Anda di halaman 1dari 5

Pengertian HIV dan AIDS

HIV merupakan singkatan dari Human Immunodefeciency Virus. Yaitu suatu virus yang menyerang
system kekebalan tubuh (imunitas) manusiadan virus ini dapat menyebabkan penyakit AIDS. HIV
menjangkiti sel-sel system kekebalan tubuh manusia terutama CD4+ dan macrophages komponen-
komponen utama system kekebalan sel dan menghancurkan fungsinya. Sedangkan AIDSadalah
singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrom adalah kumpulan gejala atau penyakit yang
disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh Human Immunodeficiency Virus.
Penyakit ini ditandai dengan gejalan menurunnya system kekebalan tubuh. Penderita AIDS mudah
diserang infeksi oportunistik (infeksi yang disebabkan oleh kuman yang pada keadaan system kekebalan
tubuh normal tidak terjadi) (August et.al, 2009).

Pengertian Stigma

Stigma adalah fenomena yang sangat kuat yang terjadi di masyarakat, dan terkait erat dengan nilai yang
ditempatkan pada beragam identitas sosial (Heatherton; 2003). Menurut Chaplin (2004) stigma adalah
suatu cacat atau cela pada karakter seseorang. Sedangkan menurut Green (dalam Cholil; 1997) stigma
adalah suatu ciri negatif yang menempel pada diri pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya.

Menurut Goffman (dalam Heatherton; 2003) mendefinisikan stigma sebagai suatu isyarat atau pertanda
yang dianggap sebagai “ganggguan” dan karenanya dinilai kurang dibanding orang-orang normal.
Individu-individu yang diberi stigma dianggap sebagai individu yang cacat, membahayakan, dan agak
kurang dibandingkan orang lain pada umumnya. Menurut Jones, dkk (dalam Heatherton; 2003) proses
stigmatisasi terkait dengan kondisi pelabelan karena kurang dipercaya atau menyimpang pada
seseorang yang dianggap aneh oleh orang lain. Sedangkan Crocker dkk (dalam Hatherton; 2003)
mendefinisikan stigma “menempatkan beberapa sifat atau ciri khas, yang menyampaikan identitas sosial
yang bertujuan merendahkan diri. seseorang dalam konteks sosial tertentu. Dari beberapa definisi diatas
penulis menyimpulkan stigma adalah ciri negatif yang diberikan masyarakat dan dipengaruhi oleh
lingkungan. Ciri negatif. ini diberikan kepada seseorang yang dianggap cacat, membahayakan, dan agak
kurang dibandingkan dengan orang lain pada umumnya.

Tipe-tipe dan Dimensi Stigma


Menurut Goffman (dalam Heatherton; 2003) membedakan tiga jenis stigma, atau kondisi stigmatisasi,
diantaranya:

1) Kebencian terhadap tubuh (seperti, cacat tubuh)

2) Mencela karakter individu (gangguan mental, pecandu, pengangguran)

3) Identitas kesukuan (seperti ras, jenis kelamin, agama dan kewarganegaraan)

Sedangkan Jones, dkk (dalam Heatherton; 2003) membagi enam dimensi kondisi stigmatisasi:

1) “penyembunyian” yang mencakup keluasan karakteristik stigmatisasi sedapat mungkin bisa dilihat
(seperti cacat wajah vs. homoseksualitas).

2) “rangkaian penandaan” berhubungan dengan apakah tanda tersebut sangat mencolok mata atau
makin melemah dari waktu ke waktu (seperti multiple sclerosis vs. kebutaan).

3) “kekacauan” yang mengacu pada tingkat stigmatisasi dalam mengganggu interaksi interpersonal
(seperti gagap dalam berbicara).

4) “estetika” yang berhubungan dengan reaksi subjektif yang dapat memunculkan stigma karena suatu
hal yang kurang menarik.

5) “asal-usul” tanda stigmatisasi (seperti cacat bawaan, kecelakaan, atau kesengajaan) yang juga terkait
dengan tanggung jawab seseorang dalam membentuk stigma.

6) “resiko” yang mencakup perasaan berbahaya dari stigmatisasi dari orang lain (seperti memilki
penyakit yang mematikan atau membahayakan vs. memilki kelebihan berat badan).

Alasan terjadinya stigma pada penderita HIV/AIDS

Menurut Green (dalam Cholil; 1997) ada tiga sumber, diantaranya:

1) Ketakutan, semua tahu HIV/AIDS adalah penyakit infeksi yang sampai saat ini belum ditemukan obat
untuk menyembuhkannya.
2) Moril, fakta yang ada penyakit HIV/AIDS sering terkait dengan seks bebas dan penyalahgunaan obat
terlarang atau obat bius, kutukan Tuhan dengan alasan bahwa ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) adalah
orang-orang yang melanggar norma agama.

3) Ketidak acuhan oleh media masa, adanya pemikiran dan ketakutan dan pikiran moril pembaca
tentang HIV/AIDS.

Diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS ('ODHA')

adalah pengalaman prasangka terhadap ODHA yang berada dalam bidang hukum. Diskriminasi adalah
salah satu bentuk perwujudan stigma, dan sikap dan perilaku yang terstigma ini dapat masuk ke ranah
diskriminasi tergantung pada peraturan perundang-undangan di suatu negara tertentu. HIV berarti
human immunodeficiency virus (virus mengurangi kekebalan tubuh manusia). Jika tidak ditangan, HIV
dapat menjadi penyakit AIDS (acquired immunodeficiency syndrome / sindrom kekurangan kekebalan
tubuh yang diperoleh).[1] HIV/AIDS merupakan penyakit menular seksual dan tidak dapat terobati,
tetapi dengan penanganan yang tepat, seorang dapat hidup sepanjang seperti tidak terkena penyakit.

Menghapus Stigma dan diskriminasi dimulai dari keluarga

Meski upaya pencegahan dan penanggulangan infeksi HIV/AIDS sudah berjalan puluhan tahun di
Indonesia, namun sampai saat ini masih ada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang mendapat stigma atau
pandangan negatif.

Menurut Ketua Program Yayasan AIDS Indonesia dr. Sarsanto W Sarwono, SpOG, stigma dan diskriminasi
bisa menghambat penanganan masalah HIV-AIDS. Sarsanto mengungkapkan, stigma tersebut seringkali
bukan berasal dari lingkungan, tetapi justru dari keluarga ODHA sendiri. "Yang bikin stigma bisa dari
keluarga itu sendiri karena percaya mitos macam-macam, seperti enggak boleh makan sama-sama
karena takut ketularan. Jadi ODHA disembunyikan di kamar, dan sebagainya," kata Sarsanto sesusai
acara deklarasi dan penandatanganan komitmen menujuu #JakartaSadar2017 di Jakarta, Kamis
(1/12/2016).

ODHA banyak ditemui pada usia produktif. Dengan menghapus stigma dan diskriminasi, ODHA bisa
mengembangkan kemampuan diri dan bekerja seperti oramg-orang yang tidak positif HIV.

Jika keluarga menyembunyikan ODHA di dalam rumah saja, kepercayaan dirinya akan menurun, upaya
pengobatan pun bisa terhambat. Untuk itu, lanjut Sarsanto, selain upaya pencegahan kasus baru HIV,
penghapusan stigma juga terus dilakukan mulai dari keluarga.
"Jangan sampai ODHA dikucilkan. Mereka enggak mungkin tinggal di rumah sakit, harus kembali ke
keluarga," kata Sarsanto.

Menghapus stigma bisa dengan mengedukasi masyarakat mengenai cara penularan HIV. Harus diakui,
mitos yang keliru seperti HIV dapat menular lewat fasilitas umum seperti menggunakan toilet duduk,
menggunakan alat makan yang sama, lewat jabat tangan, berpelukan, berciuman, dan gigitan nyamuk,
masih dipercaya banyak orang.

upaya yang dilakukan:

1. pemberian edukasi kepada keluarga tentang proses penyebaran HIV yang sebenarnya. penularan HIV
hanya akan terjadi dalam aktivitas tertentu, pergaulan dan interaksi sehari-hari tidak akan memicu
penularan.

2. memberitahukan bahwa dukungan keluarga sangatlah penting bagi ODHA untuk bertahan dari
kondisinya. Mengucilkan ODHA akan memperburuk kondisi dari ODHA.

3. menjelaskan bahwa ODHA tetaplah makhluk hidup yang memiliki HAM, diaman ODHA juga memiliki
hak untuk hidup dengan baik.

4. menjelaskan kepada keluarga agar tidak memandang atau menjudge ODHA sebagai pemilik perilaku
tak bermoral, dikarenakan tidak semua ODHA tertular HIV dikarenakan melakukan tindakan tak
bermoral.

Tak kalah pentingnya, dukungan keluarga akan mereduksi efek diskriminasi yang mungkin diterima
ODHA, terutama bagi mereka yang merupakan kelompok rentan seperti ODHA anak-anak. Mereka
butuh diberi semangat untuk merasa yakin memiliki kesempatan yang sama seperti anak-anak lainnya.
Informasi yang harus disampaikan pada anak-anak ini harus sederhana, tepat, mengena, konsisten dan
menarik.

Stigma dan diskriminasi telah menjadi hukuman sosial oleh masyarakat di berbagai belahan dunia
terhadap pengidap HIV/AIDS yang bisa bermacam-macam bentuknya, antara lain berupa tindakan-
tindakan pengasingan, penolakan, diskriminasi, dan penghindaran atas orang yang terinfeksi HIV.
Tindakan diskriminasi dan stigmatisasi membuat orang enggan untuk melakukan tes HIV, enggan
mengetahui hasil tes mereka, dan tidak berusaha untuk memperoleh perawatan yang semestinya serta
cenderung menyembunyikan status penyakitnya. Hal ini semakin memperburuk keadaan, membuat
penyakit yang tadinya dapat dikendalikan menjadi semacam “hukuman mati” bagi para pengidapnya
dan membuat penyakit ini makin meluas penyebarannya secara terselubung.
Stigma dan diskrimansi terhadap ODHA merupakan tantangan yang bila tidak teratasi, potensial untuk
menjadi penghambat upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Diskriminasi yang dialami ODHA baik pada
unit pelayanan kesehatan, tempat kerja, lingkungan keluarga maupun di masyarakat umum harus
menjadi prioritas upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Oleh sebab itu perlu dukungan dan
perberdayaan kelompok-kelompok dukungan sebaya (KDS) sebagai mitra kerja yang efektif dan
mahasiswa sebagai kelompok yang potensial dalam mengurangi stigma dan diskriminasi (Komisi
Penanggulangan AIDS, 2007).

Stigma yang terkait dengan penyakitnya merupakan tantangan psikologis tersendiri untuk Odha. Saat
mereka diketahui mengidap HIV, perlahan tapi pasti satu persatu teman-temannya menjauhi, bahkan
tak jarang keluarganya pun menjauhi. Padahal, disaat seperti ini Odha sangat membutuhkan dukungan
penuh dari lingkungan sosialnya, karena mereka mengalami tekanan psikologis yang cukup berat akibat
dinyatakan terinfeksi HIV.

ODHA banyak ditemui pada usia produktif. Dengan menghapus stigma dan diskriminasi, ODHA bisa
mengembangkan kemampuan diri dan bekerja seperti oramg-orang yang tidak positif HIV.

Jika keluarga menyembunyikan ODHA di dalam rumah saja, kepercayaan dirinya akan menurun, upaya
pengobatan pun bisa terhambat. Untuk itu, lanjut Sarsanto, selain upaya pencegahan kasus baru HIV,
penghapusan stigma juga terus dilakukan mulai dari keluarga

Anda mungkin juga menyukai