hal tersebut
Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


25

bertujuan agar hewan coba dapat diminimalkan dari stress. Hewan coba juga
mendapat perlakuan yang sama dalam hal perawatan serta pakan, dan dengan
siklus dark-light 12 jam. Air dan pakan diberikan ad libitum dalam bentuk pellet
(yang diperoleh dari bagian Patologi Anatomik FKUI) dengan komposisi beras
putih, kacang tanah, kacang kedelai, udang rebon, tepung tulang, sagu, dedak,
susu krim, dan suplemen vitamin serta zat besi. Pada tahap penyesuaian tersebut
dilakukan pengamatan keadaan umum dengan melihat aktivitas atau geraknya
untuk menilai tikus tersebut sehat atau tidak.

3.4. Estimasi Besar Sampel


Pada penelitian ini, karena subjek penelitian dianggap homogen, maka
perhitungan besar sampel dihitung dengan rumus Federer untuk penelitian
experimental menggunakan hewan coba, sebagai berikut:
(t-1) (r-1) > 15, dengan
t = jumlah kelompok perlakuan (5)
r = Jumlah sampel per kelompok perlakuan, sehingga
(5-1) (r-1) > 15
4r – 4 > 15
4r > 19
r > 4.75 = 5
Menurut perhitungan dengan rumus Federer, maka jumlah tikus yang diperlukan
dalam penelitian ini sebanyak 25 ekor tikus. Sebagai antisipasi kemungkinan
drop out (yang disebabkan kematian tikus sewaktu percobaan) maka kami
digunakan 6 ekor tikus per kelompok, untuk mendapatkan data penelitian yang
lebih akurat.

Kriteria Inklusi :
a. Tikus wistar jantan
b. Umur 3 bulan
c. Berat badan 200-250 gram
d. Tidak ada kelainan anatomis (tidak ada cacat)

Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


26

Kriteria Eksklusi : Tikus yang cacat anatomis, terdapat defek di mata, perubahan
warna konjungtiva atau kornea, berat badan kurang dari 200 gram selama proses
adaptasi.

3.5. Pemajanan Hewan Coba pada Uap Toluena

3.5.1. Persiapan atmosfer toluena

Persiapan atmosfer toluena dilakukan sesuai dengan protokol kerja Badan


Hiperkes (Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja). Uap toluena dibuat
dengan cara memberikan toluena cair melalui lubang chamber ke dalam
cawan yang berada di dalam chamber, untuk menghasilkan konsentrasi yang
harapkan, yaitu 12,5, 25, 50 dan 100 ppm. Konsentrasi pajanan 100 ppm
dalam chamber (volume chamber 128 liter) didapatkan dari perhitungan
100/1000000 x 128 liter = 0,0128 liter = 12,8 ml. Di dalam chamber tersebut
dialirkan udara yang melewati bubbler. Setiap jamnya ditambahkan
sejumlah toluena cair untuk menggantikan uap toluena yang hilang, agar
didapatkan konsentrasi yang konstan. Agar mendapatkan uap toluena yang
tersebar rata, maka di tengah chamber bagian bawah dan atas diberi kipas
angin. Kondisi atmosfer dipertahankan konstan, dengan konsentrasi
oksigen sekitar 20-21%, kelembaban 30-70%, suhu lingkungan 25oC -
32oC. 50,51 Zat toluena sendiri mempunyai titik nyala di 4,4 oC, karena suhu
lingkungan jauh di atas titik nyala toluena, maka toluena cair ini cepat
menguap habis.47 Untuk lebih jelasnya dapat dilihat di Lampiran Tehnik.

3.5.2. Pemajanan Hewan Coba

Perlakuan hewan coba sesuai dengan : “Guidelines for the care and use of
laboratory animal : Eight Edition.; 2011”. 51

Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


27

Hewan coba dibagi ke dalam lima kelompok, yang terdiri dari :

Tabel 3.1. Pembagian Kelompok, Pajanan Toluena dan Jumlah Tikus


masing-masing Kelompok

Kelompok Pajanan inhalasi Toluena (4 jam Jumlah tikus


perhari selama 2 minggu)
I Kontrol (0 ppm) 6
II 12,5 ppm (1,6 ml) 6
III 25 ppm (3,2 ml) 6
IV 50 ppm (6,4 ml) 6
V 100 ppm (12,8 ml) 6

Sebagai catatan, NAB (Nilai Ambang Batas) Toluena adalah 50 ppm (part
per million / Bagian Dalam Sejuta) pada manusia. Sedangkan untuk nilai
STEL (Short Term Exposure Limit) (untuk pajanan dalam 15 menit) adalah
sebesar 500 ppm.

Untuk menjaga faktor lingkungan maka selama pemeliharaan di


laboratorium, tikus-tikus tersebut diperhatikan makanan, kebersihan, dan
kondisi lingkungannya (suhu udara, pencahayaan dan lainnya).

Cara Pemilihan Sampel

Pemilihan anggota kelompok sampel tikus ke dalam masing-masing


kelompok dilakukan dengan alokasi random. Masing-masing chamber
berisi tiga ekor tikus, yang dipajan toluena. Sebelum pemajanan, hewan
coba ditempatkan di dalam inhalation chamber (yang berukuran 80 cm x
40 cm x 40 cm) yang terbuat dari kaca (dengan ketebalan 3 mm) dan
bagian atasnya ditutup dengan kaca (dengan ketebalan 3 mm) pada saat
dilakukan pemajanan toluena. Pada awal percobaan disemprotkan
sejumlah toluena cair (sesuai dengan konsentrasi ppm yang diinginkan).
Toluena cair tersebut dibiarkan menguap habis dan setelah itu segera
dilakukan perhitungan waktu 4 jam di setiap periodik pemajanan. Selama
pemeliharaan di laboratorium, tikus-tikus tersebut diperhatikan makanan,
kebersihan, dan kondisi lingkungannya.

Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


28

Aklimasi lain tidak dilakukan karena proses pemajanan dilakukan di


ruangan serupa dengan ruang pemeliharaan Laboratorium Patologi
Experimental FKUI, dengan bentuk ruang, suhu, pencahayaan,
kelembaban yang sama. Semua tikus diterminasi pada hari ke-14 (dua
minggu setelah akhir percobaan), kemudian dilakukan pemeriksaan kadar
MDA plasma, kadar MDA saraf optik dan pemeriksaan histopatologi
saraf optik dengan pewarnaan biru toluidin.

Sumber Asal Bahan

 Tikus jenis Wistar diperoleh dari Balai Penelitian dan Pengembangan


(Balitbang) Kementerian Kesehatan
 Makanan tikus diperoleh dari Laboratorium Patologi Experimental
FKUI
 Cairan toluena, diperoleh dari Toko Kimia Harum Sari.
 Chamber tikus yang terbuat dari kaca berukuran 80 cm x 40 cm x 40
cm dan kaca penutupnya, dengan ketebalan 3 mm, diperoleh dari PT.
Sarana kaca.
 Bubbler diperoleh dari toko perlengkapan akuarium Fishera.

3.6. Terminasi dan Pengambilan Sampel Jaringan


 Terminasi dilakukan oleh teknisi laboratorium hewan coba. Hewan coba
dimatikan secara dislokasi servikal yaitu dengan cara menarik ekornya
tanpa menggunakan bahan kimia tambahan. Proses dislokasi dilakukan
dengan cepat dan tepat, proses terminasi dipastikan berhasil dengan
memeriksa denyut jantung hewan coba. Setelah euthanasia dan enukleasi,
sisa bahan biologik dimasukkan dalam incinerator.
Hal-hal yang diperhatikan dalam proses terminasi adalah:
1. Sedikit mungkin menghilangkan “Kepanikan, Nyeri, dan Stress” pada
tikus-tikus tersebut.
2. Waktu yang sesingkat mungkin.
3. Aspek Occupational Safety bagi seluruh petugas laboratorium.
4. Meminimalkan efek psikologis, emosi, dan efek fisiologis dari hewan
coba.
Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


29

5. Meminimalkan dampak yang terjadi terhadap lingkungan sekitar/


ekologi.
6. Menggunakan peralatan yang sesederhana mungkin.
 Pengambilan darah ditampung dalam tabung Ethylene Diamine Tetra
Acid (EDTA) sebanyak 3 ml untuk pemeriksaan plasma MDA.
 Dilakukan pengambilan saraf optik. Saraf optik diambil dengan enukleasi
(pembedahan untuk mengangkat bola mata), bola mata dengan saraf optik
yang masih menempel diangkat dengan melakukan diseksi saraf optik
sejauh mungkin dari sklera.

3.7. Persiapan untuk Pewarnaan Jaringan Saraf Optik

Segera setelah tikus diterminasi atau meninggal dengan sendirinya. Selanjutnya


dilakukan pembedahan guna pengambilan saraf optik. Untuk mencapai bulbus
okuli dan saraf optik, mula-mula dilakukan insisi koronal kulit kepala yang
dilanjutkan dengan insisi arah posterior-anterior, kemudian dilakukan insisi kulit
di seputar rima orbita. Setelah atap kranium terekspos, tulang dibuka dalam arah
sama dan otak dibersihkan. Tulang atap orbita digunting dengan gunting lurus
untuk mengangkat bola mata. Dengan bola mata masih menempel pada kranium,
dilakukan penandaan kornea menggunakan kauter atau benang jahit silk/nilon
pada sisi temporal dan superior untuk orientasi. Bola mata dengan saraf optik
yang masih menempel diangkat dengan melakukan diseksi saraf optik sejauh
mungkin dari sklera. Saraf optik didiseksi dari bola mata pada jarak satu
milimeter di belakang sklera dan diupayakan untuk mendapatkan panjang
spesimen saraf optik sepanjang minimal dua millimeter.

Masing-masing organ dicuci dengan larutan sodium chloride isotonis. Organ-


organ tersebut dibelah dan difiksasi dengan larutan formalin 10% selama 12 jam.
Proses selanjutnya adalah pembuatan preparat histopatologik. Pertama dilakukan
pembungkusan ringan dengan kertas saring lalu dimasukkan kedalam air
mengalir untuk menghilangkan formalin kemudian jaringan dimasukkan kedalam
Automatic Tissue Processor.52

Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


30

Proses berikutnya adalah dehidrasi dengan menggunakan etanol 70-100% yang


dilakukan selama 6-24 jam. Kemudian dilakukan penjernihan dengan pelarut
Xylol selama l-6 jam. Lalu di rendam dalam parafin cair pada suhu 50-600C
selama 0,5-6 jam (proses Infiltrasi). Kemudian Jaringan dikeluarkan dari
Automatic Tissue Processor untuk selanjutnya diblok dengan parafin (proses
Embedding). Setelah itu dilakukan pengirisan dengan alat Mikrotom putar
dengan tebal irisan 3-5 mikron, irisan tersebut kemudian dimasukkan kedalam
sebuah bak air hangat dan dipindahkan keatas obyek glass yang terlebih dahulu
diolesi campuran putih telur dan glycerin ( l : l ), lalu dikeringkan dalam oven.

Dilanjutkan dengan proses pewarnaan. Proses pewarnaan dengan Biru Toluidin


adalah sebagai berikut : Larutan yang digunakan adalah larutan Alcohol-
Coloponium, biru toluidin 1%, dan larutan Aniline-alcohol. Preparat direndam di
dalam larutan Alcohol-Coloponium selama 3-5 menit, kemudian dicelupkan ke
alkohol 95% selama 2x3 menit, kemudian diberi zat warna biru toluidin selama
30 detik, kemudian dibilas dengan Xylol. Pengembangan, kepekatan dan
intensitas pewarna, dapat divariasi dengan menyesuaikan pewarna atau
memperpanjang waktu pewarnaan.52

Kemudian preparat siap untuk diamati. Pemeriksaan diamati pada gambaran


histopatologik saraf optik tikus yang terpotong cross sectional sebanyak dalam
empat lapangan pandang.

3.8. Pemeriksaan Kadar MDA Plasma dan MDA Saraf Optik

Pemeriksaan konsentrasi MDA plasma dan saraf optik tikus dilakukan segera atau
paling lambat 1x24 jam setelah tikus tersebut mati seketika atau setelah
diterminasi.

Tes thiobarbituric acid-reactive subtance (TBARS) metode Wills (1987)

Dasar pemeriksaan adalah reaksi spektrofotometrik sederhana, dimana satu


molekul MDA bereaksi dengan dua molekul TBA (Thiobarbituric acid) akan
terpecah menjadi 2 molekul 2-asam thiobarbiturat. Reaksi ini berjalan pada pH 2-
3. TBA akan memberikan warna pink-chromogen yang dapat diperiksa secara

Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


31

spektrofotometrik dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 530 nm.


Kadar MDA dapat diperiksa baik di plasma, jaringan maupun urin.

Nilai normal MDA tergantung metode yang digunakan, lebih dari 4 μmol/l
dengan mengukur TBAR dengan metode kolorimetri, kadar normal hingga 2,5
μmol/l dengan metode fluorometri, dan kadar 0,60 - 1μmol/l dengan metode
HPLC (high performance liquid chromatography).

a. Prinsip

 Pengukuran kadar MDA yang dihasilkan oleh proses peroksidasi lipid


oleh radikal bebas.
 MDA akan bereaksi dengan asam thiobarbiturat (TBA) menghasilkan
senyawa berwarna pada panjang gelombang 532 nm.
 Pemeriksaan MDA dilakukan pada plasma darah dan jaringan saraf optik.

b. Prosedur:

1) Menyiapkan larutan stok standar MDA dalam aquabidest dengan 7


konsentrasi yang berbeda (blanko standar, 0,25 mol – 1,6 mol), larutan
TCA 20% (b/v) dalam aquabidest, dan larutan TBA 0,67% (b/v) dalam
aqubidest. Kemudian tabung sentrifus diisi dengan 200 µl sampel
tambahkan 1800 µL aquabidest dan 1000 µl TCA 20% dan 2000 µl Thio
Barbituric Acid (TBA) 0,67% kemudian dipanaskan pada suhu 95o
selama 10 menit. Larutan didiamkan hingga mencapai suhu ruangan,
kemudian lakukan sentrifugasi pada 3000 rpm selama 10 menit. Lakukan
hal yang sama pada blangko. Supernatan diambil hati-hati dengan
menggunakan pipet kemudian diukur serapannya dengan spektofotometer
pada panjang gelombang 530 nm

2) Membuat kurva standar MDA dengan konsentrasi 0 nmol; 0,0125 nmol;


0,025 nmol; 0,05 nmol; 0,1 nmol; 0,4 nmol; 1,6 nmol; dan 32 nmol dalam
2000 µl kemudian ukur kadar MDA sampel dengan menggunakan kurva
standar.
Hasil pemeriksaan : Dalam satuan Nmol/L. Hasil pemeriksaan
dibandingkan dengan MDA plasma dan saraf optik kelompok kontrol.
Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


32

3.9. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kadar MDA (malondialdehide)


plasma dan kadar MDA saraf optik serta nilai histopatologi saraf optik dengan
pemeriksaan mikroskop cahaya pada pembesaran 400x (pewarnaan biru toluidin)
maka diamati perubahan pada akson (degenerasi akson) dan fibrosis.

Sedangkan yang menjadi variabel independennya adalah pajanan toluena. Faktor


lingkungan tidak diteliti karena dianggap sama.

3.9.1. Penilaian Perubahan Histopatologi Saraf Optik yang dapat dilihat di


bawah Mikroskop Cahaya

Pada mikroskop cahaya dapat dilihat tampilan saraf optik secara umum.
Hal-hal yang diamati adalah:
(a) Degenerasi akson: adanya perubahan bentuk akson, pembengkakan atau
penciutan akson, kekacauan struktur aksoplasma atau hilangnya akson.
(b) Fibrosis : adanya pembentukan jaringan ikat kolagen yang berlebihan
atau poliferasi fibroblast

Klasifikasi Nilai Histopatologis

Pada penilaian gambaran histopatologi mengenai degenerasi akson dan fibrosis,


kami (peneliti dan seorang dokter ahli histologi FKUI) mengembangkan metode
penilaian sendiri, karena belum didapatkan metode yang sesuai dari penelitian
sebelumnya terkait dengan penilaian kerusakan saraf optik.

Dari gambaran histopatologis saraf optik yang didapat, di setiap lapangan


pandang, kami melihat luas daerah yang aksonnya mengalami degenerasi
kemudian luas daerah yang aksonnya mengalami degenerasi ini diklasifikasikan
menjadi 10 tingkatan. Hal ini kami lakukan dengan pertimbangan agar:

1 Penilaian lebih teliti dan seobjektif mungkin.


2 Daerah yang mengalami kerusakan saraf optik untuk setiap kelompok
mempunyai variasi dengan rentang yang sempit sehingga diperlukan
penilaian dengan parameter yang lebih spesifik.

Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


33

Klasifikasi nilai histopatologi saraf optik terdiri dari :

Tabel 3.2. Klasifikasi Nilai Histopatologi Degenerasi Akson.

Keterangan degenerasi akson Nilai dari lapangan


pandang
Luas daerah yang mengalami degenerasi akson < 10 % 1
dari lapangan pandang.

Luas daerah yang mengalami degenerasi akson 11-20 % 2


dari lapangan pandang.

Luas daerah yang mengalami degenerasi akson 21-30 % 3


dari lapangan pandang.

Luas daerah yang mengalami degenerasi akson 31-40 % 4


dari lapangan pandang.

Luas daerah yang mengalami degenerasi akson 41-50 % 5


dari lapangan pandang.
Luas daerah yang mengalami degenerasi akson 51-60 % 6
dari lapangan pandang.
Luas daerah yang mengalami degenerasi akson 61-70 % 7
dari lapangan pandang.
Luas daerah yang mengalami degenerasi akson 71-80 % 8
dari lapangan pandang.
Luas daerah yang mengalami degenerasi akson 81-90 % 9
dari lapangan pandang.
Luas daerah yang mengalami degenerasi akson > 90 % 10
dari lapangan pandang.

Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


34

Tabel 3.3. Klasifikasi Nilai Histopatologi Fibrosis

Keterangan Fibrosis Nilai dari lapangan


pandang
Luas daerah yang mengalami fibrosis < 10 % dari 1
lapangan pandang.
Luas daerah yang mengalami fibrosis 11-20 % dari 2
lapangan pandang.
Luas daerah yang mengalami fibrosis 21-30 % dari 3
lapangan pandang.
Luas daerah yang mengalami fibrosis 31-40 % dari 4
lapangan pandang.
Luas daerah yang mengalami fibrosis 41-50 % dari 5
lapangan pandang.
Luas daerah yang mengalami fibrosis 51-60 % dari 6
lapangan pandang.
Luas daerah yang mengalami fibrosis 61-70 % dari 7
lapangan pandang.
Luas daerah yang mengalami fibrosis 71-80 % dari 8
lapangan pandang.
Luas daerah yang mengalami fibrosis 81-90 % dari 9
lapangan pandang.
Luas daerah yang mengalami fibrosis > 90 % dari 10
lapangan pandang.

Dari setiap preparat dilakukan pemeriksaan dengan mikroskop cahaya pada


empat pemeriksaan lapangan pandang (pembesaran 400x). Dari setiap lapangan
pandang diberi nilai satu sampai dengan sepuluh untuk degenerasi akson dan nilai
satu sampai dengan sepuluh untuk fibrosis, kemudian nilai degenerasi akson dan
fibrosis dalam satu lapangan pandang yang sama di jumlahkan untuk
memperoleh nilai perubahan histopatologi saraf optik pada satu lapangan
pandang tersebut. Setiap preparat didapatkan total nilai dari empat lapangan
pandang (jadi nilai perubahan histopatologi masing-masing preparat berkisar dari
8 sampai dengan 80).

Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


35

3.9.2. Definisi Operasional

1. Pajanan toluena (variabel tidak terikat)

Adalah pajanan toluena inhalasi (yang berasal dari toluena cair yang
menguap) yang diberikan selama 4 jam per hari dalam waktu 14 hari.
Kelompok perlakuan pada penelitian ini, adalah kelompok yang diberi
pajanan sebesar 12,5 ppm (1,6 ml), 25 ppm (3,2 ml), 50 ppm (6,4 ml),
dan 100 ppm (12,8 ml). Kadar pajanan toluena dibuat konstan selama
percobaan dengan memberikan toluena cair setiap jamnya untuk
menggantikan uap toluena yang hilang.

2. Kenaikan kadar malondialdehid (MDA) plasma (variabel terikat)

Merupakan hasil peroksidase lipid membran, satuan Nmol/L, untuk


malondialdehid plasma diambil dari plasma darah.
Kadar MDA dengan metode Wills (spektotrofotometri). Kenaikan
kadar MDA plasma ditentukan dengan adanya kenaikan bermakna
kadar MDA plasma kelompok intervensi dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Data MDA plasma didapatkan dari data sekunder.

3. Kenaikan kadar MDA saraf optik (variabel terikat).


Kadar MDA saraf optik diambil dari jaringan saraf optik. Kenaikan
kadar MDA saraf optik ditentukan dengan kenaikan bermakna
kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol
4. Nilai perubahan histopatologi saraf optik
Nilai perubahan histopatologi saraf optik diperiksa dengan
menggunakan mikroskop cahaya (pewarnaan biru toluidin), Sediaan
saraf optik dibuat dengan potongan cross-sectional yang dilihat adalah
degenerasi akson dan fibrosis pada empat lapangan pandang dengan
pembesaran 400x.
- Degenerasi akson (variabel terikat)
dikatakan berdegenerasi bila ditemukan adanya perubahan bentuk
akson, pembengkakan atau penciutan akson, kekacauan struktur

Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


36

aksoplasma atau hilangnya akson, pembentukan ovoid (debris


akson).8,39
- Fibrosis (variabel terikat)
Fibrosis adalah deposit luas dari kolagen pada jaringan. Adanya
fibrosis ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat fibrosa
yang berlebihan atau adanya poliferasi fibroblast

Untuk nilai perubahan histopatologi pada satu lapangan pandang


didapatkan dari penjumlahan nilai degenerasi akson dengan nilai fibrosis
dalam satu lapangan pandang yang sama.

Pembuatan preparat dengan pewarnaan biru toluidin dilakukan bersama-


sama dengan Departemen Histologi dan Departemen Patologi Anatomik
FKUI. Penilaian histopatologi dilakukan secara semikuantitatif. Penilaian
dilakukan oleh peneliti dan seorang dokter ahli histologi FKUI, hasil
penilaian dari keduanya diambil rata-rata.

3.10. Etik Penelitian pada Hewan Coba (Tikus)

Penelitian kesehatan dengan menggunakan hewan percobaan secara etis


hanya dapat dipertanggungjawabkan, jika:
1. Tujuan penelitian dinilai cukup bermanfaat
2. Desain penelitian dapat menjamin bahwa penelitian dapat mencapai
tujuannya
3. Tujuan penelitian tidak dapat dicapai dengan menggunakan subjek
atau prosedur alternatif
4. Manfaat yang diperoleh jauh lebih berarti dibandingkan dengan
penderitaan yang dialami hewan percobaan.47

Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan etik FKUI, dan lulus kaji
etik FKUI untuk percobaan dengan hewan coba tikus wistar jantan.

Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


37

3.11. Analisis Statistik

Data yang terkumpul diolah dan kemudian dianalisa, program yang dipakai
untuk menguji statistik pada penelitian ini adalah SPSS 16.0 for Windows.
Analisis pada penelitian ini meliputi :

1. Analisis Deskriptif karakteristik dari masing-masing kelompok


dengan melihat berat badan tikus.

2. Untuk mencari perbedaan rerata kadar MDA saraf optik, dan


perbedaan median nilai perubahan histopatologi saraf optik dari
masing-masing kelompok, apabila distribusi data normal digunakan
uji Anova one way (jika pada uji anova one way didapatkan nilai
kemaknaan<0.05, maka dilanjutkan uji anova post hoc) atau uji
Kruskal Wallis apabila distribusi data tidak normal (jika pada uji
Kruskal Wallis didapatkan nilai kemaknaan<0.05, maka dilanjutkan
uji Mann Whitney).

Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


38

3.12. Alur Penelitian

30 ekor tikus Wistar

Dibagi rata ke : 5 Kelompok.

Masing-masing grup terdiri dari 6 ekor tikus, yang dibagi ke 2 chamber, yang setiap chambernya terdiri dari 3 ekor
tikus

Kelompok 1 : Kelompok 2 : Kelompok 3 : Kelompok 4 : Kelompok 5 :

Dua chamber Dua chamber Dua chamber Dua chamber Dua chamber
Sebagai kontrol dipajan dipajan dipajan dipajan
(0 ppm) dalam masing- masing- masing- masing-
waktu masing 12,5 masing 25 masing 50 masing 100
4 jam/hari ppm (1,6 ml) ppm (3,2 ml) ppm (6,4 ml) ppm (12,8 ml)
selama 14 hari. dalam waktu dalam waktu dalam waktu dalam waktu
4 jam/hari 4 jam/hari 4 jam/hari 4 jam/hari
selama 14 selama 14 selama 14 selama 14
hari. hari. hari. hari.

Setelah pemajanan, tikus diterminasi dengan dislokasi servikal

Dilakukan Pemeriksaan :
1. Kadar MDA saraf optik dan MDA plasma.
2. Pemeriksaan mikroskop cahaya dengan pewarnaan biru toluidin untuk melihat
perubahan histopatologi saraf optik.

Gambar 3.1. Alur Penelitian

Tikus yang mati saat periode pemajanan maka tikus tersebut segera dilakukan
pemeriksaan secara lengkap (pemeriksaan histopatologi saraf optik, kadar MDA
plasma, dan kadar MDA saraf optik), dan diikut sertakan sebagai sampel
penelitian. Sedangkan tikus yang mati, saat periode pemeliharaan (sebelum
pemajanan) maka dianggap drop out.
Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


39

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Pengumpulan data mulai dilakukan sejak bulan Oktober 2011 sampai dengan
Oktober 2013, Sebelum penelitian dilakukan percobaan pendahuluan
(preliminary study) di Laboratorium Patologi Experimental FKUI untuk
optimalisasi perlakuan, terminasi hewan coba dan pengambilan organ dan darah.

4.1 Karakteristik Berat Badan Tikus

Tabel 4.1 Uji Normalitas dan Homogenitas Berat Badan Tikus

Variabel Uji Normalitas (nilai p) Uji Homogenitas


(nilai p)
Berat Badan tikus 0,114^ 0,025+

^Uji Shapiro-Wilk, +Uji Levene

Dari tabel 4.1, berat badan tikus distribusi data normal tapi tidak homogen.

Gambar 4.1. Boxplot Berat Badan Tikus

Dari gambar 4.1, data berat badan tikus tidak didapatkan nilai outlier maupun
nilai ekstrim, kuartil pertama (Q1) = 235 gram dan Q3 =243 gram

Universitas Indonesia
39

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


40

Tabel 4.2 Distribusi Berat Badan Tikus

Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV Kelompok V


Variabel p
control (12.5 ppm) (25 ppm) (50 ppm) (100 ppm)
Berat Badan
Tikus
Mean 240 g 238 g 237 g 239 g 244 g 0,204#
standar deviasi 8 g 6g 4g 6g 4g

#Uji Kruskal Wallis

Dari tabel 4.2, data berat badan tikus tidak memiliki perbedaan bermakna antar
kelompok.

4.2 Karakteristik Suhu Chamber dan Kelembaban Chamber

Tabel 4.3 Distribusi Suhu Chamber dan Kelembaban Chamber

Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV Kelompok V


Variabel
kontrol (12.5 ppm) (25 ppm) (50 ppm) (100 ppm)
Suhu chamber
Median 30 oC 30 oC 30 oC 29 oC 29 oC
Minimum-
29-31 oC 29-32 oC 29-32 oC 27-31 oC 27-31 oC
maksimum

Kelembaban
chamber
Median 65 % 52 % 51 % 62 % 57 %
Minimum-
50-71 % 31-67 % 40-65 % 54-70 % 52-61 %
maksimum
Dari tabel 4.3, suhu chamber dan kelembaban chamber masih dalam batas yang
sesuai.

4.3 Karakteristik Kadar MDA Plasma dan Kadar MDA Saraf Optik

Tabel 4.4 Uji Normalitas dan Homogenitas Kadar MDA plasma, Kadar MDA
Saraf Optik.

Variabel Uji Normalitas (nilai p) Uji Homogenitas


(nilai p)
Kadar MDA Plasma <0.001^ 0.081+
Kadar MDA Saraf Optik 0.184^ 0.306+
^Uji Shapiro-Wilk, +Uji Levene

Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


41

Dari tabel 4.4, dapat dilihat kadar MDA plasma mempunyai distribusi yang tidak
normal, sedangkan kadar MDA saraf optik mempunyai distribusi yang normal
dan homogen.

Tabel 4.5 Perbedaan Median Kadar MDA plasma dan Perbedaan Rerata Kadar
MDA Saraf Optik.

Kelompok I Kelompok II Kelompok Kelompok Kelompok V


p
(Kontrol) (12.5 ppm) III(25 ppm) IV(50 ppm) (100 ppm)
Kadar MDA plasma
(dalam nmol/l)
Median 0.89 0.70 1.16 2.67 1.78 0.118#
Minimum – maksimum 0.53 - 5.90 0.48 - 0.98 0.61 - 2.43 0.47 - 5.41 0.88 – 3.92

Kadar MDA Saraf Optik


(nmol/mg jaringan)
Mean 0.114 0.127 0.046 0.125 0.146 0.056=
Standar deviasi 0.065 0.080 0.045 0.095 0.115
=uji Anova one way, #uji kruskal wallis

Dari tabel 4.5, didapatkan tidak ada perbedaan median kadar MDA plasma yang
bermakna antar kelompok, dan tidak ada perbedaan rerata kadar MDA saraf optik
yang bermakna antar kelompok.

Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


42

Gambaran Histopatologi Saraf Optik

a b

Fibrosis
c d
Degenerasi
akson

Gambar 4.2 Gambaran Histopatologi Saraf Optik dengan Mikroskop Cahaya

Dari gambar 4.2, gambar a dan b merupakan gambaran saraf optik dengan
pewarnaan biru toluidin pada kelompok kontrol pembesaran 100x (gambar a) dan
400x (b), menunjukan gambaran akson yang masih baik. Gambar c dan d
merupakan kelompok pajanan toluena 100 ppm, pembesaran 100x (gambar c)
dan 400x (d), pada gambar d terlihat daerah yang mengalami degenerasi akson
dan fibrosis lebih luas dibandingkan dengan kontrol, serta batas jaringan saraf
menjadi kurang jelas

Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


43

a b

c d

keterangan : = degenerasi akson, = fibrosis


Gambar 4.3 Gambaran Histopatologi Saraf Optik kelompok I sampai V dengan Mikroskop
Cahaya, Pembesaran 400x, Pewarnaan Biru Toluidin.

Gambar a merupakan gambaran saraf optik kelompok I (kontrol) dengan pewarnaan biru toluidin
pembesaran 400x dengan gambaran akson yang masih baik, dan luas daerah yang mengalami
degenerasi akson <10% dari lapangan pandang serta luas daerah yang mengalami fibrosis <10%
dari lapangan pandang. Gambar b merupakan gambaran saraf optik kelompok II (pajanan toluena
12.5 ppm) dengan gambaran histologi sama dengan kelompok kontrol. Gambar c merupakan
gambaran kelompok III (25 ppm) dengan daerah yang mengalami degenerasi akson lebih luas dari
kelompok kontrol dan kelompok II (11-20 % dari lapangan pandang), sedangkan luas daerah
fibrosis tidak berbeda. Gambar d merupakan gambaran kelompok IV (50 ppm) terlihat dengan
daerah yang mengalami degenerasi akson lebih luas lagi dari kelompok kontrol, kelompok II, III
(21-30 % dari lapangan pandang), sedangkan luas daerah fibrosis tidak berbeda. Gambar e
merupakan gambaran kelompok V (pajanan toluena 100 ppm) menunjukan perbedaan pada luas
daerah yang mengalami degenerasi akson dan fibrosis (31-40 % dari lapangan pandang).
Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


44

4.4 Karakteristik Nilai Perubahan Histopatologi Saraf Optik

Tabel 4.6 Uji Normalitas dan Homogenitas Nilai Perubahan Histopatologi Saraf
Optik.

Variabel Uji Normalitas (nilai p) Uji Homogenitas


(nilai p)
Nilai Perubahan <0.001^ 0.017+
Histopatologi Saraf Optik
^Uji Shapiro-Wilk, +Uji Levene

Dari tabel 4.6, Nilai perubahan histopatologi saraf optik mempunyai distribusi
yang tidak normal.

Tabel 4.7 Perbedaan Median Nilai Perubahan Histopatologi Saraf Optik antar
Kelompok.

Kelompok I Kelompok II Kelompok Kelompok Kelompok V


P
(Kontrol) (12.5 ppm) III(25 ppm) IV(50 ppm) (100 ppm)
Nilai perubahan
histopatologi saraf optik
Median <0.001#
10 10 11 13 28
Minimum – maksimum 9 – 11 10 - 12 10 – 12 13 - 14 25 – 29
=uji Anova one way, #uji kruskal wallis

Dari tabel 4.7, didapatkan perbedaan median nilai histopatologi saraf optik yang
bermakna antar kelompok.

Tabel 4.8 Perbedaan Nilai Kemaknaan Perubahan Histopatologi Saraf Optik antar
Kelompok.

Kelompok I II III IV V

I x x x x x

II p = 0.161 x x x x

III p = 0.081 p = 0.650 x x x

IV p = 0.005 p =0.006 p = 0.007 x x

V p = 0.005 p = 0.008 p = 0.008 p = 0.007 x

Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


45

Dari tabel 4.8, pada uji Mann Whitney, didapatkan perbedaan median nilai
perubahan histopatologi saraf optik antar kelompok I dan IV, antar kelompok I
dan V, antar kelompok II dan IV, antar kelompok II dan V, antar kelompok III
dan IV, antar kelompok III dan V, serta antar kelompok IV dan V.

Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


46

BAB 5

PEMBAHASAN

5.1 Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian ini berupa keterbatasan teknik seperti tidak adanya


alat direct reading untuk pengukuran konsentrasi toluena di dalam chamber
secara kontinu, tidak adanya auto regulator di dalam chamber untuk
penyemprotan toluena secara otomatis, dan pewarnaan jaringan saraf optik
tidak secara supravital. Alat direct reading dan auto regulator dapat menjaga
konsentrasi toluena dalam chamber lebih konstan. Pewarnaan jaringan saraf
optik secara supravital sulit dilakukan karena keterbatasan perangkat dan
terkait pengambilan organ-organ lainnya.

Peneliti berusaha mengatasi keterbatasan penelitian diatas untuk menjaga


hasil penelitian tetap valid, dengan melakukan penambahan toluena setiap
jam untuk menjaga konsentrasi toluena tetap konstan, melakukan
pengambilan jaringan saraf optik secara sederhana dengan melakukan
penandaan dan pengunaan kaca pembesar, serta melakukan perhitungan nilai
perubahan histopatologi saraf optik secara semikuantitatif dengan parameter
yang masih dapat dinilai. Pada penelitian ini setiap hewan coba mendapat
perlakuan yang sama, yang berbeda adalah tingkat pajanan toluena pada tiap
kelompok.

5.2 Berat Badan Tikus Wistar, Suhu Chamber, dan Kelembaban Chamber

Data berat badan sampel tidak didapatkan perbedaan rerata berat badan antar
kelompok, hal ini dibuktikan setelah dilakukan analisis perbandingan rerata
antar kelompok pajanan dengan uji kruskal walis, p=0.204 (tabel 4.2).
Peneliti melakukan kontrol terhadap variabel suhu dan kelembaban chamber
diantaranya dengan mengunakan kipas di dalam chamber, pengunaan alat
pengukur suhu dan alat pengukur kelembaban. Berdasarkan kepustakaan,

46 Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


47

penelitian Gordon CJ dan penelitian Herrington menyatakan bahwa


thermoneutral zone (TNZ) pada tikus berkisar antara 28-34 oC. 50 Data suhu
chamber selama penelitian menujukan nilai minimum 27 oC dan maksimum
32 oC (tabel 4.3) masih berada pada thermoneutral zone (TNZ), kelembaban
chamber antara 30-70 %.

5.3 Kadar Malondialdehyde (MDA) Plasma dan MDA Saraf Optik

Nilai median kadar Malondialdehyde (MDA) plasma tidak berbeda


bermakna antar kelompok pajanan (tabel 4.5). Pada penelitian Coskun 0,
Oter S, Korkmaz A, Armuteu F, Kanter M (2005), tikus wistar jantan diberi
pajanan inhalasi toluena 3000 ppm, 8 jam perhari, 6 hari seminggu selama
16 minggu (pajanan kronis) menunjukan peningkatan kadar MDA darah dan
MDA jaringan rat sciatic nerve.10 Toluena yang terhirup, terabsorbsi ke
dalam darah, yang berakibat pada peningkatan kadar MDA darah, MDA
darah ini akan masuk ke dalam sirkulasi plasma, sehingga terjadi
peningkatan kadar MDA plasma.10,25,27

Nilai rerata kadar MDA saraf optik tidak menunjukan perbedaan yang
bermakna antar kelompok pajanan, p=0.056 (tabel 4.4). Kadar MDA plasma
dan kadar MDA saraf optik pada penelitian ini tidak menunjukan perbedaan
rerata yang bermakna antar kelompok pajanan, hal ini dapat disebabkan
oleh :

1. Pemeriksaan MDA dengan metode thiobarbituric acid-reactive subtance


(TBARS) cukup sensitif, tetapi tidak spesifik, thiobarbituric acid (TBA)
dapat bereaksi dengan komponen lain dari sampel biologi. Metode ini
banyak digunakan pada penelitian-penelitian karena metodenya sederhana
dan biayanya lebih terjangkau. Pada analisa cairan biologi, beberapa zat,
seperti pigmen empedu dan glikoprotein dapat memberikan reaksi positif
palsu dengan TBA. MDA dapat terbentuk oleh dekomposisi peroksida lipid
saat pemanasan sampel dengan TBA. Dekomposisi ini dipercepat oleh jejak
zat besi dalam reagen dan dihambat oleh penggunaan chelating agen. Pada
dekomposisi peroksida lipid saat analisis, radikal dapat memperkuat seluruh
Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


48

proses dan kadar MDA bisa di estimasi berlebihan sehingga dapat


memberikan hasil bias misalnya kemungkinan terjadi kenaikan MDA pada
kelompok kontrol. Metode pemeriksaan dengan High Performance Liquid
Chromatography (HPLC) mempunyai sensitifitas dan spesifisitas lebih
tinggi dari TBARS (spektofotometri). 53,54

Kadar MDA dapat dipengaruhi oleh Reactive Oxygen Species (ROS),


sedangkan ROS dapat dipengaruhi oleh kondisi patofisiologik seperti
peradangan, gangguan imunologik, hipoksia, hiperoksia, metabolisme dari
obat-obatan dan alkohol, pajanan ultraviolet atau radiasi, defisiensi
antioksidan (vitamin A, C, and E). Pembentukan ROS dihambat oleh enzim
superoxide dismutase (SOD), catalase (CAT), and glutathione peroxidase
(GPx).55 Pada penelitian ini, tidak diperiksa kondisi patofisiologik hewan
coba.

2. Jaringan saraf optik sangat kecil, pengambilan spesimen untuk


pemeriksaan MDA saraf optik meskipun telah dilakukan enukleasi dan
penandaan saraf optik masih ada kemungkinan jaringan otot atau lemak ikut
terambil. Jaringan otot dan lemak mengandung MDA yang dapat
mempengaruhi kadar MDA saraf optik.

3. Selain kerusakan saraf optik melalui jalur nekrosis, ada kemungkinan


terjadinya pengaktifan jalur apoptosis, sehingga kadar MDA tidak naik,
pemeriksaan apoptosis pada saraf optik tidak diperiksa pada penelitian ini
karena diperlukan pewarnaan imunohistokimia.

5.4 Nilai Perubahan Histopatologi Saraf Optik

Nilai perubahan histopatologi saraf optik mempunyai perbedaan median


yang bermakna antar kelompok pajanan (tabel 4.7). Setelah dilakukan
analisa post hoc dengan uji Mann Whitney (tabel 4.8), nilai perubahan
histopatologi saraf optik mulai mempunyai perbedaan median bermakna
dibandingkan kelompok kontrol yaitu pada kelompok IV (pajanan toluena 50
ppm), artinya pajanan toluena lebih kecil sama dengan 25 ppm tidak
Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


49

menunjukan perubahan histologi yang bermakna antar kelompok pajanan


pada tikus dengan pemeriksaan mikroskop cahaya.

Berdasarkan gambar 2.3, dibuat tabel untuk memperkirakan konversi toluena


dari tikus ke manusia,48 sehingga didapatkan tabel seperti berikut :

Tabel 5.1 Perkiraan Konversi Toluena dari Tikus ke Manusia

Konsentrasi toluena Konsentrasi equivalent Perkiraan konversi


pada otak tikus (mM) toluena pada otak toluena dari tikus ke
manusia (mM) manusia
0,10 0,02 0,2
0,20 0,04 0,2
0,30 0,08 0,267
0,40 0,15 0,375
0,50 0,2 0,4

Dari tabel 5.1, didapatkan perkiraan konversi toluena dari tikus ke manusia
antara 0,2 sampai 0,4 kali konsentrasi pada tikus.

Berdasarkan perkiraan konversi diatas, pajanan 50 ppm pada tikus


diperkirakan antara 10 ppm sampai 20 ppm pada manusia, nilai ini berada
dibawah NAB toluena di Indonesia yaitu 50 ppm berdasarkan Standar
Nasional Indonesia (SNI).3 Perkiraan ini merupakan perkiraan kasar untuk
extrapolasi yang lebih tepat diperlukan penelitian lanjutan.

Pada penelitian ini tidak dilakukan penilaian terhadap mielin karena untuk
penilaian mielin diperlukan pewarnaan yang optimal, pulasan biru toluidin
kurang optimal dapat disebabkan oleh asumsi pewarnaan jaringan saraf optik
tidak secara supravital, pulasan secara supravital sulit dilakukan karena
keterbatasan perangkat dan terkait pengambilan berbagai organ lainnya
(penelitian ini dilakukan bersama peneliti lain yang masing-masing meneliti
target organ yang berbeda-beda). Pada penelitian ini dilakukan penilaian
perubahan histopatologi (degenerasi akson dan fibrosis) secara
semikuantitatif.

Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


50

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Terdapat perbedaan median nilai perubahan histopatologi saraf optik yang


bermakna antara tingkat pajanan toluena yang diteliti (p<0.001)

2. Tidak terdapat perbedaan rerata kadar MDA saraf optik yang bermakna
antar kelompok pajanan toluena yang diteliti (p=0.056).

3. Nilai perubahan histopatologi saraf optik mulai menunjukan perbedaan


bermakna dengan kelompok kontrol pada kelompok dengan pajanan
toluena 50 ppm. Bila dikonversi pada manusia diperkirakan antara 10
ppm sampai 20 ppm. Pajanan toluena menyebabkan degenerasi akson dan
fibrosis pada saraf optik tikus.

6.2 Saran

1. Diperlukan penelitian lanjutan pajanan toluena terhadap saraf optik,


dengan mempertimbangkan :

a. Pemeriksaan komponen lipid peroksidase yang lain seperti


conjugated dienes atau lipid hydroperoxide sebagai pembanding
kadar MDA, atau dilakukan pemeriksaan kadar MDA dengan
metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC)

b. Pemeriksaan terhadap kadar Reactive Oxigen Species (ROS) untuk


melihat apakah ada kenaikan ROS yang terjadi sebelum timbulnya
kenaikan kadar MDA.

c. Pemeriksaan histopatologi dengan pulasan supravital dan


pemeriksaan dengan mikroskop elektron untuk penilaian mielin
(ada tidaknya demielinisasi saraf optik).

Universitas Indonesia
50

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


51

d. Pemeriksaan apoptosis dengan menggunakan pulasan


imunohistokimia terminal deoxynucleotidyl transferase dUTP
nick-end labeling (TUNEL), untuk melihat apakah pajanan
toluena mengaktifkan jalur apoptosis.

e. Penelitian dengan pajanan toluena diantara 25 ppm dan 50 ppm,


atau penelitian dengan waktu pemajanan toluena yang lebih
singkat (kurang dari 14 hari)

f. Teknik pengambilan spesimen MDA saraf optik dengan peralatan


khusus sehingga kemungkinan jaringan otot atau lemak ikut
terambil dapat dikurangi.

2. Bagi pekerja: karena hasil penelitian ini menunjukkan adanya efek


pajanan toluena pada perkiraan dosis dibawah NAB maka
direkomendasikan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) bagi pekerja
yang terpajan toluena dengan penggunaan respirator serta disesuaikan
dengan masing-masing pekerja (fit test)

Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


52

DAFTAR PUSTAKA

1. Independent Chemical Information Services. Toluena uses and market data.


CMAI World Petrochemical Conference. 2007. Texas (cited on april 9th 2011)
available from url: http://www.icis.com/v2/chemicals/9076550/toluene/
uses.html.
2. Soeripto M. Higiene Industri. NAB bahan-bahan kimia. Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2008: hal 84-113.
3. Badan Standarisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-0232-
2005, Nilai ambang batas kimia di udara tempat kerja [disitasi
dari:http://www.unimondo.org/content/download/17995/118313/file
/SNI_19_0232_2005_NAB_Udara_di_ tempat_kerja.pdf pada tanggal 7
February 2011.
4. American Conference of Governmental Industrial Hygienist (ACGIH).
Threshold Limit Values for Chemical Substances and Physical Agent. 2011.
5. Kiyokawa M, Mizota A, Takasoh M, Usami EA. Pattern visual evoked
cortical potentials in patients with toxic optic neuropathy caused by toluene
abuse. Jpn J Ophthalmol 1999; 43: 438–42.
6. United States Department of Health and Human Services. Toxicological
profile for toluene. Agency for Toxic Substances and Disease Registry
(ATSDR). September 2000
7. Harris J, Blain P. Neurotoxicology: what the neurologists need to know. J
Neurol Neurosurg Psychiatry. 2004;75: iii29-iii34.
8. Jovanovic J, Jovanovic M, Spasic M, Lukic S. Peripheral nerve conduction
study in workers exposed to a mixture of organic solvents in paint and lacquer
industry. Public Health. 2004; 45: p.769-74.
9. Rosenberg N, Kleinschmidt-DeMasters B, Davis K, Dreisbach J, Hormes J,
Filley C. Toluene abuse causes diffuse central nervous system white matter
changes. Ann Neurol. 1988;23 :611-4.
10. Coskun 0, Oter S, Korkmaz A, Armuteu F, Kanter M. The oxidative and
morphological effects of high concentration chronic toluene exposure on rat
sciatic nerves. Neurochem Res. 2005;30:33-8
Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


53

11. Komiyama M, Yamanaka K. Chronic misuse of paint thinners. J Neurol


Neurosurg Psychiatry. 1999;67:246-7
12. Childs GY. Membrane structure and function. 12 May 2003 (cited on april
9th 2011). Available from url : http://anatomy.utmb.edu/cellbio/
membraneintro.htm
13. DeVries G, Zetusky W, Zmachinski C, Calabrese V. Lipid composition of
axolemma-enriched fractions from human brains. J Lipid Res.1981;22:208-16
14. Levin L. Optic nerve. In: Kaufman P, AIm A, editors. Adler's physiology of
the eye. 10th ed. St Louis: Mosby; 2003. p. 603-38
15. Kumar V, Abbas A, Fausto N. Robbins and Cotran Pathologic Basis of
Disease. Eight edition. 2010; Chapter 1-2. p. 3-44
16. Agency for Toxic Substances and Disease Registry. Toluene Air Quality
Guidelines. Second Edition. 2000
17. Rosmarie A. Faust. Toxicity Summary for Toluene. OAK Ridge National
Laboratory. 1994;p.1-2
18. Surat Edaran MENAKERTRANS no. SE-01/MEN/1997, Nilai Ambang
Batas (NAB) Bahan Kimia.
19. Hug F. Mollecular Modelling Analysis of The Metabolism of Toluene.
Journal of Pharmacology and toxicology 2 (1):20-32,2007
20. Kawamoto, T; Matsuno K, Kodama Y, Murata K, Matsuda S. ALDH2
polymorphism and biological monitoring of toluene. Archives of
Environmental Health. 1994; 49 (5): 332–6
21. Laham, S; Potvin M. Biological conversion of benzaldehyde to
benzylmercapturic acid in the Sprague-Dawley rat. Drug and Chemical
Toxicology. 1987:10 (3-4): 209–25
22. Inoue, O; Kanno E, Kasai K, Ukai H, Okamoto S, Ikeda M.
Benzylmercapturic acid is superior to hippuric acid and o-cresol as a urinary
marker of occupational exposure to toluene. Toxicology Letters. 2004: 147
(2): 177–86.
23. Noue O, Kanno E, Yusa T, Kakizaki M, Ukai H, Okamoto S, Higashikawa K,
Ikeda M. Urinary benzylmercapturic acid as a marker of occupational
Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


54

exposure to toluene. International Archives of Occupational and


Environmental Health. 2002: 75 (5): 341–7.
24. Duydu, Y; Süzen S, Erdem N, Uysal H, Vural N. Validation of hippuric acid
as a biomarker of toluene exposure. Bulletin of Environmental Contamination
and Toxicology. 1999: 63 (1): 1–8
25. Edelfors S, Hass U, Hougaard K. Changes in markers of oxidative stress and
membrane properties in synaptosomes from rats exposed prenatally to
toluene. Pharmacol Toxicol. 2002:90:26-31
26. Mattia C, LeBel C, Bondy S. Effect of toluene and its metabolites on cerebral
reactive oxygen species generation. Biochem Pharmacol. 1991; 42:879-82.
27. Mattia C, Jr JA, Bondy S. Free radical induction in the brain and liver by
product of toluene catabolism. Biochem Pharmacol.1993;46:103-10.
28. Koesoemawati H, Hartanto H, Salim L, Setiawan L, Valleria, Suparman W.
Kamus Kedokteran Dorland. 29th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2000.
29. Philips P. Toxic and deficiency optic neuropathies. In: Miller N, Newman N,
editors. Walsh & Hoyt's Clinical neuro-ophthalmology. 6th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2005. p. 447-63.
30. Telford I, Bridgman C. Functional histology. 2nd ed. New York:
HarperCollins; 1995. p. 169-95,473-84
31. T.Sugimoto, Y Fukuda, K Wakakuwa. Quantitative Analysis of Cross
Sectional Area of Optic Nerve : A Comparison between Albino and
Pigmented Rats. Experimental Brain research (1984) 54:266-74
32. Karen M. Joos, Chun Li, Rebecca M. Sappington. Morphometric Changes in
the Rat Optic Nerve Following Short-term Intermittent Elevations in
Intraocular Pressure. Investigative Ophthalmology & Visual Science,
December 2010, Vol. 51, No. 12. p 6431-8
33. Younge, Brian R. Optic Neurpathy Anterior Ischemic. 2010 (cited on april
9th 2011). Available at url: http://emedicine.medscape.com/article/1216891.
34. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2004.Hal 186 – 188
Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


55

35. Miller NR. Anterior ischemic optic neuropathy. In: Walsh and Hoyt's Clinical
Neuro-Ophthalmology. Vol 1. 1982: p212-26
36. LeBel C, Schatz R. Effect of toluene on rat synaptosomal phospholipid
methylation and membrane fluidity. Biochem Pharmacol. 1989; 38: 4005-11
37. Escobar A, Aruffo C. Chronic thinner intoxication: clinico-pathologic report
of a human case, J Neurol Neurosurg Psychiatry 1980; 43: 986-94
38. Hofman P, Hoyng P, vanderWerf F, Vrensen GF, Schlingemann RO. Lack of
blood-brain barrier properties in microvessels of the prelaminar optic nerve
head. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2001; 42: 895-901
39. Martin K. Toxicity, toluene. 30 May 2006 (cited on april 9th 2011). Available
from url: www.emedicine.com/emerg/topicS94.htm
40. Toluene. Drugs and human performance fact sheets. (cited on april 9th 2011).
Available from url : http://www.nhtsa.dot.gov/people/iniury/research/
jobI8Sdrugs/toluene.htm
41. Laseter J. Solvent abuse monitoring in juveniles. 1993 (cited on april 9th
2011). Available from url: http://www.accuchem.com/doalpdf/solvent.pdf
42. Jagger E. The production of official discourse on 'glue-sniffing'. J Soc Policy.
1997; 26: 445-65
43. Katz B. Lesions produced by infections and inflammations of the central
nervous system In: Miller N, Newman N, editors. Walsh & Hoyt's Clinical
neuroopthalmology. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2005. p. 2572-78.
44. Office of Environmental Health Hazard Assesment (EHAA). Toluene,
Determination of acute reference exposure levels for airborne toxicants.
March 1999 (cited on april 9th 2011). Available from:
http://www.oehha.ca.gov/air/acute rels/pdf/ 108883A.pdf
45. Butt MT, Bolon B. Fundamental neuropathology for pathologists and
toxicologists. 2011. Canada.
46. Lanigan RS. Final report on the safety assessment of Methyl alcohol.
International Journal of Toxicology, 20;57-85. 2001. Washington DC, USA

Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


56

47. Krishan K, Anderson ME. Quantitative Modeling in Toxicology. 2010. p


404-7.
48. Benignus VA, Boyes WK, Elaina MK, Bushnell PJ. Quantitative
Comparisons of the Acute Neurotoxicity of Toluene in Rats and Human.
Toxicological Sciences 2007; 100(1), p 146–155
49. U.S. Environmental Protection Agency. Toxicological review of toluene.
September 2005 (cited on May 20th 2012). Available from :
www.epa.gov/iris/toxreviews/0118tr.pdf.
50. Romanovsky AA, Ivanov AI, Shimansky YP. Selected Contribution: Ambient
temperature for experiments in rats: a new method for determining the zone
of thermal neutrality. J Appl Physiol; 2002 February (cited 2013 June 10 th).
92(6):2667-2679. Available from : http://jap.physiology.org/content/
92/6/2667.full.pdf.
51. Committee for the Update of the Guide for the Care and Use of Laboratory
Animals; National Research Council. Guide for the Care and Use of
Laboratory Animals : Eighth Edition. Washington DC : National Academic
Press.2010. Available from: http://www.aaalac.org/resources/
Guides_2011.pdf
52. Sheehan DC, Hrapchak BB. Theory and Practice of Histotechnology. 1973.
p.176
53. Sochor J, Nedecky BR, Babula P, Adam V, Hubalek J. Automation of
Methods for Determination of Lipid Peroxidation. Intech open science
journal, 2012.
54. Devasagayam TPA, Boloor KK, dan Ramasarma T. Methods for estimating
lipid peroxidation: An analysis of merits and demerits. Indian Journal of
Biochemistry & Biophysics. 2003;40:300-8.
55. Seifried HE, Anderson DE, Fisher EI, Milner JA. A Review of the Interaction
among Dietary Antioxidants and Reactive Oxygen Species. J Nutr
Biochem. 2007 Sep;18(9):567-79

Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


Lampiran Tehnik Percobaan

Percobaan ini dilakukan Pada Suhu Ruang T= 27-32 oC dan P = 1 ATM

Toluena cair
dimasukkan ke Udara keluar dari sisi
wadah yang berada atas chamber
dalam chamber
Chamber

Tertutup
Pompa
80 x 40x 40 cm
Penghasil
(berisi 3 tikus)
4 cm
Udara

(Bubbler)

Keterangan gambar :

1. Setiap chamber berisi 3 ekor tikus.

2. Jalannya udara digambarkan dengan tanda panah (). Pertama-tama,


udara menuju chamber, melalui lubang yang dibuat setinggi hidung tikus
(4 cm dari alas). Sedangkan toluena cair (--->) disemprotkan ke dalam
chamber sesuai dengan besaran ppm yang diharapkan. Kemudian toluena
cair ini dibiarkan menguap sampai habis, segera setelah habis dilakukan
perhitungan waktu selama 4 jam. Pada percobaan ini, uap toluena akan
berada di dasar chamber dibandingkan dengan udara, karena berat jenis
uap toluena adalah 3.18 kali berat jenis udara2. Sedangkan, untuk aliran
udara (dan toluena) yang keluar dari chamber, diletakkan di puncak

Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


chamber, dengan tujuan, untuk memastikan bahwa tikus-tikus tersebut
benar-benar terpajan oleh toluena.

3. Tabel untuk perhitungan pajanan toluena 12.5, 25, 50 dan 100 ppm
adalah:

Volume chamber = 80 cm x 40 cm x 40 cm = 128000 cm3 = 128 liter.

Pajanan Toluena Pajanan Toluena yang Aliran udara yang Jumlah Toluena
yang diharapkan dibutuhkan dalam keluar dari yang ditambahkan
(dalam ppm) masing-masing chamber chamber setiap jamnya
(berdasarkan hasil
pengukuran di Balai
Hiperkes Bulan
Agustus 2011
(dianggap konstan)

12.5 12.5/1000000 x 128 5 ml/detik. 5 ml/detik x 3600


liter = 0.0016 liter = 1.6 detik x 12.5
cc /1000000 = 0.225
ml (dibulatkan ke
0.3 ml)

25 25/1000000 x 128 liter 5 ml/detik. 5 ml/detik x 3600


= 0.0032 liter = 3.2 cc detik x 25
/1000000 = 0.45
ml (dibulatkan ke
0.5 ml)

50 50/1000000 x 128 liter 5 ml/detik. 5 ml/detik x 3600


= 0.0064 liter = 6.4 cc detik x 12.5
/1000000 = 0.9 ml.

100 100/1000000 x 128 liter 5 ml/detik. 5 ml/detik x 3600


= 0.0128 liter = 12.8 cc detik x 12.5
/1000000 = 1.8 ml.

Sumber Asal Bahan :


 Tikus-tikus Wistar jantan didapatkan dari Balitbang Kementerian
Kesehatan.

Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


 Makanan Tikus didapatkan dari Laboratorium Patologi Experimental
FKUI.
 Cairan toluena didapatkan dari Toko Kimia Harum Sari.
 Alat Gas Chromatography dan flowmeter (pengukur kecepatan aliran
udara) dipinjam dari Balai Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja
(Hiperkes) DKI Jakarta.
 Bubbler dan Chamber tikus yang terbuat dari kaca berukuran 80 cm x
40 cm x 40 cm dan kaca penutupnya, dengan ketebalan 3 mm
didapatkan dari PT. Sarana Kaca.
 Pemeriksaan Histopatologi dengan pewarnaan biru toluidin
dilaksanakan di Laboratorium Histologi dan Laboratorium Patologi
Anatomi FKUI.
 Pemeriksaan konsentrasi MDA dilakukan di Laboratorium Biokimia
dan Biologi Molekuler FKUI.

Universitas Indonesia

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013
Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013
Lampiran Data Penelitian Suhu dan Kelembaban

kelompok I kelompok II kelompok III kelompok IV kelompok V


Kronologi Kontrol (0 cc) 1.6 cc (12.5 ppm) 3.2 cc (25 ppm) 6.4 cc (50 ppm) 12.8 cc (100 ppm)
Pemajanan suhu Kelembaban suhu Kelembaban suhu Kelembaban suhu Kelembaban suhu Kelembaban
(°C) (%) (°C) (%) (°C) (%) (°C) (%) (°C) (%)
hari ke-1 29 50 29 49 30 62 27 64 29 55
29 55 29 55 30 55 27 64 28 57
30 65 29 57 30 55 29 66 29 58
31 70 29 57 30 52 29 68 30 60
31 70 29 57 30 53 29 68 30 60
hari ke-2 29 55 30 52 30 49 28 58 28 56
29 58 30 59 30 50 29 58 27 55
30 65 30 64 30 50 29 59 27 59
31 70 30 60 30 47 30 60 28 58
31 71 30 60 30 47 30 62 29 59
hari ke-3 29 50 30 55 30 50 29 62 28 55
29 55 30 51 30 46 29 62 28 56
30 65 31 56 30 40 30 65 29 57
30 70 31 55 30 48 31 66 28 58
30 70 31 56 30 48 28 56 29 59
hari ke-4 29 50 30 50 30 44 29 60 30 52
29 55 30 57 30 44 29 60 30 55
30 65 30 59 30 44 30 62 31 58
30 70 31 60 31 48 30 63 29 57
30 70 31 60 30 52 29 58 30 58
hari ke-5 29 60 30 59 30 48 29 58 29 55
29 62 30 65 30 50 29 60 28 57
30 65 30 67 30 48 30 61 29 58
30 70 30 67 31 48 30 63 30 59
30 70 30 67 30 54 29 57 30 58
hari ke-6 29 57 30 55 31 52 29 58 29 57
29 60 30 60 31 51 29 60 29 58
30 65 30 55 31 51 30 60 30 59
30 65 30 55 30 51 30 62 30 59
30 70 30 55 30 52 29 57 28 58
hari ke-7 29 59 30 52 30 53 29 61 29 57
29 59 30 55 31 53 30 64 27 58
30 65 30 52 31 54 30 66 28 58
30 70 30 50 29 52 30 68 28 59
30 70 30 52 30 57 29 65 29 58

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


Lampiran Data Penelitian Suhu dan Kelembaban 2

kelompok I kelompok II kelompok III kelompok IV kelompok V


Kronologi Kontrol (0 cc) 1.6 cc (12.5 ppm) 3.2 cc (25 ppm) 6.4 cc (50 ppm) 12.8 cc (100 ppm)
Pemajanan suhu Kelembaban suhu Kelembaban suhu Kelembaban suhu Kelembaban suhu Kelembaban
(°C) (%) (°C) (%) (°C) (%) (°C) (%) (°C) (%)
hari ke-8 29 60 30 50 30 55 29 66 28 53
29 65 30 50 30 55 30 66 27 59
30 68 30 48 30 55 30 68 29 60
30 70 30 51 30 40 30 68 30 61
30 70 30 51 30 45 29 58 30 60
hari ke-9 29 60 30 52 30 42 29 60 27 54
29 65 30 51 30 45 29 60 28 56
30 68 30 52 30 40 30 70 29 55
30 70 30 52 30 41 30 70 29 57
30 70 30 55 30 60 29 58 29 60
hari ke-10 29 60 31 31 30 61 29 58 27 54
29 65 32 50 30 61 30 65 28 57
30 68 32 51 30 56 30 70 30 58
30 70 32 51 29 60 29 54 30 58
30 70 32 51 30 63 29 55 30 57
hari ke-11 29 65 30 51 30 65 30 65 27 54
29 65 30 51 29 48 30 70 28 56
30 68 30 52 30 50 29 55 28 58
30 70 30 52 30 50 29 55 29 60
30 70 31 52 30 50 30 58 31 61
hari ke-12 29 60 29 55 30 50 30 65 27 53
29 65 30 56 30 51 30 70 28 56
30 68 30 55 30 56 30 59 30 56
30 70 30 52 30 58 30 59 30 57
30 70 30 51 30 58 30 60 29 58
hari ke-13 29 57 30 50 30 58 30 63 28 54
29 65 30 52 30 50 30 65 29 55
30 68 30 52 30 48 29 62 30 56
30 70 30 54 32 51 29 64 30 56
30 70 30 54 32 50 29 65 29 58
hari ke-14 29 60 30 52 32 50 29 65 27 54
29 65 30 52 30 50 30 67 28 56
30 68 30 56 30 57 28 61 29 56
30 69 30 49 30 58 28 61 30 57
30 70 30 52 30 61 29 63 30 59

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


Nilai Perubahan Histopatologi Saraf Optik

Lapangan Total Score


Pandang LP LP LP Lapangan
Kelompok Parameter (LP) 1 2 3 4 Pandang
1 Tikus 1 Degenerasi akson 1 1 1 1 4
(Kontrol) Fibrosis 1 1 1 2 5
Perubahan histopatologi 2 2 2 3 9
Tikus 2 Degenerasi akson 1 1 1 1 4
Fibrosis 1 2 2 1 6
Perubahan histopatologi 2 3 3 2 10
Tikus 3 Degenerasi akson 1 1 1 1 4
Fibrosis 1 1 1 2 5
Perubahan histopatologi 2 2 2 3 9
Tikus 4 Degenerasi akson 2 1 1 2 6
Fibrosis 1 1 1 1 4
Perubahan histopatologi 3 2 2 3 10
Tikus 5 Degenerasi akson 2 1 1 1 5
Fibrosis 1 1 1 2 5
Perubahan histopatologi 3 2 2 3 10
Tikus 6 Degenerasi akson 1 2 1 1 5
Fibrosis 2 2 1 1 6
Perubahan histopatologi 3 4 2 2 11
2 Tikus 1 Degenerasi akson . . . . .
(pajanan Fibrosis . . . . .
toluena
Perubahan histopatologi . . . . .
12.5 ppm)
Tikus 2 Degenerasi akson 2 1 1 1 5
Fibrosis 2 1 2 2 7
Perubahan histopatologi 4 2 3 3 12
Tikus 3 Degenerasi akson 1 1 1 1 4
Fibrosis 1 1 2 2 6
Perubahan histopatologi 2 2 3 3 10
Tikus 4 Degenerasi akson 1 1 1 1 4
Fibrosis 1 2 2 1 6
Perubahan histopatologi 2 3 3 2 10
Tikus 5 Degenerasi akson 1 1 1 1 4
Fibrosis 2 1 2 2 7
Perubahan histopatologi 3 2 3 3 11
Tikus 6 Degenerasi akson 1 1 1 1 4
Fibrosis 2 1 2 1 6
Perubahan histopatologi 3 2 3 2 10
3 Tikus 1 Degenerasi akson 1 2 2 2 7
(pajanan Fibrosis 1 1 1 1 4

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


toluena Perubahan histopatologi 2 3 3 3 11
25 ppm) Tikus 2 Degenerasi akson 1 2 2 2 7
Fibrosis 1 1 1 1 4
Perubahan histopatologi 2 3 3 3 11
Tikus 3 Degenerasi akson 2 2 2 2 8
Fibrosis 1 1 1 1 4
Perubahan histopatologi 3 3 3 3 12
Tikus 4 Degenerasi akson 2 1 1 2 6
Fibrosis 1 1 1 1 4
Perubahan histopatologi 3 2 2 3 10
Tikus 5 Degenerasi akson 1 1 1 1 4
Fibrosis 1 2 1 2 6
Perubahan histopatologi 2 3 2 3 10
Tikus 6 Degenerasi akson . . . . .
Fibrosis . . . . .
Perubahan histopatologi . . . . .
4 Tikus 1 Degenerasi akson 2 2 2 2 8
(pajanan Fibrosis 1 2 1 1 5
toluena
Perubahan histopatologi 3 4 3 3 13
50 ppm)
Tikus 2 Degenerasi akson 2 2 2 2 8
Fibrosis 1 1 2 1 5
Perubahan histopatologi 3 3 4 3 13
Tikus 3 Degenerasi akson 2 2 2 2 8
Fibrosis 1 1 1 2 5
Perubahan histopatologi 3 3 3 4 13
Tikus 4 Degenerasi akson . . . . .
Fibrosis . . . . .
Perubahan histopatologi . . . . .
Tikus 5 Degenerasi akson 2 2 1 1 6
Fibrosis 2 2 2 2 8
Perubahan histopatologi 4 4 3 3 14
Tikus 6 Degenerasi akson 2 2 2 1 7
Fibrosis 2 1 1 2 6
Perubahan histopatologi 4 3 3 3 13
5 Tikus 1 Degenerasi akson 4 3 4 3 14
(pajanan Fibrosis 4 4 4 3 15
toluena
Perubahan histopatologi 8 7 8 6 29
100 ppm)
Tikus 2 Degenerasi akson 4 3 3 3 13
Fibrosis 3 3 4 3 13
Perubahan histopatologi 7 6 7 6 26
Tikus 3 Degenerasi akson . . . . .
Fibrosis . . . . .
Perubahan histopatologi . . . . .

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


Tikus 4 Degenerasi akson 3 3 4 3 13
Fibrosis 3 4 4 4 15
Perubahan histopatologi 6 7 8 7 28
Tikus 5 Degenerasi akson 3 2 3 3 11
Fibrosis 3 3 4 4 14
Perubahan histopatologi 6 5 7 7 25
Tikus 6 Degenerasi akson 3 4 3 4 14
Fibrosis 4 3 3 4 14
Perubahan histopatologi 7 7 6 8 28

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


Lampiran Data Hasil Penelitian
Kadar MDA Total nilai
Kadar Berat Kadar MDA
No saraf optik perubahan
Toluena Kelompok tikus plasma
Tikus (nmol/mg histopatologi
(ppm) (gram) (nmol/l)
jaringan) saraf optik
1 0 1 230 0.109 5.959 9
2 0 1 232 0.015 0.665 10
3 0 1 244 0.061 1.196 9
4 0 1 249 0.161 0.756 10
5 0 1 247 0.175 1.029 10
6 0 1 236 0.165 0.526 11
7 12.5 2 235 Tidak ada data Tidak ada data -
8 12.5 2 241 0.085 0.475 12
9 12.5 2 246 0.038 0.980 10
10 12.5 2 241 0.234 0.858 10
11 12.5 2 231 0.094 0.701 11
12 12.5 2 230 0.184 0.597 10
13 25 3 238 0.026 0.649 11
14 25 3 241 0.011 1.085 11
15 25 3 242 0.025 1.242 12
16 25 3 231 0.121 2.426 10
17 25 3 238 0.083 1.642 10
18 25 3 234 0.009 0.614 -
19 50 4 235 0.271 0.710 13
20 50 4 237 0.053 5.215 13
21 50 4 243 0.073 5.413 13
22 50 4 246 0.090 1.681 -
23 50 4 242 0.215 3.653 14
24 50 4 231 0.045 0.468 13
25 100 5 244 0.076 1.554 29
26 100 5 239 0.118 2.233 26
27 100 5 248 0.074 0.875 -
28 100 5 242 0.362 3.916 28
29 100 5 243 0.063 1.798 25
30 100 5 248 0.182 1.757 28

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


Lampiran Uji Statistik
Program yang dipakai untuk menguji statistik pada penelitian ini adalah SPSS 16.0 for Windows.

1. Uji Normalitas berat badan tikus memakai Uji Shapiro-Wilk didapatkan hasil p=0.114.
Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
BB .136 30 .167 .944 30 .114
a Lilliefors Significance Correction

2. Uji Homogenitas berat badan tikus memakai Uji Lavene didapatkan hasil p=0.025.
Test of Homogeneity of Variances

BB
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
3.348 4 25 .025

3. Uji Normalitas Suhu Chamber memakai Kolmogorov-Smirnov :


Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
SUHU .311 350 .000 .826 350 .000
a Lilliefors Significance Correction

Dari hasil uji normalitas Kolmogorov-Smirnov didapatkan hasil : p<0.001, maka data suhu
chamber akan ditransformasi, dan kemudian diuji kembali. Hasilnya adalah sebagai berikut :
Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
TRAN_SUH .314 350 .000 .821 350 .000
a Lilliefors Significance Correction

Dari uji normalitas Kolmogorov-Smirnov data hasil transformasi, didapatkan hasil p<0.001.

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


4. Uji Homogenitas suhu chamber memakai Uji Lavene didapatkan hasil p<0.001.

Test of Homogeneity of Variances

SUHU
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
17.119 4 345 .000

5. Uji Normalitas Kelembaban Chamber memakai Kolmogorov-Smirnov :


Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
KELEMBAB .083 350 .000 .973 350 .000
a Lilliefors Significance Correction

Dari hasil uji normalitas Kolmogorov-Smirnov didapatkan hasil : p<0.001, maka data
kelembaban chamber akan ditransformasi, dan kemudian diuji kembali. Hasilnya adalah sebagai
berikut :
Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
TRAN_LEM .071 350 .000 .960 350 .000
a Lilliefors Significance Correction

Dari uji normalitas Kolmogorov-Smirnov data hasil transformasi, didapatkan hasil p<0.001.

6. Uji Homogenitas kelembaban chamber memakai Uji Lavene didapatkan hasil p<0.001.
Test of Homogeneity of Variances

KELEMBAB
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
10.865 4 345 .000

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


7. Hasil perhitungan rerata dan standard deviasi berat badan tikus setiap kelompok.
Descriptives

PPM_TOLU Statistic Std. Error


BB .00 Mean 239.6667 3.29309
95% Lower Bound 231.2015
Confidence Upper Bound
Interval for 248.1318
Mean
5% Trimmed Mean 239.6852
Median 240.0000
Variance 65.067
Std. Deviation 8.06639
Minimum 230.00
Maximum 249.00
Range 19.00
Interquartile Range 16.0000
Skewness -.065 .845
Kurtosis -2.414 1.741
12.50 Mean 237.3333 2.59058
95% Lower Bound 230.6740
Confidence Upper Bound
Interval for 243.9926
Mean
5% Trimmed Mean 237.2593
Median 238.0000
Variance 40.267
Std. Deviation 6.34560
Minimum 230.00
Maximum 246.00
Range 16.00
Interquartile Range 11.5000
Skewness .104 .845
Kurtosis -1.702 1.741
25.00 Mean 237.3333 1.70620
95% Lower Bound 232.9474
Confidence Upper Bound
Interval for 241.7193
Mean
5% Trimmed Mean 237.4259
Median 238.0000
Variance 17.467
Std. Deviation 4.17931
Minimum 231.00
Maximum 242.00
Range 11.00
Interquartile Range 8.0000
Skewness -.574 .845
Kurtosis -.771 1.741

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


50.00 Mean 239.0000 2.29492
95% Lower Bound 233.1007
Confidence Upper Bound
Interval for 244.8993
Mean
5% Trimmed Mean 239.0556
Median 239.5000
Variance 31.600
Std. Deviation 5.62139
Minimum 231.00
Maximum 246.00
Range 15.00
Interquartile Range 9.7500
Skewness -.253 .845
Kurtosis -1.269 1.741
100.00 Mean 244.0000 1.43759
95% Lower Bound 240.3046
Confidence Upper Bound
Interval for 247.6954
Mean
5% Trimmed Mean 244.0556
Median 243.5000
Variance 12.400
Std. Deviation 3.52136
Minimum 239.00
Maximum 248.00
Range 9.00
Interquartile Range 6.7500
Skewness -.041 .845
Kurtosis -.996 1.741

8. Hasil perhitungan rerata dan standard deviasi suhu chamber setiap kelompok.
Descriptives

ppm_tolu Statistic Std. Error


SUHU .00 Mean 29.6571 .07015
95% Lower Bound 29.5172
Confidence Upper Bound
Interval for 29.7971
Mean
5% Trimmed Mean 29.6190
Median 30.0000
Variance .345
Std. Deviation .58695
Minimum 29.00
Maximum 31.00
Range 2.00

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


Interquartile Range 1.0000
Skewness .241 .287
Kurtosis -.637 .566
12.50 Mean 30.1286 .07592
95% Lower Bound 29.9771
Confidence Upper Bound
Interval for 30.2800
Mean
5% Trimmed Mean 30.0873
Median 30.0000
Variance .404
Std. Deviation .63523
Minimum 29.00
Maximum 32.00
Range 3.00
Interquartile Range .0000
Skewness 1.287 .287
Kurtosis 2.967 .566
25.00 Mean 30.1429 .06526
95% Lower Bound 30.0127
Confidence Upper Bound
Interval for 30.2731
Mean
5% Trimmed Mean 30.1032
Median 30.0000
Variance .298
Std. Deviation .54602
Minimum 29.00
Maximum 32.00
Range 3.00
Interquartile Range .0000
Skewness 1.739 .287
Kurtosis 4.799 .566
50.00 Mean 29.3429 .08843
95% Lower Bound 29.1664
Confidence Upper Bound
Interval for 29.5193
Mean
5% Trimmed Mean 29.3968
Median 29.0000
Variance .547
Std. Deviation .73987
Minimum 27.00
Maximum 31.00
Range 4.00
Interquartile Range 1.0000
Skewness -.872 .287
Kurtosis 1.447 .566
100.00 Mean 28.8286 .12865
95% Lower Bound 28.5719

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


Confidence Upper Bound
Interval for 29.0852
Mean
5% Trimmed Mean 28.8333
Median 29.0000
Variance 1.159
Std. Deviation 1.07638
Minimum 27.00
Maximum 31.00
Range 4.00
Interquartile Range 2.0000
Skewness -.150 .287
Kurtosis -.883 .566

9. Hasil perhitungan rerata dan standard deviasi kelembaban chamber setiap kelompok.
Descriptives

ppm_tolu Statistic Std. Error


KELEMBAB .00 Mean 64.9714 .68221
95% Confidence Lower Bound 63.6105
Interval for Mean Upper Bound
66.3324

5% Trimmed Mean 65.4683


Median 65.0000
Variance 32.579
Std. Deviation 5.70779
Minimum 50.00
Maximum 71.00
Range 21.00
Interquartile Range 10.0000
Skewness -1.046 .287
Kurtosis .228 .566
12.50 Mean 54.1571 .62872
95% Confidence Lower Bound 52.9029
Interval for Mean Upper Bound
55.4114

5% Trimmed Mean 54.0476


Median 52.0000
Variance 27.671
Std. Deviation 5.26029
Minimum 31.00
Maximum 67.00
Range 36.00
Interquartile Range 5.2500
Skewness -.388 .287
Kurtosis 5.252 .566
25.00 Mean 51.5143 .68184

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


95% Confidence Lower Bound 50.1541
Interval for Mean Upper Bound
52.8745

5% Trimmed Mean 51.5079


Median 51.0000
Variance 32.543
Std. Deviation 5.70467
Minimum 40.00
Maximum 65.00
Range 25.00
Interquartile Range 7.0000
Skewness .126 .287
Kurtosis -.192 .566
50.00 Mean 62.2714 .49841
95% Confidence Lower Bound 61.2771
Interval for Mean Upper Bound
63.2657

5% Trimmed Mean 62.2619


Median 62.0000
Variance 17.389
Std. Deviation 4.17002
Minimum 54.00
Maximum 70.00
Range 16.00
Interquartile Range 6.0000
Skewness .127 .287
Kurtosis -.786 .566
100.00 Mean 57.1286 .23984
95% Confidence Lower Bound 56.6501
Interval for Mean Upper Bound
57.6070

5% Trimmed Mean 57.1746


Median 57.0000
Variance 4.027
Std. Deviation 2.00667
Minimum 52.00
Maximum 61.00
Range 9.00
Interquartile Range 2.2500
Skewness -.337 .287
Kurtosis -.318 .566

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


10. Uji Kruskal Wallis berat badan tikus didapatkan p=0.204.
Test Statistics(a,b)

BB
Chi-Square 5.934
Df 4
Asymp. Sig. .204
a Kruskal Wallis Test
b Grouping Variable: KELOMPOK

11. Uji normalitas kadar MDA plasma dengan uji Shapiro-wilk didapatkan hasil p<0.001.
Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
MDAPLASM .246 29 .000 .752 29 .000
a Lilliefors Significance Correction

Setelah dilakukan transformasi terhadap kadar MDA plasma, dilakukan kembali uji Shapiro-wilk
didapatkan hasil p=0.042.
Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
TRAN_DAR .109 29 .200(*) .925 29 .042
* This is a lower bound of the true significance.
a Lilliefors Significance Correction

12. Uji homogenitas kadar MDA plasma dengan uji Lavene didapatkan nilai p=0.081
Test of Homogeneity of Variances

MDAPLASM
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
2.371 4 24 .081

13. Uji normalitas kadar MDA saraf optik dengan uji Shapiro-wilk didapatkan hasil p=0.013.

Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

MDAsarafO .165 29 .042 .905 29 .013

a. Lilliefors Significance Correction

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


Setelah dilakukan transformasi terhadap kadar MDA saraf optik, dilakukan kembali uji
Shapiro-wilk didapatkan hasil p=0.184.

Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.


*
transMDAsoptik .123 29 .200 .950 29 .184

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

14. Uji homogenitas kadar MDA saraf optik dengan uji Levene didapatkan nilai p=0.306

Test of Homogeneity of Variances

MDAsarafO

Levene Statistic df1 df2 Sig.

1.279 4 24 .306

15. Uji normalitas nilai perubahan histopatologi saraf optik dengan uji Shapiro-wilk
didapatkan nilai p<0.001

Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Nilaihisto .338 26 .000 .671 26 .000

a. Lilliefors Significance Correction

Setelah dilakukan transformasi terhadap nilai perubahan histopatologi saraf optik,


dilakukan kembali uji Shapiro-Wilk didapatkan hasil yang sama p<0.001.

Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Tran_nilaihistosarafoptik .273 26 .000 .749 26 .000

a. Lilliefors Significance Correction

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


16. Uji homogenitas nilai perubahan histopatologi saraf optik dengan uji Levene didapatkan
nilai p=0.017.

Test of Homogeneity of Variances

Nilaihisto

Levene Statistic df1 df2 Sig.

3.818 4 21 .017

17. Perhitungan median, nilai minimum dan maksimum kadar MDA plasma dan nilai
Perubahan Histopatologi Saraf Optik.

Kelompok Kelompok
Kelompok Kelompok II Kelompok V
III IV
I (Kontrol) (12.5 ppm) (100 ppm)
(25 ppm) (50 ppm)
Kadar MDA plasma
(dalam nmol/l)
Median 0.89 0.70 1.16 2.67 1.78
Minimum – maksimum 0.53 - 5.90 0.48 - 0.98 0.61 - 2.43 0.47 - 5.41 0.88 – 3.92

Nilai perubahan
histopatologi saraf optik
Median 10 10 11 13 28
Minimum – maksimum 9 - 11 10 - 12 10 – 12 13 - 14 25 - 29

18. Perhitungan rerata dan standard deviasi kadar MDA saraf optik

Descriptives

kadartoluen Statistic Std. Error

MDAsarafO 0 Mean .11433 .026561

95% Confidence Interval for Lower Bound .04605


Mean
Upper Bound .18261

5% Trimmed Mean .11648

Median .13500

Variance .004

Std. Deviation .065062

Minimum .015

Maximum .175

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


Range .160

Interquartile Range .118

Skewness -.737 .845

Kurtosis -1.159 1.741

12.50 Mean .12700 .035688

95% Confidence Interval for Lower Bound .02792


Mean
Upper Bound .22608

5% Trimmed Mean .12600

Median .09400

Variance .006

Std. Deviation .079800

Minimum .038

Maximum .234

Range .196

Interquartile Range .148

Skewness .488 .913

Kurtosis -1.568 2.000

25.00 Mean .04583 .018645

95% Confidence Interval for Lower Bound -.00209


Mean
Upper Bound .09376

5% Trimmed Mean .04370

Median .02550

Variance .002

Std. Deviation .045670

Minimum .009

Maximum .121

Range .112

Interquartile Range .082

Skewness 1.156 .845

Kurtosis -.218 1.741

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


50.00 Mean .12450 .038699

95% Confidence Interval for Lower Bound .02502


Mean
Upper Bound .22398

5% Trimmed Mean .12078

Median .08150

Variance .009

Std. Deviation .094792

Minimum .045

Maximum .271

Range .226

Interquartile Range .178

Skewness 1.000 .845

Kurtosis -1.029 1.741

100.00 Mean .14583 .046801

95% Confidence Interval for Lower Bound .02553


Mean
Upper Bound .26614

5% Trimmed Mean .13843

Median .09700

Variance .013

Std. Deviation .114638

Minimum .063

Maximum .362

Range .299

Interquartile Range .156

Skewness 1.762 .845

Kurtosis 3.005 1.741

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


rerata dan standard deviasi kadar MDA saraf optik

Kelompok Kelompok
Kelompok Kelompok II Kelompok V
III IV
I (Kontrol) (12.5 ppm) (100 ppm)
(25 ppm) (50 ppm)
Kadar MDA Saraf
Optik (nmol/mg
jaringan)
Mean 0.114 0.127 0.046 0.125 0.146
Standar deviasi 0.065 0.080 0.045 0.095 0.115

19. Uji Kruskal Wallis kadar MDA plasma didapatkan nilai p=0.118.
Test Statistics(a,b)

MDAPLASM
Chi-Square 7.365
df 4
Asymp. Sig. .118
a Kruskal Wallis Test
b Grouping Variable: KELOMPOK

20. Uji Anova One Way kadar MDA saraf optik didapatkan nilai p=0.056.
ANOVA

transMDAsoptik

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 1.438 4 .359 2.681 .056

Within Groups 3.217 24 .134

Total 4.655 28

21. Uji Kruskal Wallis nilai perubahan histopatologis saraf optik didapatkan nilai p<0.001.
a,b
Test Statistics

Nilaihisto

Chi-Square 20.837

df 4

Asymp. Sig. .000

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable:
kelompok

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013


22. Uji Mann Whitney perbedaan rerata nilai perubahan histopatologi saraf optik antar
kelompok.

Kelompok I II III IV V

I x x x x x

II p = 0.161 x x x x

III p = 0.081 p = 0.650 x x x

IV p = 0.005 p =0.006 p = 0.007 x x

V p = 0.005 p = 0.008 p = 0.008 p = 0.007 x

Studi deteksi…., Ferdianto, FK UI, 2013

Anda mungkin juga menyukai